Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KOMPREHENSIF KEDOKTERAN KELUARGA

SEORANG PEREMPUAN USIA 66 TAHUN DENGAN ASMA BRONKIALE

Diajukan guna memenuhi tugas Kedokteran Keluarga dan Komprehensif

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Dokter Pendidik Klinis :

dr. Murtono

Disusun oleh :

Yehezkiel Andrew Mulyono, S.Ked


22010120220114

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Yehezkiel Andrew Mulyono

Judul laporan : Laporan Kasus Kepaniteraan Komprehensif Kedokteran Keluarga

Seorang Perempuan Usia 66 Tahun Dengan Asma Bronkiale

Kepala puskesmas : dr.Murtono

Jepara, 20 Agustus 2022

Kepala Puskesmas Keling I Jepara

dr. Murtono

NIP 197912242006041007
BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi dari saluran pernafasan yang melibatkan inflamasi
pada saluran pernafasan dan mengganggu aliran udara. Inflamasi saluran nafas pada asma
meliputi interaksi komplek dari sel, mediator-mediator, sitokin, dan kemokin. Inflamasi
kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama
malam dan atau dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang
luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

WHO tahun 2020 mengemukakan bahwa saat ini sekitar 235 juta jumlah pasien asma.
Hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian RI pada tahun 2018 menunjukkan prevalensi asma di Indonesia
mencapai nilai 2,4%. Terdapat kenaikan prevalensi 0,5% jika dibandingkan dengan hasil
laporan RISKESDAS pada tahun 2007. Hasil laporan RISKESDAS pada tahun 2018
prevalensi asma di Jawa Tengah mencapai nilai 1,77% dimana karakteristik prevalensi terus
meningkat seiring bertambahnya usia dan prevalensi asma pada perempuan cenderung lebih
tinggi dari laki-laki.

Sebagian besar kematian terkait asma terjadi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah ke bawah. Faktor risiko terkuat sebagai pemicu asma adalah zat dan partikel yang
dihirup yang dapat memicu reaksi alergi atau mengiritasi saluran udara. Untuk menghindari
kambuhnya asma, pasien dapat meminum obat. Menghindari pemicu asma juga bisa
mengurangi keparahan asma. Penatalaksanaan asma yang tepat dapat memungkinkan orang
menikmati kualitas hidup yang baik.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. K
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 66 tahun
Status Perkawinan: Sudah menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Tulakan I/5

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 3 Agustus 2022 di IGD
Puskesmas Keling I pada pukul 19.00 WIB.
Keluhan utama : Sesak napas
Riwayat penyakit sekarang:
Sejak ± 1 jam yang lalu, pasien mengeluhkan sesak napas. Sesak dirasakan terus
menerus, sesak tidak diperberat dan diperingan dengan apapun. Sesak timbul 1 kali dalam
sebulan ini. Pasien belum meminum obat untuk menghilangkan sesak napas. Gejala lain
batuk (+), batuk darah (-), demam (-), nyeri dada (-), penurunan berat badan (-).
Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat asma 1 tahun yang lalu.
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Riwayat alergi disangkal
Riwayat penyakit keluarga:
 Riwayat keluarga dengan keluhan sesak napas disangkal
 Riwayat keluarga dengan alergi disangkal
Riwayat sosial ekonomi:
Pasien seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal bersama anak. Pasien tidak bekerja.
Pasien tidak merokok. Pembiayaan kesehatan menggunakan JKN Non PBI. Kesan sosial
ekonomi cukup.
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di IGD Puskesmas Keling I tanggal 3 Agustus 2022 pukul 19.00
WIB.
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis GCS E4M6V5
Tanda Vital
• Tekanan darah: 130/70 mmHg
• Nadi : 100 x/menit
• Pernapasan : 24 x/menit
• Suhu : 36,5 oC
• Saturasi : 97 %
Status generalis
Kepala : mesosefal
Wajah : simetris
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : napas cuping (-), deviasi (-), discharge (-)
Mulut : pucat (-), sianosis (-), faring hiperemis (-)
Leher : deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
Paru :
- Inspeksi: simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
- Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
- Perkusi: sonor seluruh lapangan paru
- Auskultasi: SD: vesikuler, ST: ronkhi (-/-), wheezing (+/+)
Jantung :
- Inspeksi: ictus cordis tak tampak
- Palpasi: ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra
- Perkusi: konfigurasi jantung dalam batas normal
- Auskultasi: BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
- Inspeksi: datar, jejas (-)
- Auskultasi: Bising usus (+) normal
- Perkusi: timpani seluruh regio abdomen
- Palpasi: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary Refill Time <2”/<2” <2”/<2”

