Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KASUS

LABIOPALATOSCHISIS
DAFTAR ISI
BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama: Anak Z
Jenis Kelamin: Perempuan
Usia: 1 tahun
Agama: Islam
No. Rekam Medis: 92-94-xx

2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu dan bapak pasien.

a. Keluhan Utama
Celah pada langit-langit mulut sejak lahir.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan celah pada langit-langit mulut yang ada sejak lahir.
Sebelumnya celah disertai dengan bibir sumbing pada bagian kanan dan kiri bibir
atas namun sudah dilakukan tindakan operasi pada usia 3 bulan untuk menutup
bibir sumbing. Riwayat infeksi telinga atau keluar cairan pada telinga disangkal
namun pasien sering tersedak saat makan. Pasien bisa berbicara namun sulit
mengucapkan kata-kata yang terdapat huruf konsonan (seperti mama dan papa
menjadi “hau-hau”).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat bibir sumbing sejak lahir yang dilakukan prosedur bedah
bibir sumbing pada usia 3 bulan.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa.
e. Riwayat Operasi
Labioplasty saat anak berusia 3 bulan.

f. Riwayat Pengobatan
Tidak ada obat-obatan yang rutin dikonsumsi

g. Riwayat Kebiasaan Keluarga


Riwayat merokok disangkal oleh ibu dan bapak pasien.

h. Riwayat Sosial dan Ekonomi


Pasien tinggal di rumah bersama ibu, bapak dan kakak pasien. Ibu pasien
merupakan seorang ibu rumah tangga sedangkan bapak pasien merupakan pegawai
di perusahaan swasta.

i. Riwayat Kehamilan Ibu


Pasien merupakan anak ke 4 (P4A1). Ibu pasien hamil saat usia 39 tahun. Selama
kehamilan ibu pasien kontrol 1 bulan sekali ke bidan dan juga ke dokter
kandungan. Ibu pasien di USG 2 kali yaitu 1 kali di awal kehamilan dan 1 kali di
akhir kehamilan akan tetapi bibir sumbing tidak terlihat saat pasien melakukan
kontrol kehamilan. Ibu pasien mengonsumsi suplementasi zat besi, asam folat dan
kalsium. Asam folat juga dikonsumsi sejak 1-2 bulan sebelum ibu pasien hamil.
Selama kehamilan ibu pasien tidak merokok, mengonsumsi alkohol maupun obat-
obatan. Riwayat penggunaan krim malam juga disangkal. Riwayat perdarahan,
infeksi, tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus selama kehamilan disangkal.

j. Riwayat Persalinan
Pasien dilahirkan pada usia gestasi 38 - 39 minggu secara Sectio Caesarea dengan
berat badan lahir 3200 gram dan panjang lahir 49 cm. Ibu pasien lupa akan ukuran
lingkar kepala pasien
k. Gizi Anak
Pasien diberikan ASI dari usia 0-4 bulan menggunakan botol khusus. ASI diganti
menjadi susu formula pada saat pasien berusia 4 bulan dan diberikan menggunakan
botol khusus juga. Pasien mulai MPASI di usia 6 bulan. Saat ini pasien mulai
mengonsumsi makanan keluarga namun yang masih dicincang/gerus kasar. Pasien
diberi makan besar sebanyak 3 kali sehari dengan snack 2 kali sehari.

l. Riwayat Pertumbuhan Anak


Pasien tidak membawa buku kontrol anak akan tetapi menyatakan bahwa
pertumbuhan anak mengikuti kurva dan tidak pernah mencapai garis merah.

m. Riwayat Perkembangan Anak


- Pasien sudah bisa berbicara namun tidak bisa mengucapkan kata-katanya
dengan sempurna (papa dan mama menjadi “hau-hau”)
- Saat ini pasien sudah bisa berdiri tanpa bantuan dan berjalan.
- Pasien juga bisa mengambil barang-barang yang kecil dengan ujung jempol
dan telunjuk.

n. Status Imunisasi Anak


Status imunsisasi anak lengkap sesuai dengan vaksin yang diwajibkan oleh
pemerintah.

3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Tampak sakit
ringan GCS: E4M6V5 (Compos
Mentis)
HR: 116
RR: 24
Suhu: 36
BB: 9,5 kg
TB: 68 cm
BMI: 20,5
BB/A: Berat badan sesuai dengan usia

TB/A: Perawakan Pendek

BB/TB: Overweight
BMI/Age: Overweight
Mata Conjunctiva anemis -/-, Sclera Icteric -/-, Mata cekung -/-

Hidung Napas cuping hidung (-),

Mulut Bibir sumbing (-), celah pada palatum durum hingga palatum
molle, uvula tidak intak, tidak terlihat adanya gigi (Gambar
1.1)

Thorax Inspeksi: Perkembangan dada simetris statis dan dinamis, retraksi


interkosta (-/-), deformitas (-)
Auskultasi: Vesicular breath sound (+/+), Rhonki (-/-).
Wheezing (-/-), bunyi jantung s1 s2 reguler, murmur (-), gallop
(-).

Abdomen Inspeksi: Perut datar, luka (-)


Auskultasi: Bising usus (+) tidak meningkat
Perkusi: Timpani pada seluruh regio
abdomen Palpasi: Hepatomegali (-),
Splenomegali (-)

Ekstremitas Akral hangat (+/+), edem (-/-), CRT <2 detik

Gambar 1.1. Gambaran Palatoschisis Pasien


4. Pemeriksaan Penunjang
11/6/2021

Value Unit Reference Range

Hemoglobin 13,5 g/dl 10,8-12,8

Hematocrit 40,40 % 35-43

RBC 5,28 10^6/µl 3,80-5,20

WBC 13,02 10^3/µl 6,00-17,--

Differential Count

Basophil 0 % 0-1

Eosinophil 5 % 1-3

Neutrofil Batang 2 % 2-6

Neutrofil Segmen 29 % 50-70

Limfosit 56 % 25-40

Monosit 8 % 2-8

Platelet 221 % 150-440

ESR 25 mm/jam 0-10

MCV 76,50 fL 74-102

MCH 25,6 pg 23-31

MCHC 33,4 g/dl 28-32

Bleeding Time 1 menit 1-3


PT 10,90 detik 9,3-12,7

INR 1

aPTT 24,3 Detik 21,3-28,9

SGOT 40 U/L 0-32

SGPT 21 U/L 0-33

Ureum 22 mg/dl <50

Creatinine 0,27 mg/dl 0,5-1,1

eGFR 132,4 ml/min/1,73m2

Na 139 mmol/L 137-145

K 4,4 mmol/L 3,6-5,0

Cl 102 mmol/L 98-107

5. Diagnosis
Labiognatopalatoschizis bilateral post labioplasty

6. Tatalaksana Operatif
a. Laporan Operasi:
- Asepsis dan Antisepsis
- Dipasang mouth retractor
- Injeksi
- Elevasi flap mukoperiosteal
- Kontrol perdarahan
- Flap dibebaskan ke medial
- Jahit mukosa nasal, otot, dan mukosa oral dengan Vicryl 4.0
- Cuci NaCl 0.9%
- Raw surface ditutup dengan spongostal (lateral)
- Mouth retractor dilepas
- Operasi selesai

Gambar 1.2. Dokumentasi Intraoperatif

b. Diagnosis Operatif:
i. Pre-operatif : Labiognatopalatoschizis bilateral pasca labioplasty
ii. Post-operatif: Labiognatopalatoschizis bilateral pasca labioplasty &
palatoplasty

7. Tatalaksana Medikamentosa Post Operatif


- Amoxicillin syrup 3 x 2.5ml PO
- Paracetamol syrup 3 x 2.5ml PO

8. Edukasi
Edukasi Diet Post Palatoplasty
Makanan dan minuman tidak boleh menggunakan sedotan/botol. Harus menggunakan
sendok/langsung dari gelas. Pasien tidak boleh memasukan tangan ke dalam mulut.
Setelah makan/minum susu harus dibilas dengan air putih. Makanan yang boleh
dikonsumsi adalah sebagai berikut:
- Konsumsi air putih dingin selama 6 jam pertama post operasi
- Konsumsi susu hangat 24 jam pasca operasi
- Konsumsi bubur susu 48 jam pasca operasi
- Konsumsi bubur encer dan dua telur pada hari ke 5-10 post operasi
- Konsumsi bubur dan dua telur 10-20 hari post operasi
- Konsumsi nasi tim dengan 3 telur/ikan/daging cincang 3 minggu setelah operasi
- Setelah 1 bulan setelah operasi sudah boleh mengkonsumsi nasi biasa

9. Follow Up

Post operasi (18/6/2021)

S Pasien post palatoplasty. Pasien rewel, dapat mengeluarkan suara, mulut tertutup
verban, jahitan masih keluar darah

O KU : Tampak sakit ringan


GCS : Compos mentis E4 V5 M6
BB : 9.5kg
TB : 68cm
HR : 100x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 36 C

Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-)
Mulut : Simetris (+), sianosis (-), terpasang kassa di mulut darah (+)
Telinga : sekret (-)

Jantung : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)


Paru : Perkembangan dada simetris, retraksi intercosta -/-, VBS (+/+), retraksi (-), Rh-/-,
Wh -/-,
Abdomen : Datar, BU (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-)

A Labiognatopalatoschizis bilateral pasca labioplasty & palatoplasty

P IV D5 ¼ NS 40ml/jam
Paracetamol syrup 3x120mg PO
Amoxicillin syrup 3x125mg PO

Post operasi hari ke 2 (19/6/2021)

S Pasien post palatoplasty. Pasien tidak ada keluhan. BAB dan BAK dalam batas normal.

