Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Peritonitis Bakterial Spontan

Peritonitis bakterial spontan adalah infeksi spontan pada cairan asites tanpa adanya
sumber infeksi atau inflamasi yang jelas dari intraabdomen seperti adanya perforasi usus
atau luka operasi . ( Tsao, 2006 ; Cardenas, 2006).

B. Prevalensi Peritonitis Bakterial Spontan


Pada awal tahun 1970-an ketika pertama kali dilaporkan angka mortalitasnya di USA
dan Eropa sekitar 90%. Dengan peningkatan kecepatan penegakan diagnosis dan
perbaikan penanganannya pada tahun 1990-an, mortalitasnya sudah dapat ditekan sekitar
20% - 30% (Hillebrand DJ, 2000; Tsao , 2006 ; Anadon MN, 2003). Dilaporkan pula,
insiden Peritonitis bakterial spontan pada pasien sirosis hati dengan asites berkisar 10%
sampai 25% dengan tingkat mortalitas 70% - 80%. Angka kekambuhan antara 40% -
70% setelah infeksi bersih ditangani dalam satu tahun pertama (Tsao, 2006 ; Thomas E,
2014). Di Indonesia dilaporkan angka mortalitas berkisar antara 48% - 57% . Kiran
Chugh et.al melaporkan angka kematian karena peritonitis bakterial spontan yang tidak
teratasi dengan pengobatan sangat tingggi yaitu diatas 80% ( Chugh,2015 ).
Peritonitis bakterial spontan dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa dan
merupakan komplikasi yang sangat umum terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis.
Selain itu , peritonitis bakterial spontan dapat terjadi sebagai komplikasi dari setiap
keadaan penyakit yang menyebabkan sindrom klinis asites, seperti gagal jantung dan
sindrom Budd-Chiari. Anak-anak dengan sindroma nefrotik atau Lupus Eritomatosus
Sistemik dengan asites juga memiliki resiko tinggi mengalami Peritonitis bakterial
spontan (Pardede, 2013).
C. Patofisiologi Peritonitis Bakterial Spontan
Pada tahun 1960-an, Harold Conn menemukan bahwa 90% bakteri yang berhasil
diisolasi dari cairan asites pasien. Peritonitis bakterial spontan adalah bakteri dari saluran
pencernaan. Hal tersebut menjadi dasar teori translokasi bakteri sebagai penyebab
Peritonitis bakterial spontan dimana terjadi migrasi transmural bakteri dari lumen usus.
Bakteri dari usus halus bertranslokasi ke kelenjar limfa mesenterium dan kemudian
menyebar secara hematogen. Bakteri memasuki cavum peritoneum dan menemukan
lingkungan yang sesuai untuk untuk berkembang biak sehingga memudahkan timbulnya
Peritonitis bakterial spontan (Hijau, 2014 ; Cardenas, 2006).
Teori lainnya menyebutkan bahwa, asites dapat menekan sistem pertahanan tubuh
host. Asites menyebabkan dilusi cairan kaya protein yang menyebabkan reduksi opsonin,
seperti IgG, komplemen C3 dan penurunan aktivitas sistem retikuloendotelial atau
mediator inflamasi lainnya. Selain itu, fagositosis pada cairan kurang efektif di
bandingkan di permukaan padat.
Faktor predisposisi utama mungkin pertumbuhan berlebih bakteri usus pada
pasien sirosis, terutama dikaitkan dengan waktu transit usus yang tertunda. Pertumbuhan
bakteri usus yang berlebihan, gangguan fungsi fagositik , kadar komplemen yang rendah
dan penurunan aktivitas sistem retikuloendothelial menjadi prediktor timbulnya
Peritonitis bakterial spontan.( Kouaouzidis, 2011)

Gambar Mekanisme terjadinya Peritonitis bakterial spontan

pada sirosis hati (Cardenas,2006)