D. Diagnosis
Diagnosis Kerja:
- Asma bronkiale
Diagnosis Banding
- Penyakit paru obstruksi kronis
- TB paru
- Asma kardial

E. Initial Plan
Ip Dx: -
Ip Tx: Nebulizer Ventolin
Per Oral:
R/ Salbutamol tab 2 mg No X
S3dd tab1
R/ Ambroxol tab 30 mg No X
S3dd tab1
R/ CTM tab 4mg No X
S3dd tab1
R/ Deksametason tab 0,5 mg No X
S3dd tab1
Ip Mx: Keadaan umum, tanda vital, keluhan sesak napas
Ip Ex: Edukasi pasien mengenai penyakit asma yaitu penyakit saluran respiratori dengan
dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori.
Faktor pencetus: paparan iritan seperti asap rokok, allergen seperti debu, dan aktivitas fisik
yang berat. Pencegahan dengan menghindari faktor pencetus.
F. Progress Note
Observasi pasien pada tanggal 3 Agustus 2022 di IGD Puskesmas Keling I pada pukul 20.00
WIB, 30 menit setelah pemberian nebulizer.
• Keluhan sesak napas sudah tidak dirasakan.
• Pernapasan : 24x/menit  20 x/menit
• Saturasi: 97 %  99%
• Auskultasi paru: Wheezing (+/+)  Wheezing (-/-)
BAB III
PEMBAHASAN

A. Epidemiologi Dan Etiologi Asma


Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan
sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anakanak, terdapat
perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi
sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota yang lain
dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %. 1
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma. Asma
alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun keluarga seperti
rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan reaksi kulit terhadap
injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara, dan dapat pula disertai dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon positif terhadap tes provokasi yang
melibatkan inhalasi antigen spesifik.2
Pada manusia alergen berupa debu rumah (tungau) marupakan pencetus tersering dari
eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebetut secara biologis dapat merusak struktur daripada
saluran nafas melalui aktifitas proteolitik, yang selanjutnya menghancurkan integritas dari
tight junction antara sel-sel epitel. Sekali fungsi dari epitel ini dihancurkan, maka alergen dan
partikel lain dapat dengan mudah masuk ke area yang lebih dalam yaitu di daerah lamina
propia. Penyusun daripada tungau-tungau pada debu rumah ini yang memiliki aktivitas
protease ini dapat memasuki daerah epitel dan mempenetrasi daerah yang lebih dalam di
saluran pernafasan.3
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan nonimunologi juga
merupakan pencetus daripada asma termasuk rokok dan perokok pasif. Kira-kira 25% sampai
30% dari penderita asma adalah seorang perokok. Hal ini menyimpulkan bahwa merokok
ataupun terkena asap rokok akan meningkatkan morbiditas dan keparahan penyakit dari
penderita asma. Terpapar asap rokok yang lama pada pasien asma akan berkontribusi
terhadap kerusakan dari fungsi paru, yaitu 3 penurunan kira-kira 18% dari FEV 1 selama 10
tahun.Pasien asma yang memiliki kebiasaan merokok akan mempercepat terjadinya
emfisema. Mekanisme yang mendasari daripada efek rokok pada pasien asma dijelaskan pada
tabel 1.1
B. Patofisiologi Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan proses
yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu hiperresponsif dari bronkial,
inflamasi dan remodeling saluran pernafasan.4
Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyempitan
saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran napas, penebalan
dinding saluran napas dan hipersekresi mukus.3
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai
mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator. Edema
pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting pada
eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural atau
disebut juga ”remodelling”. Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan
jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan 4 pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel
yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan
jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan
penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan
perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway remodelling. 2
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang
menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses remodeling ini
yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya proses ini kadang-
kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses remodeling ini dapat
menyebabkan asma secara simultan. Proses dari remodeling ini dikarakteristikan oleh
peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik di dalam dan sekitar otot halus bronkial,
dan peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau
hiperplasia.5

