Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

PSORIASIS VULGARIS

Pembimbing:
dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid

Disusun oleh:
Sasha Anka Dilan
030.13.180

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT


RSK DR. SITANALA TANGERANG
PERIODE 17 FEBRUARI – 23 MARET 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

LAPORAN KASUS

Judul:
“PSORIASIS VULGARIS”

Disusun oleh:
Sasha Anka Dilan
(030.13.180)

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid untuk
dipresentasikan

Tangerang, Februari 2019


Mengetahui,

dr. Prima Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah


SWT atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Psoriasis Vulgaris”. Penulisan laporan kasus ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Kulit di RSK dr. Sitanala Tangerang periode 17 Februari – 23 Maret
2018.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Prima
Kartika Esti, Sp.KK, M.Epid sebagai dokter pembimbing, dokter dan staf-staf di
poliklinik kulit RSK dr. Sitanala, rekan-rekan sesama koasisten ilmu penyakit
kulit dan semua pihak yang turut serta berperan memberikan doa, semangat dan
membantu kelancaran dalam proses penyusunan makalah kasus ini.
Saya menyadari bahwa makalah kasus ini masih terdapat banyak kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Pada kesempatan ini, saya memohon maaf kepada
para pembaca. Masukan, kritik, dan saran akan saya jadikan bahan pertimbangan
agar makalah kasus ini kedepannya menjadi lebih baik. Akhir kata, saya
mengucapkan terima kasih.

Tangerang, Januari 2019

Sasha Anka Dilan

ii
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS .............................................................................. 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................7
BAB IV KESIMPULAN .................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Psoriasis adalah penyakit kulit autoimun yang besifat kronik dan residif,
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
yang kasar, berlapis-lapis dan transparan. Kelainan kulit ini merupakan
bagian dari penyakit kulit Dermatosis Eritroskuamosa.1
Psoriasis merupakan suatu penyakit kulit kronik residif yang sering
dijumpai dan penting di negara-negara barat dan sebagian di Asia. Jenis
psoriasis vulgaris merupakan bentuk yang paling lazim ditemukan, kira-kira
90% dari seluruh penderita psoriasis. Penyakit ini dapat mengenai seluruh
kelompok umur dan tidak ada perbedaan pada laki-laki dan wanita. Penyebab
psoriasis sendiri belum diketahui secara pasti. Terdapat banyak faktor yang
berperan dalam timbulnya penyakit ini, terutama faktor genetik dan
imunologik, serta interaksi dengan faktor lingkungan sebagai pencetus.2,3
Prevalensi psoriasis pada tahun 2007-2011 dilaporkan oleh Indranila dkk
terdapat 210 kasus psoriasis (1.4%) dari 14.618 penderita di tempat yang
sama dengan jenis psoriasis vulgaris yang paling dominan.4
Variasi klinis pada psoriasis ini adalah lesi sangat khas, sering disebut
dengan plak karena terdapat peninggian pada kulit yang berwarna merah dan
berbatas tegas. Diatas plak tersebut terdapat skuama yang berlapis-lapis,
kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar kelainan
bervariasi mulai dari lentikular, numular atau plakat, dan dapat
5
berkonfluensi.
Penatalaksaan secara umum perlu diberikan pengobatan sistemik seperti
Kortikosteroid, obat sitostatik, levodopa, DDS, Etretinat dan Siklosporin.
Pengobatan topikal biasa diberikan preparat tar, kortikosteroid topikal,
ditranol, pengobatan dengan penyinaran, calcipotriol, tazaroten, dan
emolien.1,2

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Tanggal lahir : 11 Mei 1972
Usia : 47 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kp. Gembor, pasirjaya Kab. Tangerang
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : IRT

II. ANAMNESIA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di poli kusta RSK
dr. Sitanala tanggal 21 Februari 2019
Keluhan Utama
Pasien perempuan berusia 47 Tahun datang ke poli klinik RSK dr. Sitanala
dengan keluhan gatal pada punggung tangan sejak ±2 minggu SMRS.
Keluhan Tambahan
Keluhan disertai dengan rasa panas, perih dan nyeri pada punggung tangan.
Selain itu pasien juga mengatakan tangannya terasa tebal.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien perempuan berusia 47 Tahun datang ke poli klinik RSK dr. Sitanala
dengan keluhan gatal pada punggung tangan sejak ±2 minggu SMRS.
Keluhan gatal dirasa terus menerus namun lebih terasa pada malam hari.
Keluhan disertai dengan rasa panas, perih dan nyeri pada tpunggung tangan.
Serta tampak punggung tangan berwarna kemerahan, dan menurut pasien ia
merasa kulit punggung tangannya tebal. Berdasarkan pengakuan pasien hal
ini tidak terdapat di bagian lain tubuhnya. Sebelumnya pasien sudah berobat
ke klinik terdekat, diberi salep namun tidak ada perubahan.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang mengalami keluhan serupa pada keluarga pasien. Riwayat
penyakit hipertensi, dan diabetes melitus, pada keluarga juga disangkal.
Riwayat Alergi
-
Riwayat Pekerjaan
Pasien merupakan seorang Ibu rumah tangga. Pasien mengaku sering
melakukan aktivitas keperluan rumah tangga sendiri seperti menyuci baju,
mengepel dan lain-lain.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
- Tekanan Darah : 137/78 mmHg
- Nadi : 78x/menit
- Suhu : 36,6 C
- Pernafasan : 20x/menit
- Berat Badan : 53 kg
Kepala : tidak dilakukan pemeriksaan
Leher : Tidak didapati pembesaran KGB
Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : terdapat lesi multiple plak eritematosa pada region
dorsum manus dan terdapat skuama.