Penderita sirosis hepatis yang termasuk klasifikasi Child-Pugh C memiliki resiko


terkena Peritonitis bakterial spontan sebanyak 71%. ( Djauzi S, 1999). Penderita
sirosis hati yang termasuk klasifikasi Chil-Pugh C memiliki resiko terkena Peritonitis
bakterial spontan sebanyak 71%( Djauzi. S, 1999). Skor Child-Pugh merupakan suatu
skor untuk menilai cadangan fungsi hati pada penderita sirosis hati, yang dipublikasikan
oleh Child (1964).
Ada 5 ( lima ) variabel penting yang digunakan yaitu kadar serum bilirubin, serum
albumin, asites, gangguan neurologis dan status nutrisi. Kemudian Pugh dkk (1973)
memodifikasi kriteria Child, dimana variabel status nutrisi diganti dengan waktu
protrombin. Selanjutnya kriteria tersebut dikenal kriteria Child-Pugh. Kelima variabel
dibagi dalam 3 kelompok yaitu A, B dan C yang diberi skor 1, 2 dan 3. Selanjutnya
berdasarkan nilai skor total diklasifikasikan menjadi Child-Pugh A dengan skor 5 – 6,
Child-Pugh B dengan skor 7 – 9, dan Child-Pugh C dengan skor 10 – 15.

Berikut adalah tabel skor kriteria Child-Pugh:


SKOR 1 2 3

Serum bilirubin < 2 2-3 >3


(mg/dL)
Serum albumin (mg/dL) > 3,5 2.8 – 3.5 < 2.8
Asites Tidak ada Mudah Sulit
dikontrol dikontrol
Gangguan neurologi Tidak ada minimal koma
Waktu protrombin < 4 4-6 >6
( detik)
Tabel. 2.4. Skor Child-Pugh (Nurdjanah, 2006)

Selain itu, perdarahan saluran cerna juga memperbesar resiko terjadinya


Peritonitis bakterial spontan karena meningkatkan terjadinya bakterinemia pada saat
terjadinya perdarahan akut ( Yu AS, 2001). Berikut faktor resiko yang meningkatkan
terjadinya Peritonitis bakterial spontan (Runyon , 1992)
1. Sirosis hati dengan kriteria Child-Pugh klas C
2. Perdarahan saluran cerna pada Child-Pugh klas C dengan atau tanpa skleroterapi.
3. Kadar protein cairan asites < 1 gr/ dL
4. Infeksi saluran kemih atau infeksi saluran pernafasan

5. Penggunaan infus intra vena

6. Pernah mengalami Peritonitis bakterial spontan sebelumnya

7. Parasentesis dalam jumlah banyak

D. Etiologi Peritonitis Bakterial Spontan

Kuman penyebab Peritonitis bakterial spontan sebanyak 92% adalah


monomikrobial. Yang paling sering muncul adalah bakteri gram negatif bentuk batang
seperti Escherichia coli (70%) dan Klebsiella spp (10%). Bakteri gram positif dijumpai
pada 25% kasus Peritonitis bakterial spontan (Jennings,2010; Alaniz. 2009). Yang paling
sering adalah Streptococcus pneumonia, tetapi pernah juga ditemukan Streptococcus
viridians. Enterococcus spp pernah dilaporkan pada sekitar 6%- 10% kasus.
Staphylococcus aureus dilaporkan pada 2% - 4% kasus Peritonitis bakterial spontan.
Berikut tabel yang menunjukkan persentase bakteri penyebab
Peritonitis bakterial spontan.( Kouaouzidis, 2011)

Tabel Bakteri penyebab PBS ( Greenberger, 2010)


Infeksi bakteri pada cairan asites dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok
yaitu:
(1) Peritonitis bakterial spontan didefinisikan jika positif ditemukan bakteri dalam
asites, bersama dengan leukosit polimorfonuklear yang meningkat dalam asites (>
250 sel/mm3).
(2) Kultur negative asites neutrocytic (Culture-negative neutrocytic ascites , CNNA).
Infeksi bakteri tidak dapat dibuktikan dengan kultur, hanya peningkatan jumlah
leukosit polimorfonuklear diatas batas 250 sel/mm3 yang terlihat.
(3) Monomicrobial non-neutrocytic bacterascites (hanya bacterascites) jarang
dijelaskan. Pada gangguan ini, positif kultur bakteri tidak disertai dengan
peningkatan leukosit.
(4) Polymicrobial bacteriascites. Pada gangguan ini, positif kultur bakteri multiple
tidak disertai dengan peningkatan leukosit. Biasanya mengindikasikan adanya
perforasi dinding usus pada saat parasentesis.
(5) Secondary bacterial peritonitis. Pada gangguan ini, positif kultur bakteri multiple
disertai dengan peningkatan leukosit. Di bedakan dari Peritonitis bakterial spontan
oleh adanya sumber infeksi intraabdominal akibat prosedur operasi ( Jennings,
2010)
E. Diagnosa Peritonitis Bakterial Spontan

Gejala klinis pasien Peritonitis bakterial spontan sangat bervariasi . Kadang-


kadang sulit di kenali atau bahkan tampak jelas seperti gejal sepsis. Gambaran klinis yang
terlihat dapat berupa demam, gangguan status mental , abdominal tenderness, perdarahan
gastrointestinal, menggigil, mual atau muntah. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
sebanyak 30% pasien Peritonitis bakterial spontan tidak menunjukkan gejala klinis. Atau
bahkan gejala bisa sama dengan kondisi lain pada sirosis seperti hepatik ensefalopati.
Oleh karena itu, pemeriksaan cairan asites sangat penting untuk menegakkan diagnosis.
Berikut adalah tabel yang menunjukkan tanda dan gejala klinis pada pasien Peritonitis
bakterial spontan.(Enamoto,2014)
Tabel Tanda dan gejal klinis Peritonitis bakterial spontan

(Cardenas, 2006)

Kultur cairan asites positif dan peningkatan jumlah sel polymophonuclear


leukocyte (PMNL) ≥ 250/mm2 adalah gold standard untuk penegakan diagnosis
Peritonitis bakterial spontan. Tetapi, kultur cairan asites membutuhkan waktu yang lama.
Sedangkan pemeriksaan PMNL dari cairan asites menggunakan alat automated cell
counter yang mahal . Oleh karena itu, dibutuhkan tes diagnostik yag cepat , mudah dan
cepat.
Pemeriksaan carik celup leukosit esterase, biasanya digunakan untuk pemeriksaan
PMNL di urine. Leukosit esterase adalah enzim intrasellular yang ada dalam PMNL yang
dilepaskan bila PMNL lisis dalam proses inflamasi. Beberapa penelitian tentang tes ini
untuk diagnosa Peritonitis bakterial spontan menunjukkan hasil dengan sensitivitas,
spesifisitas dan negative predictive value 90% atau lebih tinggi. Penelitian- penelitian itu
menunjukkan bahwa test ini dapat memperpendek waktu diagnosis Peritonitis bakterial
spontan (Cardenas, 2006).

F. Diagnosa dan Pemeriksaan Laboratorium


Gejala: gejala inflamasi peritoneum , Kurang respon terhadap diuretik , Demam ,
Sakit perut, nyeri perut, Hematemesis onset, ensefalopati hepatik,nyeri abdomen (sangat
jarang), diare, ileus, shock dan hipotermia, tidak memiliki perut kaku (Abd-Elsalam
,Sherief.2016). Semua pasien diamati :riwayat penyakit,  pemeriksaan klinis menyeluruh,
urea dan kreatinin, Tes fungsi hati meliputi; tingkat bilirubin,tingkat albumin, dan waktu
protrombin,suara ultra perut , sampling cairan asites,analisis cairan asites termasuk
jumlah sel dan perbedaan jumlah, kultur cairan asites dan pengujian mikrobiologi.
Sampel cairan peritoneal dilakukan dengan memanfaatkan teknik antiseptik standar dan
universal. (Abd-Elsalam ,Sherief.2016).
Pemeriksaan lab :

1. Biakan positif SBP didiagnosis dengan adanya cairan asites PMNL ≥250 sel / mm3
dan biakan cairan asites positif untuk organisme tunggal.
2. rerata jumlah leukosit perifer 21.500/μL (median 21.400/μL, kisaran 7.100 –
44.800/μL) dengan persentase netrofi l 83%. Kondisi tersebut biasanya ditemukan
bersamaan dengan edema dan asites
3. cairan peritoneum berwarna keruh atau jumlah sel cairan peritoneum >100 sel/μL
atau jumlah sel netrofi l polimorfonuklear (PMN) >50 sel/μL.
4. Terdapat bakteri dalam cairan peritoneum ditandai dengan pewarnaan Gram atau
biakan cairan peritoneum positif atau tes counter-immuno-electrophoresesyang positif
untuk antigen bakteri dari cairan asites; dan
5. biakan darah positif.1
6. hitung neutrofi l polimorfonuklear >50 sel/μL
7. biakan cairan peritoneum positif.

G. Tatalaksana
Pasien dengan jumlah PMN cairan asites ≥250 sel / mm3, terlepas dari gejala, harus
menerima terapi antibiotik empiris dengan cefotaxime 2 g setiap 8 jam, atau
Cephalosporin generasi ketiga , ditambah albumin 1,5 g / kg dalam waktu masuk 6 jam
dan 1 g / kg pada hari ke 3 (dipiro,2008). Penggunaan albumin yang disarankan dalam
manajemen SBP, meskipun itu tidak termasuk dalam protokol pengobatan. Namun
pedoman untuk pencegahan dan pengobatan sindrom hepatorenal menyarankan bahwa
pemberian albumin dapat mengurangi kejadian gagal ginjal dan kematian pada pasien
dengan SBP (badawy,2008).
Pasien dengan jumlah PMN cairan asites <250 sel / mm3, tetapi dengan tanda-tanda
dan gejala infeksi (sakit perut, demam, ensefalopati, gagal ginjal, asidosis, atau
leukositosis perifer), juga harus menerima pengobatan antibiotik empirik dengan
cefotaxim 2 g setiap 8 jam, ataucephalosporin generasi ketiga (dipiro,2008). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Badawy (2013) telah dilakukan uji klinik mengenai
efikasi cefotaxime untuk spontaneous bacterial peritonitis dan antibiotik alternatif yang
dapat digunakan untuk kasus resistant cefotaxime. Uji klinik ini melibatkan 100 pasien
dengan spontaneous bacterial peritonitis. Semua diobati sesuai dengan panduan AASLD
yaitu cefotaxime dan infus albumin intravena, kemudian dievaluasi responsnya setelah 2
hari pengobatan. Pasien dengan jumlah sel PMN (Polimorphonuclear) yang menurun
kurang dari 25% dianggap tidak berespons. Pasien yang tidak berespons kemudian dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu: meropenem dan levofloxacin, kemudian dievaluasi lagi
responsnya setelah 5 hari.Hasilnya, pengobatan cefotaxime berhasil pada 81% kasus.
Dari kasus yang gagal cefotaxime (19%), 11/11 pasien berhasil diobati dengan
meropenem (100%) dan 6/8 pasien berhasil diobati dengan levofloxacin (75%). Pasien
yang gagal diobati dengan levofloxacin, kemudian diobati sesuai hasil kultur yaitu 1
dengan vancomycin dan 1 dengan ampicillin sulbactam, dengan hasil baik.Dengan
demikian, kesimpulan dari uji klinik ini adalah, sesuai dengan panduan AASLD tahun
2009, cefotaxime efektif pada 81% kasus spontaneous bacterial peritonitis. Pada kasus
yang gagal dengan cefotaxime, uji klinik ini melaporkan 100% keberhasilan dengan
meropenem.
a. Profilaksi SBP
Antibiotik profilaksis harus benar-benar dibatasi untuk pasien berisiko tinggi
SBP. Tiga berisiko tinggi populasi pasien telah diidentifikasi: (1) pasien dengan
perdarahan gastrointestinal akut; (2) pasien dengan total kandungan protein yang rendah
di asites cairan dan tidak ada riwayat SBP (profilaksis primer); dan (3) pasien dengan
riwayat SBP (profilaksis sekunder)(Angeli et al, 2010).

 Pasien dengan infeksi bakteri perdarahan gastrointestinal akut

Dalam beberapa tahun terakhir, epidemiologi infeksi bakteri pada sirosis telah
berubah, dengan meningkatnya insiden SBP dan infeksi lain yang disebabkan oleh
bakteri resisten kuinolon. Selain itu, sejumlah besar infeksi pada pasien dengan
perdarahan gastrointestinal disebabkan oleh bakteri Gram-positif mungkin berhubungan
dengan prosedur invasif digunakan pada pasien ini. Sebuah studi baru membandingkan
norfloxacin oral maupun ceftriaxone intravena untuk profilaksis infeksi bakteri pada
pasien dengan perdarahan gastrointestinal dan sirosis lanjut (minimal 2 dari berikut:
ascites, gizi buruk, ensefalopati, atau bilirubin> 3mg / dl) menunjukkan bahwa
ceftriaxone lebih efektif daripada norfloxacin dalam pencegahan infeksi. Rekomendasi
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal dan penyakit hati yang parah ceftriaxone
adalah antibiotik profilaksis pilihan, sementara pasien dengan penyakit hati yang lebih
ringan dapat diberikan norfloxacin atau kuinolon oral alternatif untuk mencegah
perkembangan SBP (Angeli et al, 2010).

 Pasien dengan kandungan total protein rendah di asites cairan tanpa riwayat peritonitis
bakteri spontan

Uji coba secara acak dilakukan pada pasien dengan penyakit hati yang parah dengan
asites cairan protein lebih rendah dari 15 g / L dan tanpa riwayat SBP sebelumnya
menunjukkan bahwa norfloxacin (400mg / hari) mengurangi risiko SBP dan
meningkatkan kelangsungan hidup. Oleh karena itu, pasien ini harus dipertimbangkan
untuk jangka panjang dengan norfloxacin. Pada pasien dengan penyakit hati yang
moderat, konsentrasi protein ascites lebih rendah dari 15 g / L, dan tanpa riwayat SBP.
Khasiat quinolon dalam mencegah SBP atau meningkatkan kelangsungan hidup belum
pasti. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam bidang ini (Angeli et al, 2010).

 Pasien dengan sebelum peritonitis bakteri spontan

Pengobatan dengan norfloxacin mengurangi kemungkinan kekambuhan dari SBP


dari 68% menjadi 20% dan probabilitas SBP karena GNB dari 60% menjadi 3%.
norfloxacin lebih efektif dalam pencegahan kekambuhanSBP karena Enterobacteriaceae
(0% berbanding 22%, p = 0,01). Rekomendasi Pasien yang sembuh dari SBP memiliki
risiko tinggi kekambuhan SBP. Pada pasien ini, pemberian antibiotik profilaksis
mengurangi risiko SBP kambuh. Norfloxacin (400mg / hari, oral) adalah terapi pilihan.
antibiotik alternatif termasuk ciprofloxacin (750mg sekali seminggu, secara oral) atau
kotrimoksazol (800mg sulfametoksazol dan 160mg trimethoprim harian, secara oral),
namun bukti tidak sekuat bahwa dengan norfloxacin(Angeli et al, 2010).

