Anda di halaman 1dari 31

Presentasi Kasus

LAKI-LAKI 47 TAHUN DENGAN PNEUMONIA KOMUNITAS PSI 96


DAN PPOK EKSASERBASI AKUT DD ACO DD ASMA AKUT
SEDANG

Oleh:

Kurniawan Ade Novrianto G99181039

Residen Pembimbing

dr. Nuniek Luthy dr. B. Rina A. Sidharta, SpPK-K

KEPANITERAAN KLINIK SMF PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul:

LAKI-LAKI 47 TAHUN DENGAN PNEUMONIA KOMUNITAS PSI 96


DAN PPOK EKSASERBASI AKUT DD ACO DD ASMA AKUT
SEDANG

Oleh:

Kurniawan Ade Novrianto G99181039

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

dr. B. Rina A. Sidharta, SpPK-K

1
BAB I
PENDAHULUAN

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemui pada
paru yang disebabkan oleh mikro-organisme (bakteri, virus, jamur, atau parasit).
Peradangan ini terjadi pada bagian paru yang khusus berfungsi sebagai pertukaran
udara sehingga penderita pneumonia mengalami gangguan pertukaran udara di
paru.
Pneumonia merupakan infeksi saluran nafas bawah yang masih menjadi
masalah kesehatan di negara berkembang maupun negara maju. Menurut survey
kesehatan rumah tangga tahun 2002, penyakit saluran nafas merupakan penyebab
kematian no 2 di Indonesia. Data dari SEAMIC Health Statistic 2001 menunjukkan
bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9
di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan
nomor 3 di Vietnam.
Secara klinis, pneumonia dibagi menjadi pneumonia komuniti (didapat di
komunitas/di luar rumah sakit) dan pneumonia nosokomial (didapat di rumah sakit),
dimana mikro-organisme penyebab kedua jenis pneumonia tersebut berbeda.
Berdasarkan penyebab, pneumonia dibagi menjadi: pneumonia khas (disebabkan
bakteri tertentu), pneumonia tidak khas (bukan disebabkan bakteri tertentu),
pneumonia virus, pneumonia jamur, dan pneumonia parasit.
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) ditandai dengan obstruksi jalan
nafas yang ireversibel dan peningkatan usaha bernapas. PPOK meliputi bronkitis
kronis dan emfisema yang sering terjadi bersamaan (Ward, 2006). Penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak
menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya paparan
faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian
PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok, khususnya pada kelompok usia muda,
serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat
kerja (Mangunnegoro, 2003).

2
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari.
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi
genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma,
alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap

3
BAB II
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. P
Umur : 47 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Jumantono, Karanganyar
No. RM : 01476415
Pekerjaan : Tukang Batu
Suku : Jawa
Status : Sudah menikah
Tanggal masuk RS : 30 September 2019
Tanggal pemeriksaan : 2 Oktober 2019

B. Data Dasar
Autoanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal Flamboyan 8 Kamar
805E RSUD DR. Moewardi, Surakarta.

a. Keluhan Utama
Sesak nafas memberat sejak 3 hari.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSDM diantar keluarganya dengan keluhan sesak nafas
memberat sejak 3 hari SMRS. Sesak pada pasien ini sudah terjadi sejak 4 bulan
yang lalu namun dirasakan memberat sejak 3 hari SMRS. Sesak nafas terus
menerus, apabila berbaring sesak bertambah. Pasien merasa nyaman bila posisi
setengah duduk. Pasien sulit beraktivitas dalam 3 hari ini, dan sudah menggeh-

