Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN HASIL DISKUSI BBDM KELOMPOK 11

MODUL 6.3 SKENARIO 2

TUTOR PEMBIMBING

dr. Enny Probosari, M.Si.Med, Sp.GK

DISUSUN OLEH

M Rahmandito Susilo (22010117130094)


Devina Subagio (22010117130095)
Hafizh Budi Rahaditya (22010117140095)
Amanda Stefani Soeharto (22010117140096)
Ega Herawati (22010117130096)
Savero Aufar Farrel (22010117140104)
Adhika Ashari (22010117130104)
Solekhah Dwi Anggita A (22010117140105)
Razaani Mienfaalihah Ramadhanta (22010117130105)
Airiza Fatma Yossineura (22010117140106)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2020
SKENARIO 2

KONFUSIO AKUT

Pak Sastro, usia 80 tahun, datang ke UGD dengan keluhan sejak 2 hari jika diajak bicara
kadang tidak nyambung . Pasien mengeluh sesak nafas, nafas kadang berbunyi mengi disertai
batuk dengan dahak banyak. 1 hari ini pasien lebih banyak tidur. Sesekali membuka mata
jika dipanggil oleh anaknya. Pasien tidak demam dan tidak mau makan minum karena mual.
Pada bokong terdapat luka borok dengan diameter 4 cm , dengan dasar otot. Sejak jatuh 2
bulan yang lalu, pasien terus berbaring di tempat tidur karena adanya tungkai kiri nyeri saat
digerakkan dan tampak lebih pendek dibandingkan tungkai kanannya. Pada saat itu sudah
dilakukan pemeriksaan x foto panggul dan tungkai kiri, hasilnya berupa fraktur collum
femoris sinistra. Sejak sakit ini Pak Sastro memakai popok dewasa karena kadang-kadang
ngompol dan BAB tidak terasa. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien
lemah, kesadaran somnolen GCS E3M4V4. Tanda vital TD 100/60 mmHg, Nadi 105
x/menit, RR 28 X/menit, suhu 36,5. Pemeriksaan paru didapatkan ronki basah kasar dan
eksperium diperpanjang pada kedua paru. Pemeriksaan jantung dan abdomen dalam batas
normal. Panjang anatomi tungkai kiri < dibandingkan tungkai kanan.

STEP 1 TERMINOLOGI

1. Kesadaran somnolen GCS E3M4V4


 Kesadaran somnolen atau letargi didefinisikan sebagai kondisi dimana pasien
mengalami kantuk yang berat dan dapat terbangun ketika diberikan rangsang
sedang dan kembali dalam keadaan tidur.
GCS E3M4V4
E3: menandakan mata terbuka ketika diberikan rangsang suara
M4: reaksi motorik menjauhi rangsang nyeri
V4: mengalami kebingungan saat melakukan pembicaraan.

(Tindall SC. Level of Consciousness. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW,
editors. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths; 1990.)
2. Konfusio akut
 Konfusio adalah akibat dari gangguan menyeluruh fungsi kognitif, tandanya
ada beberapa:
- Penurunan derajat kesadaran dan kewaspadaan secara mendadak
- Terganggu prosesn berpikir
- Terjadinya proses disorientasi
3. Luka borok
 Luka borok merupa luka terbuka pada kulit dan muncul nanah. Nanah muncul
akibat adanya infeksi yg timbul.

STEP 2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengaruh kebiasaan pasien berbaring di tempat tidur terhadap keadaan


kesehatannya?
2. Mengapa bapak tidak berasa saat BAK dan BAB?
3. Kenapa muncul luka borok?
4. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik ?
5. Apakah hubungan riwayat jatuh 2 bulan lalu dengan keluhan tidak nyambung saat
bicara?
6. Mengapa pasien mengalami sesak napas?

