Anda di halaman 1dari 5

Hubungan usia dan jenis kelamin kasus 2

Jenis kelamin pada kasus 2 memiliki hubungan yang berkaitan cukup erat dengan kasus
tersebut, karena pada kasus tersebut diagnosa yang dicurigai untuk pasien adalah hemofilia
sedangkan hemofilia merupakan sebuah penyakit herediter yang berkaitan dengan kromosom
X (X-linked disease) dan diturunkan secara resesif. Bila pada kasus tersebut jenis kelamin
pasien merupakan perempuan maka diagnosis hemofilia dapat disingkirkan karena hemofilia
hanya ditemukan pada laki-laki sedangkan perempuan hanyalah sebagai carrier yang
membawa kromosom penyakit tersebut dan jarang ditemukan mengalami hemofilia, sebab
jika seorang perempuan memiliki kromosom hemofilia yang homozigot ( kedua
kromosomnya Xh) maka akan bersifat lethal atau menyebabkan kematian pada perempuan,
hal ini karena perempuan nantinya akan sering mengalami pendarah hebat contohnya
menstruasi atau melahirkan. Sedangkan pada laki-laki sifat hemofilia dapat muncul hanya
dengan 1 kromosom Xh.

Usia pada kasus 2 tidak terlalu berhubungan dengan diagnosis terhadap kasus 2 karena
awitan penyakit akibat kelainan trombosit baik trombositopenia maupun hemofilia tidak
dipengaruhi oleh usia. Namun, satu hal yang pasti adalah hemofilia sudah dapat diketahui
tanda-tandanya dari sejak lahir karena merupakan penyakit yang berkaitan dengan keturunan
dan berikatan dengan kromosom X. Faktor yang berhubungan dengan kasus 2 justru riwayat
dari pasien yang mudah memar sejak bayi dan memiliki sepupu yang memiliki kasus serupa.
Hal ini menunjukkan bahwa penyakit yang dialami pasien memiliki hubungan dengan
herediter (dari kakek/nenek) dan sudah dialami sejak lama serta bukan merupakan suatu
penyakit yang muncul karena penyebab tertentu atau baru-baru ini.

Hemofilia lebih sering terjadi pada laki-laki, dengan perbandingan Hemofilia A sekitar
1:10.000 dan hemofilia B 1:25.000-30.000. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin dapat
menjadi faktor risiko terjadinya penyakit tersebut.

Sumber:

Swartz,Mark H.1995.Buku Ajar Diagnostik Fisik.Jakarta:EGC

Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.


Tatalaksana kasus 1 dan 2

 Kasus 1, terapi untuk ITP terdiri atas :


1. Terapi untuk mengurangi proses imun sehingga mengurangi perusakan trombosit
a. Terapi kortikosteroid:
i. Untuk menekan aktivitas mononuclear phagocyte (makrofag) sehingga
mengurangi destruksi trombosit
ii. Mengurangi pengikatan IgG oleh trombosit
iii. Menekan sintesis antibody
Preparat yang diberi : prednisone 60-80mg/hari kemudian turunkan
perlahan-lahan, untuk mencapai dosis pemeliharaan. Dosis
pemeliharaan sebaiknya kurang dari 15mg/hari. Sekitar 80% kasus
mengaalami remisi setelah terapi steroid.

b. Jika dalam 3 bulan tidak memberi respon pada kortikosteroid


(trombosit<30000/ml) atau perlu dosis pemeliharaan yang tinggi maka
diperlukan:
i. Splenektomi-sebagian besar memberi respons baik
ii. Obatobat imunosupresif lain : vincristine, cyclophosphamide atau
azathioprim
2. Terapi suportif, terapi untuk menguarangi pengaruh trombositopenia
a. Pemberian androgen (danazol)
b. Pemeberian high dose immnunoglobulin unruk menekan fungsi makrofag
c. Transfuse konsentrat trombosit hanya dipertimbangkan pada penerita dengan
risiko perdarahan major.