4
menggeh bila berjalan dengan jarak dekat. Pasien menggunakan 4 bantal untuk
tidur dan sering terbangun di malam hari karena sesaknya.
Pasien mengeluh batuk sejak 4 bulan yang lalu bersamaan dengan timbulnya
sesak. Batuk berdahak warna putih kekuningan. Dahak timbul banyak terutama
pada pagi hari. Pasien juga merasakan badannya sumer sumer dan naik turun,
pasien juga sudah mengobati keluhannya ke Rumah Sakit Karanganyar. Sudah
dirawat 1 minggu kemudian membaik, kemudian kumat lagi akhirnya di rawat
di Rumah Sakit dr. Moewardi. Tanggal 30 September pasien berencana kontrol
di Poli Moewardi, tetapi pasien sudah merasa tidak kuat dengan keluhannya
kemudian di rawat inap. BAK pasien tidak ada keluhan. Pasien batuk lama (+),
demam lama (+), pusing (-), perut membengkak(-).
Riwayat penyakit hati kronis, gula, hipertensi disangkal. Pasien mengaku
mengalami penyakit jantung bengkak dan infeksi paru-paru. Riwayat
mengkonsumsi NSAID, obat reumatik, alkohol, disangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa : diakui, pernah dirawat di RS Karanganyar 1
minggu sebelumnya namun tidak membaik
Riwayat mondok : diakui, 1 minggu SMRS
dirawat di RSUD Karanganyar dengan keluhan serupa.
Riwayat Merokok : diakui, 20 batang x 20 tahun: IB: 400 (Sedang)
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal
Riwayat gastritis : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma dan alergi : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal

e. Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi

5
Pasien merupakan seorang tukang batu. Pasien tinggal dengan keluarga.
Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS. Pasien makan 3-4 kali sehari
dengan porsi cukup, dan minum 8 kali sebanyak satu gelas sedang setiap hari.
Kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan minum obat-obatan bebas
disangkal.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 2 Oktober 2019 dengan hasil sebagai berikut:
1. Keadaan Umum
Sedang, Composmentis GCS E4V5M6
2. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 170/100 mmHg
b. Nadi : 95 x/menit
c. Frekuensi nafas : 30 kali/menit pernapasan thorax
d. Suhu : 38.1oC per axilla

3. Status Gizi
a. Berat Badan : 49 kg
b. Tinggi Badan : 165 cm
c. IMT : 17,9 kg/m2
d. Kesan : Underweight
4. Kulit : Kulit berwarna sawo matang, ikterik (-), turgor menurun (-),
hiperpigmentasi bekas garukan gatal (-), kering (-),
teleangiektasis (-), petechie (-), ekimosis (-), spider naevi (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut mudah rontok (-), luka (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter
(3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-),
strabismus (-/-), katarak (-/-), pandangan kabur (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-), chvostek sign (-)

6
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Bibir pucat (-), mukosa kering (-), sianosis (-), gusi berdarah
(-), papil lidah atrofi (-)
10. Leher : JVP 5 + 2cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar
tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening leher (-), distensi
vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan =
kiri, pernafasan abdominothorakal, sela iga melebar (-),
pembesaran limfonodi axilla (-/-), ginekomastia(-)
12 Jantung :
a. Inspeksi : Ictus kordis tampak di SIC V linea midaksilaris
sinistra, 1-2 cm ke medial
b. Palpasi : Ictus kordis kuat angkat
c. Perkusi :
Batas Jantung
Kiri : SIC VI linea midaksilaris sinistra
Kanan : SIC IV linea parasternalis dextra
Pinggang : SIC III linea parasternalis sinistra
Ictus cordis : SIC VI linea midaksilaris sinistra
Kesan : Batas jantung kesan melebar ke caudolateral
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, gallop (-), murmur (-).
13. Pulmo :
Inspeksi
1. Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
2. Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
1. Statis : Simetris

7
2. Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi
1. Kanan : Sonor
2. Kiri : Sonor
Auskultasi
1. Kanan : Suara dasar vesikuler (+/+), Wheezing (+/+),
ronki basah
kasar (+/+), ronki basah halus (-/-)
2. Kiri : Suara dasar vesikuler (+/+), Wheezing (+/+),
ronki basah
kasar (+/+), ronki basah halus (-/-)
14. Abdomen :
a. Inspeksi : Dinding perut sama tinggi dengan dinding thorax,
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae
(-), ikterik (-), papul (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) 10x / menit, bruit hepar (-)
c. Perkusi : Timpani, pekak alih (-)
d. Palpasi : Supel, hepar dan lien sulit dievaluasi, nyeri tekan
epigastrium (-), undulasi (-), teraba hangat
15. Ekstremitas : Akral Dingin Oedem
- - - -
- - + +
Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon
nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri
tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-),
kesemutan (-/-)

