BRONKOPNEUMONIA
Oleh :
Helni Syahriani Hasibuan
Pembimbing :
dr. Renata Sari Binahar, M.Kes
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan
Kasus ini dengan judul “Bronkopneumonia”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas
Intersnship di RSUD dr. Rasidin Kota Padang.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai
pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Hj. Renata Sari
B, M.Kes , selaku pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga Laporan Kasus ini
dapat terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian Laporan Kasus ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup semoga kiranya
Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada
umumnya.
Padang, 2023
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB IV Kesimpulan..............................................................................................29
Daftar Pustaka........................................................................................................30
4
BAB I
Orang Tua
Nama Ayah : Tn.M (29 tahun)
Pekerjaan Ayah : karyawan swasta
Nama Ibu : Ny.K (28 tahun)
Pekerjaan Ibu : karyawan swasta
2.1 Subjektif
Anamnesis :
Seorang pasien perempuan, usia 3 tahun datang dibawa orangtua ke IGD RSUD
Rasidin Padang pada tanggal 8 Desember 2023 dengan:
- Keluhan Utama: Sesak napas
Riwayat PenyakitSekarang :
- Sesak napas memberat sejak 1 jam smrs. Sesak terus menerus mengganggu aktivitas,
sesak memberat terutama saat batuk. Keluhan lain demam sejak 1 hari smrs, demam
terus menerus, batuk berdahak sudah 1 minggu, pilek sudah 1 minggu. Mual -,
muntah -, kejang -, bab cair -, bak tidak ada keluhan. Orangtua pasien mengatakan
sudah berobat ke klinik namun keluhan belum membaik.
Riwayat PenyakitDahulu
- Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada
- Riwayat kejang disangkal
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat batuk lama disangkal
- Riwayat alergi obat/makanan disangkal
5
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan sama, batuk lama, asma, alergi di keluarga tidak ada
Riwayat Persalinan
BBL : 3100 gr
PB : 57 cm
Lahir spontan di Rumah sakit mutiara
Usia kehamilan : Cukup bulan (39 minggu)
Bayi tunggal, presentasi kepala
Tidak ada kelainan
Lahir tanpa bantuan alat
Riwayat Pasca Lahir
Langsung menangis
Ibu tidak ada pendarahan
Anak tidak pernah sakit setelah lahir seperti asfiksia, infeksi intra partum, trauma lahir
dan lain-lain.
Riwayat Makanan (mulai lahir sampai sekarang, kualitas dan kuantitas )
Neonatus : ASI sampai dengan 6 bulan
6 bulan : 75-80 % ASI, sisa MPASI
12 Bulan : 65-80 % MPASI, sisa ASI (bisa makan lauk)
Riwayat Imunisasi (imunisasi lengkap)
Ibu : TT (+)
Anak : DTP (+) jumlah: 4 kali usia: 2, 4, 6 bulan
BCG (+) jumlah: 1 kali usia: 2 bulan
Campak (+) jumlah: 1 kali usia: 9 bulan
Hepatitis B (+) jumlah: 3 kali usia: 0, 1, 6 bulan
Polio (+) jumlah: 5 kali usia: 0, 2, 4, 6 bulan
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan :
Pertumbuhan:
Usia BB
Normal
1 bln 4 kg
Tumbuh gigi mulai usia 6 bulan 3 bln 5 kg
Pertumbuhan BB 4 bln 6,3 kg
12 bln 9 kg
6
Perkembangan:
Mulai bicara usia 8 bulan (1 kata) kemampuan bahasa
Mulai berjalan usia 1 tahun kemampuan motorik kasar
Perkembangan kesan normal
Riwayat Kebiasaan Pasien dan Keluarga:
Riwayat kontak dengan penderita yang batuk lama (-)
Riwayat adanya orang yang sering merokok di rumah (-)
3.1 Objektif
Vital Sign
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : GCS :15
Nadi : 151x/menit kuat angkat
Pernafasan : 42 x/menit
Suhu : 37,7oC
SaO2 : 97% free air
Pemeriksaan Fisik
Kepala : bentuk normocepal
Rambut : distribusi pertumbuhan rambut rata dan lebat, warna rambut hitam
Mata : conjungtiva anemis (-/-), radang (-/-), mata cowong (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (+/+), rhinorrhea (+/+), epistaksis (-/-), deformitas
hidung (-/-)
Mulut : faring hiperemis +, mukosa bibir basah +
Leher : Tidak pembesaran KGB, peningkatan JVP (-)
Toraks:
Paru
- Inspeksi : Normochest, retraksi dinding dada + intercostae , tumor -, luka -
- Palpasi : Vocal fremitus sama
- Perkusi : Sonor semua lapang paru
- Auskultasi : SN Bronkovesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-, ekspirasi memanjang
-
Jantung
7
- Inspeksi : Ictus cordis tak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : S1S2 normal, irama reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Perut datar, tumor -, luka -
- Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan -
- Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
- Akral hangat +/+
- Crt < 2dtk
- Edema -/-
Status neurologikus
Tanda rangsangan selaput otak
• Kaku kuduk : (-)
• Brudzinsky I : (-)
• Brudzinsky II : (-)
• Tanda Kernig : (-)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Darah Rutin (08/12/2023):
Pemeriksaa Hasil Satuan
n
Hemoglobin 10 g/dl
Leukosit 21.800 /mm3
Hematokrit 27 %
Trombosit 377.000 /mm3
Kesan: Leukositosis
8
Rontgen thoraks :
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pneumonia yang merupakan infeksi akut pada parenkim paru, meliputi alveolus dan jaringan
interstisial, ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronkhi basah, dan gambaran infiltrat
pada rontgen toraks. Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab
non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat.
Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini
menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula
melibatkan bronkiolus terminal.
2.2 Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun.
Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumokokus dengan serotipe 1
sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80 % sedangkan pada
anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9. 6, 9
Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan mengurang
dengan meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh
pneumococcus, ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan
Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi. 6
Pneumonia pada anak masih menjadi penyebab utama terjadinya kematian di dunia, terutama
pada anak dibawah usia 5 tahun. Persentase kasus tersebut di negara berkembang mencapai
angka 18%.1 Pneumonia di Indonesia menjadi penyebab 15% kematian pada balita. Pada tahun
2015, diperkirakan 922 ribu balita meninggal akibat pneumonia. Tahun 2017, kematian balita
akibat pneumonia meningkat menjadi 0,34% dari 0.22% dari tahun sebelumnya.2 Penyakit
10
pneumonia di provinsi Aceh masih menjadi urutan ke 8 dari 25 penyakit terbesar yang ditemukan
di Puskesmas dengan jumlah 1.112 kasus.3
2.3 Etiologi
Faktor Infeksi
- Bakteri
a. Pneumococcus, penyebab utama penumonia. Pada orang dewasa disebabkan oleh
penumokokus 1 – 8, pada anak – anak tipe 14, 1, 6, 9. Insiden meningkat pada usia
lebih kecil dari 14 tahun dan menurun dengan meningkatnya umur.
b. Streptokokus, sering merupakan komplikasi dari penyakit virus lain seperti morbili,
influenza, cacar air atau komplikasi dari bakteri lain seperti pertusis, pneumonia oleh
pneumokokus.
- Virus
Virus respiratori sinsial, virus influenza, virus adeno, virus situmegalik.
- Pneumonia Hipostatik
Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya pada anak yang sakit dengan
kesadaran menurun, penyakit lain yang harus istirahat di tempat tidur yang lama
sehingga terjadi kongesti pada paru belakang bawah. Kuman yang tadinya komensal
berkembang biak menjadi patogen dan menimbulkan radang. Oleh karena itu pada
anak yang menderita penyakit dan memerlukan istirahat panjang seperti tifoid harus
diubah – ubah posisi tidurnya.
- Jamur : Candida albikans, Blastomycetes dermatitis, Koksidiomikosis, Aspergilosis
dan Aktinimikosis.
- Sindrom Loeffler
Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes
Secara klinis biasa, berbagai etiologi ini sukar dibedakan. Untuk pengobatan tepat,
pengetahuan tentang penyebab pneumonia perlu sekali, sehingga pembagian etiologis
lebih rasional daripada pembagian anatomis.
o Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
11
o Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,
Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.
o Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
o Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
1. Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat
hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
2. Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk
jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti
palatoskizis,pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian
makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit
tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang
mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan
minyak ikan . Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk
terjadinya Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit
yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan
anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
12
2.4 Patogenesis
Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara percikan (droplet).
Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau saliva. Lobus bagian
bawah paru paling sering terkena efek gravitasi. Agen-agen mikroba yang menyebabkan
Pneumonia memiliki 3 bentuk transisi primer :
1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada
orofaring
2. Inhalasi aerosol yang infeksius
3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal
Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan
pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang terjadi. Akibatnya, faktor-
faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi mekanisme pertahanan sistem
pernafasan. Kolonisasi basilus gram negatif telah menjadi subjek penelitian akhir-akhir
ini. Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk
mencegah infeksi yang terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A
8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai
anti mikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli mementuk suatu proses peradangan yang
meliputi empat stadium, yaitu:
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
13
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium
ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak.
Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
1.1.1 Manifestasi Klinis 3,4,10
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39–40°C dan mungkin disertai
kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan
dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk
biasanya tidak dijumpai di awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa
hari, dimana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
14
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang
terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi
mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Bila sarang
bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang
meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi
ronki dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi
antara 2-3 minggu.
1.1.2 Pemeriksaan Fisik 4, 13
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding
dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan
pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif
selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian
yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan
fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting
dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah
terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah
dibandingkan anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae
supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan
adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”,
yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal
lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada
“head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress
pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya
pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan
menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga
menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.
b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
15
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus
selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps
paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah
(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung
dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus
atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembung-
gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
2.6 Diagnosis
Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan Kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. 7
Kriteria klinis :
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, atau riwayat demam akut, berlangsung
terus-menerus selama 2-7 hari, biasanya bifasik (plana kuda).
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji torniquet positif.
- Petekie, ekimosis, purpura.
- Perdarahan mukosa ( epitaksis atatu perdarahan gusi )
- Hematemesis atau melena.
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,kaki dan
tangan dingin,kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris :
Trombositopenia ( jumlah trombosit <100.000/ul ).
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut :
17
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
18
Pemeriksaan Dengue NSl Antigen adalah pemeriksaan baru terhadap antigen non
struktural-I dengue (NSl) yang dapat mendeteksi infeksi virus dengue dengan lebih awal
bahkan pada hari pertama onset demam. 5
Pemeriksaan NS-I perlu dilakukan pada pasien yang megalami gejala Demam/klinis
lain < 3 hari, dikarenakan Early detection sangatlah penting untuk menentukan
pengobatan (terapisupportif) yang tepat (cegah Resistensi antibiotik), serta
pemantauanpasien dengan segera.
Tanpa meninggalkan pemeriksaan Dengue serologi karena pemeriksaaan NS1 bersifat
komplementer (saling menunjang), terkhusus apabila didapatkan hasil Ns1 (-) dan
gejala infeksi tetap muncul.
Penggunaan Dengue IgG / IgM juga diperlukan bagi dokter penganut paham "infeksi
sekunder dapat menyebabkan infeksi yang lebih berat dan memerlukan penanganan
yang berbeda dengan infeksi primer"
Dengan adanya Spesifisitas 100% dan sensitivitas 92.3%. Dengan demikian
pomakaian pemeriksaan ini akan dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
untuk diagnosis infeksi dengue.(5)
Pada foto thorak didapati efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi
lateral dekubitus kanan ( pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan ).(1)
19
a. Leukemia
b. ITP
c. Anemia Aplastik
4. Dengan kejang
a. Ensefalitis
b. Meningitis
2.8 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari
ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.3
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DHF dewasa
mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori,
sebagai berikut: 3,8,11
1) Penanganan tersangka DHF tanpa syok
2) Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat
3) Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%
4) Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dewasa
5) Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
20
Hb, Ht normal dengan trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan dirawat.
21
Gambar 4. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat
Protokol 3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht>20%.
22
Gambar 5. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DHF.
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DHF dewasa adalah : perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali, perdarahan saluran cerna (henatemesis dan melena
atau hematokesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan
tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.1,3
Perdarahan
Spontan dan
Masif : -
TRAN
Epistaksis tidak
terkendali
SFUSI
Hb < 10 gr
- Hematemesis
melena
%
- Perdarahan
TROM otak
- Hematuria
TRANSFU
BOSIT
SI PRC
23
Gambar 6. Tatalaksana sindroma syok dengue
24
Kriteria memulangkan pasien, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini : 1
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distress pernafasan (efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cendrung naik > 50.000/nl
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik
2.9 Komplikasi
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DHF dengan maupun tanpa syok
2. Kelainan ginjal berupa gagal ginjal akut akibat syok berkepanjangan
3. Edema paru, akibat over loading cairan 3
2.10 Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DHF/DSS
mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dari pada
anak-anak.2
25
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien masuk dengan keluhan utama demam yang dialami ± 5 hari sebelum masuk
rumah sakit, demam terus menerus , mimisan (+). Nyeri kepala +,Nyeri ulu hati (+), mual (+),
muntah (-), nafsu makan berkurang, lemas (+), tampak bintik-bintik kemerahan pada lengan,
BAK dan BAB dalam batas normal.
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien mengalami demam ± 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Hal ini sesuai dengan teori pada demam berdarah dengue (DHF) dimana pada
fase febris terjadi demam mendadak selama 2-7 hari, sakit kepala, serta ditemukan petekie
sebagai tanda adanya perdarahan.
Kurva demam pada demam berdarah dengue berhubungan dengan saat pelepasan
sitokin karena reaksi imun terhadap serangan virus dengue. Sitokin yang menyebabkan
demam seperti IL-1 dan IL-6, TNF-α, IFN-γ. Virus dengue merupakan pirogen eksogen. Pada
saat virus sudah menginfeksi dan berada di dalam darah, ada 2 respon imun yang bekerja.
