Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus Gastroenterohepatologi Yunior

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 9 TAHUN DENGAN


HEPATITIS A, GIZI BAIK DAN PERAWAKAN NORMAL

Oleh :
Ingga Ifada

Pembimbing :
dr. Ninung Rose Diana K, Msi.Med, Sp.A(K)
dr. Juwita Pratiwi, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP Dr. KARIADI SEMARANG
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Hepatitis A adalah peradangan pada organ hati (liver) yang disebabkan


oleh virus Hepatitis A. Hepatitis A dapat menyebabkan sakit ringan hingga berat.
Pada umumnya penyebaran terjadi secara fekal-oral ketika seseorang
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja seseorang yang
terinfeksi HAV. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakaan virus hepatitis
menyebabkan 1,34 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2015. Sebanyak
96% diantaranya merupakan hasil komplikasi infeksi Hepatitis B Virus (HBV)
kronis (66%) dan Hepatitis C Virus (HCV) yaitu 30%, sedangkan Hepatitis A dan
E masingmasing menyumbang 0,8% dan 3,2% kematian.
Anak yang berusia lebih kecil seringkali tidak menunjukkan gejala apa-
apa. Walaupun begitu, mereka tetap dapat menularkan infeksi virus ini pada orang
lain di sekitarnya. Sementara itu, anak yang lebih besar dapat merasa sangat
lemah. Gejala yang mungkin dapat muncul adalah demam, kehilangan nafsu
makan, letih, mual, muntah. Penyakit Hepatitis A tergolong penyakit yang akut
dan jarang sampai mengalami proses berkelanjutan. Pada umumnya, virus dapat
dikeluarkan sempurna oleh respons imun tubuh anak. Tapi, pada sebagian kecil
anak, terutama yang berusia lebih besar, penyakit ini dapat berkembang menjadi
hepatitis fulminant (sangat berat) sehingga anak terlihat kuning sekali, kejang,
bahkan tak sadar.
Infeksi akut dapat dicegah dengan pemberian immunoglobulin dalam 2
minggu setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin. Pasien dirawat inap bila ada
dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, muntah hebat, kadar SGOT-
SGPT > 10 kali nilai normal, koagulopati, dan ensefalopati. Pengobatan meliputi
istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya asetaminofen.
Pembatasan aktivitas fisik terutama yang bersifat kompetitif selama kadar SGOT-
SGPT masih >3 kali batas atas nilai normal. Tidak ada pengobatan khusus untuk
penyakit hepatitis A, pengobatan hanya berupa tirah baring sedangkan terapi yang
dilakukan hanya untuk mengatasi gejala yang ditimbulkan. Terapi harus
mendukung dan bertujuan untuk menjaga keseimbangan gizi yang cukup.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. DWP
Umur : 9 tahun
Tanggal lahir : 27 Juni 2010
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pasuruhan RT 08 RW 03, Kel. Pasuruhan, Kec. Kayen,
Kab. Pati, Jawa Tengah
Agama : Islam
No. CM : C762xxx
Tanggal periksa : 15 Juli 2019

2.2 Identitas Orang Tua Pasien


Nama Ayah : Tn. ARM
Umur : 34 tahun
Pekerjaan : Pegawai swasta
Pendidikan : SMA

Nama Ibu : Ny.WH


Umur : 35 tahun
Pekerjaan : Pegawai swasta
Pendidikan : SMP

2.3 Data Dasar


2.3.1Anamnesis
Data didapat dari alloanamnesis dengan ayah dan ibu pasien di Poli Anak
Instalasi Garuda RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tanggal 15 Juli 2019 pukul
08.40 WIB.
Keluhan Utama : Kuning

3
Riwayat Penyakit Sekarang
± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien berobat ke Poli Garuda
dengan keluhan kuning seluruh tubuh yang dirasakan muncul sejak 2 bulan
sebelumnya dan menetap. Demam (-), mual (+), muntah (-), pucat (-), nyeri perut
(+), perut membesar (-), BAK seperti teh, BAB tidak ada keluhan. Pasien
kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium dan dikatakan Hepatitis A ringan.
Pasien diberikan obat asam ursodeoksikolat 250mg 2x1, omeprazole 20 mg 1x1,
kolestiramin 2x1/2 sachet, dan metilprednisolon 16mg-8mg-2mg. Pasien diminta
kontrol kembali 1 minggu kemudian.
Pasien dikatakan mengalami hepatitis viral akut pada tanggal 1 Juli 2019. Saat ini
kunjungan kontrol yang kedua dengan kondisi pasien tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat sakit serupa sebelumnya (-)

Riwayat Epidemiologi
- Pasien tinggal bersama kedua orangtua
- Tetangga memiliki riwayat sakit kuning yang menetap, tidak diobati
hingga saat ini
- Sehari-hari anak sering jajan di luar Rumah
- Sumber Air masak dan minum dari gallon isi ulang. Sumber air untuk
mandi dan mencuci dari sumur
Riwayat Sosial Ekonomi
- Ayah bekerja di luar negeri sebagai wiraswasta bagian industri dengan
penghasilan ± Rp 4.000.000/bulan. Ibu seorang karyawan swasta dengan
penghasilan ± Rp 1.500.000/bulan . Menanggung 1 orang anak yang
belum mandiri. Biaya pengobatan menggunakan JKN Non PBI.
- Kesan : Sosial ekonomi cukup

4
Pohon Keluarga

Gambar 1. Pohon Keluarga

Keterangan:
Anak pertama meninggal di dalam kandungan saat usia 7 bulan, dilahirkan
secara normal di rumah sakit Pati.
Pasien

Riwayat Perinatal
- Riwayat prenatal: ANC tidak rutin, hanya 1x diperiksa di puskesmas dan
1x di dokter kandungan. Ibu tidak pernah ada keluhan selama kehamilan,
perdarahan disangkal, sakit darah tinggi disangkal, kencing manis
disangkal, ruam-ruam disangkal, demam disangkal, mengonsumsi obat-
obatan selain yang diberikan dokter disangkal, minum jamu-jamuan
disangkal, riwayat trauma disangkal. Selama hamil mengonumsi tablet
besi (+), injeksi TT (+).
- Riwayat natal: Lahir bayi laki-laki usia 9 bulan dari ibu G2P1A0 usia 25
tahun, lahir normal pervaginam di rumah, ditolong oleh dukun bayi dan

5
bidan, bayi langsung menangis, bayi berwarna kuning disangkal, biru
disangkal, IMD (+). BBL dan PBL lupa.
- Riwayat postnatal: saat lahir pasien tidak dibawa ke fasilitas kesehatan.

Riwayat Imunisasi
Dikatakan imunisasi dasar lengkap di puskesmas

Riwayat Makan dan Minum Anak


- 0-2 minggu : ASI
- 2 minggu – 2 tahun : ASI + susu formula, MPASI
- 2 tahun – sekarang : makanan dan minuman keluarga
Kesan: ASI tidak eksklusif, kualitas dan kuantitas cukup

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


1. Pertumbuhan
BB lahir : tidak diketahui
BB sekarang : 29 kg
PB lahir : tidak diketahui
TB sekarang : 129,5 cm
WAZ : 0,16 SD
HAZ : -0,57 SD
BMI for age : 0,68 SD
Kesan : Gizi baik, perawakan normal

2. Perkembangan
Saat ini pasien berusia 9 tahun
 Motorik kasar : anak dapat aktivitas dengan baik
 Motorik halus : anak dapat menggambar dan menulis
 Bahasa : anak dapat berkomunikasi dengan baik
 Personal sosial : anak dapat berekspresi dengan baik
Kesan : Perkembangan anak sesuai usia

6
2.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di Poli Anak Instalasi Garuda RSUP Dr.
Kariadi Semarang pada tanggal 15 Juli 2019 pukul 08.40 WIB
Kesadaran : Composmentis
Keadaan umum : Baik
Tanda-tanda vital : HR : 88x/menit Nadi: kuat, reguler
RR : 20x/menit Suhu: 36,7oC (axilla)
SpO2 : 99%

Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (+/+)


Hidung : Nafas cuping (-/-), epitaksis (-/-), discharge (-), saddle
nose (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa kering (-), perdarahan gusi (-)
Tenggorokkan : Tonsil T1-T1, tonsil hiperemis (-/-), kripte (-), faring
hiperemis (-), uvula ditengah
Lidah : Normoglossi
Telinga : Nyeri tekan tragus (-/-), Discharge (-/-)
Leher : Perbesaran nnll (-/-)
Kulit : Turgor kulit kembali cepat, kuning (-), sianosis (-)
Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Dada simetris saat statis maupun dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+) / (+/+)
Suara tambahan: ronkhi (-/-) / (-/-)
wheezing (-/-) / (-/-)
hantaran (-/-) / (-/-)

Vesikuler Vesikuler
Vesikuler
7
Paru depan Paru belakang

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV 2cm lateral dari LMCS, tidak kuat
angkat
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, gallop (-), bising (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani di seluruh region, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Palpasi : Supel, hepar teraba 3 cm dibawah arcus costae, lien S0,
turgor kulit cepat kembali, nyeri tekan (-)

Genital : Laki-laki, tidak ada kelainan

Ekstremitas:
Superior Inferior
Akral dingin (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)
Edema (-/-) (-/-)
CRT (<2”/<2”) (<2”/<2”)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Hematologi
Hasil Hasil Hasil
Pemeriksaa Nilai
(01/07/2019 (15/07/2019) (05/08/2019 Satuan Keterangan
n Normal
) )

8
13,60-
Hemoglobin 12,7 13,4 13,8 g/dL
19,60
Hematokrit 37,2 38,7 37,7 % 44-62
Eritrosit 4,49 4,5 4,39 106/uL 3-5,4
23,00-
MCH 28,3 29,8 31,4 pg H
31,00
MCV 82,9 86 85,9 fl 77-101
29,00-
MCHC 34,1 34,6 36,6 g/dL H
36,00
Leukosit 7,1 11,5 7,8 103/uL 3,6 – 11
150 –
Trombosit 482 518 377 103/uL H
400
11,6 –
RDW 17,5 16,4 14,2 % H
14,8
4,00 –
MPV 9,5 9,9 9 fL
11,00
Catatan: Serum Ikterik

2. Pemeriksaan Kimia Klinis


Hasil Hasil Hasil Hasil Hasil
Nilai
Pemeriksaan (01/07/ (15/07/ (22/07/ (05/08/ (16/09/ Satuan Keterangan
Normal
2019) 2019) 2019) 2019) 2019)
SGOT 63 81 132 37 - U/L 15-34 H
SGPT 44 124 377 60 - U/L 15-60 H
Alkaline
376 284 - - - U/L 50-136 H
Fosfatase
Gamaglobulin
13 12 - - - U/L 5-85
transferase
Bilirubin total 13,7 7,45 5,66 2,13 0,30 mg/dL 0,3-1,2 H
Bilirubin
10,2 5,09 3,31 1,25 0,24 mg/dL 0,0-0,2 H
direk
Bilirubin
3,5 2,36 2,35 0,88 0,06 mg/dL 0,2-0,8
indirek
Albumin 4,3 - - - - g/dL 3,4-5,0

3. Pemeriksaan Imunoserologi
Hasil
Pemeriksaan Satuan Nilai Normal Keterangan
(01/07/2019)
HBsAg <0,10 Negatif: <1,0 Negatif

9
Equevocal 1,0 – 50,0
Positif: >50,0
Negatif: <8
Anti HBs 3,23 mIU/ml Equevocal 8 – 12 Negatif
Positif: >12
Negatif: <0,1
Hbe Ag 0,01 S/CO Negatif
Positif: >=0,1
Negatif: <0,4
Anti HAV
1,59 Equevocal 0,4 – <0,5 Positif
IgM
Positif: >=0,5
Negatif: <0,8
Anti HCV 0,11 Equevocal >=0,8 – <1,0 Negatif
Positif: >=1,0

4. Pemeriksaan Urin Lengkap


Hasil Nilai
Pemeriksaan Satuan Keterangan
(01/07/2019) Normal
Analyzer
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Berat jenis 1.007 1.003-1.025
pH 6 4.8-7.4
Protein Neg mg/dL Neg
Reduksi Neg mg/dL Neg
Urobilinogen Normal mg/dL Neg
Bilirubin 1 mg/dL Neg H
Aseton Neg mg/dL Neg
Nitrit Neg Neg
Sedimen
Epitel 0.2 /uL 0.0-40.0
Epitel Tubulus 0.0 /uL 0.0-6.0
Lekosit 0.4 /uL 0.0-20.0
Eritrosit 0.7 /uL 0.0-25.0
Kristal 0.0 /uL 0.0-10.0
Silinder 0.00 /uL 0.0-0.5
Pathologi
Granula Kasar Neg /LPK Neg
Granula Halus Neg /LPK Neg
Silinder Hialin 0.00 /uL 0.0-1.20
Silinder Epitel Neg /LPK Neg
Silinder Neg /LPK Neg

10
Eritrosit
Silinder Neg
Neg /LPK
Lekosit
Mucus 0.00 /uL 0.0-0.5
Yeast Cell 0.00 /uL 0.0-25.0
Bakteri 7 /uL 0.0-100.0
Sperma 0.0 /uL 0.0-3.00
Kepekatan 2.7 mS/cm 3.00-27.00 L

5. Pemeriksaan USG Abdomen


Pada tanggal 07/06/2019 di RS Keluarga Sehat Pati
USG Abdomen:

Hasil USG:
Tak tampak effusi pleura
Tak tampak ascites
Hepar membesar, permukaan rata, sudut tajam, parenkim homogen,
ekogenisitas masih normal, tampak gambaran starry sky appearance, tak
tampak massa/nodul
Vena porta dan vena hepatika tak melebar
Duktus biliaris intra/ekstra hepatal tak melebar
Vesika fellea bentuk dan ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak
batu/sludge

11
Lien tak membesar, parenkim baik, tak tampak massa/nodul, vena lienalis
tak melebar
Ginjal kanan bentuk dan ukuran normal, ekogenesitas cortex normal, tak
tampak penipisan cortex
Batas kortikomeduler baik, PCS dan ureter tak melebar, tak tampak
batu/massa
Ginjal kiri bentuk dan ukuran normal, ekogenisitas cortex normal, tak
tampak penipisan cortex
Batas kortikomeduler baik, PCS dan ureter tak melebar, tak tampak
batu/massa
Pankreas parenkim baik, tak tampak massa/kalsifikasi, duktus tak melebar
Aorta ukuran normal, tak tampak kalsifikasi dinding dan trombus
Tak tampak pembesaran limfonodi para aorta dan para iliaka
Vesika urinaria dinding reguler, tak menebal, tak tampak batu atau massa
Prostat tak membesar, tak tampak kalsifikasi
KESAN: sonogram parenkim hepar mendukung hepatitis

2.5 Daftar Masalah


No. Masalah Aktif Tanggal No Masalah Pasif Tanggal
1. Sklera Ikterik 15/7/19 1. Tetangga sakit kuning 15/7/19
2. BAK seperti teh 15/7/19
3. Anti HAV IgM Positif 15/7/19

2.6 Diagnosis
1. Ikterik dd/ Hepatitis Viral Akut dd/ Hepatitis A
2. Gizi baik, perawakan normal

2.7 Program/Terapi
- Urdafalk 250 mg/12 jam PO
- Omeprazole 20mg/24 jam PO
- Kolestiramin ½ sach/12 jam PO
- Metilprednisolon 16mg-8mg-2mg PO
- Tunggu Hasil laboratorium

2.8. Prognosis

12
- Quo Ad vitam : ad bonam
- Quo Ad functionam : ad bonam
- Quo Ad sanationam : ad bonam

2.9 Foto Klinis Pasien


Durante Pengobatan

Post Pengobatan

13
14
2.10 Kunjungan Kontrol
Tanggal
Klinis / Laboratorium Assessment Program/Terapi
Kontrol
22/07/2019 S: Pasien kontrol. Mata Hepatitis A - Urdafalk 250 mg/12 jam
tampak kuning (+), mual (+), Gizi baik, PO
muntah (-), demam (-), nyeri perawatan - Omeprazole 20mg/24 jam
perut (+) kadang-kadang. normal PO
O: - Metilprednisolon 8mg-
Kesadaran: CM 4mg-0 PO, 3 hari I
KU: Baik 4mg-2mg-0 PO, 3 hari II
HR: 110x/menit 2mg-0-0 PO, 2 hari
Nadi: reguler, isi dan selanjutnya
tegangan cukup
RR: 22x/menit
Suhu: 36,8oC
SpO2: 98%
BB: 29 kg
TB: 129,5 cm
WAZ: 0,16
HAZ: -0,57
BMI: 0,68
Mata: sklera ikterik +/+,
anemis -/-
Hidung: nafas cuping (-)
Mulut: sianosis (-)
Thorax: simetrsi, retraksi (-)
Pulmo/cor: dalam batas
normal
Abdomen: datar, supel, nyeri
tekan (-), BU (+) normal,
hepar teraba 2 cm dibawah
arcus costae, lien S0
Ekstremitas: sianosis -/-,
akral dingin -/-
Hasil laboratorium:

15
Bilirubin total; 5.66 (H)
Bilirubin direk; 3.31 (H)
Bilirubin indirek; 2.35
SGOT; 132 (3,9x) (H)
SGPT; 377 (6,3x) (H)
05/08/2019 S: Pasien kontrol. Mata Hepatitis A - Urdafalk 250 mg/12 jam
tampak kuning (+), mual (-), (perbaikan) PO
muntah (-), demam (-), nyeri Gizi baik, - Kontrol 1 bulan (cek
perut (-), BAB kuning biasa, perawatan bilirubin total dan bilirubin
BAK warna jernih. normal direk)
O:
Kesadaran: CM
KU: Baik
HR: 92x/menit
Nadi: reguler, isi dan
tegangan cukup
RR: 18x/menit
Suhu: 36,5oC
SpO2: 99%
BB: 32 kg
TB: 130 cm
WAZ: 0,75
HAZ: -0,52
BMI: 1,42
Mata: sklera ikterik +/+
berkurang, anemis -/-
Hidung: nafas cuping (-)
Mulut: sianosis (-)
Thorax: simetrsi, retraksi (-)
Pulmo/cor: dalam batas
normal
Abdomen: datar, supel, nyeri
tekan (-), BU (+) normal,
hepar just palpable, lien S0
Ekstremitas: sianosis -/-,
akral dingin -/-

16
Hasil laboratorium:
Hb; 13.8
Ht; 37.7
Leukosit; 7.800
Trombosit; 377.000
Bilirubin total; 2.13 (H)
Bilirubin direk; 1.25 (H)
Bilirubin indirek; 0.88
SGOT; 37 (H)
SGPT; 60
16/09/2019 S: Pasien kontrol. Mata Hepatitis A Kontrol bila ada keluhan
tampak kuning (-), mual (-),
muntah (-), demam (-), nyeri
perut (-), BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
O:
Kesadaran: CM
KU: Baik
HR: 90x/menit
Nadi: reguler, isi dan
tegangan cukup
RR: 20x/menit
Suhu: 36,5oC
SpO2: 99%
BB: 32 kg
TB: 130 cm
WAZ: 0,75
HAZ: -0,52
BMI: 1,42
Mata: sklera ikterik -/-
berkurang, anemis -/-
Hidung: nafas cuping (-)
Mulut: sianosis (-)
Thorax: simetrsi, retraksi (-)
Pulmo/cor: dalam batas

17
normal
Abdomen: datar, supel, nyeri
tekan (+) regio hipokondria
dextra, BU (+) normal, hepar
just palpable, lien S0
Ekstremitas: sianosis -/-,
akral dingin -/-

Hasil laboratorium:
Bilirubin total; 0.30
Bilirubin direk; 0.24
Bilirubin indirek; 0.06

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hepatitis A pada Anak


3.1.1 Definisi
Hepatitis A adalah peradangan pada organ hati (liver) yang disebabkan
oleh virus Hepatitis A. Hepatitis A dapat menyebabkan sakit ringan hingga berat.
Pada umumnya penyebaran terjadi secara fekal-oral ketika seseorang
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja seseorang yang
terinfeksi VHA. VHA bersifat termostabil, tahan asam, dan tahan terhadap cairan
empedu1.

3.1.2 Epidemiologi
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakaan virus hepatitis
menyebabkan 1,34 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2015. Sebanyak
66% diantaranya merupakan hasil komplikasi infeksi Hepatitis B Virus (HBV)
kronis, 30% oleh Hepatitis C Virus (HCV) yaitu 30%, sedangkan Hepatitis A dan
E masingmasing menyumbang 0,8% dan 3,2% kematian. Jumlah kematian akibat
hepatitis hampir setara dengan kematian akibat tuberkulosis (1,37 juta kematian,
tanpa TB terkait HIV), namun lebih tinggi dari kematian akibat HIV (1,06 juta)
dan malaria (0,44 juta)4.
Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2014) mencatat, KLB hepatitis A
di Indonesia pernah terjadi di berbagai provinsi pada tahun 2013, yakni di
Provinsi Riau dengan 87 kasus, Provinsi Lampung (11 kasus), Provinsi Sumatera
Barat (58 kasus), Provinsi Jambi sebanyak (26 kasus), Provinsi Jawa Tengah (26
kasus), dan Provinsi Jawa Timur dengan kasus terbanyak yaitu 287 kasus.
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu lokasi KLB hepatitis A tahun 2013
tersebut dengan 72 kasus. Hepatitis A pada tahun 2014 KLB terjadi kembali di
Provinsi Sumatera Barat (159 kasus), Provinsi Bengkulu (19 kasus), dan Provinsi
Kalimantan Timur (282 kasus)5.

19
3.1.3 Patofisiologi
HAV adalah untai tunggal, positif-sense, enterovirus RNA linier dari
keluarga Picornaviridae. Pada manusia, replikasi virus bergantung pada
pengambilan dan sintesis hepatosit, dan perakitan terjadi secara eksklusif di sel
hati. Hasil akuisisi virus hampir secara eksklusif dari konsumsi (misalnya,
transmisi fekal-oral), meskipun kasus terisolasi transmisi parenteral telah
dilaporkan6.
HAV adalah virus nonenveloped icosahedral, berukuran diameter sekitar
28 nm. Ketahanannya ditunjukkan dengan ketahanannya terhadap denaturasi oleh
eter, asam (pH 3,0), pengeringan, dan suhu setinggi 56°C dan serendah -20°C.
Virus hepatitis A dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun. Air mendidih
adalah cara yang efektif untuk menghancurkannya. Klorin dan yodium sama
efektifnya. Berbagai genotipe HAV ada; namun, tampaknya hanya ada 1 serotipe.
Protein virion 1 dan 3 adalah situs utama pengenalan antibodi dan netralisasi
berikutnya. Tidak ada reaktivitas silang antibodi yang telah diidentifikasi dengan
virus lain yang menyebabkan hepatitis akut. Bukti dalam beberapa tahun terakhir
tampaknya menunjukkan bahwa eksosom memainkan peran ganda dalam
transmisi HAV dan HCV, memungkinkan virus ini untuk menghindari respons
imun yang dimediasi antibodi tetapi, secara paradoks, juga dapat dideteksi oleh sel
dendritik plasmacytoid (pDCs) yang mengarah ke bawaan. aktivasi imun dan
produksi interferon tipe I6.
Kontak orang ke orang adalah cara penularan yang paling umum dan
umumnya terbatas pada kontak dekat. Penularan melalui produk darah telah
dijelaskan. Periode pelepasan HAV terbesar adalah selama prodromal anikterik
(14-21 hari) infeksi dan sesuai dengan saat penularan tertinggi. Penting untuk
mengetahui bahwa virus aktif dilepaskan setelah perkembangan penyakit kuning,
meskipun jumlahnya menurun dengan cepat4.
Masa inkubasi biasanya berlangsung 2-6 minggu, dan waktu timbulnya
gejala mungkin berhubungan dengan dosis. Adanya manifestasi penyakit dan
beratnya gejala setelah infeksi HAV berkorelasi langsung dengan usia pasien. Di
negara berkembang, usia akuisisi sebelum usia 2 tahun. Dalam masyarakat Barat,
akuisisi paling sering terjadi pada orang berusia 5-17 tahun. Dalam rentang usia

20
ini, penyakitnya lebih sering ringan atau subklinis; namun, penyakit berat,
termasuk gagal hati fulminan, memang terjadi3.

3.1.4 Gejala
Anak yang berusia lebih kecil seringkali tidak menunjukkan gejala apa-
apa. Walaupun begitu, mereka tetap dapat menularkan infeksi virus ini pada orang
lain di sekitarnya. Sementara itu, anak yang lebih besar dapat merasa sangat
lemah. Gejala yang mungkin dapat muncul adalah:7
1. Demam
2. Kehilangan nafsu makan
3. Merasa letih
4. Sakit perut
5. Muntah
6. Warna BAK yang seperti teh
7. Kulit dan mata yang terlihat kuning
Waktu yang dibutuhkan berkisar antara 15-50 hari untuk terinfeksi, namun
pada umumnya kurang lebih 28 hari. Gejala yang timbul setelah adanya infeksi
virus Hepatitis A sebenarnya bukanlah akibat langsung dari virus tersebut
melainkan akibat respons imun tubuh anak untuk mengeluarkan virus pada sel
hati. Munculnya gejala penyakit ini merupakan pertanda respons imun tubuh
seseorang sudah bekerja dengan baik. Pada anak di bawah 6 tahun, respons imun
tubuhnya belum begitu sempurna sehingga gejala dari penyakit Hepatitis A ini
seringkali tak terlihat8.
Penyakit Hepatitis A tergolong penyakit yang akut dan jarang sampai
mengalami proses berkelanjutan. Pada umumnya, virus dapat dikeluarkan
sempurna oleh respons imun tubuh anak. Tapi, pada sebagian kecil anak, terutama
yang berusia lebih besar, penyakit ini dapat berkembang menjadi hepatitis
fulminant (sangat berat) sehingga anak terlihat kuning sekali, kejang, bahkan tak
sadar6.

21
3.1.5 Diagnosis
Penemuan kasus Hepatitis A dilakukan melalui orang yang mempunyai
gejala ikterik dan urine seperti air teh. Diagnosis Hepatitis A ditegakkan selain
adanya gejala klinis yang kadang tidak muncul, berdasarkan hasil pemeriksaan
IgM-anti VHA serum penderita reaktif9.
HAV dapat diidentifikasi dalam serum, saliva, feses, urin, air, dan
makanan. Dalam kasus suspek infeksi HAV akut, dokter menggunakan deteksi
serum HAV IgM sebagai "standar emas" untuk diagnosis. Viremia terjadi segera
setelah infeksi dan biasanya berlangsung selama seminggu setelah presentasi
klinis awal10.
Biasanya, HAV IgM menjadi terdeteksi 5-10 hari sebelum timbulnya
gejala dan menurun ke tingkat yang tidak terdeteksi dalam waktu 6 bulan setelah
infeksi. Namun, pada anak di bawah 6 tahun tanpa gejala, deteksi dini sangat
penting untuk mencegah penularan penyakit ke orang lain, terutama saat terjadi
wabah. Pada tahun 2004, sebuah studi oleh V.S. de Paula dkk menunjukkan
bahwa 12-13% anak sekolah dasar dan penitipan anak dapat memiliki serologi
HAV IgM negatif tetapi RNA HAV positif dalam serum. Poovorawan dkk
menemukan bahwa kombinasi RNA HAV dan deteksi IgM anti-HAV dapat
meningkatkan hasil diagnostik sebesar 7,2% pada fase awal infeksi akut.
Akibatnya, penggunaan serum antibodi anti-HAV IgM dan RNA HAV
bermanfaat dalam situasi epidemi dan wabah infeksi pada anak-anak dan dapat
mengarah pada kontrol yang lebih efektif10.
Untuk diagnosis infeksi HAV pada anak-anak, sampel alternatif telah
diusulkan untuk diagnosis, seperti urin, air liur, dan tinja. Sebuah studi baru-baru
ini menunjukkan bahwa RNA HAV dapat dideteksi pada 67,7%, 52,3%, 12,3%,
dan 8,7% spesimen serum, tinja, urin, dan air liur, masing-masing, menggunakan
RT-PCR. Penelitian ini telah menunjukkan keterbatasan mendeteksi RNA HAV
dalam urin dan air liur. Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa RNA HAV
dapat dideteksi dalam air liur dalam waktu 5 hari setelah timbulnya gejala, dengan
kemungkinan deteksi sekitar 50% selama 30 hari pertama setelah infeksi10.
Untuk deteksi antibodi IgM anti-HAV, analisis spesimen urin telah
terbukti memiliki akurasi diagnostik yang tinggi, dengan sensitivitas dan

22
spesifisitas masing-masing 95,7% dan 100%. Namun, tes urin membutuhkan urin
segar dalam jumlah besar, karena pembekuan mempengaruhi stabilitas sampel
urin. Sampel urin dapat disimpan pada suhu -70 °C jika tes tidak dapat dilakukan
segera10.
Untuk deteksi antibodi IgM anti-HAV dalam air liur, spesimen dapat
bertahan selama 150 hari dengan antibodi yang masih dapat dideteksi dalam
waktu 30 hari setelah infeksi. Akibatnya, jenis spesimen alternatif ini dapat
dipertimbangkan untuk mendeteksi HAV selama perjalanan awal infeksi dengan
keuntungan pengumpulan spesimen yang sederhana, murah, dan noninvasif bila
dibandingkan dengan pungsi vena dan pengambilan sampel serum konvensional10.
Spesimen klinis rutin yang digunakan untuk deteksi HAV adalah sampel
serum. Pada wabah penyakit, terutama pada anak-anak, spesimen alternatif,
seperti tinja, air liur, dan urin, diusulkan dengan keuntungan pengumpulan sampel
diagnostik noninvasif. Namun, proses pengumpulan spesimen, persiapan
laboratorium, dan ekstraksi RNA sangat penting untuk memastikan hasil
diagnostik yang akurat. Kombinasi teknik molekuler dan serologi dapat
meningkatkan nilai diagnostik deteksi HAV pada anak yang diduga terinfeksi.

23
Gambar 1. Timeline infeksi virus hepatitis A dengan manifestasi klinis dan
diagnosis laboratorium

24
3.1.5 Tatalaksana
Perawatan suportif termasuk tirah baring, nutrisi dan hidrasi yang cukup,
dan perawatan rutin untuk mengatasi demam dan gangguan gastrointestinal (diare,
mual, dan muntah). Penghindaran, atau penggunaan yang hati-hati, obat-obatan
yang memiliki efek hepatotoksik seperti asetaminofen diperlukan. Sekitar 30%
pasien dengan gejala memerlukan rawat inap; kurang dari 1% akan berkembang
menjadi gagal hati fulminan. Sebuah penelitian di Amerika Serikat menemukan
bahwa 13% pasien memerlukan rawat inap, dengan kisaran dari 7% untuk anak-
anak di bawah usia 15 tahun hingga 27% orang dewasa berusia 45 tahun atau
lebih. Sekitar 100 kematian setiap tahun di Amerika Serikat dikaitkan dengan
infeksi hepatitis A fulminan10.
Ada korelasi antara tingginya jumlah virus dan prognosis penyakit, karena
pasien dengan penyakit hati kronis yang mendasarinya, seperti infeksi hepatitis B
atau C kronis, memiliki peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas. Karena
pasien dengan infeksi HAV dapat hadir dengan gejala nonspesifik ringan, kasus
pediatrik harus dirawat di rumah sakit jika memungkinkan untuk observasi ketat
untuk mencegah perkembangan komplikasi serius. Tanda dan gejala klinis yang
mungkin mengindikasikan perlunya rawat inap pada anak meliputi:10
1. Ikterus berkepanjangan >2 minggu, tanpa perbaikan klinis, terutama
dengan gejala mual dan muntah
2. Ikterus kolestatik dengan bilirubin total >342 mol/L
3. PT berkepanjangan atau albumin serum rendah (<3,5 g/dL)
4. Peningkatan serum aminotransferase >3400 IU/L
5. Ketidakmampuan untuk meraba hati, meskipun hati sebelumnya
membesar
6. Asites
7. Hipoglikemia
8. Leukositosis dengan dominasi sel polimorfonuklear
9. Elektroensefalogram (EEG) menunjukkan aktivitas gelombang lambat
frontal bilateral (2–3/dtk)
10. Kolesterol total rendah <90 mg/dL
11. Leukopenia (<4000/L)

25
12. Trombositopenia (<150.000/L)
13. Protein C-reaktif (CRP) serum tinggi (>8 mg/L)
14. Indeks lain, seperti viral load serum LDH, gammaglobulin, atau
kreatinin yang tinggi

3.1.6 Komplikasi
Penyakit Hepatitis A tergolong penyakit yang akut dan jarang sampai
mengalami proses berkelanjutan. Pada umumnya, virus dapat dikeluarkan
sempurna oleh respons imun tubuh anak. Tapi, pada sebagian kecil anak, terutama
yang berusia lebih besar, penyakit ini dapat berkembang menjadi hepatitis
fulminant (sangat berat) sehingga anak terlihat kuning sekali, kejang, bahkan tak
sadar. Komplikasi dari Hepatitis A pada anak adalah:11
1. Ascites
2. Penebalan dinding kantung empedu
3. Koagulopati (Prothrombin time INR >1.5)
4. Efusi pleura
5. Peningkatan enzim jantung (kenaikan CPK-MB >3x)
6. Glomerulonefritis akut
7. Gagal ginjal akut
8. Pankreatitis akut
9. Hepatitis fulminant / acute liver failure (ALF)
10. Kematian
Biasanya kebanyakan pasien sembuh total dari hepatitis A. Sayangnya,
sebagian kecil dari pasien yang terinfeksi mengakibatkan komplikasi hepatitis
fulminan dengan tingkat kematian yang tinggi. Kurang dari 1% infeksi HAV akut
menyebabkan ALF. Anak kecil umumnya termasuk dalam kelompok pasien
dengan hepatitis yang tidak tampak atau subklinis dan tidak memiliki gejala atau
penyakit kuning. Sebaliknya, infeksi lebih parah pada orang dewasa, dengan
gejala terjadi pada 70%. Umumnya, ALF terkait hepatitis A memiliki tingkat
kelangsungan hidup spontan sebesar 69%; sisanya 31% memerlukan transplantasi
hati darurat (ELT) atau meninggal. Pasien dengan kerusakan hati yang sudah ada
sebelumnya seperti non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) atau alkoholic

26
steatohepatitis (ASH) lebih rentan untuk menderita gagal hati akut-kronis dalam
kasus infeksi HAV11.

3.1.7 Hepatitis Fulminant


Patogenesis hepatitis A dan mekanisme yang mendasari cedera
hepatoseluler tidak sepenuhnya dipahami. Karena HAV tidak secara langsung
menyebabkan efek sitopatik, kecil kemungkinan sitolisis virus bertanggung jawab
atas cedera hati selama infeksi HAV akut. Temuan histologis dalam biopsi hati
yang diperoleh dari pasien dan hewan percobaan yang terinfeksi menunjukkan
korelasi temporal yang kuat antara infiltrasi sel imun dan penyakit, menunjukkan
bahwa mekanisme yang diperantarai sel sangat penting untuk kerusakan hati.
Sementara limfosit T sitotoksik spesifik virus (CTL) umumnya dianggap sebagai
pendorong utama untuk imunopatologi terkait HAV, bukti yang muncul
menunjukkan mekanisme tambahan yang terlibat. Di bawah ini kami merangkum
pengetahuan terkini tentang mekanisme yang terlibat dalam cedera hati yang
disebabkan oleh infeksi HAV12.

3.1.7.1 Virus-Specific Cytotoxic T Lymphocytes (CTLs)


CTL spesifik virus memainkan peran penting dalam eliminasi sel yang
terinfeksi virus. Namun, CTL ini juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan,
sehingga berkontribusi pada proses patogenesis. Menggunakan limfosit darah
perifer (PBL) dan fibroblas kulit autologus dari pasien dengan hepatitis A,
Vallbracht dkk menunjukkan bahwa PBL dapat melisiskan fibroblas kulit yang
terinfeksi HAV dengan cara yang bergantung pada antigen leukosit manusia
(HLA). Aktivitas sitolitik tertinggi ditemukan dengan PBL yang dikumpulkan
selama fase pemulihan awal. Namun, ada kemungkinan bahwa sebagian besar sel
sitolitik terakumulasi di hati pada klimaks penyakit. Sebuah studi lanjutan
dilakukan oleh kelompok yang sama untuk memastikan bahwa sel T CD8+ yang
diturunkan dari hati mampu melisiskan fibroblas kulit yang terinfeksi HAV. Studi
awal ini memberikan bukti pertama bahwa CTL spesifik virus terlibat dalam
mediasi cedera hati pada hepatitis A akut (Gambar 2A)12.

27
Gambar 2. Mekanisme yang diusulkan dari cedera hati yang dimediasi oleh
HAV. (A) Selama infeksi HAV, virus mengaktifkan sel T CD8+, menghasilkan
sel T CD8+ spesifik virus. Sel T CD8+ spesifik virus yang teraktivasi
berdiferensiasi menjadi limfosit T sitotoksik efektor yang secara spesifik
membunuh sel yang terinfeksi virus, sehingga berkontribusi pada kerusakan hati.
(B) Pada pasien dengan hepatitis A, kadar IL-15 yang tinggi dalam serum
mengaktifkan sel T CD8+ non-virus, yang mampu melisiskan hepatosit yang
terinfeksi dan tidak terinfeksi. (C) Kadar IL-18 yang tinggi telah terdeteksi pada
makrofag dan hepatosit pada pasien dengan defisiensi IL-18BP dengan hepatitis A
fulminan. Karena kurangnya aktivitas penetral terhadap IL-18, IL-18 yang
berlebihan dan tidak terkontrol mengaktifkan sel NK, yang selanjutnya memediasi
lisis hepatosit yang terinfeksi dan tidak terinfeksi. (D) Pada pasien dengan
hepatitis A berat, HAV tampaknya mengaktifkan sel-sel NKT dengan cara yang
bergantung pada TIM-1. Sel yang terinfeksi HAV memiliki aktivitas sitotoksik

28
yang lebih tinggi pada sel NKT yang membawa bentuk TIM-1 yang lebih panjang
daripada sel NKT yang menyimpan TIM-1 tipe liar, sehingga berkontribusi
terhadap cedera hati. Apoptosis hepatosit yang terinfeksi HAV yang dimediasi
oleh pensinyalan yang bergantung pada MAVS-IRF3/IRF7 juga telah terlibat
dalam cedera hati pada model murine HAV12.