8
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-),
spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-),
nyeri (-/-), deformitas (-/-), kesemutan (-/-)

A. Pemeriksaan Lab Darah


Pemeriksaan 30/9 2/10 3/10 4/10 2/10 Satuan Rujukan
HEMATOLOGI
HB 9.8 10.2 g/dl 13.5 - 17.5
HCT 36 33 % 33 - 45
AL 10.1 4.8 103/ul 4.5 – 11.0
AT 261 197 103/ul 150 - 450
AE 3.73 3.71 103/ul 4.50 - 5.90
Gol. Darah A
MCV 96.4 96.4 /um 80,0 – 96,0
MCH 26.4 27.5 Pg 28,0 – 33,0
MCHC 27.4 30.8 g/dl 33,0 – 36,0
RDW 15.5 15.7 % 11,6 – 14,6
PDW 16 19 % 25 – 65
Eosinofil 1.60 0.04 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.10 0.16 % 0.00 – 2.00
Netrofil 78.40 84.44 % 55.00 – 80.00
Monosit 12.70 6.67 % 0.00 – 7.00
Limfosit 7.20 8.69 % 22.00 – 44.00

ANALISA GAS
DARAH
pH 7.550 7.466 7.350 - 7.420
BE 51.8 41.4 -2 - +3
PCO2 84.3 89.7 27.0 - 41.0
PO2 44.1 186.0 83.0 – 108.0
Hct 38 40 37 –50
HCO3 74.4 65.3 21.0 – 28.0
Total CO2 77.0 68.1 19.0 – 24.0
O2 Saturasi 70.3 99.1 94.0 – 98.0
Arteri 2.30 3.00 0.36 – 0.75

KIMIA KLINIK
GDS 136 mg/dl 60-140
GD2PP mg/dl 80-140
Bilirubin total mg/dl 0.00-1.00
Bilirubin direk mg/dl 0.00-0.30
Bilirubin indirek mg/dl 0.00-0.70
Kolesterol mg/dl 50-200
Kolesterol LDL mg/dl 97-200
Kolesterol HDL mg/dl 30-64

9
Trigliserida mg/dl <150
SGOT 40 16 <35
SGPT 52 21 <45
Albumin 3.3
Creatinine 0.5 0.6 0.9– 1.3
Ureum 88 81 <50
Gamma GT <55
ALP 53-18
Natrium Darah 130 139 mmol/L 132–146
Kalium Darah 3.9 5.0 mmol/L 3.3–5.1
Calsium Ion 1.02 1.08 mmol/L 1.17 – 1.29

MAKROSKOPIS
Warna Yellow
Kejernihan SI Cloudy

KIMIA URIN
Berat jenis 1.022 1.015-1.025
pH 7.5 4.5-8.0
Leukosit Negatif /uL Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein ++ mg/dl Normal
Glukosa Normal mg/dl Normal
Keton Negatif mg/dl Negatif
Urobilinogen + mg/dl Normal
Bilirubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit + Negatif
MIKROSKOPIS
Eritrosit 191.7 /LPB Negatif
Leukosit 0.8 /LPB Negatif
EPITEL
Epitel suamous 1-2 /LPB Negatif
Epitel transisional 1-2 /LPB Negatif
Epitel bulat - /LPB Negatif
SILINDER 0
Hyaline - /LPK 0-3
Granulated - /LPK Negatif
Leukosit /LPK Negatif

10
B. Pemeriksaan Sputum (16 September 2019)
Organisme : Klebsiella pneumoniae ss. Pneumoniae
Gentamicin S, Tigecycline S, Meropenem S, ESBL positif

C. Pemeriksaan Radiologi Thorak PA (26 Agustus 2019) di RSUD Dr.


Moewardi

Foto Thorax PA :
1. Cor : ukuran dan bentuk membesar dengan CTR 61%
2. Pulmo : tampak multipel cincin ektasis bergerombol di perihilar bilateral
membentuk gambaran honey comb appearance, tampak pula infiltrat disertai
airbronchogram di kedua lapang paru
3. Sinus costophrenicus kanan kiri tumpul
4. Hemidiafragma kanan kiri normal
5. Trachea di tengah
6. Sistema tulang baik

Kesimpulan :
1. Pneumonia
2. Cardiomegaly
3. Efusi Pleura minimal

11
D. EKG (2 Oktober 2019)

Kesimpulan :
1. Irama sinus
2. Gelombang P : P pulmonale
3. HR 100 x per menit
4. RAD 135o
5. RVH

III. RESUME
1. Keluhan utama:
Sesak nafas sejak 3 hari SMRS
2. Anamnesis:
Riwayat Penyakit Sekarang
 Sesak nafas memberat sejak 3 hari SMRS
 Sesak nafas dirasakan terus menerus, semakin memberat, hingga
mengganggu aktivitas dan sulit tidur
 Keluhan sesak nafas tidak disertai pusing, nyeri kepala, demam, mual
muntah

12
 Keluhan disertai batuk berdahak putih kekuningan, banyak terutama
pagi hari
 Pasien menyangkal adanya riwayat darah tinggi, diabetes melitus,
sakit ginjal, asma dan alergi.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa +
Riwayat HT disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat mondok +
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi dan kebiasaan
Pasien bekerja sebagai tukang batu, tinggal bersama keluarga, berobat
menggunakan BPJS kelas III
3. Pemeriksaan fisik:
● KU: Tampak sakit berat, somnolen, GCS E3V2M4
● Vital sign: Tekanan darah 170/80 mmHg, RR 30x/ menit, HR 97 x/menit,
suhu 38.1 0C
● BB : 49 kg, TB : 165, BMI : 14,9 kg/m2 (Underweight)
4. Pemeriksaan penunjang:
A. Laboratorium darah
- Hematologi rutin: Hemoglobin 9.8 (↓), eritrosit 3.73(↓)
- Index eritrosit: MCV 96.4 (↑), MCH 26.4 (↓), MCHC 27.4 (↓), RDW
15.5(↑), PDW 16(↓)
- Hitung jenis : limfosit 7.2(↓), monosit 12.70(↑)
- Kimia klinis : SGOT 40 (↑), SGPT 52 (↑), kreatinin 0.5(↓), ureum 88(↑)
- Elektrolit: Natrium darah 126 (↓), kalsium ion 1.02 (↓)
B. Radiologi Thorak PA
1. Pneumonia

13
2. Cardiomegaly
3. Efusi pleura minimal

IV. DIAGNOSIS ATAU PROBLEM


1. Pneumonia Komunitas
2. PPOK dd ACO dd Asma

V. DIAGNOSIS LABORATORIUM
1. Anemia normokromik normositik
2. Azotemia
3. Peningkatan enzim transaminase
3. Eritropenia
4. Limfositopenia
5. Monositosis

VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM LANJUTAN


1. Analisa gas darah
2. Gambaran darah tepi
3. Analisa cairan pleura

VII. TERAPI
1. Inf. NaCl 0.9% 20 tpm
2. Methylprednisolone 62,5 mg
3. Nebu Ventoline / 12 jam
4. Ranitidine Inj. 50 mg/ 12 jam
5. Injeksi Levofloxacin 750 g/24jam

14
BAB IV
DISKUSI KASUS

A. Pneumonia
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-
obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,
yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Menurut hasil pelaporan dari
beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan
dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram
negatif (PDPI, 2014).
Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru.
Terdapat bakteri di dalam paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas.
Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat melalui
berbagai cara yaitu; Inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh
darah, inhalasi dari bahan aerosol, kolonisasi dipermukaan mukosa.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring)
kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar
infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang
normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran,
peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).

15
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-
10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan jika ditemukan pada foto
toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau
lebih gejala di bawah ini:
i. Batuk-batuk bertambah
ii. Perubahan karakteristik dahak/purulen
iii. Suhu tubuh > 37,50C / riwayat demam
iv. Pemeriksaan fisik: ada ronki atau konsolidasi atau napas bronkial
v. Leukosit > 10.000 atau < 4500
Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut Pneumonia Severity
Index (PSI).

Tabel 1. Pneuminia Severity Index (PSI)

Pada pasien didapatkan trias gejala pneumonia yaitu demam 38.1oc,


batuk sejak 4 bulan yang lalu bersamaan dengan timbulnya sesak. Batuk

16
berdahak warna putih kekuningan. Dari pemeriksaan fisik pasien
didapatkan adanya ronki basah kasar dan wheezing pada kedua lapang paru.
Dari pemeriksaan foto rontgen thorax tampak multipel cincin ektasis
bergerombol di perihilar bilateral membentuk gambaran honey comb
appearance, tampak pula infiltrat disertai airbronchogram di kedua lapang
paru yang menyokong gambaran pneumonia. Kemudian pada pasien
dilakukan tes sputum dengan hasil adanya organisme yaitu klebsiella
pneumoniae ss. Pneumoniae.

Table 2. Derajat skor risiko PSI


B. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sebagai penyakit yang
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas
yang beracun atau berbahaya (GOLD, 2015). PPOK eksaserbasi akut
adalah timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya.
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab yang
terpenting dari PPOK daripada faktor penyebab lainnya. Prevalensi
tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah

17
pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun, dan
perokok aktif berhubungan dengan angka kematian (Kemenkes RI,
2008).
Faktor pejamu (host) meliputi usia, genetik, hiper responsif jalan
napas (akibat pajanan asap rokok atau polusi) dan pertumbuhan paru
(masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak, penurunan
fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru) (Kemenkes RI, 2008).
Faktor genetik yang utama adalah defisiensi α1-antitripsin (alfa 1-
antiprotase). α1-antitripsin adalah protein serum yang diproduksi oleh
hepar dan pada keadaan normal terdapat di paru untuk menghambat
kerja enzim elastase neutrofi l yang destruktif terhadap jaringan paru.
Penurunan kadar α1-antitripsin sampai kurang dari 35% nilai normal
(150-350 mg/dL) menyebabkan proteksi terhadap jaringan parenkim
paru berkurang, terjadi penghancuran dinding alveoli yang
bersebelahan, dan akhirnya menimbulkan emfisema paru (Megantara
Supriyadi, 2013).
Seseorang yang memiliki masalah kesehatan disfungsi paru akan
semakin berisiko untuk menderita penyakit PPOK jika terpapar debu
berbahaya dalam melakukan pekerjaanya. Hal ini dikarenakan debu
yang dihasilkan dari proses pekerjaan tersebut akan mengendap dan
dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan
jaringan paru. Pekerjaan yang dianggap berisiko terhadap Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) adalah pekerja tambang emas, batu bara,
industri gelas, dan keramik yang terpapar debu silika, pekerja yang
terpapar debu gandum dan asbes (Rahmatika, 2010 dalam Helmi
Niagara, 2013).
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan
terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu:
inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos
penyebab utama obstruksi jalan napas.