O KU : Tidak tampak sakit


GCS : Compos mentis E4 V5 M6
BB : 9.5kg
TB : 68cm

HR :
110x/menit RR :
22x/menit
Suhu : 37,5 C

Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-)
Mulut : Simetris (+), sianosis (-), terpasang kassa di mulut darah (-)
Telinga : sekret (-)

Jantung : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)


Paru : Paru : Perkembangan dada simetris, retraksi intercosta -/-, VBS (+/+), retraksi (-),
Rh-/-, Wh -/-,
Abdomen : Datar, BU (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-)

A Labiognatopalatoschizis bilateral pasca labioplasty & palatoplasty

P IV D5 ¼ NS 40ml/jam
Paracetamol syrup 3x120mg PO
Amoxicillin syrup 3x125mg PO
BAB II
DASAR TEORI
1. Anatomi
1.1 Anatomi
Anatomi yang berkaitan dengan sumbing bibir atau sumbing langit-langit mulut
adalah anatomi bibir, hidung, serta palatum. Pada bibir, terdiri dari bagian-bagian anatomi
seperti yang dijelaskan pada gambar 2.1. Philtral columns (A) merupakan garis semu
vertical berpasangan diatas bibir, yang dibentuk oleh otot obricularis oris. Cupid’s bow
(B) merupakan dua bagian yang menonjol pada bagian tengah bibir. White roll (D)
merupakan tepi kulit kutaneus, pada perbatasan vermilion. Vermilion (E) adalah membran
mukosa terkeratinisasi pada bibir luar yang terdiri dari epitel gepeng berlapis, kaya akan
vaskularisasi, tidak berambut, dikenal juga sebagai “dry vermilion”. Tubercle (F) adalah
bagian tengah yang menonjol pada vermilion. Philtral groove atau dimple (G) merupakan
cekungan di bagian tengah di antara philtral columns, pada bagian ini terdiri dari lebih
sedikit serat otot.1

Gambar 2.1 Anatomi bibir


Gambar 2.2 Anatomi otot di sekitar bibir

Mulut atau oral cavity dibatasi oleh batas superior, inferior, posterior dan anterior. Batas
Anterior rongga mulut dibatasi vestibule, batas posterior mulut dibatasi oleh oropharynx, dasar
mulut dibatasi oleh m. mylohyoideus, m. geniohyoideus dan lidah; sedangkan batas superior mulut
dibatasi oleh palatum.1
M. mylohyoideus membentang dari os mandibula hingga os hyoideum dan terdapat dua
pasang. M. geniohyoideus terletak superior terhadap m. mylohyoideus dan membentang dari os
mandibula hingga os hyoideum juga. Lalu superior terhadap M. geniohyoideus terdapat lidah.1

Gambar 2.3 Anatomi Otot Dasar Mulut

Palatum primer termasuk arkus alveolar. Palatum sekunder termasuk palatum durum (hard
palate) dan palatum molle (soft palate). Keduanya dipisahkan oleh incisive foramen. Palatum
memisahkan rongga mulut dengan rongga hidung. Palatum durum terdiri atas tulang yakni
processus palatinus os maxilla (Palatine Process of Maxilla Bone) dan horizontal plate dari os
palatinum. Processus palatinus os maxilla membentuk ¾ anterior palatum durum sedangkan ¼
posterior terbentuk atas horizontal plate dari os palatinum.1

Gambar 2.4 Anatomi palatum


Palatum durum dilapisi oleh 2 mukosa yang berbeda. Bagian superior palatum durum
dilapisi oleh mukosa hidung sedangkan bagian inferior palatum durum diapisi oleh mukosa oral.
Palatum molle merupakan bagian palatum yang terdiri atas lima otot yang dilapisi oleh mukosa.
Palatum molle membentang ke arah posterior dan membentuk projeksi ke arah inferior yang
disebut sebagai uvula. Otot-otot terebut yakni tensor palatini, levator veli palatini, palatoglossus,
palatopharyngeal dan musculus uvula. Palatum molle memiliki fungsi untuk mengelevasi
nasofaring, menutup nasofaring menuju orofaring secara efektif. Katup otot ini memiliki fungsi
untuk bernafas, meniup, menelan dan fonasi. Otot-otot pada palatum molle diinervasi oleh CN X
(nervus glossopharyngeal). Origo, insertio, inervasi serta fungsi otot-otot tersebut dirangkum pada
tabel 3.1.

Tabel 2.1. Origo & Insertio Otot-otot Palatum Molle

Otot Origo Insertio Fungsi Inervasi

Tensor veli Scaphoid Palatine Menegangkan dan CN.V


palatini fossa os aponeurosis mendepresikan palatum molle,
sphenoid kontraksi untuk membuka tuba
eustachius

Levator veli Pars petrous Aspek Mengelevasi palatum molle CN.X, CN.IX
palatini os temporal superior dari
palatine
aponeurosis

Palatopharyn Aspek Pharyngeal Menegangkan palatum molle, CN.IX, CN.X


geus superior wall menarik faring ke arah anterior
dari palatine saat menelan
aponeurosis

Palatoglossu Aspek Margo Menarik palatum molle ke arah CN.IX, CN.X


lidah
s inferior dari lateralis lidah
palatine
aponeurosis

Musculus Posterior Jaringan ikat Memendekan uvula CN.IX, CN.X


uvulae nasal spine uvula
palatum
durum

Palatum diperdarahi oleh arteri palatina major, arteri palatina ascendens dan cabang
palatine artery pharyngeal ascendens. Arteri palatina major merupakan percabangan dari A.
maksilaris yang masuk ke dalam fossa pterygopalatine. A. palatina major masuk ke dalam palatine
canal dan bercabang menjadi A. palatina minora dan masuk ke foramen palatina major.
Sedangkan
A. palatina major akan menyusuri palatum durum, masuk ke fossa inscisiva dan bergerak ke
daerah medial cavum nasi.
Gambar 2.5 Anatomi palatum normal dan cleft palate

Gambar 2.6 Vaskularisasi Palatum

1.2 Anatomi Sumbing Bibir dan/atau Palatum


Kelainan anatomi pada pasien dengan sumbing bibir ditunjukkan pada gambar
berikut.Akibat adanya abnormalitas pada obriculasis oris pada bagian unilateral yang
sumbing, menyebabkan otot wajah lainnya mendorong ala base ke lateral, jika
dibandingkan pada sisi yang tidak sumbing. Ketidaksimetrisan otot ini juga menyebabkan
perubahan pada posisi kartilago alar menjadi mendatar sehingga lubang hidung menjadi
horizontal dan lebih besar dibanding sisi yang normal, serta nasal dome tertarik ke
inferior. Bagian basal dari columella menjadi deviasi ke sisi yang tidak sumbing dan
columella lebih pendek pada sisi yang sumbing. Nasal tip menjadi asimetrik. Nasal floor
menjadi lebih rendah atau bahkan absen pada sisi yang sumbing. Dapat juga ditemukan
deviasi septum .

Gambar 2.7 Anatomi pada anak dengan sumbing bibir

2. Labiopalatoschisis
2.1. Definsi
Labioschisis secara definisi merupakan kegagalan penyatuan prosesus frontonasal
dan maksila, yang mengakibatkan celah bervariasi pada bibir, alveolus, dan dasar
hidung (labioschisis tidak lengkap tidak meliputi dasar hidung, sedangkan celah
lengkap meliputi defek antara alar dasar dan labial medial).3
Palatoschisis merupakan kegagalan penyatuan palatum lateral (palatal
shelves) dan prosesus rahang atas, menghasilkan celah pada palatum keras
dan/atau lunak.3 Labioschisis dan palatoschisis dapat terjadi bersamaan, atau
keduanya secara bersamaan yang disebut labiopalatoschisis. Labiopalatoschisis
merupakan salah satu gangguan kongenital yang paling umum ditemui pada regio
mulut dan wajah dan dapat terjadi bersamaan dengan penyakit kongenital lain
membentuk sebuah sindrom.4
2.2. Etiologi
Etiologi dari labiopalatoschisis dipengaruhi baik secara genetik dan non genetik.
Etiologi non-genetik secara umum dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti
merokok, mengonsumsi alkohol, dan hal lainnya. Berikut beberapa etiologi yang
dapat menyebabkan labiopalatoschisis :
● Non-genetik :
Etiologi non-genetik meliputi faktor lingkungan atau teratogenik yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya labioschisis atau palatoschisis. Salah satu etiologi
lingkungan yang paling umum adalah merokok. Terdapat penelitian yang
menyebutkan bahwa ibu yang merokok dan memiliki riwayat genetik
labiopalatoschisis dapat meningkatkan risiko terjadinya labiopalatoschisis sebesar
7 kali lipat.5 Selain merokok, konsumsi alkohol dalam jumlah besar juga
meningkatkan risiko terjadinya labiopalatoschisis. Jumlah alkohol yang
dikonsumsi akan berbanding lurus dengan peningkatan risiko terjadinya
labiopalatoschisis pada kandungan, pada sebuah penelitian disebutkan bahwa
wanita hamil yang mengonsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko
labiopalatoschisis sebesar 1.5 sampai 4.7 kali lipat.5 Terdapat juga faktor eksternal
lainnya yang dapat meningkatkan risiko terjadinya labiopalatoschisis seperti
konsumsi obat fenitoin, metotreksat, topiramat, defisiensi asam folat, ibu
terdiagnosa diabetes melitus, ataupun usia ketika mengandung.6
● Genetik :
Faktor genetik merupakan salah satu etiologi yang cukup banyak diteliti sebagai
penyebab dari labiopalatoschisis, terdapat beberapa penelitian yang menyebutkan
bahwa anak kembar monozigotik memiliki risiko labiopalatoschisis lebih tinggi
dibandingkan dengan kembar dizigotik. Etiologi genetik secara umum dapat dibagi
menjadi dua golongan besar yaitu sindromik dan non-sindromik :
● Sindromik : defek labiopalatoschisis yang disertai dengan defek /
malformasi lainnya. Sebagian besar etiologi genetik sindromik terjadi
mengikuti transmisi sesuai dengan hukum Mendel. Contoh etiologi
sindromik 7,8 :
Tabel 2.2. Contoh Etiologi Genetik Sindromik

Gen yang Terlibat Lokasi Diturunkan


Sindrom kromosom
secara

Waardenburg syndrome, Microphtalmia associated 3p14,1-12,3 AD


type II A transcription(MLTF)

Di George syndrome Di George syndrome 22g11 AD


chromosome region
(CATCH 22)

Treacher - Collins Treacle (TCOF1) 5q32-q33,1 AD


mandibulofacialdysostosis

Van der woude syndrome Interferor regulatory factor 1q32-q41 AD


- 6 (IRF 6)

CLP-Ectodermal Poliovirus receptor 11q23,3 AD


dysplasia syndrome related-1(PVRL-1)

Ectrodactyly, ectodermal P 63 3q27 AD


dysplasia orofacial cleft
syndrome

Zollinger syndrome-3 Peroxisomalmembrame 8q21,1 AD


protein-3 (PXMP3)
Diastrophic dysplasia Diastrophic dysplasia 5q32-q33,1 AD
sulphate
transporter(DTDST)

Gorlin syndrome (Basal Patched (PTCH) 9q22,3 AD


cell nevus syndrome)

● Non-sindromik : etiologi genetik non sindromik merupakan penyebab


terumum dan mencakup 70% kasus dari labiopalatoschisis. Etiologi genetik
non sindromik tidak memiliki pola keturunan yang diketahui ataupun tidak
memiliki faktor risiko lainnya. Berikut adalah gen yang memiliki hubungan
dengan labiopalatoschisis 7,8 :