STEP 3 HIPOTESIS

1. Apa pengaruh kebiasaan pasien berbaring di tempat tidur terhadap keadaan


kesehatannya?
 Karena pasien terus berbaring di tempat tidur selama 2 bulan, dapat terjadi
ulkus dekubitus yang disebabkan oleh tekanan terus menerus pada kulit yang
sama yang akan mengakibatkan terjadinya anoksia jaringan dan nekrosis

(Sumber: Faswita, Wirda. 2017. Hubungan Pengetahuan Pasien Tirah Baring


yang Terlalu Lama dengan Kejadian Dekubitus di Rumah Sakit Bangkatan
PTPN 2 Binjai Tahun 2017.)
2. Mengapa bapak tidak berasa saat BAK dan BAB?
 Dikarenakan pasien terkena konfusio akut sehingga tidak bisa mengontrol
BAB dan BAK. Dari riwayat penyakitnya terdapat sesak nafas, batuk batuk
dan cedera tungkai, ini kemungkinan dapat menekan dari organ urologi yang
akhirnya menyebabkan tidak terkontrolnya pengeluaran BAB dan BAK.
Pasien berusia 80 tahun, pada lansia biasa terjadi inkontinensia urin dan alvi.
Fisiologisnya terjadi penurunan otonom saraf sehingga tidak ada saraf yang
dapat menahan BAB dan BAK. Yang berperan dalam menahan BAK biasanya
simpatis, pada kasus ini simpatisnya tidak berperan maksimal, sehingga
parasimpatisnya berperan dan menyebabkan inkontinensia urin

(Sumber: Faswita, Wirda. 2017. Hubungan Pengetahuan Pasien Tirah Baring


yang Terlalu Lama dengan Kejadian Dekubitus di Rumah Sakit Bangkatan
PTPN 2 Binjai Tahun 2017.)
3. Kenapa muncul luka borok?
 Ditinjau dari kondisi pasien, luka borok dalam skenario kemungkinan besar
merupakan ulkus dekubitus.
Ulkus dekubitus disebabkan oleh tekanan dan gesekan pada kulit yang
menghambat aliran darah ke kulit. Kondisi ini umum terjadi pada seseorang
yang tidak dapat mengubah posisi tubuh ataupun bergerak dalam waktu yang
lama sehingga muncul luka-luka di area tubuh yang tertekan.
4. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik ?
 Interpretasi Pemeriksaan fisik
- KU lemah, GCS 11 (delirium)
- Denyut nadi : takikardia
- RR : takipnea (karena atrofi otot pernapasan, penurunan komplians paru
dan dinding dada, penurunan kekuatan otot nafas, perubahan interstitium
paru, penurunan permukaan alveolar)
- Suhu normal
- Bunyi suara nafas mengi
- Auskultasi ronkhi basa karena sekret
- Tungkai kiri < kanan akibat fraktur.

(Sumber : Barkauskas V, Stoltenberg-Allen K, Baumann L, et al. Health and


Physical Assessment, 3rd ed. St. Louis: Mosby-Year Book, 2002)
5. Apakah hubungan riwayat jatuh 2 bulan lalu dengan keluhan tidak nyambung saat
bicara?
 Jadi jatuh yang dialami oleh pasien itu dapat disebabkan oleh drop attack. Itu
merupakan salah satu penyebab dari konfusio akut. Pada konfusio, seseorang
mengalami gangguan fungsi kognitif yang ditandai oleh kesadaran yang turun,
gangguan berpikir hingga terjadi disorientasi. Salah satu gejala yang muncul
di skenario adalah bicara yang tidak nyambung.
6. Mengapa pasien mengalami sesak napas?
 Jadi untuk keluhan sesak nafas bisa terjadi mungkin dikarenakan terjadinya
aspirasi dikarenakan pasien terus berbaring sehingga mengakibatkan
pneumonia atau bisa disebabkan hal lain seperti pasien mengidap asma atau
terjadi inflamasi.