18
Inhalasi bahan berbahaya

Inflamasi

Mekanisme Mekanisme
perlindungan perbaikan

Kerusakan jaringan paru

Penyempitan Destruksi Hipersekresi


saluran napas parenkim mukus
dan fibrosis

Gambar 2. Konsep pathogenesis PPOK (PDPI, 2016)

Klasifikasi Gejala Spirometri


Penyakit
Ringan - Tidak ada gejala waktu istirahat atau bila VEP > 80% prediksi
exercise VEP/KVP < 75%
- Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi
gejala ringan pada latihan sedang (misal :
berjalan cepat, naik tangga)

19
Sedang - Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi VEP 30 - 80%
mulai terasa pada latihan / kerja ringan prediksi VEP/KVP <
(misal : berpakaian) 75%
- Gejala ringan pada istirahat
Berat - Gejala sedang pada waktu istirahat VEP1<30% prediksi
- Gejala berat pada saat istirahat VEP1/KVP < 75%
- Tanda-tanda korpulmonal
Tabel 1. Klasifikasi PPOK

Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan


yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai
terdapat hiperinflasi alveoli. Pada PPOK derajat sedang dan PPOK
derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan
bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan hal-hal sebagai berikut:
1) Inspeksi
 Pursed lips breathing (mulut setengan terkatup dan
mencucu)
 Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong )
 Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti
orang meniup)
 Hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
 Pelebaran sela iga
2) Perkusi
 Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil
 Letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
3) Auskultasi
 Fremitus melemah
 Suara nafas vesikuler melemah atau normal
 Ekspirasi memanjang

20
 Mengi
Pada pasien didapatkan gejala yaitu berupa batuk dan sesak.
Pasien juga merupakan seorang perokok yang mulai merokok aktif
sejak 20 tahun yang lalu. Pasien bekerja sebagai seorang penambang
batu yang terpapar debu berbahaya dalam melakukan pekerjaanya
sehingga meningkatkan faktor resiko untuk PPOK.

C. Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Gambar 4. Alur terjadinya asma

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan


presipitasi timbulnya serangan Asma yaitu :

21
a. Faktor predisposisi
Genetik yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar
dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitivitas saluran
pernapasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1. Alergen
a) Inhalan : yang masuk melalui saluran pernapasan Contoh :
debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi
b) Ingestan : yang masuk melalui mulut Contoh : makanan dan
obat-obatan
c) Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan
2. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi Asma. Atmosfir yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan Asma.
Kadangkadang serangan berhubungan dengan musim, seperti
musim hujan, musim kemarau.
3. Stres
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan
Asma, selain itu juga bisa memperberat serangan Asma yang
sudah ada. Disamping gejala Asma yang timbul harus segera
diobati penderita Asma yang mengalami stres atau gangguan
emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi maka gejala belum
bisa diobati.

22
4. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya
serangan Asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja.
Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada
waktu libur atau cuti.
5. Olah raga atau aktifitas jasmani
Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan Asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas
tersebut.
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara
faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu
disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi),
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma
untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya
eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap.
Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi
lingkungan kerja, asap, rokok, polusi udara, infeksi pernapasan
(virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.

23
Gambar 5. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian
asma

Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan


hipereaktivitas saluran napas yang akan mempermudah terjadinya
obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan
saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga
diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas.
Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya
inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas,
sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali
secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap
berbagai macam rangsang. Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai
keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh
IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE,
masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen
Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan
dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong) terutama Th2 . Sel T
penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin

24
atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain
seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit
serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti
histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating
factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain.
Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran
yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan
sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi
mukus, keluarnya plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus
dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas
saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan
mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan
sistem saraf otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir
berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen
akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi
karena adanya peregangan nervus vagus, sedangkan pelepasan
mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke
dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi.
Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan

25
seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan
SO2. (Mangunegoro, 2004).

Gambar 5. Patofisiolgi Asma

Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik,


gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup
untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan fisik
dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru,
akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan
adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi
dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal
paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan
serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi
dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk
mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas,
mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya

26
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi
dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat,
tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Pada pasien ditemukan gejala asma yaitu adanya sesak napas,
rasa berat di dada, batuk dan pada pemeriksaan auskultasi
didapatkan mengi. Namun, pada pasien tidak didapatkan riwayat
atopi yang dapat mendasari terjadinya alergi. Namun pasien bekerja
sebagai seorang penambang batu yang setiap hari terpapar debu dan
dapat menjadi salah satu pencetus terjadinya serangan asma.
Adapun pemeriksaan spirometri harus dilakukan pada pasien untuk
membedakannya dengan PPOK yang memiliki gejala serupa.

