Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS ANAK

BRONKOPNEUMONIA

Disusun untuk melengkapi tugas Program Internship Dokter Indonesia di Rumah Sakit

Disusun oleh:

dr. Meizon Eko Reski

Pembimbing:

dr. Muchtar Kesuma Hayatullah, Sp.A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

RS BHAYANGKARA TK III PEKANBARU

PEKANBARU

2019
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus Anak

Mengetahui

Pendamping

(AKBP dr. Khodijah. MM) (dr. Chunin Widyaningsih,MKM)

Pembimbing

(dr. Mukhtar Kesuma Hayatullah, Sp.A)


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh; dengan mengucap syukur kepada


Tuhan Yang Maha Esa, maka atas rahmat-Nya akhirnya penulis dapat menyusun Laporan Kasus
ini dengan lancar. Laporan Kasus adalah salah satu tugas yang harus dipenuhi peserta Program
Internship Dokter Indonesia. Pada kesempatan kali ini, Laporan Kasus yang penulis susun
berjudul “(BRONKOPNEUMONIA)”.
Tentunya dalam penyusunan Laporan Kasus ini, penulis banyak mendapat rintangan dan
hambatan, akan tetapi dengan bantuan beberapa pihak rintangan dan hambatan itu bisa teratasi.
Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan Laporan Kasus ini.

Tentunya penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari kata sempurna,
baik itu dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran-saran yang membangun
dari pembaca tentunya sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan penulisan selanjutnya.

Penulis berharap semoga Laporan Kasus ini dapat menjadi manfaat bagi pembaca
terkhusus rekan sesama peserta Program Internship Dokter Indonesia lainnya.

Wassalamua’laikum Wr.Wb

Pekanbaru, 17 Agustus 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Bronkopneumonia yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang
biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa
anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus,
jamur dan benda asing.

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur
5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan
angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Dari data SEAMIC
Health Statistic 2001, influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di
Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand
dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi
kibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut bronkopneumonia.

Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau serologis merupakan


dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena
memerlukan laboratorim yang memadai. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah
demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea, batuk, nafas
cuping hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta didukung oleh gambaran radiologis.

Dasar tatalaksana pneumonia adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai,
serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemeberin cairan intravena, oksigen,
koreksi terhadap gangguan asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat
diberikan analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. Penggunaan
antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus
segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
BAB II

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
- Nama Pasien : An. R.A.B
- Umur : 10 tahun
- Jenis Kelamin : Laki - laki
- Alamat : Jl. Paus, Pekanbaru
- Agama : Islam
- Pendidikan : SD
- Pekerjaan : Pelajar
- Tanggal masuk rs : 18 April 2019

2. Anamnesis
- Keluhan Utama :
 Sesak nafas sejak 2 hari yang lalu dan meningkat sejak 6 jam sebelum
masuk rumah sakit.

- Riwayat Penyakit Sekarang :


 Sesak nafas sejak 2 hari yang lalu dan meningkat sejak 6 jam sebelum
masuk rumah sakit.
Sesak tidak dipengaruhi aktivitas.
Sesak disertai bunyi menciut dan meningkat saat udara dingin.
 Batuk sejak 1 minggu yang lalu. Batuk berdahak, berwarna hijau.
 Flu (+) sejak 1 minggu yang lalu.
 Demam sejak 2 hari yang lalu, demam tinggi. Demam tidak menggigil dan
tidak disertai keringat.
 Mual (-), muntah (-)
 Nafsu makan menurun sejak 2 hari ini.
 BAB dan BAK biasa

- Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat asma sebelumnya (-)
- Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita asma

- Riwayat kehamilan dan persalinan


 Ibu rutin melakukan pemeriksaan ANC ke bidan. Selama hamil ibu tidak
ada masalah, demam tidak ada, hipertensi tidak ada, diabetes tidak ada,
mengkonsumsi obat-obatan atau jamu tidak ada, mengkonsumsi alkohol
tidak pernah.
 Pasien anak pertama dari dua bersaudara, lahir spontan ditolong oleh
dokter. BBL 3200 gram, lahir langsung menangis kuat