Tabel 2.3 Gen yang Berhubungan dengan Labiopalatoschisis

Simbol Lokasi Kromosom


Nama Gen

Transforming growth factor - alpha TGFA 2p13

Transforming growth factor - 133 TGF 133 14q24

Methylene tetra - hydrofolateReductase MTHF3 1p36,3

Blood clotting factor XIII gene ET1 6p24


Endothelin - 1 gene ET1 6p24

Proto-oncogene BCL3 BCL3 19q13,2

Retinoic acid receptor alpha gene RARA 17(t15/17)

MSX-1 MSX-1 4q25

2.3. Embriologi dan Patofisiologi


Perkembangan wajah dimulai pada minggu ke-4 gestasi dimana sel neural crest
dari arkus faringeal pertama bermigrasi dan membentuk tonjolan frontonasal pada
daerah sekitar stomodeum yang akan menjadi rongga mulut. Di sekitar dari
stomodeum tersebut terdapat 2 pasang prosesus yang disebut prosesus maksilaris
pada lateral dari stomodeum, dan juga prosesus mandibula yang berada di inferior
dari prosesus maksilaris dan berbatasan pada bagian inferior dari stomodeum. Pada
minggu ke-4 kedua prosesus mandibula telah bertumbuh dan bertemu pada garis
medial menjadi satu struktur yang akan berkembang menjadi mandibula. Pada
minggu ke-5 gestasi, sel-sel mesoderm pada nasal placode akan terus bertumbuh
dan membentuk dua prosesus pada hidung yaitu prosesus nasal lateral dan medial,
yang diantaranya terdapat celah yang akan menjadi rongga hidung.
Pada usia gestasi minggu ke-6, terdapat membran yang memisahkan
rongga hidung dan mulut yang disebut oral-nasal membrane. Pada waktu yang
bersamaan juga kedua prosesus maksilaris akan tumbuh menuju medial dan
menyatu dengan prosesus nasal medial membentuk rahang atas atau maksila dan
alveolar di bagian anterior pada akhir minggu ke-6. Pada minggu ke-6 juga,
prosesus nasal medialis juga bertumbuh ke arah medial dan membentuk sebuah
lipatan yang disebut intermaxillary segment yang kemudian akan berkembang
menjadi filtrum, batang hidung, 4 gigi seri maksilaris, dan primary palate (daerah
segitiga di belakang gigi seri maksilaris). Kemudian prosesus mandibularis akan
bertumbuh membentuk rahang mandibula, bibir bawah, beserta dengan seluruh
gigi pada rahang mandibula. Pada akhir minggu ke-6 juga terjadi penyatuan antara
prosesus maksilaris dan mandibularis membentuk daerah pipi.9
Pada sepanjang usia gestasi minggu ke-6 sampai 8, rongga hidung dan
mulut terus berkembang dan akhirnya menyatu pada akhir usia gestasi minggu ke-
8 membentuk koana. Pada minggu ke-8 primary palate akan bertumbuh dari
intermaxillary segment sampai ke foramen insisivus. Prosesus maksilaris pada
waktu yang bersamaan juga akan membentuk sepasang palatum shelves yang
bertumbuh secara vertikal ke bawah kemudian pada minggu ke-9 sampai 12 akan
bertumbuh secara horizontal dan menyatu di midline membentuk secondary
palatte. Bersamaan dengan itu, sel ektoderm dan mesoderm dari frontonasal dan
prosesus maksilaris akan menyatu membentuk septum hidung yang juga menyatu
bersama dengan palatum pada minggu ke-12.9

Gambar 2.8 Embriologi Pembentukan Wajah pada Usia Minggu ke-6.10


Gambar 2.9 Perkembangan Embriologi Wajah.11

Perkembangan bibir dan palatum terjadi pada usia gestasi yang berbeda, hal
ini yang menyebabkan dapat terjadinya labioschisis atau palatoschisis secara
mandiri. Terjadinya labioschisis diakibatkan dari defek kongenital yang terjadi
pada usia gestasi minggu ke-4 sampai 6, sedangkan palatoschisis dapat terjadi jika
terdapat defek kongenital pada usia gestasi minggu ke-6 sampai 12. 7,12 Asam folat
juga dikatakan memiliki peran dalam migrasi dari ektoderm yang memiliki
pengaruh terhadap pembentukan bibir dan palatum beserta dengan neural tube
lainnya.10
2.4. Manifestasi Klinis
Abnormalitas stuktur pada wajah dan kavitas oral ini secara umum dibagi menjadi
3 kelompok dengan beberapa variasi fenotip: (a) sumbing langit-langit mulut (cleft
palate/CP); (b) sumbing bibir unilateral atau bilateral dengan atau tanpa alveolus
langit-langit mulut; dan (c) sumbing bibir dan langit-langit mulut unilateral atau
bilateral (cleft lip palate/CLP). Sumbing bibir dikategorikan lagi menjadi komplit
atau inkomplit, tergantung dengan derajat ekstensi sumbing melalui bibir hingga
hidung.13
Gambar 2.10 Tipe-tipe sumbing: a) Normal; b) Sumbing langit-langit mulut;
c) Sumbing bibir unilateral dan alveolus; d) Sumbing bibir dan alveolus bilateral;
e) sumbing bibir unilateral dan langit-langit mulut;
f) Sumbing bibir dan langit-langit mulut bilateral.13

Gambar 2.11 Sumbing bibir komplit dan inkomplit, unilateral dan bilateral
Gambar 2.12 Sumbing bibir unilateral: a) Microform; b) Inkomplit; c) Komplit

Gambar 2.13 Sumbing bibir bilateral: a) Inkomplit; b) Komplit

The Veau System (1931) mengklasifikasikan sumbing orofacial menjadi empat


kelas, dibagi berdasarkan palatum primer dan/atau sekunder yang terkena dan
lateral atau bilateral. Berikut adalah klasifikasinya:
● Veau Class I: sumbing palatum inkomplit, hanya soft palate (tidak
tergantung unilateral atau bilateral)
● Veau Class II: Hard dan soft palate, palatum sekunder saja (tidak
tergantung unilateral atau bilateral)
● Veau Class III: sumbing unilateral komplit, termasuk bibir (palatum
primer dan sekunder)
● Veau Class IV: sumbing bilateral komplit
Gambar 2.14 Klasifikasi sistem Veau

Bentuk sumbing orofacial yang lebih jarang seperti oblique facial cleft, median
cleft lip dan defek nasal, median mandibular cleft, dan unilateral macrostomia
membutuhkan tim perawat craniofacial yang terspesialisasi.
Gambar 2.15 Tipe sumbing bibir: a) unilateral; b) bilateral; c) oblique facial cleft;
d) median cleft lip dan defek nasal; e) median mandibular cleft;
f) unilateral macrostomia.7

Manifestasi klinis yang berasosiasi dengan kondisi sumbing ini adalah:


a) Kesulitan berbicara
Jika dibandingkan dengan sebayanya tanpa sumbing, bayi dengan sumbing
seringkali perkembangan linguistiknya tertinggal. Perkembangan bicara
dan bahasa pada anak dengan sumbing tergantung pada beberapa faktor,
seperti status fungsi pendengaran, tipe dan tingkat keparahan sumbing,
serta ada atau tidaknya suatu sindrom.13
Bayi dengan sumbing palatum bisa bersuara seperti bayi pada
umumnya, namun terlambat untuk bisa canonical babbling (seperti ba ba
ba, da da, nu nu), lebih sedikit variasi canonical babbling, lebih sedikit
konsonan yang bisa diucapkan, terlambat untuk bisa mengucapkan kata
pertama dengan jelas. Ketika anak semakin bertambah usia, artikulasi anak
bisa terganggu, akibat adanya disfungsi dari otot m. levator veli palatini.
Retardasi suara konsonan (p, b, t, d, k, g) adalah penemuan klinis paling
sering ditemui. Resonansi nasal abnormal dan kesulitan berartikulasi adalah
karakteristik lainnya pada pasien dengan bibir sumbing atau langit-langit
mulut.13
Sebanyak 10-25% anak dengan CP+CL akan memiliki kesulitan
berbicara akibat sumbing yang disebut juga velopharyngeal insufficiency
(VPI) setelah perbaikan palatumnya. Insidensinya berbeda-beda tergantung
dengan teknik operasi dan kapan dilakukan palatoplasti. VPI bisa terjadi
bila soft palate tidak menutup ke dinding posterior faring secara adekuat.
Ketika ada VPI, ada udara nasal yang keluar sehingga pada saat
mengucapkan suara yang membutuhkan penekanan, membuat suara anak
menjadi terdengar lebih lemah atau teredam. Huruf yang sering salah
diartikulasikan adalah /S/ (63%). /Z/ (61%), /D/ (48%), /CH/ (44%), /P/
(11%), dan /B/ (9%).13
b) Infeksi telinga
Karena adanya gangguan fungsi dari otot tensor veli palatini yang berguna
untuk membuka tuba Eustachius, otitis media seringkali ditemukan pada
pasien. Jika otot tersebut gagal membuka tuba eustachius, akan
menyebabkan penumpukan tekanan dan cairan di telinga tengah, yang
memicu infeksi, radang, dan pembentukan jaringan parut. Infeksi yang
berulang bisa menyebabkan gangguan pendengaran konduktif ringan
hingga sedang. Diperkirakan lebih dari 90% anak dengan CP+CL pernah
mengalami otitis media efusi setidaknya 1 kali sebelum berusia 1 tahun.
Oleh karena itu, anak dengan CP direkomendasikan untuk melakukan
evaluasi audiologi dan otolaringologi secara rutin.14
c) Masalah makan
Anak dengan sumbing langit-langit mulut memiliki kesulitan mengisap
melalui puting karena adanya lubang di langit-langit mulut. Akibat ada
celah oronasal, terdapat kegagalan membentuk tekanan negatif yang
diperlukan untuk menghisap. Pada saat makan juga kerap kali terjadi
regurgitasi makanan dari kavitas nasal. Serta banyaknya udara yang masuk
menyebabkan sering sendawa dan tersedak. Durasi pemberian makan pada
akhirnya menjadi lebih lama dan menyebabkan ibu serta anak lelah.14,15
Memberi ASI secara langsung dari payudara sulit dilakukan pada
bayi dengan CP, karena bayi tidak bisa mencapai tekanan intraoral dan
tidak bisa menstabilitasi puting di dalam mulut. Pada bayi dengan CL, bisa
menyusui langsung dari payudara, dan didorong untuk melakukan hal ini.
Ibu akan diajarkan secara khusus untuk menyusui bayi dengan CL.
Pasien anak dengan CLP meningkatkan risiko akan malnutrisi.
Malnutrisi bisa disebabkan karena kesulitan makan akibat deformitas,
kurangnya pengetahuan ibu akan teknik, posisi untuk memberi makan anak
yang adekuat. Malnutrisi yang terjadi pada anak kecil bisa terjadi bisa
berupa marasmus atau kwashiorkor.
d) Kesehatan gigi dan mulut
Beberapa kondisi gigi yang abnormal dapat terjadi pada anak dengan CL/P,
seperti adanya gigi natal dan neonatal, microdontia (gigi yang kecil),
taurodontism, erupsi ektopik, enamel hipoplasia, maturasi gigi yang
terlambat.
e) Tumbuh kembang
Dalam 1 tahun pertama, anak dengan CL/P membutuhkan kontrol yang
lebih sering ke fasilitas kesehatan. Bila ditemukan perkembangan yang
terlambat atau penemuan yang mengarah ke suatu sindrom tertentu,
evaluasi lebih lanjut oleh klinisi perlu dilakukan. Pertambahan berat badan
dan pertumbuhan anak dengan CL/P seharusnya sama dengan anak tanpa
CL/P. Untuk melakukan tindakan operasi, seorang anak harus memiliki
nutrisi yang cukup. Bila hal ini tidak terjadi, perlu evaluasi lebih lanjut.
Mayoritas anak dengan sumbing tidak mengalami keterlambatan
pada kemampuan motorik dan kognitif namun berisiko tinggi pada
perkembangan bicara dan bahasa.
f) Abnormalitas yang mengindikasikan suatu sindrom
Melalui pemeriksaan fisik lengkap pada pasien perlu dilakukan untuk
menyingkirkan gejala-gejala yang mengindikasikan suatu sindroma, yang
salah satu gejalanya adalah subing pada bibir dan langit-langit mulut.
Seperti contohnya pada Pierre Robin sequence (PRSq) memiliki triad
yaitu, rahang yang sempit (micrognathia), lidah yang teretraksi
(glossoptosis), dan obstruksi jalur nafas.

