DEMENSIA ALZHEIMER
DISUSUN OLEH:
Desika Santi
406162047
PEMBIMBING:
dr. Noer Saelan Tadjuddin Sp.KJ
HALAMAN SAMPUL i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR TABEL iv
1.PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
2.TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Definisi 2
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi dan Patofisiologi 3
2.4 Gejala Klinik 5
2.5 Diagnosis 9
2.7 Diagnosa Banding 17
2.8 Penatalaksanaan 18
2.9 Prognsosis dan komplikasi 21
3. KESIMPULAN 22
DAFTAR PUSTAKA 23
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju,dan
telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif serta
makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Studi prevalensi
menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65 tahun, persentase orang
dengan penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap
pertambahan umur lima tahun. Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai, jumlah
pasien dengan penyakit Alzheimer di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000
menjadi 13,2 juta orang pada tahun 2050.1
Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena
awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain
itu pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi
pada awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu
hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya, penurunan fungsi kognitif terus
akan berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan
jatuh pada ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya. Saat ini telah disadari bahwa
diperlukan deteksi dini terhadap munculnya demensia, karena ternyata berbagai penelitian
telah menunjukkan bila gejala-gejala peurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat
dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar
tidak jatuh pada keadaan demensia.2
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia dimana demensia adalah
gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang
tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Pasien dengan demensia harus
mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak,
penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup berat
sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.2
Merupakan suatu kondisi “ sindrom predemensia “ (kondisi transisi fungsi kognisi antara
penuaan normal dan demensia ringan), yang pada berbagai studi telah dibuktikan sebagian
akan berlanjut menjadi demensia ( terutama demensia alzheimer) yang simtomatik. 8
Definisi demensia
Demensia ialah suatu sindrom yang terdiri dari gejala-gejala gangguan daya kognitif global
yang tidak disertai gangguan derajat kesadaran, namun bergandengan dengan perubahan tabiat
yang dapat berkembang secara mendadak atau sedikit demi sedikit pada tiap orang dari semua
golongan usia. Demensia dibagi menjadi 2 yaitu kortikal ( demensia alzheimer, penyakit
Creutzfeldt – jakob dan penyakit pick) , dan subkortikal ( huntington, parkinson).4,10
2
2.2 Epidemiologi
Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Setelah usia 65
tahun,prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertumbuhan usia lima tahun. Secara
keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6%.
Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer,
sedangkan di Asia diperkirakan demensia vaskular.1
Dari seluruh penuduk sentenarian di Jepang, 70% mengalami demensia dengan 76%-
nya menderita penyakit Alzheimer. Berbagai penelitian menunjukkan laju insidensi penyakit
Alzheimer meningkat secara eksponensial seiring bertambahnya umur, walaupun terjadi
penurunan insidensi pada usia 95 tahun yang diduga karena terbatasnya jumlah subyek di atas
usia 90 tahun.1
Saat ini, penyakit Alzheimer merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada populasi
lansia dan menduduki peringkat ke 4 sebagai penyebab kamatian. Lima puluh sampai enam
puluh persen penyebab demensia adalah penyakit Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi
dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di
transmisikan sebagaimana mestinya. Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori,
kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses berpikir.5
Proporsi perempuan yang mengalami penyakit Alzheimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki
(sekitar 2/3 pasien adalah perempuan). Hal ini disebabkan perempuan memiliki harapan hidup
lebih baik dan bukan karena perempuan lebih mudah menderita penyakit ini. Tingkat
pendidikan yang rendah juga disebutkan berhubungan dengan risiko terjadinya penyakit
Alzheimer. Faktor-faktor risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan
dengan penyakit Alzheimer adalah hiperetensi, diabetes melitus, dislipidemia, serta berbagai
faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi pembuluh darah otak.1,8
3
c. Faktor lingkungan seperti riwayat cedera kepala berat
d. Penyakit metabolic : obesitas, hiperlipedemi, dan diabetes mellitus.
Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik, neurofibrillary
tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakular, dan Hirano bodies. Plak neuritik
Mengandung b-amyloid ekstraselular yang dikelilingi neuritis distrofik, sementara olak difus
adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron.
Deteksi adanya Apo E di dalam plak b-amyloid dan studi mengenai ikatan high-avidity antara
Apo E dengan b-amylodi menunjukkan bukti hubungan antara amyloidogenesis dan Apo E.
