Anda di halaman 1dari 40

Modul 6

FITOFARMAKA DAN UJI FARMAKOLOGI OBAT

SKENARIO 6 : Cari Tau Fitofarmaka!

Feri merasakan sakit perut sejak tadi pagi. Lalu ibunya memberikan jamu kemasan yang biasa
diminum saat sakit perut dan mengoleskan minyak angin pada perut Feri. Beberapa jam
kemudian sakit perutnya sudah berkurang dan perutnya terasa lebih nyaman. Nenek Feri adalah
seorang penjual jamu, keluargaFeri jarang minum obat dokter jika sedang sakit. Ibu Feri lebih
memilih untuk meminum air rebusan tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah. Feri merupakan
mahasiswa FK tahun kedua, ia sedang mengerjakan tugas mengenai klasifikasi, taksonomi dan
nama zat aktif yang terkandung didalam tumbuhan. Selain itu, ia juga harus mencari informasi
mengenai logo produk sebagai berikut :

Setelah banyak membaca, Feri menemukan informasi bahwa sebelum dikonsumsi ternyata obat
harus menjalani serangkaian uji preklinik termasuk uji pada hewan coba seperti galur tertentu
pada mencit, kelinci, dan lain-lain serta menghitung dosis hewan coba ke manusia sehingga
diperlukan konsep dasar dan persiapan uji preklinik secara in vivo dan in vitro.Selanjutnya obat
memasuki tahap uji klinik yang harus memenuhi aspek etika antara lain adanya protokol yang
telah mendapatkan ethical clearance dari komisi etik penelitian.

Bagaimana Anda menjelaskan kasus di atas?

JUMP 1 : TERMINOLOGI

1. In vivo : uji in vivo yakni pengujian pada makhluk hidup (hewan) . Hewan yang
digunakan adalah hewan yang diketahui genetiknya atau dikenal dengan galur tertentu
dari mencit, tikus, kelinci, marmut, babi, anjing atau primate.
2. Fitofarmaka : Fitofarmaka adalah obat tradisional yang telah teruji khasiatnya melalui uji
pra-klinis (pada hewan percobaan) dan uji klinis (pada manusia) serta terbukti
keamanannya melalui uji toksisitas.
3. Ethical clearance : merupakan keterangan tertulis yang diberikan oleh Komisi Etik
Penelitian untuk riset yang melibatkan makhluk hidup yang menyatakan bahwa suatu
proposal riset layak dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu.
4. In vitro : adalah pengujian “kandidat” obat diluar tubuh makhluk hidup. Pengujian ini
dilakukan pada kultur bakteri, sel terisolasi atau organ terisolasi. Jika hasilnya positif, kan
dilanjutkan dengan uji in vivo

JUMP 2 : RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa saat feri sakit perut, ibu memberikan jamu kemasan yang biasa diminum saat
sakit perut dan mengoleskan minyak angin pada perut feri?
Jawab :
Krna keluarganya mempercayai bahwa jamu dan minyak kayu putih dpt mengurangi
keluhan yg di alami feri.

2. Mengapa beberapa jam kemudian sakit perutnya sudah berkurang dan perutnya terasa
lebih nyaman?
Jawab :
Karena Sakit perut mulai berkurang akibat pemakaian minyak kayu putih dan minum
jamu karena pada kasus sakit perut biasa, memakai minyak kayu putih dan jamu tertentu
dapat membantu perut menjadi lebih nyaman dan sifat karminatif yang dimiliki minyak
kayu putih bisa membatasi pembentukan gas, serta membantu menghilangkan gas yang
sudah terbentuk di usus sehingga perut kembung pun teratasi. Efek hangat yang diberikan
oleh sineol juga membantu meredakan masuk angin

3. Bagaimana tanggapan mengenai keluarga Feri jarang minum obat dokter jika sedang
sakit dan Ibu Feri yang lebih memilih untuk meminum air rebusan tumbuh-tumbuhan
dan rempah-rempah?
Jawab :
 Masyarakat Indonesia masih percaya pada obat herbal.
 penggunaan obat herbal di Indonesia berhubungan pula dengan banyaknya jenis
tumbuhan di negeri ini
 Pemanfaatan herba dalam dunia kesehatan dapatdiklasifikasikan dalam tiga
kelompok, yaitu sebagai jamu, herbalterstandar dan fitofarmaka.
 Jamu adalah ramuan yang terbuat daribahan-bahan alam yang dibuat untuk
dikonsumsi dalam upayameningkatkan vitalitas atau mengatasi permasalahan
kesehatan.
 Jamu dipandang berkhasiat berdasarkan pengalaman dan penuturandari generasi
ke generasi, dan dapat dikatakan terkonservasi di masyarakat berdasarkan
pengalaman empirik masyarakat terhadapkhasiat jamu.
 Jamu dapat ditingkatkan statusnya mejadiherba terstandar.
 Herbal terstandar adalah bahan-bahan obat alam yang telahdiuji dan ada dalam
sediaan berupa ekstrak dengn proses pembuatanyang telah terstandarisasi
 Herbal terstandar harus melewati uji praklinisseperti seperti uji toksisitas, kisaran
dosis, farmakodinamik danaspek terkait teratogenik
 Fitofarmaka adalah obat berbahan tumbuhan -terutama herbalalam- yang telah
diuji keamanan dan khasiatnya tanaman obat
Sebagian orang lebih percaya untuk menggunakan obat herbal, karena dianggap bersifat
alami, sehingga bebas dari efek samping yang tidak diinginkan. Padahal, meski tanaman
obat telah lama digunakan dan dipercaya aman, bukan berarti obat herbal tidak memiliki
potensi untuk menyebabkan efek samping dan keracunan. Sebaliknya, justru bisa lebih
berbahaya daripada obat modern.
Hal tersebut dikarenakan tidak semua obat herbal telah memiliki bukti uji klinis yang
cukup melalui penelitian. Kebanyakan obat herbal bersifat tradisional. Artinya manfaat
dan takaran pemberiannya bisa saja hanya berdasarkan perkiraan dan ilmu turun temurun
dari leluhur, tanpa memerhatikan kontraindikasi, efek samping, dan dosis maksimal
pemberiannya.
Alasan lain orang lebih memilih menggunakan obat herbal, karena umumnya obat jenis
ini lebih murah dan terjangkau dibandingkan obat modern. Padahal, saat ini obat modern
juga tersedia dalam bentuk obat generik, yang harganya relatif lebih murah dan mudah
didapatkan. Dibanding obat modern, obat herbal umumnya memiliki reaksi yang lebih
lambat dalam proses pengobatan.
4. Apa saja contoh tumbuh-tumbuhan dan rempah yang dapat digunakan sebagai obat
jamu/obat tradisional?
Jawab :
tanaman obat, sejatinya herba juga dapatberfungsi sebagai rempah-rempah 🡪 terutama
pada kelompok-kelompok empon-emponan dan umbi lapis, Jahe, kunir dan lengkuas,
bawang merah dan bawang putih, Biji yang bermanfaat sebagai rempah-rempah dan
sekaligus herbaantara lain adalah lada, adas, jinten dan ketumbar
Penggunaan herba sebagai tanaman obat banyak dikarenakan karena sifat-sifat tanaman
ataubagian tanaman yang secara empirik dapat menyembuhkan.
Lalu ada juga herba yang digunakan sebagai minuman yang menyehatkan. Di Indonesia,
wedang jahe, bandrek, ronde, bajigur,sekoteng, secang adalah contoh-contoh dari
minuman herbat tradisional yang telah dikenal luas.

5. Apa saja klasifikasi, taksonomi dan nama zat aktif yang terkandung didalam tumbuhan?
Jawab :
Tanaman temulawak (Curcuma zanthorhiza L.)
Kingdom : plantae
Divisi : sphermatophyta
Sub divisi : angiospermae
Famili : Zingirbecae
Genus : curcuma
nama zat aktif yang terkandung didalam tumbuhan à Kurkuminoid adalah kelompok
senyawa fenolik yang terkandung dalam rimpang tanaman famili Zingiberaceae antara
lain : Curcuma longasyn, Curcuma domestica (kunyit) dan Curcuma zanthorhiza
(temulawak). Kandungan utama dari kurkuminoid adalah kurkumin yang berwarna
kuning.

6. Informasi apa yang didapati mengenai logo produk seperti yg disekenario?


Jawab :
Logo 1 (penandaan jamu) = Jamu adalah obat tradisional Indonesia berdasarkan data
empiris dan tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis. Akan tetapi,
tetapi harus memenuhi
kriteria keamanan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan, khasiatnya telah
terbukti
berdasarkan data empiris serta harus memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jamu
umumnya terdiri dari 5-50 tanaman obat dalam serbuk, pil, minuman ataupun cairan dari
beberapa tanaman.
Jamu harus memenuhi kriteria :
• aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
• klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.
• memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
• jenis klaim penggunaan harus diawali dengan kata- kata: ” Secara tradisional digunakan
untuk …”.
Contoh jamu bermerek adalah Kuku bima, Pegal linu, Gemuk sehat, Tolak angin, Tuntas,
Rapet wangi, Kuldon, Strong pas, Tolak Angin, Antangin Mint, Antangin Jahe merah,
Darsi, Enkasari, Batugin elixir, ESHA, Buyung upik, Susut perut, Selangking singset,
Herbakof, Curmino

Logo 2 (penandaan obat herbal terstandar) = Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah obat
tradisional yang telah dibuktikan khasiat dan keamanannya secara pra-klinis (terhadap
hewan percobaan) dan lolos uji toksisitas akut maupun kronis. OHT dibuat dari bahan
yang terstandar seperti ekstrak yang memenuhi parameter mutu serta dibuat dengan cara
higienis. Contohnya: Tolak angina, Diapet, Fitolac dan Lelap
OHT harus memenuhi kriteria :
• aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
• klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ praklinik (pada hewan percobaan).
• telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
• memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Contoh OHT yang beredar di Indonesia adalah Antangin JRG, OB Herbal, Mastin, Lelap,
Diapet.