2.5 Diagnosis
Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik bisa membantu penegakan diagnosis.
Dari anamnesis bisa pemeriksa bisa mengetahui status kesehatan anak secara
umum, masalah kesehatan spesifik pada anak, deteksi potensi komorbiditas pada
pasien, serta riwayat penyakit pada pasien dan keluarga. Pemeriksaan fisik secara
komprehensif bisa dilakukan seperti yang tertera pada tabel 2.2.
Tabel 2.3 Pemeriksaan fisik pada anak dengan sumbing.16

Pemeriksaan Berat badan, panjang badan, lingkar lengan atas


antropometri
Tanda-tanda vital Cek adanya cyanosis, pucat, kuning, mottling skin,
edema, turgor, kulit kering
Kepala dan leher Evaluasi fontanel dan ukuran kepala, Pemeriksaan
mata dan telinga, bila ada anomali seperti
microphtalmia/microtia dan/atau preauricular
pits/tags perlu dicurigai adanya diagnosis sindrom
Deformitas sumbing Diinspeksi untuk tipe dan severitasnya. Midline cleft
harus meningkatkan perhatian terhadap kelainan lain
terhadap deformitas neurologis pada garis tengah
dan evaluasi status neruologis lebih lanjut (brain
imaging) dan fungsi kelenjar pituitari
Saluran pernafasan atas Cek patensi nasal dan evaluasi lebih lanjut untuk
obstruksi, kongesti nasal, suara nafas tambahan
seperti stridor
Sistem kardiovaskular Retraksi saat bernafas, auskultasi dada untuk cek
dan respirasi suara nafas seperti wheezing dan rales, suara katup
jantung seperti murmur, dan pengecekan capillary
refill
Abdomen Bekas operasi, evaluasi untuk organomegali
Genitourinari Mengevaluasi abnormalitas pada genital,
hypospadia atau cryptochidism curiga indikasi
ketidakseimbangan hormon, insufisiensi adrenal
Neuromuskular Pemeriksaan tonus dan kekuatan otot serta fungsi
saraf kranial. Bila hypotonia ada risiko apnea dan
obstruksi jalur nafas akibat anestesi
Spinal Mengevaluasi adanya skoliosis, anomali tulang
belakang, untuk mengecek apakah adanya kesulitan
intubasi
Ekstremitas Pemeriksaan kelainan seperti polidaktili/sindaktili
mengindikasikan kecurigaan diagnosis sindrom

Mayoritas anak dengan sumbing bibir dan langit-langit mulut tidak membutuhkan
pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan radiologi, selain dengan pemeriksaan
darah lengkap (Hb/Hct, WBC, platelet) dan parameter koagulasi (PTT, PT, INR).
Pemeriksaan penunjang spesifik lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi dan
kecurigaan terhadap suatu komorbiditas atau sindrom pada masing-masing pasien,
seperti evaluasi metabolik dan fungsi endokrin (elektrolit, glukosa, kortisol,
thyroid). Pemeriksaan radiologi tidak diharuskan pada pasien sumbing yang sehat.
Anomali jantung kongenital dilaporkan ditemukan pada 3-16% anak dengan
sumbing. Perlu pemeriksaan lebih lanjut seperti echocardiogram pada pasien
tersebut. Pada tempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, bisa melakukan
pemeriksaan menggunakan oksimetri untuk mengecek hipoksemia, dimana
mengindikasikan adanya anomali jantung.
Pemeriksaan fisik dan penunjang yang lengkap selain menegakan diagnosis
juga berguna untuk mengkonfirmasi adanya komorbiditas, serta sebagai persiapan
pre-operasi, berhubungan dengan persiapan anestesi pasien.

3. Tatalaksana
Perawatan anak dengan labioschisis dan palatoschisis memerlukan rencana
perawatan yang komprehensif mulai dari diagnosis awal pada masa bayi hingga
penyelesaian rekonstruksi pada masa remaja. Seorang anak dengan celah maxillofacial
memerlukan beberapa tindakan operatif sejalan ia tumbuh kembang. Secara umum, tujuan
pengobatan adalah untuk meminimalkan jumlah operasi sambil mencapai prognosis
terbaik.17
Karena perawatan optimal paling baik dicapai dengan berbagai jenis keahlian
klinis, tim dapat terdiri dari individu dalam: (1) spesialisasi gigi (ortodontik, bedah mulut,
kedokteran gigi anak, dan prostodontik), (2) spesialisasi medis (genetika, otolaringologi,
pediatri, bedah plastik, dan psikiatri), dan (3) bidang perawatan kesehatan yang terkait
(audiologi, keperawatan, psikologi, pekerja sosial, dan speech pathologist).14

3.1. Perawatan Umum


3.1.1. Intake Makanan
Intake oral dapat berkurang pada anak-anak dengan cleft palate karena
ketidakmampuan mereka untuk menghisap secara efektif. Seorang ibu yang ingin
memberikan ASI kepada bayinya dengan CL/P harus menemui konsultan laktasi
bersertifikat untuk evaluasi, dukungan pemberian makan, dan bantuan dalam
pengadaan dan penggunaan pompa payudara. Pemompaan dan pemberian ASI
memberikan manfaat ASI, termasuk perlindungan terhadap infeksi telinga, di mana
bayi dengan CP ± CL berisiko lebih tinggi.13
Penting untuk mengedukasi orang tua dalam penggunaan alat bantu cleft
feeder. Ada berbagai jenis, yang semuanya membutuhkan lebih sedikit usaha
daripada botol biasa. Anak-anak tersebut membutuhkan dot dan botol khusus yang
memungkinkan susu disalurkan ke bagian belakang tenggorok dimana susu dapat
ditelan. Selain itu, dapat digunakan pelat gigi khusus (palatal prosthesis) untuk
menutup sisi celah. Prostesis semacam itu bisa efektif dalam meningkatkan volume
susu, mengurangi waktu menyusu, dan mendorong pertumbuhan yang memadai
pada bayi dengan cleft lip dan palate. Beberapa bayi mungkin tidak memiliki
energi untuk mengisap dari dot, dan di sini metode cangkir dan sendok dapat
membantu. Asupan oral yang memadai dinilai dengan penambahan berat badan.17
Keterlambatan perkembangan atau temuan sugestif dari sindrom tertentu dapat
bermanifestasi selama tahun pertama kehidupan atau setelahnya, mendukung
kebutuhan untuk rujukan ke layanan intervensi dini dan/atau evaluasi genetik lebih
lanjut. Bayi yang lahir dengan CL/P harus memiliki pertambahan berat badan dan
pertumbuhan yang sama dibandingkan dengan bayi yang lahir tanpa CL/P.13
Gambar 2.16 Alat Bantu Pemberian Makan Anak Palatoschisis

3.1.2 Infeksi Telinga Tengah


Ada beberapa pendekatan yang mungkin untuk pengelolaan Otitis Media Efusi
persisten pada anak-anak dengan CP, yang secara luas dapat dibagi menjadi dengan
pembedahan, tanpa pembedahan dan kombinasi. Perawatan pembedahan OME persisten
terdiri dari pemasangan tabung ventilasi (Ventilation Tubes, juga dikenal sebagai
grommet) ke dalam membran timpani, yang, jika berfungsi dengan baik, mencegah
perkembangan perbedaan tekanan antara lingkungan sekitar dan ruang telinga tengah,
salah satu faktor penting dalam patogenesis OME. Pemasangan grommet dapat
menyebabkan beberapa komplikasi, seperti perforasi membran timpani persisten, infeksi
telinga dan ekstrusi dini. Adenoidektomi ajuvan tidak direkomendasikan pada anak-anak
dengan CP karena risiko inkompetensi velopharyngeal. Alat bantu dengar (Hearing Aid)
memberikan alternatif pilihan pengobatan tanpa pembedahan untuk OME, dengan tujuan
memperkuat suara yang dikirim ke telinga tengah untuk mencapai koklea. Alat bantu
dengar juga dapat menyebabkan infeksi telinga dan mungkin tidak disukai secara
kosmetik oleh sebagian anak dan orang tua.18

