Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

Seorang Anak Laki-Laki Usia 3 Tahun dengan Prolonged Fever Susp et


causa Tonsilofaringitis Akut, Anemia Mikrositik Hipokromik
Susp et causa Penyakit Kronis dd Defisiensi Besi, Mikrosefali Susp et causa
malnutrisi, Gizi Kurang

Disusun Oleh:
Kurnia Lintang K G991902034

Residen Pembimbing:

dr. Mas Aditya dr. Amiroh Kurniati, M.Kes, Sp.PK

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


STASE TERINTEGRASI – LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus Patologi Klinik dengan judul:

Seorang Anak Laki-Laki Usia 3 Tahun dengan Prolonged Fever Susp et


causa Tonsilofaringitis Akut, Anemia Mikrositik Hipokromik
Susp et causa Penyakit Kronis dd Defisiensi Besi, Mikrosefali Susp et causa
malnutrisi, Gizi Kurang

Oleh:
Kurnia Lintang K G991902034

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

dr. Amiroh Kurniati, M.Kes, Sp.PK


BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama :B
Usia : 3 tahun 11 bulan
Tanggal Lahir : 24 Mei 2015
Berat Badan : 11 kg
TinggiBadan : 95 cm
Jenis Kelamin : Lelaki
Alamat : Ciputat, Tangerang
Tanggal Pemeriksaan : 3 Mei 2019
Nomor Rekam Medis : 01 33 xx xx

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Demam
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan demam. Demam sudah
dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Demam dirasakan mendadak tinggi dan terus
menerus. Suhu tubuh saat demam tidak diukur oleh orang tua pasien hanya
melalui perabaan saja. Tidak didapatkan mimisan, gusi berdarah dan batuk pilek.
Tidak didapatkan adanya mual muntah, kejang dan nyeri saat buang air kecil .
Buang air besar dalam batas normal dan tidak keluar cairan dari telinga. Orang tua
pasien memberi obat penurun panas pada pasien.
3 hari SMRS demam masih didapatkan dengan tipe demam yang sama pada
pasien. Badan terasa lemas dan nafsu makan semakin turun. Pasien mual dan
muntah apabila diberikan makan. Tidak didapatkan kejang. Didapatkan batuk
tidak berdarah, nyeri saat menelan dan nyeri saat BAK. Tidak didapatkan cairan
keluar dari telinga.
Pada hari MRS saat di IGD pasien sadar penuh, terlihat lemas, masih
didapatkan demam disertai dengan mual namun tidak muntah, didapatkan nyeri
telan. Tidak didapatkan kejang pada pasien. BAK dan BAB terakhir saat di IGD.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Pasien rutin kontrol ke poli neurologi dan endokrin anak, rutin minum obat
asam valproat, fenobarbital dan levotiroksin.
b. Riwayat alergi obat : vancomisin
c. Riwayat alergi : susu sapi
d. Riwayat saat kronis : TB paru, selesai pengobatan April 2018

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat atopi : diakui, asma
c. Riwayat Hipertensi : disangkal
d. Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS kesehatan kelas III.
6. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Status ibu G2P1A0, usia ibu saat hamil adalah 29 tahun. Ibu rutin kontrol
selama masa kehamilan di bidan dan menerima vitamin dan asam folat. Riwayat
penyakit saat kehamilan disangkal. Kesan kehamilan normal.
Pasien lahir spontan, cukup bulan, dan berat lahir 3100gram, panjang badan
53cm, langsung menangis kuat, tidak biru, gerak aktif, tidak kuning. Kesan
kelahiran normal.
7. Riwayat Imunisasi
0 bulan : Hep B
1 bulan : BCG, Polio 1 `
2 bulan : DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan : DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan : DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan : Campak
18 bulan : DPT-HB, polio (booster)
24 bulan : Campak (booster)
Kesan imunisasi lengkap sesuai jadwal Kemenkes 2014.
8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan :BB = 11 kg, PB = 95cm
Perkembangan :Pasien dapat tengkurap pada usia 4 bulan

1
Pasien dapat duduk pada usia 6 bulan
Pasien dapat merangkak pada usia 9 bulan
Pasien dapat berjalan pada usia 18 bulan
Pasien dapat bicara pada usia 2 tahun
Kesan : Pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia.
9. Riwayat Nutrisi
Pasien makan tidak teratur dalam sehari dengan lauk dan sayur. Kesan kuantitas
dan kualitas nutrisi tidak adekuat.
10. Pohon Keluarga

II

III

An.B usia 3 tahun

Keterangan:
Laki-laki Perempuan Pasien

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak sakit sedang, kesadaran composmentis (E4V5M6)
2. Tanda vital
Suhu : 38.8oC
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Denyutnadi :102x/menit
Saturasi O2 : 99%
Frekuensi pernapasan : 24 x/menit
3. Kepala
Mikrocephal, Lingkar kepala 48 cm

2
4. Mata
konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), oedem
palpebra (-/-)
5. Telinga
Sekret (-/-),nyeri telinga (-/-)
6. Hidung
NCH (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
7. Mulut
Mukosa basah (+), faring hiperemis (+), Tonsil T2-T2 hiperemis (+/+), ulcer (-)
8. Leher
Pembesaran KGB (-/-)
9. Thorax
Simetris kanan dan kiri, retraksi (-), normochest
10. Cor
Inspeksi : iktus cordis tak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi Jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
11. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-), RBH (-/-)
12. Abdomen :
Inspeksi : dinding dada sejajar dinding perut
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak alih (-)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan(-)
13. Ekstremitas
Akral dingin (-/-), ADP teraba kuat, CRT <2 detik, petechie (-/-)
14. Genitalia
Phimosis (+)
15. Status gizi
Perhitungan Status Gizi

3
TB/U : TB/U Z-score= -2 SD (normoheight)
BB/U :BB/U Z-score = -3 SD (underweight)
PB/BB : BB/TB -3 SD< Z-score < -2 SD (gizi kurang)
Kesan gizi kurang

D. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Tanggal : 03-05-2019 (RSDM )
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Hematologi
Rutin
Hemoglobin 8.9 10.8-12.8
Hematokrit 25 35 - 43
Leukosit 6.3 5.5 - 17
Trombosit 712 150 - 450
Eritrosit 2.87 3.90 - 5.30
Index Eritrosit
MCV 75.0 80.0 - 96.0
MCH 25.0 28.0 - 33.0
MCHC 35.2 33.0 - 36.0
RDW 12.4 11.6 - 14.6
MPV 7.1 7.2 - 11.1
PDW 15 25 - 65
HitungJenis
Eosinofil 2.00 1.00 - 2.00
Basofil 0.10 0.00 - 1.00
Netrofil 55.50 29.00 - 72.00
Limfosit 42.20 60.00 - 66.00
Monosit 0.15 0.00 - 6.00
Kimia Klinik
Elektrolit
Natrium darah 130 132-15
Kalium darah 3.3 3.1-5.1
Chlorida darah 101 98-106

4
E. DAFTAR MASALAH
Anak laki-laki usia 3 tahun 8 bulan, berat badan 11 kg dengan :
1. Demam sudah 2 minggu, demam mendadak tinggi, demam tidak turun setelah
pemberian obat.
2. Mual dan muntah
3. Suhu 38.8 °C
4. Mikrosefal, LK 48 cm
5. Faring hiperemis
6. Tonsil T2-T2 hiperemis
7. Anemia mikrositik, hipokromik, trombositosis
8. Gizi kurang, normoheight, underweight
9. Riwayat TB selesai pengobatan
10. Riwayat pengobatan epilepsi dan hipotiroid kongenital sampai saat ini

F. DIAGNOSIS BANDING
1. Prolonged fever ec Tonsilofaringitis akut dd ISK dd Demam Tifoid dd infeksi
CMV
2. Mikrosefali ec susp infeksi CMV dd malnutrisi
3. Anemia mikrositik hipokromik ec susp defisiensi Fe dd penyakit kronis
4. Gizi kurang

G. DIAGNOSIS KERJA
1. Prolonged fever ec Tonsilofaringitis akut dd ISK dd Demam tifoid dd infeksi
CMV
2. Mikrosefali ec susp infeksi CMV dd malnutrisi
3. Anemia mikrositik hipokromik ec susp defisiensi Fe dd penyakit kronis
4. Gizi kurang

H. DIAGNOSIS LABORATORIS
Pemeriksaan lab darah
Kesan :
- Anemia mikrositik hipokromik
- Penurunan hematokrit
- Trombositosis
- Limfositopenia relatif

5
- Hiponatremia ringan

I. PENATALAKSANAAN
1. Rawat inap bangsal infeksi dan penyakit tropis
2. Diet nasi lauk 1000 kkal/hari
3. IVFD D5 ¼ NS 42 ml/jam
4. Injeksi ampicilin sulbactam (25mg/kgBB/6 jam) : 250 mg/6jam IV
5. Injeksi Paracetamol (15mg/kgBB/8jam) : 150 mg/8jam IV

J. PLANNING
Pemeriksaan Manfaat
Panel besi Melihat profil besi pasien untuk melihat apakah ada
anemia defisiensi besi
Gambaran darah tepi Untuk melihat morfologi darah pasien menegakkan
diagnosis anemia hipokromik mikrositik
IgM salmonella Menegakkan diagnosis demam tifoid
IgG, IgM CMV Menegakkan diagnosis infeksi CMV
Urinalisis Melihat apakah ada kelainan di sistem urologi terkait
dengan demam berkepanjangan pada pasien
Feses rutin Melihat apakah ada investasi parasit
Kultur swab tenggorok Menegakkan diagnosis tonsilofaringitis, identifikasi
penyebab tonsilofaringitis

K. MONITORING
1. KUVS/ SiO2/ 8 jam
2. Balance cairan dan diuresis/8 jam

L. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

6
Follow Up 03/05/2019 (DPH-1) 04/05/2019 (DPH-2)
Subjektif Demam (+), batuk berdahak (-), nyeri Demam (+), batuk berdahak (-) ,
telan (+) nyeri telan (+) berkurang
Objektif -
Keadaan umum Tampak sakit sedang Tampak sakit sedang
GCS E4V5M6 E4V5M6
Tanda Vital HR : 106 x/menit HR : 108x/menit
RR : 23 x/menit RR : 22 x/menit
S : 38,5°C S : 37.8°C
BCD BC : +46ml BC : +150ml
D : 3,75 ml/kg/jam D : 3,75 ml/kg/jam
Kepala Mikrocephal, LK 48 cm Mikrocephal, LK 48 cm
Mata Anemis (-/-), ikterik (-/-), edema Anemis (-/-), ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-) palpebra (-/-)
Hidung NCH (-/-), epistaksis(-) NCH (-/-), epistaksis(-)
Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-)
Mulut Faring hiperemis (+) Tonsil T2-T2 Faring hiperemis (+) Tonsil T2-T2
Leher Tidak didapatkan pembesaran KGB, Tidak didapatkan pembesaran KGB
Thorax Simetris, retraksi (-), Simetris, retraksi (-)
Cor BJ I-II reguler, bising (-) BJ I-II reguler, bising (-)
Pulmo SDV (+/+), suara napas tambahan SDV (+/+), suara napas tambahan
(-/-) (-/-)
Abdomen Supel, hepatomegali (-), Supel, hepatomegali (-),
splenomegali (-), distensi (-), pekak splenomegali (-), distensi (-), pekak
alih (-), bising usus (+) normal alih (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas Akral hangat, ADP teraba kuat, CRT Akral hangat, ADP teraba kuat, CRT
<2 detik, oedem (-) <2 detik, oedem (-)
Pemeriksaan Pemeriksaan Serologi
Penunjang IgM Salmonella Typhii : Negative

Hasil Urinalisa
Warna : Kuning
Kejernihan : Jernih
Berat Jenis : 1.108
pH : 6.6
Leukosit : Negatif
Nitrit : Negatif
Protein : Negatif
Glukosa : Normal

7
Keton : Negatif
Urobilinogen : Normal
Bilirubin : Negatif
Eritrosit : Negatif

Asesment 1. Prolonged fever ec 1. Prolonged fever ec


Tonsilofaringitis akut dd Tonsilofaringitis akut dd
ISK dd Demam tifoid dd infeksi CMV
infeksi CMV 2. Mikrosefali ec susp infeksi
2. Mikrosefali ec susp infeksi CMV dd malnutrisi
CMV dd malnutrisi 3. Anemia mikrositik
3. Anemia mikrositik hipokromik ec susp
hipokromik ec susp penyakit kronis
defisiensi Fe dd penyakit 4. Gizi kurang
kronis
4. Gizi kurang

Plan GDT, Urinalisa, swab tenggorok, Tunggu hasil kultur swab tenggorok
IgG-IgM Salmonella, Feces, Panel (3/5/2019)
besi

Terapi Rawat inap bangsal infeksi dan Diet nasi lauk 1000 kkal/hari
penyakit tropis, raber neurologi, IVFD D5 ¼ NS 42 ml/jam
raber endokrin
Injeksi ampicilin sulbactam
Diet nasi lauk 1000 kkal/hari (25mg/kgBB/6 jam) : 250
IVFD D5 ¼ NS 42 ml/jam mg/6jam IV
Injeksi ampicilin sulbactam Injeksi Paracetamol
(25mg/kgBB/6 jam) : 250 (15mg/kgBB/8jam) : 150
mg/6jam IV mg/8jam IV
Injeksi Paracetamol
(15mg/kgBB/8jam) : 150
mg/8jam IV

Monitoring KUVS/TD/8 jam KUVS/SiO2/8 jam


BCD/ 8 jam BCD/ 8 jam

Follow Up 05/05/2019 (DPH-3) 06/05/2019 (DPH-4) 07/05/2019 (DPH-5)

8
Subjektif Demam (+), nyeri telan Demam (+) dan terasa Demam (+), nyeri telan
(+), makan hanya 1-3 nyeri telan berkurang bekurang, makan sedikit-
sendok setiap kali makan sedikit
Objektif
Keadaan Tampak sakit sedang Tampak sakit sedang Tampak sakit sedang
umum
GCS E4V5M6 E4V5M6 E4V5M6
Tanda Vital HR : 104x/menit HR : 105x/menit HR : 108x/menit
RR : 24 x/menit RR : 23x/menit RR : 22x/menit
S : 37.7°C S : 37.6°C S : 37.3°C
SpO2 : 99%
BCD BC : -40ml BC : +46ml BC : +150ml
D : 2,5 ml/kg/jam D : 3,75 ml/kg/jam D : 3,75 ml/kg/jam
Kepala Mikrocephal, LK 48 cm Mikrocephal, LK 48 cm Mikrocephal, LK 48 cm
Mata Anemis (-/-), ikterik (-/-), Anemis (-/-), ikterik (-/-), Anemis (-/-), ikterik (-/-),
edema palpebra (-/-) edema palpebra (-/-) edema palpebra (-/-)
Hidung NCH (-/-), epistaksis (-) NCH (-/-), epistaksis(-) NCH (-/-), epistaksis(-)
Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-)
Mulut Faring hiperemis (+) Faring hiperemis (+) Faring hiperemis (+)
Tonsil T2-T2 Tonsil T2-T2 Tonsil T2-T2
Leher Tidak didapatkan Tidak didapatkan Tidak didapatkan
pembesaran KGB pembesaran KGB, pembesaran KGB
Thorax Simetris, retraksi (-) Simetris, retraksi (-), Simetris, retraksi (-)
Cor BJ I-II reguler, bising (-) BJ I-II reguler, bising (-) BJ I-II reguler, bising (-)
Pulmo SDV (+/+), suara napas SDV (+/+), suara napas SDV (+/+), suara napas
tambahan (-/-) tambahan (-/-) tambahan (-/-)
Abdomen Supel, hepatomegali (-), Supel, hepatomegali (-), Supel, hepatomegali (-),
splenomegali (-), distensi splenomegali (-), distensi splenomegali (-), distensi
(-), pekak alih (-), bising (-), pekak alih (-), bising (-), pekak alih (-), bising
usus (+) normal usus (+) normal usus (+) normal
Ekstremitas Akral hangat, ADP teraba Akral hangat, ADP teraba Akral hangat, ADP teraba
kuat, CRT <2 detik, kuat, CRT <2 detik, kuat, CRT <2 detik,
oedem (-) oedem (-) oedem (-)
Pemeriksaan Swab Tenggorok:
Penunjang bakteri Streptococcus
B-Haemoliticus : Positif
Gambaran Darah Tepi :
Anemia mikrositik
hipokromik et causa
penyakit kronis

9
Asesment 1. Prolonged fever 1. Prolonged fever 1. Prolonged fever
ec ec ec
Tonsilofaringitis Tonsilofaringitis Tonsilofaringitis
akut dd infeksi akut dd infeksi akut dd infeksi
CMV CMV CMV
2. Mikrosefali ec 2. Mikrosefali ec 2. Mikrosefali ec
susp infeksi susp infeksi susp infeksi
CMV dd CMV dd CMV dd
malnutrisi malnutrisi malnutrisi
3. Anemia 3. Anemia 3. Anemia
mikrositik mikrositik mikrositik
hipokromik ec hipokromik ec hipokromik ec
penyakit kronis penyakit kronis penyakit kronis
4. Gizi kurang 4. Gizi kurang 4. Gizi kurang
Plan Feses rutin Tunggu hasil pemeriksaan Hasil Parasitologi Feses:
Serologi IgG IgM CMV feses (5/5/19) Maksroskopis
Tunggu hasil pemeriksaan Konsistensi : Lunak
CMV (5/5/19)
Warna : kuning
Darah : Negatif
Lendir : Negatif
Lemak : Negatif
Pus : Negatif
Makanan tak tercerna :
Negatif
Parasit : Negatif
Mikroskopis :
Sel epitel : Negatif
Leukosit : Negatif
Eritrosit : Negatif
Makanan tak tercerna :
Negatif
Telur cacing : Negatif
Larva cacing : Negatif
Proglotid cacing : Negatif
Protozoa : Negatif
Yeast/pseudohifa : Negatif

Terapi Diet nasi lauk 1000 Diet nasi lauk 1000 Diet nasi lauk 1000
kkal/hari kkal/hari kkal/hari
IVFD D5 ¼ NS 42 IVFD D5 ¼ NS 42 IVFD D5 ¼ NS 42
ml/jam ml/jam ml/jam
Injeksi ampicilin Injeksi ampicilin Injeksi ampicilin

10
sulbactam sulbactam sulbactam
(25mg/kgBB/6 jam) : (25mg/kgBB/6 jam) : (25mg/kgBB/6 jam) :
250 mg/6jam IV 250 mg/6jam IV 250 mg/6jam IV
Injeksi Paracetamol Injeksi Paracetamol Injeksi Paracetamol
(15mg/kgBB/8jam) : (15mg/kgBB/8jam) : (15mg/kgBB/8jam) :
150 mg/8jam IV 150 mg/8jam IV 150 mg/8jam IV
Monitoring KUVS/SiO2/8 jam KUVS/SiO2/8 jam KUVS/SiO2/8 jam
BCD/8 jam BCD/8 jam BCD/ 8 jam

Follow Up 08/05/2019 (DPH-6) 09/05/2019 (DPH-7) 10/05/2019 (DPH-8)

Subjektif Demam (+), BAB cair (-), Demam (-), BAB cair (-), Demam (-), BAB cair (-),
muntah (-), kejang (-) muntah (-) muntah (-)

Objektif

Keadaan Tampak sakit sedang Tampak sakit sedang Tampak sakit sedang
umum

GCS E4V5M6 E4V5M6 E4V5M6

Tanda Vital HR : 110x/menit HR : 101x/menit HR : 106x/menit

RR : 22x/menit RR : 23x/menit RR : 21x/menit

S : 36.9°C S : 36.8°C S : 36.6°C

SpO2 : 99%

BCD BC : +180 BC : BC : +136ml

D : 1.25 D : D : 2.5 ml/kg/jam

Kepala Mikrocephal Mikrocephal Mikrocephal

Mata Anemis (-/-), ikterik (-/-), Anemis (-/-), ikterik (-/-), Anemis (-/-), ikterik (-/-),
edema palpebra (-/-) edema palpebra (-/-) edema palpebra (-/-)

Hidung NCH (-/-), epistaksis (-) NCH (-/-), epistaksis(-) NCH (-/-), epistaksis(-)

Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-)

Mulut Mukosa basah (+),Faring Mukosa basah (+) Faring hiperemis (-)
hiperemis (-) Tonsil T2- (+), Faring hiperemis (-) Tonsil T2-T2 hiperemis
T2 hiperemis (-/-) Tonsil T2-T2 hiperemis (-/-), Mukosa basah (+)
(-/-)

Leher Tidak didapatkan Tidak didapatkan Tidak didapatkan


pembesaran KGB pembesaran KGB, pembesaran KGB

Thorax Simetris, retraksi (-) Simetris, retraksi (-), Simetris, retraksi (-)

11
Cor BJ I-II reguler, bising (-) BJ I-II reguler, bising (-) BJ I-II reguler, bising (-)

Pulmo SDV (+/+), suara napas SDV (+/+), suara napas SDV (+/+), suara napas
tambahan (-/-) tambahan (-/-) tambahan (-/-)

Abdomen Supel, hepatomegali (-), Supel, hepatomegali (-), Supel, hepatomegali (-),
splenomegali (-), distensi splenomegali (-), distensi splenomegali (-), distensi
(-), pekak alih (-), bising (-), pekak alih (-), bising (-), pekak alih (-), bising
usus (+) normal usus (+) normal usus (+) normal

Ekstremitas Akral hangat, ADP teraba Akral hangat, ADP teraba Akral hangat, ADP teraba
kuat, CRT <2 detik, kuat, CRT <2 detik, kuat, CRT <2 detik,
oedem (-) oedem (-) oedem (-)

Pemeriksaan Pemeriksaan CMV:


Penunjang IgG CMV: Negatif
IgM CMV : Negatif
Asesment 1. Prolonged fever 1. Prolonged fever 1. Prolonged fever
ec ec ec
Tonsilofaringitis Tonsilofaringitis Tonsilofaringitis
akut dd infeksi akut dd infeksi akut
CMV CMV 2. Mikrosefali ec
2. Mikrosefali ec 2. Mikrosefali ec malnutrisi
susp infeksi susp infeksi 3. Anemia
CMV dd CMV dd mikrositik
malnutrisi malnutrisi hipokromik ec
3. Anemia 3. Anemia penyakit kronis
mikrositik mikrositik 4. Gizi kurang
hipokromik ec hipokromik ec
penyakit kronis penyakit kronis
4. Gizi kurang 4. Gizi kurang
Plan BLPL

Terapi Diet nasi lauk 1000 Diet nasi lauk 1000 Diet nasi lauk 1000
kkal/hari kkal/hari kkal/hari
IVFD D5 ¼ NS 42 IVFD D5 ¼ NS 42 IVFD D5 ¼ NS 42
ml/jam ml/jam ml/jam
Injeksi ampicilin Injeksi ampicilin Injeksi ampicilin
sulbactam sulbactam sulbactam
(25mg/kgBB/6 jam) : (25mg/kgBB/6 jam) : (25mg/kgBB/6 jam) :
250 mg/6jam IV 250 mg/6jam IV 250 mg/6jam IV
Injeksi Paracetamol Injeksi Paracetamol Injeksi Paracetamol
(15mg/kgBB/8jam) : (15mg/kgBB/8jam) : (15mg/kgBB/8jam) :
150 mg/8jam IV 150 mg/8jam IV 150 mg/8jam IV
Monitoring KUVS/SiO2/8 jam KUVS/TD/8 jam KUVS/SiO2/8 jam

12
BCD/8 jam BCD/ 8 jam

FOLLOW UP LABORATORIS
1. 4 Mei 2019 (RSUD Dr Moewardi)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
MAKROSKOPIS
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
KIMIA URIN
Berat Jenis 1.108 1015 – 1025
pH 6.6 4.5 – 8.0
Leukosit Negatif /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Negatif mg/dl Negatif
Glukosa Negatif mg/dl Negatif
Keton Negatif mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal mg/dl Normal
Bilirubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit Negatif mg/dl Negatif
MAKROSKOPIS
Leukosit 1.3 /LPB 0 – 12
EPITEL
Epitel Skuamous 0 /LPB Negatif
Epitel Transisional 0 /LPB Negatif
Epitel Bulat 0 /LPB Negatif
SILINDER
Hyline 0 /LPK 0–3
Granulated - /LPK Negatif
SEROLOGIS
IgM Salmonella
Negatif Negatif
Typhii
2. 5 Mei 2019

3. Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan 7


Swab tenggorok
Bakteri
streptococcus
Positif Negatif
haemoliticus grup-
B

Gambaran darah tepi


Anemia mikrositik hipokromik dengan limfositopenia relatif dan
trombositosis dd infeksi kronis dd defisiensi besi
Mei 2019

13
Hasil Parasitologi Feses :
Pemeriksaan Hasil
Makroskopis
Konsistensi Lunak
Warna Kuning
Darah Negatif
Lendir Negatif
Lemak Negatif
Pus Negatif
Makanan tak
Negatif
tercerna
Parasit Negatif
Mikroskopis
Sel epitel Negatif
Leukosit Negatif
Eritrosit Negatif
Makanan tak
Negatif
tercerna
Telur cacing Negatif
Larva cacing Negatif
Proglotid cacing Negatif
Protozoa Negatif
Yeast / pseudohifa Negatif

4. 10 Mei 2019

SEROLOGIS
IgM CMV Negatif Negatif
IgG CMV Negatif Negatif

BAB II

ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, pasien laki-laki 3 tahun didapatkan keluhan demam sejak 2
minggu SMRS. Suhu tubuh saat demam tidak diukur oleh orang tua pasien.

14
Tidak didapatkan adanya mual muntah, kejang dan nyeri saat buang air kecil.
Buang air besar dalam batas normal. Orang tua pasien memberi obat penurun
panas pada pasien. Tidak didapatkan mimisan, gusi berdarah dan batuk pilek.
Pada demam yang berlangsung 2-7 hari dapat disebabkan oleh banyak hal
diantaranya infeksi bakteri salmonella, infeksi virus dengue, dan infeksi saluran
kemih. Pada pasien ini ditemukan demam tinggi sudah 2 minggu, yang dimulai
dengan tipe demam mendadak tinggi dan terus menerus yang kemungkinan
dapat disebabkan oleh infeksi yang lama. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri
maupun virus, demam yang disebabkan oleh infeksi bakteri cenderung terjadi
perlahan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Selain itu, infeksi bakteri juga
ditandai dengan adanya keluhan yang lebih dirasakan pada daerah terjadinya
infeksi. Sementara, pada infeksi virus keluhan cenderung tersebar dan tidak
spesifik.
Tiga hari SMRS didapatkan demam pada pasien, demam turun ketika diberi
obat penurun panas namun kemudian naik kembali. Badan terasa lemas, nafsu
makan semakin turun. Pasien mual dan muntah apabila diberikan makan.
Frekuensi buang air kecil berkurang, namun tidak didapatkan nyeri saat
berkemih. Tidak didapatkan kejang. Didapatkan batuk berdahak yang tidak
berdarah dan nyeri saat menelan. Demam yang lebih dari 14 hari dan belum
diketahui penyebab pastinya serta suhu tubuh di atas 38°C disebut prolonged
fever atau demam berkepanjangan. Penyebab paling sering dari demam ini
adalah kemungkinan adanya infeksi, keganasan atau penyakit jaringan ikat
meskipun penyebab spesifiknya berbeda-beda. Pada anak, infeksi merupakan
penyebab paling banyak.
Untuk menegakkan penyebab pasti dari demam berkepanjangan pada pasien
ini, maka dilakukan observasi pada kemungkinan terjadinya infeksi melalui
pemeriksaan fisik dan penunjang. Anamnesis yang lengkap dan sistematis serta
pemeriksaan fisik yang akurat dibutuhkan untuk dasar penegakkan penyebab
dari demam pada pasien. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi
pemeriksaan darah lengkap untuk melihat adakah tanda-tanda infeksi atau
inflamasi, urinalisis untuk melihat adakah kemungkinan gangguan pada saluran
kencing seperti infeksi, feses rutin untuk melihat adakah investasi parasit dalam
feses, gambaran darah tepi untuk mengetahui penyebab anemia pada pasien,
swab tenggorok untuk penegakkan diagnosis tonsilofaringitis pada pasien,

15
pemeriksaan IgM salmonella untuk melihat adakah infeksi bakteri salmonella
pada pasien, pemeriksaan IgM dan IgG CMV untuk melihat adakah infeksi
CMV pada pasien serta panel besi untuk menilai adakah anemia defisiensi besi
pada pasien. Pada pasien ini, hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan
batuk berdahak dan nyeri saat menelan, pasien juga mengeluh mual dan badan
terasa lemas. Hal itu dapat menunjukkan adanya proses inflamasi pada pasien.
Orang tua pasien juga mengaku pasien pernah menderita riwayat penyakit
tuberkulosis dan sudah menjalani pengobatan serta dinyatakan sembuh.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien meliputi pemeriksaan
darah, feses, urin, gambaran darah tepi, swab tenggorok, pemeriksaan serologi
dan panel besi untuk megevaluasi hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan
pada pasien. Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan hasil anemia
hipokromik mikrositik bisa karena defisiensi besi atau karena penyakit kronis,
meningat pasien menderita hipotiroid dan epilepsi, terjadi penurunan hematokrit
sejalan dengan anemia pada pasien, penurunan eritrosit sejalan dengan anemia
pada pasien dan limfositopenia kemungkinan karena suspek infeksi virus, dan
terjadi trombositosis karena pada keadaan infeksi sitokin proinflamasi akan
memicu pembentukan trombosit. Peningkatan pada eosinofil dapat menunjukkan
bahwa sedang terjadinya proses hipersensitivitas atau adanya investasi parasit.
Hasil pemeriksaan swab tenggorok didapatkan bakteri Streptococcus B-
Haemoliticus yang mengindikasikan adanya infeksi bakteri tersebut pada saluran
faring sehinggan terjadi keluhan nyeri saat menelan dan tonsil yang membesar
serta merah. Pada pemeriksaan gambaran darah tepi didapatkan hasil yang
menunjukkan adanya anemia mikrositik hipokromik yang disebabkan karena
penyakit kronis. Hasil analisis urin, feses dan titer IgM salmonella pada pasien
tidak ditemukan hasil yang berarti (negatif). Pada pemeriksaan IgM dan IgG
CMV juga didapatkan hasil negatif.
Saat ini pasien berusia 3 tahun dengan berat badan 11 kg dan tinggi badan
95 cm. Pada antropometri didapatkan gizi kurang, underweight dan
normoheight. Permasalahan terkait gizi pasien adalah pasien sulit makan karena
merasa mual saat makan. Pasien jarang mengkonsumsi sayur dan buah. Keadaan
gizi kurang pada pasien dapat menjadi penyulit dalam proses penyembuhan
karena lebih sulit dalam menentukan kebutuhan cairan pasien dan membuat
tubuh pasien rentan terserang infeksi.

16
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Berkepanjangan
1. Definisi

Demam berkepanjangan adalah kondisi suhu tubuh >38 ̊ C yang


menetap dan berlangsung selama lebih dari 14 hari dengan penyebab yang
telah diketahui atau belum diketahui. Walaupun angka mortalitas pada
kejadian demam berkepanjangan tidak tinggi, tetapi penegakkan diagnosis
merupakan masalah yang dihadapi pada kasus ini (Latupeirissa, 2017).
Penyebab tersering dari kejadian demam berkepanjangan adalah
infeksi, keganasan, dan penyakit kolagen-vaskular. Infeksi merupakan
penyebab terbesar dari kejadian demam berkepanjangan (78%), etiologi
infeksi berasal dari infeksi virus maupun bakteri. Infeksi virus merupakan
20% penyebab dari kasus demam berkepanjangan pada anak. Infeksi
bakteri yang paling sering didapatkan pada penderita demam
berkepanjangan adalah infeksi saluran kencing (Cipto, Bakry and
Tumbelaka, 2008).
Penyebab kedua terbanyak pada kasus demam berkepanjangan
adalah penyakit kolagen-vaskular (5%), dengan manifestasi penyakit yang
paling sering terjadi adalah artritis rheumatoid juvenile sistemik.
Penyebab ketiga terbanyak adalah keganasan, leukemia adalah kasus yang
paling sering menyebabkan demam berkepanjangan.
Kesulitan mencari penyebab demam berkepanjangan disebabkan
karena banyak faktor, terdapat lebih dari 200 penyebab demam
berkepanjangan yang menyebabkan kesulitan mencari penyebab
terjadinya demam dan fokus infeksi (Antoon, Potisek and Lohr, 2015).

2. Etiologi
Penyebab demam berkepanjangan paling banyak adalah penyakit
infeksi, bisa karena infeksi bakteri, infeksi virus, maupun infeksi jamur.
Infeksi bakteri yang paling sering menyebabkan demam berkepanjangan
diantaranya yaitu infeksi saluran kemih, tuberculosis, leptospirosis,

18
tifoid, bakteriemia, meningitis bakterialis, bronkopneumonia, otitis
media, enterokolitis, dan zoonosis. Infeksi virus yang menyebabkan
demam berkepanjangan diantaranya HIV dan eksantema. Infeksi jamur
yang sering menyebabkan demam berkepanjangan adalah candida.
Penyebab demam berkepanjangan yang kedua terbanyak yaitu
keganasan, neuroblastoma dan leukemia limfositik akut merupakan dua
keganasan yang sering menyebabkan demam berkepanjangan. Penyebab
demam berkepanjangan ketiga terbanyak yaitu penyakit kolagen-
vaskular, penyakit yang sering menyebabkan demam berkepanjangan
yaitu rheumatoid artritis juvenile sistemik dan lupus eritematosus
sistemik.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan untuk menegakkan
diagnosis yaitu pemeriksaan darah tepi, hitung jenis leukosit, laju endap
darah, urinalisa, foto thorax, pemeriksaan serologi HIV, biakan darah,
biakan urin, serta biakan feses.
Kuman terbanyak pada biakan darah pasien dengan demam
berkepanjangan adalah Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus
pneumonia, Staphylococcus aureus, E. coli, Salmonella, dan
Enterobacter spp.
Pada biakan urin, kuman terbanyak adalah E. coli dan
Streptococcus anhemolitikus. Pada biakan feses, Eschericia coli
merupakan penyebab bakteri terbanyak.

B. Tonsilofaringitis
1. Definisi
Faringitis adalah inflamasi pada membrane mukosa yang secara
luas menyangkut tonsillitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis. Infeksi
pada daerah faring dan sekitarnya yang ditandai dengan keluhan nyeri
tenggorok. Penyebab terbanyak adalah infeksi, baik itu infeksi virus
maupun infeksi bakteri. Penyebab lain selain infeksi yaitu alergi,
trauma, toksin, dan keganasan (Almarshad, Alsaiari and Qaq, 2018).

19
2. Etiologi
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama
pada anak berusia ≤ 3 tahun. Virus penyebab penyakit respiratori
seperti adenovirus, rhinovirus, dan virus parainfluenza dapat menjadi
penyebabnya. Streptococcus beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah
bakteri terbanyak penyebab penyakit faringitis atau tonsilofaringitis
akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% pada anak sedangkan pada
dewasa hanya sekitar 5-10% kasus.mikroorganisme seperti klamidia
dan mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan infeksi, tetapi sangat
jarang terjadi (Wolford and Schaefer, 2019).
Faringotonsilitis kronik memiliki faktor predisposisi berupa radang
kronik di faring, seperti rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh
rokok, minum alcohol, inhalasi uap dan debu, beberapa jenis makanan,
hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan
pengobatan tonsillitis akut sebelumnya yang tidak adekuat
(Rusmarjono et al., 2007).

3. Patogenesis
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini,
kontak langsung dengan mukosa nasofaring dan orofaring yang
terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi, serta melalui
makanan merupakan cara penularan yang kurang berperan. Penyebaran
SBHGA memerlukan penjamu yang rentan dan difasilitasi dengan
kontak yang erat (Almarshad, Alsaiari and Qaq, 2018).
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa
faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal.
Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum
mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius
di faring yang menyebabkan peradangan lokal sehingga menyebabkan
eritem faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptococcus ditandai
dengan invasi lokal serta penglepasan toksin ekstraseluler dan protease.
Transmisi dari virus dan SBHGA lebih banyak terjadi akibat kontak
tangan dengan sekret hidung atau droplet dibandingkan kontak oral.

20
Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 24-72
jam (Martin, 2015).

4. Manifestasi Klinik
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri streptococcus berupa
nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam.
Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2
tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga
didapatkan demam tinggi dan nyeri tenggorok. Gejala seperti
rhinorrea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya
disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien rhinitis dapat ditemukan
pada anamnesa.
Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut
streptococcus menunjukkan tanda infeksi streptococcus yaitu eritem
pada tonsil dan faring yang disrtai pembesaran tonsil. Faringitis
streptococcus sangat mungkin jika dijumpai gejala seperti awitan akut
disertai mual muntah, faring hiperemis, demam, nyeri tenggorokan,
tonsil bengkak dengan eksudasi, kelenjar getah bening leher anterior
bengkak dan nyeri, uvula bengkak dan merah, ekskoriasi hidung
disertai impetigo sekunder, ruam skarlatina, petekie palatum mole
(Oliver et al., 2018).

5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium. Baku emas penegakan diagnosis
faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari
apusan tenggorok. Pada saat ini terdapat metode cepat mendeteksi
antigen streptococcus grup A dengan sensitivitas dan spesivitas yang
cukup tinggi. Infeksi streptococcus grup A dapat memberikan
komplikasi yang berbahaya untuk jantung, untuk itu diperlukan
screening apakah faringitis yang diderita pasien disebabkan oleh
bakteri streptococcus. Screening dilakukan dengan pengukuran
McIsaac score (Malino, Utama and Soenarto, 2016).

21
Bila nilai yang diperoleh 1-2, menandakan tidak bermakna atau
faringitis tidak disebabkan oleh streptococcus. Nilai 3 menandakan
diperlukan kultur swab tenggorok, untuk menilai apakah ini infeksi
streptococcus atau bukan, pada saat ini antibiotik belum diberikan.
Nilai 4 menandakan infeksi yang terjadi kemungkinan besar
penyebabnya adalah streptococcus sehingga diberikan antibiotik
empiris secara langsung (Damayanti and Iriani, 2014).

6. Penatalaksanaan
Tujuan dari pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi gejala
dan mencegah terjadinya komplikasi. Faringitis streptococcus grup A
merupakan faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus
dalam penggunaan antibiotik. Istirahat cukup dan pemberian cairan
yang sesuai merupakan terapi suportif yang dapat diberikan. Pemberian
obat kumur dan obat hisap pada anak cukup besar dapat mengurangi
gejala nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri berlebih atau demam
dapat diberikan paracetamol atau ibuprofen (Martin, 2015).
Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut streptococcus grup A
adalah penisislin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10
hari atau benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000
IU (BB<30 kg) dan 1.200.000 IU (BB>30 kg). Amoksisilin dapat
digunakan sebagai pengganti pilihan pengganti penisislin pada anak
yang lebih kecil karena selain efeknya sama amoksisilin memiliki rasa
yang enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi 2
selama 6 hari. Selain itu eritromisin 40mg/kgBB/hari, Klindamisin 30
mg/kgBB/hari, atau sefadroksil monohidrat 15 mg/kgBB/hari dapat

22
digunakan untuk pengobatan faringitis streptococcus pada penderita
yang alergi terhadap penisilin (Damayanti and Iriani, 2014).

7. Komplikasi
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang.
Kompilkasi biasanya menggambarkan perluasan infeksi streptococcus
dari nasofaring. Beberapa kasus dapat berlanjut menjadi otitis media
purulen bakteri. Pada faringitis bakteri dan virus dapat ditemukan
komplikasi ulkus kronik yang luas. Komplikasi faringitis bakteri terjadi
akibat perluasan langsung atau secara hematogen. Akibat perluasan
langsung dapat terjadi rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis
servikal, abses retrofaringeal atau faringeal, atau pneumonia.
Penyebaran hematogen SBHGA dapat mengakibatkan meningitis,
osteomielitis, atau arthritis septic, sedangkan komplikasi non supuratif
berupa demam reumatik dan gromerulonefritis (Oliver et al., 2018).

C. Epilepsi
1. Pengertian
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal
(Sirven, 2015).
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial)
dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian
dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan
kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang
luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri.
Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum
(Scheffer et al., 2018).
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut (Sirven, 2015).

23
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang
epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai
dengan serangan tunggal atau tersendiri.1 Sedangkan sindrom epilepsi
adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan
kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis
serangan, faktor pencetus, kronisitas (Scheffer et al., 2018).

2. Epidemiologi
Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah
infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit
metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar
60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak
laki – laki lebih tinggi daripada anak perempuan.
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas
65 tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-
kanak.Puncak insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun,
kemudian menurun pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65
tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun epilepsi per 100000
populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5
– 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.

3. Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari
kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih
sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang
epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi
epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Kejang Fokal:
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor (Neoplasma)

24
f. Displasi
g. Mesial Temporal Sclerosis
Kejang Umum:
a. Penyakit metabolik.
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
e. Kejang fotosensitif

4. Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a) Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.

b) Kejang parsial kompleks


Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,
tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a) Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b) Kejang Atonik

25
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama
c) Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d) Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat
dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan
diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase
tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e) Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f) Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

5. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis)
sudah dapat ditegakkan (Manford, 2017).
a. Anamnesis
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a) Pola / bentuk serangan
b) Lama serangan
c) Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d) Frekuensi serangan
e) Faktor pencetus
f) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g) Usia saat terjadinya serangan pertama
h) Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan

26
i) Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
3. Pemeriksaan penunjang
a) Elektroensefalografi (EEG)
b) Neuroimaging

6. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan
oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin,
mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan
kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan
pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal
dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat
badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang
setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika
setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti,
maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit (Goldenberg,
2010).
2. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi
terbebas dari serangan epilepsinya (Goldenberg, 2010).
a) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita
epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang
biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin,
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat.
b) Terapi bedah
Tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber
serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal
terhadap pengobatan.

27
D. Hipotiroid Kongenital
1. Definisi
Hipotiroid kongenital adalah suatu keadaan hormon tiroid yang
tidak adekuat pada bayi baru lahir sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan tubuh yang dapat disebabkan oleh kelainan anatomi kelenjar
tiroid, kelainan genetik, kesalahan biosintesis tiroksin serta pengaruh
lingkungan.
2. Etiologi dan Patogenesis
Hipotiroid dapat terjadi melalui jalur berikut
Jalur 1
Agenesis tiroid dan keadaan lain yang sejenis menyebabkan
sintesis dan sekresi hormon tiroid menurun sehingga terjadi hipotiroid
primer dengan peningkatan kadar TSH tanpa adanya struma.

Jalur 2
Defisiensi iodium berat menyebabkan sintesis dan sekresi hormon
tiroid menurun, sehingga hipofisis non sekresi TSH lebih banyak untuk
memacu kelenjar tiroid mensintesis dan mensekresi hormon tiroid agar
sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya kadar TSH meningkat dan kelenjer
tiroid membesar (stadium kompensasi). Walaupun pada stadium ini
terdapat struma difusa dan peningkatan kadar TSH, tetapi kadar tiroid
tetap normal. Bila kompensasi ini gagal, maka akan terjadi stadium
dekompensasi, yaitu terdapatnya struma difusa, peningktan kadar TSH,
dan kadar hormon tiroid rendah.
Jalur 3
Semua hal yang terjadi pada kelenjer tiroid dapat mengganggu
atau menurunkan sintesis hormon tiroid (bahan/ obat goitrogenik,
tiroiditis, pasca tiroidektomi, pasca terapi dengan iodium radioaktif, dan
adanya kelainan enzim didalam jalur sintesis hormon tiroid) disebut
dishormogenesis yang mengakibatkan sekresi hormon tiroid menurun,
sehingga terjadi hipotiroid dengan kadar TSH tinggi, dengan/tanpa
struma tergantung pada penyebabnya.
Jalur 4A

28
Semua keadaan yang menyebabkan penurunan kadar TSH akibat
kelainan hipofisis akan mengakibatkan hipotiroid tanpa struma dengan
kadar TSH yang sangat rendah atau tidak terukur.
Jalur 4B
Semua kelainan hipotalamus yang mengakibatkan yang
menyebabkan sekresi TSH ynag menurun akan menyebabkan hipotiroid
dengan kadar TSH rendah dan tanpa struma.
Jalur 1, 2, dan 3 adalah patogenesis hipotiroid primer dengan
kadar TSH yang tinggi. Jalur 1 tanpa desertai struma, jalur 2 disertai
struma, dan jalur 3 dapat dengan atau tanpa struma. Jalur 4A dan 4B
adalah patogenesis hipotiroid sekunder dengan kadar TSH yang tidak
terukur atau rendah dan tidak ditemukan struma.

3. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis dan skrining.
Anamnesis
Anamnesis yang cermat pada keluarga dapat membantu
menegakkan diagnosis dengan menanyakan apakah ibu berasal dari
daerah gondok endemik, riwayat struma pada ibu, riwayat pengobatan
anti tiroid waktu hamil atau tidak, riwayat struma pada keluarga dan
perkembangan anak.

4. Gejala Klinis
Kebanyakan anak dengan hipotiroid kongenital, gejala klinis pada
periode neonatal sangatlah jarang atau ringan dan tidak spesifik,
meskipun terdapat agenesis kelenjar tiroid komplit.
Berat badan dan panjang lahir adalah normal, tetapi ukuran kepala
dapat sedikit meningkat karena miksedema otak. Ikterus fisiologis yang
berkepanjangan, yang disebabkan oleh maturasi glukoronid konjugasi
yang terlambat, mungkin merupakan gejala paling awal. Kesulitan
memberi makan, terutama kelambanan, kurang minat, somnolen, dan
serangan tersedak saat dirawat, sering muncul selama umur bulan
pertama. Kesulitan bernapas, sebagian karena lidah yang besar,
termasuk episode apnea, pernapasan berbunyi, dan hidung tersumbat.

29
Sindrom distres pernapasan yang khas juga dapat terjadi. Bayi yang
terkena sedikit menangis, banyak tidur, tidak selera makan, dan
biasanya lamban. Mungkin ada konstipasi yang biasanya tidak berespon
terhadap pengobatan. Perut besar dan biasanya ada hernia umbilikalis.
Suhu badan subnormal, sering dibawah 35 0C, dan kulit terutama
tungkai, mungkin dingin dan burik (mottled). Edema genital dan
tungkai mungkin ada. Nadi lambat, bising jantung, kardiomegali, dan
efusi perikardium asimptomatik biasanya ada. Anemia makrositik sering
ada dan refrakter terhadap pengobatan dengan hematinik. Karena
gejala-gejala muncul secara bertahap, diagnosis sering kali terlambat.
Manifestasi ini terus berkembang. Retardasi perkembangan fisik
dan mental menjadi lebih besar selama bulan-bulan berikutnya, dan
pada usia 3-6 bulan, gambaran klinis berkembang sepenuhnya. Bila
hanya ada defisiensi hormon tiroid parsial, gejalanya dapat lebih ringan,
dan onsetnya terlambat. Meskipun air susu ibu mengandung sejumlah
hormon tiroid, terutama T3, hormon ini tidak cukup untuk melindungi
bayi yang menyusu dengan hipotiroidisme kongenital, dan tidak
mempunyai pengaruh pada uji skrining tiroid neonatus.
Pertumbuhan anak tersendat, ekstremitas pendek, dan ukuran
kepala normal atau bahkan meningkat. Fontanella anterior dan posterior
terbuka lebar. Pengamatan tanda ini pada saat lahir dapat berperan
sebagai pedoman awal untuk mengenali hipotiroidisme kongenital.
Hanya 3% bayi baru lahir normal memiliki fontanella posterior yang
lebih besar dari 0,5cm. Matanya tampak terpisah lebar, dan jembatan
hidung yang lebar terlihat cekung. Fisura palpebra sempit dan kelopak
mata membengkak. Mulut terbuka, dan lidah yang tebal serta lebar
terjulur ke luar. Pertumbuhan gigi terlambat. Leher pendek dan tebal,
terdapat endapan lemak di atas klavikula dan diantara leher dan bahu.
Tangan lebar dan jari pendek. Kulit kering dan bersisik, dan sedikit
keringat. Miksedema tampak, terutama pada kulit kelopak mata,
punggung tangan, dan genitalia eksterna. Karotenemia dapat
menyebabkan warna kulit menjadi kuning, tetapi skleranya tetap putih.
Kulit kepala tebal dan rambut kasar, mudah patah dan tipis. Garis

30
rambut menurun jauh ke bagian bawah dahi, yang biasanya tampak
mengerut, terutama ketika bayi menangis.
Perkembangan biasanya terlambat. Bayi hipotiroid tampak letargi
dan lamban dalam belajar duduk dan berdiri. Suaranya serak dan bayi
tidak mau belajar berbicara. Tingkat retardasi fisik dan mental
meningkat sejalan dengan usianya. Maturasi seksual dapat terlambat
atau tidak terjadi sama sekali.
Otot biasanya hipotonik, tetapi pada keadaan yang jarang, terjadi
pseudohipertrofi otot menyeluruh (sindrom Kocher-Debre-Semelaigne
sindrome). Anak yang terkena dapat berpenampilan atletis karena
pseudohipertrofi, terutama pada otot betis. Patogenesisnya belum
diketahui. Perubahan ultrastruktural dan histokimia yang tidak spesifik
tampak pada biopsi otot yang kembali normal dengan pengobatan.
Sindrom ini cenderung berkembang pada anak laki-laki, yang telah
diamati pada saudara kandung yang lahir dari perkawinan sedarah.
Penderita menderita hipotiroidisme yang lebih lama dan lebih berat.

5. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan hipotiroid kongenital ditemukan nilai TSH
meningkat, dan T3 serta T4 menurun. Kadar T4 serum rendah, kadar T3
serum dapat normal dan tidak bermanfaat pada diagnosis. Jika defeknya
terutama pada tiroid, kadar TSH meningkat, sering diatas 100µU/mL.
Kadar prolaktin serum meningkat, berkorelasi dengan kadar TSH
serum. Kadar Tg serum biasanya rendah pada bayi dengan disgenesis
tiroid atau defek sintesis atau sekresi Tg. Kadar Tg yang tidak dapat
dideteksi biasanya menunjukkan aplasia tiroid.
Pemeriksaan Radiologis
Retardasi perkembangan tulang dapat ditunjukkan dengan
roentgenographi saat lahir dan sekitar 60% bayi hipotiroid kongenital
menunjukkan kekurangan hormon tiroid selama kehidupan intrauterine.
Contohnya, distal femoral epiphysis, yang biasanya ada saat lahir,
sering tidak ada. Pada pasien yang tidak diobati, ketidaksesuaian antara

31
umur kronologis dan umur osseus meningkat. Epiphyses sering
memiliki beberapa fokus penulangan (epifisis disgenesis), deformitas
(retak) dari vertebra thorakalis 12 atau ruas lumbal 1 atau 2 sering
ditemukan. Foto tengkorak menunjukkan fontanela besar dan sutura
lebar, tulang antar sutura biasanya ada. Sella tursica sering besar dan
bulat, dalam kasus-kasus langka mungkin ada erosi dan menipis.
Keterlambatan pada pembentukan dan erupsi gigi dapat terjadi.
Pembesaran jantung atau efusi perikardial mungkin ada.
Skintigraphy dapat membantu menentukan penyebab pada bayi
dengan hipotiroid bawaan, tetapi pengobatan tidak boleh ditunda karena
pemeriksaan ini. Pemeriksaan 123
I-natrium iodida lebih unggul dari 99m

Tc-natrium pertechnetate untuk tujuan ini. Ultrasonographic tiroid


sangat membantu, tapi penelitian menunjukkan jaringan tiroid ektopik
yang tidak terdeteksi dengan USG tiroid dan ini dapat ditunjukkan oleh
skintigrapI. Rendahnya level TG serum menunjukkan agenesis dan
peningkatan Tg serum ada pada kelenjar ektopik dan gondok, tetapi ada
tumpang tindih dengan rentang luas. Adanya jaringan tiroid ektopik
adalah diagnostik untuk disgenesis tiroid yang membutuhkan
pengobatan seumur hidup dengan T4. Kegagalan menemukan jaringan
tiroid menunjukkan tiroid aplasia, tetapi hal ini juga terjadi pada bayi
dengan defek trapping- iodida. Kelenjar tiroid yang normal dengan
ambilan radionuklida yang normal atau meningkat menunjukkan cacat
dalam biosintesis hormon tiroid. Pasien dengan goiter hipotiroidisme
memerlukan evaluasi lebih lanjut yaitu pemeriksaan radioiodine, uji
cairan perklorat, penelitian kinetik, kromatografi, dan pemeriksaan
jaringan tiroid, jika sifat biokimia defek harus ditentukan.
Elektrokardiogram mungkin menunjukkan gelombang P dan T
voltase rendah dengan amplitudo kompleks QRS yang berkurang dan
menunjukkan fungsi ventrikel kiri jelek dan efusi perikardial.
Elektroensefalogram sering menunjukkan voltase rendah. Pada anak-
anak yang berumur lebih dari 2 tahun, tingkat kolesterol serum biasanya
meningkat. MRI otak sebelum pengobatan dilaporkan normal, meskipun
spektroskopi resonansi magnetik proton menunjukkan tingkat tinggi

32
yang mengandung senyawa kolin, yang mungkin mencerminkan blok di
pematangan myelin.

b. Penatalaksanaan
Walaupun pengobatan hipotiroid efisien, mudah, murah dan
memberikan hasil yang sangat memuaskan, namun perlu dilakukan
pemantauan dan pengawasan yang ketat mengingat pentingnya masa
depan anak, khususnya perkembangan mentalnya.
Tujuan pengobatan adalah:
a. Mengembalikan fungsi metabolisme yang esensial agar menjadi normal
dalam waktu singkat. Termasuk fungsi termoregulasi, respirasi,
metabolisme otot dan otot jantung yang sangat diperlukan pada masa
awal kehidupan seperti proses enzimatik di otak, perkembangan akson,
dendrite, sel glia dan proses mielinisasi neuron.
b. Mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak
c. Mengembalikan tingkat maturitas biologis yang normal, khususnya otak
Medikamentosa
Terapi harus dimulai segera setelah diagnosis hipotiroid kongenital
ditegakkan. Orang tua pasin harus diberikan penjelasan mengenai
kemungkinan penyebab hipoiroid, pentingnya kepatuhan minum obat dan
prognosisnya baik jika terapi diberikan secara dini. Natrium L-tiroksin
(sodium L-thyroxin) merupakan obat yang tepat untuk pengobatan
hipotiroid kongenital. Karena 80% T3 dalam sirkulasi darah berasal dari
monodeiodinasi dari T4 maka dengan dosis yang tepat kadar T4 dan T3 akan
segera kembali normal. Dalam prakteknya pemberian dosis inisial berkisar
antara 25, 37,5 atau 50 g per hari. Tiroksin sebaiknya tidak diberikan
bersama-sama dengan protein kedele atau zat besi atau makanan tinggi serat
karena makanan ini akan mengikat T4 dan atau menghambat
penyerapannya.

33
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Demam merupakan salah satu gejala dari proses infeksi oleh bakteri
maupun virus. Demam yang telah berlangsung selama lebih dari 14 hari disebut
prolonged fever. Untuk memastikan diagnosis demam yang dapat dilakukan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik berupa demam setinggi 38.8°C yang mendadak dan terus
menerus selama lebih dari 14 hari, didapatkan nyeri saat menelan, mual dan muntah
ketika makan, tubuh lemas, nyeri perut, dan frekuensi buang air kecil yang
berkurang. Hasil anamnesis dapat membantu penegakkan diagnosis yang disertai
dengan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah,
urin, feses, gambaran darah tepi, swab tenggorok dan pemeriksaan serologi serta
panel besi juga membantu menegakkan diagnosis demam. Pada pasien demam
harus dilakukan observasi demam setiap hari dan pemberian cairan terutama karena
pasien tersebut mengalami kesulitan makan dan mempunyai gizi yang kurang.
Pemberian antibiotik dapat dilakukan jika telah diketahui adanya infeksi sekunder
karena bakteri. Terapi lain dapat diberikan sesuai dengan diagnosa klinis lain yang
sesuai.
B. Saran
1. Untuk orang tua dan pasien
a. Sediakan alat pengukur suhu di rumah jika sewaktu-waktu ada anggota
keluarga yang demam sehingga penatalaksanaan dapat segera diberikan
dengan tepat.
b. Usahakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah
beraktivitas, hal ini bertujuan untuk membunuh kuman yang ada ditangan.
c. Perhatikan jenis makanan dan nutrisi yang diberikan pada anak sesuai
dengan kebutuhan kalori dan usianya untuk mencegah terjadinya gizi
kurang
d. Segera bawa ke dokter jika demam yang diderita tak kunjung sembuh
2. Untuk dokter

34
a. Diharapkan dokter dapat lebih mempertajam kemampuan anamnesis dan
pemeriksaan fisik dengan benar sehingga dapat menyingkirkan diagnosis
banding.

DAFTAR PUSTAKA

Almarshad, T. A., Alsaiari, A. S. and Qaq, W. M. (2018) ‘Pediatric Pharyngitis :


Etiology and Management Approaches’, The Egyptian Journal of
Hospital Medicine, 70(11), pp. 2000–2003. doi: 10.12816/0044857.
Antoon, J. W., Potisek, N. M. and Lohr, J. A. (2015) ‘Pediatric Fever of Unknown
Origin’, Pediatrics in Review, 36(9), pp. 380–391. doi: 10.1542/pir.36-9-
380.

Bakta, Made.hematologi klinik ringkas.Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran


EGC,2007; h.39.

Cipto, R. S., Bakry, B. A. and Tumbelaka, A. R. (2008) ‘Etiologi dan Karakteristik


Demam Berkepan jangan pada Anak di RS Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta’, Sari Pediatri, 10(2), pp. 83–88.
Damayanti, E. and Iriani, Y. (2014) ‘Ketepatan Skoring McIsaac untuk Mengiden-
tifi kasi Faringitis Group A Streptococcus pada Anak’, 15(5), pp. 301–
306.
Goldenberg, M. M. (2010) ‘Overview of Drugs Used For Epilepsy and Seizures’,
35(7).

H. Bambang Permono, Sutaryo, IDG. Ugrasena, Endang Windiastuti, Maria


Abdulsalam. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak Edisi Ketiga.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012.

Latupeirissa, D. (2017) ‘Demam Berkepanjangan pada Anak di RSUP Fatmawati


Tahun 2008-2010’, Sari Pediatri, 14(4), p. 241. doi:
10.14238/sp14.4.2012.241-5.
Malino, I. Y., Utama, D. L. and Soenarto, Y. (2016) ‘McIsaac criteria for diagnosis
of acute group-A β-hemolytic streptococcal pharyngitis’, Paediatrica
Indonesiana, 53(5), p. 258. doi: 10.14238/pi53.5.2013.258-63.

35
Manford, M. (2017) ‘Recent advances in epilepsy’, Journal of Neurology. Springer
Berlin Heidelberg, 264(8), pp. 1811–1824. doi: 10.1007/s00415-017-
8394-2.
Martin, J. M. (2015) ‘The Mysteries of Streptococcal Pharyngitis’, Current
Treatment Options in Pediatrics, 1(2), pp. 180–189. doi:
10.1007/s40746-015-0013-9.
Oliver, J. et al. (2018) ‘Group A Streptococcus pharyngitis and pharyngeal carriage:
A meta-analysis’, PLoS Neglected Tropical Diseases, 12(3), pp. 1–17.
doi: 10.1371/journal.pntd.0006335.
Scheffer, I. E. et al. (2018) ‘C-Commission for Classification and Terminology’,
58(4), pp. 512–521. doi: 10.1111/epi.13709.ILAE.
Sirven, J. I. (2015) ‘Epilepsy: A spectrum disorder’, Cold Spring Harbor
Perspectives in Biology, 7(9), pp. 1–16. doi:
10.1101/cshperspect.a022848.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dkk. 2014. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wolford, R. W. and Schaefer, T. J. (2019) ‘Pharyngitis’, pp. 1–6.

36

Anda mungkin juga menyukai