Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

November 2021

ASMA BRONKIAL

OLEH :
dr. Fathul Rachmat S. Imam

PEMBIMBING :
dr. Chintya Marisha Putri

PESERTA INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS LOLAK
BOLAANG MONGONDOW
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis mampu menyelesaikan

Laporan Kasus yang berjudul “Asma Bronkial”. Sholawat serta salam semoga

tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah

membawa kita dari zaman yang gelap gulita menuju zaman yang terang

menderang seperti saat ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Chintya Marisha Putri, yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing sehingga laporan kasus ini dapat

terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan responsi ini masih jauh dari

kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat membuka diri terhadap kritik dan

saran yang membangun. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat memberikan

manfaat bagi seluruh pembaca yang membutuhkannya.

Bolaang Mongondow, November 2022

Penulis

1
BAB 1

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. FM

Umur : 63 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Mongkoinit Barat

Tanggal Masuk :

1.2 Anamnesis
 Keluhan utama:
Sesak napas

 Riwayat Penyakit Sekarang :


Seorang laki-laki berusia 63 tahun masuk ke UGD
Puskesmas Lolak dengan keluhan utama sesak napas sejak tadi
pagi. Keluhan disertai dengan nyeri dada (+). Batuk berlendir sejak
2 hari lalu. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati (+), mual (+).
Muntah (-) dan demam (-) disangkal.
 Riwayat Penyakit dahulu:
 Riwayat Asma
 Riwayat Penyakit keluarga:
 Tidak ada
 Riwayat Pengobatan
 Symbicort

2
1.3 Pemeriksaan Fisik
 Umum
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Composmentis (GCS→ E4M6V5)
 Tekanan darah : 130/80 mmHg
 Nadi : 22 x/menit
 Pernapasan : 98 x/menit
 Suhu : 36,70C
 Sp02 : 92%

 Status Generalisata
 Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Refleks pupil (+/+)
isokor diameter 3mm/3mm,
 Leher
Pembesaran KGB dan tiroid (-)
 Thorax
Paru

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan

Palpasi : Vokal fremitus kiri dan kanan sama

Perkusi : Sonor di semua lapang paru

Auskultasi: Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (+/+)

 Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Dalam batas normal

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi: Reguler, murmur (-/-), gallop(-/-)

3
 Abdomen
Inspeksi : Dalam batas normal

Auskultasi: Dalam batas normal

Palpasi : Nyeri tekan epigastric (+)

Perkusi : Dalam batas normal

 Ekstremitas
Inspeksi : Deformitas (-)

Palpasi : Akral hangat, CRT < 2 detik

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan.

1.5 Diagnosis
 Asma Bronkhial
 Dyspepsia (Diagnosis Sekunder)

1.6 Planning
 Oksigen 3 lpm
 Salbutamol 4mg
 Inj. Ranitidin IV
 Ambroxol
 Caviplex

1.7 Prognosis

 Quo ad vitam : dubia ad bonam


 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asma

Definisi asma menurut GINA adalah penyakit heterogen, biasanya

ditandai dengan peradangan saluran napas kronis. Hal ini

didefinisikan dengan riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak

napas, sesak dada dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu,

dalam intensitas, dan dengan adanya variabel keterbatasan aliran

udara ekspirasi.1

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang

melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan

peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala

episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan

batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut

berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan

seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.2

Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan

dengan pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu

atau bulan. Di sisi lain, pasien juga dapat mengalami beberapa

periode serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam nyawa

dan dapat memberikan beban yang signifikan bagi pasien dan

komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan hiperesponsivitas jalan

5
napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan

inflamasi jalan nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu

ada, walapun tidak ada gejala dan fungsi paru normal, dan akan

membaik dengan terapi.1

2.2 Epidemiologi Asma

Prevalensi asma menurut World Health Organization (WHO) tahun

2017 memperkirakan 235 juta penduduk dunia saat ini menderita

penyakit asma dan kurang terdiagnosis dengan angka kematian lebih

dari 80% di negara berkembang.

Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10

tahun dan sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun.

Pada usia anakanak, terdapat perbandingan 2:1 untuk laki-laki

dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi sama pada

umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota

yang lain dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma

berkisar antara 5 – 7 %.3

2.3 Faktor Resiko Asma

Secara umum faktor resiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:2

1. Faktor host

a. Genetik.

b. Gender.

c. Obesitas.

2. Faktor lingkungan

6
a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,

alternaria/jamur).

b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari).

c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,

kacang, makanan laut, susu sapi, telur).

d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-

blocker).

e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll).

f. Ekspresi emosi berlebih.

g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif.

h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan.

i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktivitas tertentu.

j. Perubahan cuaca.

Menurut GINA, berikut ini adalah faktor resiko asma, antara lain:1

1. Pasien dengan minimal 1 faktor risiko eksaserbasi.

2. Minimal 1 periode eksaserbasi berat di tahun terakhir.

3. Paparan tembakau dan rokok.

4. Penurunan FEV1, terutama kurang dari <60% prediksi.

5. Permasalahan psikologis besar.

6. Permasalahan sosioekonomik besar.

7. Alergi makanan terkonfirmasi.

8. Paparan allergen jika tersensitisasi.

9. Eosinofilia pada sputum.

7
2.4 Patofisiologi Asma

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel

inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T,

makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai

faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi

saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai

derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.

Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma

alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan

aspirin.2

2.4.1 Inflamasi Akut

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah

faktor antara lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi

respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan

pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat. 2

2.4.2 Reaksi Asma Tipe Cepat

Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast

dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut

mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan

newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF

yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan

vasodilatasi.2

2.4.3 Reaksi Asma Fase Lambat

8
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan

melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil

dan makrofag.2

Gambar 2.1. Proses Imunologis

2.4.4 Inflamasi Kronik

Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel

tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel,

fibroblast dan otot polos bronkus.2

2.4.5 Limfosit T

Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+

(subtipe Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi

saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-

5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi

Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B

mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi,

9
aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. 2

2.4.6 Epitel

Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2

pada penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran

markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase,

sitokin atau khemokin.

Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme

terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh

eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical,

TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.2

2.4.7 Eosinofil

Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma

tetapi tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas

penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan

sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-

5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan

PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi,

aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil

yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein

(ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan

eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel

saluran napas.2

2.4.8 Sel Mast

Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi.

10
Cross-linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast

mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang

mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease

serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan

leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa,

IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.2

2.4.9 Airway Remodeling

Reaksi inflamasi pada saluran nafas menimbulkan penyempitan

yang ireversibel pada saluran nafas (airway remodeling) akibat

fibrosis subepitelial, hipertrofi otot polos saluran nafas, penebalan

pembuluh darah dan hipersekresi mukus. Hal ini merupakan langkah

terakhir terjadinya gejala dan perubahan fisiologik saluran nafas

pada asma, yaitu berupa kontraksi otot polos, edem, penebalan

dinding dan hipersekresi mukus. Hiperesponsif ini bersifat responsif

secara parsil terhadap obat.2

11
Gambar 2.2 Inflamasi dan remodelling pada asma

Gambar 2.3. Asthmatic airway

2.5 Diagnosis Asma

Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis:1

 Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat

dada yang memburuk pada malam hari atau secara musiman.

 Riwayat asma sebelumnya.

 Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada

pada keluarga.

 Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan,

rangsangan bulu binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia,

perubahan suhu, debu rumah, obat – obatan ( aspirin,

penghambat beta ), olah raga, rangsang emosi yang kuat.

 Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma.