3
b. Status Dermatologikus

Gambar 1. Regio dorsum manus dextra dan sinistra

Regio : Dorsum manus bilateral


Efloresensi primer : plak eritematus
Efloresensi sekunder : Skuama
Distribusi : manus bilateral
Bentuk : Irregular
Batas : Tegas
Ukuran : Numular hingga plakat
Efloresensi : Regio dorsum manus bilateral: Tampak multiple
plak eritematosa dengan bentuk irregular berbatas
tegas. Disertai dengan skuama putih.

Pemeriksaan khusus :
 Pemeriksaan fenomena tetesan lilin (+) berupa skuama berwarna
putih pada goresan (seperti lilin yang di gores)
 Pemeriksaan Auspitz sign tidak dilakukan
 Pemeriksaan fenomen Kobner tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Tidak dianjurkan pemeriksaan penunjang

4
V. RESUME

Pasien perempuan berusia 47 Tahun datang ke poli klinik RSK dr. Sitanala
dengan keluhan gatal pada punggung tangan sejak ±2 minggu SMRS.
Keluhan disertai dengan rasa panas, perih dan nyeri pada punggung tangan.
Serta tampak punggung tangan berwarna kemerahan, dan menurut pasien ia
merasa kulit punggung tangannya tebal.
Pada pemeriksaan fisik didapati keadaan umum pasien tampak sakit ringan
dan kesadaran compos mentis, tekanan darah 137/78 mmHg, nadi 78/menit,
suhu afebris, pernapasan 20x/menit. Pada status dermatologi region dorsum
manus bilateral: Tampak multiple plak eritematosa dengan bentuk irregular
berbatas tegas. Disertai dengan skuama putih.

VI. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Pemeriksaan lab darah

- Pemeriksaan histopatologi  Hasil yang diharapkan adanya parakeratosis


dan akantosis pada stratum spinosum, infiltrasi leukosit (abses Munro),
papilomatosis, dan vasodilatasi di subepidermis.

VII. DIAGNOSIS BANDING


 Dermatitis Kontak
 Tinea korporis et manum
 Parapsoriasis
VIII. DIAGNOSIS KERJA
Psoriasis Vulgaris

IX. PENATALAKSANAAN
a. Non-medika mentosa
 Memberikan edukasi kepada pasien mengenai penyakit yang
diderita serta pengobatannya

5
 Memotivasi pasien untuk rutin kontrol
 Memberikan edukasi kepada pasien agar tidak membiarkan
pasien menggaruk kulit.
 Memberikan edukasi agar pasien menjaga kelembaban
kulitnya.
 Memberikan edukasi kepada pasien agar pasien menggunakan
pakaian yang menyerap keringat dan tidak ketat
b. Medikamentosa
- Cetirizine 1x 10 mg

- Topikal dibuat dalam sedian salep


o Keratolitik : Asam salisilat 3% krim
o Vaseline alba sebagai pelembab
o Hidrokortison 1%

X. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1 Definisi
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin,
Ausplitz, dan Kobner. Psoriasis juga disebut psoriasis vulgaris berarti psoriasis
yang biasa, karena ada psoriasis lain, misalnya psoriasis pustulosa.1

2.2 Epidemiologi
Kasus psoriasis makin sering dijumpai. Meskipun penyakit ini tidak
menyebabkan kematian, tetapi menyebabkan gangguan kosmetik, terlebih-lebih
mengingat bahwa perjalannya menahun dan residif.1 Onset usia pada psoriasis
tipe dini dengan puncak usia 22,5 tahun (pada anak, usia onset rata-rata 8 tahun).
Untuk tipe lambat, muncul pada usia 55 tahun. Onset dini memprediksikan derajat
penyakit dan penyakit yang menahun, dan biasanya disertai riwayat psoriasis pada
keluarga. Tidak terdapat perbedaan insidens antara pria dan wanita.2 Psoriasis
mempengaruhi 1,5 – 2% populasi dari negara barat. Di Amerika Serikat, terdapat
3 sampai 5 juta orang menderita psoriasis. Kebanyakan dari mereka menderita
psoriasis lokal, tetapi sekitar 300.000 orang menderita psoriasis generalisata.2
Prevalensi psoriasis lebih tinggi pada populasi Eropa Utara, secara spesifik pada
Skandinavia. Sebaliknya, psoriasis lebih jarang terjadi pada populasi dengan kulit
hitam. Secara spesifik, terdapat beberapa studi yang dipublikasi mengenai
psoriasis di penduduk asli Amerika, Amerika Selatan dan populasi Amerika Latin.
Juga tercatat sejumlah grup kecil dari populasi yang terisolasi di India, Jepang,
dan Afrika, studi besar dari prevalensi psoriasis berdasarkan perbedaan warna
kulit belum dilaporkan. Tabel 2.1 menyimpulkan data terbatas yang tersedia.2

7
Tabel 2.1 Prevalensi psoriasis di antara beberapa etnik

2.3 Etiopatogenesis
Untuk beberapa dekade, psoriasis merupakan penyakit yang ditandai
dengan terjadinya hiperplasia sel epidermis dan inflamasi dermis. Karakteristik
tambahan berdasarkan perubahan histopatologi yang ditemukan pada plak
psoriatik dan data laboratorium yang menjelaskan siklus sel dan waktu transit sel
pada epidermis. Epidermis pada plak psoriasis menebal dan hiperplastik, dan
terdapat maturasi inkomplit sel epidermal di atas area sel germinatif. Replikasi
yang cepat dari sel germinatif sangat mudah dikenali, dan terdapat pengurangan
waktu untuk transit sel melalui sel epidermis yang tebal. Abnormalitas pada
vaskularisasi kutaneus ditandai dengan peningkatan jumlah mediator inflamasi,

8
yaitu limfosit, polimorfonuklear, leukosit, dan makrofag, terakumulasi di antara
dermis dan epidermis. Sel-sel tersebut dapat menginduksi perubahan pada struktur
dermis baik stadium insial maupun stadium lanjut penyakit.2 Faktor genetik
berperan. Bila orangtuanya tidak menderita psoriasis, risiko psoriasis 12%,
sedangkan jika salah seorang orangtuanya menderita psoriasis risikonya
mencapai 34 – 39%.
Berdasarkan awitan penyakit dikenal dua tipe: psoriasis tipe I dengan
awitan dini bersifat familial, psoriasis tipe II dengan awitan lambat bersifat
nonfamilial. Hal lain yang menyokong adanya faktor genetik ialah bahwa
psoriasis berkaitan dengan HLA. Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13,
B17, Bw57, dan Cw6. Psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA-B27 dan Cw2,
sedangkan psoriasis pustulosa berkorelasi dengan HLA-B27.1 Faktor imunologik,
juga berperan. Defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan pada salah satu
dari tiga jenis sel, yakni limfosit T, sel penyaji antigen (dermal), atau keratinosit.
Keratinosit psoriasis matang umumnya penuh dengan sebukan limfosit T pada
dermis yang terutama terdiri atas limfosit T CD4 dengan sedikit sebukan
limfositik dalam epidermis. Sedangkan lesi baru umumnya lebih banyak
didominasi oleh limfosit T CD 8. Pada lesi psoriasis terdapat sekitar 17 sitokin
yang produksinya bertambah. Sel Langerhans juga berperan pada
imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya proliferasi epidermis diawali dengan
adanya pergerakan antigen, baik eksogen maupun endogen oleh sel Langerhans.
Pada psoriasis pembentukan epidermis lebih cepat, hanya 3 – 4 hari, sedangkan
kulit normal lamanya 27 hari.1
Berbagai faktor pencetus pada psoriasis yang disebut dalam kepustakaan,
di antaranya stres psikis, infeksi fokal, trauma (fenomena kobner), endokrin,
gangguan metabolik, obat, juga alkohol dan merokok. Stres psikis merupakan
faktor pencetus utama. Infeksi fokal mempunyai hubungan erat dengan salah satu
bentuk psoriasis ialah psoriasis gutata, sedangkan hubungannya dengan psoriasis
vulgaris tidak jelas. Pernah dilaporkan kasus-kasus psoriasis gutata yang sembuh
setelah diadakan tonsilektomia. Umumnya infeksi disebabkan oleh Streptococcus.
Faktor endokrin rupanya mempengaruhi perjalanan penyakit. Puncak insiden

9
psoriasis pada waktu pubertas dan menopause. Pada waktu kehamilan umumnya
membaik, sedangkan pada masa pascapartus memburuk. Gangguan metabolisme,
contohnya hipokalsemia dan dialisis telah dilaporkan sebagai faktor pencetus.4
Ada beberapa faktor predisposisi yang dapat menimbulkan penyakit ini,
yaitu:4
- Faktor herediter bersifat dominan otosomal dengan penetrasi tidak lengkap.
- Faktor- faktor psikis, seperti stres dan gangguan emosis. Penelitian menyebutkan
bahwa 68% penderita psoriasis menyatakan stress, dan kegelisahan menyebabkan
penyakitnya lebih berat dan hebat.
- Infeksi fokal. Infeksi menahun di daerah hidung dan telinga, tuberkulosis paru,
dermatomikosis, arthritis dan radang menahun ginjal.
- Penyakit metabolik, seperti diabetes mellitus yang laten.
- Gangguan pencernaan, seperti obstipasi.
- Faktor cuaca. Beberapa kasus menunjukkan tendensi untuk menyembuh pada
musim panas, sedangkan pada musim penghujan akan kambuh dan lebih hebat.

2.4 Gejala Klinis


Keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali pada psoriasis yang menjadi
eritroderma. Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada
scalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor
terutama siku serta lutut, dan daerah lumbosakral.2
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi dengan
skuama di atasnya. Eritema sirkumsrip dan merata tetapi pada stadium
penyembuhan sering eritema yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di
pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta
transparan. Besar kelainan bervariasi: lentikular, nummular atau plakat, dapat
berkonfluensi, jika seluruhnya atau sebagian besar lentikular disebut psoriasis
gutata, biasanya pada anak-anak dan dewasa muda dan terjadi setelah infeksi akut
oleh Streptococcus.1
Lesi primer pada pasien psoriasis dengan kulit yang cerah adalah merah, papul
dan berkembang menjadi kemerahan, plak yang berbatas tegas (Gambar 2.2

10
sampai dengan 2.4). Lokasi plak pada umumnya terdapat pada siku, lutut, skalp,
umbilikus, dan intergluteal.2
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner
(isomorfik). Kedua yang disebut lebih dahulu dianggap khas, sedangkan yang
terakhir tak khas, hanya kira-kira 47% yang positif dan didapati pula pada
penyakit lain, misalnya liken planus dan veruka plana juvenilis.1 Fenomena
tetesan lilin adalah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada goresan,
seperti lilin yang digores, disebabkan oleh berubahnya indeks bias. Cara
menggores dapat dengan pinggir gelas alas. Pada fenomena Auspitz tampak
serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis. Cara
mengerjakannya demikian: skuama yang berlapis-lapis itu dikerok, misalnya
dengan pinggir gelas alas. Setelah skuamanya habis, maka pengerokan harus
dilakukan perlahan-lahan, jika terlalu dalam tidak akan tampak perdarahan yang
berbintik-bintik melainkan perdarahan yang merata. Trauma pada kulit penderita
psoriasis, misalnya garukan, dapat menyebabkan kelainan yang sama dengan
psoriasis dan disebut fenomen kobner yang timbul kira-kira setelah 3 minggu.1
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku, yakni sebanyak kira-kira
50% , yang agak khas ialah yang disebut pitting nail atau nail pit berupa lekukan-
lekukan miliar. Kelainan yang tak khas ialah kuku yang keruh, tebal, bagian
distalnya terangkat karena terdapat lapisan tanduk di bawahnya (hiperkeratosis
subungual), dan onikolisis.1

Pada psoriasis terdapat berbagai bentuk klinis, yaitu:1


1. Psoriasis Vulgaris
Bentuk ini ialah yang lazim terdapat karena itu disebut vulgaris,
dinamakan pula tipe plak karena lesi-lesinya umumnya berbentuk plak.1

11
2. Psoriasis Gutata
Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbulnya mendadak
dan diseminata, umumnya setelah infeksi Streptococcus di saluran napas bagian
atas sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa muda. Selain
itu juga dapat timbul setelah infeksi yang lain baik bakterial maupun viral.1 Pada
pasien dengan kulit yang gelap, lesi predominan ungu dan abu-abu (gambar
2.11).2

3. Psoriasis Inversa (Psoriasis Fleksural)

12
Psoriasis tersebut mempunyai tempat predileksi pada daerah fleksor sesuai
dengan namanya.1

4. Psoriasis Eksudativa
Bentuk tersebut sangat jarang. Biasanya kelainan psoriasis kering, tetapi
pada bentuk ini kelainannya eksudatif seperti dermatitis akut.1

5. Psoriasis Seboroik (Seboriasis)


Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara psoriasis
dan dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi agak berminyak
dan agak lunak. Selain berlokasi pada tempat yang lazim, juga terdapat pada
tempat seboroik.1

6. Psoriasis Pustulosa
Ada 2 pendapat mengenai psoriasis pustulosa, pertama dianggap sebagai
penyakit tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis. Terdapat 2 bentuk
psoriasis pustulosa, bentuk lokalisata, dan generalisata. Bentuk lokalisata,
contohnya psoriasis pustulosa palmoplantar (Barber). Sedangkan bentuk
generalisata, contohnya psoriasis pustulosa generalisata akut (Von Zumbusch).1

13
Psoriasis pustulosa palmoplantar bersifat kronik dan residif, mengenai telapak
tangan atau telapak kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompok-
kelompok pustule kecil steril dan dalam, di atas kulit yang eritematosa, disertai
rasa gatal (gambar 2.13).1,5

Psoriasis pustulata generalisata akut (von Zumbusch) dapat ditimbulkan


oleh berbagai faktor provokatif, misalnya obat yang tersering karena penghentian
kortikosteroid sistemik. Obat lain contohnya, penisilin dan derivatnya, serta
antibiotik betalaktam yang lain, hidroklorokuin, kalium iodide, morfin,
sulfapiridin, sulfonamide, kodein, fenilbutason, dan salisilat. Faktor lain selain
obat ialah hipokalsemia, sinar matahari, alkohol, stres emosional, serta infeksi
bakterial dan virus. Penyakit ini dapat timbul pada penderita yang sedang atau
telah mendapat psoriasis. Dapat pula muncul pada penderita yang belum pernah
menderita psoriasis.1 Gejala awalnya ialah kulit nyeri, hiperalgesia disertai gejala
umum berupa demam, malese, nausea, anoreksia. Plak psoriasis yang telah ada
makin eritematosa. Setelah beberapa jam timbul banyak plak edematosa dan
eritematosa pada kulit yang normal. Dalam beberapa jam timbul banyak pustul
miliar pada plak-plak tersebut. Dalam sehari pustul-pustul berkonfluensi
membentuk lake of pus berukuran beberapa cm.1 Pustul besar spongioform terjadi

14
akibat migrasi neutrofil ke atas stratum malphigi, di mana neutrofil ini beragregasi
di antara keratinosit yang menipis dan berdegenerasi.3 Kelainan-kelainan
semacam itu akan terus menerus dan dapat menjadi eritroderma. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leukositosis, kultur pus dari pustul steril.1

7. Eritroderma Psoriatik
Eritroderma psoriatik dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang
terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas
untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama tebal
universal. Ada kalanya lesi psoriasis masih tampak samar-samar, yakni
eritematosa dan kulitnya lebih meninggi.1 Manifestasi klinis tipe ini, difus,
eritema generalis dan sisik yang meluas. Kulit merasa hangat dan aliran darah
kutaneus
meningkat.2

2.5 Histopatologi
Psoriasis memberi gambaran histopatologik yang khas, yakni parakeratosis
dan akantosis. Pada stratum spinosum terdapat kelompok leukosit yang disebut
pula abses Munro. Selain itu terdapat pula papilomatosis dan vasodilatasi di
subepidermis.1 Aktivitas mitosis sel epidermis tampak begitu tinggi, sehingga
pematangan keratinisasi sel-sel epidermis terlalu cepat dan stratum korneum
tampak menebal. Di dalam sel-sel tanduk ini masih ditemukan inti sel
(parakeratosis). Di dalam stratum korneum dapat ditemukan kantong-kantong
kecil yang berisikan sel radang polimorfonuklear yang dikenal sebagai mikro
abses Munro. Pada puncak papil dermis didapati pelebaran pembuluh darah kecil
yang disertai oleh sebukan sel radang limfosit dan monosit.4

2.6 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan meliputi pemeriksaan bidang dermatopatologi, serologi dan
kultur. Pada pemeriksaan dermatopatologi dapat ditemukan penebalan lapisan
epidermis (akantosis), dan penipisan epidermis pada bagian pemanjangan papilla

15
dermal, peningkatan mitosis sel keratinosit, fibroblast dan endothelial, parakerotik
hiperkeratosis, serta inflamasi sel dermis (limfosit dan monosit) dan epidermis
(limfosit dan polimorfonuklear), membentuk mikroabses Munro pada stratum
korneum.3 Pemeriksaan serologi dapat ditemukan titer antistreptolisin pada
psoriasis gutata akut dengan infeksi streptokokus yang mendahuluinya. Onset
mendadak dari psoriasis dapat berhubungan dengan infeksi HIV. Penentuan status
serologi HIV hanya diindikasikan pada pasien dengan risiko tinggi. Asam urat
serum meningkat pada 50% pasien, biasanya berkolerasi denan penyebaran
penyakit yang dapat menyebabkan artritis gout. Penurunan kadar asam urat
menunjukkan efektivitas terapi. Pemeriksaan kultur diambil dari tenggorokan
untuk mengetahui infeksi Streptococcus group A-β hemolitikus.3

2.7 Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis berupa papul dan plak
eritematosa khas dengan skuama tebal berwarna perak pada tempat-tempat yang
klasik. Pada kasus psoriasis gutata dapat ditemukan riwayat infeksi tenggorokan
karena streptokokus; riwayat psoriasis pada keluarga juga membantu, khususnya
bila lesi awal yang ditemukan. Cari lekukan kuku sebagai temuan tambahan.
Kadang-kadang diperlukan biopsi untuk membedakan penyakit ini dari penyakit
papuloskuamosa lainnya. Ambil spesimen biopsi dari lesi yang belum diobati dan
yang paling berkembang.4

2.8 Diagnosis Banding


Jika gambaran klinisnya khas, tidaklah sukar membuat diagnosis. Kalau
tidak khas, maka harus dibedakan dengan beberapa penyakit lain yang tergolong
dermatosis eritroskuamosa.1 Pada diagnosis banding hendaknya selalu diingat,
bahwa psoriasis terdapat tanda-tanda yang khas, yakni skuama kasar, transparan
serta berlapis-lapis, fenomena tetesan lilin, dan fenomena Auspitz.1 Pada stadium
penyembuhan telah dijelaskan, bahwa eritema dapat terjadi hanya di pinggir
hingga menyerupai dermatofitosis. Perbedaannya ialah keluhan pada
dermatofitosis gatal sekali dan pada sediaan langsung ditemukan jamur. 1 Sifilis

16
stadium II dapat menyerupai psoriasis dan disebut sifilis psoriasiformis. Penyakit
tersebut sekarang jarang terdapat, perbedaannya pada sifilis terdapat sanggama
tersangka, pembesaran kelenjar getah bening menyeluruh, dan tes serologik untuk
sifilis (T.S.S) positif.1 Dermatitis seboroik berbeda dengan psoriasis karena
skuamanya berminyak dan kekuningan dan bertempat predileksi pada tempat
yang seboroik.1 Psoriasis gutata akut didiagnosis banding dengan erupsi obat
makulopapular, sifilis sekunder dan pityriasis rosea. Plak dengan sisik kecil
didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik, likenplanus kronis simpleks,
tinea korporis, dan mikosis fungoides. Psoriasis dengan plak luas didiagnosis
banding dengan tinea korporis dan mikosis fungoides. Psoriasis pada daerah scalp
didiagnosis banding dengan tinea kapitis dan dermatitis seboroik. Psoriasis
inverse didiagnosis banding dengan tinea, kandidiasis, intertrigo, penyakit Paget
ekstramammae. Psoriasis pada kuku didiagnosis banding dengan onikomikosis.3
2.9 Pengobatan
Dalam kepustakaan terdapat banyak cara pengobatan. Pada pengobatan
psoriasis gutata yang biasanya disebabkan oleh infeksi di tempat lain, setelah
infeksi tersebut diobati umumnya psoriasis akan sembuh sendiri.1,6
1. Topikal
 Preparat Ter

Obat topikal yang biasa digunakan adalah preparat ter, yang


efeknya adalah anti radang. Menurut asalnya preparat ter dibagi menjadi 3,
yakni yang berasal dari:1
- Fosil, misalnya iktiol.
- Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski.
- Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens
Preparat ter yang berasal dari fosil biasanya kurang efektif untuk psoriasis,
yang cukup efektif ialah yang berasal dari batubara dan kayu. Ter dari
batubara lebih efektif daripada ter berasal dari kayu, sebaliknya
kemungkinan memberikan iritasi juga besar.1 Pada psoriasis yang telah
menahun lebih baik digunakan ter yang berasal dari batubara, karena ter

17
tesbut lebih efektif daripada ter yang berasal dari kayu dan pada psoriasis
yang menahun kemungkinan timbulnya iritasi kecil. Sebaliknya pada
psoriasis akut dipilih ter dari kayu, karena jika dipakai ter dari batu bara
dikuatirkan akan terjadi iritasi dan menjadi eritroderma.1 Ter yang berasal
dari kayu kurang nyaman bagi penderita karena berbau kurang sedap dan
berwarna coklat kehitaman. Sedangkan likuor karbonis detergens tidak
demikian.1 Konsentrasi yang biasa digunakan 2 – 5%, dimulai dengan
konsentrasi rendah, jika tidak ada perbaikan konsentrasi dinaikkan. Supaya
lebih efektif, maka daya penetrasi harus dipertinggi dengan cara
menambahkan asam salisilat dengan konsentrasi 3 – 5 %. Sebagai
vehikulum harus digunakan salap.1
 Kortikosteroid

Kortikosteroid topikal memberi hasil yag baik. Potensi dan


vehikulum bergantung pada lokasinya.1 Pada skalp, muka dan daerah
lipatan digunakan krim, di tempat lain digunakan salap. Pada daerah muka,
lipatan dan genitalia eksterna dipilih potensi sedang, bila digunakan
potensi kuat pada muka dapat memberik efek samping diantaranya
teleangiektasis, sedangkan di lipatan berupa strie atrofikans. Pada batang
tubuh dan ekstremitas digunakan salap dengan potensi kuat atau sangat
kuat bergantung pada lama penyakit. Jika telah terjadi perbaikan
potensinya dan frekuensinya dikurangi.1

 Ditranol (Antralin)

Obat ini dikatakan efektif. Kekurangannya adalah mewarnai kulit


dan pakaian. Konsentrasi yang digunakan biasanya 0,2-0,8 % dalam pasta,
salep, atau krim. Lama pemakaian hanya ¼ – ½ jam sehari sekali untuk
mencegah iritasi. Penyembuhan dalam 3 minggu.1
 Calcipotriol

Calcipotriol ialah sintetik vitamin D. Preparatnya berupa salep atau


krim 50 mg/g. Perbaikan setelah satu minggu. Efektivitas salep ini sedikit

18
lebih baik daripada salep betametason 17-valerat. Efek sampingnya pada 4
– 20% berupa iritasi, yakni rasa terbakar dan tersengat, dapat pula telihat
eritema dan skuamasi. Rasa tersebut akan hilang setelah beberapa hari
obat dihentikan.1
 Tazaroten

Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, efeknya


menghambat proliferasi dan normalisasi petanda differensiasi keratinosit
dan menghambat petanda proinflamasi pada sel radang yang menginfiltrasi
kulit. Tersedia dalam bentuk gel, dan krim dengan konsentrasi 0,05% dan
0,1%. Bila dikombinasikan dengan steroid topikal potensi sedang dan kuat
akan mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi. Efek sampingnya
ialah iritasi berupa gatal, rasa terbakar, dan eritema pada 30 % kasus, juga
bersifat fotosensitif.1
 Emolien

Efek emolien ialah melembutkan permukaan kulit. Pada batang


tubuh (selain lipatan), ekstremitas atas dan bawah biasanya digunakan
salep dengan bahan dasar vaselin 1-2 kali/hari, fungsinya juga sebagai
emolien dengan akibat meninggikan daya penetrasi bahan aktif. Jadi
emolien sendiri tidak mempunyai efek antipsoriasis.1
 Fototerapi

Seperti diketahui sinar ultraviolet mempunyai efek menghambat


mitosis, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis. Cara yang
terbaik ialah penyinaran secara alamiah, tetapi sayang tidak dapat diukur
dan jika berlebihan akan memperberat psoriasis. Karena itu digunakan
sinar ultraviolet artifisial, diantaranya sinar A yang dikenal dengan UVA.
Sinar tersebut dapat digunakan secara tersendiri atau berkombinasi dengan
psoralen (8-metoksipsoralen, metoksalen) dan disebut PUVA, atau
bersama-sama dengan preparat ter yang dikenal sebagai pengobatan cara
Goeckerman.1 Dapat juga digunakan UVB untuk pengobatan psoriasis tipe
plak, gutata, pustular, dan eritroderma.

19
2. Sistemik
 Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat mengontrol psoriasis. Dimulai dengan


prednisone dosis rendah 30-60 mg, atau steroid lain dengan dosis ekivalen.
Setelah membaik, dosis diturunkan perlahan-lahan, kemudian diberi dosis
pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak akan menyebabkan
kekambuhan dan dapat terjadi Psoriasis Pustulosa Generalisata.1

 Sitostatik

Obat sitostatik yang biasa digunakan ialah metotreksat (MTX).


Indikasinya ialah untuk psoriasis, Psoriasis Pustulosa, Psoriasis Artritis
dengan lesi kulit, dan Psoriasis Eritroderma yang sukar terkontrol dengan
obat standar.1 Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim
dihidrofolat reduktase, sehingga menghambat sintesis timidilat dan purin.
Obat ini menunjukkan
hambatan replikasi dan fungsi sel T dan mungkin juga sel B karena adanya
efek hambatan sintesis.5 Kontraindikasinya ialah kelainan hepar, ginjal,
sistem hematopoetik, kehamilan, penyakit infeksi aktif (misalnya
tuberculosis, ulkus peptikum, colitis ulserosa, dan psikosis).1
Efek samping metotreksat berupa nyeri kepala, alopesia, kerusakan
kromosom, aktivasi tuberkulosis, nefrotoksik, juga terhadap saluran cerna,
sumsum tulang belakang, hepar, dan lien. Pada saluran cerna berupa
nausea, nyeri lambung, stomatitis ulserosa, dan diare. Jika hebat dapat
terjadi enteritis hemoragik dan perforasi intestinal. Sumsum tulang
berakibat timbulnya leukopenia, trombositopenia, kadang-kadang anemia.
Pada hepar dapat terjadi fibrosis portal dan sirosis hepatik. 2
 DDS

20
DDS (diaminodifenilsulfon) dipakai sebagai pengobatan Psoriasis
Pustulosa tipe Barber dengan dosis 2×100 mg/hari. Efek sampingnya ialah
anemia hemolitik, methemoglobinemia, dan agranulositosis.1
 Etretinat (tegison, tigason)

Etretinat merupakan retinoid aromatik, derivat vitamin A


digunakan bagi psoriasis yang sukar disembuhkan dengan obat-obat lain
mengingat efek sampingnya. Etretinat efektif untuk psoriasis pustular dan
dapat pula digunakan untuk psoriasis eritroderma. Pada psoriasis obat
tersebut mengurangi proliferasi sel epidermal pada lesi psoriasis dan kulit
normal.1 Dosisnya bervariasi : pada bulan pertama diberikan
1mg/kgbb/hari, jika belum terjadi perbaikan dosis dapat dinaikkan menjadi
1½ mg/kgbb/hari.1 Efek sampingnya berupa kulit menipis dan kering,
selaput lendir pada mulut, mata, dan hidung kering, kerontokan rambut,
cheilitis, pruritus, nyeri tulang dan persendian, peninggian lipid darah,
gangguan fungsi hepar, hiperostosis, dan teratogenik. Kehamilan
hendaknya tidak terjadi sebelum 2 tahun setelah obat dihentikan.7

 Siklosporin

Siklosporin berikatan dengan siklofilin selanjutnya menghambat


kalsineurin. Kalsineurin adalah enzim fosfatase dependent kalsium dan
memegang peranan kunci dalam defosforilasi protein regulator di sitosol,
yaitu NFATc (Nuclear Factor of Activated T Cell). Setelah mengalami
defosforilasi, NFATc ini mengalami translokasi ke dalam nukleus untuk
mengaktifkan gen yang bertanggung jawab dalam sintesis sitokin,
terutama IL-2. Siklosporin juga mengurangi produksi IL-2 dengan cara
meningkatkan ekspresi TGF-β yang merupakan penghambat kuat aktivasi
limfosit T oleh IL-2. Meningkatnya ekspresi TGF-β diduga memegang
peranan penting pada efek imunosupresan siklosporin.5 Efeknya ialah
imunosupresif. Dosisnya 1-4 mg/kgbb/hari. Bersifat nefrotoksik dan

21
hepatotoksik. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah obat
dihentikan dapat terjadi kekambuhan. 1
 Antibodimonoklonal dan Protein Fusi

Beberapa protein, ditargetkan secara spesifik pada reseptor yang


berhubungan pada sel T atau sitokin, sudah dibuktikan dan sedang
dikembangkan. Terapi ini harus dikerjakan oleh spesialis dermatologi yang
familiar dengan dosis, interaksi obat dan efek samping jangka pendek
maupun jangka panjang.3 Alefacept adalah protein fusi antigen
berhubungan dengan human lymphocyte function (LFA)-3-IgG1 yang
mencegah interaksi LFA 3 dan CD2. CD2 mengatur memori efektor sel T
(CD45Ro), yang menjelaskan deplesi sel oleh Alefacept. Obat ini
diberikan intramuscular satu kali dalam seminggu, tetapi lebih dari
sepertiga pasien tidak memberikan respons dengan alasan yang tidak
diketahui. Pemberian secara berulang dapat meningkatkan respons dan
dapat memungkinkan remisi jangka panjang.3 Efalizumab adalah antibodi
monoclonal humanized anti CD1 yang menghambat interaksi LFI-1
dengan molekul adhesi intrasel ligan. Obat ini diberikan subkutan satu kali
dalam seminggu dan memiliki efektivitas tinggi, tetapi beberapa pasien
menunjukkan eksaserbasi dari penyakit.3 Antagonis Tumor necrosis
factor (TNF) α yang efektif terhadap psoriasis adalah infliximab,
adalimumab, dan etanercept. Infliximab adalah antibodi monoclonal
dengan spesifitas, afinitas, dan aviditas tinggi untuk TNF α. Obat ini
diberikan secara infus intravena pada minggu 0, 2 dan 6 dan memiliki
efektivitas tinggi pada psoriasis (meskipun untuk saat ini hanya FDA yang
mengizinkan untuk arthritis psoriasis). Adalimumab juga sangat efektif.
Adalimumab merupakan antibodi monoclonal rekombinan manusia
(human recombinant monoclonal antibody) yang memiliki target spesifik
pada TNF α. Obat ini diberikan secara subkutan setiap minggu dan
memiliki efektivitas serupa dengan infliximab. Etanercept merupakan
human recombinant, melarutkan reseptor TNF α yang mengikat TNF α

22
dan menetralkan aktivitasnya. Obat ini diberikan secara subkutan dua kali
seminggu dan kurang efektif dibandingkan infliximab dan adalimumab
tetapi sangat efektif pada arthritis psoriasis.3
 Levodopa

Levodopa sebenarnya dipakai untuk penyakit Parkinson. Di antara


penderita Parkinson yang sekaligus juga menderita psoriasis ada yang
membaik psoriasisnya dengan pengobatan levodopa. Menurut uji coba
yang dilakukan, obat ini berhasil menyembuhkan kira-kira sejumlah 40%
kasus psoriasis. Dosisnya antara 2 x 250 mg – 3 x 500 mg. Efek
sampingya berupa mual, muntah, anoreksia, hipotensi, gangguan psikis
dan gangguan pada jantung. 2
3. Edukasi Pasien
Edukasi pada pasien yang dapat diberikan antara lain:6
- Jelaskan bahwa tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan penyakit bukan
untuk menyembuhkan.
- Beritahu pasien tentang peran stress dalam menyebabkan psoriasis. Bicarakan
masalah gaya hidup (seperti olah raga, menghindari alcohol yang berlebihan) dan
pengenalan stress.
- Jelaskan bahwa penambahan secara bertahap dan berhati-hati paparan sinar
matahari dapat membantu mengendalikan penyakit, tetapi tekankan untuk
menghindari sengatan sinar matahari. Gunakan tabir surya pada daerah-daerah
yang tidak terkena penyakit tetapi terpapar sinar matahari (misalnya wajah).
- Ajari pasien untuk menghentikan obat-obat topikal bila daerah yang terkena
telah sembuh dan alihkan ke obat berpotensi terendah yang masih dapat
mengendalikan timbulnya lesi baru.

2.10 Prognosis
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, tetapi psoriasis bersifat
1
kronis dan residif. Psoriasis gutata akut timbul cepat. Terkadang tipe ini
menghilang secara spontan dalam beberapa minggu tanpa terapi. Seringkali,

23
psoriasis tipe ini berkembang menjadi psoriasis plak kronis. Penyakit ini bersifat
stabil, dan dapat remisi setelah beberapa bulan atau tahun, dan dapat saja rekurens
sewaktu-waktu seumur hidup. 3
Pada psoriasis tipe pustular, dapat bertahan beberapa tahun dan ditandai
dengan remisi dan eksaserbasi yang tidak dapat dijelaskan. Psoriasis vulgaris juga
dapat berkembang menjadi psoriasis tipe ini. Pasien dengan psoriasis pustulosa
generalisata sering dibawa ke dalam ruang gawat darurat dan harus dianggap
sebagai bakteremia sebelum terbukti kultur darah menunjukkan negatif. Relaps
dan remisi dapat terjadi dalam periode bertahun-tahun. 3

24
BAB IV
KESIMPULAN

Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan


residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan.1 Faktor predisposisi yang dapat
menimbulkan psoriasis adalah faktor herediter, faktor psikis, infeksi fokal,
penyakit metabolik, gangguan pencernaan, dan faktor cuaca.4 Psoriasis dapat
digolongkan berdasarkan bentuk kliniknya menjadi psoriasis vulgaris, psoriasis
gutata, psoriasis inversa, psoriasis eksudativa, psoriasis seboroik, psoriasis
pustulosa, dan eritroderma psoriatik. Pada pemeriksaan dapat ditemukan disertai
fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner.1 Pemeriksaan meliputi pemeriksaan
bidang dermatopatologi, serologi dan kultur.3 Pemberian terapi dapat berupa
topikal, oral, maupun fototerapi. Meskipun psoriasis tidak menyebabkan
kematian, namun bersifat kronis dan residif.1

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda Adni, Hamzah Mochtar, Aisah Siti. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Ed 6. Jakarta:FKUI,2013.
2. Androphy EJ, Lowy DR. 2008. Warts in Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Ed 7th Ed Vol 2. USA:Mc Graw Hill Companies.
Hal 1914-1922
3. Handoko RP, 2010. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Ed 6. Jakarta:FKUI:110-118.
4. Klaus Wolff, Richard Allen Johnson, Dick Suurmond. in Fitzpatrick’s
Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology: McGraw-Hill’s
Access Medicine: 2007
5. Siregar R.S. Psoriasis. Dalam Harahap M. Ilmu penyakit kulit. Jakarta:
Hipokrates;2000.h.116,9.
6. Nafrialdi, Gan S. Antikanker. Dalam Gan S., Setiabudy R., Nafrialdi,
Editors. Farmakologi dan terapi. Edisi kelima. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2007.h.761,4.
7. Goldenstein B., Goldenstein A. Psoriasis. Dalam Goldenstein B.,
Goldenstein A., Melfiawaty., Pendit B.U., Editors. Dermatologi
Praktis. Jakarta: Hipokrates;2001.h.187.
8. Gulliver W. long-term prognosis in patients with psoriasis. British
Journal Dermatology. 2008;159(suppl 2);2-9
9. Gefland JM, Metha NN, Langan SM. Psoriasis and cardiovascular risk:
Strength in numbers Part II. J Invest Dermatorl. 2011;131:1007-1010.
10. Sagi L, Trau H. The Koebner Phenomenon. Clin Dermatol J.
2011;29(1):231-236.
1.

26

Anda mungkin juga menyukai