3.1.3 Perawatan gigi dan kebersihan mulut


Perawatan gigi dan perawatan ortodontik sangat penting untuk anak-anak dengan
CL/P karena kesehatan mulut memainkan peran penting dalam prognosis. Anak-anak
dengan CL/P memiliki faktor risiko tambahan untuk karies dan penyakit mulut lainnya
yang spesifik untuk kondisi dan pengobatan mereka. Risiko termasuk:
1. Hipoplasia email gigi yang meningkatkan risiko kerusakan gigi pada gigi yang
terkena;
2. Kelainan struktural yang memiliki celah untuk sisa makanan dan yang
mengganggu pembersihan gigi sendiri
3. Alat prostetik di dalam mulut (Mis. palatal expander, braket dan kawat ortodontik,
obturator, retainer), yang menjadi tempat koloni bakteri kariogenik
4. Bekas luka setelah operasi yang membatasi ruang di mulut, mengakibatkan
gangguan membuka mulut dan membuat sikat gigi dan flossing lebih sulit
Anak-anak yang lahir dengan CL/P memiliki risiko memiliki kelainan gigi
bawaan, seperti gigi supernumerary, gigi yang hilang, dan hipodonsia. Gigi primer dapat
erupsi secara ektopik, misalnya di tempat cleft atau di palatum, atau erupsi gigi mungkin
tertunda. Orang tua harus diedukasi bahwa perawatan ortodontik adalah bagian dari
perawatan yang berhubungan dengan sumbing dan biasanya dimulai saat gigi permanen
mulai erupsi. Dengan adanya celah alveolar (gnathoschizis), sangat penting bahwa gigi
primer tidak dipindahkan dengan perawatan ortodontik karena gerakan tersebut dapat
mempengaruhi pendarahan ke gigi yang berdekatan dengan cleft.
Kesehatan mulut yang baik yang dihasilkan dari kebersihan mulut di rumah secara
teratur dan perawatan gigi profesional, mempengaruhi kemampuan anak untuk
mendapatkan perawatan ortodontik yang tepat waktu. Hal ini merupakan komponen
penting dari proses rekonstruksi dan diperlukan sebelum anak tersebut menjalani operasi
rekonstruksi CL/P. Sepanjang masa kanak-kanak dan remaja, pemantauan pertumbuhan
wajah dan erupsi gigi untuk membantu dalam perencanaan dan waktu prosedur bedah.
Pendekatan ini sangat penting untuk alveolar bone grafting, yang perlu diatur waktunya
bertepatan dengan erupsi gigi permanen (biasanya pada usia 8-10 tahun) untuk
memaksimalkan peluang keberhasilan pencangkokan.13

3.2. Tatalaksana Pembedahan


3.2.1 Presurgical Infant Orthopedics
Literatur saat ini menunjukkan hasil estetika pada pasien dengan celah unilateral
atau bilateral lengkap dapat ditingkatkan dengan membangun kembali hubungan tulang,
tulang rawan, dan jaringan lunak yang lebih normal sebelum perbaikan bibir definitif.
Presurgical infant orthopedics (PSIO) dapat membantu mempersempit celah dan
menyelaraskan lengkung gigi sebagai persiapan untuk operasi. Beberapa metode PSIO,
seperti Nasoalveolar Molding (NAM), memberikan manfaat tambahan berupa
pemanjangan columella dan memperbaiki asimetri ujung hidung.19 Penggunaan NAM
dapat dimulai pada usia 1 minggu dengan waktu pengobatan rata-rata 3 - 6 bulan dam
biasanya dievaluasi setiap 2 minggu.6 Hambatan yang paling umum untuk penerapan
PSIO adalah komitmen dari keluarga, yang harus bersedia dan mampu memenuhi follow
up yang sering untuk penyesuaian alat. Alternatif lain yang dapat digunakan untuk PSIO
adalah prosedur Lip adhesion, di mana celah yang komplit diubah melalui pembedahan
menjadi celah yang inkomplit. Tahap awal perbaikan bibir ini mengembalikan kontinuitas
jaringan lunak di ambang hidung, yang membantu menyelaraskan kembali lengkung gigi
di bawahnya dan mendekati kembali jaringan lunak. Selain itu, deformitas hidung dapat
diperbaiki, baik dengan reposisi dasar alar sisi sumbing dan penempatan konformer
hidung.19

Gambar 2.17 - Nasoalveolar Molding.16

3.2.1 Labioplasty
Perbaikan labioschisis tidak dianggap sebagai keadaan gawat darurat. Sehingga
waktu operasi dapat ditunggu hingga saat yang optimal, dapat digambarkan sebagai “Rule
of tens” yang terdiri dari berat badan 10 lb (4.5 kg), usia 10 minggu, dan hemoglobin 10
g/dL. Dalam beberapa kasus di mana terdapat distorsi alveolus, seperti labioschisis
bilateral berat dengan penonjolan pada premaksila, Presurgical Infant Orthopedics dapat
diindikasikan.20
Perbaikan labioschisis diperumit oleh distorsi beberapa struktur anatomi, yang
dapat terjadi dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Tantangan rekonstruksi dapat
berbeda seperti presentasi pasien dari celah: unilateral versus bilateral, celah sempit versus
celah lebar, pasien sindrom versus pasien non-sindrom. Setiap pasien menghadirkan
tantangan baru bagi ahli bedah yang mencoba memperbaiki celah. Namun, tujuan
pembedahan tetap sama: mengatasi deformitas fungsional dan kosmetik bibir sumbing.
Untuk mencapai tujuan tersebut, perbaikan harus mencakup penciptaan bibir atas yang
utuh dan berukuran tepat untuk mengkompensasi hilangnya ketinggian philtrum pada sisi
sumbing, perbaikan struktur otot yang mendasari untuk kompetensi dan fungsi oral yang
normal, dan perbaikan primer. deformitas hidung.2
3.2.1.1. Rotation advancement cleft lip repair
Rotation advancement cleft lip repair, atau yang sering disebut dengan
prosedur Millard, merupakan teknik perbaikan yang paling umum dilakukan saat
ini. Hampir tidak ada jaringan yang terbuang, perbaikan dengan prosedur Millard
didasarkan pada rotasi flap pada sisi celah medial ditambah dengan flap lanjutan
pada celah sisi lateral.21
Prosedur Millard memiliki keuntungan menciptakan proyeksi bibir yang
baik dengan menciptakan ketegangan dibawah ambang hidung daripada di
sepanjang perbatasan vermilion. Namun kelemahan dari prosedur ini adalah bahwa
bibir akan menjadi lebih pendek setelah penyembuhan selesai. Namun revisi dapat
dilakukan untuk memperbaiki masalah ini dan revisi pada prosedur ini jauh lebih
mudah dibandingkan dengan prosedur Tennison.17

Gambar 2.18 Prosedur Millard.21


3.2.1.2. Triangular cleft lip repair
Triangular cleft lip repair atau sering juga disebut sebagai prosedur
Tennison / Tennison-Randall. Prosedur ini memiliki penutupan yang berbentuk
zig-zag yang bertujuan untuk memecah kekuatan kontraktur pada bekas luka.
Dalam prosedur ini dibuat sayatan yang hampir horizontal dimulai tidak jauh dari
puncak Cupid’s bow pada segmen celah medial dan bersudut superolateral, dan
flap segitiga diukur dan dibuat dengan tepat di celah lateral.17
Kerugian utama dari prosedur ini adalah bahwa philtrum di sisi celah di
rusak oleh flap segitiga. Sehingga dapat memunculkan luka bekas yang sangat
terlihat. Kerugian potensial lainnya adalah kesulitan dalam perbaikan atau revisi
dari prosedur ini dikarenakan bekas luka zig-zag.21

Gambar 2.19 Prosedur Tennison.21

3.2.1.3. Bilateral cleft lip repair


Prinsip utama dari perbaikan CL bilateral sama seperti CL
unilateral. Kulit prolabium diangkat sehingga memungkinkan rekonstruksi
otot-otot di seluruh premaxilla. Rekonstruksi otot sama seperti pada CL
unilateral kecuali pada dua bagian bagian otot orbikularis dan transversal
nasalis dijahit bersama dibawah prolabium dan nasalis transversal difiksasi
ke anterior nasal septum. Perbaikan fungsional otot yang melintasi
prolabium menarik kembail premaxilla yang menonjol ke dalam, sehingga
dapat menyebakan ujung hidung rata dan tertekan, namun ini dapat
ditangani pada operasi hidung sekunder yang idealnya dilakukan pada saat
pasien sudah selesai tumbuh.21
Gambar 2.20 Bilateral cleft lip repair.21
3.2.2 Palatoplasty
Beberapa teknik telah digunakan untuk memperbaiki defek palatoschisis. Namun
semua teknik memiliki tujuan yang sama, yaitu menutup defek anatomis, memperbaiki
kemampuan bicara dan untuk meminimalisir gangguan pertumbuhan maksila dan
deformitas dento-alveolar.17,22 Penting untuk mempertimbangkan perbaikan palatum
durum dan molle sebagai entitas yang terpisah, karena tujuan dari perbaikan masing-
masing berbeda. Pada rekonstruksi palatum durum dan molle, tujuannya adalah perbaikan
mukosa nasal dan oral, sedangkan pada rekonstruksi palatum molle, perbaikan fungsional
otot levator merupakan komponen yang sama pentingnya dari perbaikan. Tujuan utama
penutupan palatum molle adalah perkembangan bicara yang normal. Tujuan rekonstruksi
palatum durum harus mencakup pertumbuhan maksila yang normal, profil wajah normal,
menghindari oklusi gigi dan pembentukan fistula.23
Waktu operasi yang tepat harus mempertimbangkan kondisi medis lain dan
perkembangan bicara. Pembedahan dini mungkin memiliki manfaat pada kemampuan
berbicara, tetapi dapat membatasi pertumbuhan maksila sampai anak mencapai usia 5
tahun. Pada tahun-tahun sebelumnya, operasi restorasi palatum sering tertunda sampai
pertumbuhan maksila yang lengkap atau ketika molar deciduous sudah mulai tumbuh.
Saat ini telah ditetapkan bahwa tujuan pertama adalah kemampuan berbicara yang baik,
sehingga pembedahan dapat dilakukan mulai dari usia 10 bulan. Beberapa ahli
menyarankan menunggu anak mencapai usia 2 tahun untuk mengoperasi palatoschizis
besar.1,24 Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena
memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada proses penyembuhan
luka sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian palatum molle dapat
berfungsi dengan baik. Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang bisa digunakan untuk
memperbaiki celah palatum, yaitu:

3.2.2.1 Palatoplasti Von Langenbeck


Penutupan palatum sederhana diperkenalkan oleh von Langenbeck pada tahun
1859 merupakan teknik palatoplasti tertua yang masih banyak digunakan hingga saat ini.
Palatoplasti von Langenbeck biasanya digunakan untuk palatoschizis sekunder inkomplet
tanpa adanya labioschizis dan gnatoschizis. Teknik ini menutup celah inkomplit pada
palatum durum dan palatum molle tanpa memperpanjang palatum dengan memobilisasi
flap mukoperiosteal bipedikel ke arah medial. Margin cleft dapat diaproksimasi dengan
insisi lateral yang dimulai dari tuberositas maksila posterior dan mengikuti bagian
posterior alveolar ridge.25

Gambar 2.21 Palatoplasti Vn Langenbeck A) Penandaan desain flap. (B) Flap


mukperiosteal bipedikle dielevasikan dari insisi lateral ke tepi celah. (C) Penutupan layer
nasal mukoperiosteal. (D) Penutupan flap oral mukoperiosteal.25
3.2.2.2 V-Y Pushback
Veau-Wardill-Kilner atau V-Y pushback palatoplasty berasal dari modifikasi
teknik von Langenbeck dan dapat digunakan untuk menambah panjang palatum.
Palatoplasti pushback Veau-Wardill-Kilner dapat digunakan dengan tepat untuk
incomplete palatoschizis. Desain flap mirip dengan palatoplasti von Langenbeck. Inti dari
teknik ini adalah sayatan berbentuk V ke Y dan penutupan pada palatum durum (Gbr. 2).
Teknik pushback memiliki keuntungan memperpanjang palatum dan memposisikan
kembali otot levator pada posisi yang lebih menguntungkan. 25 Namun, teknik tersebut
meninggalkan area terbuka (raw) yang luas di anterior dan lateral sepanjang margin
alveolar dengan tulang membranosa terbuka. Area mentah sembuh dengan secondary
intention. Hal ini menyebabkan pemendekan palatum dan mengakibatkan inkompetensi
velopharyngeal. Area mentah yang berdekatan dengan margin alveolar juga menyebabkan
deformitas lengkung alveolar dan malalignment gigi.22

Gambar 2.22 Veau-Wardill-Kilner atau palatoplasti VY pushback. (A) Penandaan area


insisi. (B) Flap oral mukperisteal diangkat dengan tetap menjaga pembuluh darah palatina
besar pada kedua sisi. (C) Retroposisi dan perbaikan dari otot levator veli palatini
(intravelar veloplasti) setelah menyelesaikan perbaikan mukoperosteal. (D) Hasil akhir
setelah penutupan flap oral mukoperiosteal.25
3.2.2.3 Bardach’s Two-Flap Palatoplasty
Palatoplasti 2-flap Bardach dideskripsikan pada tahun 1967 dan disempurnakan
lebih lanjut dengan hasil anatomis dan fungsional yang sangat baik. Palatoplasti dua flap
Bardach yang asli hanya dapat digunakan untuk menutup celah yang relatif sempit dengan
melepaskan flap mukoperiosteal dari tepi cleft. Desain flap ini sepenuhnya bergantung
pada pedikel neurovaskular palatina mayor dan memberikan fleksibilitas yang lebih besar
untuk menutupi celah.25
Dalam rekonstruksi Bardach, dua flap mukoperiosteum yang berdasarkan dari
pembuluh darah palatina mayor diangkat. Flaps tidak dipedikel secara anterior sehingga
terdapat visibilitas optimal untuk penutupan lapisan hidung dan otot velar. Teknik ini
menggunakan flap bilateral yang lebih ekstensif (berdasarkan pembuluh darah palatina)
dan memberikan keamanan yang lebih besar pada penutupan anterior dan mengurangi
tegangan pada pertemuan palatum durum dan palatum molle yang rentan terbentuknya
fistula locus resistensi minores. Pada dasarnya, prosedur ini memperluas teknik von
Langenbeck dengan ekstensi insisi relaksasi di belakang alveolar ridge ke anterior, ke tepi
cleft.17 Palatum molle direkonstruksi dalam garis lurus.22 Teknik ini juga membatasi
paparan tulang palatum keras, karena flap diputar ke bawah dengan menurunkan
kedalaman palatum. Prosedur bedah celah langit-langit ini sekarang secara kolektif disebut
palatoplasti 2-flap.
Gambar 2.23 Palatoplasti dua flap. (A) Penandaan desain flap. (B) Elevasi dari dua flap
mukperosteal dari permukaan oral. Pembuluh darah palatina besar dari kedua sisi tetap
dijaga. (C) Retroposisi dan perbaikan dari otot levator veli palatini (intravelar veloplasti)
setelah menyelesaikan perbaikan mukoperosteal. (D) Hasil akhir setelah penutupan flap
oral mukoperiosteal.25

3.2.2.4 Furlow double opposing Z-palatoplasty


Penutupan celah menggunakan teknik Furlow melibatkan penutupan palatum
durum dengan cara yang mirip dengan yang dijelaskan dalam palatoplasti 2-flap, dengan
tujuan penutupan 2-lapisan yang bebas tegangan. Dengan teknik ini, tidak perlu
mengangkat flap mukoperiosteal yang besar dari palatum durum. Palatum molle ditutup
dengan cara yang secara teori memungkinkan pemanjangan palatum molle dan
rekonstruksi otot ke posisi anatomis yang sesuai (Gbr. 3). Teknik ini menggunakan z-
plasties berbentuk mirror image yang berlawanan, satu di setiap sisi mukosa mulut dan
yang lainnya di setiap sisi mukosa hidung. Flap bagian posterior pada permukaan nasal
dan oral mengandung mukosa dan otot sedangkan flaps bagian anterior hanya berisi
mukosa. Pada transposisi potongan segitiga terdapat pemanjangan efektif dari palatum
molle, garis jahitan horizontal dan ada tumpang tindih yang baik dari otot levator. Teknik
ini telah menunjukkan keberhasilan awal di aspek kemampuan bicara dan pertumbuhan
tulang midfacial.23

Gambar 2.24 Furlow double opposing Z-Palatoplasty. (A) Penandaan dari insisi z-plasti
dan insisi kendur. Pada celah palatum yang besar, insisi kendur dibuat di sebelah anterior
dari tepi celah sebagai palatoplasti dua flap. (B) Elevasi dari flap oral. Layer oral terdiri
dari flap muskulmukosal pada sisi kiri dan hanya flap mukosa di sisi kanan. Otot diangkat
sebagai dasar flap posterior. Insisi yang mirip juga ditandai berkebalikan dengan layer
nasal. (D) Flap nasal muskulomukosal pada sisi kanan dibawa melewati celah. (D) Hasil
tampak akhir layer oral yang ditutup oleh z-plasti.25

3.3 Perawatan pasca operasi


3.3.1 Labioplasti
Setelah dilakukan operasi labioplasti, luka operasi harus dibersihkan
dengan kapas yang diberikan normal saline setiap 3-4 jam, dan baru diberikan
salep antibiotik pada luka operasi. Setelah itu perban diganti dengan kassa yang
baru yang sudah diberikan normal saline untuk perawatan luka yang lebih baik
terutama apabila terdapat banyak cairan di luka. Jahitan akan dibuka setelah 5-7
hari setelah operasi dan dilakukan di poliklinik dengan bantuan sedasi.16

3.3.2. Palatoplasti
Setelah operasi pasien harus dipantau hingga pasien sadar dan sudah
dipastikan dapat makan. Pemberian makan dalam bentuk cairan direkomendasikan
untuk diberikan 3-4 jam setelah anestesi, penggunaan sendok untuk membantu
memberikan makanan direkomendasikan pada 24 jam pertama. Hindari pemberian
makanan dengan botol dengan dot untuk menghindari resiko perdarahan dan
aspirasi. Demam umum terjadi dalam 24 jam pertama setelah operasi dan
umumnya dapat sembuh dengan sendirinya penggunaan parasetamol dapat
diberikan apabila terjadi.16

3.4. Komplikasi16
Komplikasi yang dapat muncul akibat perbaikan dari CL/P yaitu :
a. Infeksi pada luka operasi : komplikasi ini dapat dihindari dengan perawatan
luka yang baik dan pemberian antibiotik oral.
b. Abses jahitan : Muncul akibat benang di bagian subkutan tidak terabsorpsi
dengan baik dan dapat ditangani dengan perawatan luka jika terjadi.
c. Wound dehiscence / luka terbuka
d. Hypertrophic scar
e. Infeksi nasal
f. Stenosis nasal
g. Oronasal fistula : Terjadi pada daerah anterior palatum durum dan
perbatasan antara palatum durum - molle. Insidensinya 2% - 57% setelah
dilakukan perbaikan primer dari CP.
h. Disfungsi velopharyngeal
4. Speech Therapy
Bahkan setelah palatoplasty, beberapa anak tetap tidak dapat menciptakan tekanan
intraoral yang memadai untuk berbicara normal. Masalah apa pun dengan kemampuan
anak untuk memisahkan hidung dari mulut saat berbicara disebut disfungsi
velopharyngeal (VPD). Beberapa jenis VPD dapat diobati dengan terapi wicara saja, dan
jenis VPD lainnya memerlukan pembedahan atau prostesis. Terapi bicara mulai
diperlukan setelah operasi palatoplasty yakni pada usia 2-4 tahun untuk melatih bicara
benar dan meminimalkan timbulnya suara sengau. Setelah operasi masih dapat terjadi
suara sengau karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, karena ada
mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila setelah
palatoplasty dan speech terapi masih didapatkan suara sengau maka dilakukan
pharyngoplasty untuk memperkecil suara nasal (nasal escape) biasanya dilakukan pada
usia 4-6 tahun.26
Untuk pasien yang berusia di bawah 3 tahun, tujuan utama dari terapi bicara adalah
memastikan perkembangan keterampilan bahasa yang sesuai dengan usia. Dengan
demikian, orang tua diberi konseling tentang stimulasi bahasa di rumah, dan intervensi
formal diterapkan, jika diperlukan. Pada tahap ini, orang tua diminta untuk fokus pada
“kuantitas” komunikasi (misalnya, jumlah kata yang dipahami, jumlah kata yang
diucapkan, dan jumlah kata yang disatukan dalam sebuah kalimat). Setelah usia 3 tahun,
fokus manajemen komunikasi bergeser ke "kualitas" komunikasi (misalnya, produksi
suara ucapan, suara, dan resonansi). Pada saat ini, anak sudah cukup besar untuk
kooperatif baik untuk penilaian perseptual dan instrumental dari fungsi velopharyngeal,
dan jalan napas biasanya cukup besar untuk operasi VPD, jika diperlukan. Apabila operasi
VPD atau fistula simptomatik tidak dapat dilakukan, prosthesis dapat digunakan sebagai
salah satu pilihan untuk membantu dalam membantu terapi bicara, alat yang dapat
digunakan yaitu : palatal obturator, palatal lift, speech bulb obturator.16