 Masalah dengan profilaksis antibiotik berkepanjangan

Seperti disebutkan sebelumnya, profilaksis antibiotik berkepanjangan (primer atau


sekunder) telah menyebabkan munculnya GNB resisten terhadap quinolones dan bahkan
untuk trimetoprim / sulfametoksazol. Selain itu, ada kemungkinan peningkatan infeksi
dari bakteri Gram-positif pada pasien yang telah menerima jangka panjang profilaksis
SBP [156.162]. Ini menggarisbawahi kebutuhan untuk membatasi penggunaan antibiotik
profilaksis untuk pasien dengan laxis resikoofSBP. Disarankan bahwa terapi quinolone
harus dihentikan pada pasien yang mengalami infeksi karna bakteri resisten quinolone.
Namun tidak ada data untuk mendukung ini (Angeli et al, 2010)

b. GOLONGAN SEFALOSPORIN GENERASI KE-3

Cefatoxim

Cefatoxime memiliki efek samping seperti Kolitis, Diare, Eosinophilia, Demam, nyeri di
tempat injeksi, Mual, Pruritus, ruam, Trombosit menurun, Muntah (Medscape, 2016).

Ceftriaxone

Ceftriaxone memiliki efek samping seperti Eosinofilia (6%), Trombositosis (5%), Diare
(3%), Leukopenia (2%), Ruam (2%), Nyeri (1%) (Medscape, 2016).

Norfloxacin

Norfloxacin memiliki efek samping seperti mual 4%, pusing 3%, sakit kepala 3%, kram
perut 3%, Kelemahan 1% (Medscape, 2016).
c. GOLONGAN FLUOROQUINOLON

Ciprofloxacin

Ciprofoxacin memiliki efek samping seperti Mual (3%),  Nyeri perut (2%), Diare (2%
orang dewasa; 5% anak-anak), Peningkatan kadar aminotransferase (2%), Muntah (1%
orang dewasa; 5% anak-anak), Sakit kepala (1%), Peningkatan kreatinin serum (1%),
Ruam (2%), Gelisah (1%) (Medscape, 2016).

Ofloxacin

Ofloxacin memiliki efek samping seperti Mual (3-10%), Sakit kepala (1-9%), Insomnia
(3-7%), Pusing (1-5%), Vaginitis (1-5%), Diare (1-4%), Muntah ( 1-4%), kram perut (1-
3%), rasa Abnormal (1-3%), nyeri dada (1-3%), Kelelahan (1-3%), Perut kembung (1-
3%), gangguan GI (1-3%), Gugup (1-3%), Faringitis (1-3%), Pyrexia (1-3 %), gangguan
tidur (1-3%), gangguan Visual (1-3%), (Medscape, 2016).

 ALBUMIN

Albumin memiliki efek samping seperti  Anafilaksis, Edema, Hipertensi /


hipotensi, hipervolemia, edema paru, Kedinginan, Demam, Sakit kepala, Mual / muntah,
ruam (Medscape, 2016). Pada pemberiaan ofloksasin oral menimbulkan efek yang sama
dengan sefotaksim intravena pada pasien sirosis dengan komplikasi SBP. Penggunaan
ofloksasin tanpa komplikasi SBP biaya yang yang digunakan cukup efektif karena
pengobatan dengan sefotaksim IV secara substansial lebih mahal daripada dengan
ofloksasin oral (Navasa, 1996). Sebuah penelitian terkontrol pada pasien dengan SBP
diobati dengan cefotaxime yang dikombinasikan dengan albumin menunjukkan secara
signifikan menurunkan kejadian tipe 1 HRS (30% menjadi 10%) dan mengurangi angka
kematian dari 29% menjadi 10% dibandingkan dengan pengobatan cefatoxime saja
(Angeli, et al., 2010).

Pada sebuah penelitian menunjukkan bahwa ceftriaxone IV secara signifikan


lebih efektif daripada norfloxacin oral dalam profilaksis infeksi bakteri pada pasien
sirosis dengan perdarahan gastrointestinal dan gagal hati yang parah. Pertama, pasien
yang diobati dengan norfloxacin memiliki kecenderungan terinfeksi bakteri gram negatif
basil dan streptokokus non-enteroccocal yang resisten terhadap kuinolon. Sebaliknya,
bakteri ini sangat rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga. Kedua, pemberian
intravena antibiotik profilaksis lebih baik dari pemberian oral pada pasien dengan gagal
hati berat, ensefalopati, dan perdarahan gastrointestinal. Ceftriaxone harus diberikan
secara IV karena itu, digunakan sebagai pengganti oral orfloxacin dalam profilaksis
infeksi bakteri pada pasien sirosis dan pendarahan gastrointestinal (Fernandez, et al.,
2006).

