Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Ilmu Kehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama Rumah Sakit Umum
Daerah Meuraxa Kota Banda Aceh

Disusun Oleh:

Ade Maya Masyitah

Pembimbing:

dr. Nanda Hudawarrahmah, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ABULYATAMA RUMAH SAKIT SAKIT UMUM
DAERAH MEURAXA KOTA BANDA ACEH
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kita panjatkan kepada hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya, akhirnya Kami dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada
waktunya dan sebaik-sebaiknya dalam rangka melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD meuraxa dengan judul ‘’SINDROM
NEFROTIK”.
Dalam penyusun laporan kasus ini, saya mendapat banyak masukan, bantuan dan juga
bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak baik dalam bentuk moril serta materiil.
Untuk itu dalam kesempatan ini Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Nanda Hudawarrahmah, Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan
banyak bimbingan kepada saya selama penulis melaksanakan KKS di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh.
Semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
pada umumnya dan Ilmu Kedokteran khususnya. Saya menyadari bahwa tulisan ini jauh dari
sempurna, adapun Kami menerima kritikan saran berupa lisan maupun tulisan selama
membangun.

Banda Aceh, 19 Desember 2022


Penyusun

Ade Maya Masyitah, S.ked


211740
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan tanda patognomonik penyakit glomerular yang di


tandai dengan edema anarsaka, proteinuria masih lebih dari >3,5 g/hari, hipoalbuminemia
<3,5 g/hari, hiperkolestronemia, dan lipiduria. Tidak semua pasien dengan proteinuria di atas
3,5 g/hari akan tampil dengan gejala yang komplit. Beberapa diantaranya memiliki kadar
albumin yang normal tanpa edema. Umumnya fungsi ginjal pada pasien sindroma nefrotik
adalah normal, tetapi pada sebagian kasus dapat berkembang menjadi gagal ginjal yang
progresif. Sindrom nefrotik memiliki berbagai efek metabolik yang dapat berdampak pada
kesehatan individu secara umum, beberapa epoisode dari sindrom nefrotik adalah self
limited, dan sebagian di antaranya respons terhadap terapi spesifik (misalnya steroid pada
glomerulonefritis (GN) lesi minimal), namaun untuk sebagian besar pasien merupakan
kondisi yang kronis.

Sindrom nefrotik dapat di sebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan ikat (connective tissue disease). Sindrom nefrotik yang tidak
menyertai penyakit sistemik disebut sindroma nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90%
pada kasus anak. Apabila ini timbul sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau
berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindroma nefrotik sekunder. Insidens
penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang
dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di Indonesia
diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki
dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan 2/3 kasus anak
dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
A. Identitas Pasien
Nama : An. RS
Umur : 14 tahun
BB/TB : 51 kg/155 cm
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Gampong bada, Aceh Besar
Masuk RS : 13 Desember 2022
Tgl.Pemeriksaan : 15 Desember 2022

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan langsung dengan pasien pada (Tanggal 15 Desember 2022)

A. KELUHAN UTAMA
Bengkak pada tubuh

B. KELUHAN TAMBAHAN
Batuk (+), Pilek (+)

C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Seorang pasien anak lakilaki datang ke IGD RSUD Meuraxa pada tanggal 13
Desember 2022 dengan keluhan bengkak diseluruh tubuh. Bengkak terjadi kurang
lebih 2 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Bengkak pertama kali di awali muncul
dibagian kelopak mata, kemudian muncul ditungkai, dan setelah itu muncul di perut,
dan dirasakan semakin membesar. Tidak ada nyeri pada bengkak, dan bengkak
tersebut menetap (tidak berpindah-pindah). Sebelum masuk rumah sakit pasien sudah
berobat ke dokter oleh dokter diberi obat (Ibu lupa nama obat) untuk menurunkan
bengkak. Bengkak sempat hilang, namun saat obat habis bengkak timbul kembali.
Dari alloanamnesi Ibu pasien mengatakan bahwa dirumah pasien sering susah
buang air kecil, saat ingin buang air kecil (BAK) pasien harus mengedan terlebih
dahulu. BAK yang dikeluarkan jumlahnya sedikit-sedikit. Tidak ada keluhan nyeri
saat BAK. Tidak ada kelainan pada air seni seperti darah, maupun busa. Pasien juga
mengeluhkan batuk dengan dahak (+) serta pasien juga merasa lelah sejak 1 minggu
sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien tidak ada demam (-), mual (-), muntah (-), sakit
tenggorokan (-). Pasien mengalami perubahan pada berat badan, yakni berat
bertambah dari 21 kg sebelumnya BB pasien 30kg, sebulan yang lalu naik menjadi 51
kg sampai dengan sekarang. Lingkar perut awal nya 23 cm, sekarang di dapatkan
lingkar perut menjadi 71,5cm.

D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


 Pasien tidak pernah menderita campak (-)
 Pasien belum pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya.
 Penyakit lain (-)
 Riwayat alergi obat- obatan (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat imunisasi Lengkap

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada

F. RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN

KELAHIRAN Tempat kelahiran Di Rumah Sakit


Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Normal
Masa gestasi Aterm
Keadaan bayi o Berat lahir : 3200 gr
o Panjang : - Cm
o Lingkar kepala : - Cm
o Langsung menangis : Ya
o Kelainan bawaan :-
G. RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
o Pertumbuhan gigi I : usia 5 bulan

o Psikomotor

 Berguling : 5 bulan
 Duduk : 8 bulan
 Merangkak : 10 bulan
 Berdiri : 1 tahun
 Bicara pertama kali : 9 bulan
Kesan: Riwayat perkembangan baik.

A. RIWAYAT IMUNISASI DASAR


Imunisasi dilakukan di Puskesmas
 Lahir : Hepatitis B (HB) 0

 1 Bulan : BCG, Polio 1

 2 Bulan : DPT/HB 1, Polio 2

 3 Bulan : DPT/HB 2, Polio 3

 4 Bulan : DPT/HB 3, Polio 4

 9 Bulan : Campak
Kesan : Imunisasi dilakukan dengan lengkap

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darh : 120/80 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Frekuensi napas : 21 x/menit
SpO2 : 98%
Suhu : 36,3 0C
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Pupil bulat isokor, edema palpebra (+/+)
Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Telinga : Bentuk normal, sekret (-)
Hidung :Bentuk normal, nafas cuping hidung (-), sekret (-), septum
deviasi (-)
Mulut : gusi tidak meradang, tidak merah dan bengkak (-)
Bibir : Bibir kering dan pecah- pecah (-), sianosis (-)
Lidah : Bercak- bercak putih pada lidah (-), tremor (-)
Tenggorokan : Tonsil T1- T1 tenang, faring hiperemis (-)
Leher : Trakea terletak ditengah, pembesaran KGB (-), kel. tiroid
tidak teraba membesar
 Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi : Iktus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra ICS 4
Auskultasi : Bunyi jantung 1 & 2 normal reguler, murmur (-) gallop (-)
 Paru

Inspeksi : Bentuk dada normal, pernapasan simetris dalam keadaan statis


dan dinamis, retraksi sela iga (-)
Palpasi : fremitus vokal dan taktil simetris dalam statis dan dinamis
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
 Abdomen

Inspeksi : Abdomen terlihat cembung kesan asites (Lingkar perut 71,5


cm), (Lingkar Lengan 23cm)
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar, shifting dullness (+/+)
Perkusi : Redup di seluruh regio abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Extremitas : Akral hangat, pitting edema pretibial (+/+)

STATUS GIZI
Antropometris:
Berat Badan (BB) : 51 kg
Panjang Badan : 156 cm
Lingkar kepala : 54 cm
Lingkar Perut : 71,5 cm
Lingkar Lengan : 23 cm
Status Gizi :

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan 14/12/2022 Satuan Nilai normal
laboratorium
Hematologi
Hemoglobin 13,4 gr/dl 12,0-15,2
Eritrosit 4,96 10 ̂ 6/uL 4,50-5,10
Hematokrit 37,6 % 36,0-47,0
MVC 75,8 (L) fL 78,0-96,0
RDW-SD 34,1 (L) fL 35,0-47,0
Leukosit 8.2 10 ̂ 3/uL 4,5-13.0
Trombosit 471 (H) 10 ̂ 3/uL 150-440

Kimia Darah 14/12/2022 15/12/2022 16/12/2022


Albumin 1,3 (L) 1,8 (L) 2,3 (L) g/dl 3,8-5,1
Kolesterol 467 (H) mg/dl <200
Protein Total 4,10 g/dl 5,6-7,5
Globulin 3,6 g/dl 2,5-5,0
Ureum 25 mg/dl 10-50
Creatinin 0,4 (L) mg/dl 0,6-1,1

 Pemeriksaan Urinalisa 14/12/2022

  Hasil Nilai
Rujukan
URINALISA    
Urin Lengkap    
Makroskopis    
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Kimia Urin    
Berat jenis 1.015 1.015 - 1.025
pH 7,0 4,5 - 8
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah samar Negatif Negatif
Eritrosit +++ (250) RBC/uL Negatif
Protein +++ (300) mg/dl Negatif
Urobilinogen 0,1 mg/dl Normal
Nitrit Negatif Negatif
     
Sedimen    
Leukosit 0-2 /LPB
Eritrosit 9-15 0-2/LPB
Bakteri Urin Positif /Lpb
Ca Oksalat Positif /Lpb

 Foto Thorax PA (AP) (14/12/2022)


Foto asimetris
Cor Normal

Pulmo :
Tampak patchy infiltrat di parahiler paracard kanan sinus phrencocostalis kanan kiri
tajam
Kesan : Bronkopneumonia

VI. DIAGNOSA KERJA


 Sindroma nefrotik

I. DIAGNOSA BANDING
 Sindrom nefrotik
 Sindrom Nefritik
 GNAPS

II. PEMERIKSAAN ANJURAN


USG Traktus Urinarius :
Ginjal kanan dan Ginjal kiri
Besar, Bentuk dan Kontur Normal
Parenkim Normal
Batas Tekstur Parenkim dengan sentral ekhokomplex Normal
Tidak Tampak Batu

Vesika Urinaria :
Besar dan Bentuk Normal
Dinding menebal tampak sludge (+)
Kesan : USG ginjal kanan dan ginjal kiri tidak tampak kelainan.
Sistitis dengan slundge (+)

III.PENATALAKSANAAN
 Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
 Inj. Furosemide 30mg/12jam
 Inj. Ranitidin 30mg/12jam
 Albumin 25% (100mg)
 N. Acetylsisten 3x200mg
 Captropil 3x12,5 mg (capsule)
 Prednisone 1x60 mg (12 tab) pagi
 Albumin 1x1 tab (pagi)

IV. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad malam


Ad fungtionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

VII. FOLLOW UP
Tanggal 15/12/2022 A / Sindrom Nefrotik Therapi /
S / Demam (-), mata bengkak (+),  Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
kaki bengkak (+), bengkak seluruh  Inj. Furosemide 40 mg/12jam
 Inj. Ranitidine 30 mg/12jam
tubuh (+), batuk (+), BAK dan BAB
 Tab. Acetylsistein 3x200 mg
dalam batas normal.  Tranfaib 25% 100ml dalam 4jam

Post transfusi 1 amp


O/ Kesadaran Umum : Sedang
Tekanan Darah : 110/80 mmHg  Catopril 3x 12,5 mg
Heart Rate : 96x/i  Predison 1x12 tab (60 mg)-pagi
 Suplemen makan tab 1x1
Respiratory Rate : 20 x/i
 Diet rendah garam & cukup protein
SpO2 : 98 %
Temperature : 36,3˚C
Tanggal 16/12/2022 A/ Sindrom Nefrotik Therapi /
S/ bengkak seluruh tubuh (+), batuk  Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
(+), kaki bengkak berkurang, BAK  Inj. Furosemide 40 mg/12jam
 Inj. Ranitidine 30 mg/12jam
dan BAB dalam batas normal.
 Tab. Acetylsistein 3x200 mg
 Tranfaib 25% 100ml dalam 4jam
O/ Kesadaran umum : sedang
4 jam Post transfusi 1 amp
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Heart Rate : 85x/i  Catopril 3x 12,5 mg
Respiratory Rate : 18 x/i  Predison 1x12 tab (60 mg)-pagi
 Suplemen makan tab 1x1
SpO2 : 98%
 Diet rendah garam & cukup protein
Temperature : 36,2˚C
Tanggal 17/12/2022 A/ Sindrom Nefrotik Therapi /
S/ bengkak diseluruh tubuh  Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
berkurang , batuk (+), kaki bengkak  Inj. Furosemide 40 mg/12jam
 Inj. Ranitidine 30 mg/12jam
(+), BAB dan BAK dalam batas
 Tab. Acetylsistein 3x200 mg
normal.  Tranfaib 25% 100ml dalam 4jam

4 jam Post transfusi 1 amp


O/ kesadaran umum : sedang
Tekanan Darah : 110/80mmHg  Catopril 3x 12,5 mg
Heart Rate : 64x/i  Predison 1x12 tab (60 mg)-pagi
 Suplemen makan tab 1x1
Respiratory rate : 20x/i  Diet rendah garam & cukup protein
SpO2 : 98%
Temperature : 36,6˚C

Tanggal 18/12/2022 A/ Sindrom Nefrotik Therapi /


S/bengkak di seluruh badan  Inj. Furosemide 40 mg/12jam
berkurang, batuk (-), bengkak di kaki  Inj. Ranitidine 30 mg/12jam
 Tab. Acetylsistein 3x200 mg
berkurang , BAB dan BAK dalam
 Catopril 3x 12,5 mg
batas normal.  Predison 1x12 tab (60 mg)-pagi
O/ Kesadaran umum : sedang  Albumin tab 2x1
 Diet rendah garam & cukup protein
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Heart Rate : 92 x/i
Respiratory Rate : 20x/i
SpO2 : 99%
Temperature : 36,6˚C
Tanggal 19/12/2022 A/ Sindrom Nefrotik Therapi /
S/ batuk (-), pilek (+), nyeri pinggang  Inj. Furosemide 40 mg/12jam
(-), BAB dan BAK dalam batas  Inj. Ranitidine 30 mg/12jam
 Tab. Acetylsistein 3x200 mg
normal.
 Catopril 3x 12,5 mg
 Predison 1x12 tab (60 mg)-pagi
O/ Kesadaran Umum : Baik  Albumin tab 2x1
 Diet rendah garam & cukup protein
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Heart Rate : 90x/i
PJB
Respiratory Rate : 20x/i
dr. Nanda Hudawwaracha, Sp.A
SpO2 : 100%
Temperature : 36,4˚C
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,
merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif
adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih.
Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala
klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang
azotemia.2

3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindroma nefrotik
primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila ini timbul sebagai bagian
daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindroma
nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus per-tahun tiap
100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap
100.000 anak. Insidens di Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang
dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar
negeri menunjukkan 2/3 kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.3
Pasien syndrome nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga kelompok:
1. Kongenital
2. Responsive steroid, dan
3. Resisten steroid

Bentuk congenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya kasus-kasus
ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara resesif autosom.
Kelompok responsive steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan sindroma nefrotik
kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di Jakarta diantara 364 pasien SN yang dibiopsi
44,2% menunjukkan KM. kelompok tidak responsive steroid atau resisten steroid terdiri atas
anak-anak dengan kelainan glomerolus lain. Disebut sindroma nefrotik sekunder apabila
penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik karena obat-obatan, allergen, dan toksin, dll.
Sindroma nefrotik dapat timbul dan besrsifat sementara pada tiap penyakit glomerolus
dengan keluarnya protein dalam jumlah yang cukup banyak dan cukup lama.3
3.3 Etiologi

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :3

1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik
primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada
anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu
salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah
1 tahun.5

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan


menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children).
Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya,
dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom
nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC
(International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht
(1971).3

Tabel  1.  Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3


            Kelainan minimal (KM)
            Glomerulosklerosis (GS)
                        Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
                        Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
            Glomerulonefritis kresentik (GNK)
            Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
                        GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
                        GNMP tipe II dengan deposit intramembran
                        GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
            Glomerulopati membranosa (GM)
            Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber : Wila Wirya IG, 2013. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan
minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak. Di Indonesia gambaran
histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila
Wirya 5
menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi.3

2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah :4
 Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,
miksedema.
 Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
 Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa
ular.
  Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
 Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

3.4 Patofisiologi

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik,


sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Penyebab terjadinya
proteinuria belum diketahui benar, salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya
muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran
basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik
keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari
proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang
menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan
plasma ke ruang interstitial.7 proteinuria dinyatakan ”berat” untuk membedakan dengan
proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindroma nefrotik.

Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m 2 luas permukaan badan, dianggap
proteinuria berat. Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak  karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang
lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan
pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Hipoalbuminemia
menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. 7 Keadaan ini
menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke
ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi
efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler
tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan
demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya  mempercepat ekstravasasi
cairan ke ruang interstitial.7

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang  memicu rentetan


aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga
produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal
dengan teori underfill.3 Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan
aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom
nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru
memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar
aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill.7

Menurut teori retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan
tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan
ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat
overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan
volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron  rendah sebagai
akibat hipervolemia. Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill  berlangsung bersamaan atau
pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus
mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.7
Kelainan
Kelainan Glomerolus Glomerolus