C. Faktor Pencetus Asma


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host factor)
dan faktor lingkungan. 6
a. Faktor host:
 Genetik
 Obesitas
 Jenis kelamin
b. Faktor lingkungan
 Rangsangan alergen.
 Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.
 Infeksi.
 Merokok
 Obat.
 Penyebab lain atau faktor lainnya.

D. Gambaran Klinis Asma


Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala
lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja, nyeri
tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut
dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial,
beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh
adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas,
obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada
pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja
atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.7

E. Diagnosis Asma
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
- gejala timbul/memburuk di malam hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator.
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi),
riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan
pengobatan. Adapun tanda dan gejala yang dapat meningkatkan kecurigaan terhadap asma
adalah didengarkan suara mengi (wheezing) sering pada anak-anak. Apabila didapatkan
pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat mengeksklusi diagnosis sama, apabila terdapat :
1. Memiliki riwayat dari:
a. Batuk, yang memburuk dimalam hari
b. Mengi yang berulang
c. Kesulitan bernafas
d. Sesak nafas yang berulang
2. Keluhan terjadi dan memburuk saat malam
3. Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu
4. Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma atau
penyakit atopi
5. Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :
a. Bulu binatang
b. Aerosol bahan kimia
c. Perubahan temperatur
d. Debu tungau
e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)
f. Beraktivitas
g. Serbuk tepung sari
h. Infeksi saluran pernafasan
i. Rokok
j. Ekspresi emosi yang kuat
6. Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan
tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian penderita dapat
ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada pengukuran faal paru
telah terjadi penyempitan jalan nafas.2,3
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas, reversibiliti
kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiper-responsif jalan
nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan spirometri dan peak expiratory
flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain yang berperan untuk diagnosis antara
lain uji provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai
sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat
diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara
ini tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam mengidentifikasi
faktor pencetus.2,3

F. Klasifikasi Asma
Berikut klasifikasi asma berdasarkan kekerapan gejala asma:
G. Penatalaksanaan Asma
Pasien disarankan untuk mengidentifikasi serta mengendalikan faktor pencetusnya.
Perlu dilakukan perencanaan dan pemberian pengobatan jangka panjang serta menetapkan
pengobatan pada serangan akut sesuai tabel di bawah ini.
Tabel Pengobatan Sesuai Berat Asma
Tabel Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan Tempat Pengobatan