Logo 3 (penandaan fitofarmaka) = Fitofarmaka adalah obat tradisional yang telah teruji
khasiatnya melalui uji pra-klinis (pada hewan percobaan) dan uji klinis (pada manusia)
serta terbukti keamanannya melalui uji toksisitas. Uji praklinik sendiri me;liputi beberapa
uji, yaitu: uji khasiat dan toksisitas, uji teknologi farmasi untuk menentukan identitas atau
bahan baku yang terstandarisasi.Fitofarmaka diproduksi secara higienis, bermutu sesuai
dengan standar yang ditetapkan. Contoh: Stimuno, Tensigard, Rheumaneer, X-gra dan
Nodia

Fitofarmaka memenuhi kriteria :


• aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
• klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ praklinik (pada hewan) dan klinik (pada
manusia).
• telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
• Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
• Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi.
Contoh fitofarmaka: Stimuno, Tensigard, Xgra, Nodiar, Inlacin, VipAlbumin plus,
Rheumaneer.

7. Bagaimana obat harus menjalani serangkaian uji preklinik termasuk uji pada hewan coba
seperti jalur tertentu pada mencit, kelinci, dan lain-lain?
Jawab :
 Ujipreklinik disebut juga studi pengembangan atau uji non klinik atau uji efek
farmakologik, dimana merupakan tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik
atau pengujian pada manusia
 Tujuan uji ini yaitu mengevaluasi keamanan suatu produk yang baru
 Uji preklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh
informasi tentang efek farmakologis, profil farmakokinetik dan toksisitas calon
obat
 Mulanya, dilakukan pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel
terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya bila dianggap perlu maka dilakukan uji
pada hewan
 Hewan yg baku digunakan adalah galur tertentu, seperti mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata.
 Penelitian pada hewan ini dapat diketahui apakah obat aman atau menimbulkan
efek toksik pada dosis pengobatan, lalu juga dapat mempelajari sifat
farmakokinetik obat dari absorbs, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat.
 Semua hasil pengamatan pada hewan ini, menentukan apakah obat dapat
diteruskan dengan uji pada manusia.

8. Apa tujuan pre klinik?


Jawab :
Uji praklinik adalah merupakan persyaratan untuk uji calon obat. Uji ini memberikan
informasi tentang efikasi atau lebih di kenal efek farmakologi, profil farmakokinetika dan
toksisitas calon obat. Pada mulanya dilakukanpada uji pra klinik adalah pengujian ikatan
obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi (in vitro) dan
selanjutanya di lakukan dengan menggunakan hewan ( in vivo ).
Hewan yang biasanya digunakan dalam uji praklinik ini biasanya menggunakan mencit,
tikus, kelinci, marmut, hamster, monyet dan anjing.
Semua uji praklinik pada hewan akan di amati terus menerus yang nantinya apakah
menentukan dapat di teruskan atau tidak pengujian tersebut. kenapa uji ini memerlukan
dan di perlukan di karenakan akan dapat di ketahui obat ini menimbulkan efek samping
berupa keracunan atau tidak dan melihat dosis yang diperlukan untuk tepatnya pada
manusia.
Pengujian toksisitas praklinik meliputi :
Uji toksisitas akut pengujian berjalan selama 2 minggu dan terus diamati
Uji toksisitas sub-akut , jangka pengujian selama 3 bulan dan terus diamati dan di teliti
Uji toksisitas kronik, jangkan pengujian selama 6 bulan dan terus diamati dan di teliti
Uji toksisitas spesific, misalnya uji terategonis, uji mutagenesis dan karsiogenesis dan uji
iritasi kulit

9. Bagaimana obat memasuki tahap uji klinik yang harus memenuhi aspek etika antara lain
adanya protokol yang telah mendapatkan ethical clearance dari komisi etik penelitian?
Jawab :
Uji klinik adalah suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana sebelumnya
diawali oleh pengujian pada binatang atau uji pra klinik. Pada dasarnya uji klinik
memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada
manusia akibat pemberian suatu obat. Bila uji klinik tidak dilakukan maka dapat terjadi
malapetaka pada banyak orang bila langsung dipakai secara umum seperti pernah terjadi
dengan talidomid (1959-1962) dan obat kontrasepsi pria (gosipol) di Cina. Setiap obat
yang ditemukan melalui eksperimen in vitro atau hewan coba tidak terjamin bahwa
khasiatnya benar-benar akan terlihat pada penderita. Pengujian pada manusia sendirilah
yang dapat “menjamin” apakah hasil in vitro atau hewan sama dengan manusia.
Uji klinik terdiri dari 4 fase, yaitu uji klinik fase I.Uji klinik fase II, uji klinik fase III dan
uji klinik fase IV. Uji klinik fase I dilakukan pada manusia sehat, bertujuan untuk
menentukan dosis tunggal yang dapat diterima, Uji klinik fase II, dilakukan pada 100-200
orang penderita untuk melihat apakah efek farmakologik yang tampak pada fase I
berguna atau tidak untuk pengobatan. Uji klinik fase III dilakukan pada sekitar 500
penderita yang bertujuan untuk memastikan bahwa suatu obat baru benar-benar
berkhasiat. Uji klinik fase IV merupakan pengamatan terhadap obat yang telah
dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta
pola efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya.
Uji klinik yang baik dilakukan dengan prosedur yang sudah digariskan dan komponen-
komponennya disiapkan dengan matang sehingga hasilnya betul- betul dapat
dimanfaatkan sebagai acuan pengobatan.

10. Bagaimana menghitung dosis hewan coba ke manusia sehingga diperlukan konsep dasar
dan persiapan uji preklinik secara in vivo dan in vitro?
Jawab :
Uji preklinik selain memakai hewan, telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk
menentukan khasiat obatnya contoh: uji ektivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell
line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dna
lain-lain.
Untuk menggantikaan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan
secara in vitro.
Uji praklinis dapat dilakukan baik secarain vivo dengan menggunakan hewan coba atau
in vitro denganmenggunakan kultur sel

11. Apa tujuan ethical clearance etik dalam penelitian?


Jawab :
Membantu peneliti u mghindarkan diri dari kesalahan baik dalam tahap perancangan,
pelaksanaan dan pelaporan penelitian maupun dlm diseminasi hasil penelitian ( publikasi
ilmiah) dgn cara melakukan self assessment

JUMP 4 : SKEMA
Jump 5 : Learning Objective

1. Fitofarmaka : Terkait Pengolahaan Pengujian Dan Peredaran Di Indonesia


Fitofarmaka adalah obat tradisional yang telah teruji khasiatnya melalui uji pra-
klinis (pada hewan percobaan) dan uji klinis (pada manusia) serta terbukti keamanannya
melalui uji toksisitas. Uji praklinik sendiri me;liputi beberapa uji, yaitu: uji khasiat dan
toksisitas, uji teknologi farmasi untuk menentukan identitas atau bahan baku yang
terstandarisasi. Fitofarmaka diproduksi secara higienis, bermutu sesuai dengan standar
yang ditetapkan. Contoh: Stimuno, Tensigard, Rheumaneer, X-gra dan Nodiar

Fitofarmaka memenuhi kriteria :


 aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
 klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ praklinik (pada hewan) dan klinik (pada
manusia).
 telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
 Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi.
Fitofarmaka merupakan jenis obat tradisionalyang dapat disejajarkan dengan obat modern karena
proses pembuatannya yang telah terstandar dan khasiatnya telah dibuktikan melalui uji klinis.

Atau fitofarmaka juga bisa diartikan sebagai sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta
produk jadinya telah di standarisir (Badan POM. RI., 2004 ). Dari sini jelas bahwa dari ke tiga
golongan 3 obat tradisional tersebut, fitofarmaka menempati level paling atas dari segi kualitas
dan keamanan. Kenapa demi fitofarmaka demikian?

Karena fitofarmaka perlu proses penelitia yang panjang serta uji klinis yang detail, sehingga
fitofarmaka termasuk dalam jenis golongan obat herbal yang telah me8miliki kesetaraan dengan
obat, karena telah memiliki clinical evidence.

Beberapa kriteria fitofarmaka, yaitu:


 Aman
 Klaim khasiat secara ilmiah, melalui uji pra-klinik dan klinik
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
 Telah dilakukan standardisasi bahanbakuyang digunakan dalam produk jadi
Kemasan produk fitofarmaka berupa jari-jari daun yang membentuk bintang dalam lingkaran.
Saat ini di Indonesia baru terdapat 5 fitofarmaka, contoh produk fitofarmaka yang sudah beredar
adalah: Nodiar (PT Kimia Farma), Stimuno (PT Dexa Medica), Rheumaneer PT. Nyonya
Meneer), Tensigard dan X-Gra (PT Phapros).

Setelah lolos uji fitofarmaka, produsen dapat mengklaim produknya sebagai obat. Namun
demikian, klaim tidak boleh menyimpang dari materi uji klinis sebelumnya. Misalnya, ketika uji
klinis hanya sebagai antikanker, produsen dilarang mengklaim produknya sebagai antikanker dan
antidiabetes.

Pada artikel fitofarmaka II ini akan dibahas kelebiahn fitofarmaka disbanding dengan OHT
(obat herbal terstandar) dan jamu. Selain itu sebagaimana telah dijelakan pada
bagian fitofarmakaI, artikel fitofarmaka II ini akan mencoba mengulas secara lebih banyak
tahapan-tahapan apa saja yang harus dilewati obat herbal terstandar atau jamu sehingga bisa
dikatakan sebagai fitofarmaka. Dan dari proses tersebut, dalam artikel herbal ini, bisa diketahui
bahwa tidak mudah untuk OHT ataupun jamu untuk bisa menjadi fitofarmaka, karena harus
melewati proses pengujian yang panjang dan detail.
Logo Fitofarmaka

Telah dijelaskan pada artikel terdahulu di fitofarmaka I bahwafitofarmaka adalah sediaan


obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji
praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi. Inilah deskripsi
ilmiah fitofarmaka. Tentu saja informasi ini sangat berguna bagi orang yang berkecimpung di
bidang obat herbal, jamu, terapis herbal ataupun pengelola sebuah toko herbal, karena setelah
dijelaskan di artikel herbal tentang fitofarmaka ini, mereka dapat membedakan dan menilai
level obat herbal alami yang mereka tangani.

Pada dasarnya sediaan fitofarmaka mirip dengan sediaan jamu-jamuan karena juga
berasal dari bahan-bahan alami, meskipun demikian jenis sediaan obat ini masih belum begitu
populer di kalangan masyarakat, dibandingkan jamu-jamuan dan herba terstandar.

Khasiat dan penggunaan fitofarmaka dapat lebih dipercaya dan efektif daripada sediaan
jamu-jamuan biasa, karena telah memiliki dasar ilmiah yang jelas. Jadi jelaslah
deskripsi fitofarmaka menurut ilmu pengobatan yaitu sediaan jamu-jamuan yang telah tersentuh
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Fitofarmaka telah melewati beberapa proses yang panjang yang setara dengan obat-obatan
modern, diantaranya Fitofarmaka telah melewati standarisasi mutu, baik dalam proses
pembuatan hingga pengemasan produk, sehingga dapat digunakan sesuai dengan dosis yang
efektif dan tepat. Selain itu sediaan fitofarmaka juga telah melewati beragam pengujian yaitu uji
preklinis seperti uji toksisitas, uji efektivitas, dll dengan menggunakan hewan percobaan dan
pengujian klinis yang dilakukan terhadap manusia.

Kriteria yang harus dipenuhi Fitofarmaka, diantaranya :


1. Standar persyaratan mutu yang berlaku telah terpenuhi calon fitofarmaka
2. Aman dan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pada calon fitofarmaka
3. Khasiat yang dikalim pada produk tersebut bisa dibuktikan secara ilmiah berdasarkan uji
klinik pada calon fitofarmaka
4. Standarisasi terhadap bahan bakuyang digunakan dalam produk telah dilakukan pada
calon fitofarmaka
Tahap-tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka (Dep. Kes RI):
1. Tahap seleksi calon fitofarmaka
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sebagai calon fitofarmaka sesuai dengan
skala prioritas sebagai berikut:

1) Obat alami calon fitofarmaka yang diperkirakan dapat sebagai alternative pengobatan
untuk penyakit-penyakit yang belum ada atau masih belum jelas pengobatannya.
2) Obat alami calon fitofarmaka yang berdasar pengalaman pemakaian empiris sebelumnya
dapat berkhasiat dan bermanfaat
3) Obat alami calon fitofarmaka yang sangat diharapakan berkhasiat untuk penyakit-
penyakit utama
 Ada/ tidaknya efek keracunan akut (single dose), spectrum toksisitas jika ada, dan sistem
organ yang mana yang paling peka terhadap efek keracunan tersebut (pra klinik, in vivo)
 Ada/ tidaknya efek farmakologi calon fitofarmaka yang mengarah ke khasiat terapetik
(pra klinik in vivo)
2. Tahap biological screening calon fitofarmaka :
3. Tahap penelitian farmakodinamik calon fitofarmaka
Tahap ini adalah untuk melihat pengaruh calon fitofarmaka terhadap masing-masing sistem
biologis organ tubuh,

1) Pra klinik, in vivo dan in vitro


2) Tahap ini dipersyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk mengetahui
mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon fitofarmaka.
3) Toksisitas ubkronis
4) Toksisitas akut
5) Toksisitas khas/ khusus
4. Tahap pengujian toksisitas lanjut (multiple doses) calon fitofarmaka
5. Tahap pengembangan sediaan (formulasi) bahan calon calon fitofarmaka
1) Mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan, dan estetika
untuk pemakaian pada manusia.
2) Tata laksana teknologi farmasi dalam rangka uji klinik
3) Teknologi farmasi tahap awal
4) Pembakuan (standarisasi): simplisia, ekstrak , sediaan OA
5) Parameter standar mutu: bahanbakuOA, ekstrak, sediaan OA
6. Tahap uji klinik pada manusia
Ada4 fase yaitu:
 Fase 1 : dilakukan pada sukarelawan sehat
 Fase 2 : dilakukan pada kelompok pasien terbatas
 Fase 3 : dilakukan pada pasien dengan jmlh yang lebih besar dari fase 2
 Fase 4: post marketing survailence, untuk melihat kemungkinan efek samping yang tidak
terkendali saat uji pra klinik maupun saat uji klinik fase 1-3.

2. Jamu Dan Obat Herbal Berstandart


 JAMU

Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang tidak memerlukan pembuktian ilmiah
sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan pembuktian empiris atau turun temurun. Jamu harus
memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan
berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Contoh : Tolak
Angin® , Antangin® , Woods’ Herbal® , Diapet Anak® , dan Kuku Bima Gingseng® .
Dalam meningkatkan pemanfatan obat tradisional -Utamanya Jamu– Indonesia telah
memiliki berbagai regulasi dan kebijakan mengenai pengobatan tradisional. − UU No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan Amanat UU No. 36 Tahun 2009
Pasal 47 : Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan
berkesinambungan.
Pasal 48 ayat 1 butir b : Upaya Kesehatan melalui pelayanan kesehatan tradisional.
Integrasi pelayanan kesehatan tradisional dalam pelayanan kesehatan formal merupakan suatu
program pemerintah utamanya Kementerian Kesehatan. 1. Pasal 48 : Pelayanan kesehatan
tradisional merupakan bagian integral dari penyelenggaraan upaya kesehatan. 2. Pasal 100 ayat 1
: Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam
pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga
kelestariannya. 3. Pasal 100 ayat 2 : Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan
bahan baku obat tradisional.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 381/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional
Nasional.
1. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam Indonesia secara berkelanjutan utk digunakan
sebagai obat tradisional demi peningkatan pelayanan kesehatan dan ekonomi.
2. Menjamin obat tradisional yang aman, bermutu dan bermanfaat serta melindungi masyarakat
dari penggunaan obat tradisional yang tidak tepat.
3. Tersedianya obat tradisional yang memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan
dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam pelayanan kesehatan
formal.
4. Mendorong perkembangan dunia usaha di bidang obat tradisional yang bertanggung jawab
agar mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan diterima di negara lain. − Peraturan
Menteri Kesehatan No. 003/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam penelitian berbasis
pelayanan kesehatan, bertujuan mendapatkan evidence base penggunaan jamu terkait manfaat
dan keamanan jamu. 1. Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan Jamu. 2.
Mendorong terbentuknya jejaring tenaga kesehatan sebagai pelaku “yankes Jamu” dan
“penelitian Jamu”, baik promotif, preventif, kuratif, dan paliatif. 3. Meningkatkan penyediaan
Jamu yang aman, berkhasiat dan bermutu. 4. Mengatur penyediaan data dan informasi tentang
Jamu untuk mendukung Jamu evidence based decision making dalam upaya pengintegrasian
Jamu dalam pelayanan kesehatan.
Pada gelar Kebangkitan Jamu tahun 2008, Presiden Republik Indonesia menyampaikan
empat hal penting terkait dengan pengembangan Jamu yaitu: 1. Membangun sistem pelayanan
kesehatan dan pendidikan yang berlaku. 2. Meningkatkan penelitian dan inovasi teknologi
pengembangan jamu. 3. Mendorong industri jamu untuk masuk ke dalam mainstream pasar
global dan pasar dalam negeri serta yang juga sangat penting adalah branding Indonesia untuk
produk jamu. 4. Mendorong berkembangnya usaha jamu melalui usaha mikro, usaha kecil dan
usaha menengah.
Dalam roadmap pengembangan jamu telah ditetapkan visi, misi dan tujuan sebagai
berikut: Visi Jamu Indonesia menjamin Kualitas Hidup Dunia Misi
1. Meningkatkan keamanan, khasiat-manfaat dan mutu jamu.
2. Meningkatkan kemandirian bahan baku jamu.
3. Mengembangkan industri jamu berkelas dunia.
4. Memantapkan pasar lokal dan mendorong pasar global.
5. Meningkatkan pemanfaatan jamu dalam pelayanan kesehatan.
6. Jamu sebagai brand image bangsa Indonesia.
Tujuan Pengembangan jamu Indonesia bertujuan untuk mewujudkan jamu Indonesia
yang aman, berkhasiat dan bermutu dengan dukungan industri yang mandiri dan berdaya saing
pada pasar global dan terlaksananya integrasi jamu dalam pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Arah Arah perkembangan jamu
nasional terbagi ke dalam 4 yaitu :
1. Pengembangan jamu untuk kesehatan (fitofarmaka).
2. Pengembangan jamu untuk kecantikan dan kebugaran.
3. Pengembangan jamu untuk makanan dan minuman.
4. Pengembangan jamu untuk wisata dan keagamaan.

 OHT (OBAT HERBAL TERSTANDAR)


Obat Herbal Terstandarisasi (OHT) adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik (pada hewan percobaan)
dan bahan bakunya telah distandarisasi. OHT harus memenuhi kriteria : aman sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan. klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ praklinik (pada hewan
percobaan). telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Contoh OHT yang beredar di Indonesia adalah
Antangin JRG, OB Herbal, Mastin, Lelap, Diapet.

