Anda di halaman 1dari 30

Portofolio Kasus Medis

BRONKOPNEUMONIA

Oleh :
Helni Syahriani Hasibuan

Pembimbing :
dr. Renata Sari Binahar, M.Kes

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA (PIDI) RSUD RASIDIN


PADANG
2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan

Kasus ini dengan judul “Bronkopneumonia”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas
Intersnship di RSUD dr. Rasidin Kota Padang.

Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai
pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Hj. Renata Sari
B, M.Kes , selaku pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga Laporan Kasus ini
dapat terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian Laporan Kasus ini.

Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup semoga kiranya
Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada
umumnya.

Padang, 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan................................................................................................i

Kata Pengantar.........................................................................................................ii

Daftar Isi.................................................................................................................iii

BAB I Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio.................................................1

BAB II Tinjauan Pustaka.......................................................................................14

BAB III Diskusi....................................................................................................28

BAB IV Kesimpulan..............................................................................................29

Daftar Pustaka........................................................................................................30

4
BAB I

Rangkuman Hasil PembelajaranPortofolio

1.1 Identitas Pasien


Nama : An. K H
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 3 tahun
Suku bangsa : Minangkabau
Alamat : Air pacah, Koto tangah

Orang Tua
Nama Ayah : Tn.M (29 tahun)
Pekerjaan Ayah : karyawan swasta
Nama Ibu : Ny.K (28 tahun)
Pekerjaan Ibu : karyawan swasta

2.1 Subjektif
Anamnesis :
Seorang pasien perempuan, usia 3 tahun datang dibawa orangtua ke IGD RSUD
Rasidin Padang pada tanggal 8 Desember 2023 dengan:
- Keluhan Utama: Sesak napas
Riwayat PenyakitSekarang :
- Sesak napas memberat sejak 1 jam smrs. Sesak terus menerus mengganggu aktivitas,
sesak memberat terutama saat batuk. Keluhan lain demam sejak 1 hari smrs, demam
terus menerus, batuk berdahak sudah 1 minggu, pilek sudah 1 minggu. Mual -,
muntah -, kejang -, bab cair -, bak tidak ada keluhan. Orangtua pasien mengatakan
sudah berobat ke klinik namun keluhan belum membaik.
Riwayat PenyakitDahulu
- Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada
- Riwayat kejang disangkal
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat batuk lama disangkal
- Riwayat alergi obat/makanan disangkal
5
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan sama, batuk lama, asma, alergi di keluarga tidak ada
Riwayat Persalinan
BBL : 3100 gr
PB : 57 cm
Lahir spontan di Rumah sakit mutiara
Usia kehamilan : Cukup bulan (39 minggu)
Bayi tunggal, presentasi kepala
Tidak ada kelainan
Lahir tanpa bantuan alat
Riwayat Pasca Lahir
Langsung menangis
Ibu tidak ada pendarahan
Anak tidak pernah sakit setelah lahir seperti asfiksia, infeksi intra partum, trauma lahir
dan lain-lain.
Riwayat Makanan (mulai lahir sampai sekarang, kualitas dan kuantitas )
Neonatus : ASI sampai dengan 6 bulan
6 bulan : 75-80 % ASI, sisa MPASI
12 Bulan : 65-80 % MPASI, sisa ASI (bisa makan lauk)
Riwayat Imunisasi (imunisasi lengkap)
Ibu : TT (+)
Anak : DTP (+) jumlah: 4 kali usia: 2, 4, 6 bulan
BCG (+) jumlah: 1 kali usia: 2 bulan
Campak (+) jumlah: 1 kali usia: 9 bulan
Hepatitis B (+) jumlah: 3 kali usia: 0, 1, 6 bulan
Polio (+) jumlah: 5 kali usia: 0, 2, 4, 6 bulan
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan :
Pertumbuhan:
Usia BB
Normal
1 bln 4 kg
Tumbuh gigi mulai usia 6 bulan 3 bln 5 kg
Pertumbuhan BB 4 bln 6,3 kg
12 bln 9 kg

6
Perkembangan:
Mulai bicara usia 8 bulan (1 kata) kemampuan bahasa
Mulai berjalan usia 1 tahun kemampuan motorik kasar
Perkembangan kesan normal
Riwayat Kebiasaan Pasien dan Keluarga:
 Riwayat kontak dengan penderita yang batuk lama (-)
 Riwayat adanya orang yang sering merokok di rumah (-)

3.1 Objektif
Vital Sign
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : GCS :15
Nadi : 151x/menit kuat angkat
Pernafasan : 42 x/menit
Suhu : 37,7oC
SaO2 : 97% free air
Pemeriksaan Fisik
Kepala : bentuk normocepal
Rambut : distribusi pertumbuhan rambut rata dan lebat, warna rambut hitam
Mata : conjungtiva anemis (-/-), radang (-/-), mata cowong (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (+/+), rhinorrhea (+/+), epistaksis (-/-), deformitas
hidung (-/-)
Mulut : faring hiperemis +, mukosa bibir basah +
Leher : Tidak pembesaran KGB, peningkatan JVP (-)
Toraks:
Paru
- Inspeksi : Normochest, retraksi dinding dada + intercostae , tumor -, luka -
- Palpasi : Vocal fremitus sama
- Perkusi : Sonor semua lapang paru
- Auskultasi : SN Bronkovesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-, ekspirasi memanjang
-
Jantung
7
- Inspeksi : Ictus cordis tak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : S1S2 normal, irama reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Perut datar, tumor -, luka -
- Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan -
- Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
- Akral hangat +/+
- Crt < 2dtk
- Edema -/-

Status neurologikus
Tanda rangsangan selaput otak
• Kaku kuduk : (-)
• Brudzinsky I : (-)
• Brudzinsky II : (-)
• Tanda Kernig : (-)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Darah Rutin (08/12/2023):
Pemeriksaa Hasil Satuan
n
Hemoglobin 10 g/dl
Leukosit 21.800 /mm3
Hematokrit 27 %
Trombosit 377.000 /mm3
Kesan: Leukositosis

8
Rontgen thoraks :

Jantung : bentuk dan ukuran normal.


Paru-paru : bronchovascular pattern meningkat dengan hilus paru tampak kasar,
tampak perselubungan tidak homongen di perihilar dan paracardial kedua paru, tidak ada
pembesaran kelenjar hilus paru. Sinus costophrenicus tajam, tulang-tulang baik.
Kesimpulan : Pneumonitis di perihilar kedua paru dan paracardial
Radiologis tak jelas tanda-tanda proses spesifik.
4.1 Diagnosis banding
Bronkiolitis
Bronkitis
4.2 Diagnosis Klinis
Bronkopneumonia
5.1 Plan
- Pemberian oksigen nasal kanul 2-4 lpm jika sesak
- IVFD Kaen 1 b 800 cc/hari 11 tpm
- Injeksi Ampicilin sulbactam 4x200 mg
- Injeksi Gentamisin 2x30 mg
- Paracetamo 4x125 mg
- Ambroxol 3x7.5 mg
- Rhinoped 1/5 tab
6.1 Prognosis
Quo ad vitam :dubia ad bonam
Quo ad functionam :dubia ad bonam
Quo ad sanationam :dubia ad bonam
9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pneumonia yang merupakan infeksi akut pada parenkim paru, meliputi alveolus dan jaringan
interstisial, ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronkhi basah, dan gambaran infiltrat
pada rontgen toraks. Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab
non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat.
Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini
menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula
melibatkan bronkiolus terminal.