2. Pemeriksaan Fisik:

Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi dan

perpanjangan ekspirasi tanda emfisema pada asma yang berat.4

a) Vital Sign Fitur umum dicatat selama serangan asma akut

tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit),

takikardia, dan pulsus paradoksus.

b) Pemeriksaan Thorak

12
Pemeriksaan dapat mengungkapkan bahwa pasien yang

mengalami serangan asma dapat dijumpai:4

 Inspeksi : Sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi

epigastrium, retraksi suprasternal).

 Palpasi : Biasanya tidak ditemukan kelainan, pada

serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus.

 Perkusi : Biasanya tidak ditemukan kelainan.

 Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing.

3. Pemeriksaan Penunjang:

 Spirometri :

- (Volum Ekpirasi Paksa 1 detik) VEP1 < 70% dari nilai

prediksi menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.

- Tes reversibilitas : peningkatan VEP 1 ≥ 12% dan ≥ 200 ml

menunjukkan reversibilitas yang menyokong diagnosis asma

 Arus Puncak Ekspirasi ( APE ) :

- Reversibilitas. Peningkatan 60 L/menit ( atau ≥ 20% )

dengan pemberian bronkodilator ( misalnya 200-400 ugr

salbutamol ), atau variasi diurnal dari APE ≥ 20% ( dengan

bacaan 2x sehari > 10% ) menyokong diagnosis asma

- Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau pemburukan

gejala atau fungsi paru dalam periode tertentu misal 1 hari

(variabilitas diurnal), hari atau bulanan.

 Pengukuran Status Alergi

13
Untuk mengidentifikasi komponen alergi pada asma dapat

dilakukan pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik

serum dan eosinofil. Uji ini dapat membantu mengidentifikasi

faktor pencetus sehingga dapat dilakukan pencegahan terarah.

Umumnya dilakukan skin prick test. Namun, uji ini dapat

menghasilkan positif palsu maupun negatif palsu. Sehingga

konfirmasi pajanan alergen dengan timbulnya gejala harus

selalu dilakukan.

 Analisa Gas Darah

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada

fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO 2

< 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat pada

PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnea.

Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnea

(PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.

 Foto Toraks

Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan

penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal

jantung kiri, obstruksi saluran nafas, pneumothoraks,

pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan,

gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan

adanya kelainan.4

2.6 Klasifikasi Asma2

14
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit

dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan

berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan

penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi

tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan

gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (tabel 2.1).

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan

pengobatan yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat.

Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal

paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam

pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.

Tabel 2.2 menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma

pada penderita yang sudah dalam pengobatan. Bila pengobatan yang

sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka

derajat berat asma naik satu tingkat.

15
Tabel 2.1 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum

pengobatan)

Tabel 2.2 Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan 1

2.7 Diagnosis Banding

Bila menemukan keluhan batuk sesak, mengi salah satu kelainan

yang perlu dipikirkan adalah obstruksi saluran nafas atas. Diagnosis

banding asma :

Tabel 2.3 Diagnosis banding asma

Kategori Kriteria

Penyakit penyebab sesak PPOK, penyakit jantung coroner,


berulang GERD, gagal jantung kongestif,
emboli paru

16
Penyakit yang menimbulkan Rhinitis, sinusitis, otitis, bronkiektasis
batuk

Penyakit yang sering PPOK, cystic fibrosis


menimbulkan obstruksi saluran
nafas

2.8 Penatalaksanaan Asma

GINA mengajukan 4 komponen tata laksana yang dibutuhkan untuk

mencapai dan mempertahankan kontrol asma (GINA, 2018)

1. Mengembangkan Kerjasama Dokter dengan Pasien


Diupayakan tercapainya kerjasama yang baik antara dokter dan
pasien, dan melakukan edukasi pasien tentang asma dan tatakelola
asma yang perlu mereka kerjakan. Manajemen yang efektif
diperoleh bila pasien dapat aktif merawat diri sendiri yaitu bila ia
telah mampu :
a) Menghindari faktor resiko.
b) Menggunakan obatnya secara benar dan teratur sesuai yang
telah ditentukan.
c) Mengerti penggunaan obat pengontrol dan pelega.
d) Mampu memonitor asma dan bila mungkin bisa
menggunakan PEF meter.
e) Mengenal tanda pemburukan asma dan cara mengatasinya.
f) Konsultasi bila diperlukan.

