Anda di halaman 1dari 24

NOVEMBER 2023

LAPORAN KASUS

“BRONKOPNEUMONIA”

OLEH :

CHYNTIA GAYATRI

Pembimbing Internsip ; Pembimbing Laporan Kasus :


Dr. Hj. Maryani Dr. Zukmianty, Sp.A

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD HAJJAH ANDI DEPU

2023

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Disusun untuk memenuhi Tugas Internship

Judul : Bronkopneumonia

Disusun Oleh : dr. Chyntia Gayatri

Wahana : RSUD HAJJAH ANDI DEPU

Periode : MEI 2023 - NOVEMBER 2023

Menyetujui

Dokter Pembimbing

dr. Hj. Maryani dr. Zukmianty, Sp.A

1
BAB I

PENDAHULUAN

Bronkopneumonia atau disebut pneumonia lobularis adalah suatu inflamasi


pada parenkim paru yang terlokalisir biasanya mengenai bronkiolus dan juga
alveolus di sekitarnya. Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim
paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pneumonia
seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami
komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia
bakteri dengan pneumonia viral. Demikian pula pemeriksaan radiologis dan
laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata. Namun sebagai pedoman dapat
disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien
tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis.1
Pneumonia terjadi melalui mekanisme aspirasi kuman atau penyebaran
langsung kuman dari saluran respirasi atas. Hanya sebagian kecil merupakan
akibat sekunder dari bakterimia, viremia atau penyebaran dari infeksi intra
abdomen. Pada kondisi normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah
daerah yang steril. Kondisi tersebut ini disebabkan adanya mekanisme pertahanan
pada paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk,
berkembangbiak dan menimbulkan penyakit.2
Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap meningkatnya kejadian
pneumonia pada balita, baik dari aspek individu anak, perilaku orang tua (ibu),
maupun lingkungan. Kondisi lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dan perilaku penggunaan bahan bakar dapat meningkatkan risiko
terjadinya berbagai penyakit seperti TB, katarak, dan pneumonia. Rumah yang
padat penghuni, pencemaran udara dalam ruang akibat penggunaan bahan bakar
padat (kayu bakar/ arang), dan perilaku merokok dari orangtua merupakan faktor
lingkungan yang dapat meningkatkan kerentanan balita terhadap pneumonia.3

1
Pneumonia menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia karena angka
kematiannya yang tinggi. Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian anak
diakibatkan oleh pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria dan
tuberkulosis. Menurut perkiraan WHO angka kematian bayi akibat pneumonia di
negara berkembang yaitu 40 dari 1000 kelahiran hidup atau sekitar 15-20%
pertahun, serta 10% penderita pneumonia akan meninggal bila tidak diberi
pengobatan. Di Indonesia, pneumonia juga merupakan urutan kedua penyebab
kematian pada balita setelah diare. Menurut Data dan Informasi Profil Kesehatan
Indonesia pada tahun 2017 jumlah balita pada usia 0-4 tahun yang didiagnosis
pneumonia sebanyak 493.555 orang sedangkan pada tahun 2018 jumlah balita
yang didiagnosis pneumonia sebanyak 462.930 orang. Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi Pneumonia rata-rata sebesar 1,6% pada
tahun 2013 dan 2,0% pada tahun 2018 dari penduduk Indonesia.4
Diagnosis bronkopneumonia di rumah sakit ditegakkan berdasarkan gejala
klinis dengan didukung pemeriksaan laboratorium dan penunjang medis lainnya.
Gejala klinis yang khas dari pneumonia yaitu: Batuk, demam dan sesak napas.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis. Komplikasi pada anak
meliputi empiema, perikarditis, pneumotoraks atau infeksi ektrapulmoner seperti
meningtis purulenta. Pada umunya anak sembuh dari pneumonia dengan cepat
dan sembuh sempurna, walaupun kelainan radiologi dapat bertahan selama 6-8
minggu sebelum kembali ke kondisi normal. Pada beberapa anak, pneumonia
dapat berlangsung lebih lama dari 1 bulan atau dapat berulang.5

2
BAB II
LAPORAN KASUS

Subjective (S) :
A. Identitas : By. DP ; 4 bulan 20 hari BB:6,5kg;
Keluhan Utama : Sesak Napas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk RS dibawa oleh keluarga dengan keluhan sesak
napas dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit dan semakin
memberat. Ibu pasien mengatakan sesak pada anaknya semakin
memberat ketika pasien sedang batuk. Pasien tidak mengalami kebiruan
pada bibir dan ujung jari selama sesak napas dialami.
Pasien mengalami batuk yang dirasakan sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya batuk hanya sekali-kali, namun memberat 1
hari sebelum masuk rumah sakit, napas berbunyi, bersamaan dengan
sesak napas yang ikut memberat. Batuk berlendir (+) berwarna putih,
bercampur darah (-). Pasien juga mengalami flu yang terjadi bersamaan
dengan batuk.
Ibu pasien juga mengatakan anaknya panas yang dialami sejak 4
hari yang lalu, panas naik turun, naik biasanya tidak menentu dan panas
turun setelah di berikan obat penurun panas kemudian panas akan naik
kembali. Saat demam pasien tidak mengalami kejang. Tidak ada
menggigil.
Tidak ada mimisan dan tidak ada bintik bintik dibadan. Pasien sulit
tidur akibat batuknya dan tampak gelisah, muntah (-), minum ASI masih
seperti biasa. Buang air besar seperti biasa, buang air kecil lancar. Pasien
sudah minum obat paracetamol dan puyer batuk dari puskesmas namun
keluhan tidak membaik. Riwayat keluar kota disangkal,

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien tidak pernah mengalami kejang demam

3
 Pasien beberapa kali demam dan batuk sebelumnya namun hilang
jika sudah minum obat dari puskesmas dan tidak sampai sesak
napas
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
 Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat asma
Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan :
Ayah pasien merupakan perokok aktif yang sering merokok didalam
rumah. Rumah terletak di pinggir jalan raya. Lingkungan sekitar cukup
bersih. Limbah rumah tangga dibuang setiap pagi hari.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan :
Pasien lahir secara caesar di rumah sakit atas indikasi panggul sempit.
Lahir cukup bulan dan langsung menangis. Berat badan lahir 2400 gram.
Panjang badan lahir 47 cm. Pada saat kehamilan, ibu pasien melakukan
Antenatal Care yang lengkap. Pasien merupakan anak kedua
Anamnesis Makanan :
Pasien mendapatkan ASI sejak lahir sampai sekarang.
Riwayat Imunisasi :
Imunisasi dasar lengkap sesuai dengan umur
Objective (O) :
B. Pemeriksaan Fisik
KU : Sakit Sedang
Nadi 120x/menit (Kuat angkat), RR 60x/menit, Suhu 36,70C, SpO2 94%
udara bebas
Kulit : Tidak sianosis, tidak ikterik, turgor kembali < 2 detik, petekie ()
Kepala : Normocephal, rambut hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks
kornea kesan normal, refleks cahaya normal, tidak cekung
Hidung : Rhinorrhea (+), epistaksis (-), pernapasan cuping hidung (+)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-)
Tonsil : sulit dievaluasi

4
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax :
I : simetris bilateral, retraksi subkostal (+), retraksi substernal (+)
P : vocal fremitus kanan=kiri
P : sonor diseluruh lapang paru
A : vesikular (+/+), ronchi (+/+), wheezing (-/-)
Jantung
I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis teraba
P : batas jantung normal
A : bunyi jantung I dan II regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen:
I : tampak datar, distensi (-)
A : peristaltic (+) kesan normal
P : timpani (+)
P : nyeri tekan (-) , organomegali (-)
Ekstremitas :
Hangat (+/+); Edema (-/-)
Pemeriksaan Penunjang :HGB 11,2 g/dL ; WBC 6,6x103/uL; RBC 4,60
106/uL; HCT 33,5%; PLT 336 103/uL;

Assesment (A) :
C. Diagnosis : Bronkopneumonia Berat

Plan (P) :
D. Tatalaksana :
O2 0,5-1 LPM via Nasal kanul
IVFD RL 700ml/24jam 29tpm microdips
Sanmol drop 3x0.7ml
Ambroxol drops 3x0,2 ml
Cefixim Sirup 2x1/2cth