3. Pemeriksaan laboratorium lanjutan. Untuk memastikan diagnosis ITP dan mengetahui


penyebab dari trombositopenia, maka perlu pemeriksaan apusan darah tepi,
pemeriksaan sumsum tulang, dan pemeriksaan imunologi.

 Kasus 2, penatalaksanaan Von Willebrand Disease


Sebagai prinsip umum, pengobatan yang diberikan pada VWD berbeda-beda,
tergantung pada tipe VWD yang diderita. Misalnya, pasien VWD dengan jumlah VWF
yang tidak normal akan berespon terhadap obat yang meningkatkan VWF plasma.
Sebaliknya, pasien dengan defek kongenital metabolisme trombosit akan memerlukan
transfusi trombosit yang normal.

Salah satu obat yang digunakan untuk mengobati VWD adalah DDAVP
(Desmopresin). Desmopresin adalah analog sintetik hormon antidiuretik, vasopressin.
Pemberian secara intravena, dapat juga secara intranasal, merangsang pengeluaran
VWF dari sel endotel agar VWF dan factor VIII:C sepat meningkat dalam plasma.

Keberhasilan menangani pasien VWD dengan desmopresin ini bergantung pada tipe
penyakitnya. Pasien dengan tipe 1 VWD yang lebih ringan menunjukkan respons yang
sangat baik, dengan pemendekan Bleeding Time (BT) dan peningkatan kadar VWF dan
factor VIII:C. Banyak pasien dengan VWD tipe 2A atau tipe 2M juga mempunyai
respons baik terhadap desmopresin, meskipun BT tidak menjadi normal dan efeknya
bertahan relative singkat. Pasien dengan VWD tipe 2N biasanya tidak respons. Pasien
VWD tipe 3 juga tidak akan respons terhadap pemberian obat, sebab pasien ini tidak
ada persediaan VWF di endotel.

Selain menggunakan desmopresin, pengobatan untuk VWD juga dapat diperoleh


dengan:

1. Penggantian VWF dengan transfusi plasma segar atau konsentrat plasma yang
mengandung kompleks VWF-VIII.
2. Kriopresipitat, yaitu konsentrat yang dapat segera memperpendek BT, yang berkaitan
dengan infus multimer VWF besar. Namun, perbaikan BT berlangsung relative
singkat.
3. Antihistamin dan steroid, dapat mengaburkan reaksi anafilaktoid.
4. Obat-obatan lain seperti premarine, epsilon aminocaproic acid (EACA), estrogen, dan
IgG intravena.

 Kasus 2, penatalaksanaan hemofilia


a. Terapi suportif

- Menghindari benturan atau trauma


- Kortikosteroid untuk menghilangkan inflamasi pada sinovitis akut yang terjadi
setelah serangan akut hemartrosis. Prednison 0.5-1 mg/kg/hari selama 5-7 hari
mencegah kaku sendi (artrosis)
- Analgetika untuk mengurangi hemartrosis nyeri hebat

