LABIOPALATOSCHISIS
DAFTAR ISI
BAB I
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama: Anak Z
Jenis Kelamin: Perempuan
Usia: 1 tahun
Agama: Islam
No. Rekam Medis: 92-94-xx
2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu dan bapak pasien.
a. Keluhan Utama
Celah pada langit-langit mulut sejak lahir.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan celah pada langit-langit mulut yang ada sejak lahir.
Sebelumnya celah disertai dengan bibir sumbing pada bagian kanan dan kiri bibir
atas namun sudah dilakukan tindakan operasi pada usia 3 bulan untuk menutup
bibir sumbing. Riwayat infeksi telinga atau keluar cairan pada telinga disangkal
namun pasien sering tersedak saat makan. Pasien bisa berbicara namun sulit
mengucapkan kata-kata yang terdapat huruf konsonan (seperti mama dan papa
menjadi “hau-hau”).
f. Riwayat Pengobatan
Tidak ada obat-obatan yang rutin dikonsumsi
j. Riwayat Persalinan
Pasien dilahirkan pada usia gestasi 38 - 39 minggu secara Sectio Caesarea dengan
berat badan lahir 3200 gram dan panjang lahir 49 cm. Ibu pasien lupa akan ukuran
lingkar kepala pasien
k. Gizi Anak
Pasien diberikan ASI dari usia 0-4 bulan menggunakan botol khusus. ASI diganti
menjadi susu formula pada saat pasien berusia 4 bulan dan diberikan menggunakan
botol khusus juga. Pasien mulai MPASI di usia 6 bulan. Saat ini pasien mulai
mengonsumsi makanan keluarga namun yang masih dicincang/gerus kasar. Pasien
diberi makan besar sebanyak 3 kali sehari dengan snack 2 kali sehari.
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Tampak sakit
ringan GCS: E4M6V5 (Compos
Mentis)
HR: 116
RR: 24
Suhu: 36
BB: 9,5 kg
TB: 68 cm
BMI: 20,5
BB/A: Berat badan sesuai dengan usia
BB/TB: Overweight
BMI/Age: Overweight
Mata Conjunctiva anemis -/-, Sclera Icteric -/-, Mata cekung -/-
Mulut Bibir sumbing (-), celah pada palatum durum hingga palatum
molle, uvula tidak intak, tidak terlihat adanya gigi (Gambar
1.1)
Differential Count
Basophil 0 % 0-1
Eosinophil 5 % 1-3
Limfosit 56 % 25-40
Monosit 8 % 2-8
INR 1
5. Diagnosis
Labiognatopalatoschizis bilateral post labioplasty
6. Tatalaksana Operatif
a. Laporan Operasi:
- Asepsis dan Antisepsis
- Dipasang mouth retractor
- Injeksi
- Elevasi flap mukoperiosteal
- Kontrol perdarahan
- Flap dibebaskan ke medial
- Jahit mukosa nasal, otot, dan mukosa oral dengan Vicryl 4.0
- Cuci NaCl 0.9%
- Raw surface ditutup dengan spongostal (lateral)
- Mouth retractor dilepas
- Operasi selesai
b. Diagnosis Operatif:
i. Pre-operatif : Labiognatopalatoschizis bilateral pasca labioplasty
ii. Post-operatif: Labiognatopalatoschizis bilateral pasca labioplasty &
palatoplasty
8. Edukasi
Edukasi Diet Post Palatoplasty
Makanan dan minuman tidak boleh menggunakan sedotan/botol. Harus menggunakan
sendok/langsung dari gelas. Pasien tidak boleh memasukan tangan ke dalam mulut.
Setelah makan/minum susu harus dibilas dengan air putih. Makanan yang boleh
dikonsumsi adalah sebagai berikut:
- Konsumsi air putih dingin selama 6 jam pertama post operasi
- Konsumsi susu hangat 24 jam pasca operasi
- Konsumsi bubur susu 48 jam pasca operasi
- Konsumsi bubur encer dan dua telur pada hari ke 5-10 post operasi
- Konsumsi bubur dan dua telur 10-20 hari post operasi
- Konsumsi nasi tim dengan 3 telur/ikan/daging cincang 3 minggu setelah operasi
- Setelah 1 bulan setelah operasi sudah boleh mengkonsumsi nasi biasa
9. Follow Up
S Pasien post palatoplasty. Pasien rewel, dapat mengeluarkan suara, mulut tertutup
verban, jahitan masih keluar darah
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-)
Mulut : Simetris (+), sianosis (-), terpasang kassa di mulut darah (+)
Telinga : sekret (-)
P IV D5 ¼ NS 40ml/jam
Paracetamol syrup 3x120mg PO
Amoxicillin syrup 3x125mg PO
S Pasien post palatoplasty. Pasien tidak ada keluhan. BAB dan BAK dalam batas normal.