2. Mengenal dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko

Pasien harus mengetahui faktor pencetus asma mereka dan


berusaha menghindari berbagai faktor yang dapat mencetuskan
asmanya seperti diuraikan mengenai faktor pencetus asma. Pasien

17
tetap melakukan olah raga sesuai kamampuannya dan bila perlu
sebelum olah raga terlebih dahulu menggunakan obat asma.

3. Evaluasi, Terapi dan Monitor Asma

Algoritma 1 menunjukkan suatu cara tata laksana asma secara


garis besar yang dapat dipergunakan sebagai dasar diagnosis
asma, evaluasi kontrol/beratnya asma, tempat perawatan dan
tingkat terapi yang diberikan pada pasien yang datang ke klinik
asma atau klinik emergensi. Tindak lanjut terapi pasien ditentukan
berdasarkan respon pasien hingga pasien dapat pulang untuk
berobat.

4. Monitoring untuk mempertahankan kontrol asma

Pasien kontrol 1 – 3 bulan kemudian dan seterusnya 3 bulan


sekali. Bila ada eksaserbasi kontrol tiap 2 – 4 minggu, ditanyakan
mengenai hasil kontrol asma yang tercapai, kepatuhan pasien
menggunakan inhaler dan PEF meter secara benar atau adanya
masalah lain pada pasien.

Penyesuaian obat dilakukan untuk mendapatkan kontrol yaitu


ditingkatkan regimen obat bila tak terkontrol/atau terkontrol
sebagian, sedangkan bila terkontrol baik selama 3 bulan diturunkan
dosis dan langkah terapi secara perlahan, hingga batas dosis obat
minimal yang dapat mengontrol.

Monitoring tetap diperlukan meskipun kontrol telah tercapai


karena asma adalah penyakit yang bervariasi hingga terapi perlu
disesuaikan secara berkala sebagai respon terhadap tanda – tanda
kurangnya kontrol yang ditandai oleh gejala yang memburuk atau
timbulnya eksaserbasi.

Terapi Farmakologis

18
 Kategori obat asma
Obat asma dapat digolongkan menjadi pengendali (controller)
dan pelega (reliever). Controller adalah obat yang dikonsumsi tiap
hari untuk membuat asma dalam keadaan terkontrol terutama
melalui efek anti inflamasi. Reliever adalah obat yang digunakan
bila perlu berdasar efek cepat untuk menghilangkan bronkokontriksi
dan menghilangkan gejalanya.

Tabel 2.4. Penggolongan obat asma

Controller Reliever
Kortikosteroid (inhalasi, Short acting b2 agonist
sistemik) (SABA) : inhalasi, oral
Leukotriene modifeier Kortikosteroid sistemik
Long acting b2 agonist (LABA) : Antikolinergik : Ipratropium br,
inhalasi, oral oxitropium
Chromolin: Sodium
Teofilin
cromoglycate dan Nedocromil
Teofilin lepas lambat
Anti IgE
Antikolinergik: Tiotropium

 Obat pengendali (Controller)


Pencegah adalah obat asma yang digunakan jangka
panjang untuk mengontrol asma, karena mempunyai
kemampuan untuk mengatasi proses inflamasi yang merupakan
patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten, dan sering disebut sebagai obat
pencegah.

19
Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai pencegah, antara lain:
a) Kortikosteroid inhalasi

Gambar 2.4 kortikosteroid inhalasi


b) Kortikosteroid sistemik
c) Sodium chromoglicate dan sodium Nedochromil
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada
asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan
untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
d) Methylxanthine
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas
lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi
menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan
memperbaiki faal paru.
e) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol
dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti
lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos,

20
meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast
dan basofil.
f) Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya
melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal
dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan
exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek
antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk
tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar di
Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).
g) Obat-obat anti alergi 

21
Tabel 2.5. Obat asma controller4

 Penghilang gejala (Reliever)4


Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang
berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada
dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk penghilang
gejala adalah4.