Kelompok Obat Herbal Terstandar :

 Harus mencantumkan logo dan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”


 Logo berupa “JARI-JARI DAUN (3 pasang) TERLETAK DALAM LINGKARAN” di
bagian atas sebelah kiri dari wadah/pembungkus/brosur
 Logo (jari-jari daun dalam lingkaran) dicetak dalam warna hijau diatas dasar warna putih
atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo
 Tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak
dengan warna hitam diatas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras
dengan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”.

3. Sejarah Pengembangan Preklinik Dan Uji Klinik


Uji Preklinik
Uji praklinik, atau disebut juga studi pengembangan atau uji non-klinik,atau uji
efek farmakologik, adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau pengujian
pada manusia. Uji praklinik memiliki satu tujuan utama yaitu mengevaluasi keamanan
suatu produk yang baru.
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh
informasi tentang efek farmakologis, profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat.
Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada
reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya bila dianggap perlu
maka dilakukan uji pada hewan.  Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu
seperti mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan
primata. Penelitian dengan hewan dapat diketahui apakah obat aman atau menimbulkan
efek toksik pada dosis pengobatan. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk
mengevaluasi: Toksisitas akut atau kronis, kerusakan genetik (genotoksisitas,
mutagenisitas), pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas) atau
teratogenisitas
Uji praklinik selain memakai hewan, telah dikembangkan pula berbagai uji in
vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker
menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji
antiinflamasi dan lainlain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan, Tetapi belum
semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap
dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang
menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu
dikembangkan uji toksisitas secara in vitro.
Uji in Vivo dan In Vitro
Uji praklinik dibagi menjadi 2 jenis yakni uji invitro dan in vivo. Uji in vitro
adalah pengujian “kandidat” obat diluar tubuh makhluk hidup. Pengujian ini dilakukan
pada kultur bakteri, sel terisolasi atau organ terisolasi.
 Jika hasilnya positif, kan dilanjutkan dengan uji in vivo yakni pengujian pada
makhluk hidup (hewan). Hewan yang digunakan adalah hewan yang diketahui
genetiknya atau dikenal dengan galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmut, babi,
anjing atau primata. Melalui pengujian ini akan bisa diprediksi efek penggunaan obat
pada manusia terutama terkait efek toksik yang dihasilkan. Penelitian toksisitas
merupakan cara potensial untuk mengevaluasi efek samping obat akibat konsumsi jangka
pendek dan jangka panjang, kerusakan atau mutase genetik (genotoksisitas atau
mutagenisitas), pertumbuhan sel kanker (karsinogenisitas) dan kecacatan pada janin
(teratogenisitas).
 Pengujian pada hewan juga dilakukan untuk mempelajari nasib obat dalam
tubuh (farmakokinetik) “kandidat” obat yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme
dan eliminasi obat. Semua hasil pengujian pada hewan tersebut menjadi bahan evaluasi
untuk menentukan apakah “kandidat” obat tersebut dapat dilanjutkan dengan uji pada
manusia atau tidak
 Senyawa atau molekul “kandidat” obat yang lolos uji praklinik, maka disebut
IND (Investigational New Drug) atau obat baru dalam penelitian selanjutnya akan diuji
pada manusia (uji klinik).
Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo adalah:
1. Pemilihan spesies hewan uji  Tikus/kelinci/kucing
2. Galur dan jumlah hewan  Tikus Wistar/Sprague Dawley
3.Cara pemberian sediaan uji  IV, PO, IM
4. Pemilihan dosis uji
5. Efek samping sediaan uji
6. Teknik dan prosedur pengujian termasuk cara penanganan hewan selama
percobaan UJI KLINIK
Uji klinik merupakan penelitian yang dilakukan pada obat baru yang bertujuan
untuk mengevaluasi dampaknya pada Kesehatan manusia. Uji klinik dirancang,
dilaksanakan dan dievaluasi secara ketat untuk memastikan keamanan subjek uji.
Pengujian ini baru dapat dilalsanakan setelah melewati uji dulu kelayakan oleh komite
etik sesuai Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :
1. Fase 0, Fase ini merupakan fase pendahuluan yang dilakukan pada sukarelawan
sehat. Fase ini merupakan pendahuluan sebelum fase sebenarnya. Fase ini dilakukan
dengan pemberian obat pada dosis yang sangat kecil yang tidak memiliki efek terapi
untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada
manusia (4).
2. Fase I, Fase ini merupakan fase pengujian yang sesungguhnya. Fase ini
berfokus pada aspek keamanan dari obat baru. Fase ini dilakukan pada sukarelawan sehat
dalam jumlah kecil berkisar antara 20 – 100 orang (5) untuk mengamati efek samping
yang paling sering muncul dan yang paling berbahaya dari obat baru serta untuk
mengamati profil farmakokinetik obat pada manusia (4).
3. Fase II, Fase ini difokuskan untuk mengamati efektivitas obat baru. Obat baru
diuji pada pasien dengan kondisi/penyakit tertentu, kemudian diamati efek yang timbul
pada penyakit yang diobati. Hal yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang
potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pengujian pada fase ini
kelompok pasien yang diterapi dengan obat baru biasanya akan dibandingkan dengan
kelompok pasien yang diterapi dengan obat lain atau obat tanpa bahan aktif (plasebo) (4).
Fase ini juga mengevaluasi keamanan dan efek samping jangka pendek serta mulai
dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat (3).
4. Fase III, Fase ini merupakan fase yang berfokus untuk mengamati keamanan
dan efektivitas obat baru pada populasi yang berbeda, dosis yang berbeda dan
menggunakan obat baru yang dikombinasikan dengan obat lain dengan melibatkan
kelompok besar pasien. Fase ini menilai variabilitas efektivitas obat pada popolasi yang
beragam. Setelah melewati uji klinis fase III inilah umumnya banyak obat baru yang
ditolak atau tidak layak digunakan. Hingga akhirnya mungkin hanya 1 : 10.000 obat baru
yang lolos untuk dipasarkan karena memiliki kelebihan dalam hal efikasi dan keamanan
maupun efek samping dan resiko yang lebih kecil dibandingkan obat yang ada.
Keputusan untuk menyetujui obat baru untuk dipasarkan dilakukan oleh badan khusus,
seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia, FDA (Food and Drug
Administration) di Amerika Serikat, MHRA (Medicine and Healthcare Product
Regulatory Agency) di Inggris, EMEA (European Agency for the Evaluation of
Medicinal Product) di negara Eropa lain dan TGA (Therapeutics Good Administration) di
Australia. Selanjutnya obat baru yang lolos uji klinis fase III diizinkan untuk diproduksi
dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu oleh industri farmasi sebagai legal drug
serta dapat diresepkan oleh dokter (3).
5. Fase IV, Fase ini sebenarnya bukan pengujian yang sesungguhnya, melainkan
studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) setelah obat disetujui untuk
dipasarkan. Fase ini mengamati penggunaan obat pada pasien dengan berbagai kondisi,
berbagai usia dan ras yang bertujuan untuk mengevaluasi lebih lanjut tingkat keamanan,
efikasi dan kodisi penggunaan yang optimal (6). Setelah hasil studi fase IV dievaluasi
masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan sebagai contoh
dekstroksipropoksifen suatu obat penghilang nyeri yang bahkan sudah digunakan selama
40 ditarik dari perdagangan karena efek kematian akibat overdos

4. Konsep Dasar Uji Pre Klinik Dan Persiapan Secara Pre Klinik Secara In Vivo Dan
In Vitro

Uji preklinik (in vivo, dan in vitro)

In vivo: adalah di mana efek dari berbagai entitas biologis diuji secara keseluruhan, hidup
organisme atau sel , biasanya hewan, termasuk manusia, dan tumbuhan, sebagai lawan dari
ekstrak jaringan atau organisme mati. Hal ini jangan disamakan dengan eksperimen yang
dilakukan secara in vitro ("di dalam gelas"), yaitu, di lingkungan laboratorium menggunakan
tabung reaksi, cawan Petri , dll.

Contoh investigasi in vivomeliputi: patogenesis penyakit dengan membandingkan efek


infeksi bakteri dengan efek racun bakteri yang dimurnikan; pengembangan non-antibiotik, obat
antivirus, dan obat baru secara umum; dan prosedur bedah baru. Akibatnya, pengujian hewan
dan uji klinis merupakan elemen utama penelitian in vivo . Pengujian in vivo sering kali
digunakan secara in vitro karena lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan eksperimen
pada subjek yang hidup. Dalam penemuan obat , misalnya, verifikasi efikasi in vivo sangat
penting, karena in vitrotes kadang-kadang dapat menghasilkan hasil yang menyesatkan dengan
molekul kandidat obat yang tidak relevan secara in vivo (misalnya, karena molekul tersebut tidak
dapat mencapai tempat aksi in vivo mereka, misalnya sebagai akibat dari katabolisme cepat di
hati).

Ahli mikrobiologi Inggris Profesor Harry Smith dan rekan-rekannya pada pertengahan
1950-an menemukan bahwa filtrat steril serum dari hewan yang terinfeksi Bacillus anthracis
mematikan bagi hewan lain, sedangkan ekstrak cairan kultur dari organisme yang sama yang
tumbuh secara in vitro tidak mematikan . Penemuan toksin antraks melalui penggunaan
eksperimen in vivo memiliki dampak besar pada studi patogenesis penyakit menular.Pepatah in
vivo veritas ("dalam makhluk hidup [ada] kebenaran") digunakan untuk menggambarkan jenis
pengujian ini dan merupakan permainan in vino veritas.

In vitro (dari bahasa Latin, berarti "di dalam kaca") adalah istilah yang dipakai dalam
biologi untuk menyebutkan kultur suatu sel, jaringan, atau bagian organ tertentu di dalam
laboratorium. Istilah ini dipakai karena kebanyakan kultur artifisial ini dilakukan di dalam alat-
alat laboratorium yang terbuat dari kaca, seperti cawan petri, labu Erlenmeyer, tabung kultur,
botol, dan sebagainya.Kultur jaringan dan berbagai variasinya biasa disebut sebagai pembiakan
in vitro.

In vitro (artinya di kaca , atau di kaca ) penelitian dilakukan dengan mikroorganisme , sel-sel ,
atau molekul biologis luar konteks biologis normal mereka. Dalam bahasa sehari-hari disebut "
percobaan tabung reaksi ", penelitian dalam biologi dan subdisiplinnya ini secara tradisional
dilakukan di peralatan laboratorium seperti tabung reaksi, termos, cawan petri , dan pelat
mikrotiter . Studi dilakukan dengan menggunakan komponen suatu organismeyang telah
diisolasi dari lingkungan biologis biasanya memungkinkan analisis yang lebih rinci atau lebih
mudah daripada yang dapat dilakukan dengan seluruh organisme; Namun, hasil yang diperoleh
dari percobaan in vitro mungkin tidak sepenuhnya atau akurat memprediksi efek pada
keseluruhan organisme. Berbeda dengan percobaan in vitro , penelitian in vivo dilakukan pada
organisme hidup, termasuk manusia, dan tumbuhan secara keseluruhan.
Penelitian in vitro ( Latin : dalam gelas ; sering tidak dicetak miring dalam penggunaan
bahasa Inggris dilakukan dengan menggunakan komponen organisme yang telah diisolasi dari
lingkungan biologis biasanya, seperti mikroorganisme, sel, atau biologis. molekul. Misalnya,
mikroorganisme atau sel dapat dipelajari di media kultur buatan , dan protein dapat diperiksa
dalam larutan . Dalam bahasa sehari-hari disebut "percobaan tabung reaksi", penelitian dalam
biologi, kedokteran, dan subdisiplinnya secara tradisional dilakukan di tabung reaksi, termos,
cawan Petri, dll. Mereka sekarang melibatkan berbagai teknik yang digunakan dalam biologi
molekuler, seperti omics. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan pada makhluk hidup
(mikroorganisme, hewan, manusia, atau tumbuhan utuh) disebut in vivo .

Contoh studi in vitro meliputi: isolasi, pertumbuhan dan identifikasi sel yang berasal dari
organisme multiseluler (dalam kultur sel atau jaringan ); komponen subseluler (misalnya
mitokondria atau ribosom ); ekstrak seluler atau subseluler (misalnya ekstrak biji gandum atau
retikulosit ); molekul yang dimurnikan (seperti protein , DNA , atau RNA); dan produksi
komersial antibiotik dan produk farmasi lainnya. Virus, yang hanya bereplikasi dalam sel hidup,
dipelajari di laboratorium dalam kultur sel atau jaringan, dan banyak ahli virologi hewan
merujuk pada pekerjaan tersebut sebagai in vitro untuk membedakannya dari pekerjaan in vivo
pada seluruh hewan.

- Reaksi berantai polimerase adalah metode untuk replikasi selektif urutan DNA dan RNA
tertentu dalam tabung reaksi.
- Pemurnian protein melibatkan isolasi protein tertentu yang diinginkan dari campuran
protein kompleks, sering kali diperoleh dari sel atau jaringan yang dihomogenisasi.
- vitro fertilisasi digunakan untuk memungkinkan spermatozoa untuk membuahi telur
dalam wadah budaya sebelum menanamkan embrio atau embrio yang dihasilkan ke
dalam rahim calon ibu.
- Diagnostik in vitro mengacu pada berbagai tes laboratorium medis dan kedokteran hewan
yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit dan memantau status klinis pasien
menggunakan sampel darah, sel, atau jaringan lain yang diperoleh dari pasien.
- Pengujian in vitro telah digunakan untuk mengkarakterisasi proses adsorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi spesifik obat atau bahan kimia umum di dalam organisme
hidup; sebagai contoh, percobaan sel Caco-2 dapat dilakukan untuk memperkirakan
penyerapan senyawa melalui lapisan saluran pencernaan; [4] Pembagian senyawa antar
organ dapat ditentukan untuk mempelajari mekanisme distribusi; [5] Suspensi atau kultur
berlapis dari hepatosit primer atau garis sel mirip hepatosit (HepG2, HepaRG) dapat
digunakan untuk mempelajari dan mengukur metabolisme bahan kimia. [6] Parameter
proses ADME ini kemudian dapat diintegrasikan ke dalam apa yang disebut "model
farmakokinetik berbasis fisiologis" atau PBPK .

Keuntungan:

Studi in vitro memungkinkan analisis yang spesifik spesies, lebih sederhana, lebih nyaman, dan
lebih rinci daripada yang tidak dapat dilakukan dengan seluruh organisme. Sebagaimana
penelitian pada hewan utuh semakin banyak menggantikan uji coba pada manusia, begitu pula
penelitian in vitro yang menggantikan penelitian pada hewan utuh.

Kesederhanaan:

Organisme hidup adalah sistem fungsional yang sangat kompleks yang terdiri dari,
minimal, puluhan ribu gen, molekul protein, molekul RNA, senyawa organik kecil, ion
anorganik, dan kompleks dalam lingkungan yang diatur secara spasial oleh membran, dan dalam
kasus organisme multiseluler, sistem organ. Berbagai komponen ini berinteraksi satu sama lain
dan dengan lingkungannya dengan cara yang memproses makanan, membuang limbah,
memindahkan komponen ke lokasi yang benar, dan responsif terhadap sinyal molekul,
organisme lain, cahaya, suara, panas, rasa, sentuhan , dan keseimbangan.

Kerugian utama dari studi eksperimental in vitro adalah bahwa mungkin sulit untuk
mengekstrapolasi dari hasil kerja in vitro kembali ke biologi organisme utuh. Penyelidik yang
melakukan pekerjaan in vitro harus berhati-hati untuk menghindari interpretasi yang berlebihan
terhadap hasil mereka, yang dapat mengarah pada kesimpulan yang salah tentang biologi
organisme dan sistem.

Misalnya, para ilmuwan yang mengembangkan obat virus baru untuk mengobati infeksi
virus patogen (misalnya HIV-1) dapat menemukan bahwa obat kandidat berfungsi untuk
mencegah replikasi virus dalam pengaturan in vitro (biasanya kultur sel). Namun, sebelum obat
ini digunakan di klinik, obat ini harus berkembang melalui serangkaian uji coba in vivo untuk
menentukan apakah itu aman dan efektif pada organisme utuh (biasanya hewan kecil, primata,
dan manusia secara berurutan). Biasanya, sebagian besar kandidat obat yang efektif secara in
vitro terbukti tidak efektif secara in vivo karena masalah yang terkait dengan pengiriman obat ke
jaringan yang terkena, toksisitas terhadap bagian penting dari organisme yang tidak terwakili
dalam in vitro awal.studi, atau masalah lain.

UJI KLINIK
Ujiklinik adalah pengujian khasiat dan keamanan obat pada manusia yang dapat
“menjamin” apakah hasil in vitro atau hasil pada hewan coba sama dengan pada manusia. Uji
klinik terdiri dari 4 fase(Rahmatini, 2010) – 5 fase , yaitu Uji klinik fase 0, (Thorat et al.,2010;
Mahan,2014) uji klinik fase I.Uji klinik fase II, uji klinik fase III dan uji klinik fase IV (Mahan,
2014).
 Uji Klinik Fase I.

Pada uji fase 1, calon obat diuji pada sukarelawan sehat (25-50) untuk mengetahui
apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini
ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat
pada manusia. Meskipun tujuan dari fase I ini adalah untuk mendapatkan dosis maksimum yang
dapat ditoleransi, namun studi fase I ini diatur untuk mencegah keracunan berat. Dosis oral yang
dianjurkan adalah 1/50 dosis minimal pada hewan yang dapat menimbulkan efek. Dosis tersebut
dinaikan2 kali lipat secara pelan-pelan sampai terjadi efek farmakologis atau terjadi efek yang
tidak diinginkan(Rahmatini, 2010). Jika obat yang hendak diuji memiliki toksisitas yang
signifikan, seperti pada kasus terapi kanker dan AIDS, pasien sukarelawan dengan penyakit yang
berkaitanlah yang digunakan pada fase I. Percobaan fase I dilakukan untuk menentukan apakah
manusia dan hewan memperlihatkan respon yang berbeda secara signifikan terhadap obat dan
untuk menentukan batas rentang dosis klinis aman yang memungkinkan. Percobaan ini
“terbuka”; dimana penguji dan subyek mengetahui apa yang diberikan selama percobaan.
Banyak dugaan keracunan terdeteksi pada fase ini. Pengukuran farmakokinetik(penyerapan,
waktu paruh, dan metabolisme) biasanya dilakukan pada fase I. Hasil studi fase I(khususnya
farmakokinetik) dapat dibandingkan dengan studi pada hewan mana yang paling mirip untuk
melakukan uji toksisitas kronis pada hewan tersebut.

 Uji Klinik Fase II.


Pada uji klinik fase 2 maka calon obat diuji pada pasien tertentu (100-200), diamati
efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang
potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan
pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Rentang toksisitas yang lebih luas mungkin
saja terdeteksi pada fase ini, dimana uji fase II biasanya dilakukan pada pusat-pusat klinis khusus
misal rumah sakit pendidikan. Fase II dapat dipisahkan menjadi fase IIA dan IIB.Fase IIA
khusus untuk menentukan dosis dan IIB untuk menentukan efikasi dari obat.

 Uji Klinik Fase III.

Uji klinik fase 3, melibatkan kelompok besar pasien (mencapai ribuan, 300-3000 orang
pasien), biasanya multicenter. Pada fase ini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya
dengan obat pembanding yang sudah diketahui. Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri
pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi
yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet,
kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas.
Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang
sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk
diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta
dapat diresepkan oleh dokter. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan
pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat
oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh
MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh
EMEA ( European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA
(Therapeutics Good Administration).

 Uji Klinik Fase IV.

Uji klinik ini dilakukan setelah obat dipasarkan, sehingga disebut juga studi pasca pemasaran
(post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia
dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan
pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi
masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan, sebagai contoh
Cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform
(kliokuinol) suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan
pada otot mata (SMON disease), fenilpropanolamin yang sering terdapat pada obat flu harus
diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan
tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah
mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, talidomid dinyatakan tidak aman untuk
wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat
antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.
Semula uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat
baru hanya lolos satu atau lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya lebih
besar dari manfaatnya atau kemanfaatnnya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Keputusan
untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional di Indonesia oleh BPOM
(Badan Pengawas Obat dan Makanan), di AS adalah FDA (Food and Drug Administration), di
Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product
Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA (European Agency for the Evaluation of
Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat
dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan
klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah
ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul, dll) yang telah memenuhi persyaratan produk
melalui kontrol kualitas.

5. Konsep Hewan Coba Dan Dosis Hewan Coba Ke Manusia


Hewan Uji Dipertimbangkan berdasarkan :
(1) Sensitivitas
(2) Cara metabolisme sediaan sediaanuji yang serupa dengan manusia
(3) Kecepatan kecepatan kecepatan kecepatantumbuh tumbuh
 Dosis uji harus harus mencakup dosis setara dengan dengan dosis yang lazim pada manusia.
 Dosis lain meliputi dosis dengan faktor faktor perkalian tetap yang mencakup dosis yang setara
dengan dosis penggunaan lazim pada manusia sampai mencapai dosis yang yang dipersyaratkan
untuk tujuan pengujian atausampai batas dosis tertinggi yang masih dapat yang masih dapat
diberikan pada hewan uji . Kondisi ruangan dan penandaan hewan uji Cara mengorbankan
hewan uji Euthanasia : Hewan dibius(anastesi) terlebihdahulu, kemudian dipisahkan dengan
hewan lainnya.
Teknik mengorbankan hewan uji :
 Cara dislokasi leher: untuk hewan kecil sepertimencit, tikus
 Cara anastesi : ruteinhalasiataupenyuntikan
 Cara pengeluaran darah melalui vena jugularis/ arterikarotid

Volume sediaan yang diberikan kepada masing-masing hewan dihitung berdasarkan 2 hal
berikut:
1. Persen volume pemberian. Nilai ini tergantung kepada jenis rute pemberian yang
digunakan seperti yang sudah dijabarkan di atas.
2. Berat masing-masing hewan percobaan. Hewan dengan berat badan yang berbeda tentu
akan menerima volume sediaan yang berbeda pula.

Contoh: Suatu sediaan ekstrak yang sudah diformulasikan akan diberikan melalui rute
intraperitoneal dengan persen pemberian 0,1 %. Berapa volume yang disuntikkan kepada tikus
berikut jika masing-masing beratnya adalah 260; 252; dan 275 gram?

Volume pemberian atau volume administrasi:

= berat x persen pemberian


= 260 gram x 0,1 %
= 260 gram x (0,1 ml/100 gram)
= 0,26 ml

Jika untuk hewan 260 gram diberikan sediaan dengan volume 0,26 ml, maka hewan dengan berat
252 dan 275 gram diberikan sediaan dengan volume 0,252 dan 0,275 ml.

6. Konsep Dasar Uji Klinik Dan Persiapan Uji Klinis

Uji Klinis Adalah Uji/Penelitian pada subjek manusia yang bersifat ekspremital dan terencana
untuk menentukan pengobatan yang paling tepat untuk penyakit
Tahap uji klinik pd manusia
Pengujian baru dpt dilakukan jika: syarat keamanan (praklinik), khasiat (praklinik), dan syarat
mutu sediaan memungkinkan utk dipakai pd manusia
Ada 4 fase:
 Fase I, dilakukan pd sukarelawan sehat, utk melihat efek farmakologi, profil
farmakokinetika, serta hub dosis dan efek obat
 Fase II, dilakukan pd kelompok pasien scr terbatas, utk melihat kemungkinan
penyembuhan dan atau pencegahan penyakit/gejala penyakit
 Pada fase ini, metodologi msh dilakukan tanpa kelompok pembanding (kontrol)
 Fase III, dilakukan pd kelompok pasien dgn jumlah yg lebih besar dari Fase II,
metodologi sdh dilakukan menggunakan kelompok pembanding (kontrol)
 Fase IV
post-marketing surveillance
 Utk melihat kemungkinan efek samping yg tdk terkenali saat uji praklinik maupun saat
uji klinik fase I-III
Pengujian keamanan bhn obat yg dilakukan pada hewan coba blm tentu memberikan hasil yg
sama pd manusia krn adanya perbedaan antar spesies yg tdk diketahui secara pasti
Obat yg ditunjukkan memberikan efek pd sistem biologis hewan coba blm tentu memberikan
efek yg sama pd manusia
Pengujian pd manusia seringkali dilakukan pd populasi yg terbatas shg utk efek samping yg
kejadiannya langka tdk akan dpt diketahui seblm calon fitofarmaka dipakai secara luas dlm
masyarakat
Pengujian pd manusia umumnya dilakukan dlm kondisi2 dgn batasan penelitian yg ketat yg blm
tentu dpt menggambarkan kondisi sesungguhnya yg lebih kompleks apabila nantinya calon
fitofarmaka dipakai secara luas dlm masyarakat

Tujuan Uji Klinis


Membuktikan manfaat obat sesuai indikasi yg diajukan
Memastikan status keamanan penggunaan obat pd manusia
Mengungkap data utk mendorong penentuan dan pengembangan obat baru yg berasal dr alam
 Syarat Uji Klinis
 Calon fitofarmaka:
 uji praklinik: aman dan bermanfaat
 identitas farmasi yg jelas
 Diketahui mekanisme aksi dan target aksi obat
 Dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
 Memenuhi etik uji klinik
 Persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan
 Uji klinik obat memerlukan: tenaga ahli, fasilitas berupa peralatan, dan dana
 Tata laksana uji klinik
 Judul
 Latar belakang
 Tujuan
 Tempat penelitian
 Desain penelitian
 Seleksi pasien dan proses pengikutsertaan (recruitment)
 OA-uji dan pembanding
 Pemeriksaan klinik dan lab
 Pengamatan respon
 Data
 Jadwal kegiatan dlm uji klinik obat
 Pemantauan dan penghentian uji klinik obat
 Dana dan kontrak dgn sponsor
 Kelengkapan lampiran yg perlu
 Tim pelaksana
 Laporan hasil uji klinik obat

7. Ethical Clearance Penelitian


Etik merupakan seperangkat prinsip yang harus dipatuhi agar pelaksanaan suatu
kegiatan oleh seseorang atau profesi dapat berjalan secara benar (the right conduct), atau
suatu filosofi yang mendasari prinsip tersebut. Penelitian bidang kesehatan pada awalnya
merupakan penelitian bidang kedokteran, umumnya dilakukan oleh para dokter pada diri
sendiri atau anggota keluarganya serta orang-orang yang terdekat. Pada waktu dulu hal
ini dilakukan tanpa terjadi masalah mengganggu. Etik penelitian kedokteran mulai
menjadi perhatian karena mulai menimbulkan masalah antara lain akibat adanya
pelanggaran hak individu atau subyek manusia dan kesadaran masyarakat yang makin
meningkat.
Kode etik peneliti terdiri dari 3 aspek, yaitu :
1. Etika Penelitian ; kegiatan penelitian yang dilakukan dalam rambu yang etis
dan dengan metode yang benar.
2. Etika Perilaku ; sikap pribadi peneliti yang dijaga untuk selalu etis
3. Etika Publikasi ; melakukan publikasi penelitian dengan cara yang etis
Kode Etika Peneliti:
 Etika Penelitian
 Kebenaran Ilmiah
memiliki landasan berpikir - mendapatkan bukti yang sah - bebas dari kepentingan
pihak tertentu
 Metode Ilmiah
mengikuti metodologi baku – menggunakan prosedur yang layak dan tepat sasaran
melakukan penelitian karena diperlukan
 Sumber daya ilmiah
efisien - mementingkan keselamatan - merekam hasil penelitian
 Etika Berperilaku
 Netral
memberi akses untuk verifikasi atau penelitian lanjutan - menghormati hak rekan
peneliti lainnya
 Kesantunan perlakuan
perlakuan bermoral terhadap subjek - tujuan penelitian tidak boleh digunakan
untuk memanipulasi proses atau data
 Keterbukaan informasi
memberi kesempatan pihak lain menyampaikan tanggapan dan saran
 Etika Publikasi
 Hak pengarang
menghormati hak pengarang lain dalam tim pengarang - memberi pengakuan
kepada pihak lain yang berjasa
 Diseminasi hasil
publikasi ilmiah secara tertulis - publikasi hasil pertama kali dan sekali
 Kebenaran ilmiah
menghindari kesalahan prosedur, praktik, dan kesalahan lain termasuk yang
tidak disengaja