HR :
110x/menit RR :
22x/menit
Suhu : 37,5 C
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-)
Mulut : Simetris (+), sianosis (-), terpasang kassa di mulut darah (-)
Telinga : sekret (-)
P IV D5 ¼ NS 40ml/jam
Paracetamol syrup 3x120mg PO
Amoxicillin syrup 3x125mg PO
BAB II
DASAR TEORI
1. Anatomi
1.1 Anatomi
Anatomi yang berkaitan dengan sumbing bibir atau sumbing langit-langit mulut
adalah anatomi bibir, hidung, serta palatum. Pada bibir, terdiri dari bagian-bagian anatomi
seperti yang dijelaskan pada gambar 2.1. Philtral columns (A) merupakan garis semu
vertical berpasangan diatas bibir, yang dibentuk oleh otot obricularis oris. Cupid’s bow
(B) merupakan dua bagian yang menonjol pada bagian tengah bibir. White roll (D)
merupakan tepi kulit kutaneus, pada perbatasan vermilion. Vermilion (E) adalah membran
mukosa terkeratinisasi pada bibir luar yang terdiri dari epitel gepeng berlapis, kaya akan
vaskularisasi, tidak berambut, dikenal juga sebagai “dry vermilion”. Tubercle (F) adalah
bagian tengah yang menonjol pada vermilion. Philtral groove atau dimple (G) merupakan
cekungan di bagian tengah di antara philtral columns, pada bagian ini terdiri dari lebih
sedikit serat otot.1
Mulut atau oral cavity dibatasi oleh batas superior, inferior, posterior dan anterior. Batas
Anterior rongga mulut dibatasi vestibule, batas posterior mulut dibatasi oleh oropharynx, dasar
mulut dibatasi oleh m. mylohyoideus, m. geniohyoideus dan lidah; sedangkan batas superior mulut
dibatasi oleh palatum.1
M. mylohyoideus membentang dari os mandibula hingga os hyoideum dan terdapat dua
pasang. M. geniohyoideus terletak superior terhadap m. mylohyoideus dan membentang dari os
mandibula hingga os hyoideum juga. Lalu superior terhadap M. geniohyoideus terdapat lidah.1
Palatum primer termasuk arkus alveolar. Palatum sekunder termasuk palatum durum (hard
palate) dan palatum molle (soft palate). Keduanya dipisahkan oleh incisive foramen. Palatum
memisahkan rongga mulut dengan rongga hidung. Palatum durum terdiri atas tulang yakni
processus palatinus os maxilla (Palatine Process of Maxilla Bone) dan horizontal plate dari os
palatinum. Processus palatinus os maxilla membentuk ¾ anterior palatum durum sedangkan ¼
posterior terbentuk atas horizontal plate dari os palatinum.1
Levator veli Pars petrous Aspek Mengelevasi palatum molle CN.X, CN.IX
palatini os temporal superior dari
palatine
aponeurosis
Palatum diperdarahi oleh arteri palatina major, arteri palatina ascendens dan cabang
palatine artery pharyngeal ascendens. Arteri palatina major merupakan percabangan dari A.
maksilaris yang masuk ke dalam fossa pterygopalatine. A. palatina major masuk ke dalam palatine
canal dan bercabang menjadi A. palatina minora dan masuk ke foramen palatina major.
Sedangkan
A. palatina major akan menyusuri palatum durum, masuk ke fossa inscisiva dan bergerak ke
daerah medial cavum nasi.
Gambar 2.5 Anatomi palatum normal dan cleft palate
2. Labiopalatoschisis
2.1. Definsi
Labioschisis secara definisi merupakan kegagalan penyatuan prosesus frontonasal
dan maksila, yang mengakibatkan celah bervariasi pada bibir, alveolus, dan dasar
hidung (labioschisis tidak lengkap tidak meliputi dasar hidung, sedangkan celah
lengkap meliputi defek antara alar dasar dan labial medial).3
Palatoschisis merupakan kegagalan penyatuan palatum lateral (palatal
shelves) dan prosesus rahang atas, menghasilkan celah pada palatum keras
dan/atau lunak.3 Labioschisis dan palatoschisis dapat terjadi bersamaan, atau
keduanya secara bersamaan yang disebut labiopalatoschisis. Labiopalatoschisis
merupakan salah satu gangguan kongenital yang paling umum ditemui pada regio
mulut dan wajah dan dapat terjadi bersamaan dengan penyakit kongenital lain
membentuk sebuah sindrom.4
2.2. Etiologi
Etiologi dari labiopalatoschisis dipengaruhi baik secara genetik dan non genetik.
Etiologi non-genetik secara umum dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti
merokok, mengonsumsi alkohol, dan hal lainnya. Berikut beberapa etiologi yang
dapat menyebabkan labiopalatoschisis :
● Non-genetik :
Etiologi non-genetik meliputi faktor lingkungan atau teratogenik yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya labioschisis atau palatoschisis. Salah satu etiologi
lingkungan yang paling umum adalah merokok. Terdapat penelitian yang
menyebutkan bahwa ibu yang merokok dan memiliki riwayat genetik
labiopalatoschisis dapat meningkatkan risiko terjadinya labiopalatoschisis sebesar
7 kali lipat.5 Selain merokok, konsumsi alkohol dalam jumlah besar juga
meningkatkan risiko terjadinya labiopalatoschisis. Jumlah alkohol yang
dikonsumsi akan berbanding lurus dengan peningkatan risiko terjadinya
labiopalatoschisis pada kandungan, pada sebuah penelitian disebutkan bahwa
wanita hamil yang mengonsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko
labiopalatoschisis sebesar 1.5 sampai 4.7 kali lipat.5 Terdapat juga faktor eksternal
lainnya yang dapat meningkatkan risiko terjadinya labiopalatoschisis seperti
konsumsi obat fenitoin, metotreksat, topiramat, defisiensi asam folat, ibu
terdiagnosa diabetes melitus, ataupun usia ketika mengandung.6
● Genetik :
Faktor genetik merupakan salah satu etiologi yang cukup banyak diteliti sebagai
penyebab dari labiopalatoschisis, terdapat beberapa penelitian yang menyebutkan
bahwa anak kembar monozigotik memiliki risiko labiopalatoschisis lebih tinggi
dibandingkan dengan kembar dizigotik. Etiologi genetik secara umum dapat dibagi
menjadi dua golongan besar yaitu sindromik dan non-sindromik :
