Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

Tinea Corporis ec Tinea Kruris

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Abulyatama Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Kota Banda Aceh

Di Susun Oleh :
Fatiatul Khairi
22174012

Pembimbing :

dr. Risky Kurniawan, M.Ked (DV), Sp.DV

SMF ILMU KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


ABULYATAMA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA
KOTA BANDA ACEH
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus dengan
judul “Tinea Corporis et Tinea Kruris’’ Shalawat beserta salam penulis tujukan ke
pangkuan Nabi Muhammad S.A.W yang telah membawa manusia ke zaman yang
berpendidikan dan terang benderang. Laporan Kasus ini disusun sebagai salah satu
tugas menjalani kepaniteraan klinik senior pada Bagian / SMF Ilmu Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama Aceh di Rumah Sakit Umum
Daerah Meuraxa Kota Banda Aceh.

Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis selalu mendapat bantuan dan
pengarahan dari pembimbing yang bertanggung jawab. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada dr. Risky Kurniawan, M.Ked (DV), Sp.DV
yang telah banyak meluangkan waktu agar laporan kasus ini dapat terselesaikan
dengan baik. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran khususnya.
Semoga Allah S.W.T selalu memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita
semua. Amin.

Banda Aceh, 30 April 2023

Fatiatul Khairi , S.Ked

22174020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS...................................................................................2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................7

3.1 Definisi................................................................................................................7

3.2 Epidemiologi.......................................................................................................7

3.3 Etiologi................................................................................................................8

3.4 Patofisiologi........................................................................................................8

3.5 Gejala Klinis.......................................................................................................10

3.6 Diagnosis.............................................................................................................12

3.7 Diagnosis Banding.............................................................................................13

3.8 Penatalaksanaan................................................................................................13

BAB IV ANALISA KASUS....................................................................................16

BAB V KESIMPULAN...........................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................19

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari segala macam penyakit jamur kulit yang merupakan tipe infeksi
superficial dan kutan maka pityriasis versikolor, dermatofitosis dan candidiosis kulit
1
yang tersering ditemui. Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superficial
yang disebabkan oleh jamur dermotofita yakni Trichophyton spp, Microsporum spp,
dan epidermophyton spp. Dermatofitosis mempunyai arti umum, yaitu semua
2
penyakit jamur yang menyerang kulit. Penyakit ini menyerang jaringan yang
mengandung zat tanduk yakni epidermis (tinea korporis, tinea kruris, tinea manus et
pedis), rambut (tinea kapitis), kuku (tinea unguinum). Dermatofitosis terjadi karena
terjadi inokulasi jamur pada tempat yang diserang, biasanya di tempat yang
lembab dengan maserasi atau ada trauma sebelumnya.1,2

Ciri khas pada infeksi jamur adanya central healing yaitu bagian tengah
tampak kurang aktif, sedangkan bagian pinggirnya tampak aktif. 4 faktor-faktor
yang memperngaruhi diantaranya udara lembab, lingkungan yang padat, sosial
ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarannya, obesitas, penyakit
sistemik penggunaan antibiotika dan obat steroid, higiene juga berperan untuk
timbulnya penyakit ini. 4 dermatofitosis salah satu pembagiannya berdasarkan
lokasi bagian tubuh manusia yang terserang salah satunya adalah Tinea Korporis,
yaitu dermatofitosis yang menyerang daerah kulit yang tidak berambut (glabrous
skin), misalnya pada wajiah, badan, lengan dn tungkai. 1,2 Tinea korporis adalah
infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi inflamasi maupun non
inflamasi pada glabrous skin (kulit yang tidak berambut) seperti muka, leher,
badan, lengan, tungkai dan glutea. 2,4

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Fauziah
Umur : 45 tahun
No.RM :
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa/Suku : Aceh
Kawin/Tdk Kawin : Menikah
Pekerjaan : IRT
Alamat : Lampisang, Seulimum Aceh Besar
Agama : Islam

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama : Gatal-gatal pada kaki kiri dan kaki kanan.

Keluhan Tambahan : Timbul bercak-bercak dan bersisik pada betis kaki kiri
dan kanan.