b. Terapi lain

- Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian
diikuti pemberian FVIII hingga mencapai kadar hemostatik.
- Plasma segar beku
Berasal dari donor tunggal serta mengandung semua faktor-faktor pembekuan
darah. Digunakan pada penderita yang mengalami perdarahan yang memerlukan
tindakan segera dimana diagnosis pasti belum diketahui dan faktor konsentrat
belum tersedia. Setiap 1 cc plasma segar beku mengandung 0.6-0.7 unit FVIII.
Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk
mencegah reaksi transfusi hemolitik. Dosis pemakaian adalah 10-15 ml/kgbb.
Dengan interval 8-12 jam. Bila diberikan melebihi 30 ml/kgbb dalam 24 jam dan
lebih dari 2-3 hari dapat menimbulkan gangguan sirkulasi walaupun pada anak
normal.
- Konsentrat F VIII merupakan F VIII yang telah dilemahkan virusnya. Waktu
paruhnya 8-12 jam
- Konsentrat F IX tersedia dalam dua bentuk yaitu PCC (protrombin complex
concentrate) berisi F II,VII,IX,X dan purified F IX concentrate berisi F IX tanpa
faktor lain. Namun PCC mempunyai efek samping yaitu trombosis paradiksial dan
koagulasi intravena tersebar disebabkan konsentrat faktor pembekuan lain. Waktu
paruhnya 24 jam dan volum ditribusinya 2 kali F VIII
- Kriopresipitat AHF merupakan komponen darah non seluler konsentrat plasma
tertentu mengandung F VIII, fibrinogen, faktor VW. Efek sampingnya alergi dan
demam.Keuntungan dari kriopresipitat AHF adalah mengandung FVIII 20 kali
lebih banyak dibanding plasma segar beku, sehingga kadar hemostatik dapat
dicapai tanpa beban sirkulasi. Disamping itu harganya tidak mahal dibanding
konsentrat FVIII dan reaksi transfusi tidak sering karena beberapa protein
aminogenik asing telah diendapkan. Kerugiannya adalah transmisi hepatitis lebih
besar dari plasma segara beku dan tidak dapat digunakan sebagai pengobatan di
rumah.( Ljung R.C.R, 2002)
- 1-deamino 8-D arginin vasopresin (DDAVP) atau desmopresin. Hormon sontentik
anti diuretik merangsang peningkatan F VIII dalam plasma sampai 4 kali, namun
sementara. Pemberian IV dosis 0.3 mg/kg dalam 30-50 Nacl 0.9%
- Antifibrinolitik yang digunakan pada hemofili B utk menstabilisasi bekuan/fibrin
dengan menghambat fibrinolysis
- Bila terjadi perdarahan akut terutama daerah sendi, maka tindakan RICE (rest, ice,
compression, elevation) segera dilakukan. Sendi yang mengalami perdarahan
diistirahatkan dan diimobilisasi. Kompres dengan es atau handuk basah yang
dingin, kemudian dilakukan penekanan atau pembebatan dan meninggikan daerah
perdarahan. Penderita sebaiknya diberikan faktor pengganti dalam 2 jam setelah
perdarahan.
- Terapi gen, terapi gen dengan menggunakan vektor retrovirus, adenovirus dan
adeno-associated virus memberikan harapan baru bagi pasien hemofilia.

Sumber:
Sudoyo, W Aru,. 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : FK UI
Hoffbrand, A.V., Moss, PA.H., Pettitt, J.E. 2006. Essential Haematology, Blackwell
Publishing.
KESIMPULAN

Pada kasus 1 pada pasien ditemukan manifestasi klinis berupa memar yang mengarah
kepada purpura dan ekimosis serta ditemukan gusi yang mudah berdarah pada pasien. Selain
itu berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditemukan pula bahwa trombosit pasien turun jauh
dibawah batas normal dan terjadi pula penurunan haemoglobin. Pasien dicurigai mengalami
idiopathic trombocytopenia purpura, karena berdasarkan adanya penurunan jumlah trombosit
dan purpura pada betis pasien dan tidak ditemukannya gejala lain seperti demam yang
menyingkirkan diagnosis banding dari demam berdarah. Namun, penyebab dari
trombositopenia pasien masih belum dapat diketahui secara pasti, oleh karena itu diberikan
obat hemostatik untuk menghentikan pendarahan pasien serta melakukan pemeriksaan
lanjutan untuk mengetahui lebih lanjut tentang penyebab penyakit pasien serta penanganan
yang lebih tepat dan baik.

Pada kasus 2 pasien mengalami manifestasi klinis berupa pendarahan yang tidak
berhenti setelah di khitan serta pernah mengalami riwayat penyakit yang mudah memar sejak
kecil dan diketahui pula bahwa sepupu pasien juga mengalami riwayat penyakit yang serupa
dengan pasien. Pasien dicurigai memiliki kelainan yang berhubungan dengan herediter atau
keturunan, maka dari itu perlu diberikan rujukan ke Rumah Sakit untuk melakukan skrining
hemostasis agar dapat diketahui penyebab pasti tentang kelainan yang ada pada pasien dan
dapat diberikan penanganan lanjutan yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai