Oleh:
Gustafat Abdur Rahman G991905025
Pembimbing Residen
I. ANAMNESIS
A. Identitas penderita
Nama : An. T A N
Umur : 14 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Gatak, Sukoharjo
No RM : 0151xxxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 10 November 2020
B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan pada di Bangsal
Anak Melati 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Keluhan utama:
Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan kejang sejak 1
jam SMRS.
Riwayat imunisasi :
• 0 bulan : Hepatitis B-0
• 1 bulan : BCG
• 2 bulan : DPT 1, Polio 1
• 4 bulan : DPT 2, Polio 2
• 6 bulan : DPT 3, Polio 3
• 9 bulan : Campak
• 15 bulan : MMR
• 18 bulan : DPT4, Polio 4
• 5 tahun : DPT 4, Polio 5, campak 2
Keterangan
Laki –laki
Perempuan
Pasien
Riwayat kebiasaan
Makan Pasien makan 5 kali sehari dengan nasi,
sayur dan lauk. Porsi cukup.
Olahraga Pasien mengaku jarang berolahraga
Minum jamu Disangkal
Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon
nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri
tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-), palmar
eritem (-), paresthesia (-), ADP kuat angkat, CRT<
3 detik.
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-),
spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-),
nyeri tekan dan nyeri gerak (-/+), deformitas (-/-),
paresthesia (-) ADP kuat angkat, CRT< 3 detik.
Neurologis :
Refleks fisiologis
Biceps: +2/+2
Triceps: +2/+2
Patella: +2/+2
Achilles: +2/+2
Refleks patologis
Babisnki sign: (-/-)
Chaddock: (-/-)
Openheim: (-/-)
Meningeal sign
Kaku kuduk: (-)
Brudzinki I: (-)
Brudzinki II: (-)
3. Pemeriksaan penunjang:
Laboratorium (Tanggal 10 & 11 November 2020)
Pada kasus ini, anak perempuan datang dengan kejang terjadi 2 kali
SMRS: 1x saat dirumah, 1x saat di perjalanan ke IGD RSDM. Kejang dirasakan
pertama kali pada jam 8. Kejang terjadi tiba-tiba saat pasien beraktivitas, awalnya
terasa di tangan sebelah kanan saja, kemudian kejang dirasakan seluruh tubuh.
Orang tua pasien mengatakan bahwa saat kejang pasien sadar, kaku seluruh tubuh,
mata melirik ke atas dan bibir tergigit, kemudian diikuti kelojotan. Terdapat busa
yang keluar dari mulut. Pasien mengalami kejang kurang lebih selama 5 menit.
Setelah kejang pasien lemas dan sempat lupa. Orang tua pasien kemudian
membawa pasien ke IGD RSDM. Saat di IGD RSDM sekitar pukul 09.00, pasien
mengalami kejang kembali 2 kali Pada pemeriksaan didapatkan tanda vital
TD:150/60 mmHg, Nadi: 94x/menit, Suhu: 36,7°C, Pernapasan: 20x/menit. GCS
E4V5M6. Pada pemeriksaan generalis maupun neurologis tidak didapatkan
kelainan yang berarti. Pasien menunjukkan adanya gejala epilepsi. Diagnosis
status epileptikus didukung dengan adanya kejang berulang.
Riwayat mondok sebelumnya 4 bulan yang lalu pasien mengeluhkan nyeri
ulu hati semenjak 1 bulan SMRS. Nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri dirasakan
sangat sakit, mengganggu aktivitas, tidak membaik dengan makan ataupun
istirahat. Pasien sempat memeriksakan diri beberapa kali ke bidan, ditemukan
tekanan darah tinggi. Karena nyeri semakin memberat pasien dibawa ke RSDM,
kemudian di diagnosa nefritis lupus. Pasien rutin berobat ke poli RSDM untuk
mengobati nefritis lupus (dalam pengobatan bulan ke-4).
Pasien juga didiagnosis dengan hipertensi stage II didukung dari hasil
pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah sistolik sebesar 150 mmHg. Pasien-
pasien dengan gangguan metabolik sering kali didapatkan adanya gangguan lebih
dari satu sehingga pemeriksaan lebih lengkap berupa profil lipid lengkap terutama
trigliserida dan HDL, kadar asam urat, kadar gula darah puasa, serta pemeriksaan
fisik lingkar pinggang, guna menegakkan diagnosis sindroma metabolik, sehingga
pasien dapat mendapatkan terapi yang adekuat.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. STATUS EPILEPTIKUS
A. Definisi
Status epileptikus (SE) menurut International League
Againts Epilepsy(ILAE) hanya menyatakan bahwa SE
adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama
periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai
pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan
definisi menurut ILAE tersebut adalah batasan lama
kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian
para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya
adalah selama 30 menit atau lebih.
B. Etiologi
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau
keseimbangan elektrolit, trauma kepala, perdarahan, atau
stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya:
ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala,
infeksi, atau kelainan otak kongenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan
metabolik, otoimun (contohnya vaskulitis)
d. Epilepsi
2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui.
.
C. Manifestasi Klinis
Tanda Khas Epilepsi Parsial Sederhana
Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim
pada epilepsi parsial sederhana. Gerakan ditandai dengan
gerakan klonik atau tonik yang tidak sinkron, dan mereka
cenderung melibatkan wajah, leher dan tungkai. Kejang
versify terdiri atas pemutaran kepala dan gerakan mata
gabungan adalah sangat lazim. Rata – rata kejang
berlangsung selama 10 – 22 detik. Kejang parsial sederhana
dapat terancukan dengan gerenjit ( tic ), namun gerenjit
ditandai dengan pengangkatan bahu, mata berkedip – kedip
dan wajah menyeringai serta terutama melibatkan wajah
dan bahu. Gerenjit dapat tertekan sebentar, tetapi kejang
parsial tidak dapat dikendalikan. EEG dapat menunjukkan
gelombang paku atau gelombang tajam unilateral atau
bilateral, atau gambaran paku multifokal pada penderita
dengan kejang parsial sederhana, gelombang paku ombak
di daerah temporal tengah ( daerah Rolandik ).
Jenis epilepsy ini mempunyai kekhususan tersendiri,
yaitu prognosisnya baik. Serangannya mudah diobati,
dicegah dengan antikonvulsan, dan umumnya akan sembuh
pada umur 15 tahun.
Ciri dan jenis epilepsy ini adalah :
1. Serangan pertama biasa terjadi antara usia 5 – 10
tahun.
2. Serangan terutama terjadi sewaktu tidur.
3. Respon terhadap obat antikonvulsan baik.
4. Prognosis baik.
5. Sumber ( focus ) epilepsinya adalah di daerah
temporal tengah, pada satu sisi atau pada kedua sisi di otak.
6. Serangan – serangan kejang akan menghilang atau
berhenti bila mencapai usia remaja, demikian juga halnya
dengan gelombang paku di daerah temporal tengah yang
terlihat pada pemeriksaan EEG akan menghilang. Anak
dengan jenis epilepsy ini mempunyai inteligensi, tingkah
laku, dan kemampuan bersekolah yang tidak berbeda
dengan populasi umum. Jenis epilepsy ini cukup sering
dijumpai.
Tanda Khas Epilepsi Parsial Kompleks
Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang
ini dapat didahului oleh kejang parsial sederhana dengan
atau tanpa aura, disertai dengan gangguan kesadaran atau
sebaliknya, mulainya kejang parsial kompleks ini dapat
bersama dengan keadaan kesadaran yang berubah. Aura
terdiri dari rasa tidak enak, samar – samar, sedikit rasa tidak
enak epigastrium, atau ketakutan pada sekitar sepertiga
anak. Kejang parsial ini sukar didokumentasikan pada bayi
dan anak, frekuensi hubungannya dengan kejang parsial
kompleks mungkin kurang terestimasi. Kesadaran
terganggu pada anak dan bayi sukar dinilai.
Kejang parsial kompleks yang disertai gelombang tajam
atau paku – paku setempat EEG antar kejang lobus
temporalis anterior, dan paku multifokus merupakan
temuan yang sering. Sekitar 20 % bayi dan anak dengan
kejang parsial kompleks mempunyai EEG antar kejang
rutin normal. Daerah yang terkena kejang parsial kompleks
lebih luas dibandingkan dengan kejang parsial sederhana
dan biasanya didahului dengan aura.
Tanda Khas Epilepsi Parsial Kemudian Menjadi Umum
Bentuk kejang ini disebut juga status epilepsy fokal atau
epilepsy parsial kontinu. Bentuk kejang biasanya kejang
klonik ( kelojotan ). Tiap bagian tubuh dapat terlibat,
misalnya tangan, muka, dan kaki. Kejang ini dapat terbatas
dan dapat pula menjalar ke bagian tubuh lainnya. Bila
kejang bermula di ibu jari, ia dapat menjalar ke jari lainnya,
kemudian ke pergelangan tangan, ke lengan bawah, lengan
atas, muka, kemudian ke tungkai dan kaki.. Sehabis kejang
sesekali dijumpai bahwa otot yang terlibat lemah.
Kelemahan ini umumnya pulih setelah beberapa menit atau
jam.
Tanda Khas Epilepsi Tonik Klonik Umum
Bangkitan grandmal disebut juga bangkitan tonik klonik
umum atau bangkitan mayor ( serangan besar ). Bangkitan
grandmal merupakan jenis epilepsi yang sering dijumpai.
Serangan grandmal yang khas adalah sebagai berikut :
Penderita secara mendadak menghilang kesadarannya,
disertai kejang tonik (badan dan anggota gerak menjadi
kaku ), yang kemudian diikuti oleh kejang klonik (badan
dan anggota gerak berkejut - kejut, kelojotan ). Bila
penderita sedang berdiri sewaktu serangan mulai, ia akan
jatuh seperti benda mati. Pada fase tonik badan menjadi
kaku. Bila kejang tonik ini kuat, udara dikeluarkan dengan
kuat dari paru-paru melalui pita suara sehingga terjadi
bunyi yang disebut sebagai jeritan epilepsy ( epileptic cry ).
Sewaktu kejang tonik ini berlangsung, penderita menjadi
biru ( sianosis ) karena pernafasan terhenti dan terdapat
pula kongesti ( terbendungnya ) pembuluh darah balik
vena. Biasanya fase kejang tonik ini berlangsung selama 20
– 60 detik.
Tanda Khas Epilepsi Tonik Umum
Kejang ini biasanya terdapat pada BBLR dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan pada bayi dengan
komplikasi perinatal berat misalnya perdarahan
intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa
pergerakan tonik satu ekstremitas, atau pergerakan tonik
umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang
menyerupai sikap deseberasi atau ekstensi tungkai dan
fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Juga
ditemukaan adanya epileptic cry. Bentuk kejang tonik yang
menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan sikap
opistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningeal
karena infeksi selaput otak atau kernikterus.
Tanda Khas Epilepsi Klonik Umum Kejang klonik
dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
permulaan fokal dan multifokal yang berpindah – pindah.
Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1-3 detik,
terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran
dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini
dapat disebabkan oleh kontusio serebri akibat trauma fokal
pada bayi besar dan cukup bulan, atau oleh ensefalopati
metabolic. Kejang klonik fokal sering diduga sebagai suatu
keadaan gemetar ( jitteriness ). Pada BBL dengan kejang
klonik fokal hendaknya dilakukan pemeriksaan USG dan
penatahan kepala untuk mengetahui apakah terjadi
perdarahan otak. Apabila pemeriksaan tersebut normal
tetapi terdapat kelumpuhan salah satu tungkai setelah
kejang berhenti, penatahan kepala harus diulangi 1 minggu
kemudian untuk mencari kemungkinan terjadinya infark
serebri. Bentuk kejang ini merupakan gerakan klonik pada
satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau
terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri
diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kejang
yang satu dengan yang lain sering berkesinambungan,
seolah-olah memberi kesan sebagai kejang umum
D. Tatalaksana
Penatalaksanaan Status Epileptikus meliputi:
a. Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg)
dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila kejang
berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
b. Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan
NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang sama
c. Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam
sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang diperlukan
dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang
jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1
menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok
usia; • 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan) • 5 mg (usia 1 – 5
tahun) • 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun) • 10 mg (usia ≥ 10
tahun)
d. Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas
kejang selama 24 jam setelah pemberian midazolam,
maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara
bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat
dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
e. Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu
seharusnya di ICU, namun disesuaikan dengan kondisi
rumah sakit Bila pasien terdapat riwayat status
epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital
10 mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian rumatan
bila diperlukan.
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan
kadar asam lemak bebas (free fatty acid (FFA)) dalam
plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di
hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoksisitas. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidinedion.
4. Otot
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja
insulin yang multipel di intramioselular, yang diakibatkan
oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga terjadi
gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan
tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada penyandang DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang
berat dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi
glukosa dalam keadaan basal oleh hepar (hepatic glucose
production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obese baik yang DM maupun non-DM,
didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur
Ini adalah agonis GLP-1, amilin dan bromokriptin.
7. Kolon/Mikrobiota
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan
konsekuensi kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar
amilin menyebabkan percepatan pengosongan lambung
dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang
berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respons fase
akut (disebut sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan
bagian dari aktivasi sistem imun bawaan/innate) yang
berhubungan kuat dengan patogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan
aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah berperan
dalam induksi stres pada endoplasma akibat peningkatan
kebutuhan metabolisme untuk insulin. DM tipe 2 ditandai
dengan resistensi insulin perifer dan penurunan produksi
insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah
pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot.
D. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan
meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM,
memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko
komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat
progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM.
C. Diagnosis
1. Anamnesis
a. Riwayat Hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, SLE.
b. Riwayat hipertensi dalam kehamilan (pre-eklamsia, abortus
spontan)
c. Riwayat konsumsi obat NSAID, antimikroba, kemoterapi,
antiretroviral, paparan zat kontras.
d. Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu makan berkurang,
berat badan menurun, mual muntah, nokturia, sendawa, edema
perifer, neuropati perifer, pruritu, kram otot, kejang sampai
koma.
e. Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi
manifestasi sistem organ seperti auditorik, visual, kulit dan
lainnya untuk menilai apa ada PGK yang diturunkan (Sindrom
Alport atau Fabry, sistinuria) atau paparan nefrotoksik dari
lingkungan (logam berat).
2. Pemeriksaan Fisik :
a. Difokuskan pada peningkatan tekanan darah dan kerusakan
targe torgan : funduskopi, pemeriksaan pre-kordial (heaving
ventrikel kiri, bunyi jantung IV).
b. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit :
edema,polineuropati.
c. Gangguan endokrin metabolik: amenorrhea, malnutrisi,
gangguan pertumbuhan dan perkembangan, infertilitas dan
disfungsi seksual.
d. Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual muntah, nafas bau
urin (uremic fector), disgeusia (metalik taste).
e. Gangguan neuromuscular: letargi, sendawa, asteriksis,
mioklonus, fasikulasi otot, restless leg syndrome, miopati,
kejang sampai koma.
f. Gangguan dermatologis: palor, hiperpigmentasi, pruritus.
3. Pemeriksaan Penunjang:
a. Laboratorium: darah perifer lengkap, penurunan LFG
dengan rumus Kockroft-Gault, tes klirens kreatinin, gula darah,
profil lipid, analisa gas darah, serologis hepatitis, SI, TIBS,
feritin serum, hormon PTH, urinalisis.
b. Radiologis: foto polos abdomen, USG ginjal, ekokardiografi.
c. Biopsi ginjal untuk melihat abnormalitas parenkim ginjal,
dilakukan biopsi jika dengan tidakan non invasi diagnosis
belum bisa ditegakkan.
D. Penatalaksanaan
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya
1. Farmakologis :
1. Kontrol tekanan darah: Pada pasien diabetes dewasa
dengan penyakit ginjal kronis dan eksresi albumin urine
30-300 mg/24 jam disarankan menggunakan ARB atau
ACE-I. Pada pasien diabetes atau non diabetes dengan
penyakit ginjal kronis dan eksresi albumin urin >
300mg/24jam direkomendasiakan menggunakan ARB dan
ACE. Monoterapi ACE inhibitor atau ARB signifikan
secara statistik mengurangi resikoend stage renal disease
(ESRD) pada pasien gagal ginjal kronis dan manfaatnya
terbatas pada pasien makroalbuminuria dengan diabetes
dan hipertensi.
2. Kontrol gula darah : hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea masa kerja panjang. Target HbA1C
(7%) untuk mencegah komplikasi mikrovaskular diabetes
(DKD).
3. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl.
4. Kontrol hiperfosfatemia dengan kalsium karbonat atau
kalsium asetat.
5. Kontrol dislipidemia dengan target LDL < 100mg/dl
dianjurkan golongan statin. Golongan statin mengurangi
resiko mortalitas, miokardiak infark, dan gagal jantung
kronis.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas H. Nefritis lupus. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, penyunting: 1937 Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.2002: 366-79.
Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL (2019). Penatalaksanaan
di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta Pusat: Interna
Publishing.
Costner MI, Sontheimer RD. Lupus Erythematosus.
Dalam:Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Freddberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Edisi ke-6. New
York McGraw Hill. 2003:1677-1693.
Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS,
Helfaer MA, penyunting. Pediatric neurocritical care. New York:
Demosmedical; 2013. h 117–138.
Hold RIG dan Hanley NA (2012). Essential Endocrinology and Diabetes. Oxford:
Wiley-Blackwell.
Kher KK, Makker SP. Clinical pediatric nephrology. New York: Mc Graw Hill
Inc.1992.
Moe PG, Seay AR. Neurological and muscular diorders. Dalam: Hay WW,
Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric:
Diagnosis and treatment. Edisi ke-18. International Edition: McGrawHill;
2008.h. 735.
Mc Curdy DK, Lehman TJA, Bernstein B, et al. Lupus nephritis
prognostic factors in children. Pediatrics 1992; 89: 240-6.
Petty RE, Laxer RM. Systemic lupus erythematosus.
Dalam: Cassidy JT, Petty RE, Laxer RM, dkk, penyunting. Textbook of
pediatrics rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders,
2005; 342-83.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (2014).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam. Jakarta Pusat: Interna
Publishing.
Soelistijo SA, Lindarto D, Decroli E, Permana H, Sucipto KW, Kusnadi Y,
Budiman, et al. (2019). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia 2019. Jakarta: PB PERKENI.