Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus

ANAK PEREMPUAN 14 TAHUN DENGAN STATUS EPILEPTIKUS EC


ENSEFALOPATI HIPERTENSI, NEFRITIS LUPUS, CKD STAGE II, DM
EC DRUG INDUCED, DAN GIZI BAIK

Oleh:
Gustafat Abdur Rahman G991905025

Pembimbing Residen

dr. Amiroh Kurniati, M.Kes., Sp.PK dr. Hafizh Widi Cahyono

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2021
Laporan Kasus Kecil Ilmu Kesehatan Anak dengan judul:

ANAK PEREMPUAN 14 TAHUN DENGAN STATUS EPILEPTIKUS EC


ENSEFALOPATI HIPERTENSI, NEFRITIS LUPUS, CKD STAGE II, DM
EC DRUG INDUCED, DAN GIZI BAIK

Gustafat Abdur Rahman G991905025

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:


Kamis, 11 Februari 2021

dr. Amiroh Kurniati, M.Kes., Sp.PK


BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas penderita
Nama : An. T A N
Umur : 14 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Gatak, Sukoharjo
No RM : 0151xxxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 10 November 2020

B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan pada di Bangsal
Anak Melati 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Keluhan utama:
Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan kejang sejak 1
jam SMRS.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan
keluhan utama kejang sejak 1 jam SMRS. Kejang terjadi 2 kali
SMRS: 1x saat dirumah, 1x saat di perjalanan ke IGD RSDM. Kejang
dirasakan pertama kali pada jam 8. Kejang terjadi tiba-tiba saat pasien
beraktivitas, awalnya terasa di tangan sebelah kanan saja, kemudian
kejang dirasakan seluruh tubuh. Orang tua pasien mengatakan bahwa
saat kejang pasien sadar, kaku seluruh tubuh, mata melirik ke atas dan
bibir tergigit, kemudian diikuti kelojotan. Terdapat busa yang keluar
dari mulut, BAB (-), BAK (-). Pasien mengalami kejang kurang lebih
selama 5 menit. Setelah kejang pasien lemas dan sempat lupa. Orang
tua pasien kemudian membawa pasien ke IGD RSDM. Saat di IGD
RSDM sekitar pukul 09.00, pasien mengalami kejang kembali 2 kali.
Kemudian membaik setelah diberi diazepam. Sebelumnya pasien
memiliki riwayat serupa (5/11/20) dengan keluhan yang sama.
Riwayat mondok sebelumnya 4 bulan yang lalu pasien
mengeluhkan nyeri ulu hati semenjak 1 bulan SMRS. Nyeri dirasakan
hilang timbul, nyeri dirasakan sangat sakit, mengganggu aktivitas,
tidak membaik dengan makan ataupun istirahat. Pasien sempat
memeriksakan diri beberapa kali ke bidan, ditemukan tekanan darah
tinggi. Karena nyeri semakin memberat pasien dibawa ke RSDM,
kemudian di diagnosa nefritis lupus. Pasien rutin berobat ke poli
RSDM untuk mengobati nefritis lupus (dalam pengobatan bulan ke-4)
Saat ini orang tua pasien mengatakan anak tidak kejang, demam(-),
mual, muntah (-), pusing (-), penurunan kesadaran (-). Orang tua
pasien mengatakan BAK 8-10 kali perhari, jumlah banyak, berwarna
kekuningan, darah, BAB dalam batas normal. Riwayat makan 4-5x
sehari dan minum dalam batas normal.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat sakit yang sama : 2 minggu yang lalu
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
Riwayat pengobatan TB : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat hipertensi : sejak 4 bulan yang lalu
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat sakit yang sama : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : nenek pasien
Riwayat kencing manis : nenek pasien
Riwayat sakit kuning : disangkal

Riwayat imunisasi :
• 0 bulan : Hepatitis B-0
• 1 bulan : BCG
• 2 bulan : DPT 1, Polio 1
• 4 bulan : DPT 2, Polio 2
• 6 bulan : DPT 3, Polio 3
• 9 bulan : Campak
• 15 bulan : MMR
• 18 bulan : DPT4, Polio 4
• 5 tahun : DPT 4, Polio 5, campak 2

Kesan imunisasi menurut Kemenkes 2004 lengkap

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan :


• Pertumbuhan : BB= 58 kg, PB= 164 cm
• Perkembangan: sesuai dengan anak seusianya
Kesan pertumbuhan dan perkembangan sesuai umur.
Pohon keluarga pasien

Keterangan

Laki –laki

Perempuan

Pasien

Riwayat kebiasaan
Makan Pasien makan 5 kali sehari dengan nasi,
sayur dan lauk. Porsi cukup.
Olahraga Pasien mengaku jarang berolahraga
Minum jamu Disangkal

Riwayat sosial ekonomi


Pasien berobat menggunakan BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan dengan hasil sebagai berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos mentis,
GCS E4V5M6
2. Tanda vital
 Tensi : 150/100 mmHg posisi berbaring
 Nadi : 94 kali /menit, reguler, isi dan tegangan
cukup
 Frekuensi nafas :20 kali /menit, reguler
 Suhu : 36,70 C
 Saturasi : 99% O2
3. Status gizi

Berat badan : 58 kg

Tinggi badan : 164 cm

IMT : 21,56 kg/m2

Kesan : Overweight
o BB/U : BB/U< p75 (normoweight)
o TB/U : TB/U< p75 (normoheight)
o Height age : + 13 tahun 6 bulan
o BB ideal : 52 kg
Status Gizi Water Low:
BB/TB : 58/ 52 x 100% = 111,5%
4. Kulit : Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal (-), rambut warna hitam, mudah
rontok (-), luka (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-),
konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan
subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3
mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-),
strabismus (-/-), eksoftalmus (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-)
9. Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir basah (+)
10. Leher : KGB membesar (-) JVP R+2 cm H2O, trakea ditengah,
simetris, kelenjar tiroid teraba membesar (-), leher kaku
(-), nyeri tekan (-)
11. Thorax : Simetris, bentuk normochest, retraksi (-)
12. Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
 Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
 Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, reguler, bising (-), gallop
(-).
13. Pulmo
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak
melebar, iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan, sela
iga tidak melebar
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kiri = kanan, fremitus raba
kiri = kanan
 Perkusi
- Kanan : sonor
- Kiri : sonor
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara
tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-), ronkhi basah halus (-),
krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara
tambahan: wheezing (-), ronkhi basah
kasar (-), ronkhi basah halus (-),
krepitasi (-)
14. Abdomen :
a. Inspeksi : Dinding dada = dinding perut
b. Auskultasi : Bising usus (+)
c. Perkusi : Timpani
d. Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien
tidak teraba
15. Ekstremitas : Akral Dingin Oedem
- - - -
- - - -

Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon
nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri
tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-), palmar
eritem (-), paresthesia (-), ADP kuat angkat, CRT<
3 detik.
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-),
spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-),
nyeri tekan dan nyeri gerak (-/+), deformitas (-/-),
paresthesia (-) ADP kuat angkat, CRT< 3 detik.

Neurologis :
Refleks fisiologis
Biceps: +2/+2
Triceps: +2/+2
Patella: +2/+2
Achilles: +2/+2
Refleks patologis
Babisnki sign: (-/-)
Chaddock: (-/-)
Openheim: (-/-)
Meningeal sign
Kaku kuduk: (-)
Brudzinki I: (-)
Brudzinki II: (-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (Tanggal 10 November 2020)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi rutin
Hb 11.4 g/dl 10.5 – 12.9
Hct 34 % 33 – 41
AL 23.3 10 / L
3
5.5 – 17.0
AT 335 103 / L 150 – 450
AE 3.90 106/ L 4.10 – 5.30
Index eritrosit
MCV 86.0 /um 80-96.0
MCH 29.2 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 34.0 g/dl 33.0– 36.0
RDW 16.8 % 11.6–14. 6
MPV 7.1 fl 7.2-11.1
PDW 16 % 25-65
Hitung jenis
Eosinofil 0.30 % 0.00–4.00
Basofil 0.10 % 0.00–1.00
Netrofil 63.10 % 55.00 –80.00
Limfosit 28.30 % 29.00–44.00
Monosit 8.20 % 0.00–6.00
Kimia Klinik
GDS 119 mg/dl 60-100
Creatinine 1,8 mg/dl 0.5-1.0
ureum 53 mg/dl <48
Albumin 3,8 mg/dl 3,2-4,5
Elektrolit
Natrium darah 142 mmol/L 132-145
Kalium darah 3,2 mmol/L 3.1-5.1
Calsium Ion 1,18 mmol/L 1.17-1.29
Klorida darah 108 mmol/L 98-106
Laboratorium (Tanggal 11November 2020)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Urin Rutin
Makroskopis
Warna Yellow
Kejernihan keruh
Kimia Urin
Berat jenis 1.019 1.015 – 1.025
Ph 6.0 4.5 – 8.0
Leukosit Negatif /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein ++/Positif 2 mg/dl Negatif
Glukosa Normal mg/dl Normal
Keton Negatif mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal mg/dl Normal
Bilirubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit ++/Positif 2 mg/dl Negatif
Mikroskopis
Leukosit 1.7 /LPB 0 – 12
Eritrosit 68.5 /uL 0 – 6.4
Epitel
Epitel squamous 0-1 /LPB Negatif
Epitel transisional - /LPB Negatif
Epitel bulat - /LPB Negatif
Silinder
Hyaline 0 /LPK 0–3
Granulated 1-2 /LPK Negatif
Leukosit - /LPK Negatif
Ekspertise : Hematuria,Proteinuria
RESUME
1. Keluhan utama:
Lemas sejak 3 minggu SMRS
● Anamnesis:
Riwayat Penyakit Sekarang

● Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan


keluhan utama kejang sejak 1 jam SMRS. Kejang terjadi 2 kali
SMRS: 1x saat dirumah, 1x saat di perjalanan ke IGD RSDM.
Kejang dirasakan pertama kali pada jam 8. Kejang terjadi tiba-tiba
saat pasien beraktivitas, awalnya terasa di tangan sebelah kanan
saja, kemudian kejang dirasakan seluruh tubuh. Orang tua pasien
mengatakan bahwa saat kejang pasien sadar, kaku seluruh tubuh,
mata melirik ke atas dan bibir tergigit, kemudian diikuti kelojotan.
Terdapat busa yang keluar dari mulut, BAB (-), BAK (-). Pasien
mengalami kejang kurang lebih selama 5 menit. Setelah kejang
pasien lemas dan sempat lupa. Orang tua pasien kemudian
membawa pasien ke IGD RSDM. Saat di IGD RSDM sekitar
pukul 09.00, pasien mengalami kejang kembali 2 kali. Kemudian
membaik setelah diberi diazepam. Sebelumnya pasien memiliki
riwayat serupa (5/11/20) dengan keluhan yang sama.
● Riwayat mondok sebelumnya 4 bulan yang lalu pasien
mengeluhkan nyeri ulu hati semenjak 1 bulan SMRS. Nyeri
dirasakan hilang timbul, nyeri dirasakan sangat sakit,
mengganggu aktivitas, tidak membaik dengan makan ataupun
istirahat.
● Pasien sempat memeriksakan diri beberapa kali ke bidan,
ditemukan tekanan darah tinggi. Karena nyeri semakin memberat
pasien dibawa ke RSDM, kemudian di diagnosa nefritis lupus.
Pasien rutin berobat ke poli RSDM untuk mengobati nefritis lupus
(dalam pengobatan bulan ke-4)
● Saat ini orang tua pasien mengatakan anak tidak kejang,
demam(-), mual, muntah (-), pusing (-), penurunan kesadaran (-).
Orang tua pasien mengatakan BAK 8-10 kali perhari, jumlah
banyak, berwarna kekuningan, darah, BAB dalam batas normal.
Riwayat makan 4-5x sehari dan minum dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak terdapat riwayat trauma kepala
Pasien memiliki riwayat serupa 10 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus pada keluarganya.
Riwayat Sosial Ekonomi dan kebiasaan
Pasien mengaku jarang berolahraga dan sering minum minuman manis
Pasien tinggal di rumah bersama keluarga. Pasien berobat menggunakan
BPJS.
2. Pemeriksaan fisik:
● KU: Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6
● Vital sign: Tekanan darah 150/100 mmHg, RR 20x/ menit, HR
94x/menit, suhu 36.70 C,
● Kepala: Bentuk mesocephal
● Leher: KGB membesar (-), JVP R+2 cm H2O
● Thorax: Simetris, normochest, retraksi (-)
● Pulmo:
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor/ Sonor
Auskultasi : SDV ( + /+) RBK (-/-), RBH (-/-),
● Abdomen:
Inspeksi : Dinding dada = dinding perut
Auskultasi: Bising usus (+)
Perkusi: Timpani
Palpasi: Supel, Nyeri Tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-), ikterik
(-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail
(-/-),deformitas (-/-), palmar eritem (-), paresthesia (-)ADP kuat angkat,
CRT< 3 detik.
Refleks fisiologis :Biceps: +2/+2,Triceps: +2/+2, Patella: +2/+2,Achilles:
+2/+2
Refleks patologis : Babisnki sign: (-/-), Chaddock: (-/-),Openheim: (-/-)
Meningeal sign : Kaku kuduk: (-), Brudzinki I: (-),Brudzinki II: (-)

3. Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium (Tanggal 10 & 11 November 2020)

- Hematologi rutin : leukosit 23.3 g/dl (↑)

- Index Eritrosit : RDW 16.8 (↑),MPV 7.1(↓),PDW 16(↓),


- Hitung Jenis : Limfosit 28.30 (↓), Monosit 8.20(↑)

- Elektolit darah : Klorida darah 108(↑)


- Kimia Klini :GDS 119(↑) Creatinine 1,8 (↑)ureum 53(↑)

- Urin Rutin : Protein +2mg/dl (↑)Eritrosit +2mg/dl(↑)


-

IV. DIAGNOSIS ATAU PROBLEM


1. Status Epileptikus e.c Ensefalopati hipertensi
2. HT stage II
3. CKD Stage II
4. Nefritis Lupus dalam terapi bulan ke IV
5. DM ec Drug induced
6. Gizi baik
V. TATALAKSANA
a. Diet nasi lauk rendah garam 2000 kkal + susu nefrisol 2x 200 ml
b. Inj IM Diazepam 5 mg/ml -> +5 mg (bila kejang)
c. Inf IVFD D5 1/2 NS -> 4 ml/jam
d. Inj Ampicillin 600 mg/6 jam (VIII)
e. Inj Paracetamol 500 mg/8 jam k/p
f. Furosemid 40 mg/8 jam po
g. Prednison 5mg/24 jam po
h. Myfortic 720 mg/12 jam po
i. Carvedilol 25 mg/12 jam po
j. Metildopa 500mg/8 jam po
k. Risperidone ¼ tab/24 jam po
l. Amlodipin 10 mg/24 jam po
m. Nifedipine 5 mg sublingual jika
TD>160/100
VI. USULAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Cek urinalisa evaluasi,Ur, Cr, elektrolit, albumin
b. EEG
c. Monitoring KUVS per 8 jam
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, anak perempuan datang dengan kejang terjadi 2 kali
SMRS: 1x saat dirumah, 1x saat di perjalanan ke IGD RSDM. Kejang dirasakan
pertama kali pada jam 8. Kejang terjadi tiba-tiba saat pasien beraktivitas, awalnya
terasa di tangan sebelah kanan saja, kemudian kejang dirasakan seluruh tubuh.
Orang tua pasien mengatakan bahwa saat kejang pasien sadar, kaku seluruh tubuh,
mata melirik ke atas dan bibir tergigit, kemudian diikuti kelojotan. Terdapat busa
yang keluar dari mulut. Pasien mengalami kejang kurang lebih selama 5 menit.
Setelah kejang pasien lemas dan sempat lupa. Orang tua pasien kemudian
membawa pasien ke IGD RSDM. Saat di IGD RSDM sekitar pukul 09.00, pasien
mengalami kejang kembali 2 kali Pada pemeriksaan didapatkan tanda vital
TD:150/60 mmHg, Nadi: 94x/menit, Suhu: 36,7°C, Pernapasan: 20x/menit. GCS
E4V5M6. Pada pemeriksaan generalis maupun neurologis tidak didapatkan
kelainan yang berarti. Pasien menunjukkan adanya gejala epilepsi. Diagnosis
status epileptikus didukung dengan adanya kejang berulang.
Riwayat mondok sebelumnya 4 bulan yang lalu pasien mengeluhkan nyeri
ulu hati semenjak 1 bulan SMRS. Nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri dirasakan
sangat sakit, mengganggu aktivitas, tidak membaik dengan makan ataupun
istirahat. Pasien sempat memeriksakan diri beberapa kali ke bidan, ditemukan
tekanan darah tinggi. Karena nyeri semakin memberat pasien dibawa ke RSDM,
kemudian di diagnosa nefritis lupus. Pasien rutin berobat ke poli RSDM untuk
mengobati nefritis lupus (dalam pengobatan bulan ke-4).
Pasien juga didiagnosis dengan hipertensi stage II didukung dari hasil
pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah sistolik sebesar 150 mmHg. Pasien-
pasien dengan gangguan metabolik sering kali didapatkan adanya gangguan lebih
dari satu sehingga pemeriksaan lebih lengkap berupa profil lipid lengkap terutama
trigliserida dan HDL, kadar asam urat, kadar gula darah puasa, serta pemeriksaan
fisik lingkar pinggang, guna menegakkan diagnosis sindroma metabolik, sehingga
pasien dapat mendapatkan terapi yang adekuat.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. STATUS EPILEPTIKUS
A. Definisi
Status epileptikus (SE) menurut International League
Againts Epilepsy(ILAE) hanya menyatakan bahwa SE
adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama
periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai
pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan
definisi menurut ILAE tersebut adalah batasan lama
kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian
para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya
adalah selama 30 menit atau lebih.
B. Etiologi
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau
keseimbangan elektrolit, trauma kepala, perdarahan, atau
stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya:
ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala,
infeksi, atau kelainan otak kongenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan
metabolik, otoimun (contohnya vaskulitis)
d. Epilepsi
2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui.
.
C. Manifestasi Klinis
Tanda Khas Epilepsi Parsial Sederhana
Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim
pada epilepsi parsial sederhana. Gerakan ditandai dengan
gerakan klonik atau tonik yang tidak sinkron, dan mereka
cenderung melibatkan wajah, leher dan tungkai. Kejang
versify terdiri atas pemutaran kepala dan gerakan mata
gabungan adalah sangat lazim. Rata – rata kejang
berlangsung selama 10 – 22 detik. Kejang parsial sederhana
dapat terancukan dengan gerenjit ( tic ), namun gerenjit
ditandai dengan pengangkatan bahu, mata berkedip – kedip
dan wajah menyeringai serta terutama melibatkan wajah
dan bahu. Gerenjit dapat tertekan sebentar, tetapi kejang
parsial tidak dapat dikendalikan. EEG dapat menunjukkan
gelombang paku atau gelombang tajam unilateral atau
bilateral, atau gambaran paku multifokal pada penderita
dengan kejang parsial sederhana, gelombang paku ombak
di daerah temporal tengah ( daerah Rolandik ).
Jenis epilepsy ini mempunyai kekhususan tersendiri,
yaitu prognosisnya baik. Serangannya mudah diobati,
dicegah dengan antikonvulsan, dan umumnya akan sembuh
pada umur 15 tahun.
Ciri dan jenis epilepsy ini adalah :
1. Serangan pertama biasa terjadi antara usia 5 – 10
tahun.
2. Serangan terutama terjadi sewaktu tidur.
3. Respon terhadap obat antikonvulsan baik.
4. Prognosis baik.
5. Sumber ( focus ) epilepsinya adalah di daerah
temporal tengah, pada satu sisi atau pada kedua sisi di otak.
6. Serangan – serangan kejang akan menghilang atau
berhenti bila mencapai usia remaja, demikian juga halnya
dengan gelombang paku di daerah temporal tengah yang
terlihat pada pemeriksaan EEG akan menghilang. Anak
dengan jenis epilepsy ini mempunyai inteligensi, tingkah
laku, dan kemampuan bersekolah yang tidak berbeda
dengan populasi umum. Jenis epilepsy ini cukup sering
dijumpai.
Tanda Khas Epilepsi Parsial Kompleks
Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang
ini dapat didahului oleh kejang parsial sederhana dengan
atau tanpa aura, disertai dengan gangguan kesadaran atau
sebaliknya, mulainya kejang parsial kompleks ini dapat
bersama dengan keadaan kesadaran yang berubah. Aura
terdiri dari rasa tidak enak, samar – samar, sedikit rasa tidak
enak epigastrium, atau ketakutan pada sekitar sepertiga
anak. Kejang parsial ini sukar didokumentasikan pada bayi
dan anak, frekuensi hubungannya dengan kejang parsial
kompleks mungkin kurang terestimasi. Kesadaran
terganggu pada anak dan bayi sukar dinilai.
Kejang parsial kompleks yang disertai gelombang tajam
atau paku – paku setempat EEG antar kejang lobus
temporalis anterior, dan paku multifokus merupakan
temuan yang sering. Sekitar 20 % bayi dan anak dengan
kejang parsial kompleks mempunyai EEG antar kejang
rutin normal. Daerah yang terkena kejang parsial kompleks
lebih luas dibandingkan dengan kejang parsial sederhana
dan biasanya didahului dengan aura.
Tanda Khas Epilepsi Parsial Kemudian Menjadi Umum
Bentuk kejang ini disebut juga status epilepsy fokal atau
epilepsy parsial kontinu. Bentuk kejang biasanya kejang
klonik ( kelojotan ). Tiap bagian tubuh dapat terlibat,
misalnya tangan, muka, dan kaki. Kejang ini dapat terbatas
dan dapat pula menjalar ke bagian tubuh lainnya. Bila
kejang bermula di ibu jari, ia dapat menjalar ke jari lainnya,
kemudian ke pergelangan tangan, ke lengan bawah, lengan
atas, muka, kemudian ke tungkai dan kaki.. Sehabis kejang
sesekali dijumpai bahwa otot yang terlibat lemah.
Kelemahan ini umumnya pulih setelah beberapa menit atau
jam.
Tanda Khas Epilepsi Tonik Klonik Umum
Bangkitan grandmal disebut juga bangkitan tonik klonik
umum atau bangkitan mayor ( serangan besar ). Bangkitan
grandmal merupakan jenis epilepsi yang sering dijumpai.
Serangan grandmal yang khas adalah sebagai berikut :
Penderita secara mendadak menghilang kesadarannya,
disertai kejang tonik (badan dan anggota gerak menjadi
kaku ), yang kemudian diikuti oleh kejang klonik (badan
dan anggota gerak berkejut - kejut, kelojotan ). Bila
penderita sedang berdiri sewaktu serangan mulai, ia akan
jatuh seperti benda mati. Pada fase tonik badan menjadi
kaku. Bila kejang tonik ini kuat, udara dikeluarkan dengan
kuat dari paru-paru melalui pita suara sehingga terjadi
bunyi yang disebut sebagai jeritan epilepsy ( epileptic cry ).
Sewaktu kejang tonik ini berlangsung, penderita menjadi
biru ( sianosis ) karena pernafasan terhenti dan terdapat
pula kongesti ( terbendungnya ) pembuluh darah balik
vena. Biasanya fase kejang tonik ini berlangsung selama 20
– 60 detik.
Tanda Khas Epilepsi Tonik Umum
Kejang ini biasanya terdapat pada BBLR dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan pada bayi dengan
komplikasi perinatal berat misalnya perdarahan
intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa
pergerakan tonik satu ekstremitas, atau pergerakan tonik
umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang
menyerupai sikap deseberasi atau ekstensi tungkai dan
fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Juga
ditemukaan adanya epileptic cry. Bentuk kejang tonik yang
menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan sikap
opistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningeal
karena infeksi selaput otak atau kernikterus.
Tanda Khas Epilepsi Klonik Umum Kejang klonik
dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
permulaan fokal dan multifokal yang berpindah – pindah.
Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1-3 detik,
terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran
dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini
dapat disebabkan oleh kontusio serebri akibat trauma fokal
pada bayi besar dan cukup bulan, atau oleh ensefalopati
metabolic. Kejang klonik fokal sering diduga sebagai suatu
keadaan gemetar ( jitteriness ). Pada BBL dengan kejang
klonik fokal hendaknya dilakukan pemeriksaan USG dan
penatahan kepala untuk mengetahui apakah terjadi
perdarahan otak. Apabila pemeriksaan tersebut normal
tetapi terdapat kelumpuhan salah satu tungkai setelah
kejang berhenti, penatahan kepala harus diulangi 1 minggu
kemudian untuk mencari kemungkinan terjadinya infark
serebri. Bentuk kejang ini merupakan gerakan klonik pada
satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau
terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri
diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kejang
yang satu dengan yang lain sering berkesinambungan,
seolah-olah memberi kesan sebagai kejang umum
D. Tatalaksana
Penatalaksanaan Status Epileptikus meliputi:
a. Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg)
dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila kejang
berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
b. Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan
NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang sama
c. Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam
sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang diperlukan
dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang
jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1
menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok
usia; • 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan) • 5 mg (usia 1 – 5
tahun) • 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun) • 10 mg (usia ≥ 10
tahun)
d. Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas
kejang selama 24 jam setelah pemberian midazolam,
maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara
bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat
dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
e. Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu
seharusnya di ICU, namun disesuaikan dengan kondisi
rumah sakit Bila pasien terdapat riwayat status
epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital
10 mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian rumatan
bila diperlukan.

II. LUPUS ERITEMATOUS SISTEMIK


A. Definisi
Lupus eritematosus merupakan istilah dasar untuk
serangkaian penyakit yang digabungkan berdasarkan
manifestasi klinis dan pola karakteristik dari autoimunitas
sel B poliklonal.
Penyakit ini merupakan prototip penyakit autoimun pada
manusia.Lupus eritematosus sistemik (LES) ditujukan
kepada bentuk penyakit LE yang melibatkan sistem organ
multipel, merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan
inflamasi sistemik pada berbagai sistem organ bersifat
kronis disertai serangkaian eksaserbasi dan remisi yang
silih berganti. Organ yang sering terkena yaitu sendi, kulit,
ginjal, otak, hati dan lesi dasar pada organ tersebut adalah
suatu vaskulitis yang terjadi oleh karena pembentukan dan
pengendapan kompleks antigen-antibodi. Apabila organ
yang terkena ginjal, disebut nefritis lupus.
B. Etiologi
LES mempunyai manifestasi, perjalanan dan outcome
penyakit yang sangat bervariasi, mulai dari ringan,
sampai berat, bahkan fatal. Ciri khas utama sebagai
tanda pengenal penyakit ini adalah terbentuknya
autoantibodi yang reaktif terhadap kandungan jaringan
tubuh, khususnya komponen nuklear, termasuk
diantaranya single stranded dan double stranded DNA,
histones, small nuclear ribonucleoproteins (snRNAs)
dan partikel Ro (SS-A) ribonucleoprotein. Insidens LES
pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan
yaitu sekitar 15-17%. LES jarang terjadi pada anak usia
di bawah 5 tahun. Perempuan lebih sering terkena
dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat
seiring dengan pertambahan usia karena pengaruh
hormon estrogen. Insidensi LES tidak diketahui namun
sangat bervariasi berdasarkan lokasi dan etnisitas. Telah
dilaporkan angka prevalensi lebih rendah pada kulit
putih dibanding kulit berwarna. Penyebab terjadinya
LES belum diketahui pasti. Interaksi antara faktor
genetik, faktor yang didapat dan faktor lingkungan
dianggap berperan penting dalam disregulasi sistem
imun. Hasil akhirnya adalah gangguan imunitas yang
ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat
autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan
dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang
mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya
akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi
inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.
Perjalanan penyakitnya sulit diramalkan karena bersifat
episodik dan diselingi periode remisi. Manifestasi klinis
LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang
sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Oleh
karena itu LES harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding bila anak mengalami demam yang
tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis,
psikosis, dan fatigue.
C. Manifestasi Klinis
Gejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, fatigue,
dan menurunnya berat badan. Gejala di kulit dan mukosa
bisa berupa ruam malar (butterfly rash), fotosensitivitas,
purpura, bercak diskoid, alopesia, fenomena Raynaud, dan
atau ulkus di mukosa. Gejala sendi sering ditemukan,
bersifat simetris dan tidak menyebabkan deformitas sendi.
Poliserositis mungkin muncul dalam bentuk pleuritis
dengan efusi, peritonitis, dan atau perikarditis. Nefritis
lupus umumnya belum menunjukkan gejala pada masa
awitan, tetapi sering berkembang menjadi progresif dan
menyebabkan kematian. Gejala berupa edema, hipertensi,
gangguan elektrolit, dan atau gagal ginjal akut. Biopsi
ginjal diindikasikan pada pasien yang tidak responsif pada
terapi kortikosteroid atau bila sulit disapih dari
kortikosteroid ketika dilakukan tappering off. Pengendalian
hipertensi sangat penting untuk mempertahankan fungsi
ginjal. Hepatosplenomegali dan limfadenopati mungkin
terjadi tetapi termasuk manifestasi yang jarang. Keluhan
yang banyak adalah nyeri perut akibat vaskulitis.
Keterlibatan susunan saraf pusat dapat berupa kejang,
koma, hemiplegia, neuropati fokal, korea, dan gangguan
perilaku. Menegakkan diagnosis LES memerlukan
konsensus hingga kini, berbagai kriteria diagnosis klinis
penyakit lupus telah diajukan akan tetapi yang paling
banyak dianut adalah kriteria menurut American College of
Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila
terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut.
D. Tatalaksana
Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) diberikan bila
hanya mengenai kulit dan sendi, AINS diberikan secara
tunggal atau kombinasi dengan hidroksiklorokuin.
Naproksen: Biasa digunakan pada anak dengan dosis 10-20
mg/kgBB/hari, po, dibagi 2-3 dosis. Tolmetin sodium
(Tolektin): Biasa digunakan pada anak dengan dosis 20-30
mg/kgBB/hari, po, dibagi 3-4 dosis. Salisilat: diberikan
bersamaan dengan makanan, anak 20 kg: dosis 60–80
mg/kgBB/hari po dibagi 3-4 dosis.
Prednison (peroral) diberikan bersamaan dengan
makanan. Dosis rendah 50.000/mm3 ) tanpa perdarahan
dan gangguan koagulasi; lupus eritematosus kutan berat
sebagai bagian terapi inisial lupus diskoid dan
vaskulitis.Metil prednisolon (parenteral): Dosis 30
mg/kg/hari i.v. (maks. 1 g), selama 90’, 3 hari berturut-
turut, dilanjutkan secara intermiten (tiap minggu), disertai
prednisone dosis rendah setiap hari. Diberikan pada
penyakit aktif berat yang tidak terkontrol dengan
kortikosteroid peroral dosis tinggi, rekurensi aktif sangat
berat, anemi hemolitik berat, trombositopeni berat
((intraartikular) : untuk arthritis pada sendi
tertentu.Imunosupresan/sitotoksik/Imunomodulator
diberikan pada yang tidak responsif atau mendapat efek
simpang berat dari kortikosteroid, dapat sebagai zat
penghemat steroid. Azatioprin: Dosis anak 1-3 mg/kg/hari.
Siklofosfamid: Per oral: Dosis 1–3 mg/kgBB/hari
Parenteral: Dosis awal 500 – 750 mg/m2 , maks. 1 g/m2 /hr
bolus per Infuse (dosis terendah untuk leukopenia,
trombositopenia, kreatinin >2 g/dl) dalam 150 ml larutan
Dextrosa 5% selama 1 jam. Bersama hidrasi 2 l/m2 /hr, per
infus selama 24 jam, dimulai 12 jam sebelum infus
siklofosfamid. Diulangi setiap bulan dengan peningkatan
250 mg/m2 /bulan sesuai toleransi selama 6 bulan,
selanjutnya setiap 3 bulan sampai 36 bulan total
pengobatan. Diberikan pada lupus nefritis berat dan dengan
gangguan neuropsikiatrik. Metotreksat: sebagai zat
penghemat steroid. Dosis 7,5 mg peroral, 1x/minggu.
Bersama asam folat peroral. Hindari alkohol
(meningkatkan risiko sirosis hepatis). Diberikan pada
keadaan trombositopenia (10mg/hr,11 dan LE kutan berat.
Mikofenolat mofetil (MMF) diberikan bila refrakter
terhadap terapi konvensional. Masih dalam penelitian.
Efektivitas MMF sama dengan siklofosfamid iv tiap bulan.
Toksisitas MMF dan Azatioprin lebih aman dari
siklofosfamid. Merkaptopurin: Dosis 50-100 mg/hari.
Klorambusil: Dosis 0,1 mg/kgBB/hari. Siklosporin A:5,7
Dosis anak belum diketahui. Dosis rendah dewasa: 3–6
mg/hari.
Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif.
Dapat digunakan nifedipin dengan dosis 0,25-0,5
mg/kg/dosis dan dapat diulangi setiap 4-8 jam. Dosis per
kali tidak lebih dari 10 mg. Antihipertensi lain adalah
enalapril 2,5-5 mg/kg/hari diberikan dalam dosis tunggal
atau dosis terbagi, serta propranolol 0,5-1 mg/kg/hari
dibagi dalam 2-4 dosis.
Terapi komplikasi/penyulit akibat terapi dapat berupa
osteoporosisakibat terapi prednison, maka diberikan
suplementasi kalsium, vitamin D, bifosfonat, dan/atau
kalsitonin salmon; bila terjadi Fracture-induced
osteoporosis diberikan bifosfonat; muntah akibat
siklofosfamid diberikan antiemetik; pengobatan segera
diberikan bila ada infeksi terutama infeksi bakteri. Setiap
kelainan urin harus dipikirkan kemungkinan pielonefritis.
Setiap pemberian kortikosteroid apalagi jangka
panjang, harus disertai diet rendah garam, gula, restriksi
cairan, disertai suplemen Ca dan Vitamin D. Dosis kalsium
karbonat (Caltrate) sebagai elemental kalsium: usia < 6
bulan: 360 mg/hari, 6-12 bulan: 540 mg/hari, 1-10 tahun:
800 mg/hari, 11-18 tahun: 1.200 mg/hari. Dosis Vitamin D
(hidroksikolekalsiferol): BB < 30 kg: 20 mcg p.o. 3
kali/minggu, BB > 30 kg: 50 mcg p.o. 3 kali/minggu.
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah
raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan
berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena
lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.
Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila
terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim
pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam.
Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya
lesi kulit pada pasien LES. Pendidikan dan edukasi penting
untuk penderita/keluarganya agar mengerti
penyakit/penyulitnya yang mungkin terjadi, serta
pentingnya berobat secara teratur. Pencegahan terhadap
pemaparan sinar matahari: hindari paparan sinar matahari
dengan tingkat UV tertinggi: jam 9.00/10.00 sampai
15.00/16.00, pakaian lengan panjang, celana panjang,
kerudung, topi, kacamata hitam, tabir surya (topikal) untuk
blokade radiasi UVA dan UVB.Pencegahan terjadinya
osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi:deteksi dini
dengan MRI, diet tinggi kalsium, vitamin D adekuat, dan
olahraga. Pencegahan sistitis hemoragika akibat
siklofosfamid diberikan mesna intravena. Mesna mengikat
acrolein, metabolit toksik dari siklofosfamid.
Angka harapan hidup 5 tahun kini lebih dari 90%
sedangkan angka harapan hidup 10 tahun sekitar 85%.
Penyebab kematian utama pada LES antara lain adalah
infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan paru, dan infark
jantung. Infark jantung disebabkan oleh pemakaian
kortikosteroid kronis. Lupus eritematosus neonatal jarang
berlanjut kearah LES anak. Congenital heart block yang
permanent sering membutuhkan alat pacu jantung.
Kardiomiopati kadangkadang memerlukan transplantasi
jantung.
III. Diabetes Mellitus
A. Definisi
Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan metabolik kronik
dan serius yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula dalam darah
oleh karena pankreas yang tidak dapat memproduksi insulin dengan cukup
atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang telah diproduksi
secara efektif. Insulin merupakan hormon yang mengatur keseimbangan
gula darah, sehingga pada pasien DM, kadar gula dalam darah akan tinggi
atau disebut dengan hiperglikemia.
B. Patogenesis
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe 2. Hasil penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta
terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Organ lain yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa
pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan gangguan
toleransi glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur patogenesis baru dari
ominous octet yang memperantarai terjadinya hiperglikemia pada DM tipe
2. Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (egregious
eleven) perlu dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep:
1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki
gangguan patogenesis, bukan hanya untuk
menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus
didasarkan pada kinerja obat sesuai dengan
patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk
mencegah atau memperlambat progresivitas
kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya
otot, hepar, dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam
patogenesis penyandang DM tipe 2 tetapi terdapat delapan organ
lain yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven. Secara
garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal
(egregious eleven) yaitu:

1. Kegagalan sel beta pankreas


Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta
sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja
melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, agonis
glucagon-like peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidil
peptidase-4 (DPP- 4).
2. Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan
dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel
alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hati
(hepatic glucose production) dalam keadaan basal
meningkat secara bermakna dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi agonis GLP-1,
penghambat DPP-4 dan amilin.

3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan
kadar asam lemak bebas (free fatty acid (FFA)) dalam
plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di
hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoksisitas. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidinedion.
4. Otot
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja
insulin yang multipel di intramioselular, yang diakibatkan
oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga terjadi
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan
tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada penyandang DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang
berat dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi
glukosa dalam keadaan basal oleh hepar (hepatic glucose
production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obese baik yang DM maupun non-DM,
didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur
Ini adalah agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.
7. Kolon/Mikrobiota

Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi


dalam keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti
berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas
sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu
berat badan berlebih akan berkembang DM. Probiotik dan
prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk menangani
keadaan hiperglikemia.
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih
besar dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek
yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan oleh 2
hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan
glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut
juga gastric inhibitory polypeptide (GIP). Pada
penyandang DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan
resisten terhadap hormon GIP. Hormon inkretin juga
segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga
hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja
menghambat kinerja DPP-4 adalah DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam
penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa
glukosidase yang akan memecah polisakarida menjadi
monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus sehingga
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa
glukosidase adalah acarbosa.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
patogenesis DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram
glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim
sodium glucose co-transporter (SGLT-2) pada bagian
convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya akan
diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden
dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urin. Pada penyandang DM terjadi peningkatan ekspresi
gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi
glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah penghambar SGLT-2. Dapaglifozin, empaglifozin
dan canaglifozin adalah contoh obatnya.

10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan
konsekuensi kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar
amilin menyebabkan percepatan pengosongan lambung
dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang
berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respons fase
akut (disebut sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan
bagian dari aktivasi sistem imun bawaan/innate) yang
berhubungan kuat dengan patogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan
aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan
dalam induksi stres pada endoplasma akibat peningkatan
kebutuhan metabolisme untuk insulin. DM tipe 2 ditandai
dengan resistensi insulin perifer dan penurunan produksi
insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah
pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot.

Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya


hubungan antara obesitas dan resistensi insulin terhadap
inflamasi. Hal tersebut menggambarkan peran penting
inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2, yang dianggap
sebagai kelainan imun (immune disorder). Kelainan
metabolik lain yang berkaitan dengan inflamasi juga
banyak terjadi pada DM tipe 2.
C. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah
vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada
wanita.

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah


kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan
keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP). (B)

D. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan
meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM,
memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko
komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat
progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan


pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil
lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup


sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan
intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral
dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan
sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi
dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres
berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya
ketonuria, harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder
atau tersier.

Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala


hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat
dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.
Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari
penatalaksanaan DM secara komprehensif. Kunci keberhasilannya
adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,
ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan
kebutuhan setiap penyandang DM agar mencapai sasaran.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir
sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan
zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis
dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi
insulin itu sendiri.
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DM tipe 2. Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3 – 5 hari
seminggu selama sekitar 30 – 45 menit, dengan total 150 menit per
minggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-
turut. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan
termasuk dalam latihan fisik. Latihan fisik selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan fisik yang
bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 – 70% denyut
jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging,
dan berenang. (A) Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara
mengurangi 220 dengan usia pasien. Pasien diabetes dengan usia
muda dan bugar dapat melakukan 90 menit/minggu dengan latihan
aerobik berat, mencapai > 70% denyut jantung maksimal.
Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum latihan fisik.
Pasien dengan kadar glukosa darah < 100 mg/dL harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila > 250 mg/dL
dianjurkan untuk menunda latihan fisik.
Pasien diabetes asimptomatik tidak diperlukan pemeriksaan
medis khusus sebelum memulai aktivitas fisik intensitas ringan-
sedang, seperti berjalan cepat. Subyek yang akan melakukan
latihan intensitas tinggi atau memiliki kriteria risiko tinggi harus
dilakukan pemeriksaan medis dan uji latih sebelum latihan fisik
Pada penyandang DM tanpa kontraindikasi (contoh:
osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati)
dianjurkan juga melakukan resistance training (latihan beban) 2 –
3 kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan fisik
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran fisik.
Intensitas latihan fisik pada penyandang DM yang relatif sehat
bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai
komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan
dengan masing-masing individu.
E. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral (dapat dilihat di
lampiran 1) dan bentuk suntikan.
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama
adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan fungsi hati dan ginjal).
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan
sulfonilurea, namun berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir
berupa penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Obat
golongan glinid sudah tidak tersedia di Indonesia.
3. Metformin
Metformin mempunyai efek utama meng-urangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan
glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan
pertama pada sebagian besar kasus DM tipe 2. Dosis
metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal (LFG 30 – 60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh


diberikan pada beberapa keadaan LFG < 30 mL/menit/1,73

m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan


kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung NYHA
fungsional class III-IV). Efek samping yang mungkin terjadi
adalah gangguan saluran pencernaan seperti dispepsia, diare,
dan lain-lain.
4. Tiazolidinedion
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR- gamma),
suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak,
dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer. Tiazolidinedion meningkatkan retensi cairan tubuh
sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
(NYHA fungsional class III-IV) karena dapat memperberat
edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan
bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat
yang masuk dalam golongan ini adalah pioglitazone.
5. Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di saluran pencernaan sehingga menghambat
absorpsi glukosa dalam usus halus. Penghambat glukosidase
alfa tidak digunakan pada keadaan LFG ≤ 30 ml/min/1,73 m2,
gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek
samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan
gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan
dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah acarbose.
6. DPP-4 Inhibitor
Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease,
yang didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini
memecah dua asam amino dari peptida yang mengandung
alanin atau prolin di posisi kedua peptida N-terminal. Enzim
DPP-4 terekspresikan di berbagai organ tubuh, termasuk di
usus dan membran brush border ginjal, di hepatosit,
endotelium vaskuler dari kapiler villi, dan dalam bentuk larut
dalam plasma. Penghambat DPP-4 akan menghambat lokasi
pengikatan pada DPP-4 sehingga akan mencegah inaktivasi
dari glucagon-like peptide (GLP)-1. Proses inhibisi ini akan
mempertahankan kadar GLP-1 dan glucose-dependent
insulinotropic polypeptide (GIP) dalam bentuk aktif di sirkulasi
darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi glukosa,
meningkatkan respons insulin, dan mengurangi sekresi
glukagon. Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang
termasuk dalam golongan ini adalah vildagliptin, linagliptin,
sitagliptin, saxagliptin dan alogliptin.
7. SGLT-2 inhibitor
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa
di tubulus proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa
melalui urin. Obat golongan ini mempunyai manfaat untuk
menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek samping
yang dapat terjadi akibat pemberian obat ini adalah infeksi
saluran kencing dan genital. Pada penyandang DM dengan
gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis, dan
tidak diperkenankan bila LFG kurang dari 45 ml/menit. Hati-
hati karena dapat mencetuskan ketoasidosis.
8. Insulin
Insulin digunakan pada keadaan :
- HbA1c saat diperiksa  7.5% dan sudah menggunakan satu
atau dua obat antidiabetes
- HbA1c saat diperiksa > 9%
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis Hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard
akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
IV. CKD
A. Definisi dan Kriteria Diagnosis
Chronic Kidney Disease atau Penyakit ginjal kronis (PGK)
merupakan proses patofisiologi yang berhubungan dengan
fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan secara progresif
glomerular filtration rate (GFR). Menurut National Kidney
Foundation KDIGO (2013), kriteria penyakit ginjal kronik
(PGK) adalah: Tabel 2.1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
Kriteria PGK (terjadi lebih dari 3 bulan) Penanda kerusakan
ginjal (1 atau lebih) - Albuminuria (AER ≥ 30mg/24 jam; ACR
≥ 30mg/g (≥3 mg/mmol) - Abnormalitas sedimen urin -
Abnormalitas elektrolit atau lainnya yang berkaitan dengan
gangguan tubulus - Abnormalitas struktur yang dideteksi dari
radiologi - Riwayat transplantasi ginjal Penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR) GFR < 60 ml/menit/1,73 m2
B. Klasifikasi, Etiologi, dan Patogenesis
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan pada penyebab
dan keparahannya, yang dapat digambarkan dengan GFR dan
level albuminuria, yang mana GFR dan albuminuria ini dapat
menunjukkan outcome termasuk mortalitas dan outcome ginjal.
Faktor-faktor ini yang menjadi acuan dalam manajemen PGK
(KDIGO,2013).
Dua penyebab utama penyakit ginjal kronik menurut
Indonesian Renal Registry (IRR) 2014 adalah penyakit ginjal
hipertensi (37%) dan nefropati diabetika (27%). Jumlah pasien
penyakit ginjal Diagnosa Etiologi/Comorbid) di Indonesia
tahun 2014 (IRR, 2014) :
1. Penyakit ginjal hipertensi (4699)
2. Nefropati diabetika (3401)
3. Glumerulopati Primer (1317)
4. Nefropati obstruktif (914)
5. Pielonefritis Kronik (850)
6. Nefropati Lupus (164)
7. Ginjal polikistik (154)
8. Nefropati asam urat (148)
9. Lain-lain (921)
10. Tidak diketahui (202)

C. Diagnosis
1. Anamnesis
a. Riwayat Hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, SLE.
b. Riwayat hipertensi dalam kehamilan (pre-eklamsia, abortus
spontan)
c. Riwayat konsumsi obat NSAID, antimikroba, kemoterapi,
antiretroviral, paparan zat kontras.
d. Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu makan berkurang,
berat badan menurun, mual muntah, nokturia, sendawa, edema
perifer, neuropati perifer, pruritu, kram otot, kejang sampai
koma.
e. Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi
manifestasi sistem organ seperti auditorik, visual, kulit dan
lainnya untuk menilai apa ada PGK yang diturunkan (Sindrom
Alport atau Fabry, sistinuria) atau paparan nefrotoksik dari
lingkungan (logam berat).
2. Pemeriksaan Fisik :
a. Difokuskan pada peningkatan tekanan darah dan kerusakan
targe torgan : funduskopi, pemeriksaan pre-kordial (heaving
ventrikel kiri, bunyi jantung IV).
b. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit :
edema,polineuropati.
c. Gangguan endokrin metabolik: amenorrhea, malnutrisi,
gangguan pertumbuhan dan perkembangan, infertilitas dan
disfungsi seksual.
d. Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual muntah, nafas bau
urin (uremic fector), disgeusia (metalik taste).
e. Gangguan neuromuscular: letargi, sendawa, asteriksis,
mioklonus, fasikulasi otot, restless leg syndrome, miopati,
kejang sampai koma.
f. Gangguan dermatologis: palor, hiperpigmentasi, pruritus.
3. Pemeriksaan Penunjang:
a. Laboratorium: darah perifer lengkap, penurunan LFG
dengan rumus Kockroft-Gault, tes klirens kreatinin, gula darah,
profil lipid, analisa gas darah, serologis hepatitis, SI, TIBS,
feritin serum, hormon PTH, urinalisis.
b. Radiologis: foto polos abdomen, USG ginjal, ekokardiografi.
c. Biopsi ginjal untuk melihat abnormalitas parenkim ginjal,
dilakukan biopsi jika dengan tidakan non invasi diagnosis
belum bisa ditegakkan.
D. Penatalaksanaan
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya
1. Farmakologis :
1. Kontrol tekanan darah: Pada pasien diabetes dewasa
dengan penyakit ginjal kronis dan eksresi albumin urine
30-300 mg/24 jam disarankan menggunakan ARB atau
ACE-I. Pada pasien diabetes atau non diabetes dengan
penyakit ginjal kronis dan eksresi albumin urin >
300mg/24jam direkomendasiakan menggunakan ARB dan
ACE. Monoterapi ACE inhibitor atau ARB signifikan
secara statistik mengurangi resikoend stage renal disease
(ESRD) pada pasien gagal ginjal kronis dan manfaatnya
terbatas pada pasien makroalbuminuria dengan diabetes
dan hipertensi.
2. Kontrol gula darah : hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea masa kerja panjang. Target HbA1C
(7%) untuk mencegah komplikasi mikrovaskular diabetes
(DKD).
3. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl.
4. Kontrol hiperfosfatemia dengan kalsium karbonat atau
kalsium asetat.
5. Kontrol dislipidemia dengan target LDL < 100mg/dl
dianjurkan golongan statin. Golongan statin mengurangi
resiko mortalitas, miokardiak infark, dan gagal jantung
kronis.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas H. Nefritis lupus. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, penyunting: 1937 Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.2002: 366-79.
Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL (2019). Penatalaksanaan
di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta Pusat: Interna
Publishing.
Costner MI, Sontheimer RD. Lupus Erythematosus.
Dalam:Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Freddberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Edisi ke-6. New
York McGraw Hill. 2003:1677-1693.
Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS,
Helfaer MA, penyunting. Pediatric neurocritical care. New York:
Demosmedical; 2013. h 117–138.
Hold RIG dan Hanley NA (2012). Essential Endocrinology and Diabetes. Oxford:
Wiley-Blackwell.
Kher KK, Makker SP. Clinical pediatric nephrology. New York: Mc Graw Hill
Inc.1992.
Moe PG, Seay AR. Neurological and muscular diorders. Dalam: Hay WW,
Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric:
Diagnosis and treatment. Edisi ke-18. International Edition: McGrawHill;
2008.h. 735.
Mc Curdy DK, Lehman TJA, Bernstein B, et al. Lupus nephritis
prognostic factors in children. Pediatrics 1992; 89: 240-6.
Petty RE, Laxer RM. Systemic lupus erythematosus.
Dalam: Cassidy JT, Petty RE, Laxer RM, dkk, penyunting. Textbook of
pediatrics rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders,
2005; 342-83.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (2014).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam. Jakarta Pusat: Interna
Publishing.
Soelistijo SA, Lindarto D, Decroli E, Permana H, Sucipto KW, Kusnadi Y,
Budiman, et al. (2019). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia 2019. Jakarta: PB PERKENI.

Anda mungkin juga menyukai