STEP 4 SKEMA

STEP 5 SASARAN BELAJAR

1. Definisi dan penyebab dari konfusio akut


2. Tanda dan gejala infeksi pada usia lanjut
3. Definisi dan penyebab ulkus dekubitus
4. Tatalaksana konfusio
5. Edukasi untuk pasien
STEP 6 BELAJAR MANDIRI

1. DEFINISI DAN PENYEBAB KONFUSIO AKUT


Definisi
Konfusio akut adalah suatu gangguan organik otak yang mengakibatkan gangguan menyeluruh
fungsi kongnitif dengan perburukan derajat kesadaran dan kewaspadaan yang mendadak dan
berfluktiasi, serta terganggunya proses berfikir yang mengakibatkan disorientasi. Metabolisme
otak terutama tergantung pada jumlah glukosa dan oksigen yang mencapai otak, berbeda dengan
organ lain, otak tidak mempunyai tempat penyimpanan yang cukup dan oleh karena itu
bergantung dengan suplai dari sirkulasi darah. Penurunan mendadak dari pasokan tersebut akan
mengganggu jalur metabolik otak dan menyebabkan terjadinya konfusio.
Penyebab : Multifaktorial
 Patologi Intrakranial
o Tumor
o Perdarahan
o Infeksi = abses, meningitis, ensefalitis
o Pasca kejang
 Metabolisme
o Gagal napas = hipoksia, hiperkapnia
o Gagal hati
o Gagal ginjal
o Disfungsi adrenal, tiroid, dan hipofisis
 Infeksi dan demam
 Peredaran darah
o Dehidrasi

2. TANDA DAN GEJALA INFEKSI PADA USIA LANJUT


Tanda dan gejala infeksi yang seringkali ditemukan pada orang dewasa, seperti
demam dan leukositosis, jarang sekali ditemukan atau bahkan tidak ditemukan sama
sekali pada lansia. Meski 60% kasus infeksi serius pada lansia didapatkan
leukositosis, ketiadaan leukositosis tidak serta-merta menghilangkan kecurigaan
terhadap infeksi. Pada lansia, jarang ditemui suhu tubuh yang meningkat bahkan suhu
badan cenderung rendah lebih sering dijumpai. Keluhan dan gejala yang tidak khas
berupa konfusi/delirium sampai koma, nafsu makan menurun tiba-tiba, nausea,
muntah, badan lemas, dan terdapat perubahan tingkah laku.
Manifestasi klinik infeksi pada lansia meliputi:
1) Gejala demam
Demam biasanya tidak jelas atau bahkan tidak ada sama sekali pada lansia.
Temperatur basal tubuh pada lansia memang sudah rendah sehingga apabila terjadi
infeksi kenaikan suhu tubuh tidak melebihi 38,3°C. penderita dengan sepsis sering
tidak demam, bahkan hipotermia dan terjadi [ada 20% penderita. Selain
memperlambat diagnosis, tidak adanya demam juga menurunkan efek fisiologis
leukosit dalam melawan infeksi, sehingga akan lebih berbahaya.

2) Gejala tidak khas


Perubahan akibat infeksi pada lansia tidak jelas, dan keluhan-keluhan tidak
spesifik yang dirasakan mungkin merupakan satu-satunya indikasi. Pasien lansia
dengan infeksi seringkali disertai dengan gangguan kognitif atau perubahan status
mental; delirium diketahui terjadi pada 50% lansia dengan infeksi. Selain itu,
anoreksia, kelemahan fungsional, jatuh, penurunan berat badan, atau sedikit
peningkatan pada frekuensi napas mungkin merupakan beberapa gejala yang dapat
mengindikasikan kejadian infeksi pada pasien lansia.
Gejala nyeri yang biasanya khas pada apendisitis akut, kolesistitis akut,
meningitis, dan lain-lain sering tidak dijumpai. Batuk pada pneumonia berupa
keluhan ringan sehingga sering dianggap sebagai batuk biasa. Gejala pneumonia
yang sering dijumpai berupa penurunan kesadaran/konfusio, inkontinensia, jatuh,
anoreksia, dan kelemahan umum.