 Agonis beta 2 kerja singkat (SABA)


Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,
fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.
Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat.
Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi
otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi
penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi
pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai
praterapi pada exercise-induced asthma
 Kortikosteroid sistemik.
Steroid sistemik digunakan sebagai obat penghilang
gejala bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah
optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya
dikombinasikan dengan bronkodilator lain.

22
 Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya
memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik
pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide
dan tiotropium bromide.

Tabel 2.6. Obat Reliever

23
 Tahapan pengobatan asma :
Gambar 2.5 Step penanganan asma (GINA, 2019)

 Evaluasi pengobatan Asma


Pasien dengan asma harus di evaluasi respon pengobatannya,
dengan cara memonitor gejala, faktor resiko dan kejadian
eksaserbasi. Sebaiknya mendokumentasikan beberapa perbaikan
respon pengobatan yang berguna untuk mengetahui efek dari
pemberian obat asma atau membutuhkan dalam step lanjutan.
Untuk sebagaian obat pengontrol (controller) perbaikan dimulai
dalam beberapa hari setelah memulai pengobatan tetapi perbaikan
lengkap dapat diperoleh setelah 3 – 4 bulan pengobatan
sedangkan jika terdapat komorbid penyakit yang parah dan kronis
saat dirawat mungkin memerlukan waktu yang lebih lama.
Idealnya pasien harus di evaluasi 1-3 bulan setelah memulai
pengobatan dan setiap 3 – 12 bulan sesudahnya. Setelah
eksaserbasi kunjungan tinjauan dalam 1 minggu harus dijadwalkan
o Step up terapi asma
Diperlukan jika dalam keadaan asma tidak terkontrol, faktor
resiko tinggi dan eksaserbasi
- Sustained step up (untuk < 2 – 3 bulan) ; perbaiki cara dan
ketaatan pemakaian inhaler serta faktor resiko modifikasi
seperti merokok untuk dieliminasi kemudian evaluasi 2 – 3
bulan jika tidak ada respon lanjutkan untuk step berikutnya,
pengobatan alternatif dan pertimbangkan rujukan
- Short term step up ( untuk 1 – 2 minggu ) ; sesekali menaikkan
dosis maintenance ICS selama 1-2 minggu misalnya pada saat
terjadi infeksi, alergi atau penyakit comorbid lainnya\
- Day to day adjustment ; untuk pasien yang diberikan resep obat
budesonide/formoterol, beclometason/formoterol sebagai
maintenance dan terapi relivier. Memerlukan tambahan dosis
pada ICS/formoterol dalam hari ke hari menurut gejalanya.

24
o Step down terapi ketika asma sudah terkontrol
Ketika kontrol asma yang baik telah dicapai dan dipertahankan
selama 3 bulan dan fungsi paru – paru telah mencapai plateu
serta faktor resiko yang rendah. pengobatan biasanya telah
berhasil untuk dikurangi tanpa kehilangan kontrol asma. Tujuan
step down adalah :
- Untuk menemukan efek terapi minimal yang bermanfaat
untuk mempertahankan kontrol asma yag baik dari gejala
dan eksaserbasi serta meminimalkan biaya pengobatan dan
potensi efek samping
- Mendorong pasien untuk melanjutkan perawatan kontrol
secara teratur

25
Gambar 2.6 Step down terapi asma
 Pengobatan faktor resiko modifikasi

Gambar 2.7 Pengobatan faktor resiko modifikasi


 Terapi Lainnya
o Allergen immunotherapy
o Vaccination
o Bronchial thermoplasty
o Vitamin D
 Terapi Non Farmakologis
o Tidak boleh merokok
o Aktifitas fisik
o Diet sehat
o Hindari alergen