5
Metilprednisolon 3x1mg pulv
Combivent nebule 3x1 respule

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme seperti bakteri , virus , jamur , parasite . pneumonia
juga disebabkan oleh bahan kimia dan paparan fisik seperti suhu atau
radiasi. (Djojodibroto, 2014 ). MUH Pneumonia merupakan infeksi pada
paru yang bersifat akut. Penyebabnya adalah bakteri, virus, jamur, bahan
kimia atau kerusakan fisik dari paru - paru, dan bisa juga disebabkan
pengaruh dari penyakit lainnya . Pneumonia disebabkan oleh Bakteri
Streptococcus dan Mycoplasma pneumonia, sedangkan virus yang
menyebabkan pneumonia yaitu Adenoviruses, Rhinovirus, Influenza virus,
Respiratory syncytial virus (RSV) dan para influenza (Athena
& Ika, 2014 )

2. ETIOLOGI
Menutut Padila ( 2013 ) etiologi pneumonia :
A. Bakteri
Pneumonia bakteri didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram
positif seperti : Streptococcus pneumonia , S. aerous , dan
streptococcus pyogenesis. Bakteri gram negative seperti Haemophilus
influenza , klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa
B. Virus
Disebabkan virus influenza yang menyebar melalui droplet. Penyebab
utama pneumonia virus ini yaitu Cytomegalovirus .
C. Jamur
Disebabkan oleh jamur hitoplasma yang menyebar melalui udara yang
mengandung spora dan ditemukan pada kotoran burung, tanah serta
kompos .

7
D. Protozoa
Terjadinya pecunocyst Menimbulkan terjadinya Pneumocystis
carinii pneumonia (CPC). Biasanya pada pasien yang mengalami
immunosupresi. (Reeves, 2013). Penyebaran infeksi melalui droplet
dan disebabkan oleh streptococcus pneumonia, melalui selang infus
yaitu stapilococcus aureus dan pemakaian ventilator oleh P.
Aeruginosa dan enterobacter. Dan bisa terjadi karena
kekebalan tubuh dan juga mempunyai riwayat penyakit kronis. Selain
diatas penyebab terjadinya pneumonia yaitu dari Non mikroorganisme:
 Bahan kimia
 Paparan fisik seperti suhu dan radiasi ( Djojodibroto , 2014 )
 Merokok .
 Debu , bau - bauan , dan polusi lingkungan ( Ikawati , 2016 ) .

3. KLASIFIKASI
Menurut pendapat Amin & Hardi ( 2015)
A. Berdasarkan anatomi :
 Pneumonia lobaris yaitu terjadi pada seluruh atau sebagian
besar dari lobus paru. Di sebut pneumonia bilateral atau ganda
apabila kedua paru terkena
 Pneumonia lobularis, terjadi pada ujung bronkhiolus, yang
tersumbat oleh eksudat mukopurulen dan membentuk bercak
poli konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya
 Pneumonia interstitial, proses inflamasi yang terjadi didalam
dinding alveolar dan interlobular
B. Berdasarkan inang dan lingkungan
 Pneumonia komunitas
Terjadi pada pasien perokok, dan mempunyai penyakit
penyerta kardiopulmonal
 Pneumonia aspirasi

8
Disebabkan oleh bahan kimia yaitu aspirasi bahan toksik , dan
akibat aspirasi cairan dari cairan makanan atau lambung
 Pneumonia pada gangguan imun
Terjadi akibat proses penyakit dan terapi. Disebabkan oleh
kuman pathogen atau mikroorganisme seperti bakteri, protozoa,
parasite, virus, jamur dan cacing
4. PATOFISIOLOGI
Menurut pendapat Sujono & Sukarmin (2009), kuman masuk
kedalam jaringan paru - paru melalui saluran nafas bagian atas menuju ke
bronkhiolus dan alveolus. Setelah Bakteri masuk dapat menimbulkan
reaksi peradangan dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein.
Kuman pneumokokusus dapat meluas dari alveoli ke seluruh
segmen atau lobus. Eritrosit dan leukosit mengalami peningkatan,
sehingga Alveoli penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit, fibrin
dan leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar, paru menjadi tidak
berisi udara. Pada tingkat lebih lanjut, aliran darah menurun sehingga
alveoli penuh dengan leukosit dan eritrosit menjadi sedikit. Setelah itu
paru tampak berwarna abu - abu kekuningan. Perlahan sel darah merah
yang akan masuk ke alveoli menjadi mati dan terdapat eksudat pada
alveolus Sehingga membran dari alveolus akan mengalami kerusakan yang
dapat mengakibatkan gangguan proses difusi osmosis oksigen dan
berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa oleh darah.
Secara klinis penderita mengalami pucat sampai sianosis.
Terdapatnya cairan purulent pada alveolus menyebabkan peningkatan
tekanan pada paru, dan dapat menurunan kemampuan mengambil oksigen
dari luar serta mengakibatkan berkurangnya kapasitas paru. Sehingga
penderita akan menggunakan otot bantu pernafasan yang dapat
menimbulkan retraksi dada.
Secara hematogen maupun lewat penyebaran sel , mikroorganisme
yang ada di paru akan menyebar ke bronkus sehingga terjadi fase
peradangan lumen bronkus. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkan

9
produksi mukosa dan peningkatan gerakan silia sehingga
timbul reflek batuk .

5. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis beragam , tergantung pada organisme penebab dan
penyakit pasien Brunner & Suddarth (2011).
a) Menggigil mendadak dan dengan cepat berlanjut menjadi demam
(38,5°C sampai 40,5 °C)
b) Nyeri dada pleuritik yang semakin berat ketika bernapas dan batuk.
c) Pasien yang sakit parah mengalami takipnea berat (25 sampai 45
kali pernapasan/menit ) dan dyspnea, prtopnea ketika disangga
d) Nadi cepat dan memantul, dapat meningkat 10 kali / menit per satu
derajat peningkatan suhu tubuh (Celcius)
e) Bradikardi relativ untuk tingginya demam menunjukkan infeksi
virus, infeksi mikroplasma, atau infeksi organisme Legionella.
f) Tanda lain : infeksi saluran napas atas, sakit kepala, demam derajat
rendah, nyeri pleuritik, myalgia, ruam faringitis, setelah beberapa
hari, sputum mucoid atau mucopurulen dikeluarkan.
g) Pneumonia berat pipi memerah, bibi dan bantalan kuku
menunjukkan sianosis sentral
h) Sputum purulent, bewarna seperti katar, bercampur darah, kental,
atau hijau, bergantung pada agen penyebab.
i) Nafsu makan buruk, dan pasien mengalami diaphoresis dan mudah
lelah.
j) Tanda dan gejala pneumonia dapat juga bergantung pada kondisi
utama pasien (misal, yang menjalani terapi imunosupresan, yang
menurunkan resistensi terhadap infeksi

10
6. KOMPLIKASI
Komplikasi pneumonia meliputi hipoksemia, gagal respiratorik,
effusi pleura, empyema, abses paru, dan bacteremia, disertai penyebaran
infeksi ke bagian tubuh lain yang menyebabkan meningitis, pericarditis,
endocarditis, (Paramita 2011)

7. PENCEGAHAN
Pencegahan pneumonia yaitu menghindari dan mengurangi faktor
resiko, meningkatkan pendidikan kesehatan, perbaikan gizi, pelatihan
petugas kesehatan dalam diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia yang
benar dan efektif (Said, 2010 ) .
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Penatalaksanaan medis secara umum untuk
pneumonia menurutManurung dkk (2009) adalah :
a) Pemberian antibiotik seperti : penicillin , cephalosporin pneumonia
b) Pemberian antipiretik, analgetik, bronkodilator
c) Pemberian oksigen
d) Pemberian cairan parenteral sesuai indikasi.
Sedangkan untuk penyebab pneumonia bervariasi sehingga
penanganannya pun akan disesuaikan dengan penyebab tersebut .
Selain itu, pengobatan pneumonia tergantung dari tingkat keparahan gejala
yang timbul. (Shaleh, 2013 )
a) Bagi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri
Dengan pemberian antibiotik yang tepat. Pengobatan harus komplit
sampai benar - benar tidak lagi muncul gejala pada penderita . Selain
itu, hasil pemeriksaan X - Ray dan sputum tidak tampak adanya
bakteri pneumonia (Shaleh , 2013).
 Untuk bakteri Streptococcus pneumonia
Dengan pemberian vaksin dan antibotik . Ada dua vaksin yaitu
pneumococcal conjugate vaccine yaitu vaksin imunisasi bayi
dan untuk anak dibawah usia 2 tahun dan pneumococcal