Riwayat Perjalanan Penyakit :

Pasien datang ke poli kulit RSUD Meuraxa dengan keluhan gatal sejak 4 bulan
yang lalu, pasien mengatakan bahwa gatal yang dirasakan awalnya pada kaki kiri,
kemudian menyebarkan pada kaki kanan karena rasa gatal tersebut pasien
menggaruk hingga menimbulkan lesi merah selang beberapa waktu pasien
mengatakan gatal awalnya pada sedikit tempat kemudian menyebar dan ruamnya
terasa berpasir, pasien juga mengatakan ruam awalnya merah karena digaruk
ruam berubah menjadi hitam dan gatal meningkat pada malam hari.

Riwayat Penyakit Keluarga : Orang tua mengalami hipertensi.


Riwayat Penyakit Terdahulu : Stroke ringan, Hemiparesis.

2
Riwayat Penggunaan Obat : Obat Hipertensi
Riwayat Alergi : Disangkal.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalisata

Kesadaran Umum : Compos Mentis (GCS 15)


Suhu Badan : 36,0˚C
Nadi : 80x/i
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Pernafasan : 20x/i

Keadaan Spesifik
Kepala : Dalam batas normal tidak terdapat kelainan.
Leher : Dalam batas normal, tidak didaptkan pembesran
KGB
Mulut : Dalam batas normal tidak didapatkan luka.
Thoraks : Dalam batas normal tidak didapatkan kelainan.
Abdomen : Dalam batas normal, peristaltik usus normal.
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan.
Ekstremitas inferior : Terdapat makula eritema, berbatas tegas, dengan
maserasi, disertai skuama, erosi dan ekskoriasi di
kaki kanan dan kaki kiri.

B. Status Dermatologikus

Lokalisasi : regio ekstremitas bawah cruris sinistra.


Ruam Primer:
 Bentuk: makula eritema, berbatas tegas
 Ukuran: plakat, tidak beraturan
 Susunan: polisiklik

3
 Distribusi : Unilateral
 Regio : Cruris Sinistra dan Dextra
 gambaran khas : central healing

Ruam Sekunder:
 Bentuk: Skuama, Erosi, dan Eksoriasi
 Ukuran: plakat
 Susunan: polisiklik
 Distribusi : Unilateral
 Regio : Cruris Sinistra dan Dextra

Tampak makula eritema berbatas tegas yang disertai adanya skuama, erosi dan
eksoriasi dengan ukuran plakat dan tersusun polisiklik di ekstremitas inferior
region cruris sinistra dan dextra.

 Tes-tes yang di lakukan : Tidak Ada.


 Pemeriksaan Penunjang : Tidak Ada.
 Pemeriksaan Khusus :
 Kerokan kulit dengan KOH 20%
 Lampu wood

4
 Resume : Pasien datang ke poli kulit RSUD Meuraxa dengan keluhan gatal
sejak 4 bulan yang lalu, pasien mengatakan bahwa gatal yang dirasakan
awalnya pada kaki kiri, kemudian menyebarkan pada kaki kanan karena rasa
gatal tersebut pasien menggaruk hingga menimbulkan lesi merah selang
beberapa waktu pasien mengatakan gatal awalnya pada sedikit tempat
kemudian menyebar dan ruamnya terasa berpasir, pasien juga mengatakan
ruam awalnya merah karena digaruk ruam berubah menjadi hitam dan gatal
meningkat pada malam hari.
 Diagnosis Banding :
 Tinea corporis
 Tinea cruris
 Tinea imbrikata
 Eritrasma
 Psoriasis
 Diagnosis Kerja :
 Tinea corporis et Tinea cruris

 Penatalaksanaan :
Non-Medikamentosa (Edukasi)
1. Hindari menggaruk lesi
2. hindari penggunaan pakaian tertutup saat cuaca panas
3. kurangi kelembapan tubuh
4. meningkatkan higienitas
5. menghindari sumber penularan lainnya seperti hewan
Medikamentosa Khusus :
 Cetirizin 1x10mg
 itraconazole 2x100mg
 micronazole cream 15gr + hydrocortisone 1% 15gr

5
 Pemeriksaan Anjuran : Kerokan Kulit KOH 20%
 Prognosis : Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Bonam
Quo ad Sanationam : Dubius ad bonam
Quo ad Kosmetikum : Dubius ad bonam

6
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superficial yang disebabkan oleh


jamur dermotofita yakni Trichophyton spp, Microsporum spp, dan epidermophyton
spp. Dermatofitosis mempunyai arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang
menyerang kulit. Penyakit ini menyerang jaringan yang mengandung zat tanduk
yakni epidermis (tinea korporis, tinea kruris, tinea manus et pedis), rambut (tinea
kapitis), kuku (tinea unguinum). Dermatofitosis terjadi karena terjadi inokulasi jamur
pada tempat yang diserang, biasanya di tempat yang lembab dengan maserasi atau
ada trauma sebelumnya.1,2

 Tinea Korporis dan Tinea Kruris


Tinea korporis atau “ringworm” adalah infeksi dermatofita superfisial yang
ditandai oleh baik lesi inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin (kulit yang
tidak berambut) seperti muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal.2,3 Sedangkan
tinea kruris atau “jock itch” merupakan infeksi jamur yang sering menyerang bagian
lipatan paha, bagian perineum, dan kulit disekitar anus. Tinea kruris bersifat akut atau
menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.2,4,5

3.2 Epidemiologi
Insidensi dermatomikosis di Indonesia masih cukup tinggi. Dari data beberapa
rumah sakit di Indonesia pada tahun 1998 didapatkan persentase dermatomikosis
terhadap seluruh kasus dermatosis bervariasi dari 2,93% (Semarang) sampai 27,6%
(Padang).6 Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2008 terdapat 274
(7,02%) kasus baru dermatomikosis superfisialis, 58 kasus (21,16%) diantaranya
adalah tinea korporis dan 61 kasus (22,26%) adalah tinea kruris. 7 Dari segi usia, data
dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa remaja dan kelompok

7
usia produktif adalah kelompok usia terbanyak menderita dermatomikosis
superfisialis dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda atau lebih tua.
Kemungkinan karena segmen usia tersebut lebih banyak mengalami faktor
predisposisi atau pencetus misalnya pekerjaan basah, trauma, banyak berkeringat,
selain pajanan terhadap jamur lebih lama.6

3.3 Etiologi
Semua dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, tetapi yang merupakan
penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes,
Microsporum canis dan Trichophyton tonsurans. Sedangkan tinea kruris kebanyakan
disebabkan oleh Trichophyton rubrum dan Epidermophyton floccosum. Trichophyton
tonsurans merupakan jamur antropofilik dan tersebar diseluruh dunia dengan
distibusi yang luas. Spesies ini sering menimbulkan lesi yang bersifat kronis. 8 Jamur
dermatofita dapat ditularkan secara langsung maupun secara tidak langsung, dan
untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur dermatofita harus memiliki
kemampuan untuk melekat pada kulit host (pejamu), mampu menembus jaringan
pejamu dan selanjutnya mampu bertahan dan menyesuaikan dengan suhu dan
lingkungan biokimia pejamu. Sedangkan variabilitas host, seperti umur, jenis
kelamin, ras, budaya dan imunitas dapat mempengaruhi manifestasi klinis dan
perjalanan penyakit infeksi dermatofita ini. Ini menunjukkan bahwa penyakit ini
bersifat multifaktorial.8,9
Transmisi dermatofitosis menyebar melalui 3 cara yakni Antropofilik, Zoofilik,
dan Geofilik. Transmisi antropofilik merupakan penularan dari manusia ke manusia,
Zoofilik adalah penularan dari hewan ke manusia, dan Geofilik adalah penularan dari
tanah ke manusia. Transmisi antropofilik dan zoofilik dapat berupa transmisi secara
langsung maupun tidak langsung.2,4,10

3.4 Patogenesis
Patogenesis tinea korporis dan tinea kruris sama dengan patogenesis dermatofit
secara umum. Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu:

8
perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan
respon pejamu.5
 Perlekatan dermatofit pada keratinosit

Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6 jam,


dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase
(keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur
ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik
dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen
jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi
pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh
sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma
atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena
tergantung pada jenis strainnya.5

 Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel


Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan
melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase,
dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4-6 jam
untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada
keratin.5
 Respons imun pejamu
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons
cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada kondisi individu
dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized), cenderung mengalami
dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan
transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh
dermatofit non patogenik.5

3.5 Gejala Klinis

9
 Tinea Korporis
Kelainan yang dapat dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong,
berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama kadang-kadang dengan vesikel dan papul
di tepi. Daerah tengah biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta
akibat garukan. Lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan
yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang
polisiklik. Karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang
yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena
umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. 2 Pada tinea korporis menahun,
tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada
tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini
disebut tinea korporis et kruris atau sebaliknya tinea kruris et korporis. Bentuk
menahun yang disebabkan oleh Trycophyton rubrum biasanya dilihat bersama dengan
tinea ungium.2
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trycophyton concentricum
disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan papul berwarna coklat, yang
perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari
dasarnya dan melebar. Proses ini, setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian
tengah, sehingga berbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. Bila diraba
dengan jari tangan dari bagian tengah kea rah luar, akan terasa jelas skuama yang
menghadap ke dalam. Lingkaran-lingkaran skuama konsentris nila menjadi besar
dapat bertemu dengan lingkaran-lingkaran di sebelahnya sehingga membentuk
pinggir yang polisiklik. Pada permulaan infeksi penderita dapat merasa sangat gatal,
akan tetapi kelainan yang menahun tidak menimbulkan keluhan pada penderita. Pada
ksus menahun, lesi kulit kadang dapat menyerupai iktosis. Kulit kepala penderita
dapat terserang, akan tetapi rambut biasanya tidak. Tinea unguium juga sering
menyertai penyakit ini.2
Bentuk lain tinea korporis yang diserati kelainan pada rambut adalah tinea favosa
atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala sebagai titik kecil di bawah kulit
yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk cawan

10
(skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya ditembus oleh satu atau
dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan membasah.
Rambut kemudian tidak berkilat lagi dan akhirnya terleapas. Bila tidak diobati,
penyakit ini meluas ke seluruh kepala dan meninggalkan parut dan botak. Berlainan
dengan tinea korporis, yang disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada
usia akil balik. Biasanya dapat tercium bau tikus (mousy odor) pada para penderita
favus. Kadang-kadang penyakit ini dapat menyerupai dermatitis seboroik. Tinea
favosa pada kulit dapat dilihat sebagai kelainan kulit papulovesikel dan
papuloskuamosa, disertai kelainan kulit berbentuk cawan yang khas, yang kemudian
menjadi jaringan parut. Favus pada kuku tidak dapat dibedakan dengan tina unguium
pada umumnya, yang disebabkan oleh spesies dermatifita yang lain. Tiga spesies
yang dapat menyebabkan favus, yaitu tricophyton schoenleini, trycophyton
violaceum, mycrosporum gypseum. Berat klinis bentuk yang tampak tidak bergantung
pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat
kebersihan, umur, ketahanan penderita sendiri.2

Gambar 1. Lesi pada tinea corporis


 Tinea Kruris
Lesi kulit dapat berbatas pada daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah
sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.2
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nayata daripada darah tengahnya. Efloresensi terjadi atas
macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorf). Bila penyakit ini
berlangsung menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan

11
keluarnya cairan terjadi akibat garukan.2

Gambar 2. Tinea Kruris di region inginal meluas sampai region pubis

3.6 Diagnosis

Diagnosis dari tinea kruris dan tinea korporis didapatkan dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang laboratorium. Pemeriksaan penunjang
yang dilakukan biasanya dengan cara kulit dikerok untuk preparat KOH 20% dan
kultur dari daerah yang terinfeksi.11

 KOH
Hasil preparat KOH 20% biasanya positif di beberapa kasus dengan maserasi pada
kulit. Pada pemeriksaan mikroskop KOH 20% dapat ditemukan hifa bersepta atau
bercabang, arthrospore, atau dalam beberapa kasus, sel budding menyediakan bukti
infeksi jamur.2
 Kultur
Kultur dari tinea yang dicurigai dilakukan pada SDA (sabouraud’s dextrose agar). pH
asam dari 5,6 untuk media ini menghambat banyak spesies bakteri dan dapat dibuat
lebih selektif dengan penambahan suplemen kloramfenikol. Ini dapat selesai 2-4
minggu. Dermatophyte test medium (DTM) digunakan untuk isolasi selektif dan
mengenali jamur dermatofitosis adalah pilihan lain diagnostik, yang bergantung pada
indikasi perubahan warna dari oranye ke merah untuk menandakan kehadiran
dermatofit.2

12
3.7 Diagnosis Banding

Beberapa penyakit yang menyerupai tinea korporis yaitu seperti dermatititis


seboroik, psoriasis dan ptiriasis rosea.2

 Dermatitis seboroik biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi seperti


kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit (belakang telinga, nasolabial, dsb)2
 Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi, yaitu daerah
ekstensor, misalnya lutut, siku, dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering
terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan-lekukan pada kuku juga dapat
menolong menegakkan diagnosis.2
 Ptiriasis rosea, distribusi kelaiann simetris dan terbatas pada tubuh bagian
proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald
patch.2

Tinea kruris dapat menyerupai psoriasis pada lipat paha. Lesi-lesi psoriasis
biasanya lebih merah, skuama lebih banyak dan lamellar. Adanya lesi psoriasis di
tempat lain dapat membantu menegakkan diagnosis.2

3.8 Penatalaksanaan

 Tatalaksana Tinea Korporis

Pengobatan dapat diberikan melalui topikal dan sistemik. Untuk pengobatan


topikal direkomendasikan untuk suatu peradangan yang dilokalisir, dapat diberikan
kombinasi asam salisilat 3-6% dan asam benzoat 6-12% dalam bentuk salep (salep
whitfield). Kombinasi asam salisilat dengan sulfur presipitatum dalam bentuk salep
(salep 2-4, salep 3-10) dan derivat azol mikonazole 2%, dan klotrimasol 1%. Untuk
pengobatan sistemik pada peradangan yang luas dan adanya penyakit immunosupresi,
dapat diberikan griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-
25mg/kg BB sehari. Lama pemberian Griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4
minggu, diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada
perbaikan. Pada kasus yang resisten terhadap Griseofulvin dapat diberikan derivat
azol seperti itrakonazol, dan flukonazol. Antibiotik juga dapat diberikan jika terjadi

13
infeksi sekunder.6,12,13

 Tatalaksana Tinea Kruris

Pada kebanyakan kasus tinea kruris dapat dikelola dengan pengobatan topikal.
Agen topikal memiliki efek menenangkan, yang akan meringankan gejala lokal.
Terapi topikal untuk pengobatan pengobatan tinea corporis corporis atau tinea kruris
termasuk erbinafine, terbinafine, butenafine, ekonazol, miconazole, ketoconazole,
klotrimazole, ciclopirox. Formulasi topikal dapat membasmi area yang lebih kecil
dari infeksi, tetapi terapi oral diperlukan pada infeksi yang lebih luas, infeksi kronis
atau infeksi berulang.6,12,13

 Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi


dengan pemberian griseovulfin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum
griseovulfin dalam bentuk   fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g
untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g/hari untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg
per kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab
penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di lanjutkan 2
minggu agar tidak residif.2
 Butenafine adalah salah satu antijamur topikal terbaru yang diperkenalkan dalam
pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana angka
kesembuhan sekitar 70%.14
 Flukonazol (10 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti efektif dalam
pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien mendapatkan
kesembuhan.6,13,14
 Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg/hari diberikan sebagai dua
dosis harian 200 mg untuk satu minggu.6,12,13
 Terbinafine 250 mg/hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan rejimen
umumnya 2-4 minggu.14
 Itrakonazol diberikan 200 mg/hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun
rejimen 100 mg/hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif.6,13,14

14
 Ketokonazol, obat ini bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap
griseovulfin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg/hari selama 10 hari
sampai 2 minggu pada pagi hari setelah makan.2

BAB IV

15
ANALISA KASUS

Temuan pada pasien Berdasarkan Teori


Nama : Fz
Umur : 45 tahun Dari segi usia, data dari beberapa rumah sakit
No.RM :
di Indonesia menunjukkan bahwa remaja dan
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa/Suku : Aceh kelompok usia produktif adalah kelompok
Kawin/Tdk Kawin : Menikah
Pekerjaan : IRT usia terbanyak menderita dermatomikosis
Alamat : Lampisang, Seulimum superfisialis dibandingkan dengan kelompok
Aceh Besar
Agama : Islam usia yang lebih muda atau lebih tua

Keluhan : Timbul bercak-bercak Tinea korporis ditandai oleh baik lesi


kemerahan dan bersisik dengan inflamasi maupun non inflamasi pada
gambaran lesi tepi lebih aktif daripada glabrous skin (kulit yang tidak berambut)
lesi tengah tersusun polisiklik disertai seperti muka, leher, badan, lengan, tungkai
adanya erosi dan eksoriasi pada kaki bawah dan gluteal dengan manifestasi klinis
kiri dan kanan. lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri
atas eritema, skuama kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi. Daerah tengah
biasanya lebih tenang. Kadang-kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan.

Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai


lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik.

Tinea kruris merupakan infeksi jamur yang


sering menyerang bagian lipatan paha,
bagian perineum, dan kulit disekitar anus.
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha
merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan

16
pada tepi lebih nayata daripada darah
tengahnya. Efloresensi terjadi atas macam-
macam bentuk yang primer dan sekunder
(polimorf).

TATALAKSANA : Agen topikal memiliki efek menenangkan,


 Cetirizin 1x10mg yang akan meringankan gejala lokal. Terapi
 Itraconazole 2x100mg topikaluntuk   pengobatan  pengobatan tinea
 Micronazole cream 15gr + corporis corporis atau tinea kruris termasuk :
hydrocortisone 1% 15gr
terbinafine, terbinafine, butenafine, ekonazol,
miconazole, ketoconazole, klotrimazole,
ciclopirox

17
BAB V
KESIMPULAN

Tinea Korporis dan Tinea Kruris merupakan suatu penyakit kulit


dermatofitosis yang di sebabkan oleh jamur golongan dermatofita dengan genus
Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Tinea Korporis dan Tinea Kruris
ini bisa menyerang semua golongan usia, biasanya bisa karena kontak  langsung dan
tidak langsung dengan penderita, higine yang buruk dll. Pengobatannya biasanya
menggunakan obat-obat antifungi baik topikal maupun sistemik dan juga penggunaan
antihistamin untuk mengurangi rasa gatal yang di derita pasien.

Dalam laporan kasus ini, pasien seorang wanita usia produktif menderita tinea
korporis et tinea kruris dengan lesi gatal yang bertambah berat saat berkeringat. Lesi
berbentuk makula eritema dengan lesi tepi aktif yang disertai skuama, erosi dan
eksoriasi dengan susunan polisiklik pada regio cruris sinistra dan dextra. Pasien
mendapatkan terapi berupa Cetirizin 1x10mg, itraconazole 2x100mg dan
Micronazole cream 15gr yang dicampur dengan hydrocortisone 1% 15gr. Sehingga
Prognosis pasien selama pengobatan bonam.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Wirya Duarsa. Dkk.: Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. 2019. [Accesed On April
2023]
2. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2018. [Accesed On April 2023]
3. Sularsito, Sri Adi.Dkk.: Dermatologi Praktis. Perkumpulan Ahli Dermatologi dan
Venereologi Indonesia, Jakarta. 2019. [Accesed On April 2023]
4. Weitzman I, Summerbell R C. The Dermatophytes. American Society for
Microbiology. New York. 2019, 8(2):240. [Accesed On April 2023]
5. Kurniati, C. Etiopatogenesis Dermatofitosis, Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, Surabaya. 2019. [AccesedOn April 2023]
6. Kuswadji, Budimulja U. Penatalaksanaan Dermatofitosis di Indonesia. MDVI
2018;24(1):36-39. [Accesed On April 2023]
7. Medical term: Chronic illness. Available: http://www.wikipedia.com (Accessed:
2022, april 17). [Accesed On April 2023]
8. Goedadi M, Suwito PS. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. In: Budimulja U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, editors. Dermatomikosis
Superfisialis, 2 nd Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2019, p: 31-35. [Accesed
On April 2023]
9. Hainer BL. Dermatophyte Infections. Am Fam Physician 2019;67(1):101-108.
[Accesed On April 2023]
10. Risdianto Arif, Kadir Dirmawati, Amin Safruddin. Tinea Corporis and Tinea
Cruris Caused by Trychophyton mentagrophytes type glanular in Asthma
Bronchiale Patient. Medical Faculty of Hasanuddin University, Makassar. 2018.
[Accesed On April 2023]

19
11. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ diseases of the skin. 11th ed.
Elsevier. US. 2019. p293-295. [Accesed On April 2023]
12. Goedadi M, Suwito PS. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. In: Budimulja U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, editors. Dermatomikosis
Superfisialis, 2 nd Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2020, p: 31-35. [Accesed
On April 2023]
13. Nugroho SA, Siregar RS. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Mikosis
Superfisialis. In: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti
P, editors. Dermatomikosis Superfisialis, 2 nd Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2020, p: 99-107. [Accesed On April 2023]
14. Del Palacio HA, Lopez GS, Gonzalez LF, Moreno PP, Iglesias DL. A
Comparative Double-blind Study of Terbinafine and Griseofulvin in Tinea
Corporis and Tinea Cruris. Clin Exp Dermatol 2018;15(3):210-216. [Accesed On
April 2023]

20

Anda mungkin juga menyukai