Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

DEMENSIA ALZHEIMER

DISUSUN OLEH:
Desika Santi
406162047

PEMBIMBING:
dr. Noer Saelan Tadjuddin Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GERIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 28 MEI 2018 – 07 JULI 2018
SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI CIBUBUR
JAKARTA
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR TABEL iv
1.PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
2.TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Definisi 2
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi dan Patofisiologi 3
2.4 Gejala Klinik 5
2.5 Diagnosis 9
2.7 Diagnosa Banding 17
2.8 Penatalaksanaan 18
2.9 Prognsosis dan komplikasi 21
3. KESIMPULAN 22
DAFTAR PUSTAKA 23

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Patofiologi Alzheimer’s Disease 5


Gambar 1.2 Efek Alzheimer’s Disease 6
Gambar 2.1 CT SCAN - Brain Normal dan Alzheimer 16

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer 11


Tabel 2. Kriteria diagnostik penyakit Demensia menurut DSM-V ...................... 12
Tabel 3. Kriteria diagnostik penyakit Alzheimer menurut DSM-V ..................... 13
Tabel 4. Obat yang dipergunakaan demensia dan gangguan kognitif ringan...... 19

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju,dan
telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif serta
makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Studi prevalensi
menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65 tahun, persentase orang
dengan penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap
pertambahan umur lima tahun. Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai, jumlah
pasien dengan penyakit Alzheimer di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000
menjadi 13,2 juta orang pada tahun 2050.1

Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena
awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain
itu pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi
pada awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu
hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya, penurunan fungsi kognitif terus
akan berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan
jatuh pada ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya. Saat ini telah disadari bahwa
diperlukan deteksi dini terhadap munculnya demensia, karena ternyata berbagai penelitian
telah menunjukkan bila gejala-gejala peurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat
dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar
tidak jatuh pada keadaan demensia.2

Dengan diketahuinya berbagai faktor risiko (seperti hipertensi,diabetes melitus, strok,


riwayat keluarga,dan lain-lain) berhubungan dnegan penurunan fungsi kognitif yang lebih
cepat pada sebagian orang usia lanjut, maka diharapkan dokter dan tenaga kesehatan lain dapat
melakukan upaya-upaya pencegahan timbulnya demensia pada pasien-pasiennya. Selain itu,
bila ditemukan gejala awal penurunan fungsi kognitif pasien yang disertai beberapa faktor yang
mungkin dapat memperburuk fungsi kognitif pasien maka seprah dokter dapat merencanakan
berbagai upaya untuk memodifikasinya, baik secara farmakologis maupun non-farmakologis.1

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi

Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia dimana demensia adalah
gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang
tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Pasien dengan demensia harus
mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak,
penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup berat
sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.2

Definisi Mild cognitif impairment ( MCI )

Merupakan suatu kondisi “ sindrom predemensia “ (kondisi transisi fungsi kognisi antara
penuaan normal dan demensia ringan), yang pada berbagai studi telah dibuktikan sebagian
akan berlanjut menjadi demensia ( terutama demensia alzheimer) yang simtomatik. 8

Definisi demensia
Demensia ialah suatu sindrom yang terdiri dari gejala-gejala gangguan daya kognitif global
yang tidak disertai gangguan derajat kesadaran, namun bergandengan dengan perubahan tabiat
yang dapat berkembang secara mendadak atau sedikit demi sedikit pada tiap orang dari semua
golongan usia. Demensia dibagi menjadi 2 yaitu kortikal ( demensia alzheimer, penyakit
Creutzfeldt – jakob dan penyakit pick) , dan subkortikal ( huntington, parkinson).4,10

Definisi demensia menurut WHO


Demensia adalah sindrom neurodegenerative yang timbul karena adanya kelainan yang
bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti
kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak
terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi,
perilaku, dan motivasi.5

Definisi demensia alzheimer


Demensia yang disebabkan oleh penyakit alzheimer, munculnya gejala perlahan- lahan namun
progresif, ditandai oleh penurunan memori, ganggunan kognitif, gangguan aktifitas sehari –
hati.8,10

2
2.2 Epidemiologi

Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Setelah usia 65
tahun,prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertumbuhan usia lima tahun. Secara
keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6%.
Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer,
sedangkan di Asia diperkirakan demensia vaskular.1

Dari seluruh penuduk sentenarian di Jepang, 70% mengalami demensia dengan 76%-
nya menderita penyakit Alzheimer. Berbagai penelitian menunjukkan laju insidensi penyakit
Alzheimer meningkat secara eksponensial seiring bertambahnya umur, walaupun terjadi
penurunan insidensi pada usia 95 tahun yang diduga karena terbatasnya jumlah subyek di atas
usia 90 tahun.1

Saat ini, penyakit Alzheimer merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada populasi
lansia dan menduduki peringkat ke 4 sebagai penyebab kamatian. Lima puluh sampai enam
puluh persen penyebab demensia adalah penyakit Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi
dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di
transmisikan sebagaimana mestinya. Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori,
kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses berpikir.5

Proporsi perempuan yang mengalami penyakit Alzheimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki
(sekitar 2/3 pasien adalah perempuan). Hal ini disebabkan perempuan memiliki harapan hidup
lebih baik dan bukan karena perempuan lebih mudah menderita penyakit ini. Tingkat
pendidikan yang rendah juga disebutkan berhubungan dengan risiko terjadinya penyakit
Alzheimer. Faktor-faktor risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan
dengan penyakit Alzheimer adalah hiperetensi, diabetes melitus, dislipidemia, serta berbagai
faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi pembuluh darah otak.1,8

2.3 Etiologi dan Patogenesis

Faktor-faktor risiko penyakit Alzheimer antara lain : 5


a. Usia : Kebanyakan penderita berusia 65 tahun ke atas.
b. Faktor genetic : Mutasi gen protein precursor amiloid, gen presenilin 1 dan 2, serta
apolipoprotein E ε4.

3
c. Faktor lingkungan seperti riwayat cedera kepala berat
d. Penyakit metabolic : obesitas, hiperlipedemi, dan diabetes mellitus.

Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik, neurofibrillary
tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakular, dan Hirano bodies. Plak neuritik
Mengandung b-amyloid ekstraselular yang dikelilingi neuritis distrofik, sementara olak difus
adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron.
Deteksi adanya Apo E di dalam plak b-amyloid dan studi mengenai ikatan high-avidity antara
Apo E dengan b-amylodi menunjukkan bukti hubungan antara amyloidogenesis dan Apo E.
Plak neuritik juga mengandung protein komplemen, mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin,
dan protein fase-akut, sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada patogenesis
penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode kromosom 21, menunjukkan hubungan potensial
patologi penyakit Alzheimer dengan sindrom Down yang diderita oleh semua pasien penyakit
Alzheimer yang muncul pada usia 40 tahun.3

Pembentukan amyloid merupakan pencetus berbagai proses sekunder yang terlibat


pada patogenesis penyakit Alzheimer (hipotesis kaskade amyloid) Berbagai mekanisme yang
terlibat pada patogenesis tersebut bila dapat dimodifikasi dengan obat yang tepat diharapkan
dapat mempengaruhi perjalanan penyakit Alzheimer.2

Adanya dan jumlah plak senilis adalah satu gambaran patologis utama yang penting
untuk diagnosis penyakit Alzheimer. Sebenarnya jumlah plak meningkat seiring usia,dan plak
ini juga muncul di jaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia. Juga dilaporkan bahwa
satu dari tiga orang berusia 85 tahun yang tidak demensia mempunyai deposisi amyloid yang
cukup di korteks serebri untuk memenuhi kriteria diagnosis penyakit Alzheimer,namun apakah
ini mencerminkan fase preklinik dari penyakit masih belum diketahui.3

Lewy body adalah cytoplasmic inclusion intraneuron yang terwarnai dengan periodic
acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin,yang terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20nm
yang dikelilingi material amorfik. Lewy body dikenali melalui antigen terhadap protein
neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak terfosforilasi,ubiquitin,dan protein
presinap yang disebut α-synuclein. Jika pada seorang demensia tidak ditemukan gambaran
patologik selain adanya Lewy body maka kondisi ini disebut diffuse Lewy body
disease,semntara bila ditemukan juga plak amyloid dan neurofibrillary tangles maka disebut
varian Lewy body dari penyakit Alzheimer.2

4
Defisit neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer, juga pada demensia tipe lain,
adalah sistem kolinergik. Walaupun sistem noradrenergik dan serotonin, somatostatin-like
reactivity, dan corticotropin-releasing factor juga berpengaruh pada penyakit Alzheimer,
defisit asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi
yang tersedia saat ini untuk penyakit Alzheimer.3,8

Gambar 1.1 patofiologi Alzheimer’s Disease 9

2.5 Gejala Klinik

Manifestasi Klinis penyakit Alzheimer terdiri atas manifestasi gangguan kognitif dan gangguan
psikiatrik serta perilaku. Gangguan kognitif awal yang terjadi adalah gangguan memori jangka
pendek. Gangguan ini akan diikuti dengan kesulitan berbahasa, disorientasi visuospasial dan
waktu, serta inatensi. Penderita mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-
harinya seiring perjalanan penyakit, akan muncul gangguan psikiatrik dan perilaku seperti
depresi, kecemasan, halusinasi, waham, dan perilaku agitasi.5

5
Gambar 1.2 efek Alzheimer’s Disease 9

Gambaran klinis Alzheimer berdasarkan stadiumnya :


a. Stadium I
Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan memori,
berhitung dan aktifitas spontan menurun. Fungsi memori yang terganggu adalah
memori baru atau lupa hal baru yang dialami.

b. Stadium II
Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebut stadium demensia. Gejalanya :
 Disorientasi
 Gangguan bahasa (afasia)
 Penderita mudah bingung
Penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat melakukan
kegiatan sampai selesai, tidak mengenal anggota keluarganya tidak ingat sudah
melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi. Dan ada gangguan
visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungannya, depresi
berat prevalensinya 15-20 %.”