11
polysaccharide vaccine direkomendasikan bagi orang dewasa.
Antibiotik yang digunakan dalam perawatan tipe pneumonia ini
yaitu penicillin, amoxicillin, dan clavulanic acid, serta
macrolide antibiotics ( Shaleh , 2013 )
 Untuk bakteri Hemophilus influenzae
Antibiotik cephalosporius kedua dan ketiga, amoxillin dan
clavulanic acid, fluoroquinolones, maxifloxacin oral,
gatifloxacin oral, serta sulfamethoxazole dan trimethoprim.
(Shaleh,2013) .
 Untuk bakteri Mycoplasma
Dengan antibiotik macrolides, antibiotic ini diresepkan untuk
mycoplasma pneumonia, ( Shaleh , 2013 )
b) Bagi pneumonia yang disebabkan oleh virus
Pengobatannya sama dengan pengobatan pada penderita flu. Yaitu
banyak beristirahat dan pemberian nutrisi yang baik untuk membantu
daya tahan tubuh. Sebab bagaimana pun juga virus akan dikalahkan
juka daya tahan yubuh sangat baik, ( Shaleh , 2013 )
c) Bagi pneumonia yang disebabkan oleh jamur
Cara pengobatannya akan sama dengan cara mengobati penyakit MIC
jamur lainnya. Hal yang paling penting adalah pemberian obat anti
jamur agar bisa mengatasi pneumonia (Shaleh, 2013 )

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Misnadiarly (2008) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan
adalah
a) Sinar X ; Mengidentifikasi distribusi (missal : lobar, bronchial ),
luas abses atau infiltrate, empyema (stapilococcus) , dan
penyebaran infiltrate .
b) GDA ; Jika terdapat penyakit paru biasanya GDA Tidak normal
tergantung pada luas paru yang sakit.

12
c) JDL leukositosis; Sel darah putih rendah karena terjadi infeksi
virus , dan kondisi imun.
d) LED meningkat; Terjadi karena hipoksia, volume menurun,
tekanan jalan napas meningkat

13
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan seorang bayi
laki-laki usia 4 bulan 20 hari dibawa oleh keluarga dengan keluhan sesak napas
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit dan semakin memberat ketika pasien
sedang batuk. Pasien tidak mengalami kebiruan pada bibir dan ujung jari selama
sesak napas. Pasien mengalami batuk yang dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Awalnya batuk hanya sekali-kali, namun memberat 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, napas berbunyi, bersamaan dengan sesak napas yang ikut
memberat. Batuk berlendir (+) berwarna putih, juga mengalami flu yang terjadi
bersamaan dengan batuk. Pasien juga mengalami demam sejak 4 hari yang lalu,
panas naik turun, naik biasanya tidak menentu dan panas turun setelah di berikan
obat penurun panas kemudian panas akan naik kembali. Saat demam pasien tidak
mengalami kejang. Tidak ada menggigil. Tidak ada mimisan dan tidak ada bintik
bintik dibadan. Pasien sulit tidur akibat batuknya dan tampak gelisah, muntah (-),
minum ASI masih seperti biasa. Buang air besar seperti biasa, buang air kecil
lancar. Pasien sudah minum obat paracetamol dan puyer batuk dari puskesmas
namun keluhan tidak membaik. Riwayat keluar kota disangkal,riwayat kontak
dengan pasien covid 19 disangkal.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum sakit sedang, tanda-
tanda vital suhu: 36.7°C, denyut nadi: 120 x/menit, dan respirasi: 60x/menit,
SpO2 94%. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pernapasan cuping hidung,
tampak retraksi dinding dada dan auskultasi thorax terdapat bunyi rhonki pada ke
2 lapang paru,
Dalam kasus ini, masalah utama yang dirasakan oleh pasien sehingga
pasien dibawa ke rumah sakit adalah sesak nafas. Sesak nafas terjadi karena
berbagai hal, diantaranya adalah adanya gangguan mekanik terhadap proses
ventilasi (obstruksi aliran nafas, gangguan pengembangan paru, dan dinding dada/
diafragma), kelemahan pompa nafas, peningkatan respiratory drive (hipoksemia