Klirens Etik Dalam Penelitian Dan Publikasi


Tujuan:
Membantu peneliti untuk menghindarkan diri dari kesalahan baik dalam tahap
perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan penelitian, maupun dalam diseminasi hasil
penelitian (publikasi ilmiah) dengan cara melakukan self assessment.
mengabaikan klirens etik berarti melanggar kode etika peneliti
A. Klirens Etik Dalam Penelitian
1. Tahap pra-penelitian
menyusun organisasi penelitian (sdm, dana, sarana, prasarana, dan usulan penelitian)
2. Tahap pelaksanaan penelitian
mengumpulkan data dan pembuktian hipotesis / sintesis
3. Tahap pasca-penelitian
melaporkan dan menyebarkan hasil penelitian
B. Klirens Etik Dalam Publikasi
umum - judul - pengarang - abstrak - pendahuluan - metode - hasil -
pembahasan/penyimpulan - referensi - ucapan terima kasih

Proses Pengajuan dan Penilaian Protokol Penelitian adalah sebagai berikut:


1. Proses Permohonan Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan (Klik untuk Detilnya)
2. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) atau Informed Consent (Klik untuk Detilnya)
3. Penilaian terhadap Protokol Penelitian Oleh KEPK-BPPK
4. Alur Proses Pengajuan Persetujuan Etik di Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan
Litbangkes
Prinsip etik secara umum
Setiap penelitian kesehatan yang mengikut sertakan relawan manusia sebagai subjek
penelitian wajib didasarkan pada tiga prinsip etik (kaidah dasar moral), yaitu :

1. Respect for persons (other): secara mendasar bertujuan menghormati otonomi untuk
mengambil keputusan mandiri (self determination) dan melindungi kelompok-kelompok
dependent (tergantung) atau rentan (vulnerable), dari penyalahgunaan (harm dan abuse)
2. Beneficence & Non Maleficence, prinsip berbuat baik, memberikan manfaat yang
maksimal dan risiko yang minimal, sebagai contoh kalau ada risiko harus yang wajar
(reasonalble), dengan desain penelitian yang ilmiah, peneliti ada kemampuan
melaksanakan dengan baik, diikuti prinsip do no harm (tidak merugikan, non
maleficence)
3. Prinsip etika keadilan (Justice), prinsip ini menekankan setiap orang layak mendapatkan
sesuatu sesuai dengan haknya menyangkut keadilan destributif dan pembagian yang
seimbang (equitable). Jangan sampai terjadi kelompokkelompok yang rentan
mendapatkan problem yang tidak adil. Sponsor dan peneliti umumnya tidak bertanggung
jawab atas perlakuan yang kurang adil ini. Tidak dibiarkan mengambil
keuntungan/kesempatan dari ketidak mampuan, terutama pada negara-negara, atau
daerah-daerah dengan penghasilan rendah.Keadilan mensyaratkan bahwa penelitian harus
peka terhadap keadaan kesehatan dan kebutuhan subjek yang rentan.

Penilaian Etik Usulan Penelitian


Komisi Etika Penelitian Kesehatan institusi (KEPKI) atau dikenal juga dengan IRB
(Institutional Review Board) dalam memberikan penilaian, dapat terjadi sekaligus menilai sisi
ilmiah dari usulan penelitian tersebut dengan dasar-dasar prinsip-prinsip ilmiah yang universal
yang berisi hal-hal seperti latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis,
perencanaan, dan pelaksanaan eksperiman atau percobaannya, metoda penelitian, pengumpulan
dan pengelolaan data dan kesimpulan. Penilaian etiknya akan sukar dilakukan dengan cara
uniform, setiap usulan harus diperlakukan sebagai usulan yang unik.
Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) Dalam PNEPK ditegaskan bahwa penelitian
kesehatan yang mengikut-sertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian wajib didasarkan
pada tiga prinsipetik umum, yaitu menghormati harkat martabat manusia (respect for persons),
berbuat baik (beneficence) dan keadilan (justice). Prinsip etik umum pertama, menghormati
harkat martabat manusia yang sebagai pribadi (persona) memiliki kebebasan berkehendak atau
memilih dan bertanggung jawab secara pribadi tentang keputusannya.
Prinsip etik umum pertama bertujuan untuk:
 Menghormati otonomi, yang mempersyaratkan bahwa manusia yang mampu menalar pilihan
pribadinya harus diperlakukan dengan menghormati kemampuannya untuk mengambil
keputusan mandiri (self-determination)
 Melindungi manusia yang otonominya kurang atau terganggu. Hal ini mempersyaratkan
bahwa subjek yang berketergangtungan (dependent) atau rentan (vulnerable) perlu dilindungi
terhadap kerugian (harm) atau penyalahgunaan (abuse).
Untuk menghormati prinsip etik umum pertama tersebut, peneliti diwajibkan untuk
setelah memberi penjelasan yang memadai, meminta persetujuan dari setiap relawan manusia
yang akan diikutsertakan sebagai subjek penelitian. Persetujuan tersebut dikenal sebagai
Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP, Informed Consent). Penjelasan diberikan supaya subjek
penelitian mengerti tujuan penelitian serta resiko dan keuntungan yang mungkin akan dialaminya
serta hak dan kewajibannya. PSP bertujuan untuk melindungi kebebasan pribadi dan otonomi
subjek penelitian. Masalah PSP telah dibahas secara rinci dalam PNEPK, namun demikianperlu
lagi ditekankan bahwa PSP adalah pernyataan persetujuan ikut serta dalam penelitian dari
seorang awam. Karena itu PSP sewajarnya ditulis dengan menggunakan bahasa orang awam
tanpaperistilahan kedokteran. Lebih penting lagi perlu dijaga, seperti sekarang makin sering
terjadi, bahwa PSP tidak berubah menjadi dokumen hukum guna melindungi peneliti, lembaga
penelitian, sponsor atau donor. Jika dokumen hukum dipersyaratkan oleh sponsor atau donor
maka dokumen hukum, jika dianggap wajar, dibuat terpisah dari PSP. Calon subjek penelitian
hanya boleh dihubungi dan dimintakan PSP jika penelitian telah mendapat persetujuan ilmiah
dan etik dari komisi yang berwenang.
Pengajuan Ethical clearance
Usulan ethical clearance diserahkan kepada sekretariat Komisi Etik Penelitian Kesehatan.
Kelengkapan berkas terdiri dari :
1. Surat usulan dari institusi
2. Protokol penelitian
3. Daftar tim peneliti
4. CV peneliti utama
5. Surat persetujuan pelaksanaan penelitian dari scientific board (PPI)
6. Informed Consent (formulir persetujuan keikutsertaan dalam penel
7. Ethical Clearance dari institusi lain (bila ada). Kuesioner/pedoman wawancara (bila
ada)
Pedoman Umum Pengajuan Klirens Etik Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial Dan Kemanusiaan :
- Semua penelitian yang melibatkan manusia harus melalui proses klirens etik. Kecuali
penelitian dengan menggunakan data sekunder atau me-review informasi atau data yang
merupakan materi yang telah tersedia di ranah publik seperti: Surat kabar, website,
majalah, laporan publik, pernyataan publik, film, program televisi, pertunjukan di depan
publik, pameran di publik, pidato publik.
- Karya yang telah dipublikasi, sistematik review, review literatur, dll.
- Materi-materi lama yang disimpan dan boleh digunakan untuk umum.
- Studi yang menggunakan metode tambahan, yang berhubunganlangsung dengan manusia
seperti wawancara, FGD dll, meskipun metode utamanya menggunakan review materi
yang ada di publik, tetap memerlukan proses klirens etik.
- Studi yang menggunakan review dari materi-materi yang bersifatkonfidensial (medical
records, catatan kesehatan rumah sakit/klinik kesehatan) harus melalui proses klirens etik.
- Studi yang melibatkan review statistik dari suatu lembaga(karyawan, klien, pasien,
catatan pelayanan, dll.) harus melalui klirens etik
- Status apakah suatu penelitian memerlukan atau dikecualikan dari proses klirens etik
diputuskan oleh Komisi Klirens Etik, bukan oleh peneliti atau lembaga lainnya.
- Pengelompokkan penelitian. Semua usulan penelitian harus melalui Komisi Klirens Etik,
dengan menggunakan kriteria standar yang telah ditentukan.
Penelitian dikategorikan sebagai:
Hijau : Tidak ada resiko (menggunakan data sekunder, data publik)
Kuning : Minimal atau resiko rendah
Merah : Resiko tinggi
- Proses Klirens Etik hanya dilakukan terhadap usulan penelitian dengan kategori Kuning
dan Merah. Setiap usulan penelitian yang diklasifikasikan sebagai Merah harus di review
oleh komisi lengkap.
- Proses Klirens Etik terdiri dari:
1. Validitas ilmiah
a. Keterkaitan antara topik, tujuan, dan pertanyaan penelitian yang utama.
b. Pemilihan sampel yang memadai untuk kedua pendekatan penelitian, kualitatif
dan kuantitatif.
c. Penyeleksian setiap aspek dari pengumpulan data.
d. Penyerahan instrumen penelitian: kuesioner/pedoman pertanyaan, jadwal
penelitian, formulir observasi, dll.
e. Metode penelitian harus sesuai dengan pertanyaan penelitian.
2. Manajemen data
a. Manajemen data harus dijelaskan secara rinci (penyimpanan dan pemusnahan).
b. Menjaga kerahasiaan dan privasi.
3. Consent (Informed Consent) berisikan:
a. Lembar Informasi (tujuan penelitian, instrumen pengumpulan data, lama
pengumpulan data, resiko/manfaat dari penelitian, alamat kontak komisi etik ,
koordinator peneliti.
b. Pernyataan Consent (konfirmasi dari subyek penelitian bahwa yang bersangkutan
memahami proses penelitian, dan haknya termasuk hak untuk menolak atau
mengundurkan diri dari penelitian tanpa ada konsekuensi negatif, serta
pemahaman bahwa keikutsertaan dalam penelitian bersifat sukarela).