6
c. Stadium III
Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun. Gejala klinisnya
antara lain :
 Penderita menjadi vegetative
 Tidak bergerak dan membisu
 Daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal keluarganya
sendiri
 Tidak bisa mengendalikan buang air besar/ kecil
 Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain
 Kematian terjadi akibat infeksi atau trauma

Proses yang mempengaruhi otak


Alzheimer mempengaruhi otak dalam banyak cara, tetapi dapat dibagi menjadi
perubahan struktural dan perubahan kimia. Kedua proses ini mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berfungsi seperti dulu.6
Secara struktural, otak memiliki banyak komponen:
 Lobus frontal, parietal, temporal, dan oksipital
 sistem limbik
 hippocampus
Komponen ini adalah apa yang kita sebut sebagai daerah-daerah yang terbagi di dalam
otak, karena tanggung jawab yang unik masing-masing daerah untuk berbagai tugas
sehari-hari, penting untuk berfungsi normal.Selain itu, sisi kanan otak dan sisi kiri otak
mengontrol berbagai fungsi, termasuk bahasa dan gerakan. Dalam daerah otak yang
berbeda, fungsi otak berlangsung pada tingkat cellular. Secara kimiawi, charges listrik
kecil atau "sinyal," bergerak melalui sel-sel individual dan bagian dari otak,
menyalurankan pikiran dan memori. Seseorang dengan penyakit Alzheimer
mengalami gangguan dalam proses ini, yang kemudian menyebabkan gangguan dalam
aktivitas.6

a. Perubahan Struktural
Bagian otak yang mengecil
Ketika seseorang memiliki demensia, bagian dari otak mereka mengalami
kerusakan dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari penyakit Alzheimer, sel-sel

7
yang berada di otak mati, dan jaringan otak hilang. Hal ini mengakibatkan
pengurangan dalam ukuran otak secara keseluruhan.6
Otak terdiri dari tiga bagian: Cerebrum, cerebellum, dan brain stem (batang
otak), yang menerima oksigen dan darah melalui jaringan pembuluh darah. Korteks
adalah bagian dari lapisan luar cerebellum yang terlibat dengan memori,
interpretasi penglihatan dan suara, dan persepsi. Sebagai proses normal dari
perkembangan Alzheimer, terjadi penyusutan korteks, yang mengganggu
kegiatan korteks. Hippocampus yang bertanggung jawab untuk penerimaan
memori baru sering mengalami kerusakan yang paling parah. Pada tingkat
yang lebih lanjut, korteks mengalami kerusak yang lebih parah sehingga tidak dapat
mengenali orang yang dia sayang dan mengalami kesukaran berkomunikasi.6

Plaques dan tangles


Protein cluster, yang dikenal sebagai "plaques," mengumpul diantara sel-sel saraf.
Strand protein yang terpelintir, yang dikenal sebagai "tangles," berkumpul di antara
sel-sel saraf mati. Plaques dan tangles mulai terbentuk di bagian otak dimana
memori, proses belajar, dan proses berpikir terjadi, dan terus mempengaruhi bagian
5
lain dari otak, merusak sel-sel otak dan saraf (Alzheimer Society 2008). Pada
tingkat yang ringan dan sedang. Plaques dan Tangles menyebar ke daerah otak yang
bertanggung jawab untuk komunikasi (bicara), dan persepsi spasial. Pada waktu ini,
masalah yang berkaitan dengan proses memori dan berpikir biasanya akan menjadi
jelas. Setelah perubahan ini, kepribadian dan perilaku juga dapat menjadi
terpengaruh (Alzheimer Association 2011). 6

Inflammation
Peradangan adalah respon normal terhadap trauma, namun tingkat peradangan di
otak akibat Alzheimer adalah excessive dan kontra-produktif, menyebabkan lebih
banyak kematian sel. Peradangan tersebut menyebabkan kematian sel-sel saraf,
dan juga dapat meningkatkan tangles. (Alzheimer Society 2008). 6

Nerve cells shrink


Sel saraf mulai menyusut di bagian otak yang bertanggung jawab untuk memori
dan proses berpikir, dan terus menyusut di daerah sisa otak (Alzheimer Society
2008).6

8
b. Perubahan Kimia
Perubahan kimia meliputi :
 Kerusakan neuron yang membawa sinyal ke otak.
 Sinyal yang dihantar diantara sinaps oleh neurotransmitter terganggu.
 Hubungan antara sel-sel saraf otak menjadi terganggu.
Perubahan kimia mempengaruhi otak dalam banyak cara. Miliaran sel saraf
membawa sinyal pada triliunan titik di seluruh otak, ketika proses ini terganggu,
demikian juga tugas-tugas dasar otak, seperti berpikir, merasa, dan membentuk dan
mengingat kenangan.6
Perubahan kimia dan struktural berdampak diantara satu sama lain untuk
memperkuat kerusakan otak. Sebagian besar perubahan di otak bukan hasil dari satu
perubahan namun merupakan kombinasi dari keduanya.6

Keadaan neurotransmitter di Alzheimer’s disease


Keadaan otak pada penyakit Alzheimer menunjukkan hilangnya neuron kolinergik
di basal otak depan, penurunan tingkat asetilkolin (Ach), dan penurunan asetilkolin
sintesis enzim choline acetyltransferase (CHAT) di korteks serebral. Model hewan
menunjukkan bahwa Ach memainkan peran penting dalam pemroses informasi dan
memori. Meskipun sistem neurotransmitter lainnya (noradrenalin, serotonin,
somatostatin dan peptida lainnya) juga kekurangan, penurunan kognitif berkorelasi
terbaik dengan hilangnya masukan kolinergik. Acetylcholinesterase inhibitor
(tacrine) dan agonis reseptor Ach, termasuk nikotin, telah digunakan untuk
mengobati Alzheimer. Keberhasilan dari pendekatan ini menunjukkan bahwa,
selain kekurangan Ach, ada perubahan mendasar lainnya yang berkontribusi
terhadap disfungsi kognitif.7

2.6 Diagnosis

Menegakkan penyakit Alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat. Untuk diagnosis klinis
penyakit Alzheimer diterbitkan suatu konsensus oleh the National Institute of Neurological
and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer’s Disease and Related
Disorders Association (ADRDA). (Tabel 1)

9
a. Anamnesis
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset), lamanya, dan bagaimana laju progresi
penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai
dengan gejala memori, tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan,
berbelanja, mengikuti perintah, menemukan kata, atau mengemudi. Perubahan kepribadian,
disinhibisi, peningkatan berat badan atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-
temporal dementia (FTD), bukan penyakit Alzheimer. Pada pasien yang menderita penyakit
serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit
Alzheimer, demensia multi-infark, atau campuran keduanya.3 Bila dikaitkan dengan berbagai
penyebab demensia, maka anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai fator risiko seperti
trauma kepala berulang, infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis ,konsumsi alkohol berlebihan,
intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik, serta penggunaan obat-obat jangka panjang
(sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari
evaluasi,mengingat bahwa pada penyakit Alzheimer terdapat kecenderungan familial. 1

b. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis

Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motork kecuali pada tahap
lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme,mioklonus,atau
berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, Demensia dengan Lewy Body
(DLB),atau demensia multi-infark.2

c. Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikiatrik

Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif
adalah the mini mental status examination (MMSE),yang dapat pula digunakan untuk
memantau perjalanan penyakit. Pada penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori
episodik, category generation (menyebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit),
dan kemampuan visuokonstruktif.

Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual sering merupakan abnormalitas
neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer, dan tugas yang membutuhkan
pasien untuk menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu
akan menunjukkan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer.3

10
Tabel 1. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer

Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:


- Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the
mini-mental test,Blessed Dementia Scale,atau pemeriksaan sejenis,dan dikonfirmasi oleh
tes neuropsikologis
- Defisit pada dua atau lebih area kognitif
- Tidak ada gangguan kesadaran
- Awitan antara umur 40 dan 90,umunya setelah umur 65 tahun
- Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit
progresif pada memori dan kognitif
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
- Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia,apraksia,dan agnosia
- Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
- Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama,terutama bila sudah dikonfirmasi secara
neuropatologi
- Hasil laboratorium yang menunjukkan
- Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG,seperti peningkatan atktivitas
slow-wave
- Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh
pemeriksaan serial
Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer,setelah
mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
- Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
- Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi,insomnia,inkontinensia,delusi,
halusinasi,verbal katastrofik,emosional,gangguan seksual,dan penurunan berat badan
- Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien,terutama pada penyakit tahap lanjut,seperti
peningkatan tonus otot,mioklunus,dan gangguan melangkah
- Kejang pada penyakit yang lanjut
- Pemeriksaan CT normal untuk usianya
Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok adalah:
- Onset yang mendadak dan apolectic
- Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,gangguan sensorik,defisit lapang
pandang,dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit;dan kehang atau gangguan melangkah
pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
- Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia,tanpa adanya gangguan neurologis
psikiatrik,atau sistemik alin yang dapat menyebabkan demensia,dan adandya variasi pada
awitan,gejala klinis,atau perjalanan penyakit
- Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk
menyebabkan demensia,namun penyebab primernya bukan merupakan penyabab demensia
Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
- Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
- Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau atutopsi
Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran
khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer,seperti:
- Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
- Awitan sebelum usia 65 tahun
- Adanya trisomi-21
- Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson

11
Tabel 2. Kriteria diagnostik penyakit demensia menurut DSM-V ( Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, five revision).11

a. Bukti signifikan pada kemunduran kognisi dari tingkat sebelumnya dalam satu atau lebih
kognisi (perhatian kompleks, fungsi belajar dan memori, bahasa, persepsi dan kognisi
sosial) berdasarkan:
1. Perhatian individu, informasi dan kemunduran signifikan pada kognisi
2. Perburukan kognisi yang didokumentasikan oleh tes neuropsikologi yang
terstandarisasi

b. Defisit kognisi yang berhubungan dengan ketergantungan pasien kepada orang lain dalam
melakukan aktivitas sehari-hari

c. Defisit kognisi tidak terjadi semata-mata dalam keadaan delirium

d. Defisit kognisi tidak lebih baik dijelaskan dalam gangguan mental lainnya (gangguan
depresi berat, skizofrenia)

Derajat tingkat berat penyakit antara lain:


Ringan: Kesulitan dalam aktivitas instrumental dalam kehidupan sehari-hari (seperti pekerjaan
rumah, majamen keuangan, dll)
Sedang: Kesulitan dalam aktivitas dasar sehari-hari (seperti makan, berpakaian, dll)
Berat : Ketergantungan penuh pada orang lain dalam setiap aktivitasnya

12
Tabel 3. Kriteria diagnostik penyakit Alzheimer menurut DSM-V ( Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, five revision).11

A. Kriteria terpenuhi untuk gangguan neurokognitif mayor atau gangguan ringan


neurokognitif.
B. Ada onset pelahan menjadi perburukan dan progresif penurunan bertahap
dalam satu atau lebih fungsi kognitif (untuk gangguan neurokognitif,
setidaknya dua domain harus terganggu).
C. Kriteria terpenuhi untuk kemungkinan penyakit Alzheimer atau kemungkinan
sebagai berikut:
Untuk gangguan neurokognitif :
Probable penyakit Alzheimer didiagnosis jika salah satu dari berikut ini;
jika tidak, possible penyakit Alzheimer harus didiagnosis.
1. Bukti adanya mutasi genetik penyakit penyebab Alzheimer dari riwayat
keluarga atau pengujian genetik.
2. Ketiga hal berikut ini:
a. Bukti yang jelas tentang penurunan memori dan pembelajaran dan
setidaknya satu kognitif lainnya domain (berdasarkan rinci riwayat atau
pengujian neuropsikologis serial).
b. Kemunduran progresif dan bertahap dalam kognisi, tanpa waktu panjang.
c. Tidak ada bukti etiologi campuran (yaitu tidak adanya neurodegenerative
atau penyakit serebrovaskular, atau penyakit neurologis, mental, sistemik atau
kondisi yang mungkin berkontribusi pada penurunan kognitif).

Untuk gangguan neurokognitif ringan:


Probable penyakit Alzheimer didiagnosis jika ada bukti penyebab Alzheimer
mutasi genetik dari pengujian genetik atau riwayat keluarga.
possible penyakit Alzheimer didiagnosis jika tidak ada bukti penyebab
Alzheimer akibat mutasi genetik dari pengujian genetik atau riwayat keluarga,
dan semua tiga dari yang berikut ini hadir:
1. Bukti yang jelas tentang penurunan memori dan pembelajaran.
2. Kemunduran terus menerus bertahap dalam kognisi, tanpa masa stabil yang
panjang.
3. Tidak ada bukti etiologi campuran (yaitu tidak adanya neurodegeneratif
atau serebrovaskular lainnya atau penyakit atau kondisi neurologis atau
sistemik lainnya yang berkontribusi terhadap penurunan kognitif).
D. Gangguan ini tidak lebih baik oleh penyakit serebrovaskular, penyakit
neurodegeneratif lain, efek suatu zat, mental, neurologis, atau sistemik
lainnya.

13
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah CT/MRI kepala. Pemeriksaan ini
dapat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder,lokasi area infark,hematoma subdural,dan
memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan-normal atau penyakit white matter yang luas.
MRI dan CT juga dapat mendukung diagnosis penyakit Alzheimer,terutama bila terdapat atrofi
hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus. Single Photon Emission Computed
Tomography (SPECT) dan Positron Emission Tomography (PET) dapat menunjukkan
hipoperfusi atau hipometabolisme temporal-parietal pada penyakit Alzheimer.2

1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi.
Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya
berkisar 1000 gr (850-1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih
menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital,
korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937).
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:
a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang
berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada
neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari
inti batang otak. NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada
otak manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal,
supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.

b. Senile plaque (SP)


Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang
berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia.
Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan
kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala,
hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer,
korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat
pada jaringan perifer.

14
Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan
kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan
gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit
alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada
neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus,
amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia
nigra.Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan
sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus
raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis. Telah ditemukan faktor pertumbuhan
saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan
ini merupakan harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser
nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan
SP, perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan
insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus,
serebelum dan batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal,
gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis,
temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas
yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit
parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit
alzheimer.

2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif
umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga
bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang
berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan
pengertian berbahasa.

15
Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi Alzheimer yang
penting karena:
a. Adanya Alzheimer kognisi yang berhubungan dgn demensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan deficit selektif yang
diakibatkan oleh disfungsi fokal, Alzhei Alzheimer, dangangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh
demensia karena berbagai penyebab.
3. CT Scan dan MRI
Merupakan metode non Alzheimer yang beresolusi tinggi untuk melihat
kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem.
Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab
demensia lainnya selain Alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi
kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker
dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan
pada demensia lainnya seperti multiinfark, Alzheimer, binswanger sehingga kita sukar
untuk membedakan dengan penyakit Alzheimer.

Gambar 2.1 CT – Brain Normal dan Alzheimer

Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan


beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan
peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn
pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain

16
didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal
seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan
fissura sylvii.
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari
penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari
hipokampus.

4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada
penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang
non spesifik.

5. PET (Positron Emission Tomography)


Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah,
metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada
regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan selalu
dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi.

6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)


Aktivitas I. 123 terendah pada regio parietal penderita alzheimer. Kelainan ini
berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua
pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.

7. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit
demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi
renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan
secara selektif.

2.7.Diagnosis Banding

Demensia harus dibedakan dengan delirium, depresi , normal aging. Kondisi klinis
lainnya harus dibedakan adalah pengaruh obat – obatan dan defisit sensori pada orang tua.

17
Beberapa obat yang menimbulkan confusi adalah opiat, benzodiasepin, neuroleptik,
antikolinergik, H2 blockers dan kortikostreoid. Gangguan sensoris pada orang tua seperti
impairment of hearing dan vision juga sering menyebabkan identifikasi yang salah dengan
demensia. Demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi dan parkinson.8

2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah mengobati
penyebab demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan
mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya. Bila pasien cenderung depresi ketimbang
demensia, maka depresi harus diatasi dengan adekuat. Anti depresi yang mempunyai efek
samping minimal terhadap fungsi kognitif, seperti serotonin selective receptors inhibitor
(SSRI), lebih dianjurkan pada pasien demensia dengan gejala depresi.1 Imobilisasi, asupan
makanan yang kurang, nyeri, konstipasi, infeksi, dan intoksikasi obat adalah beberapa faktor
yang dapat mencetuskan gangguan perilaku,dan bila diatasi maka tidak perlu memberikan
obat-obatan antipsikosis.

a. Terapi Suportif

- berikan perawatan fisik yang baik, misalnya nutrisi yang bagus, alat bantu dengar, alat
proteksi ( untuk anak tangga, kompor dan obat – obatan).

- bantulah untuk pertahanan pasien alam lingkungan, jika memungkinkan usahakan pasien
dikelilingi teman – teman lamanya.
- bantulah untuk mempertahankan rasa percaya diri pasien
- hindari suasana yang remang – remang, terpencil, juga hindari stimulasi yang berlebihan.

b. Terapi Simtomatik

 Ansietas akut, kegelisahan. Agresi, agitasi : haloperidol 0, 5 mg peroral 3 kali sehari


(atau kurang ), risperidon 1mg peroral sehari. Hentikan setelah 4 -6 minggu
 Ansietas non psikotik , agitasi : diazepam 2 mg peroral 2 kali sehari , venlafaxin XR .
hentikan setelah 4 -6 minggu
 Agitasi kronik : SSRI (fluoxetine ) 10 mg – 20 mg / hari atau buspiron 15 mg 2 kali
sehari, juga pertimbangankan beta bloker dosis rendah
 Depresi pertimbangkan SSRI dan antidepresaan baru lainnya dahulu dengan trisklik
mulai perlahan dan tingkatkan sampai ada efek desipramin 75 – 150 mg peroral sehari.
 InsomniaPerlu hipnotik atau antidepresan yang bersifat sedatif. 10

18
c. Terapi Khusus

Pengobatan untuk Mempertahankan Fungsi Kognitif

Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi
efektivitasnya. Selain mengatasi gejala perubahan tingkah lau dan membangun “rapport”
dengan pasien, anggota keluarga, dan pramuwerdha, saat ini fokus pengobatan adalah pada
defisit sistem kolinergik.