14
dan asidosis metabolik), ventilasi inadekuat (destruksi kapiler/ emfisema dan
obstruksi pembuluh darah besar/ emboli paru), dan disfungsi psikologik
(somatisasi, ansietas, dan depresi). Berbagai macam kemungkinan etiologi dari
sesak nafas di atas dapat disimpulkan karena adanya gangguan dari satu atau
beberapa organ, misalnya akibat jantung, paru-paru, hati, dan ginjal. Namun setiap
organ tersebut memiliki beberapa perbedaan mengenai keadaan sesak nafas.
Jantung dapat menimbulkan sesak nafas pada penderitanya yang bisa diikuti
dengan keadaan sianotik maupun asianotik, dan biasanya sesak nafas karena
jantung akan semakin berat dirasakan karena adanya aktivitas yang semakin berat
menjadi faktor resiko. Sesak nafas yang ditimbulkan karena jantung dapat diikuti
dengan adanya bunyi jantung tambahan (murmur ataupun gallop).
Sesak nafas karena paru-paru disebabkan karena berbagai macam hal,
diantaranya karena adanya obstruksi pada jalan nafas dan adanya faktor-faktor
tertentu yang menyebabkan paru-paru/alveoli gagal mengembang dengan
sempurna (kekurangan surfaktan atau adanya desakan dari rongga
abdomen/jantung). Sesak nafas pada paru-paru tidak tergantung pada berat
ringannya aktivitas seseorang dan terkadang sesak nafas yang berat akibat paru-
paru bisa menimbulkan seseorang menjadi sianotik. Sesak nafas yang ditimbulkan
karena paru dapat diikuti dengan adanya bunyi nafas tambahan, seperti ronkhi
(basah/kering) ataupun wheezing. Berbeda dengan sesak nafas yang timbul akibat
hati ataupun ginjal, sesak nafas yang timbul akibat kedua organ ini merupakan
komplikasi yang timbul akibat adanya gangguan metabolisme (asidosis
metabolik) yang berakibat ke paru sehingga timbul sesak nafas. Pada pasien ini
tidak ditemukan adanya bunyi jantung tambahan (murmur/gallop), tidak pula
ditemukan adanya asidosis metabolik (asites pada abdomen) ataupun gangguan
pada ginjal (edema pada tungkai/palpebra). Pada pasien ini ditemukan adanya
bunyi nafas tambahan, ronkhi halus nyaring yang ditemukan pada seluruh lapang
paru-paru penderita.
Manifestasi klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat
ringannya infeksi, namun secara umum adalah gejala infeksi umum, yaitu demam,
sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal

15
seperti mual, muntah atau diare. Gejala gangguan respiratori yaitu batuk, sesak
napas, nafas cuping hidung, merintih dan sianosis.
Pada kasus ini gejala infeksi yang muncul pada pasien adalah demam dan
gelisah. Sedangkan gejala gangguan respiratorik yaitu batuk, sesak napas, nafas
cuping hidung. Sesak nafas dapat disebabkan oleh aliran udara dalam saluran
pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran
pernafasan menguncup, oedema, atau karena sekret yang menghalangi arus
pertukaran O2 dengan CO2.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi nafas 60 x/menit, nafas
cuping hidung (+), retraksi subcostal (+), ronkhi di seluruh lapang paru +/+.
Adanya suara ronkhi di seluruh lapang paru menandakan bahwa sesak nafas
pasien merupakan adanya gangguan dari paru-paru bukan berasal dari jantung.
Ronkhi terdengar karena adanya udara yang melewati saluran napas yang
mengalami penyempitan atau obstruksi.
Pada pemeriksaan foto rontgen toraks didapatkan hasil bronkopneumonia.
Gambaran radiologi pada pasien bronkopneumonia ditemukan adanya infiltrat
kecil dan halus dengan peningkatan corakan bronkovaskular. Bayangan bercak
infiltrat sering terlihat pada lobus paru bawah.
Diagnosis pneumonia ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala5:
1. Sesak napas disertai dengan pernapasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada
2. Panas badan
3. Ronki basah halus-sedang nyaring (crackles)
4. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrar difus
5. Leukositos (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
Pada kasus didapatkan 4 gejala berupa sesak napas, demam, rhonki dan
foto thorax sehingga diagnosis bronkopneumoni ditegakkan.
Kuman penyebab pneumonia umumnya mencapai alveolus lewat percikan
mucus atau saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena karena efek