- Riwayat makanan dan minuman


 ASI dari lahir sampai umur 2 tahun
 Susu formula dari umur 2 tahun sampai sekarang
 MPASI mulai umur 6 bulan
 Makan menu keluarga mulai umur 2 tahun sampai sekarang

- Riwayat Imunisasi

Usia Imunisasi

Saat lahir (0-7 hari) Hb0, BCG, Polio 0


2 bulan DPT/HB1, Polio 1
3 bulan DPT/HB2, Polio 2
4 bulan DPT/HB3, Polio 3
9 bulan Campak 1
18 bulan DPT/HB4, Polio 4
24 bulan Campak 2
3. Pemeriksaan Fisik
Status generalisata

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : kurang aktif

Tanda- tanda vital

Nadi : 120 x /i

Pernafasan : 36 x/i

Suhu : 39,2˚C

Data Antropometri

Berat badan : 25 kg

Tinggi badan : 130 cm

Status Gizi

BB/TB : presentile -1SD sampai 0 SD, Normal

BB/U : presentile 0 SD sampai -2 SD, Normal

TB/U : presentile -2 SD sampai 0 SD, Normal

Kepala

Bentuk : Normochepal

Rambut : Hitam

Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik, pupil isokor,

Reflex cahaya (+/+)

Hidung : Nafas cuping hidung (-/-)


Mulut : Mukosa basah, tidak pucat, faring tidak hiperemis

Leher

Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran

Thoraks

Cor

 Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat


 Palpasi : iktus cordis tidak teraba
 Perkusi : redup, batas jantung tidak melebar
 Auskultasi : irama teratur, bising (-)

Pulmo

 Inspeksi : simetris kanan dan kiri


 Palpasi : fremitus kanan dan kiri normal
 Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
 Auskultasi : vesikuler, Rhongki +/+ , Wheezing +/+

Abdomen

 Inspeksi : tidak tampak membuncit


 Palpasi : supel , nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : bising usus (+) normal

Extremitas : akral hangat, CRT <2”

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 16 April 2018
Hemoglobin : 14,0 g/dl
Leukosit : 11.600 mm
Trombosit : 404.000 mm
Hematokrit : 41%
GDR : 116 mg%
Foto Rontgen Thorak
- Foto asimetris
- Cor tidak membesar
- Sinus dan diafragma normal
- Pulmo :
 Hilli normal
 Corakan bronkhovaskuler bertambah
 Tampak perbercakan di perihiler dan lapang bawah kedua paru

Kesan: Bronkopneumonia

5. Diagnosis
- Dyspnea et causa bronkpenumonia
Differential Diagnosis

- Suspect Asma bronkial

6. Penatalaksanaan
Konsul dr. Mukhtar, Sp.A
- Informed consent untuk dirawat
- IVFD KAEN 1B 22tetes/menit (makro)
- O2 2L/i bila sesak
- Nebu Ventolin 4 x 1
- (1)Injeksi Ampicillin 4 x 1250 mg
- (1)Injeksi Gentamicin 2 x 62,5 mg
- (1)Injeksi dexamethasone dosis inisial 12,5 mg, dilanjutkan 3 x 4,2 mg
- CTM 3 x 2 mg
- Vectrin Syrup 3 x 1 cth
- Paracetamol 3 x 250 mg
- Chest Therapy
Follow Up

Tanggal Subject Object Asessment Plan


19 April  Sesak  Ku : sakit Dyspnea et causa Therapy:
2019 nafas (+) sedang bronkopneumonia  IVFD KAEN 1B
berkuran  Kesadaran : dd/ suspect asma 22 tetes/menit
bronkial (makro)
g. aktif
 Batuk  Nadi : 90x/i  O2 2L/i bila sesak
(+)  HR: 30x/i  Nebu ventolin 4x1
 Demam  Suhu : respul
(+) 38,4˚C  (2) inj.Ampicillin
 Mual (-)  Mata : 4 x 1250 mg
 Muntah konjungtiva  (2) inj.
(-) tidak Gentamicin 2 x
 Nafsu anemis,skle 62,5 mg
makan ra tidak  (2) inj.
(+) ikterik Dexametasone 3 x
 BAB dan  Thorak : 4,2 mg
BAK cor: irama  CTM 3 x 2 mg
biasa teratur,  Vectrin syrup 3 x
bising(-) cth 1
 Pulmo :  Paracetamol 3 x
vesikuler, 250 mg
rhonki +/+ ,  Chest therapy
wheezing
+/+
 Abdomen :
supel , bu
(+) normal,
nyerin
tekan (-),
nyeri lepas
(-)
 Extremitas :
akral
hangat,
CRT < 2”
20 April  Sesak  Ku : sakit Dyspnea et causa Therapy:
2019 nafas (+) sedang bronkopneumonia  IVFD KAEN 1B
berkuran  Kesadaran : dd/ suspect asma 22 tetes/menit
bronkial (makro) (aff)
g. aktif
 Batuk  Nadi : 90x/i ganti inject pump
(+)  HR: 26x/i  O2 2L/i bila sesak
 Demam  Suhu :  Nebu ventolin 4x1
(-) 37,3˚C respul
 Mual (-)  Mata :  (3) inj.Ampicillin
 Muntah konjungtiva 4 x 1250 mg
(-) tidak  (3) inj.
 Nafsu anemis,skle Gentamicin 2 x
makan ra tidak 62,5 mg
(+) ikterik  (3) inj.
 BAB dan  Thorak : Dexametasone 3 x
BAK cor: irama 4,2 mg
biasa teratur,  CTM 3 x 2 mg
bising(-)  Vectrin syrup 3 x
 Pulmo : cth 1
vesikuler,  Paracetamol 3 x
rhonki +/+ , 250 mg
wheezing  Chest therapy
+/+
 Abdomen :
supel , bu
(+) normal,
nyeri tekan
(-), nyeri
lepas (-)
 Extremitas :
akral
hangat,
CRT < 2”
19 April  Sesak  Ku : sakit Dyspnea et causa Therapy:
2018 nafas (-) sedang bronkopneumonia  Inject pump
 Batuk  Kesadaran : dd/ suspect asma  O2 2L/i bila sesak
bronkial
(+) aktif  Nebu ventolin
 Demam  Nadi : 92x/i (K/P)
(-)  HR: 24x/i  (4) inj.Ampicillin
 Mual (-)  Suhu : 4 x 1250 mg
 Muntah 36,2˚C  (4) inj.
(-)  Mata : Gentamicin 2 x
 Nafsu konjungtiva 62,5 mg
makan tidak  (4) inj.
(+) anemis,skle Dexametasone 3 x
 BAB dan ra tidak 4,2 mg
BAK ikterik  CTM 3 x 2 mg
biasa  Thorak :  Vectrin syrup 3 x
cor: irama cth 1
teratur,  Paracetamol 3 x
bising(-) 250 mg
 Pulmo :  Chest therapy
vesikuler,
rhonki -/- ,
wheezing
-/-
 Abdomen :
supel , bu
(+) normal,
nyerin
tekan (-),
nyeri lepas
(-)
 Extremitas :
akral
hangat,
 CRT < 2”
20 April  Sesak  Ku : sakit Dyspnea et causa Therapy:
2018 nafas (-) sedang bronkopneumonia  Inject pump
 Batuk  Kesadaran : dd/ suspect asma  O2 2L/i bila sesak
bronkial
(+) aktif  Nebu ventolin
berkuran  Nadi : 90x/i (K/P)
g  HR: 24x/i  (5) inj.Ampicillin
 Demam  Suhu : 4 x 1250 mg
(-) 36,8˚C  (5) inj.
 Mual (-)  Mata : Gentamicin 2 x
 Muntah konjungtiva 62,5 mg
(-) tidak  (5) inj.
 Nafsu anemis,skle Dexametasone 3 x
makan ra tidak 4,2 mg
(+) ikterik  CTM 3 x 2 mg
 BAB dan  Thorak :  Vectrin syrup 3 x
BAK cor: irama cth 1
biasa teratur,  Paracetamol 3 x
bising(-) 250 mg
 Pulmo :  Chest therapy
vesikuler, Pasien boleh pulang
rhonki -/- , Therapy pulang :
wheezing  Cefixime 2 x 125
-/- mg
 Abdomen :  Dexametasone 3 x
supel , bu 0,25 mg
(+) normal,  CTM 3 x 2 mg
nyerin  Vectrin syrup 3 x
tekan (-), cth 1
nyeri lepas  Paracetamol 3 x
(-) 250 mg
 Extremitas :
akral
hangat,
CRT < 2”

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan
kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab
non infeksi yang perlu dipertimbangkan.
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis ada;lebih sering merupakan
infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi
bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa. (Bradley et.al., 2011)

Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah
umur 2 tahun. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001, influenza dan pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di
Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan
WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi kibat penyakit infeksi di
dunia adalah infeksi saluran napas akut bronkopneumonia (Fadhilla,2013).
Insiden penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan
yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum
berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau di dalam
rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia nasokomial/PN). (Suparman,2011).

Etiologi
Menurut Bradley et.al. (2011), penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai
adalah :

1. Faktor infeksi
a. Pada neonatus : Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV)
b. Pada bayi :
1) Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus
2) Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis
3) Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, Bordetellapertusis
c. Pada anak-anak :
1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV
2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
3) Bakteri : Pneumokokus, Mycobacterium tuberculosis
d. Pada anak besar – dewasa muda :
1) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis
2) Bakteri : Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. Tuberculosis
2. Faktor Non Infeksi
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
a. Bronkopneumonia hidrokarbon:
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambng (zat
hidrokarbon seperti prlitur, minyak tanah dan bensin)
b. Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal,
termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan
seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan
pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.
Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak
binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya
seperti susu dan minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
bronkpneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat
seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak
merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data
di negara maju :5,6

Usia Etiologi tersering Etiologi terjarang

Lahir – 20 hari Bakteri : E.colli, Bakteri : Bakteri anaerob,


Streptococcus grup B, Listeria Streptococcus grup D,
Monocytogenes Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumonia

Virus : CMV, HMV

3 minggu – 3 bulan Bakteri : Clamydia Bakteri : Bordetella pertusis,


trachomatis, Streptococcus Haemophilus influenza tipe B,
Pneumonia Moraxella catharalis,
Staphylococcus aureus
Virus : Adenovirus, Influenza,
Parainfluenza 1, 2, 3 Virus : CMV

4 bulan – 5 tahun Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus


pneumoniae, Mycoplasma influenza tipe B, Moraxella
pneumoniae, Streptococcus catharalis, Staphylococcus
Pneumonia aureus, Neisseria meningitides

Virus : Adenovirus, Rinovirus, Virus : Varicela zoster


Influenza, Parainfluenza
5 tahun - remaja Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus
pneumoniae, Mycoplasma influenza, Legionella sp.
Pneumonia

Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis
dan memberikan terapi yang lebih relevan. (Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan
Anak,2005).

1. Berdasarkan lokasi lesi di paru


a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar

umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram.

Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar

melalui pori-pori Kohn. Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah

Streptococcus pneumoniae. Jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang

terjadi pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh

adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses

keganasan. 5

b. Pneumonia interstitialis
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan

peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma.

Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial.
Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi

perselubungan yang tidak merata. 5

c. Bronkopneumonia
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus

terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-

bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya bercak-

bercak infiltrate multifocal pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri

maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan

obstruksi bronkus. 5

2. Berdasarkan asal infeksi


a. Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired pneumonia =
CAP)
pneumonia yang terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk

pneumonia yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam. 5

b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)


merupakan pneumonia yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi setelah 48 jam

berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di temukan

yaitu Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti

E.coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat

resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab HAP. 6

3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab


a. Pneumonia bakteri
Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang

sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.


b. Pneumonia virus
disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus

c. Pneumonia mikoplasma
Infeksi bakteri di saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma
Pneumoniae. Mycoplasma pneumonia kadang dianggap sebagai infeksi yang agak
ringan, namun gejalanya dapat berlangsung lama jika radang paru-paru tidak
segera diobati dengan benar dan cepat.
d. Pneumonia jamur
sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan

daya tahan lemah (immunocompromised). 5

4. Berdasarkan karakteristik penyakit


a. Pneumonia tipikal
Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang

sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

b. Pneumonia atipikal
disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
5. Berdasarkan lama penyakit
a. Pneumonia akut
b. Pneumonia persisten
Patogenesis
Dalam keadaan normal, saluran pernafasan mulai dari daerah sublaring sampai
parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mekanisme
pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan
imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat
di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobulin lain. (Bradley et.al., 2011):

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui
inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui
hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas
bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun.
Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):

a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung


pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.

b. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,
eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

c. Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
Manisfestasi klinik
Gejala dan tanda klinis pneumonia tergantung dari kuman penyebab, usia pasien,
status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis biasanya berat yaitu
sesak, sianosis, tetapi dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus.
Gejala dan tanda penumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (non
spesifik), gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi
demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami
gangguan gastrointestinal seperti muntah, kenbung, diare, atau sakit perut.3
Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah
gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping hidung, takipneu,
dyspneu, dan timbul apneu. Otot bantu napas interkostal dan abdominal mungkin
digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa
batuk.2
Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya
penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tata laksana
penumonia. Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam keadaan anak tenang dan tidur.
Tim WHO telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak
dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari normal serta adanya
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkan
sebagai penumonia (di lapangan), dan harus memerlukan perawatan dengan pemberian
antibiotik. Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai niali diagnostik karea umumnya
kelaianan patologinya menyebar, suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi
pleura.2
Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah
halus yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada
bayi dan balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara napas saling berbaur,
dan sulit diidentifikasi.2
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bekterial dengan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial
awitannya cepat, batuk prosuktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologis.2
Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.

Pemeriksaan Penunjang
a) Darah Perifer Lengkap
Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit dalam
batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis ( 15.000 – 40.000/mm3 ). Dengan prdominan PMN. Leukopenia ( <
5000/mm3 ) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang –
kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan
eksudat berkisar 300-100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf lebih rendah
daripada glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan LED yang
meningkat. Secara umum hasil peneriksaan darah perifer lengkap tidak dapat
membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti. 6

b) C- Reaktif Protein ( CRP )


CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai respon
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin,
terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat
mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak. 6

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara
faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis atau
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus atau infeksi superfisialis
daripada profunda. 6

c) Uji Serologis

Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis tidak
terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik seperti
Mycoplasma dan chlamydia tampak peningkatan anibodi IgM dan IgG. 6

d) Pemeriksaan mikrobiologis
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tenggorok,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau aspirasi paru. Diagnosis
dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.
6

Kultur darah jarang positif pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia. 6

e) Pemeriksaan rontgen Thoraks


Secara umum gambaran oto thoraks terdiri dari :

a. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler,


peribronchial cuffing dan hiperaerasi.
b. Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus ( pneumonia lobaris ), atau terlihat
sebagai lei tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, batas tidak
terlalu tegas, menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
c. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke daerah perifer paru,
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu paru
hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu penelitian, ditemukan bahwa
lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila
ditemukan di paru kiri dan terbanyak di lobus bawah, hal itu merupakan prediktor
perjalanan penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih besar.6

Diagnosis

Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau serologis


merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri penyebab tidak selalu
mudah karena memerlukan laboratorim yang memadai. Prediktor paling kuat adanya
pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut :
takipnea, batuk, nafas cuping hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta
didukung oleh gambaran radiologis.6
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas penumonia pada balita, maka
dalam upaya penanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan
tatalaksana penumonia yang sederhana.6

Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.6,8

 Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun


 Pneumonia sangat berat :
 Tidak dapat minum / makan
 Kejang
 Letargi
 Malnutrisi
 Pneumonia berat :
 Bila ada sesak nafas, ada retraksi
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Pneumonia :
 Bila tidak ada sesak nafas
 Ada nafas cepat dengan laju nafas
 > 50 x / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
 > 40 x / menit untuk usia > 1 – 5 tahun
 Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
 Bukan pneumonia
 Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
 Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatis seperti penurun panas
 Bayi berusia dibawah 2 bulan
 Pneumonia sangat berat :
 Tidak mau minum
 Kejang
 Letargis
 Demam atau hipotermi
 Bradipnea atau pernapasan ireguler
 Pneumonia harus dirawat dan diberikan antibiotik :
 Bila ada nafas cepat ( > 60 x / menit ) atau sesak nafas
 Retraksi
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Bukan pneumonia :
 Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
 Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis
Komplikasi

1. Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus, terutama pada

infeksi bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram negative sebesar 60%,

Staphylococcus aureus 50%. S. pneumoniae 40-60%, kuman anaerob 35%.

Sedangkan pada Mycoplasmapneumoniae sebesar 20%. Cairannya transudat dan

steril. Terkadang pada infeksi bakterial terjadi empiema dengan cairan eksudat.

2. Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau bakteriemia

berupa meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia, anemia pada

infeksi kronik, peningguan ureum dan enzim hati. Kadang-kadang terjadi

peninggian fostase alkali dan bilirubin akibat adanya kolestasis intrahepatik.

3. Hipoksemia akibat gangguan difusi.

4. Abses Paru terbentuk akibat eksudat di alveolus paru sehingga terjadi infeksi

oleh kuman anaerob dan bakteri gram negative.

5. Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia berlangsung lebih dari 4-6

minggu akibat kuman anaerob S. aureus, dan kuman Gram (-) seperti

Pseudomonas aeruginosa.
6. Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak-anak tetapi

dapat juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada cystic fibrosis atau

hipogamaglobulinemia, tuberkulosis, atau pneumonia nekrotikans. 3

Penatalaksanaan

Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,disters pernafasan, tidak
mau makan atau minum, atau ada penyakit dasaryang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap.6

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan


antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemeberin
cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan asa basa, elektrolit, dan gula darah.
Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A
tidak terbukti efektif.6

Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan


pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang
diduga disebabkan oleh bakteri.6

a. Pneumonia Rawat Jalan


Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25
mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB
sulfametoksazol.6

Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi
alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan
adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-
50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2
kali sehari dengan dosis 15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari
(hari pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya.6

b. Pneumonia Rawat Inap


Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta laktam,
ampisilin atau amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol. Antibiotik yang
diberikan berupa : Penisilin G intravena ( 25.000 U/kgBB setiap 4 jam ) dan
kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6 jam ), dan ceftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB
setiap 12 jam ). Keduanya diberikan selama 10 hari. 6

Pencegahan

 Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap kejadian
pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:

a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT


(Dipteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4
bulan.
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi
neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita. Di
samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu
mendapat perhatian.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan
polusi di luar ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.

 Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang
yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari
komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya
penyakit dan ternjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:

a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral


dan penambahan oksigen.
b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin, atau
amoksisilin.
c. Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi
antibiotik. Bila demam tinggi diberikan paracetamol. Bersihkan hidung pada
anak yang mengalami pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang
diolesi air garam. Jika anak mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan
dipantau selama 10 hari ke depan.
 Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak munculnya
penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita, mengurangi
kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya
untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan.
Upaya yang dilakukan dapat berupa : 9

a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik


selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak
memburuk.

b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan


terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan
kematian.

Prognosis

Dengan memberikan antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat


diturunkan sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein
dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.1
BAB IV

KESIMPULAN

1. Subjektif:
Seorang pasien anak laki-laki umur 10 tahun datang ke IGD RS BHAYANGKARA pada
tanggal 18 April 2019. Dengan keluhan utama sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit dan semakin meningkat sejak 6 jam yang lalu. Sesak dirasakan setiap batuk. Sesak tidak
dipengaruhi aktivitas. Sesak disertai suara menciut dan semakin meningkat di udara dingin.
Batuk sejak 1 minggu yang lalu. Batuk berdahak, berwarna hijau. Demam sejak 2 hari yang lalu.
Demam tinggi, tidak menggigil dan tidak berkeringat.

2. Objektif
Pada pemeriksaan fisik yang presentan lakukan didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran kurang aktif, nadi 120x/menit, nafas 36x/menit, suhu 39,2˚C, BB 25 Kg. Kulit
teraba hangat, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-. Pada pemeriksaan paru, gerakan dada
simetris kanan dan kiri, fremitus dada kanan dan kiri normal. perkusi sonor pada kedua lapang
paru. Auskultasi vesikuler , rhonki +/+, wheezing +/+. Sedangkan dari pemeriksaan labor
didapatkan Hb 14,0 g/dl, Leukosit 11.600 mm, Trombosit 404.000 m Ht 41% dan dari
pemeriksaan foto rontgen thorak didapatkan kesan bronkopneumonia.

3. Assesment (penalaran klinis):


Pada pasien anak laki - laki ini data-data yang mendukung diagnosis bronkopneumonia
adalah adanya keluhan sesak nafas yang semakin meningkat dan riwayat batuk sejak 1 minggu
yang lalu, juga didapatkannya keluhan berupa demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, kesadaran kurang aktif, nadi
120x/menit, nafas 36x/menit, suhu 39,2˚C, BB 25 Kg. Kulit teraba hangat, konjungtiva anemis
-/-, sklera ikterik -/-. Pada pemeriksaan paru, gerakan dada simetris kanan dan kiri, fremitus dada
kanan dan kiri normal. perkusi sonor pada kedua lapang paru. Auskultasi vesikuler , rhonki +/+,
wheezing +/+.

4. Plan :
Diagnosis klinis :
Dyspnea et causa bronkopneumonia dd/ suspect asma bronkial
Tatalaksana :
- IVFD KAEN 1B 22 tetes/menit (makro)
- O2 2L/i bila sesak
- Nebu Ventolin 4 x 1
- Injeksi Ampicillin 4 x 1250 mg
- Injeksi Gentamicin 2 x 62,5 mg
- Injeksi dexamethasone 3 x 4,2 mg
- CTM 3 x 2 mg
- Vectrin Syrup 3 x 1 cth
- Paracetamol 3 x 250 mg
- Chest Therapy
Pendidikan :
Peranan edukasi sangat penting dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit yang diderita pasien. Selain itu juga penting dalam usaha mencapai fungsi
optimal pasien di masa mendatang. Edukasi yang diberikan meliputi :
 Penjelasan kepada pasien mengenai keadaan yang dialami dan tatalaksana yang
akan diberikan
 Pentingnya akan kepatuhan meminum obat secara teratur
 Penjelasan kepada pasien mengenai komplikasi
Konsultasi :
Perlu dilakukan konsultasi kepada dokter spesialis Anak untuk penatalaksanaan sekanjutnya
pada kasus bronkopneumonia untuk penatalaksanaan yang bersifat kuratif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison c., Kaplan S.L.,
Mace S.E., McCracken Jr G.H. Moore M.R., St. Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson
J.T. 2011. The Management of Community – Acquired Pneumonia in Infants and Children
Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious
Disease Society and the Infectious Disease Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7) : 617
– 630
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Penerbit IDAI
3. Mandell LA, IDSA/ATS consensus guidelines on the management of community-acquired
pneumonia in adults, CID 2007;44:S27
4. Nelson, 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Volume 2. Jakarta : EGC
5. Niederman MS, Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient, Chest 2007;131;1205
6. Pedoman Diganosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005
7. Pedoman Pelayan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010.
8. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6,
Penerbit EGC, Jakarta, hal :804
9. Rahajoe, Nastini N. 2008. Buku Ajar Respirologi, Edisi I. Jakarta IDAI.
10. Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: 2008.h.350-64.
11. Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006. Diunduh dari : Sari
Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6

Anda mungkin juga menyukai