Plak neuritik juga mengandung protein komplemen, mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin,
dan protein fase-akut, sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada patogenesis
penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode kromosom 21, menunjukkan hubungan potensial
patologi penyakit Alzheimer dengan sindrom Down yang diderita oleh semua pasien penyakit
Alzheimer yang muncul pada usia 40 tahun.3
Adanya dan jumlah plak senilis adalah satu gambaran patologis utama yang penting
untuk diagnosis penyakit Alzheimer. Sebenarnya jumlah plak meningkat seiring usia,dan plak
ini juga muncul di jaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia. Juga dilaporkan bahwa
satu dari tiga orang berusia 85 tahun yang tidak demensia mempunyai deposisi amyloid yang
cukup di korteks serebri untuk memenuhi kriteria diagnosis penyakit Alzheimer,namun apakah
ini mencerminkan fase preklinik dari penyakit masih belum diketahui.3
Lewy body adalah cytoplasmic inclusion intraneuron yang terwarnai dengan periodic
acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin,yang terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20nm
yang dikelilingi material amorfik. Lewy body dikenali melalui antigen terhadap protein
neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak terfosforilasi,ubiquitin,dan protein
presinap yang disebut α-synuclein. Jika pada seorang demensia tidak ditemukan gambaran
patologik selain adanya Lewy body maka kondisi ini disebut diffuse Lewy body
disease,semntara bila ditemukan juga plak amyloid dan neurofibrillary tangles maka disebut
varian Lewy body dari penyakit Alzheimer.2
4
Defisit neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer, juga pada demensia tipe lain,
adalah sistem kolinergik. Walaupun sistem noradrenergik dan serotonin, somatostatin-like
reactivity, dan corticotropin-releasing factor juga berpengaruh pada penyakit Alzheimer,
defisit asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi
yang tersedia saat ini untuk penyakit Alzheimer.3,8
Manifestasi Klinis penyakit Alzheimer terdiri atas manifestasi gangguan kognitif dan gangguan
psikiatrik serta perilaku. Gangguan kognitif awal yang terjadi adalah gangguan memori jangka
pendek. Gangguan ini akan diikuti dengan kesulitan berbahasa, disorientasi visuospasial dan
waktu, serta inatensi. Penderita mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-
harinya seiring perjalanan penyakit, akan muncul gangguan psikiatrik dan perilaku seperti
depresi, kecemasan, halusinasi, waham, dan perilaku agitasi.5
5
Gambar 1.2 efek Alzheimer’s Disease 9
b. Stadium II
Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebut stadium demensia. Gejalanya :
Disorientasi
Gangguan bahasa (afasia)
Penderita mudah bingung
Penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat melakukan
kegiatan sampai selesai, tidak mengenal anggota keluarganya tidak ingat sudah
melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi. Dan ada gangguan
visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungannya, depresi
berat prevalensinya 15-20 %.”
6
c. Stadium III
Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun. Gejala klinisnya
antara lain :
Penderita menjadi vegetative
Tidak bergerak dan membisu
Daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal keluarganya
sendiri
Tidak bisa mengendalikan buang air besar/ kecil
Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain
Kematian terjadi akibat infeksi atau trauma
a. Perubahan Struktural
Bagian otak yang mengecil
Ketika seseorang memiliki demensia, bagian dari otak mereka mengalami
kerusakan dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari penyakit Alzheimer, sel-sel
7
yang berada di otak mati, dan jaringan otak hilang. Hal ini mengakibatkan
pengurangan dalam ukuran otak secara keseluruhan.6
Otak terdiri dari tiga bagian: Cerebrum, cerebellum, dan brain stem (batang
otak), yang menerima oksigen dan darah melalui jaringan pembuluh darah. Korteks
adalah bagian dari lapisan luar cerebellum yang terlibat dengan memori,
interpretasi penglihatan dan suara, dan persepsi. Sebagai proses normal dari
perkembangan Alzheimer, terjadi penyusutan korteks, yang mengganggu
kegiatan korteks. Hippocampus yang bertanggung jawab untuk penerimaan
memori baru sering mengalami kerusakan yang paling parah. Pada tingkat
yang lebih lanjut, korteks mengalami kerusak yang lebih parah sehingga tidak dapat
mengenali orang yang dia sayang dan mengalami kesukaran berkomunikasi.6
Inflammation
Peradangan adalah respon normal terhadap trauma, namun tingkat peradangan di
otak akibat Alzheimer adalah excessive dan kontra-produktif, menyebabkan lebih
banyak kematian sel. Peradangan tersebut menyebabkan kematian sel-sel saraf,
dan juga dapat meningkatkan tangles. (Alzheimer Society 2008). 6
8
b. Perubahan Kimia
Perubahan kimia meliputi :
Kerusakan neuron yang membawa sinyal ke otak.
Sinyal yang dihantar diantara sinaps oleh neurotransmitter terganggu.
Hubungan antara sel-sel saraf otak menjadi terganggu.
Perubahan kimia mempengaruhi otak dalam banyak cara. Miliaran sel saraf
membawa sinyal pada triliunan titik di seluruh otak, ketika proses ini terganggu,
demikian juga tugas-tugas dasar otak, seperti berpikir, merasa, dan membentuk dan
mengingat kenangan.6
Perubahan kimia dan struktural berdampak diantara satu sama lain untuk
memperkuat kerusakan otak. Sebagian besar perubahan di otak bukan hasil dari satu
perubahan namun merupakan kombinasi dari keduanya.6
2.6 Diagnosis
Menegakkan penyakit Alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat. Untuk diagnosis klinis
penyakit Alzheimer diterbitkan suatu konsensus oleh the National Institute of Neurological
and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer’s Disease and Related
Disorders Association (ADRDA). (Tabel 1)
9
a. Anamnesis
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset), lamanya, dan bagaimana laju progresi
penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai
dengan gejala memori, tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan,
berbelanja, mengikuti perintah, menemukan kata, atau mengemudi. Perubahan kepribadian,
disinhibisi, peningkatan berat badan atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-
temporal dementia (FTD), bukan penyakit Alzheimer. Pada pasien yang menderita penyakit
serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit
Alzheimer, demensia multi-infark, atau campuran keduanya.3 Bila dikaitkan dengan berbagai
penyebab demensia, maka anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai fator risiko seperti
trauma kepala berulang, infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis ,konsumsi alkohol berlebihan,
intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik, serta penggunaan obat-obat jangka panjang
(sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari
evaluasi,mengingat bahwa pada penyakit Alzheimer terdapat kecenderungan familial. 1
Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motork kecuali pada tahap
lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme,mioklonus,atau
berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, Demensia dengan Lewy Body
(DLB),atau demensia multi-infark.2
Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif
adalah the mini mental status examination (MMSE),yang dapat pula digunakan untuk
memantau perjalanan penyakit. Pada penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori
episodik, category generation (menyebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit),
dan kemampuan visuokonstruktif.
Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual sering merupakan abnormalitas
neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer, dan tugas yang membutuhkan
pasien untuk menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu
akan menunjukkan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer.3
10
Tabel 1. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer
11
Tabel 2. Kriteria diagnostik penyakit demensia menurut DSM-V ( Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, five revision).11
a. Bukti signifikan pada kemunduran kognisi dari tingkat sebelumnya dalam satu atau lebih
kognisi (perhatian kompleks, fungsi belajar dan memori, bahasa, persepsi dan kognisi
sosial) berdasarkan:
1. Perhatian individu, informasi dan kemunduran signifikan pada kognisi
2. Perburukan kognisi yang didokumentasikan oleh tes neuropsikologi yang
terstandarisasi
b. Defisit kognisi yang berhubungan dengan ketergantungan pasien kepada orang lain dalam
melakukan aktivitas sehari-hari
d. Defisit kognisi tidak lebih baik dijelaskan dalam gangguan mental lainnya (gangguan
depresi berat, skizofrenia)
12
Tabel 3. Kriteria diagnostik penyakit Alzheimer menurut DSM-V ( Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, five revision).11
13
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah CT/MRI kepala. Pemeriksaan ini
dapat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder,lokasi area infark,hematoma subdural,dan
memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan-normal atau penyakit white matter yang luas.
MRI dan CT juga dapat mendukung diagnosis penyakit Alzheimer,terutama bila terdapat atrofi
hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus. Single Photon Emission Computed
Tomography (SPECT) dan Positron Emission Tomography (PET) dapat menunjukkan
hipoperfusi atau hipometabolisme temporal-parietal pada penyakit Alzheimer.2
1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi.
Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya
berkisar 1000 gr (850-1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih
menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital,
korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937).
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:
a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang
berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada
neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari
inti batang otak. NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada
otak manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal,
supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
14
Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan
kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan
gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit
alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada
neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus,
amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia
nigra.Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan
sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus
raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis. Telah ditemukan faktor pertumbuhan
saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan
ini merupakan harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser
nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan
SP, perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan
insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus,
serebelum dan batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal,
gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis,
temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas
yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit
parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit
alzheimer.
2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif
umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga
bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang
berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan
pengertian berbahasa.
15
Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi Alzheimer yang
penting karena:
a. Adanya Alzheimer kognisi yang berhubungan dgn demensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan deficit selektif yang
diakibatkan oleh disfungsi fokal, Alzhei Alzheimer, dangangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh
demensia karena berbagai penyebab.
3. CT Scan dan MRI
Merupakan metode non Alzheimer yang beresolusi tinggi untuk melihat
kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem.
Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab
demensia lainnya selain Alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi
kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker
dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan
pada demensia lainnya seperti multiinfark, Alzheimer, binswanger sehingga kita sukar
untuk membedakan dengan penyakit Alzheimer.
16
didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal
seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan
fissura sylvii.
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari
penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari
hipokampus.
4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada
penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang
non spesifik.
7. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit
demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi
renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan
secara selektif.
2.7.Diagnosis Banding
Demensia harus dibedakan dengan delirium, depresi , normal aging. Kondisi klinis
lainnya harus dibedakan adalah pengaruh obat – obatan dan defisit sensori pada orang tua.
17
Beberapa obat yang menimbulkan confusi adalah opiat, benzodiasepin, neuroleptik,
antikolinergik, H2 blockers dan kortikostreoid. Gangguan sensoris pada orang tua seperti
impairment of hearing dan vision juga sering menyebabkan identifikasi yang salah dengan
demensia. Demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi dan parkinson.8
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah mengobati
penyebab demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan
mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya. Bila pasien cenderung depresi ketimbang
demensia, maka depresi harus diatasi dengan adekuat. Anti depresi yang mempunyai efek
samping minimal terhadap fungsi kognitif, seperti serotonin selective receptors inhibitor
(SSRI), lebih dianjurkan pada pasien demensia dengan gejala depresi.1 Imobilisasi, asupan
makanan yang kurang, nyeri, konstipasi, infeksi, dan intoksikasi obat adalah beberapa faktor
yang dapat mencetuskan gangguan perilaku,dan bila diatasi maka tidak perlu memberikan
obat-obatan antipsikosis.
a. Terapi Suportif
- berikan perawatan fisik yang baik, misalnya nutrisi yang bagus, alat bantu dengar, alat
proteksi ( untuk anak tangga, kompor dan obat – obatan).
- bantulah untuk pertahanan pasien alam lingkungan, jika memungkinkan usahakan pasien
dikelilingi teman – teman lamanya.
- bantulah untuk mempertahankan rasa percaya diri pasien
- hindari suasana yang remang – remang, terpencil, juga hindari stimulasi yang berlebihan.
b. Terapi Simtomatik
18
c. Terapi Khusus
Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi
efektivitasnya. Selain mengatasi gejala perubahan tingkah lau dan membangun “rapport”
dengan pasien, anggota keluarga, dan pramuwerdha, saat ini fokus pengobatan adalah pada
defisit sistem kolinergik.
Tabel 4. Obat – obatan yang dipergunakaan untuk menghambat penurunan dan memperbaiki fungsi
kognitif pada demensia dan gangguan kognitif ringan.8
nama obat
karakteristik
donepezil rivastigmin galantamin mematin
mekanisme kerja
Inhibitior Inhibitior Inhibitior Antagonis
kolinesterase kolinesterase kolinesterase reseptor- NMDA
Waktu untuk
mencapai konsentrasi 3- 5 0,5 – 2 0,5 – 1 3 -7
maksimal (jam )
19
sampai empat minggu, efek samping umumnya lebih minimal bila peningkatan dosisnya
dilakukan lebih lama. Sementara galantamin diberikan dengan dosis awal 4mg dua kali perhari,
untuk dinaikkan menjadi 8mg dua kali perhari dan kemudian 12mg perhari. Seperti
rivastigmin, interval peningkatan dosis yang lebih lama akan meminimalkan efek samping
yang terjadi. Dosis harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5 sampai 10mg untuk
donepezil, 6 sampai 12mg untuk rivastigmin,dan 16 sampai 24mg untuk galantamin.
Efek samping yang dapat timbul pada pemakaian obat-obatan kolinesterase inhibitor ini antara
lain adalah mual, muntah, dan diare, dapat pula timbul penurunan berat badan, insomnia,
mimpi abnormal, kram otot, bradikardia, sinkop, dan fatigue. Efek-efek samping tersebut
umumnya muncul saat awal terapi,dapat dikurangi bila interval peningkatan dosisnya
diperpanjang dan dosis rumatan diminimalkan. Efek samping pada gastrointestinal juga dapat
diminimalkan bila obat-obat tersebut diberikan bersamaan dengan makan. Penggunaan
bersama-sama lebih dari satu kolinesterase iinhibitor pada saat yang bersamaan belum pernah
diteliti dan tidak dianjurkan. Kolinesterase inhibitor umumnya digunakan bersama-sama
dengan memantin dan vitamin E.2,3
Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik adalah alfa
tokoferol (vitamin E). Pemberian vitamin E pada satu penelitian dapat memperlambat progresi
penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E telah banyak digunakan sebagai terapi
tambahan pada pasien dengan penyakit Alzheimer dan demensia tipe lain karena harganya
murah dan dianggap aman. Dengan mempertimbangkan stres oksidatif sebagai salah satu dasar
proses menua yang terlibat pada patofisiologi penyakit Alzheimer, ditambah hasil yang didapat
pada beberapa studi epidemiologis, vitamin E bahkan digunakan sebagai pencegahan primer
demensia pada individu dengan fungsi kognitif normal. Namun suatu studi terakhir gagal
membuktikan perbedaan efek terapi antara vitamin E sebagai obat tunggal dan plasebo
terhadap pencegahan penurunan fungsi kognitif pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi
kognitif ringan. Efek terapi vitamin E pada pasien demensia maupun gangguan kognitif ringan
tampaknya hanya bermanfaat bila dikombinasikan dengan kolinesterase inhibitor.1
Memantin adalah obat yang saat ini juga telah disetujui oleh FDA sebagai terapi pada
demensia sedang dan berat, suatu antagonis N-metil-D-aspartat. Efek terapinya diduga adalah
melalui pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus. Bila
memantin ditambahkan pada pasien Alzheimer yang telah mendapat kolinesterase inhibitor
dosis tetap, didapatkan perbaikan fungsi kognitif, berkurangnya penurunan status
20
fungsional,dan berkurangnya gejala perubahan perilaku baru bila dibandingkan penambahan
plasebo.2
Dengan adanya bukti bahwa proses inflamasi pada jaringan otak terlibat pada
patogenesis timbulnya penyakit Alzheimer, maka beberapa penelitian mencoba mendapatkan
manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal pencegahan maupun terapi demensia
Alzheimer. Hasil negatif (tidak berbeda dengan plasebo) ditunjukkan baik pada prednison,
refocoxib, maupun naproxen, sehingga sampai saat ini tidak ada data yang mendukung
penggunaan obat antiinflamasi dalam pengelolaan pasien demensia. Selain itu,walaupun
beberapa studi epidemiologik menduga bahwa terapi sulih-estrogen mungkin dapat
mengurangi insidensi demensia, namun penelitian klinis menunjukkan ternyata tidak ada
manfaatnya pada perempuan menopause. Beberapa obat lain yang dari beberapa studi
pendahuluan nampaknya punya potensi untuk dapat digunakan sebagai pencegahan dan
pengobatan demensia diantaranya ginko biloba, huperzin A (kolinesterase inhibitor),
imunisasi/vaksinasi terhadap penyakit ayloid, dan beberapa pendekatan yang bersifat
neuroprotektif. 3
Rata – rata harapan hidup pasien dengan demensia sekitar 80 tahun dengan kisaran 1- 20 tahun.
Pasien dengan awitan dini atau memiliki riwayat demensia dalam keluarga progesifitasnya
lebih cepat 10- 15 % pasien berpotensi untuk kembali ke kondisi awal jika terapi dimulai
sebelum kerusakan otak permanen. Selainan itu demensia dapat menyebabkan malnutriasi,
resiko jatuh lebih tinggi serta rusaknya sosial pada kelurga lingkungan serta dapat diisolasi dari
lingkungan. 8
21
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Demensia adalah sindrom neurodegenerative yang timbul karena adanya kelainan yang bersifat
kronis dan progresif disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti kalkulasi, kapasitas
belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu.
Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan
motivasi.
Demensia Alzheimer merupakan demensia yang paling sering terjadi dan belum ada
penyembuhannya. Demensia vascular merupakan merupakan penyakit kedua setelah demensia
Alzaimer yang dapat menyebabkan demensia. Sebagai dokter kita perlu memberikan edukasi
terhadap pasien dan keluarga pasien. Menasihati keluarga pasien supaya sentiasa mendukung
dan bersabar.
22
DAFTAR PUSTAKA
23