16
gravitasi. Setelah mencapai alveolus, maka kuman akan menimbulkan respon khas
yang terdiri dari empat tahap berurutan.
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan awal yang
berlangsung pada daerah yang baru terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma
ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah.
Pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak
akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang terinfeksi dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai direabsorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

17
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Selain itu WHO mengklasifikasikan pneumonia, pneumonia berat dan
pneumonia sangat berat berdasarkan manifestasi pada sistem pernapasan.
Tabel Pneumonia pada Bayi Kurang dari 2 Bulan
Klasifikasi Manifestasi Klinis
Pneumonia Berat Retraksi dinding dada atau
tachypnea
Pneumonia Sangat Berat  Retraksi dinding dada atau
tachypnea
 Tidak dapat menyusu/makan
 Kejang, letargi, tidak sadar
 Demam/suhu tubuh yang rendah
 Pernapasan tidak teratur

Table Pneumonia pada Bayi Usia 2 Bulan Sampai 5 Tahun


Klasifikasi Manifestasi Klinis
Pneumonia ringan Tachypnea
Pneumonia berat Retraksi dinding dada
Pneumonia sangat berat  Tachypnea
 Retraksi dinding dada
 Tachypnea
 Tidak dapat menyusu/makan
 Kejang, letargi, tidak sadar
 Malnutrisi

18
Tabel Kriteria Napas Cepat Sesuai Golongan Umur 9
Umur Anak Kriteria Bernapas Cepat
<2 bulan Frekuensi napas: 60 kali per menit
atau lebih
2 sampai 12 bulan Frekuensi napas: 50 kali per menit
atau lebih
12 bulan sampai 5 tahun Frekuensi napas: 40 kali per menit
atau lebih
Pneumonia secara umum memiliki faktor resiko seperti tidak mendapat
imunisasi yang lengkap, asi tidak adekuat, sering terpajan polusi seperti asap
rokok, adanya penyakit paru seperti asma, pasien dengan malnutrisi, pasien
dengan imunosupresi dan imunodefisiensi. Respon imunitas yang belum
berkembang pada bayi dan anak juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
penyakit ini. Pada kasus ini pasien memiliki faktor resiko karena sering terpajan
asap rokok.
Terapi yang diberikan pada pasien O2, terapi cairan, antipiretik, mukolitik
antibiotik dan kortikosteroid. O2 diberikan sebesar 0,5-1 lt/menit. Berdasarkan
pedoman pelayanan medis World Health Organization (WHO), pasien dengan
saturasi oksigen <92% pada saat bernapas dengan udara ruangan harus diberikan
oksigen dengan nasal kanul atau sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen
>92%. Pada kasus ini saturasi oksigen pasien 94% diudara bebas kemudian naik
menjadi 99% (sudah dengan penggunaan O2). Terapi cairan yang diberikan pada
pasien ini yaitu infus IVFD Ringer lactat 700ml sebanyak 29 tetes/ menit. Hal ini
sesuai dengan kebutuhan Cairan ini diberikan sebagai pengganti kebutuhan kalori
yang tidak bisa didapatkan oleh pasien bronkopneumonia secara oral, tetapi
akhirnya pasien ini tidak terpasang infus dikarenakan infus pada anak sering
terlepas. Agen antipiretik yang diberikan kepada pasien ini adalah sanmol.
Sanmol dapat diberikan dengan cara di tetesi (3x0,7 cc sehari). Indikasi pemberian
sanmol pada pasien ini adalah adanya peningkatan suhu serta untuk menjaga
kenyamanan pasien. Pada kasus ini pemberian ambroksol, sebagai mukolitik,