2.2 Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun.
Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia.  Pneumokokus dengan serotipe 1
sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80 % sedangkan pada
anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9. 6, 9
Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan mengurang
dengan meningkatnya umur.  Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh
pneumococcus, ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan
Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi. 6
Pneumonia pada anak masih menjadi penyebab utama terjadinya kematian di dunia, terutama
pada anak dibawah usia 5 tahun. Persentase kasus tersebut di negara berkembang mencapai
angka 18%.1 Pneumonia di Indonesia menjadi penyebab 15% kematian pada balita. Pada tahun
2015, diperkirakan 922 ribu balita meninggal akibat pneumonia. Tahun 2017, kematian balita
akibat pneumonia meningkat menjadi 0,34% dari 0.22% dari tahun sebelumnya.2 Penyakit

10
pneumonia di provinsi Aceh masih menjadi urutan ke 8 dari 25 penyakit terbesar yang ditemukan
di Puskesmas dengan jumlah 1.112 kasus.3

2.3 Etiologi
Faktor Infeksi
- Bakteri
a. Pneumococcus, penyebab utama penumonia.  Pada orang dewasa disebabkan oleh
penumokokus 1 – 8, pada anak – anak tipe 14, 1, 6, 9.  Insiden meningkat pada usia
lebih kecil dari 14 tahun dan menurun dengan meningkatnya umur.
b. Streptokokus, sering merupakan komplikasi dari penyakit virus lain seperti morbili,
influenza, cacar air atau komplikasi dari bakteri lain seperti pertusis, pneumonia oleh
pneumokokus.
- Virus
Virus respiratori sinsial, virus influenza, virus adeno, virus situmegalik.
- Pneumonia Hipostatik
Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya pada anak yang sakit dengan
kesadaran menurun, penyakit lain yang harus istirahat di tempat tidur yang lama
sehingga terjadi kongesti pada paru belakang bawah.  Kuman yang tadinya komensal
berkembang biak menjadi patogen dan menimbulkan radang.  Oleh karena itu pada
anak yang menderita penyakit dan memerlukan istirahat panjang seperti tifoid harus
diubah – ubah posisi tidurnya.
- Jamur : Candida albikans, Blastomycetes dermatitis, Koksidiomikosis, Aspergilosis
dan Aktinimikosis.
- Sindrom Loeffler
Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes
Secara klinis biasa, berbagai etiologi ini sukar dibedakan.  Untuk pengobatan tepat,
pengetahuan tentang penyebab pneumonia perlu sekali, sehingga pembagian etiologis
lebih rasional daripada pembagian anatomis.
o Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).

11
o Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,
Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.
o Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
o Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
1. Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat
hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
2. Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk
jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti
palatoskizis,pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian
makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit
tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang
mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan
minyak ikan . Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk
terjadinya Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit
yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan
anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

12
2.4 Patogenesis
Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara percikan (droplet).
Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau saliva. Lobus bagian
bawah paru paling sering terkena efek gravitasi. Agen-agen mikroba yang menyebabkan
Pneumonia memiliki 3 bentuk transisi primer :
1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada
orofaring
2. Inhalasi aerosol yang infeksius
3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal
Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan
pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang terjadi. Akibatnya, faktor-
faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi mekanisme pertahanan sistem
pernafasan. Kolonisasi basilus gram negatif telah menjadi subjek penelitian akhir-akhir
ini. Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk
mencegah infeksi yang terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A
8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai
anti mikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli mementuk suatu proses peradangan yang
meliputi empat stadium, yaitu:
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
13
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium
ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak.
Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
1.1.1 Manifestasi Klinis 3,4,10
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39–40°C dan mungkin disertai
kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan
dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk
biasanya tidak dijumpai di awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa
hari, dimana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
14
Pada  bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang
terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi
mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Bila sarang
bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang
meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi
ronki dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi
antara 2-3 minggu.
1.1.2 Pemeriksaan Fisik 4, 13
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding
dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan
pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif
selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian
yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan
fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting
dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah
terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah
dibandingkan anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae
supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan
adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”,
yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal
lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada
“head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress
pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya
pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan
menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga
menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.
b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

15
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus
selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps
paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah
(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung
dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus
atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembung-
gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa
demam yang tidak khas. Pada umumnya pasien mengalami demam dengan suhu tubuh 39-
40oC, bersifat bifasik (menyerupai Pelana kuda), fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti
oleh fase kritis pada hari ke-3 selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak
demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan
tidak adekuat.1,3
Fase Febris: - Demam mendadak tinggi 2-7 hari
- Muka kemerahan, eritema kulit
- Sakit kepala
- Beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorokan,injeksi faring dan konjungtiva,
anoreksia, mual dan muntah.
- Dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti petekie, perdarahan mukosa,
walau jarang terjadi dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan
gastrointestinal.
Fase Kritis: - Terjadi pada hari 3-7 sakit.
- Ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kepiler
dan timbul kebocoran plasma yang biasanya berlangsun 24-48 jam.
- Kebocoran plasma sering didahului leukopeni progresif disertai penurunan
hitung trombosit.
- Dapat terjadi syok.
16
Fase Pemulihan: - Terjadi setelah fase kritis.
- Terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara
perlahan pada 48-72 jam setelahnya.
- KU membaik, nafsu makan pulih, hemodinamik stabil, diuresis membaik.
Menurut manifestasi kliniknya DHF sangat bervariasi, WHO (1997) membagi menjadi 4
derajat : 7,8,9
Derajat I : Demam disertai uji tourniquet positif.
Derajat II : Demam + uji tourniquet positif disertai manifestasi perdarahan
(seperti : Epistaksis, perdarahan gusi )
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menyempit (<20 mmhg), hipotensi, sianosis,
disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound syok), nadi tidak teraba, dan tekanan
darah tidak terukur.

2.6 Diagnosis
Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan Kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. 7
Kriteria klinis :
 Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, atau riwayat demam akut, berlangsung
terus-menerus selama 2-7 hari, biasanya bifasik (plana kuda).
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji torniquet positif.
- Petekie, ekimosis, purpura.
- Perdarahan mukosa ( epitaksis atatu perdarahan gusi )
- Hematemesis atau melena.
 Pembesaran hati
 Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,kaki dan
tangan dingin,kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris :
 Trombositopenia ( jumlah trombosit <100.000/ul ).
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut :

17
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Gambar 2. Spektrum DHF

Pemeriksaan Penunjang berupa Laboratorium dan pemeriksaan Radiologis.


Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah
melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi
untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.5
Ada 4 jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu :
 Uji serologi: deteksi antibodi IgG dan IgM, uji HI
 Isolasi virus
 Deteksi RNA/DNA dengan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR).
 Deteksi antigen (pemeriksaan NS-I) Lebih Spesifisitas 100% dan sensitivitas 92.3%

18
Pemeriksaan Dengue NSl Antigen adalah pemeriksaan baru terhadap antigen non
struktural-I dengue (NSl) yang dapat mendeteksi infeksi virus dengue dengan lebih awal
bahkan pada hari pertama onset demam. 5
 Pemeriksaan NS-I perlu dilakukan pada pasien yang megalami gejala Demam/klinis
lain < 3 hari, dikarenakan Early detection sangatlah penting untuk menentukan
pengobatan (terapisupportif) yang tepat (cegah Resistensi antibiotik), serta
pemantauanpasien dengan segera.
 Tanpa meninggalkan pemeriksaan Dengue serologi karena pemeriksaaan NS1 bersifat
komplementer (saling menunjang), terkhusus apabila didapatkan hasil Ns1 (-) dan
gejala infeksi tetap muncul.
 Penggunaan Dengue IgG / IgM juga diperlukan bagi dokter penganut paham "infeksi
sekunder dapat menyebabkan infeksi yang lebih berat dan memerlukan penanganan
yang berbeda dengan infeksi primer"
 Dengan adanya Spesifisitas 100% dan sensitivitas 92.3%. Dengan demikian
pomakaian pemeriksaan ini akan dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
untuk diagnosis infeksi dengue.(5)

Pada foto thorak didapati efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi
lateral dekubitus kanan ( pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan ).(1)

2.7 Diagnosa Banding


Perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam tipoid,
influenza, idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), chikungunya dan leptospirosis. 1
1. Belum / tanpa renjatan :
a. Campak
b. Infeksi bakteri / virus lain (tonsilo faringitis, demam dari kelompok pnyakit
exanthem, hepatitis, chikungunya)
2. Dengan renjatan
a. Demam tipoid
b. Renjatan septik oleh kuman gram negatif lain
3. Dengan perdarahan

19
a. Leukemia
b. ITP
c. Anemia Aplastik
4. Dengan kejang
a. Ensefalitis
b. Meningitis

2.8 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari
ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.3
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DHF dewasa
mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori,
sebagai berikut: 3,8,11
1) Penanganan tersangka DHF tanpa syok
2) Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat
3) Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%
4) Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dewasa
5) Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka DHF tanpa syok.


Seorang yang tersangka menderita DHF dilakukan pemeriksaan haemoglobin,
hematokrit, dan trombosit, bila :
 Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, lekosit dan trombosit tiap 24 jam )
atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke instalansi gawat darurat.

20
 Hb, Ht normal dengan trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan dirawat.

Gambar 3. Penanganan tersangka DHF tanpa syok

Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DHF di ruang rawat.


Pasien yang tersangka DHF tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka
diruang rawat diberikan cairan infus kristaloid. Volume cairan kristaloid per hari yang
diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + (20 x( BB-20) ml
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, HT tiap 24 jam :
 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan
tetap, tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam.
 Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000, maka Pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht>20%.

21
Gambar 4. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat
Protokol 3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht>20%.

22
Gambar 5. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DHF.
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DHF dewasa adalah : perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali, perdarahan saluran cerna (henatemesis dan melena
atau hematokesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan
tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.1,3

Perdarahan
Spontan dan
Masif : -
TRAN
Epistaksis tidak
terkendali
SFUSI
Hb < 10 gr
- Hematemesis
melena
%
- Perdarahan
TROM otak
- Hematuria
TRANSFU
BOSIT
SI PRC

Protokol 5. Tatalaksana sindrom syok dengue.


Bila kita berhadapan dengan sindroma syok dengue pada dewasa (SSD) maka hal
pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu
penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian pada
sindrom syok dengue sepilih kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan,
dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DHF mendapatkan
pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan
terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. 1,3

23
Gambar 6. Tatalaksana sindroma syok dengue

24
Kriteria memulangkan pasien, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini : 1
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distress pernafasan (efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cendrung naik > 50.000/nl
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik

2.9 Komplikasi
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DHF dengan maupun tanpa syok
2. Kelainan ginjal berupa gagal ginjal akut akibat syok berkepanjangan
3. Edema paru, akibat over loading cairan 3

2.10 Prognosis

Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DHF/DSS
mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dari pada
anak-anak.2

25
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien masuk dengan keluhan utama demam yang dialami ± 5 hari sebelum masuk
rumah sakit, demam terus menerus , mimisan (+). Nyeri kepala +,Nyeri ulu hati (+), mual (+),
muntah (-), nafsu makan berkurang, lemas (+), tampak bintik-bintik kemerahan pada lengan,
BAK dan BAB dalam batas normal.
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien mengalami demam ± 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Hal ini sesuai dengan teori pada demam berdarah dengue (DHF) dimana pada
fase febris terjadi demam mendadak selama 2-7 hari, sakit kepala, serta ditemukan petekie
sebagai tanda adanya perdarahan.
Kurva demam pada demam berdarah dengue berhubungan dengan saat pelepasan
sitokin karena reaksi imun terhadap serangan virus dengue. Sitokin yang menyebabkan
demam seperti IL-1 dan IL-6, TNF-α, IFN-γ. Virus dengue merupakan pirogen eksogen. Pada
saat virus sudah menginfeksi dan berada di dalam darah, ada 2 respon imun yang bekerja.
Yaitu respon imun nonspesifik yang bekerja di awal dan cepat serta respon imun spesifik
yang bekerja lebih lambat. Makrofag akan segera bereaksi dengan memfagositosis virus dan
memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (antigen presenting cell). Makrofag juga
akan mensekresi sitokin yang merangsang inflamasi, sitokin utama yang disekresi oleh
makrofag adalah IL-1 yang merupakan pirogen endogen. Pirogen adalah bahan yang
menginduksi demam yang dipicu baik faktor eksogen atau endogen seperti IL-1. Selain itu
ada juga proses respon imun nonspesifik yang diperankan oleh sel NK. Sel NK membunuh
sel yang terinfeksi, sebelum respon imun spesifik bekerja. Antigen yang menempel di
makrofag ini akan mengaktivasi sel T-helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit
lebih banyak virus. Dimulailah mekanisme respon imun spesifik. Sel T yang diaktivasi adalah
CD4+. CD4+ ini akan mengaktivasi Th-2 untuk membentuk antibody lagi sehingga
meningkatkan opsonisasi dan aktivasi komplemen. CD4+ juga mengaktivasi Th-1 yang akan
mengaktivasi CD8+ melalui presentasi oleh molekul MHC-1. CD8+ ini bersifat sitotoksik
dan menghancurkan peptida virus. Th-1 akan melepaskan IFN-γ, IL-2, dan limfokin.
Sedangkan Th-2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Selanjutnya IFN-γ akan merangsat
monosit melepaskan TNF-α, IL-1, PAF, IL-6, dan histamin. Limfokin juga merangsang
26
makrofag melepas IL-1, IL-2 juga merupakan stimulan pelepasan IL-1, TNF-α, dan IFN-γ.
Pada Jalur komplemen, kompleks imun akan menyebabkan aktivasi jalur komplemen
sehingga dilepaskan C3a dan C5a (anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah histamin. Hasil
akhir respon imun tersebut adalah peningkatan IL-1,TNF-α, IFN-γ, IL-2, dan histamin.
IL-1,TNF-α, IFN-γ dikenal sebagai pirogen endogen sehingga timbul demam. IL-1
bekerja pada termoregulator sedangkan TNF-α dan IFN-γ bekerja tidak secara langsung
karena merekalah yang merangsang pelepasan IL-1. Daerah spesifik IL-1 adalah pre-optik
dan hipotalamus anterior dimana terdapat corpus callosum lamina terminalis. Corpus
callosum lamina terminalis terletak di dinding rostral ventriculus III dan merupakan
sekelompok saraf termosensitif (cold and hot sensitive neurons). IL-1 masuk ke dalam corpus
callosum lamina terminalis melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi serta
melepaskan PGE2, selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat
menjadi PGE2. Selanjutnya PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam hipotalamus atau
bereaksi dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir mekanisme tersebut adalah peningkatan
thermostatic set point yang menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk menahan panas
(vasokonstriksi) dan memproduksi panas dengan menggigil.
Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap gejala lain seperti
timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan sintesis albumin serta
transferin. Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari kerjasama IL-1 danTNF-α.
Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa. Peningkatan leptin dalam
sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipotalamus ventromedial yang berakibat pada
penurunan intake makanan.
IFN-γ sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang poten, menghambat
replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibody. Namun, bila jumlahnya
terlalu banyak akan menimbulkan efek toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri
otot, nyeri kepala, muntah, dan somnolan.
Dalam keadaan normal, manusia mensekresi mukus di dalam saluran pernafasan yang
berfungsi sebagai pembersih berbagai macam kotoran seperti debu yang tidak tersaring
melalui silia hidung. Apabila terdapat debu yang berlebihan, maka mukus yang disekeresikan
akan semakin bertambah. Infeksi atau iritasi pada saluran nafas juga menyebabkan
hipersekresi mukus pada saluran napas, kemudian, apabila terjadi hipersekresi mukus, terjadi
hipertrofi kelenjar submukosa pada trakea dan bronkus dan akhirnya mukus tertimbun di
dalam saluran napas. Ditandai juga dengan peningkatan sekresi sel goblet disaluran napas
27
kecil, bronkus dan bronkiolus. Kondisi ini kemudian merangsang membran mukosa untuk
selanjutnya mengaktifkan rangsang batuk dengan tujuan untuk mengeluarkan benda asing
yang telah mengiritasi saluran napas.
Dari pemeriksaan darah rutin yang dilakukan didapatkan penurunan kadar trombosit
(trombositopenia), yaitu 33.000. Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui
mekanisme: 1) supresi sumsum tulang, 2) destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler
dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoesis termasuk megakariopoesis. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukan kenaikan, hal ini menunjukan terjadinya stimulasi
trombopoesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue,
konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi perifer. Gangguan fungsi
trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-
tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Supadmi W, Izzah Q N, Suwantika A A, et al. Cost of Illness Study of Patients with


Dengue Hemorrhagic Fever at One of the Private Hospitals in Yogyakarta. 2019
Des;11(4 ):S587–S593.
2. Soedarto. 2010. Virologi Klinik Membahas Penyakit-Penyakit Virus Termasuk AIDS,
Flu Burung, Flu Babai,dan Sars. Jakarta: Sagung Seto.
3. Lardo S, Soesatyo M, Juffrie, Umniyah S,. The Autoimmune Mechanism in Dengue
Hemorrhagic Fever. Indones J Intern Med. 2018 Jan;50(1) : 50-79
4. Dandeniya C, Gawarammana I, Weerakoon G. Coronary Artery Spasms Mimicking
Acute ST-Elevation Myocardial Infarction in Dengue Haemorrhagic Fever. Cese
report in Infection Disease. 2020 Feb;2020: 6310569
5. Azeredo E, Monteiro R, Pinto L. Thrombocytopenia in Dengue: Interrelationship
between Virus and the Imbalance between Coagulation and Fibrinolysis and
Inflammatory Mediators. Mediator of Inflamation. 2015;2015 : 313842
6. Hidayah N, Iskandar, Abidin Z. Prevention of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
Associated with the Aedes aegypti Larvae Presence based on the Type of Water
Source. The Journal of Tropical Life Science. 2017;7(2):155-120
7. Wiyono. Penyakit tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga
8. Almeida R, Paim B, Oliveira S, et al. Dengue Hemorrhagic Fever: A State-of-the-Art
Review Focused in Pulmonary Involvement. Nature Public Health Emergency.
2017;195(4) : 389 - 395
9. Opasawatchai A, Amornsupawai P, Tiravejchakul N, et al. Neutrophil Activation and
Early Features of NET Formation Are Associated With Dengue Virus Infection in
Human. 2019 Jan;9 : 3007
10. Kularatnam G, Jasinje E, Gunasena S. Evaluation of biochemical and haematological
changes in dengue fever and dengue hemorrhagic fever in Sri Lankan children: a
prospective follow up study. BMC Pediatric. 2019;19 : 18
11. Agustin I., Bangkele E., Salman M., Munir A. Karakteristik Pasien Demam Berdarah
Dengue (DBD) pada Ruang Inap Anak di RSUD Undata Palu tahun 2017. Medika
Tadulako. 2018;5(3) : 49-50
29
12. Cucuaningsih. Diagnosis Klinis Dini Penyakit Dengue Pada Pasien Dewasa.
Medicius. 2015 Feb;4(8) : 268-273
13. Astika N., Utama I. Manifestasi Perdarahan pada Pasien Demam Berdarah Dengue
yang Dirawat di Ruang Rawat Inap Anak RSUP Sanglah Denpasar. E-Jurnal Medika.
2017 Des;6(3) : 140-143
14. Nelwan E. Early Detection of Plasma Leakage in Dengue Hemorrhagic Fever.
Indones J Intern Med. 2018;50(3) : 184-184
15. Almeida R, Paim B, Oliveira S, et al. Dengue Hemorrhagic Fever: A State-of-the-Art
Review Focused in Pulmonary Involvement. Nature Public Health Emergency.
2017;195(4) : 389 : 395
16. Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Kelima.
Jakarta: Internal Publishing.
17. Chaloemwong J, Tantiworawit A, Rattanathamethe T, et al. Useful clinical features
and hematological parameters for the diagnosis of dengue infection in patients with
acute febrile illness: a retrospective study. BMC Hematology. 2018;18:20
18. Hasan S., Jamdar S., Alalowi M., et al. Dengue virus: A global human threat: Review
of literature. J Int Soc Community Dent. 2016 Jan-Feb; 6(1): 1–6.
19. Rather L., Parray H., Lone L., et al. Prevention and Control Strategies to Counter
Dengue Virus Infection. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology. 2017;7 :
336

30

Anda mungkin juga menyukai