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan nafas,
terdiri atas pengontrol dan pelega.
A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol adalah:
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Kortikosteroin inhalasi bertujuan untuk menekan proses inflamasi dan komponen
yang berperan dalam remodeling pada bronkus yang menyebabkan asma. Pada tingkat
vascular, glukokortikosteroid inhalasi bertujuan menghambat terjadinya hipoperfusi,
mikrovaskular, hiperpermeabilitas, pembentukan mukasa udem, dan pembentukan pembuluh
darah baru (angiogenesis).4 Glukokortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang
yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan
steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas
hidup. Efek samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan
batuk karena airitasi saluran nafas atas.
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas mengingat
risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif menggunakan steroid inhalasi
daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan, maka
dibutuhkan selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka panjang adalah osteoporosis,
hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas,
penipisan kulit, striae, dan kelemahan otot.
c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan
antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang
diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi pada sel inflamasi
tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga kemungkinan menghambat saluran
kalsium pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada
asma persisten ringan. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa tidak enak
obat saat melakukan inhalasi.
d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi dengan
agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin atau
aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, dimana pemberian jangka
panjang efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat
mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma
malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Efek samping berpotensi terjadi pada
dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari atau lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea,
muntah adalah efek samping yang paling dulu dan 11 sering terjadi. Efek kardiopulmoner
seperti takikardi, aritmia dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat
menyebabkan kejang bahkan kematian.
e. Agonis β2 kerja lama
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek relaksasi otot polos,
meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Pada pemberian jangka lama
mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan mempunyai efek protektif terhadap rangsang
bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan efek
bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral. Karena pengobatan jangka
panjang dengan agonis β2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka
sebaiknya selalu dikombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan
agonis β2 kerja lama inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan asma malam,
memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega) dan
menurunkan frekuensi serangan asma. Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek
samping sistemik (rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang
lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral. f. Leukotriene modifiers Obat ini
merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya
menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrien (contohnya
zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya
montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan
exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.
B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai
onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian
inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek 12 samping minimal/tidak ada.
Mekanisme kerja sebagaimana agonis β2 yaitu relaksasi otot polos saluran nafas,
meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Efek sampingnya rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih
sedikit menimbulkan efek samping.
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek
bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk
respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan respon terhadap
agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa
pahit.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia
agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.

H. Komplikasi Asma
Komplikasi akut asma bila tidak ditangani adalah asidosis respiratorik yang dapat
mengancam terjadinya gagal napas. Komplikasi lainnya yang sangat jarang namun
dilaporkan pernah terjadi adalah pneumotoraks dan emfisema subkutan pada asma berat.
Komplikasi psikologis dapat terjadi apabila sesak napas pada asma menyebabkan serangan
panik dan kecemasan yang dapat memperburuk eksaserbasi asma. Pada ibu hamil, asma dapat
meningkatkan risiko gangguan pada kehamilan seperti eklamsia. Ibu hamil dengan asma
cenderung lebih sering harus menjalani persalinan secara seksio sesarea.11
Apabila asma tidak terkontrol dengan baik dan berlangsung terus-menerus dapat
terjadi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Komplikasi lainnya secara tidak langsung
adalah komplikasi akibat penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang antara lain
gangguan sistem kardiovaskular, gangguan sistem pencernaan dan skeletal, misalnya
penurunan massa tulang.11

I. Prognosis Asma
Pasien anak dengan asma yang masuk rumah sakit empat kali atau lebih dalam tahun
pertama sejak didiagnosis asma cenderung mengalami asma persisten. Kematian akibat asma
meningkat pada anak usia pra sekolah (5 tahun ke bawah). Pasien anak dengan asma
cenderung mengalami remisi pada masa remaja akhir. Sebuah penelitian longitudinal
menunjukkan bahwa pada usia 19 tahun, remisi ditemukan pada 21% pasien, asma periodik
pada 38%, dan 41 % lainnya mengalami asma persisten. Anak laki-laki lebih tinggi tingkat
remisinya dibandingkan dengan anak perempuan.12
Pasien dewasa yang hanya memiliki asma memiliki prognosis yang baik dan tidak
mengalami penurunan kapasitas paru yang signifikan. Seiring penuaan, tumpang tindih asma
dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) semakin sering. Penurunan fungsi paru yang
lebih signifikan ditemui pada pasien asma dewasa yang tumpang tindih mengalami PPOK.
Kematian yang berhubungan dengan asma pada pasien dewasa jarang ditemui. Namun
meningkat pada pasien asma yang juga mengalami PPOK.13
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Asma adalah penyakit inflamasi yang menyebabkan timbulnya penyempitan saluran
napas akibat kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran napas,
penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus.
2. Asma sering kali dipicu oleh rangsangan alergen, rangsangan bahan-bahan di tempat
kerja, infeksi, asap rokok, obat-obatan.
3. Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala: bersifat
episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan, gejala berupa batuk, sesak nafas,
rasa berat di dada, dan berdahak, gejala timbul/memburuk di malam hari, respons
terhadap pemberian bronkodilator.
4. Penatalaksnaan asma meliputi identifikasi serta pengendalian faktor pencetus dan
pemberian pengobatan pelega dan pengontrol asma yang sesuai dengan derajat asma.