19
bekerja untuk mengencerkan dahak/sekret pada saluran pernafasan dan dengan
reflek batuk, diharapkan mukus/sekret dapat dikeluarkan.
Pemberian antibiotik pada kasus ini adalah cefixime sirup 2x cth ½ yang
diberikan secara oral. Antibiotik diberikan secara oral karena pada kasus ini
pasien tidak terpasang infus, seharusnya antibiotic yang diberikan adalah
antibiotic secara intravena karena kasus ini termasuk dalam klasifikasi
bronkopneumonia berat dan tidak dapat menerima asupan per oral. Selain itu pada
bayi kecil terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin karena
pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis. Antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta
laktam/klavulanat dengan aminoglikosid atau sefalosporin generasi ketiga. Bila
keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10
hari.
Pasien bronkopneumonia dapat dipulangkan jika gejala dan tanda
bronkopneumonia telah menghilang, asupan oral adekuat, pemberian antibiotik
dapat diteruskan dirumah secara peroral, keluarga mengerti dan setuju untuk
pemberian terapi terapi dan rencana kontrol, kondisi rumah memungkinkan untuk
perawatan lanjutan dirumah.
Pada kasus ini gejala sesak nafas dan demam sudah mulai berkurang sejak
perawatan hari ke 2 dan hilang saat perawatan hari ke 4, tetapi batuk masih
muncul kadang-kadang. Tanda bronkopneumonia pada pasien seperti nafas
cuping hidung, retraksi subcostal dan ronkhi sudah menghilang. Pasien juga
menyusu dengan baik. Keluarga juga sudah mengerti dan setuju harus kontrol
kembali, oleh karena itu pasien diperbolehkan pulang dan mendapatkan antibiotik
oral yaitu Cefixim sirup 2x cth ½ yang harus di minum sampai 5-7 hari.
Prognosis pasien ini adalah dubia ad bonam. Prognosis suatu penyakit
ditentukan oleh beberapa faktor salah satunya adalah lingkungan mikro, mini,
meso, dan makro. Lingkungan mikro adalah faktor dari ibu sendiri yang salah
satunya adalah pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai penyakit dan
pemberian nutrisi. Lingkungan mini adalah lingkungan keluarga seperti suasana
dalam lingkungan rumah apakah mendukung untuk tercapainya kesembuhan.

20
Lingkungan meso adalah sarana dan prasarana yang memberikan pelayanan untuk
menunjang pengobatan. Sedangkan lingkungn makro adalah organisasi yang
berkecimpung dalam kesehatan anak. Pada kasus ini prognosis dubia ad bonam
dikarenakan penanganan yang cepat setelah timbulnya keluhan pada pasien,
pasien segera mendapatkan terapi antibiotik, dan pemberian ASI yang adekuat
sejak lahir. Pada kasus ini ibu pasien memiliki pengetahuan yang cukup, terlihat
dari bagaimana ibu yang mengaku selalu melakukan kontrol rutin ke bidan
setempat selama kehamilan, mengenai cara pemberian nutrisi ASI, dan
penanganan penyakit dari pasien. Namun ayah dari pasien ini memiliki kebiasaan
merokok di dalam rumah, ditambah dengan letak lingkungan pasien yang
berdekatan dengan jalan raya bisa menjadi salah satu faktor penyulit kesembuhan
pasien.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia . Buku ajar respirologi anak. Jakarta: IDAI;
2012.

2. Firizki F,Suryati E. Bronkopneumonia pada Bayi Usia 5 Bulan dengan Klinis


Sindrom Down dan Suspek Hipotiroid Kongenital. 2020;9(2)

3. Anwar A, Dharmayanti I. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia


Pneumonia among Children Under Five Years of Age in Indonesia. 2015;8(8)

4. Florentina D, Dewi R, Sutrisno D. Profil Penggunaan Antibiotik pada Pasien


Pediatri Rawat Inap di Bangsal Anak dengan Diagnosis Bronkopneumonia di
RSUD Raden Mattaher Jambi Periode 2017-2018. 2021;6(1)

5. Marcdante, K.J., Kliegman, R.M., Jenson.H.B., Behrman, R. Nelson Ilmu


Kesehatan Anak. Edisi bahasa Indonesia, diterjemahkan, didapatkan dan
diedit oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014.

6. Dicky A, Wulan AJ. Tatalaksana Terkini Bronkopneumonia pada Anak di


Rumah Sakit Abdul Moeloek. 2017;7(2)

7. IDAI. 2009. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak edisi I. Jakarta :


Badan Penerbit IDAI.

8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Buku Bagan Manajemen


Terpadu Balita Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia

9. WHO. Revised WHO classification and treatment of childhood pneumonia at


health facilities.2014.

22

Anda mungkin juga menyukai