● Sindromik : defek labiopalatoschisis yang disertai dengan defek /
malformasi lainnya. Sebagian besar etiologi genetik sindromik terjadi
mengikuti transmisi sesuai dengan hukum Mendel. Contoh etiologi
sindromik 7,8 :
Tabel 2.2. Contoh Etiologi Genetik Sindromik
Perkembangan bibir dan palatum terjadi pada usia gestasi yang berbeda, hal
ini yang menyebabkan dapat terjadinya labioschisis atau palatoschisis secara
mandiri. Terjadinya labioschisis diakibatkan dari defek kongenital yang terjadi
pada usia gestasi minggu ke-4 sampai 6, sedangkan palatoschisis dapat terjadi jika
terdapat defek kongenital pada usia gestasi minggu ke-6 sampai 12. 7,12 Asam folat
juga dikatakan memiliki peran dalam migrasi dari ektoderm yang memiliki
pengaruh terhadap pembentukan bibir dan palatum beserta dengan neural tube
lainnya.10
2.4. Manifestasi Klinis
Abnormalitas stuktur pada wajah dan kavitas oral ini secara umum dibagi menjadi
3 kelompok dengan beberapa variasi fenotip: (a) sumbing langit-langit mulut (cleft
palate/CP); (b) sumbing bibir unilateral atau bilateral dengan atau tanpa alveolus
langit-langit mulut; dan (c) sumbing bibir dan langit-langit mulut unilateral atau
bilateral (cleft lip palate/CLP). Sumbing bibir dikategorikan lagi menjadi komplit
atau inkomplit, tergantung dengan derajat ekstensi sumbing melalui bibir hingga
hidung.13
Gambar 2.10 Tipe-tipe sumbing: a) Normal; b) Sumbing langit-langit mulut;
c) Sumbing bibir unilateral dan alveolus; d) Sumbing bibir dan alveolus bilateral;
e) sumbing bibir unilateral dan langit-langit mulut;
f) Sumbing bibir dan langit-langit mulut bilateral.13
Gambar 2.11 Sumbing bibir komplit dan inkomplit, unilateral dan bilateral
Gambar 2.12 Sumbing bibir unilateral: a) Microform; b) Inkomplit; c) Komplit
Bentuk sumbing orofacial yang lebih jarang seperti oblique facial cleft, median
cleft lip dan defek nasal, median mandibular cleft, dan unilateral macrostomia
membutuhkan tim perawat craniofacial yang terspesialisasi.
Gambar 2.15 Tipe sumbing bibir: a) unilateral; b) bilateral; c) oblique facial cleft;
d) median cleft lip dan defek nasal; e) median mandibular cleft;
f) unilateral macrostomia.7
2.5 Diagnosis
Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik bisa membantu penegakan diagnosis.
Dari anamnesis bisa pemeriksa bisa mengetahui status kesehatan anak secara
umum, masalah kesehatan spesifik pada anak, deteksi potensi komorbiditas pada
pasien, serta riwayat penyakit pada pasien dan keluarga. Pemeriksaan fisik secara
komprehensif bisa dilakukan seperti yang tertera pada tabel 2.2.
Tabel 2.3 Pemeriksaan fisik pada anak dengan sumbing.16
Mayoritas anak dengan sumbing bibir dan langit-langit mulut tidak membutuhkan
pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan radiologi, selain dengan pemeriksaan
darah lengkap (Hb/Hct, WBC, platelet) dan parameter koagulasi (PTT, PT, INR).
Pemeriksaan penunjang spesifik lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi dan
kecurigaan terhadap suatu komorbiditas atau sindrom pada masing-masing pasien,
seperti evaluasi metabolik dan fungsi endokrin (elektrolit, glukosa, kortisol,
thyroid). Pemeriksaan radiologi tidak diharuskan pada pasien sumbing yang sehat.
Anomali jantung kongenital dilaporkan ditemukan pada 3-16% anak dengan
sumbing. Perlu pemeriksaan lebih lanjut seperti echocardiogram pada pasien
tersebut. Pada tempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, bisa melakukan
pemeriksaan menggunakan oksimetri untuk mengecek hipoksemia, dimana
mengindikasikan adanya anomali jantung.
Pemeriksaan fisik dan penunjang yang lengkap selain menegakan diagnosis
juga berguna untuk mengkonfirmasi adanya komorbiditas, serta sebagai persiapan
pre-operasi, berhubungan dengan persiapan anestesi pasien.
3. Tatalaksana
Perawatan anak dengan labioschisis dan palatoschisis memerlukan rencana
perawatan yang komprehensif mulai dari diagnosis awal pada masa bayi hingga
penyelesaian rekonstruksi pada masa remaja. Seorang anak dengan celah maxillofacial
memerlukan beberapa tindakan operatif sejalan ia tumbuh kembang. Secara umum, tujuan
pengobatan adalah untuk meminimalkan jumlah operasi sambil mencapai prognosis
terbaik.17
Karena perawatan optimal paling baik dicapai dengan berbagai jenis keahlian
klinis, tim dapat terdiri dari individu dalam: (1) spesialisasi gigi (ortodontik, bedah mulut,
kedokteran gigi anak, dan prostodontik), (2) spesialisasi medis (genetika, otolaringologi,
pediatri, bedah plastik, dan psikiatri), dan (3) bidang perawatan kesehatan yang terkait
(audiologi, keperawatan, psikologi, pekerja sosial, dan speech pathologist).14
3.2.1 Labioplasty
Perbaikan labioschisis tidak dianggap sebagai keadaan gawat darurat. Sehingga
waktu operasi dapat ditunggu hingga saat yang optimal, dapat digambarkan sebagai “Rule
of tens” yang terdiri dari berat badan 10 lb (4.5 kg), usia 10 minggu, dan hemoglobin 10
g/dL. Dalam beberapa kasus di mana terdapat distorsi alveolus, seperti labioschisis
bilateral berat dengan penonjolan pada premaksila, Presurgical Infant Orthopedics dapat
diindikasikan.20
Perbaikan labioschisis diperumit oleh distorsi beberapa struktur anatomi, yang
dapat terjadi dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Tantangan rekonstruksi dapat
berbeda seperti presentasi pasien dari celah: unilateral versus bilateral, celah sempit versus
celah lebar, pasien sindrom versus pasien non-sindrom. Setiap pasien menghadirkan
tantangan baru bagi ahli bedah yang mencoba memperbaiki celah. Namun, tujuan
pembedahan tetap sama: mengatasi deformitas fungsional dan kosmetik bibir sumbing.