3) Gejala akibat penyakit penyerta (komorbid)


Sering menutupi, mengacaukan bahkan menghilangkan gejala khas akibat
infeksi, padahal penyakit komorbid ini sering didapati pada lansia.

3. DEFINISI DAN PENYEBAB ULKUS DEKUBITUS

Definisi:
Ulkus dekubitus adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir yang disebabkan
karena adanya kompresi jaringan yang lunak diatas tulang yang menonjol (bony
prominence) dan adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu yang lama. Kompresi
jaringan akan menyebabkan gangguan suplai darah pada daerah yang tertekan.
Apabila berlangsung lama, hal ini akan menyebabkan insufisiensi aliran darah,
anoksia atau iskemia jaringan dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel.
Penyebab ulkus dekubitus:
Faktor etiologi utama atau faktor ekstrinsik yang berkontribusi terhadap
terjadinya ulkus dekubitus adalah tekanan, pergeseran, gesekan, dan kelembaban.
Ketika tekanan berdurasi singkat dilepaskan, jaringan memperlihatkan aliran darah
yang meningkat ke daerah tersebut. Namun, tekanan tinggi yang bertahan lama
menyebabkan penurunan aliran darah, oklusi pembuluh darah dan pembuluh limfatik,
dan iskemia jaringan. Perubahan ini berperan untuk terjadinya nekrosis otot, jaringan
subkutaneus, dermis dan epidermis, dan akhirnya membentuk ulkus dekubitus.
a. Orang-orang yang tidak dapat bergerak (misalnya lumpuh, sangat lemah,
dipasung).
b. Orang-orang yang tidak mampu merasakan nyeri, karena nyeri merupakan
suatu tanda yang secara normal mendorong seseorang untuk bergerak.
Kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke, diabetes) dan koma bisa
menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk merasakan nyeri.
c. Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) tidak memiliki
lapisan lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak mengalami pemulihan
sempurna karena kekurangan zat-zat gizi yang penting.
d. Usia, pasien yang sudah tua memiliki risiko yang tinggi untuk terkena luka
tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan.
e. Tekanan arteriolar, tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi
kulit terhadap tekanan sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah
mampu mengakibatkan jaringan menjadi iskemia.
f. Merokok, nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan
memiliki efek toksik terhadap endothelium pembuluh.
4. TATALAKSANA KONFUSIO
Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari penyebabnya. Identifikasi
penyakit yang mendasari serta pengobatannya secara tepat perlu dilakukan. Pasien
dengan gangguan medis umum yang disertai dengan delirium akan menjalani masa
tinggal rumah sakit yang lebih lama daripada yang tidak mengalami delirium.
Delirium sendiri dapat menimbulkan komplikasi lain yang banyak terjadi pada pasien,
Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber deliriumnya
adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika agitasi yang berat tidak dapat
dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan karena benzodiazepin dapat
menyebabkan reaksi berkebalikan yang memperburuk delirium. Reaksi berkebalikan
yang diakibatkan oleh benzodiazepin adalah sedasi yang berlebihan yang dapat
menyulitkan penilaian status kesadaran pasien itu sendiri.
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering dipakai pada
kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena profil efek
sampingnya yang lebih dapat diberikan secara aman melalu jalur oral maupun
parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg per oral (PO) atau intra
muscular maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu
jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10 mg terpenuhi. Setelah pasien lebih baik
kesadarannya atau sudah mampu menelan obat oral maka haloperidol dapat diberikan
per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi.
Haloperidol intravena lebih sedikit menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada
penggunaan oral.
Antipsikotik yang lebih baru, misalnya risperidon, olanzapin dan quetiapin juga
membantu dalam penatalaksanaan delirium. Namun penelitian dan bukti yang
mendukung penggunaan antipsikotik atipikal pada delirium belum terbukti jelas
sehingga obat-obat tersebut tidak dapat digunakan sebagai terapi lini pertama. Dosis
awal olanzapin adalah 5 mg per oral setiap hari, setelah satu minggu, dosis dapat
ditingkatkan menjadi 10 mg sehari dan dititrasi menjadi 20mg sehari. Quetiapin
diberikan 25 mg per oral dua kali sehari yang dapat ditingkatkan menjadi 25-50mg
per dosis tiap 2 sampai 3 hari sampai tercapai target 300-400 mg perhari yang
terbagi dalam 2-3 dosis. Risperidon diberikan 1-2 mg per oral pada malam hari dan
secara gradual ditingkatkan 1 mg tiap 2-3 harus sampai dosis efektif tercapai (4-6 mg
per oral). Quetiapin adalah obat antipsikotik baru yang paling menimbulkan sedasi
dan paling aplikatif dalam pengobatan delirium yang agitasi.
5. EDUKASI UNTUK PASIEN
a) Terapi pencegahan ulkus dekubitus
o Membuat kulit tetap bersih dan kering.
o Melindungi kulit dengan krim pelembab untuk melindungi kulit dari
urine dan feses. Mengubah posisi bedding dan pakaian secara frekuensi
jika dibutuhkan.
o Inspeksi kulit secara berkala apakah ada warning sign dari ulkus
dekubitus.
b) Repositioning
Mempertimbangkan rekomendasi terkait reposisi pada tempat tidur atau kursi :
o Menggunakan matras yang dapat meringankan tekanan sehingga dapat
memastikan tubuh dalam posisi yang baik.
o Redistribusi tekanan
Bertujuan agar tidak ada tekanan yang diaplikasikan sehingga
menyebabkan ulkus dekubitus. Frekuensi reposisi bergantung pada
derajat risiko individu terdampak.
c) Asuhan Nutrisi
Kecukupan intake protein dan kalori sangat penting. Vitamin C telah
dibuktikan dapat mengurangi risiko terjadinya ulkus dekubitus. Individu dengan
intake vitamin C lebih tinggi memiliki frekuensi lebih rendah terjadinya ulkus
pada yang menjalani aktivitas sehari-hari berbaring di tempat tidur.
Mempertahankan nutrisi yang tepat pada newborn juga sangat penting dalam
pencegahan ulkus.