Albuminuria Retensi Na renal


primer

Hipoalbuminemia
Volume Plasma >>>

Tek.Onkotik koloid
plasma <<<

Volume Plasma >>> Edema

Retensi Na renal
sekunder >>>

Edema

3.5 Manifestasi Klinis

Dimasa lalu orang tua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu makan yang
kurang, mudah terangsang, adanya gangguan gastrointestinal dan sering terkena infeksi berat
merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya dengan beratnya edema, sehingga
dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat edema. Namun dengan pengobatan, kortikosteroid
telah mengubah perjalanan klinik SN secara drastis dan dapat dikatakan bahwa baik oleh
anak, orang tua atau dokter SN bukan lagi merupakan masalah edema, tapi masalah salah satu
efek samping obat terutama bagi anak-anak yang tidak responsive terhadap pengobatan
steroid. Dilaporkan kira-kira 80% anak dengan SN menderita SNKM dan lebih dari 90%
anak-anak ini bebas edema dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah pengobatan awal dengan
kortikosteroid.6
Manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan
sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang
anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;  biasanya awalnya
tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah
periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada pagi
hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang
harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada
penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab
biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau
GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada
pasien SNKM. Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa
usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya.
Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom
nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu
makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi
berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan
hernia umbilikalis dan prolaps ani.6
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan
kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang
dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja
pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta
perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak
menjadi terganggu. Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan
pada 95% penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe
kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab
bersifat menyeluruh, dependen dan pitting.  Asites umum dijumpai, dan sering menjadi
anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi
berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat.6
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International
Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai
tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur. Tanda utama sindrom nefrotik
adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya
berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih
besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.8
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL.
Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi
terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat,
sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah
remisi sempurna dari proteinuria.8 Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada
sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe
sindrom nefrotik. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal
penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya
terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM. Tidak perlu dilakukan
pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak
jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan
derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat
gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai
pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.9

3.6 Penatalaksanaan

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa


memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid
dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari. International Study
of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian
prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4
minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m 2/hari secara selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan
dihentikan.7
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut:8
Tabel 2.  Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik
   

Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama
     3 hari berturut-turut.

Proteinuria  2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari


Kambuh berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.

 Kambuh tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12
bulan.
 
Kambuh  2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal,  atau   4
Kambuh sering kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.

 Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.

Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid,
atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
 
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60
Resisten-steroid mg/m2/hari selama 4 minggu.

 Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa
tambahan terapi lain.
 Nonresponder awal
Resisten-steroid sejak terapi awal.
Nonresponder lambat
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.

.  A. Sindrom nefrotik serangan pertama.9

 Perbaiki keadaan umum penderita:

a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi
diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi
ginjal.

b.  Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin
konsentrat.
c.   Berantas infeksi.

d.   Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.

e.   Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada
hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi

Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah


diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami
remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison
tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan
keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu  14 hari.

B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse).9

Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse


ditegakkan. Perbaiki keadaan umum penderita.

 Sindrom nefrotik kambuh tidak sering


Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali
dalam masa 12 bulan.
1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, d
iberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison
dihentikan.
 Sindrom nefrotik kambuh sering
1. Induksi

Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,


diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2. Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m 2/48 jam, diberikan selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison
diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30
mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m 2/48 jam selama 1 minggu,
akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan. Pada
saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari
diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid
dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila
pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi,
terdapat indikasi kontra steroid,  atau untuk biopsi ginjal.

Siklofosfamid atau klorambusil


8-12 minggu

Relaps Tidak Relaps

Prednison selang sehari


dosis efektif minimal

Toleransi Efek samping Siklosporin (CyA)


baik

Relaps Tidak Relaps

Pengobatan Dikurangi bertahap sampai


simtomatik dosis efektif minimal

Tabel 2. Cara pengobatan yang diusulkan terhadap pasien SNKM dengan relaps frekuen
atau dependen steroid

3.7 Komplikasi

Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau sebagai
akibat pengobatan.10
1. Kelainan koagulasi dan timbulnya thrombosis
Kelainan ini timbul dari dua mekanisme yang berbeda :
a. Peningkatan permeabilitas glomerolus mengakibatkan :
 Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti
antirombin III, protein S bebas, plasminogen dan alfa antiplasmin
 Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit melalui tromboksan A2,
meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya
fibrinolisis
b. Aktivasi sistem homeostatic di dalam ginjal dirangsang oleh factor jaringan
monosit dan oleh papran matriks subendotelial pada kapiler glomerolus yang
selanjutnya mengakibatkan pembentukkan fibrin dan agregasi trombosit
2. Perubahan hormon dan mineral
Kelainan ini timbul karena protein pengikat hormone hilang dalam urin. Hilangnya
globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien SN dan laju ekskresi
globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria
3. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
4. Infeksi
Penyebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah :
 Kadar immunoglobulin yang rendah
 Defisiensi protein secara umum
 Gangguan opsonisasi terhadap bakteri
 Hipofungsi limfa
 Akibat pengobatan imunosupresif
5. Peritonitis
6. Infeksi Kulit
7. Anemia
8. Gangguan tubulus renal