Untuk mencapai tujuan tersebut, perbaikan harus mencakup penciptaan bibir atas yang
utuh dan berukuran tepat untuk mengkompensasi hilangnya ketinggian philtrum pada sisi
sumbing, perbaikan struktur otot yang mendasari untuk kompetensi dan fungsi oral yang
normal, dan perbaikan primer. deformitas hidung.2
3.2.1.1. Rotation advancement cleft lip repair
Rotation advancement cleft lip repair, atau yang sering disebut dengan
prosedur Millard, merupakan teknik perbaikan yang paling umum dilakukan saat
ini. Hampir tidak ada jaringan yang terbuang, perbaikan dengan prosedur Millard
didasarkan pada rotasi flap pada sisi celah medial ditambah dengan flap lanjutan
pada celah sisi lateral.21
Prosedur Millard memiliki keuntungan menciptakan proyeksi bibir yang
baik dengan menciptakan ketegangan dibawah ambang hidung daripada di
sepanjang perbatasan vermilion. Namun kelemahan dari prosedur ini adalah bahwa
bibir akan menjadi lebih pendek setelah penyembuhan selesai. Namun revisi dapat
dilakukan untuk memperbaiki masalah ini dan revisi pada prosedur ini jauh lebih
mudah dibandingkan dengan prosedur Tennison.17
Gambar 2.24 Furlow double opposing Z-Palatoplasty. (A) Penandaan dari insisi z-plasti
dan insisi kendur. Pada celah palatum yang besar, insisi kendur dibuat di sebelah anterior
dari tepi celah sebagai palatoplasti dua flap. (B) Elevasi dari flap oral. Layer oral terdiri
dari flap muskulmukosal pada sisi kiri dan hanya flap mukosa di sisi kanan. Otot diangkat
sebagai dasar flap posterior. Insisi yang mirip juga ditandai berkebalikan dengan layer
nasal. (D) Flap nasal muskulomukosal pada sisi kanan dibawa melewati celah. (D) Hasil
tampak akhir layer oral yang ditutup oleh z-plasti.25
3.3.2. Palatoplasti
Setelah operasi pasien harus dipantau hingga pasien sadar dan sudah
dipastikan dapat makan. Pemberian makan dalam bentuk cairan direkomendasikan
untuk diberikan 3-4 jam setelah anestesi, penggunaan sendok untuk membantu
memberikan makanan direkomendasikan pada 24 jam pertama. Hindari pemberian
makanan dengan botol dengan dot untuk menghindari resiko perdarahan dan
aspirasi. Demam umum terjadi dalam 24 jam pertama setelah operasi dan
umumnya dapat sembuh dengan sendirinya penggunaan parasetamol dapat
diberikan apabila terjadi.16
3.4. Komplikasi16
Komplikasi yang dapat muncul akibat perbaikan dari CL/P yaitu :
a. Infeksi pada luka operasi : komplikasi ini dapat dihindari dengan perawatan
luka yang baik dan pemberian antibiotik oral.
b. Abses jahitan : Muncul akibat benang di bagian subkutan tidak terabsorpsi
dengan baik dan dapat ditangani dengan perawatan luka jika terjadi.
c. Wound dehiscence / luka terbuka
d. Hypertrophic scar
e. Infeksi nasal
f. Stenosis nasal
g. Oronasal fistula : Terjadi pada daerah anterior palatum durum dan
perbatasan antara palatum durum - molle. Insidensinya 2% - 57% setelah
dilakukan perbaikan primer dari CP.