Pencegahan

Pencegahan dibagi menjadi dua, yaitu pencegahan primer yang bertujuan untuk
mencegah keberulangan delirium sedangkan pencegahan sekunder bertujuan untuk
mengurangi durasi dan keparahan delirium dan mengoptimalkan fungsi sesudah
kejadian. Hal ini dapat dilakukan melalui penanganan proaktif oleh psikiater atau tim
geriatri.

Beberapa strategi pencegahan primer delirium telah diteliti. Pada kebanyakan pasien
dilakukan penapisan faktor risiko delirium melalui penanganan proaktif psikiater dan
tim geriatri yang bekerjasama dalam menjalani perawatan rutin pasien rawat inap di
bangsal. Dalam kasus-kasus “faktor risiko yang bisa diobati” pasien menjalani
penanganan klinik dan psikososial atau profilaksis farmakologis.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/10/jtptunimus-gdl-s1-2008-rrendangha-491-3-
bab2.pdf
2. Risk reduction and management of delirium : a national clinical guideline. Scottish
Intercollegiate Guidelines Network., Scotland. Healthcare Improvement Scotland.
Edinburgh. 2019.
3. Wisyastuti dr ketut, Mahasena D. Delirium. J Chem Inf Model. 2008;53(9):287.
4. Novita, Iin. 2019. Pencegahan dan Tatalaksana Dekubitus pada Geriatri. Biomedika.
Volume 11 No. 1 Perkumpulan Kontinensia Indonesia. 2018. Panduan Tata Laksana Urine
pada Dewasa. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai