BRONKOPNEUMONIA
Disusun untuk melengkapi tugas Program Internship Dokter Indonesia di Rumah Sakit
Disusun oleh:
Pembimbing:
PEKANBARU
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus Anak
Mengetahui
Pendamping
Pembimbing
Tentunya penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari kata sempurna,
baik itu dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran-saran yang membangun
dari pembaca tentunya sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan penulisan selanjutnya.
Penulis berharap semoga Laporan Kasus ini dapat menjadi manfaat bagi pembaca
terkhusus rekan sesama peserta Program Internship Dokter Indonesia lainnya.
Wassalamua’laikum Wr.Wb
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Bronkopneumonia yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang
biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa
anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus,
jamur dan benda asing.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur
5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan
angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Dari data SEAMIC
Health Statistic 2001, influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di
Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand
dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi
kibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut bronkopneumonia.
Dasar tatalaksana pneumonia adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai,
serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemeberin cairan intravena, oksigen,
koreksi terhadap gangguan asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat
diberikan analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. Penggunaan
antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus
segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
- Nama Pasien : An. R.A.B
- Umur : 10 tahun
- Jenis Kelamin : Laki - laki
- Alamat : Jl. Paus, Pekanbaru
- Agama : Islam
- Pendidikan : SD
- Pekerjaan : Pelajar
- Tanggal masuk rs : 18 April 2019
2. Anamnesis
- Keluhan Utama :
Sesak nafas sejak 2 hari yang lalu dan meningkat sejak 6 jam sebelum
masuk rumah sakit.
- Riwayat Imunisasi
Usia Imunisasi
Nadi : 120 x /i
Pernafasan : 36 x/i
Suhu : 39,2˚C
Data Antropometri
Berat badan : 25 kg
Status Gizi
Kepala
Bentuk : Normochepal
Rambut : Hitam
Leher
Thoraks
Cor
Pulmo
Abdomen
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 16 April 2018
Hemoglobin : 14,0 g/dl
Leukosit : 11.600 mm
Trombosit : 404.000 mm
Hematokrit : 41%
GDR : 116 mg%
Foto Rontgen Thorak
- Foto asimetris
- Cor tidak membesar
- Sinus dan diafragma normal
- Pulmo :
Hilli normal
Corakan bronkhovaskuler bertambah
Tampak perbercakan di perihiler dan lapang bawah kedua paru
Kesan: Bronkopneumonia
5. Diagnosis
- Dyspnea et causa bronkpenumonia
Differential Diagnosis
6. Penatalaksanaan
Konsul dr. Mukhtar, Sp.A
- Informed consent untuk dirawat
- IVFD KAEN 1B 22tetes/menit (makro)
- O2 2L/i bila sesak
- Nebu Ventolin 4 x 1
- (1)Injeksi Ampicillin 4 x 1250 mg
- (1)Injeksi Gentamicin 2 x 62,5 mg
- (1)Injeksi dexamethasone dosis inisial 12,5 mg, dilanjutkan 3 x 4,2 mg
- CTM 3 x 2 mg
- Vectrin Syrup 3 x 1 cth
- Paracetamol 3 x 250 mg
- Chest Therapy
Follow Up
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan
kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab
non infeksi yang perlu dipertimbangkan.
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis ada;lebih sering merupakan
infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi
bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa. (Bradley et.al., 2011)
Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah
umur 2 tahun. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001, influenza dan pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di
Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan
WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi kibat penyakit infeksi di
dunia adalah infeksi saluran napas akut bronkopneumonia (Fadhilla,2013).
Insiden penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan
yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum
berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau di dalam
rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia nasokomial/PN). (Suparman,2011).
Etiologi
Menurut Bradley et.al. (2011), penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai
adalah :
1. Faktor infeksi
a. Pada neonatus : Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV)
b. Pada bayi :
1) Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus
2) Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis
3) Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, Bordetellapertusis
c. Pada anak-anak :
1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV
2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
3) Bakteri : Pneumokokus, Mycobacterium tuberculosis
d. Pada anak besar – dewasa muda :
1) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis
2) Bakteri : Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. Tuberculosis
2. Faktor Non Infeksi
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
a. Bronkopneumonia hidrokarbon:
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambng (zat
hidrokarbon seperti prlitur, minyak tanah dan bensin)
b. Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal,
termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan
seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan
pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.
Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak
binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya
seperti susu dan minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
bronkpneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat
seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak
merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data
di negara maju :5,6
Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis
dan memberikan terapi yang lebih relevan. (Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan
Anak,2005).
Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar
Streptococcus pneumoniae. Jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang
terjadi pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh
adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses
keganasan. 5
b. Pneumonia interstitialis
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial.
Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi
c. Bronkopneumonia
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus
bercak infiltrate multifocal pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri
maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan
obstruksi bronkus. 5
pneumonia yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam. 5
berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di temukan
yaitu Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti
c. Pneumonia mikoplasma
Infeksi bakteri di saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma
Pneumoniae. Mycoplasma pneumonia kadang dianggap sebagai infeksi yang agak
ringan, namun gejalanya dapat berlangsung lama jika radang paru-paru tidak
segera diobati dengan benar dan cepat.
d. Pneumonia jamur
sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan
b. Pneumonia atipikal
disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
5. Berdasarkan lama penyakit
a. Pneumonia akut
b. Pneumonia persisten
Patogenesis
Dalam keadaan normal, saluran pernafasan mulai dari daerah sublaring sampai
parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mekanisme
pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan
imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat
di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobulin lain. (Bradley et.al., 2011):
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui
inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui
hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas
bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun.
Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,
eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
Manisfestasi klinik
Gejala dan tanda klinis pneumonia tergantung dari kuman penyebab, usia pasien,
status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis biasanya berat yaitu
sesak, sianosis, tetapi dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus.
Gejala dan tanda penumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (non
spesifik), gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi
demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami
gangguan gastrointestinal seperti muntah, kenbung, diare, atau sakit perut.3
Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah
gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping hidung, takipneu,
dyspneu, dan timbul apneu. Otot bantu napas interkostal dan abdominal mungkin
digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa
batuk.2
Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya
penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tata laksana
penumonia. Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam keadaan anak tenang dan tidur.
Tim WHO telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak
dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari normal serta adanya
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkan
sebagai penumonia (di lapangan), dan harus memerlukan perawatan dengan pemberian
antibiotik. Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai niali diagnostik karea umumnya
kelaianan patologinya menyebar, suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi
pleura.2
Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah
halus yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada
bayi dan balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara napas saling berbaur,
dan sulit diidentifikasi.2
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bekterial dengan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial
awitannya cepat, batuk prosuktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologis.2
Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.
Pemeriksaan Penunjang
a) Darah Perifer Lengkap
Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit dalam
batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis ( 15.000 – 40.000/mm3 ). Dengan prdominan PMN. Leukopenia ( <
5000/mm3 ) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang –
kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan
eksudat berkisar 300-100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf lebih rendah
daripada glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan LED yang
meningkat. Secara umum hasil peneriksaan darah perifer lengkap tidak dapat
membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti. 6
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara
faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis atau
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus atau infeksi superfisialis
daripada profunda. 6
c) Uji Serologis
Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis tidak
terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik seperti
Mycoplasma dan chlamydia tampak peningkatan anibodi IgM dan IgG. 6
d) Pemeriksaan mikrobiologis
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tenggorok,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau aspirasi paru. Diagnosis
dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.
6
Diagnosis
1. Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus, terutama pada
infeksi bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram negative sebesar 60%,
steril. Terkadang pada infeksi bakterial terjadi empiema dengan cairan eksudat.
berupa meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia, anemia pada
4. Abses Paru terbentuk akibat eksudat di alveolus paru sehingga terjadi infeksi
5. Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia berlangsung lebih dari 4-6
minggu akibat kuman anaerob S. aureus, dan kuman Gram (-) seperti
Pseudomonas aeruginosa.
6. Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak-anak tetapi
dapat juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada cystic fibrosis atau
Penatalaksanaan
Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,disters pernafasan, tidak
mau makan atau minum, atau ada penyakit dasaryang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap.6
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi
alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan
adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-
50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2
kali sehari dengan dosis 15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari
(hari pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya.6
Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap kejadian
pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang
yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari
komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya
penyakit dan ternjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
Prognosis
KESIMPULAN
1. Subjektif:
Seorang pasien anak laki-laki umur 10 tahun datang ke IGD RS BHAYANGKARA pada
tanggal 18 April 2019. Dengan keluhan utama sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit dan semakin meningkat sejak 6 jam yang lalu. Sesak dirasakan setiap batuk. Sesak tidak
dipengaruhi aktivitas. Sesak disertai suara menciut dan semakin meningkat di udara dingin.
Batuk sejak 1 minggu yang lalu. Batuk berdahak, berwarna hijau. Demam sejak 2 hari yang lalu.
Demam tinggi, tidak menggigil dan tidak berkeringat.
2. Objektif
Pada pemeriksaan fisik yang presentan lakukan didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran kurang aktif, nadi 120x/menit, nafas 36x/menit, suhu 39,2˚C, BB 25 Kg. Kulit
teraba hangat, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-. Pada pemeriksaan paru, gerakan dada
simetris kanan dan kiri, fremitus dada kanan dan kiri normal. perkusi sonor pada kedua lapang
paru. Auskultasi vesikuler , rhonki +/+, wheezing +/+. Sedangkan dari pemeriksaan labor
didapatkan Hb 14,0 g/dl, Leukosit 11.600 mm, Trombosit 404.000 m Ht 41% dan dari
pemeriksaan foto rontgen thorak didapatkan kesan bronkopneumonia.
4. Plan :
Diagnosis klinis :
Dyspnea et causa bronkopneumonia dd/ suspect asma bronkial
Tatalaksana :
- IVFD KAEN 1B 22 tetes/menit (makro)
- O2 2L/i bila sesak
- Nebu Ventolin 4 x 1
- Injeksi Ampicillin 4 x 1250 mg
- Injeksi Gentamicin 2 x 62,5 mg
- Injeksi dexamethasone 3 x 4,2 mg
- CTM 3 x 2 mg
- Vectrin Syrup 3 x 1 cth
- Paracetamol 3 x 250 mg
- Chest Therapy
Pendidikan :
Peranan edukasi sangat penting dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit yang diderita pasien. Selain itu juga penting dalam usaha mencapai fungsi
optimal pasien di masa mendatang. Edukasi yang diberikan meliputi :
Penjelasan kepada pasien mengenai keadaan yang dialami dan tatalaksana yang
akan diberikan
Pentingnya akan kepatuhan meminum obat secara teratur
Penjelasan kepada pasien mengenai komplikasi
Konsultasi :
Perlu dilakukan konsultasi kepada dokter spesialis Anak untuk penatalaksanaan sekanjutnya
pada kasus bronkopneumonia untuk penatalaksanaan yang bersifat kuratif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison c., Kaplan S.L.,
Mace S.E., McCracken Jr G.H. Moore M.R., St. Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson
J.T. 2011. The Management of Community – Acquired Pneumonia in Infants and Children
Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious
Disease Society and the Infectious Disease Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7) : 617
– 630
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Penerbit IDAI
3. Mandell LA, IDSA/ATS consensus guidelines on the management of community-acquired
pneumonia in adults, CID 2007;44:S27
4. Nelson, 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Volume 2. Jakarta : EGC
5. Niederman MS, Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient, Chest 2007;131;1205
6. Pedoman Diganosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005
7. Pedoman Pelayan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010.
8. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6,
Penerbit EGC, Jakarta, hal :804
9. Rahajoe, Nastini N. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi I. Jakarta IDAI.
10. Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: 2008.h.350-64.
11. Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006. Diunduh dari : Sari
Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6