h. Disfungsi velopharyngeal
4. Speech Therapy
Bahkan setelah palatoplasty, beberapa anak tetap tidak dapat menciptakan tekanan
intraoral yang memadai untuk berbicara normal. Masalah apa pun dengan kemampuan
anak untuk memisahkan hidung dari mulut saat berbicara disebut disfungsi
velopharyngeal (VPD). Beberapa jenis VPD dapat diobati dengan terapi wicara saja, dan
jenis VPD lainnya memerlukan pembedahan atau prostesis. Terapi bicara mulai
diperlukan setelah operasi palatoplasty yakni pada usia 2-4 tahun untuk melatih bicara
benar dan meminimalkan timbulnya suara sengau. Setelah operasi masih dapat terjadi
suara sengau karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, karena ada
mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila setelah
palatoplasty dan speech terapi masih didapatkan suara sengau maka dilakukan
pharyngoplasty untuk memperkecil suara nasal (nasal escape) biasanya dilakukan pada
usia 4-6 tahun.26
Untuk pasien yang berusia di bawah 3 tahun, tujuan utama dari terapi bicara adalah
memastikan perkembangan keterampilan bahasa yang sesuai dengan usia. Dengan
demikian, orang tua diberi konseling tentang stimulasi bahasa di rumah, dan intervensi
formal diterapkan, jika diperlukan. Pada tahap ini, orang tua diminta untuk fokus pada
“kuantitas” komunikasi (misalnya, jumlah kata yang dipahami, jumlah kata yang
diucapkan, dan jumlah kata yang disatukan dalam sebuah kalimat). Setelah usia 3 tahun,
fokus manajemen komunikasi bergeser ke "kualitas" komunikasi (misalnya, produksi
suara ucapan, suara, dan resonansi). Pada saat ini, anak sudah cukup besar untuk
kooperatif baik untuk penilaian perseptual dan instrumental dari fungsi velopharyngeal,
dan jalan napas biasanya cukup besar untuk operasi VPD, jika diperlukan. Apabila operasi
VPD atau fistula simptomatik tidak dapat dilakukan, prosthesis dapat digunakan sebagai
salah satu pilihan untuk membantu dalam membantu terapi bicara, alat yang dapat
digunakan yaitu : palatal obturator, palatal lift, speech bulb obturator.16
5. Edukasi
Orang tua sebaiknya diedukasi bahwa cleft lip dan cleft palate adalah kelainan
bawaan yang terbentuk selama perkembangan awal janin. Meskipun mutasi genetik yang
menyebabkan kelain tidak dapat dicegah, ibu hamil dapat mengambil beberapa langkah
untuk mengurangi risiko untuk mencegah paparan lingkungan yang dapat meningkatkan
risiko memiliki anak yang lahir dengan labioschizis maupun palatoschizis. Orang tua
disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan genetik jika memiliki riwayat keluarga
dengan cleft lip atau cleft palate. Sebelum ibu hamil juga harus dipastikan bahwa
imunisasi ibu sudah diperbarui. Selama kehamilan risiko infeksi harus dikurangkan karena
beberapa infeksi pada trimester pertama dapat dihubungkan dengan terbentuknya cleft lip
atau cleft palate. Ibu hamil juga disarankan untuk tidak merokok, merokok pasif dan tidak
konsumsi obat-obatan sembarangan karena dapat bersifat teratogenik.
American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa semua wanita usia
reproduktif mengkonsumsi 0,4 g (400 mcg) asam folat setiap hari untuk mencegah 2 cacat
lahir yang umum dan berat (spina bifida dan anencephaly) menurut US Public Health
Service dan Centers for Disease Control dan Pencegahan. Suplementasi asam folat
prakonsepsi mungkin juga memiliki efek perlindungan terhadap beberapa jenis CL/P.
Saat perawatan antenatal juga penting dilakukan pemeriksaan USG untuk menilai
kelainan kraniofasial dan deteksi dini cleft lip. Saat ini, cleft palate hanya dapat terdeteksi
setelah bayi lahir. Deteksi dini kelainan kraniofasial memungkinkan orang tua dan dokter
perawatan primer mereka untuk mempersiapkan perawatan masa depan anak, termasuk
membentuk tim multidisiplin dari berbagai spesialisasi untuk menyusun rencana
komprehensif.27
Saat bayi lahir, perlu diperhatikan bahwa bayi dengan CL/CP mungkin tidak dapat
menyusui dengan normal karena kekurangan kemampuannya untuk menghisap secara
baik. Proses pemberian makanan dapat dibantu dengan penggunaan cleft feeder, seperti
dot dan botol khusus. Beberapa bayi mungkin tidak memiliki energi untuk mengisap dari
dot, sehingga orang tua dapat menyusui anak menggunakan cangkir dengan sendok. Saat
pemberian minum, beberapa hal harus diperhatikan:
● Saat menyusui, posisi bayi sebaiknya tetap tegak. Dengan posisi tegak, susu akan
keluar dari hidung akibat gravitasi dan bayi tidak akan tersedak.
● Puting diarahkan ke bagian atap mulut yang tidak memiliki celah.
● Bayi harus mengembangkan pola mengisap dan menelan yang konsisten.
Perhatikan satu sampai 3 hisapan diikuti oleh menelan dan kemudian napas.
● Tepuk punggung bayi sesering mungkin agar bayi sendawa, kurang lebih setiap
50-100 cc. Hal ini penting karena bayi dapat menelan lebih banyak udara karena
daya hisap yang lemah.
● Awalnya, beri makan bayi setiap 2 hingga 3 jam, siang dan malam, dengan total 8
hingga 10 kali menyusui dalam periode 24 jam.
● Pemberian minum harus berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Pada awalnya, bayi
mungkin membutuhkan lebih banyak waktu, tetapi seiring berjalannya waktu,
kemampuan menyusui bayi akan lebih baik. Saat kemampuan tersebut membaik,
waktu menyusui harus lebih singkat.
Tumbuh kembang anak juga harus diperhatikan secara teliti karena bayi yang lahir
dengan CL/P harus memiliki pertambahan berat badan dan pertumbuhan yang sama
dibandingkan dengan bayi yang lahir tanpa CL/P. Jika terdapat keterlambatan
perkembangan pada anak harus dipertimbangkan adanya sindrom tertentu.
Selain masalah tumbuh kembang, anak-anak dengan cleft palate lebih sering
mengalami disfungsi tuba Eustachius, infeksi telinga tengah, masalah bicara terkait
sumbing, dan membutuhkan perawatan ortodontik dan pembedahan mulut. Anak-anak
dengan hanya celah palate juga mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk memiliki
sindrom tertentu dibandingkan dengan anak-anak dengan cleft lip dengan atau tanpa cleft
palate.
Orang tua juga harus diberitahu bahwa anak-anak dengan CL/P sering
membutuhkan operasi sekunder, termasuk operasi untuk memperbaiki alat bicara, operasi
pada hidung dan operasi pada rahang. Setelah operasi rekonstruksi primer, orang tua harus
memperhatikan agar anak mengkonsumsi diet cair, tekstur dapat ditingkatkan dalam
waktu beberapa minggu sampai anak dapat mengkonsumsi diet padat. Jahitan operasi
dijaga agar tetap bersih dan hidrasi dengan memberi anak minum air putih setelah setiap
kali makan. Anak juga harus diposisikan dalam posisi prone atau lateral untuk mencegah
aspirasi. Orang tua perlu diberitahu tentang salivasi berlebihan yang terjadi setelah
palatoplasty. Air liur campur dengan darah dapat menambah kekhawatiran perawat pasien
karena mereka akan menganggap semua cairan adalah darah. Menggunakan kasa atau kain
untuk menyeka pendarahan dapat menyebabkan kerusakan lebih banyak atau menyebab
infeksi
pada lokasi operasi. Perawatan terbaik pada saat itu adalah menjaga pasien dalam posisi
lateral/prone dan meminta tenaga kesehatan (dokter/perawat) untuk memeriksa apakah ada
perdarahan. Perhatikan juga agar anak tidak memasukan tangan maupun benda asing
seperti mainan ke dalam mulut.28
Meskipun operasi adalah tindakan penting, anak-anak dengan CL/P membutuhkan
perhatian yang dekat dan berkelanjutan untuk menjaga kesehatan mulut, melatih
kemampuan bicara, melatih pendengaran, pertumbuhan dan perkembangan. Kesehatan
mulut yang baik dan akses ke perawatan gigi dan ortodontik profesional secara teratur
merupakan komponen penting dari perawatan untuk anak-anak dengan CL/P.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Pasien di diagnosa labiognatopalatoschizis bilateral. Saat ini keluhan yang dialami pasien adalah
langit-langit mulut yang tidak menyatu, namun pasien memiliki riwayat bibir sumbing yang sudah
dilakukan tindakan operasi pada saat usia 3 bulan. Keluhan yang dialami pasien dialami sejak
setelah lahir. Selain itu keluhan disertai dengan riwayat tersedak makanan dan sulit mengeluarkan
kata-kata dengan huruf konsonan seperti “mama”/”papa” menjadi “hau-hau”.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan celah pada palatum durum hingga palatum molle yang
disertai dengan uvula yang tidak intak dan tidak terlihat adanya gigi. Jika menurut klasifikasi The
Veau System, bentuk sumbing pasien masuk kedalam klasifikasi Veau Class IV karena pasien
mengalami labioschisis pada bibir kanan maupun kiri ditambah dengan adanya palatoschisis dan
gnatoschisis. Labiopalatoschizis pada pasien ini bukan merupakan bagian dari penyakit
sindromik. Hal ini dikarenakan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya fitur-fitur
sindromik lainnya seperti pada kelainan kongenital yang lain.
Berat badan pasien saat ini adalah 9,5 kg dengan panjang badan 68 cm. Buku kontrol
pasien tidak dibawa namun berdasarkan anamnesis bahwa pertumbuhan pasien sesuai dengan
kurva. Salah satu masalah yang dialami pasien dengan labiognatopalatoschizis adalah malnutrisi.
Hal ini dikarenakan berkurangnya kemampuan pasien saat menghisap akibat adanya celah di
antara cavum nasi dan cavum oral. Pada pemeriksaan antropometri pasien, temuan tidak selaras
dengan yang didapatkan pada anamnesis. Karena pasien berusia 1 tahun, kurva WHO digunakan.
Berat badan pasien sesuai dengan usia, akan tetapi perawakan pasien pendek. Status gizi pasien
juga overweight pada kurva WHO BMI/Age. Perawakan menilai status gizi kronik pasien.
Pada anamnesis, ditemukan bahwa pasien menggunakan botol khusus saat mengkonsumsi
ASI maupun susu formula. Walaupun pasien telah menggunakan botol khusus untuk
mengonsumsi ASI maupun susu formula, teknik menyusui dengan botol dot bisa saja belum
benar. Status gizi overweight dapat berat badan pasien sesuai dengan usia namun perawakan
pasien pendek.
Selain gangguan nutrisi, labiognatopalatoschizis juga dapat mengganggu kemampuan
anak berbicara. Retardasi suara konsonan (p, b, t, d, k, g) adalah penemuan klinis paling sering
ditemui. Pasien mengalami hal tersebut dimana pasien sudah mulai bisa berbicara kata “mama”
“papa” namun tidak sempurna (menjadi “hau-hau”). Hal ini dikarenakan dengan adanya
palatoschisis, lidah tidak dapat menempel ke palatum dan membuat tekanan negatif intraoral dan
mengeluarkan suara konsonan tersebut. Penelitian menunjukan bahwa anak-anak dengan
labiognatopalatoschizis memiliki keterlambatan dalam mengucapkan kata-kata dengan konsonan.
Labioplasty diputuskan untuk dilakukan pada usia 3 bulan karena berdasarkan rekam
medis, di usia tersebut pasien sudah memenuhi kriteria “Rule of ten”. Selain sudah mencapai usia
10 minggu, berat badan pasien sudah mencapai 4,8 kg (+/- 10 pounds) dengan hemoglobin 11
g/dl. Labioplasty direkomendasikan untuk dilakukan di kisaran usia 2-6 bulan dengan catatan rule
of ten lainnya juga terpenuhi.
Beberapa faktor resiko mendasari terjadinya labiopalatoschizis. Antara lain adalah
kurangnya suplementasi asam folat, merokok dan kehamilan pada usia 39 tahun. Pada anamnesis
ditemukan bahwa ibu pasien mengkonsumsi suplemen asam folat 1-2 bulan sebelum hamil dan
selama kehamilan. Riwayat merokok selama kehamilan disangkal. Sehingga kehamilan pada usia
39 tahun merupakan faktor resiko terjadinya labiopalatoschizis.
Alasan pada pasien ini dilakukan tindakan palatoplasty adalah palatoschisis pada pasien
dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti terganggunya asupan nutrisi pasien dan
menyebabkan pertumbuhan pasien terganggu, meningkatkan risiko infeksi pada telinga dan
gangguan berbahasa.
Tindakan palatoplasty pada pasien ini dilakukan pada usia tepat 12 bulan hal ini sesuai
dengan usia yang direkomendasikan. Beberapa sumber menyatakan bahwa palatoplasty dapat
dilakukan pada usia 10 bulan atau bisa menunggu hingga mencapai 24 bulan. Tindakan
palatoplasty dilakukan sebelum usia 24 bulan karena pada usia tersebut anak sudah mulai
memahami kata-kata dan mulai merangkai kalimat-kalimat pendek. Namun hingga saat ini masih
belum ada konsensus apakah pasien dengan cleft palate harus menjalani operasi lebih awal atau
ditunda. Palatoplasty tidak disarankan untuk dilakukan sebelum lebih dini karena dapat
menyebabkan midface hipoplasia.29
Tindakan labioplasty pada pasien ini menggunakan teknik two-flap palatoplasty karena
pada teknik ini menjaga persambungan komponen-komponen lateral dari otot-otot tensor dengan
hamulus sehingga menjaga tegangan otot untuk fungsi tuba eustachius yang normal.30
Setelah dilakukannya tindakan palatoplasty, follow up dilakukan. Komplikasi palatoplasty
mencakup airway obstruction. Pada follow up tanda-tanda airway obstruction perlu dievaluasi
seperti: adanya gargle, pasien tidak dapat berbicara, terdapat stridor dan terdapat retraksi dada.
Selama follow up dilakukan tidak terlihat adanya tanda-tanda airway obstruction. Saat follow up
pasien dapat mengeluarkan suara tanpa adanya gargle. Tidak terlihat adanya retraksi dada maupun
stridor.
Salah satu hal yang perlu dikomunikasikan setelah operasi adalah diet pasien. Pada pasien
ini diet yang diinstruksikan adalah
- Konsumsi air dingin 6 jam setelah operasi.
- Konsumsi susu hangat setelah 24 jam pasca operasi
- Konsumsi bubur susu 48 jam pasca operasi
- Konsumsi bubur encer dan dua telur pada hari ke 5-10 post operasi
- Konsumsi bubur dan dua telur 10-20 hari post operasi
- Konsumsi nasi tim dengan 3 telur/ikan/daging cincang 3 minggu setelah operasi
- Setelah 1 bulan setelah operasi sudah boleh mengkonsumsi nasi biasa
Pemberian minuman/makanan tidak boleh menggunakan sedotan ataupun botol. Mulut harus
dibilas dengan air setelah makan ataupun minum.
Pasien pasca palatoplasty boleh diberikan minuman setelah efek anestesi reda. Hal ini
dikarenakan proses menghisap tidak akan merenggangkan jahitan palatoplasty. Akan tetapi perlu
diperhatikan jenis minuman yang diberikan. Pada 24 jam pertama minuman yang diberikan tidak
boleh panas dan memiliki konsistensi lengket. Hal tersebut cocok dengan yang direkomendasikan
pada pasien ini yakni air putih dingin.28
Namun demikian penggunaan sedotan maupun botol dot tidak disarankan karena dapat
menyebabkan nyeri saat tersenggol oleh jahitan palatum. Seiring berjalannya waktu, makanan
berubah menjadi lebih padat dari biasanya dan melibatkan pemberian protein. Diet tinggi protein
diberikan karena peran protein yang sangat baik pada proses wound healing. Tangan tidak boleh
dimasukan ke dalam mulut dan mulut harus dibilas dengan air setelah minum maupun makan. Hal
ini untuk menjaga higienitas rongga mulut.31
Gambar 3.1 Timeline Tatalaksana Labiopalatoschisis
Namun demikian, tatalaksana labiognatopalatoschizis tidak berhenti disitu. Pada pasien ini
beberapa tindakan dan tatalaksana harus dilakukan guna meningkatkan kualitas hidup dan fungsi
mulut pasien. Akan tetapi, tatalaksana tersebut harus dilakukan pada usia yang sesuai. Setelah
dilakukan palatoplasti, pasien disarankan untuk melakukan speech therapy dan rutin ke dokter
gigi setelah gigi pertama tumbuh. Pasien dengan labiopalatoschizis memiliki resiko yang lebih
tinggi untuk mengalami karies akibat hipoplasia email gigi, sehingga kontrol rutin ke dokter gigi
dengan kekerapan 3-6 bulan sekali sangat disarankan.
Selain speech therapy, kemampuan berbicara pasien harus dipantau sampai setidaknya
usia 5 tahun. Walaupun telah dilakukan palatoplasty, kemungkinan Velopharyngeal Insufficiency
masih dapat terjadi. Velopharyngeal Insufficiency merupakan keadaan dimana palatum molle
tidak menutup secara sempurna ke belakang dinding pharynx saat berbicara. Hal ini menyebabkan
suara pasien menjadi sengau. Tindakan pembedahan speech surgery harus dilakukan jika
velopharyngeal insufficiency terjadi. Selain itu tindakan alveolar bone graft untuk menutup
gnatoschizis dapat dilakukan di usia 6-11 tahun.13
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosowski TR, Weathers WM, Wolfswinkel EM, Ridgway EB. Cleft palate. Semin Plast
Surg. 2012 Nov;26(4):164-9.