B. Saran
1. Bagi penulis
Diharapkan dengan pembuatan laporan kasus ini penulis dapat menambah ilmu dan
wawasan mengenai penyakit asma dari diagnosis hingga tatalaksana komprehensif
2. Bagi fasilitas kesehatan
Diharapkan fasilitas kesehatan dapat menyediakan alat dan bahan yang semakin
lengkap untuk digunakan dalam penegakan diagnosis dan tatalaksana dari asma
3. Bagi masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat mengenali serta menambah wawasan mengenai asma
DAFTAR PUSTAKA

1. Megan Stapleton, PharmD, Amanda Howard-Thompson. Smoking and Asma. JABFM


May–June 2011 Vol. 24 No. 3, p.313-322
2. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto, E. et al.
(2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
3. N. Miglino, M. Roth, M. Tamm and P. Borger. House dust mite extract downregulates
C/EBPa in asmatic bronchial smooth muscle cells. Eur Respir J 2011; 38: 50–58
4. O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al. (2010), Global
Initiative for Asma Global Strategy for Asma Management and Prevention, Ontario Canada.
5. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Keempat,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252.
6. I. Bara, A. Ozier, J-M. Tunon de Lara, R. Marthan and P. Berger. Pathophysiology of
bronchial smooth muscle remodelling in asma. Eur Respir J 2010; 36: 1174– 1184
7. McFaden, ER. (2005), Asma, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo, DL. Draunwald, E.
Hauser, SL. Jameson, JL. (eds), Harrison’s Principal of Medicine, 16th ed, Vol 2, McGraw-
Hill, Philladelphia, pp:1508-1515.
8. Chesnutt, MS. Prendergast, TJ. (2007), Lung, In: McPhee, SJ. Papadakis, MA. (eds)
Current Medical Diagnosis and Treatment, 46th ed, McGrawHill, Philadelphia, pp: 230-241.
9. G. Horvath and A. Wanner. Inhaled corticosteroids: effects on the airway vasculature in
bronchial asma. Eur Respir J 2006; 27: 172–187
10. Mario Castro, Adalberto S. Rubin, Michel Laviolette. Effectiveness and Safety of
Bronchial Thermoplasty in the Treatment of Severe Asma. Am J Respir Crit Care Med Vol
181. pp 116–124, 2010
11. Ducharme FM, Tse SM, Chauhan B. Diagnosis, management, and prognosis of preschool
wheeze. Lancet. 2014 Apr 21;383(9928):1593–604. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(14)60615-2
12. Andersson M, Hedman L, Bjerg A, Forsberg B, Lundbäck B, Rönmark E. Remission and
Persistence of Asthma Followed From 7 to 19 Years of Age. Pediatrics. 2013 Aug
1;132(2):e435 LP-e442. Available from:
http://pediatrics.aappublications.org/content/132/2/e435.abstract
13. Fu J, Gibson PG, Simpson JL, McDonald VM. Longitudinal Changes in Clinical
Outcomes in Older Patients with Asthma, COPD and Asthma-COPD Overlap Syndrome.
Respiration. 2014;87(1):63–74. Available from:
http://www.karger.com/DOI/10.1159/000352053

Anda mungkin juga menyukai