26
o Penurunan berat badan
o Manajemen stress
o Menghindari polusi dan udara dingin
o Menghindari pencetus makanan alergen

 Manajemen penanganan asma sendiri

Gambar 2.8 manajemen asma secara mandiri

27
 Eksaserbasi Asma

28
Gambar 2.9 manajemen eksaserbasi asma

2.10 Pencegahan Asma

Upaya pencegahan asma dapat ditujukan pada pencegahan

sensitisasi alergi (terbentuknya atopi, nampaknya paling relevan

waktu prenatal dan perinatal) atau mencegah terbentuknya asma

29
pada individu yang tersensitisasi. Selain mencegah paparan

tembakau / rokok waktu dalam kandungan atau setelah kelahiran,

tidak ada intervensi yang terbukti dan diterima luas dapat mencegah

terbentuknya asma.

Hygiene hypothesis asma. Walaupun kontroversi nama telah

membawa penegasan bahwa mencegah sensitisasi alergi harus

focus mengarahkan kembali repons imun dari bayi ke Th1 atau

modulasi T regulator cell. Tetapi strategi tersebut saat ini masuh

merupakan alam hipotesis dan perlu penelitian lebih banyak.

2.11 Prognosis

Asma biasanya kronis, meskipun kadang-kadang masuk ke

periode panjang remisi. Prospek jangka panjang umumnya

tergantung pada tingkat keparahan.

Dalam kasus-kasus ringan sampai sedang, asma dapat

meningkatkan dari waktu ke waktu, dan banyak orang dewasa

bahkan bebas dari gejala. Bahkan dalam beberapa kasus yang

parah, orang dewasa mungkin mengalami perbaikan tergantung

pada derajat obstruksi di paru-paru dan ketepatan waktu dan

efektivitas pengobatan.

Pada sekitar 10 % kasus persisten berat, perubahan dalam

struktur dinding saluran udara menyebabkan masalah progresif dan

ireversibel dalam fungsi paru-paru, bahkan pada pasien yang diobati

secara agresif .

30
Fungsi paru-paru menurun lebih cepat daripada rata-rata pada

orang dengan asma, terutama pada mereka yang merokok dan pada

mereka dengan produksi lendir yang berlebihan (indikator kontrol

perlakuan buruk).

Kematian dari asma adalah peristiwa yang relatif jarang, dan

kematian asma yang paling dapat dicegah. Hal ini sangat jarang

orang yang menerima perawatan yang tepat untuk mati asma.

Namun, bahkan jika tidak mengancam nyawa, asma dapat

melemahkan dan menakutkan. Asma yang tidak terkontrol dengan

baik dapat mengganggu sekolah dan bekerja , serta kegiatan sehari-

hari.

31
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami

penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu,

yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat

reversible. Klasifikasi asma berdasarkan etiologi, derajat berat

asma, kontrol asma dan gejala. Diagnosis asma berdasarkan pada

anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Diagnosis banding:

bronkitis kronik, emfisema paru, gagal jantung kiri akut, emboli

paru, dan penyakit lainnya. Pengobatan asma menggunakan

protokol pengobatan menurut GINA 2018.

32
33
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Astham. 2019. Global strategy for asthma

management andrevention. Update June

2. Perhimpunan Paru Indonesia. 2017. Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia.

3. WHO.2017.Asthma.(http://www.who.int/news-room/factheets/detail/

asthma).

4. Dahlan Zulkarnain, dkk. 2012. Kompendium Tatalaksana Penyakit

Respirasi dan Kritis Paru. Jakarta : Perhimpunan Respirologi

Indonesia

aaaTim IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Badan


Dermatol Surg.
Penerbit IDAI. 2010; hal. 87-9.

2002;28:1017-1021.

34

Anda mungkin juga menyukai