2. Shkoukani MA, Chen M, Vong A. Cleft lip–a comprehensive review. Frontiers in
pediatrics. 2013 Dec 27;1:53.
3. Semer NB, Adler-Lavan M. Practical plastic surgery for nonsurgeons. Philadelphia:
Hanley & Belfus; 2001 Feb.
4. Bishara SE, Saunders WB. Textbook of orthodontics. Saunders Book Company; 2001 Mar
21.
5. Kohli SS, Kohli VS. A comprehensive review of the genetic basis of cleft lip and palate.
Journal of oral and maxillofacial pathology: JOMFP. 2012 Jan;16(1):64.
6. Alois CI, Ruotolo RA. An overview of cleft lip and palate. Journal of the American
Academy of PAs. 2020 Dec 1;33(12):17-20.
7. Lakhanpal M, Gupta N, Rao NC, Vashisth S. Genetics of cleft lip and palate-is it still
patchy. JSM Dent. 2014;2:1-4.
8. Bille C, Skytthe A, Vach W, Knudsen LB, Andersen AM, Murray JC, Christensen K.
Parent’s age and the risk of oral clefts. Epidemiology (Cambridge, Mass.). 2005
May;16(3):311.
9. Bernheim N, Georges M, Malevez C, De Mey A, Mansbach A. Embryology and
epidemiology of cleft lip and palate. B ENT. 2006 Jan 1:11.
10. Lalwani AK. Current diagnosis & treatment in otolaryngology: head & neck surgery.
Univerza v Ljubljani, Medicinska fakulteta; 2012.
11. Hopper RA. Cleft lip and palate: embryology, principles, and treatment. Grabb and
Smith’s Plastic Surgery. 7th ed. Lippincot Williams & Wilkins. 2014:173-99.
12. Berkowitz S, editor. Cleft lip and palate: Diagnosis and management. Springer Science &
Business Media; 2006 May 20.
13. Lewis CW, Jacob LS, Lehmann CU. The primary care pediatrician and the care of
children with cleft lip and/or cleft palate. Pediatrics. 2017 May 1;139(5).
14. Vyas T, Gupta P, Kumar S, Gupta R, Gupta T, Singh HP. Cleft of lip and palate: A
review. J Family Med Prim Care. 2020 Jun 30;9(6):2621-2625
15. Goswami M, Jangra B, Bhushan U. Management of feeding problems in a patient with
cleft lip/palate. International journal of clinical pediatric dentistry. 2016 Apr;9(2):143.
16. Swanson JW, editor. Global Cleft Care in Low-Resource Settings. Springer Nature; 2021.
17. Hoffman W.Y., & Balkin D.M. (2020). Cleft lip and palate. Lalwani A.K.(Ed.), Current
Diagnosis & Treatment Otolaryngology—Head and Neck Surgery, 4e. McGraw Hill.
18. Bruce I, Harman N, Williamson P, et al. The management of Otitis Media with Effusion in
children with cleft palate (mOMEnt): a feasibility study and economic evaluation.
Southampton (UK): NIHR Journals Library; 2015 Aug. (Health Technology Assessment,
No. 19.68.) Chapter 1, Introduction.
19. Chandawarkar R.Y., & Miller M.J., & Kellogg B.C., & Schulz S.A., & Valerio I.L., &
Kirschner R.E. (2019). Plastic and reconstructive surgery. Brunicardi F, & Andersen D.K.,
& Billiar T.R., & Dunn D.L., & Kao L.S., & Hunter J.G., & Matthews J.B., & Pollock
R.E.(Eds.), Schwartz's Principles of Surgery, 11e. McGraw Hill.
20. Taylor E.M., & Chun Y.S. (2020). Plastic & reconstructive surgery. Doherty G.M.(Ed.),
Current Diagnosis & Treatment: Surgery, 15e. McGraw Hill.
21. Drake D, Colbert S. Techniques for Cleft Lip Repair. Maxillofacial Surgery. 2017;:948–71
22. Agrawal K. Cleft palate repair and variations. Indian Journal of Plastic Surgery. 2009
Oct;42(S 01):S102-9.
23. Campbell A, Costello BJ, Ruiz RL. Cleft lip and palate surgery: an update of clinical
outcomes for primary repair. Oral and Maxillofacial Surgery Clinics. 2010 Feb
1;22(1):43-58.
24. Tettamanti, L., Avantaggiato, A., Nardone, M., Silvestre-Rangil, J., & Tagliabue, A.
(2017). Cleft palate only: current concepts. ORAL & implantology, 10(1), 45–52.
25. Leow AM, Lo LJ. Palatoplasty: evolution and controversies. Chang Gung Med J. 2008 Jul
1;31(4):335-45.
26. The Center for Children with Special Needs. Cleft Lip and Palate. Critical Elements of
Care. 6th ed. Seattle, WA: Seattle Children’s Hospital; 2018
27. Allam E, Windsor L, Stone C. Cleft lip and palate: etiology, epidemiology, preventive and
intervention strategies. Anat Physiol. 2014 Jul;4(3):1-6.
28. Raghavan U, Vijayadev V, Rao D, Ullas G. Postoperative management of cleft lip and
palate surgery. Facial Plastic Surgery. 2018 Dec;34(06):605-11.
29. Chung K. Grabb and Smith's plastic surgery. Lippincott Williams & Wilkins; 2019 May 1.
30. Ziak P, Fedeles Jr J, Fekiacova D, Hulin Jr I, Fedeles J. Timing of primary lip repair in
cleft patients according to surgical treatment protocol. Bratisl Lek Listy. 2010 Jan
1;111(3):160-2.
31. Russell L. The importance of patient’s nutritional status in wound healing. Clinical.
2001;10(6).