8. Klasifikasi Dan Taksonomi Serta Zat Aktif Tumbuhan Obat


Berdasarkan klasifikasi lima kingdom maka kingdom Plantae (tumbuhan ) dibagi ke
dalam beberapa filum yakni Lumut ( Bryophita ), Paku-pakuan (Pteridhophyta), serta tumbuhan
berbiji (Spermatophyta). Bakteri dan ganggang (Algae) dimasukkan dalam kingdom
Protista.Kelima kingdom diklasifikasikan berdasarkan karakteristik yang khas dari masing-
masing organisme-organisme yang menyusunnya. Berdasarkan morfologi atau susunan tubuh
tumbuhan bisa dibedakan lagi atas dua jenis kelompok besar yakni :
1. Tumbuhan Tidak Berpembuluh (Thallophyta) yang meliputi Lumut (Bryophyta)
2. Tumbuhan Berpembuluh (Tracheophyta ) yang meliputi Paku-pakuan (Pteridophyta )
dan Tumbuhan Berbiji (Spermatophyta).
Taksonomi
Taksonomi tumbuhan adalah ilmu yang mempelajari penelusuran, penyimpanan contoh,
pemerian, pemahaman (identifikasi), pengelompokan (klasifikasi), serta penamaan tumbuhan.
Ilmu indonesia merupakan cabang dari taksonomi. Taksonomi tumbuhan (juga hewan) sering
kali dikacaukan dengan sistematika tumbuhan dan klasifikasi tumbuhan. Klasifikasi tumbuhan
merupakan bagian dari taksonomi tumbuhan. Sistematika tumbuhan adalah ilmu yang berkaitan
sangat erat dengan taksonomi tumbuhan. Tetapi, sistematika tumbuhan lebih tidak sedikit
mempelajari hubungan tumbuhan dengan proses evolusinya. Dalam sistematika bantuan ilmu
seperti filogeni dan kladistika banyak berperan. Di sisi lain, taksonomi tumbuhan lebih banyak
mempelajari aspek penanganan sampel-sampel (spesimen) tumbuhan dan pengelompokan
(klasifikasi) berdasarkan contoh-contoh ini. Ilmu taksonomi tumbuhan mengalami melimpah
perubahan cepat semenjak digunakannya berbagai teknik biologi molekular dalam berbagai
kajiannya. Pengelompokan spesies ke dalam banyak takson sering kali berubah-ubah tergantung
dari sistem klasifikasinya. Taksonomi tumbuhan adalah ilmu yang mempelajari penelusuran,
penyimpanan contoh, pemerian, pengenalan (identifikasi), pengelompokan (klasifikasi), dan
penamaan tumbuhan. Ilmu ini merupakan cabang dari taksonomi.
Berdasarkan Kalsifiksainya dibagi menjadi :

 Kingdom
 Divisi
 Kelas
 Ordo
 Family
 Genus

Species Dalam plant kingdom, divisi yang paling penting adalah

 Thallophites
 Bryophytes
 Pteriophytes
 Spermatophytes
Bahan aktif adalah bahan dalam obat farmasi atau pestisida yang aktif secara biologis. Istilah
serupa bahan aktif farmasi dan aktif massal juga digunakan dalam pengobatan, dan istilah zat
aktif dapat digunakan untuk produk alami. Beberapa produk obat mungkin mengandung lebih
dari satu bahan aktif. Kata tradisional untuk agen farmasi aktif adalah pharmacon atau
pharmakon (dari bahasa Yunani: φάρμακον, diadaptasi dari pharmacos) yang awalnya
menunjukkan zat ajaib atau obat Istilah konstituen aktif atau prinsip aktif sering dipilih ketika
merujuk pada zat aktif yang menarik dalam tanaman (seperti asam salisilat dalam kulit pohon
willow atau arecoline dalam kacang pinang), karena kata bahan dalam banyak pikiran
berkonotasi dengan perasaan agensi manusia ( yaitu, sesuatu yang seseorang gabungkan dengan
zat lain), sedangkan produk alami yang terdapat pada tanaman tidak ditambahkan oleh agensi
manusia, melainkan terjadi secara alami ("tanaman tidak memiliki bahan"). Berbeda dengan
bahan aktif, bahan aktif biasanya disebut eksipien dalam konteks farmasi. Eksipien utama yang
berfungsi sebagai media untuk menyampaikan bahan aktif biasanya disebut kendaraan.
Petrolatum dan minyak mineral adalah kendaraan umum.

9. Jenis-Jenis Tumbuhan Dan Kandungan Zat Aktif Yg Bisa Dijadikan Obat

Jenis tumbuhan dan kandungan zat aktif yang bisa dijadikan obat :
1. Musilago terdapat pada banyak tanaman. Bahan ini berasal dari polisakarida. Musilago
dengan banyak air membentuk massa kental seperti, jelly. Musilago dapat melapisi
dinding bagian dalam saluran pencernaan dan melindungi dari iritasi, keasaman, dan
perdangan. Musilago dapat bermanfaat untuk melapisi dan melindungi dinding bagian
dalam tenggorok, saluran kencing dan lain-lain. Contoh camcao.
2. Fenol
3. Minyak atsiri yang terdapat pada tanaman sering mengandung zat yang termasuk
kelompok fenol. Beberapa contoh timol terdapat pada tanaman timi, eugenol pada sirih,
fenol juga terdapat pada cabai jawa dan lada. Fenol berguna sebagai antiseptik untuk
mengurangi radang. Fenolmurni menimbulkan iritasi pada kulit dan harus dilunakkan
atau diencerkan.
4. Tanin Tanin terdapat dalam bagian tanaman tertentu seperti daun, buah, kulit kayu, dan
batang. Pada buah yang muda sering terdapat tanin, kadar tanin menurun sejalan dengan
menuanya buah. Tanin merupakan antiseptik untuk mencegah hama serangga dan kapang
yang akan menganggu kehidupan yanaman bersangkutan. Tanin dapat dibedakan menjadi
dua kelompok yaitu:
a. Katekol, contoh gambir
b. Pirogalotamin, contoh manjakan
5. Kumarin
Kumarin dalam bentuk berbeda-beda banyak terdapat pada rempah dan sayuran.
Bergapten terdapat pada seledri digunakan untuk tabir surya. Kumarin terdapat pada biji
seledri.
4. Antrakuinon
Antrakuinon terdapat pada tanaman kelembak, sena, dan trengguli. Digunakan
untuk mengobati sembelit. Zat ini bersifat Laxans. Dalam penggunaannya yang
berlebihhan dapat menimbulkan iritasi pada dinding intestinal. Antrakuinon akan
mempermudah buang air besar, kadang-kadang tinja tidak berbentuk padat, tetapi
berbentuk cair (mencret).
6. Flavonoid
Flavonoid banyak terdapat pada tumbuhan. Selain berguna sebagai antiradang
saat ini terutama berguna dalam menjaga kesehatan. Rutin merupakan flavonoid yang
benyak terdapat pada tanaman jeruk, seperti jeruk nipis! jeruk lemon dan bayam duri.
Rutin bermanfaat untuk memperkuat dinding kapiler.
7. Minyak atsiri
Kebanyakan bahan baku yang digunakan untuk jamu bersal dari familia
Zingiberaceae. Komponen aktif yang dikandung antara lain minyak atsiri. Selain terdapat
tanaman familia Zingiberaceae seperti jahe, kencur, dan temulawak. Minyak atsiri juga
terdapat pada familia Labiatae (berasal dari rambut kelenjar), piperaceae (berasal dari sel
paenchym) , umbelliferae (berasal dari kelenjar minyak), rutaceae (berasal dari kelenjar
lisigin atau sizolisigen). Tanaman yang menganung minyak atsiri adalah kapulogo, adas,
kayu putih, pala, selasih, kemukus, jahe dan lain-lain. Minyak atsiri berkhasiat sebagai
antiseptik yang kuat. 'eberapa minyak atsiri yang mengandung seskuisperten berkhasiat
sebagai antiradang.

10. Membedakan Obat Alami Dan Obat Sintetis


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.193/Kab/B.VII/71, dikatakan bahwa obat
adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam
menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan menyembuhkan penyakit atau
gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia ataua hewan dan untuk
memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.
Dalam WHO, obat didefinisikan sebagai zat yang dapat mempengaruhi aktivitas fisik atau psikis.
Yang dimaksud dengan obat kimia sintetis adalah obat yang berasal dari zat kimia. Obat sintetis
diproduksi sepenuhnya oleh sintetis kimia. Kelemahan obat kimia sintetis adalah:
 Obat sintetis kimia cenderung memiliki efek samping dan terakumulasi di dalam tubuh
(Johnson, 2013).
Perbedaan antara obat tradisional dan obat sintetis adalah:

a) Obat tradisional
- Lebih murah dibandingkan obat sintetis
- Dapat dibuat sendiri
- Bahan yang digunakan merupakan bahan-bahan dari alam
- Kurang berbahaya
- Kurang menimbulkan dampak negatif bila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak.
- Variasi yang terbatas
- Memiliki manfaat yang berbeda dengan obat-obatan sintetik.
b) Obat sintetik
- Lebih mahal dibandingkan obat tradisional
- Dibuat dengan pengetahuan yang besar dan menggunakan peralatan yang canggih
- Bahan yang digunakan adalah campuran dari bahan-bahan kimia.
- Cukup berbahaya
- Sangat menimbulkan dampak negatif/efek samping bila dikonsumsi dalam jumlah
yang banyak.
- Memiliki banyak variasi
- Memiliki manfaat yang berbeda dengan obat tradisional.

Anda mungkin juga menyukai