Tabel 4. Obat – obatan yang dipergunakaan untuk menghambat penurunan dan memperbaiki fungsi
kognitif pada demensia dan gangguan kognitif ringan.8

nama obat

karakteristik
donepezil rivastigmin galantamin mematin
mekanisme kerja
Inhibitior Inhibitior Inhibitior Antagonis
kolinesterase kolinesterase kolinesterase reseptor- NMDA

Waktu untuk
mencapai konsentrasi 3- 5 0,5 – 2 0,5 – 1 3 -7
maksimal (jam )

Absorpsi dipengaruhi Tidak Ya Ya Tidak


makanan

Waktu paruh serum


70 -80 2 5-7 60- 80
( jam )
Metabolisme Sitokrom P- 450 Non – hepatik Sitokrom P- 450
Non – hepatik
Dosisi (inisiasi / 1x5mg 2x1,5 mg 2x4 mg
2x 5 mg
maksimal)
1x10mg 2x6 mg 2x12mg
2x 10mg

Kolinesterase inhibitor Tacrine (tetrahydroaminoacridine), donepezil, rivastigmin,dan


galantamin adalah kolinesterasi inhibitor yang telah disetujui U.S Food and Drug
Administration (FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer. Efek farmakologik obat-obatan
ini adalah dengan menghambat enzim kolinesterase, dengan meningkatnya kadar asetilkolin di
jaringan otak. Dari keempat obat tersebut,tacrine saat ini jarang digunakan karena efek
sampingnya ke organ hati (hepatotoksik). Donepezil dimulai pada dosis 5mg perhari,dan dosis
dinaikkan menjadi 10mg perhari setelah satu bulan pemakaian. Dosis rivastagmin dinaikkan
dari 1,5mg dua kali perhari menjadi 3mg dua kali perhari, kemudian 4,5mg dua kali perhari,
sampai dosis maksimal 6mg dua kali sehari. Dosis dapat dinaikkan pada interval antara satu

19
sampai empat minggu, efek samping umumnya lebih minimal bila peningkatan dosisnya
dilakukan lebih lama. Sementara galantamin diberikan dengan dosis awal 4mg dua kali perhari,
untuk dinaikkan menjadi 8mg dua kali perhari dan kemudian 12mg perhari. Seperti
rivastigmin, interval peningkatan dosis yang lebih lama akan meminimalkan efek samping
yang terjadi. Dosis harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5 sampai 10mg untuk
donepezil, 6 sampai 12mg untuk rivastigmin,dan 16 sampai 24mg untuk galantamin.

Efek samping yang dapat timbul pada pemakaian obat-obatan kolinesterase inhibitor ini antara
lain adalah mual, muntah, dan diare, dapat pula timbul penurunan berat badan, insomnia,
mimpi abnormal, kram otot, bradikardia, sinkop, dan fatigue. Efek-efek samping tersebut
umumnya muncul saat awal terapi,dapat dikurangi bila interval peningkatan dosisnya
diperpanjang dan dosis rumatan diminimalkan. Efek samping pada gastrointestinal juga dapat
diminimalkan bila obat-obat tersebut diberikan bersamaan dengan makan. Penggunaan
bersama-sama lebih dari satu kolinesterase iinhibitor pada saat yang bersamaan belum pernah
diteliti dan tidak dianjurkan. Kolinesterase inhibitor umumnya digunakan bersama-sama
dengan memantin dan vitamin E.2,3

Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik adalah alfa
tokoferol (vitamin E). Pemberian vitamin E pada satu penelitian dapat memperlambat progresi
penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E telah banyak digunakan sebagai terapi
tambahan pada pasien dengan penyakit Alzheimer dan demensia tipe lain karena harganya
murah dan dianggap aman. Dengan mempertimbangkan stres oksidatif sebagai salah satu dasar
proses menua yang terlibat pada patofisiologi penyakit Alzheimer, ditambah hasil yang didapat
pada beberapa studi epidemiologis, vitamin E bahkan digunakan sebagai pencegahan primer
demensia pada individu dengan fungsi kognitif normal. Namun suatu studi terakhir gagal
membuktikan perbedaan efek terapi antara vitamin E sebagai obat tunggal dan plasebo
terhadap pencegahan penurunan fungsi kognitif pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi
kognitif ringan. Efek terapi vitamin E pada pasien demensia maupun gangguan kognitif ringan
tampaknya hanya bermanfaat bila dikombinasikan dengan kolinesterase inhibitor.1

Memantin adalah obat yang saat ini juga telah disetujui oleh FDA sebagai terapi pada
demensia sedang dan berat, suatu antagonis N-metil-D-aspartat. Efek terapinya diduga adalah
melalui pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus. Bila
memantin ditambahkan pada pasien Alzheimer yang telah mendapat kolinesterase inhibitor
dosis tetap, didapatkan perbaikan fungsi kognitif, berkurangnya penurunan status