 
DAFTAR PUSTAKA

Abd-Elsalam ,Sherief.2016, Is Spontaneous Bacterial Peritonitis still Responding to Third


Generation, International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences,
Volume 5 Number 5 (2016) pp. 392-399

Angeli Paolo, Kurt Lenz, Søren Møller, Kevin Moore, Richard Moreau. 2010. EASL clinical
practice guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and
hepatorenal syndrome in cirrhosis.Journal of Hepatology. vol. 53 j 397–417

Badawy AA, Tarik IZ, Samar MS, Mohamed HE, Noha ES, Talaat FA,. 2013. Effect of
alternative antibiotics in treatment of cefotaxime resistant spontaneous
bacterial peritonitis.World Journal of Gastroenterology. Vol 9. 8

Dipiro, J.T., Robert, L.T., Gary, C.Y., Gary, R.M., Barbara, G.W., L.Michael P. 2007.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 7th Edition. New York: Mc Graw
Hill.

Deshpande A, Pasupuleti V, Thota P, Pant C, Mapara S, Hassan S. Acid-suppressive therapy is


associated with spontaneous bacterial peritonitis in cirrhotic patients: a meta-analysis. J
Gastroenterol Hepatol. 2013 Feb. 28(2):235-42. [Medline]

Fernandez Javier, Luis Ruiz Del Arbol, Cristina Gómez,§Rosa Durandez, Regina Serradilla,
Carlos Guarner,§ Ramón Planas, Vicente Arroyo, And Miguel Navasa, 2006,
Norfloxacin vs Ceftriaxone in the Prophylaxis of Infections in Patients With Advanced
Cirrhosis and Hemorrhage, Gastroenterology. Vol. 131, No. 4

Gorensek MJ, Lebel MH, Nelson JD. 1988. Peritonitis in children with nephrotic syndrome.
Pediatrics.;81:849-56.

Kumar A, Ellis P, Arabi Y, et al. Initiation of inappropriate antimicrobial therapy results in a


fivefold reduction of survival in human septic shock. Chest 2009;136:1237-48.

Medscape. 2016. Spontaneous Bacterial Peritonitis.


(http://emedicine.medscape.com/article/789105-overview#a6).Diakses tanggal 17
September 2016
Moore KP, Wong F, Ginès P, et al. 2010. EASL clinical practice guidelines on the management
of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in
cirrhosis. Journal Of Hepatology, vol .53 : 397–417

Navasa Miquel, Antonio Follo, Josep M. Llovet, Gerardo Clemente, Victor Vargas, Antoni
Rimola, Francesc Marco, Carlos Guarner, Montserrat Forne, Ramon Planas, Rafael Ban
Ares, Luis Castells, Maria Teresa Jimenez De Anta, Vicente Arroyo, And Joan Rodes,
1996, Randomized, Comparative Study of Oral Ofloxacin Versus Intravenous
Cefotaxime in Spontaneous Bacterial Peritonitis, Gastroenterology, 111:1011–1017.

Siple JF, Morey JM, Gutman TE, Weinberg KL, Collins PD. Proton pump inhibitor use and
association with spontaneous bacterial peritonitis in patients with cirrhosis and ascites.
Ann Pharmacother. 2012 Oct. 46(10):1413-8. [Medline]

Tandon P, Garcia-Tsao G. Bacterial infections, sepsis, and multiorgan failure in cirrhosis. Semin
Liver Dis 2008;28:26-42.

Thomas E Green, 2016, Spontaneus Bacterial


Peritonitis, http://emedicine.medscape.com/article/789105-overview#a5, diakses pada
tanggal 15 september 2016

Anda mungkin juga menyukai