27
PERBEDAAN ASMA PPOK ACO
Onset Semua usia, biasanya anak- Biasanya Usia ≥40 th Usia ≥40 th tapi dapat
anak memiliki gejala dari anak atau
dewasa muda

Pola Gejala Bervariasi dari hari ke hari Kronik biasanya diikuti Gejala saluran napas
malam atau menjelang pagi gejala terutama saan termasuk sesak napas saat
olahraga aktifitas yang persisten tetapi
variabilitas nya dapat
prominen
Fungsi paru Riwayat terbatas variabel FEV1 biasanya Terbatasnya aliran udara
aliran udara membaik dengan tidak sepenuhnya reversible
terapi tapi post BD tapi jarang dengan riwayat
FEV1/FVC <0.7 variabilitas
persisten
Fungsi paru Dapat normal diantara Persisten terbatas Terbatasnya aliran udara
diantara gelaja gejala aliran udara Persisten
Riwayat penyakit Banyak pasien memiliki Riwayat terpapat Sering memiliki riwayat
dahulu dan riwayat alergi dan riwayat asma udara atau gas diagnosis asma, alergi dan
penyakit keluarga saat anak-anak dan atau berbahaya seperti keluarga memiliki riwayat
riwayat keluarga sakit asma rokok atau bahan asma dan atau riwayat
bakar paparan zat berbahaya
Saat serangan Sering membaik spontan Progresi lambat Gejala dapat sebagian
atau dengan terapi tetapi selama beberapa tereduksi oleh terapi.
dapat menyebabkan tahun tergantung Progesifitas biasanya
ganggaun aliran udara yang terapi membutuhkan terapi yang
terfiksir khusus
Xray thorak normal Hiperinflamasi akit dan Mirip PPOK
gambaran PPOK
Eksaserbasi Eksaserbasi dapat terjadi Eksaserbasi biasanya Eksaserbasi bisa lebih sering
terapi resiko terjadi dapat dikurangi daripada PPOK namun dapat
eksaserbasi dapat dengan terapi. di kurangi dengan terapi.
diturunkan dengan terapi
Inflamasi saluran Eusinofil dan atau neutrofil Neutrofil dan eusinofil Eusnifil dan atau neutrophil
napas dalam sputum, limfosit dalam sputum
dalam saluran napas,
dapat terjadi sistemik
inflamasi
Tabel 2. Perbedaan PPOK, Asma, ACO

28
DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2016), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (
PPOK ), Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia PDPI ( Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia ). 2004. Asma dan Pedoman Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai
penerbit FKUI

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)(2016), Pneumonia Komuniti. Pedoman


Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)(2015). Global Strategy for
the Diagnosis Management and Prevention for Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

Sinta Dwi Puspitasari, (2012). Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Di RS Paru Jember,

Yashinta Octavian, Delmi Sulastri dan Yuniar Lestari (2015). Hubungan Merokok dengan
Kejadian Hipertensi pada Laki - Laki Usia 35 – 65 Tahun Di Kota Padang, Respirologi
Indonesia, Vol : 4 (2)

Kemenkes RI (2008). Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,


Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Megantara Supriyadi, (2013). Faktor Genetik Penyakit Paru Obstrukti Kronik,Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia / RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia

Mangunnegoro, hadiarato dkk. 4004. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di


Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Suradi, Yusup Subagio, Reviono dan Harsini, (2012). Hubungan antara Penyakit Paru
Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut dengan Hasil Kultur Sputum Bakteri pada Rumah Sakit
Dr. Moewardi Surakarta. Respirologi Indonesia. Vol : 32 (4

29
30

Anda mungkin juga menyukai