5. Edukasi
Orang tua sebaiknya diedukasi bahwa cleft lip dan cleft palate adalah kelainan
bawaan yang terbentuk selama perkembangan awal janin. Meskipun mutasi genetik yang
menyebabkan kelain tidak dapat dicegah, ibu hamil dapat mengambil beberapa langkah
untuk mengurangi risiko untuk mencegah paparan lingkungan yang dapat meningkatkan
risiko memiliki anak yang lahir dengan labioschizis maupun palatoschizis. Orang tua
disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan genetik jika memiliki riwayat keluarga
dengan cleft lip atau cleft palate. Sebelum ibu hamil juga harus dipastikan bahwa
imunisasi ibu sudah diperbarui. Selama kehamilan risiko infeksi harus dikurangkan karena
beberapa infeksi pada trimester pertama dapat dihubungkan dengan terbentuknya cleft lip
atau cleft palate. Ibu hamil juga disarankan untuk tidak merokok, merokok pasif dan tidak
konsumsi obat-obatan sembarangan karena dapat bersifat teratogenik.
American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa semua wanita usia
reproduktif mengkonsumsi 0,4 g (400 mcg) asam folat setiap hari untuk mencegah 2 cacat
lahir yang umum dan berat (spina bifida dan anencephaly) menurut US Public Health
Service dan Centers for Disease Control dan Pencegahan. Suplementasi asam folat
prakonsepsi mungkin juga memiliki efek perlindungan terhadap beberapa jenis CL/P.
Saat perawatan antenatal juga penting dilakukan pemeriksaan USG untuk menilai
kelainan kraniofasial dan deteksi dini cleft lip. Saat ini, cleft palate hanya dapat terdeteksi
setelah bayi lahir. Deteksi dini kelainan kraniofasial memungkinkan orang tua dan dokter
perawatan primer mereka untuk mempersiapkan perawatan masa depan anak, termasuk
membentuk tim multidisiplin dari berbagai spesialisasi untuk menyusun rencana
komprehensif.27
Saat bayi lahir, perlu diperhatikan bahwa bayi dengan CL/CP mungkin tidak dapat
menyusui dengan normal karena kekurangan kemampuannya untuk menghisap secara
baik. Proses pemberian makanan dapat dibantu dengan penggunaan cleft feeder, seperti
dot dan botol khusus. Beberapa bayi mungkin tidak memiliki energi untuk mengisap dari
dot, sehingga orang tua dapat menyusui anak menggunakan cangkir dengan sendok. Saat
pemberian minum, beberapa hal harus diperhatikan:
● Saat menyusui, posisi bayi sebaiknya tetap tegak. Dengan posisi tegak, susu akan
keluar dari hidung akibat gravitasi dan bayi tidak akan tersedak.
● Puting diarahkan ke bagian atap mulut yang tidak memiliki celah.
● Bayi harus mengembangkan pola mengisap dan menelan yang konsisten.
Perhatikan satu sampai 3 hisapan diikuti oleh menelan dan kemudian napas.
● Tepuk punggung bayi sesering mungkin agar bayi sendawa, kurang lebih setiap
50-100 cc. Hal ini penting karena bayi dapat menelan lebih banyak udara karena
daya hisap yang lemah.
● Awalnya, beri makan bayi setiap 2 hingga 3 jam, siang dan malam, dengan total 8
hingga 10 kali menyusui dalam periode 24 jam.
● Pemberian minum harus berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Pada awalnya, bayi
mungkin membutuhkan lebih banyak waktu, tetapi seiring berjalannya waktu,
kemampuan menyusui bayi akan lebih baik. Saat kemampuan tersebut membaik,
waktu menyusui harus lebih singkat.

Tumbuh kembang anak juga harus diperhatikan secara teliti karena bayi yang lahir
dengan CL/P harus memiliki pertambahan berat badan dan pertumbuhan yang sama
dibandingkan dengan bayi yang lahir tanpa CL/P. Jika terdapat keterlambatan
perkembangan pada anak harus dipertimbangkan adanya sindrom tertentu.
Selain masalah tumbuh kembang, anak-anak dengan cleft palate lebih sering
mengalami disfungsi tuba Eustachius, infeksi telinga tengah, masalah bicara terkait
sumbing, dan membutuhkan perawatan ortodontik dan pembedahan mulut. Anak-anak
dengan hanya celah palate juga mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk memiliki
sindrom tertentu dibandingkan dengan anak-anak dengan cleft lip dengan atau tanpa cleft
palate.
Orang tua juga harus diberitahu bahwa anak-anak dengan CL/P sering
membutuhkan operasi sekunder, termasuk operasi untuk memperbaiki alat bicara, operasi
pada hidung dan operasi pada rahang. Setelah operasi rekonstruksi primer, orang tua harus
memperhatikan agar anak mengkonsumsi diet cair, tekstur dapat ditingkatkan dalam
waktu beberapa minggu sampai anak dapat mengkonsumsi diet padat. Jahitan operasi
dijaga agar tetap bersih dan hidrasi dengan memberi anak minum air putih setelah setiap
kali makan. Anak juga harus diposisikan dalam posisi prone atau lateral untuk mencegah
aspirasi. Orang tua perlu diberitahu tentang salivasi berlebihan yang terjadi setelah
palatoplasty. Air liur campur dengan darah dapat menambah kekhawatiran perawat pasien
karena mereka akan menganggap semua cairan adalah darah. Menggunakan kasa atau kain
untuk menyeka pendarahan dapat menyebabkan kerusakan lebih banyak atau menyebab
infeksi
pada lokasi operasi. Perawatan terbaik pada saat itu adalah menjaga pasien dalam posisi
lateral/prone dan meminta tenaga kesehatan (dokter/perawat) untuk memeriksa apakah ada
perdarahan. Perhatikan juga agar anak tidak memasukan tangan maupun benda asing
seperti mainan ke dalam mulut.28
Meskipun operasi adalah tindakan penting, anak-anak dengan CL/P membutuhkan
perhatian yang dekat dan berkelanjutan untuk menjaga kesehatan mulut, melatih
kemampuan bicara, melatih pendengaran, pertumbuhan dan perkembangan. Kesehatan
mulut yang baik dan akses ke perawatan gigi dan ortodontik profesional secara teratur
merupakan komponen penting dari perawatan untuk anak-anak dengan CL/P.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Pasien di diagnosa labiognatopalatoschizis bilateral. Saat ini keluhan yang dialami pasien adalah
langit-langit mulut yang tidak menyatu, namun pasien memiliki riwayat bibir sumbing yang sudah
dilakukan tindakan operasi pada saat usia 3 bulan. Keluhan yang dialami pasien dialami sejak
setelah lahir. Selain itu keluhan disertai dengan riwayat tersedak makanan dan sulit mengeluarkan
kata-kata dengan huruf konsonan seperti “mama”/”papa” menjadi “hau-hau”.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan celah pada palatum durum hingga palatum molle yang
disertai dengan uvula yang tidak intak dan tidak terlihat adanya gigi. Jika menurut klasifikasi The
Veau System, bentuk sumbing pasien masuk kedalam klasifikasi Veau Class IV karena pasien
mengalami labioschisis pada bibir kanan maupun kiri ditambah dengan adanya palatoschisis dan
gnatoschisis. Labiopalatoschizis pada pasien ini bukan merupakan bagian dari penyakit
sindromik. Hal ini dikarenakan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya fitur-fitur
sindromik lainnya seperti pada kelainan kongenital yang lain.
Berat badan pasien saat ini adalah 9,5 kg dengan panjang badan 68 cm. Buku kontrol
pasien tidak dibawa namun berdasarkan anamnesis bahwa pertumbuhan pasien sesuai dengan
kurva. Salah satu masalah yang dialami pasien dengan labiognatopalatoschizis adalah malnutrisi.
Hal ini dikarenakan berkurangnya kemampuan pasien saat menghisap akibat adanya celah di
antara cavum nasi dan cavum oral. Pada pemeriksaan antropometri pasien, temuan tidak selaras
dengan yang didapatkan pada anamnesis. Karena pasien berusia 1 tahun, kurva WHO digunakan.
Berat badan pasien sesuai dengan usia, akan tetapi perawakan pasien pendek. Status gizi pasien
juga overweight pada kurva WHO BMI/Age. Perawakan menilai status gizi kronik pasien.
Pada anamnesis, ditemukan bahwa pasien menggunakan botol khusus saat mengkonsumsi
ASI maupun susu formula. Walaupun pasien telah menggunakan botol khusus untuk
mengonsumsi ASI maupun susu formula, teknik menyusui dengan botol dot bisa saja belum
benar. Status gizi overweight dapat berat badan pasien sesuai dengan usia namun perawakan
pasien pendek.
Selain gangguan nutrisi, labiognatopalatoschizis juga dapat mengganggu kemampuan
anak berbicara. Retardasi suara konsonan (p, b, t, d, k, g) adalah penemuan klinis paling sering
ditemui. Pasien mengalami hal tersebut dimana pasien sudah mulai bisa berbicara kata “mama”
“papa” namun tidak sempurna (menjadi “hau-hau”). Hal ini dikarenakan dengan adanya
palatoschisis, lidah tidak dapat menempel ke palatum dan membuat tekanan negatif intraoral dan
mengeluarkan suara konsonan tersebut. Penelitian menunjukan bahwa anak-anak dengan
labiognatopalatoschizis memiliki keterlambatan dalam mengucapkan kata-kata dengan konsonan.
Labioplasty diputuskan untuk dilakukan pada usia 3 bulan karena berdasarkan rekam
medis, di usia tersebut pasien sudah memenuhi kriteria “Rule of ten”. Selain sudah mencapai usia
10 minggu, berat badan pasien sudah mencapai 4,8 kg (+/- 10 pounds) dengan hemoglobin 11
g/dl. Labioplasty direkomendasikan untuk dilakukan di kisaran usia 2-6 bulan dengan catatan rule
of ten lainnya juga terpenuhi.
Beberapa faktor resiko mendasari terjadinya labiopalatoschizis. Antara lain adalah
kurangnya suplementasi asam folat, merokok dan kehamilan pada usia 39 tahun. Pada anamnesis
ditemukan bahwa ibu pasien mengkonsumsi suplemen asam folat 1-2 bulan sebelum hamil dan
selama kehamilan. Riwayat merokok selama kehamilan disangkal. Sehingga kehamilan pada usia
39 tahun merupakan faktor resiko terjadinya labiopalatoschizis.
Alasan pada pasien ini dilakukan tindakan palatoplasty adalah palatoschisis pada pasien
dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti terganggunya asupan nutrisi pasien dan
menyebabkan pertumbuhan pasien terganggu, meningkatkan risiko infeksi pada telinga dan
gangguan berbahasa.
Tindakan palatoplasty pada pasien ini dilakukan pada usia tepat 12 bulan hal ini sesuai
dengan usia yang direkomendasikan. Beberapa sumber menyatakan bahwa palatoplasty dapat
dilakukan pada usia 10 bulan atau bisa menunggu hingga mencapai 24 bulan. Tindakan
palatoplasty dilakukan sebelum usia 24 bulan karena pada usia tersebut anak sudah mulai
memahami kata-kata dan mulai merangkai kalimat-kalimat pendek. Namun hingga saat ini masih
belum ada konsensus apakah pasien dengan cleft palate harus menjalani operasi lebih awal atau
ditunda. Palatoplasty tidak disarankan untuk dilakukan sebelum lebih dini karena dapat
menyebabkan midface hipoplasia.29
Tindakan labioplasty pada pasien ini menggunakan teknik two-flap palatoplasty karena
pada teknik ini menjaga persambungan komponen-komponen lateral dari otot-otot tensor dengan
hamulus sehingga menjaga tegangan otot untuk fungsi tuba eustachius yang normal.30
Setelah dilakukannya tindakan palatoplasty, follow up dilakukan. Komplikasi palatoplasty
mencakup airway obstruction. Pada follow up tanda-tanda airway obstruction perlu dievaluasi
seperti: adanya gargle, pasien tidak dapat berbicara, terdapat stridor dan terdapat retraksi dada.
Selama follow up dilakukan tidak terlihat adanya tanda-tanda airway obstruction. Saat follow up
pasien dapat mengeluarkan suara tanpa adanya gargle. Tidak terlihat adanya retraksi dada maupun
stridor.
Salah satu hal yang perlu dikomunikasikan setelah operasi adalah diet pasien. Pada pasien
ini diet yang diinstruksikan adalah
- Konsumsi air dingin 6 jam setelah operasi.
- Konsumsi susu hangat setelah 24 jam pasca operasi
- Konsumsi bubur susu 48 jam pasca operasi
- Konsumsi bubur encer dan dua telur pada hari ke 5-10 post operasi
- Konsumsi bubur dan dua telur 10-20 hari post operasi
- Konsumsi nasi tim dengan 3 telur/ikan/daging cincang 3 minggu setelah operasi
- Setelah 1 bulan setelah operasi sudah boleh mengkonsumsi nasi biasa
Pemberian minuman/makanan tidak boleh menggunakan sedotan ataupun botol. Mulut harus
dibilas dengan air setelah makan ataupun minum.
Pasien pasca palatoplasty boleh diberikan minuman setelah efek anestesi reda. Hal ini
dikarenakan proses menghisap tidak akan merenggangkan jahitan palatoplasty. Akan tetapi perlu
diperhatikan jenis minuman yang diberikan. Pada 24 jam pertama minuman yang diberikan tidak
boleh panas dan memiliki konsistensi lengket. Hal tersebut cocok dengan yang direkomendasikan
pada pasien ini yakni air putih dingin.28
Namun demikian penggunaan sedotan maupun botol dot tidak disarankan karena dapat
menyebabkan nyeri saat tersenggol oleh jahitan palatum. Seiring berjalannya waktu, makanan
berubah menjadi lebih padat dari biasanya dan melibatkan pemberian protein. Diet tinggi protein
diberikan karena peran protein yang sangat baik pada proses wound healing. Tangan tidak boleh
dimasukan ke dalam mulut dan mulut harus dibilas dengan air setelah minum maupun makan. Hal
ini untuk menjaga higienitas rongga mulut.31
Gambar 3.1 Timeline Tatalaksana Labiopalatoschisis

Namun demikian, tatalaksana labiognatopalatoschizis tidak berhenti disitu. Pada pasien ini
beberapa tindakan dan tatalaksana harus dilakukan guna meningkatkan kualitas hidup dan fungsi
mulut pasien. Akan tetapi, tatalaksana tersebut harus dilakukan pada usia yang sesuai. Setelah
dilakukan palatoplasti, pasien disarankan untuk melakukan speech therapy dan rutin ke dokter
gigi setelah gigi pertama tumbuh. Pasien dengan labiopalatoschizis memiliki resiko yang lebih
tinggi untuk mengalami karies akibat hipoplasia email gigi, sehingga kontrol rutin ke dokter gigi
dengan kekerapan 3-6 bulan sekali sangat disarankan.
Selain speech therapy, kemampuan berbicara pasien harus dipantau sampai setidaknya
usia 5 tahun. Walaupun telah dilakukan palatoplasty, kemungkinan Velopharyngeal Insufficiency
masih dapat terjadi. Velopharyngeal Insufficiency merupakan keadaan dimana palatum molle
tidak menutup secara sempurna ke belakang dinding pharynx saat berbicara. Hal ini menyebabkan
suara pasien menjadi sengau. Tindakan pembedahan speech surgery harus dilakukan jika
velopharyngeal insufficiency terjadi. Selain itu tindakan alveolar bone graft untuk menutup
gnatoschizis dapat dilakukan di usia 6-11 tahun.13
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosowski TR, Weathers WM, Wolfswinkel EM, Ridgway EB. Cleft palate. Semin Plast
Surg. 2012 Nov;26(4):164-9.
2. Shkoukani MA, Chen M, Vong A. Cleft lip–a comprehensive review. Frontiers in
pediatrics. 2013 Dec 27;1:53.
3. Semer NB, Adler-Lavan M. Practical plastic surgery for nonsurgeons. Philadelphia:
Hanley & Belfus; 2001 Feb.
4. Bishara SE, Saunders WB. Textbook of orthodontics. Saunders Book Company; 2001 Mar
21.
5. Kohli SS, Kohli VS. A comprehensive review of the genetic basis of cleft lip and palate.
Journal of oral and maxillofacial pathology: JOMFP. 2012 Jan;16(1):64.
6. Alois CI, Ruotolo RA. An overview of cleft lip and palate. Journal of the American
Academy of PAs. 2020 Dec 1;33(12):17-20.
7. Lakhanpal M, Gupta N, Rao NC, Vashisth S. Genetics of cleft lip and palate-is it still
patchy. JSM Dent. 2014;2:1-4.
8. Bille C, Skytthe A, Vach W, Knudsen LB, Andersen AM, Murray JC, Christensen K.
Parent’s age and the risk of oral clefts. Epidemiology (Cambridge, Mass.). 2005
May;16(3):311.
9. Bernheim N, Georges M, Malevez C, De Mey A, Mansbach A. Embryology and
epidemiology of cleft lip and palate. B ENT. 2006 Jan 1:11.
10. Lalwani AK. Current diagnosis & treatment in otolaryngology: head & neck surgery.
Univerza v Ljubljani, Medicinska fakulteta; 2012.
11. Hopper RA. Cleft lip and palate: embryology, principles, and treatment. Grabb and
Smith’s Plastic Surgery. 7th ed. Lippincot Williams & Wilkins. 2014:173-99.
12. Berkowitz S, editor. Cleft lip and palate: Diagnosis and management. Springer Science &
Business Media; 2006 May 20.
13. Lewis CW, Jacob LS, Lehmann CU. The primary care pediatrician and the care of
children with cleft lip and/or cleft palate. Pediatrics. 2017 May 1;139(5).
14. Vyas T, Gupta P, Kumar S, Gupta R, Gupta T, Singh HP. Cleft of lip and palate: A
review. J Family Med Prim Care. 2020 Jun 30;9(6):2621-2625
15. Goswami M, Jangra B, Bhushan U. Management of feeding problems in a patient with
cleft lip/palate. International journal of clinical pediatric dentistry. 2016 Apr;9(2):143.
16. Swanson JW, editor. Global Cleft Care in Low-Resource Settings. Springer Nature; 2021.
17. Hoffman W.Y., & Balkin D.M. (2020). Cleft lip and palate. Lalwani A.K.(Ed.), Current
Diagnosis & Treatment Otolaryngology—Head and Neck Surgery, 4e. McGraw Hill.
18. Bruce I, Harman N, Williamson P, et al. The management of Otitis Media with Effusion in
children with cleft palate (mOMEnt): a feasibility study and economic evaluation.
Southampton (UK): NIHR Journals Library; 2015 Aug. (Health Technology Assessment,
No. 19.68.) Chapter 1, Introduction.
19. Chandawarkar R.Y., & Miller M.J., & Kellogg B.C., & Schulz S.A., & Valerio I.L., &
Kirschner R.E. (2019). Plastic and reconstructive surgery. Brunicardi F, & Andersen D.K.,
& Billiar T.R., & Dunn D.L., & Kao L.S., & Hunter J.G., & Matthews J.B., & Pollock
R.E.(Eds.), Schwartz's Principles of Surgery, 11e. McGraw Hill.
20. Taylor E.M., & Chun Y.S. (2020). Plastic & reconstructive surgery. Doherty G.M.(Ed.),
Current Diagnosis & Treatment: Surgery, 15e. McGraw Hill.
21. Drake D, Colbert S. Techniques for Cleft Lip Repair. Maxillofacial Surgery. 2017;:948–71
22. Agrawal K. Cleft palate repair and variations. Indian Journal of Plastic Surgery. 2009
Oct;42(S 01):S102-9.
23. Campbell A, Costello BJ, Ruiz RL. Cleft lip and palate surgery: an update of clinical
outcomes for primary repair. Oral and Maxillofacial Surgery Clinics. 2010 Feb
1;22(1):43-58.
24. Tettamanti, L., Avantaggiato, A., Nardone, M., Silvestre-Rangil, J., & Tagliabue, A.
(2017). Cleft palate only: current concepts. ORAL & implantology, 10(1), 45–52.
25. Leow AM, Lo LJ. Palatoplasty: evolution and controversies. Chang Gung Med J. 2008 Jul
1;31(4):335-45.
26. The Center for Children with Special Needs. Cleft Lip and Palate. Critical Elements of
Care. 6th ed. Seattle, WA: Seattle Children’s Hospital; 2018
27. Allam E, Windsor L, Stone C. Cleft lip and palate: etiology, epidemiology, preventive and
intervention strategies. Anat Physiol. 2014 Jul;4(3):1-6.
28. Raghavan U, Vijayadev V, Rao D, Ullas G. Postoperative management of cleft lip and
palate surgery. Facial Plastic Surgery. 2018 Dec;34(06):605-11.
29. Chung K. Grabb and Smith's plastic surgery. Lippincott Williams & Wilkins; 2019 May 1.
30. Ziak P, Fedeles Jr J, Fekiacova D, Hulin Jr I, Fedeles J. Timing of primary lip repair in
cleft patients according to surgical treatment protocol. Bratisl Lek Listy. 2010 Jan
1;111(3):160-2.
31. Russell L. The importance of patient’s nutritional status in wound healing. Clinical.
2001;10(6).

Anda mungkin juga menyukai