20
fungsional,dan berkurangnya gejala perubahan perilaku baru bila dibandingkan penambahan
plasebo.2

Dengan adanya bukti bahwa proses inflamasi pada jaringan otak terlibat pada
patogenesis timbulnya penyakit Alzheimer, maka beberapa penelitian mencoba mendapatkan
manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal pencegahan maupun terapi demensia
Alzheimer. Hasil negatif (tidak berbeda dengan plasebo) ditunjukkan baik pada prednison,
refocoxib, maupun naproxen, sehingga sampai saat ini tidak ada data yang mendukung
penggunaan obat antiinflamasi dalam pengelolaan pasien demensia. Selain itu,walaupun
beberapa studi epidemiologik menduga bahwa terapi sulih-estrogen mungkin dapat
mengurangi insidensi demensia, namun penelitian klinis menunjukkan ternyata tidak ada
manfaatnya pada perempuan menopause. Beberapa obat lain yang dari beberapa studi
pendahuluan nampaknya punya potensi untuk dapat digunakan sebagai pencegahan dan
pengobatan demensia diantaranya ginko biloba, huperzin A (kolinesterase inhibitor),
imunisasi/vaksinasi terhadap penyakit ayloid, dan beberapa pendekatan yang bersifat
neuroprotektif. 3

2.9 Prognosis dan komplikasi

Rata – rata harapan hidup pasien dengan demensia sekitar 80 tahun dengan kisaran 1- 20 tahun.
Pasien dengan awitan dini atau memiliki riwayat demensia dalam keluarga progesifitasnya
lebih cepat 10- 15 % pasien berpotensi untuk kembali ke kondisi awal jika terapi dimulai
sebelum kerusakan otak permanen. Selainan itu demensia dapat menyebabkan malnutriasi,
resiko jatuh lebih tinggi serta rusaknya sosial pada kelurga lingkungan serta dapat diisolasi dari
lingkungan. 8

21
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Demensia adalah sindrom neurodegenerative yang timbul karena adanya kelainan yang bersifat
kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti kalkulasi, kapasitas
belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu.
Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan
motivasi.
Demensia Alzheimer merupakan demensia yang paling sering terjadi dan belum ada
penyembuhannya. Demensia vascular merupakan merupakan penyakit kedua setelah demensia
Alzaimer yang dapat menyebabkan demensia. Sebagai dokter kita perlu memberikan edukasi
terhadap pasien dan keluarga pasien. Menasihati keluarga pasien supaya sentiasa mendukung
dan bersabar.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Bird TD,Miller BL.Alzheimer’s disease and other dementias.Dalam: Kasper


DL,Braunwald E,Fauci AS,Hauser SL,Longo DL,penyunting. Harrison’s Principles
of Internal Medicine,Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill Medical Publishing
Division;2005.h.2393-406
2. Cummings JL. Alzheimer’s disease. N Engl J Med. 2004;351:56-67
3. Rochmach W,Harimurti K. Demensia.Dalam: Sudoyo A,Setiyohadi B,Alwi I,Setiati
S,penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-4.Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2006.h.1374-8
4. Prof. DR, Mahar Mardjono; Prof.DR, Priguna Sidharta; Dementia; neurolgi klinis
dasar; Dian rakyat; 2009 Bab VI halaman 211-213.
5. Dr George Dewanto,Sp.S; Dr wita J. Suwono, Sp.S; Dr Budi Riyanto, Sp.S; Dr Yuda
Turana, Sp.S Demensia Alzheimer, demensia Vaskular, Farmako terapi demensia;
Diagnosis & tatalaksana penyakit saraf; Departemen Ilmu penyakit saraf fakultas
kedokteran UNIKA ATMAJAYA; penerbit buku kedokteran 2009 Bab 12 hal 174-
183.
6. Processes which affect the brain; Dementia care center; Diunduh dari
http://www.dementiacarecentral.com/node/1458 pada 12/6/2018.
7. Alzheimer’S disease; neuropathology web; Diunduh dari http://neuropathology-
web.org/chapter9/chapter9bAD.html pada 12/6/2018.
8. Alwi Idrus, Salim S,Hidayat R, kurniawan J,Tahapary D; Gangguan kognitif ringan
dan demensia; panduan praktik klinis prosedur ilmu penyakit dalam;penerbit buku
kedokteran 2015 bab 5 hal 290- 296.
9. Agamemnon Despopoulos, M, & Stefan Silbernagl, M.D. (2003). Color Atlas of
Physiology (5th ed.). New York: Thieme.
10. Elvira SD, Hadisukanto G, 2010. Buku Ajar Psikiatri, Badan Penerbit FKUI, Jakarta.
11. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual of
Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric
Publishing. Washinton DC.

23

Anda mungkin juga menyukai