3.8 Prognosis

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :


 Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
 Disertai oleh hipertensi.
 Disertai hematuria.
 Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
 Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang
baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse
berulang dan sekitar 10%  tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Identitas pasien :
Nama : An. RS
Umur : 14 tahun
BB/TB : 51 kg/155 cm
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Gampong bada, Aceh Besar
Masuk RS : 13 Desember 2022
Tgl.Pemeriksaan : 15 Desember 2022
Berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang maka
diagnosis yang ditegakkan pada pasien ini ialah : Sindrom Nefrotik
1. Anamnesis
 Bengkak pada palpebra, perut, dan tungkai
2. Pemeriksaan Fisik
 Ditemukan adanya edema palpebra (+/+) , edema pretibial (+/+), dan asites pada
abdomen, perkusi abdomen : redup, shifting dullness (+/+)
3. Pemeriksaan Penunjang
 Dari hasil laboratorium pada pasien ditemukan penurunan pada albumin,
penurunan protein total, peningkatan kolesterol total pada darah dan proteinuria
masiv (+++) pada urin.
4. Penatalaksanaa
Pada pasien diberikan terapi berupa :
 Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
 Inj. Furosemide 30mg/12jam
 Inj. Ranitidin 30mg/12jam
 Albumin 25% (100mg)
 N. Acetylsisten 3x200mg
 Captropil 3x12,5 mg (capsule)
 Prednisone 1x60 mg (12 tab) pagi
 Albumin 1x1 tab (pagi)
 Serta diet rendah garam dan cukup protein.

BAB V
KESIMPULAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan tanda patognomonik penyakit glomerular yang di


tandai dengan edema anarsaka, proteinuria masih lebih dari >3,5 g/hari, hipoalbuminemia
<3,5 g/hari, hiperkolestronemia, dan lipiduria. Tidak semua pasien dengan proteinuria di atas
3,5 g/hari akan tampil dengan gejala yang komplit. Beberapa diantaranya memiliki kadar
albumin yang normal tanpa edema. Umumnya fungsi ginjal pada pasien sindroma nefrotik
adalah normal, tetapi pada sebagian kasus dapat berkembang menjadi gagal ginjal yang
progresif. Sindrom nefrotik memiliki berbagai efek metabolik yang dapat berdampak pada
kesehatan individu secara umum, beberapa epoisode dari sindrom nefrotik adalah self
limited, dan sebagian di antaranya respons terhadap terapi spesifik (misalnya steroid pada
glomerulonefritis (GN) lesi minimal), namaun untuk sebagian besar pasien merupakan
kondisi yang kronis.

Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindroma nefrotik
primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila ini timbul sebagai bagian
daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindroma
nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus per-tahun tiap
100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap
100.000 anak. Insidens di Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang
dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar
negeri menunjukkan 2/3 kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chesney RW, 2015. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr 11: 158-
61. [Accesed on Desember 22]
2. International Study of Kidney Disease in Children, 2015. Nephrotic syndrome in
children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at
time of diagnosis. Kidney Int 13- 159. [Accesed on Desember 22]
3. Wila Wirya IG, 2016. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI pp. 381-426. [Accesed on Desember 22]
4. Feehally J, Johnson RJ, 2016. Introduction to Glomerular Disease: Clinical
Presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical
Nephrology. London: Mosby; p. 5: 21.1-4. [Accesed on Desember 22]
5. Wila Wirya IGN, 2017. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis
sindrom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas
Indonesia, 14 Oktober. [Accesed on Desember 22]
6. Noer MS, 2016. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors.
Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. 137-46.
[Accesed on Desember 22]
7. A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 2017. The primary
nephrotic syndrome in children: Identification of patients with minimal change
nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr 98: 561. [Accesed on
Desember 22]
8. Kaysen GA, 2018. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In: Schrier RW, editor.
Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston: Little, Brown and Company pp.
681-726. [Accesed on Desember 22]
9. Travis L, 2018. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar 18] [(20)
: screens]. Available from: URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm
Niaudet P, 2000. Treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children. Up To Date
2018; 8. [Accesed on Desember 22]

Anda mungkin juga menyukai