Yaitu respon imun nonspesifik yang bekerja di awal dan cepat serta respon imun spesifik
yang bekerja lebih lambat. Makrofag akan segera bereaksi dengan memfagositosis virus dan
memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (antigen presenting cell). Makrofag juga
akan mensekresi sitokin yang merangsang inflamasi, sitokin utama yang disekresi oleh
makrofag adalah IL-1 yang merupakan pirogen endogen. Pirogen adalah bahan yang
menginduksi demam yang dipicu baik faktor eksogen atau endogen seperti IL-1. Selain itu
ada juga proses respon imun nonspesifik yang diperankan oleh sel NK. Sel NK membunuh
sel yang terinfeksi, sebelum respon imun spesifik bekerja. Antigen yang menempel di
makrofag ini akan mengaktivasi sel T-helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit
lebih banyak virus. Dimulailah mekanisme respon imun spesifik. Sel T yang diaktivasi adalah
CD4+. CD4+ ini akan mengaktivasi Th-2 untuk membentuk antibody lagi sehingga
meningkatkan opsonisasi dan aktivasi komplemen. CD4+ juga mengaktivasi Th-1 yang akan
mengaktivasi CD8+ melalui presentasi oleh molekul MHC-1. CD8+ ini bersifat sitotoksik
dan menghancurkan peptida virus. Th-1 akan melepaskan IFN-γ, IL-2, dan limfokin.
Sedangkan Th-2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Selanjutnya IFN-γ akan merangsat
monosit melepaskan TNF-α, IL-1, PAF, IL-6, dan histamin. Limfokin juga merangsang
26
makrofag melepas IL-1, IL-2 juga merupakan stimulan pelepasan IL-1, TNF-α, dan IFN-γ.
Pada Jalur komplemen, kompleks imun akan menyebabkan aktivasi jalur komplemen
sehingga dilepaskan C3a dan C5a (anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah histamin. Hasil
akhir respon imun tersebut adalah peningkatan IL-1,TNF-α, IFN-γ, IL-2, dan histamin.
IL-1,TNF-α, IFN-γ dikenal sebagai pirogen endogen sehingga timbul demam. IL-1
bekerja pada termoregulator sedangkan TNF-α dan IFN-γ bekerja tidak secara langsung
karena merekalah yang merangsang pelepasan IL-1. Daerah spesifik IL-1 adalah pre-optik
dan hipotalamus anterior dimana terdapat corpus callosum lamina terminalis. Corpus
callosum lamina terminalis terletak di dinding rostral ventriculus III dan merupakan
sekelompok saraf termosensitif (cold and hot sensitive neurons). IL-1 masuk ke dalam corpus
callosum lamina terminalis melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi serta
melepaskan PGE2, selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat
menjadi PGE2. Selanjutnya PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam hipotalamus atau
bereaksi dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir mekanisme tersebut adalah peningkatan
thermostatic set point yang menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk menahan panas
(vasokonstriksi) dan memproduksi panas dengan menggigil.
Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap gejala lain seperti
timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan sintesis albumin serta
transferin. Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari kerjasama IL-1 danTNF-α.
Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa. Peningkatan leptin dalam
sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipotalamus ventromedial yang berakibat pada
penurunan intake makanan.
IFN-γ sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang poten, menghambat
replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibody. Namun, bila jumlahnya
terlalu banyak akan menimbulkan efek toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri
otot, nyeri kepala, muntah, dan somnolan.
Dalam keadaan normal, manusia mensekresi mukus di dalam saluran pernafasan yang
berfungsi sebagai pembersih berbagai macam kotoran seperti debu yang tidak tersaring
melalui silia hidung. Apabila terdapat debu yang berlebihan, maka mukus yang disekeresikan
akan semakin bertambah. Infeksi atau iritasi pada saluran nafas juga menyebabkan
hipersekresi mukus pada saluran napas, kemudian, apabila terjadi hipersekresi mukus, terjadi
hipertrofi kelenjar submukosa pada trakea dan bronkus dan akhirnya mukus tertimbun di
dalam saluran napas. Ditandai juga dengan peningkatan sekresi sel goblet disaluran napas
27
kecil, bronkus dan bronkiolus. Kondisi ini kemudian merangsang membran mukosa untuk
selanjutnya mengaktifkan rangsang batuk dengan tujuan untuk mengeluarkan benda asing
yang telah mengiritasi saluran napas.
Dari pemeriksaan darah rutin yang dilakukan didapatkan penurunan kadar trombosit
(trombositopenia), yaitu 33.000. Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui
mekanisme: 1) supresi sumsum tulang, 2) destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler
dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoesis termasuk megakariopoesis. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukan kenaikan, hal ini menunjukan terjadinya stimulasi
trombopoesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue,
konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi perifer. Gangguan fungsi
trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-
tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
28
DAFTAR PUSTAKA
30