3.1.7.2 Kerusakan Hati Dimediasi oleh Aktivasi Limfosit Non-HAV-Spesifik


Limfosit non-virus-spesifik juga berkontribusi terhadap cedera hati pada
hepatitis A. Seperti disebutkan di atas, sel NK dapat melisiskan sel K562 dan sel
yang terinfeksi HAV secara non-spesifik secara in vitro. Menariknya, PBL dari
donor sehat yang tidak pernah terpapar HAV menunjukkan kemampuan litik yang
lebih besar untuk sel BS-C-1 yang terinfeksi HAV daripada sel yang tidak
terinfeksi. Komposisi seluler yang terlibat dalam lisis sel yang terinfeksi HAV
ditentukan positif untuk penanda CD16+ dan CD11b+ yang serupa dengan yang
ada di sel NK. Data ini menunjukkan bahwa sitotoksisitas yang dimediasi oleh
limfosit non-HAV-spesifik seperti sel NK kemungkinan berkontribusi pada lisis
sel yang terinfeksi HAV12.
Selain sel NK, sel T CD8+ spesifik non-HAV telah terbukti berkontribusi
terhadap cedera hati. Pada pasien dengan hepatitis A, sel T CD8+ spesifik non-
HAV diaktifkan oleh tingkat IL-15 yang tinggi, yang disebut sebagai “aktivasi
pengamat”. Sel T CD8+ yang diaktifkan oleh pengamat ini mampu melisiskan sel
Huh-7. Aktivitas sitolitik sel T CD8+ ini dapat diblokir oleh antibodi terhadap
reseptor pengaktif sel pembunuh alami, seperti NKG2D dan NKp30. Sebagai
catatan, ligan NKG2D, termasuk MIC-A dan MIC-B, mudah dideteksi pada
hepatosit yang terinfeksi dan tidak terinfeksi HAV, yang mengarah pada
kesimpulan bahwa hepatosit yang terinfeksi dan tidak terinfeksi HAV dapat
berfungsi sebagai target untuk CD8+ T spesifik non-HAV. sel (Gambar 2B).
Sebuah studi yang lebih baru oleh El Costa et al. menggambarkan hasil serupa
pada pasien yang terinfeksi virus hepatitis E (HEV), menunjukkan bahwa
keterlibatan sel T CD8+ non-virus spesifik dalam kerusakan hati mungkin lebih
umum daripada yang diperkirakan sebelumnya12.

29
3.1.7.3 Peran Apoptosis Intrinsik dalam Kerusakan Hati yang Diinduksi
HAV
Pada tahun 2016, Hirai-Yuki dkk. menggambarkan pengembangan model
murine untuk infeksi HAV. HAV tidak menginfeksi tikus tetapi bereplikasi secara
efisien pada tikus yang kekurangan reseptor IFN tipe I (IFNAR1) atau MAVS.
Menariknya, tikus yang kekurangan IFNAR1 mengembangkan hepatitis setelah
infeksi HAV, tetapi tikus yang kekurangan MAVS tidak. Lesi histopatologi yang
khas, termasuk hepatosit nekrotik atau apoptosis dan infiltrasi sel inflamasi,
diamati pada jaringan hati mereka. Namun, lesi histopatologi khas ini tidak
diamati pada tikus yang kekurangan MAVS, meskipun HAV bereplikasi 10 kali
lebih efisien pada tikus yang kekurangan MAVS daripada pada tikus yang
kekurangan IFNAR1. Hasil pada tikus dengan defisiensi IRF3 atau IRF7 serupa.
Khususnya, tikus yang kekurangan IFNAR1 memiliki respons sel T spesifik virus
tingkat rendah, menunjukkan bahwa cedera hati yang dimediasi HAV pada tikus
terkait dengan jalur pensinyalan MAVS-IRF3 / IRF7 tetapi bukan CTL. Lebih
lanjut mendukung gagasan ini, penipisan sel T memiliki sedikit efek pada
peningkatan ALT yang diinduksi HAV pada tikus yang kekurangan IFNAR13.
Sebuah studi terpisah telah menunjukkan bahwa HAV dapat dengan kuat
menginfeksi tikus Alb-uPA/SCID yang dicangkokkan dengan hepatosit manusia.
Dalam model ini, tikus dengan imunodefisiensi gabungan yang parah direkayasa
untuk mengekspresikan aktivator plasminogen tipe urokinase (uPA) di bawah
promotor albumin. Ekspresi uPA tingkat tinggi mengakibatkan kematian progresif
hepatosit murine, memungkinkan penggantiannya dengan hepatosit manusia yang
ditransplantasikan. Kurangnya kekebalan adaptif pada tikus ini menawarkan
keuntungan unik untuk menilai kerusakan hati yang diinduksi HAV tanpa adanya
respons imun adaptif, meskipun hepatotoksisitas yang sedang berlangsung karena
ekspresi transgen mungkin menjadi faktor perancu. Respons IFN tipe I dan tipe II
minimal terdeteksi pada tikus yang terinfeksi HAV. Tidak ada bukti pasti untuk
kerusakan hepatosit terkait dengan infeksi HAV yang ditemukan dalam penelitian
itu14.
Studi-studi ini dengan model murine telah memberikan wawasan baru
tentang infeksi dan patogenesis HAV. Temuan yang mengejutkan adalah bahwa

30
pensinyalan yang dimediasi MAVS tidak hanya menentukan kisaran spesies inang
dari HAV tetapi juga menghasilkan apoptosis intrinsik dari hepatosit yang
terinfeksi HAV. Data ini menyiratkan bahwa pembelahan MAVS oleh protease
HAV tidak hanya meningkatkan replikasi virus tetapi juga dapat membantu
mencegah/mengurangi kerusakan hati12.

3.1.7.4 Faktor Genetik Inang yang Terlibat dalam Keparahan Hepatitis A


Beberapa faktor genetik inang telah terbukti terkait dengan keparahan
hepatitis A. Seorang pasien dengan hepatitis fulminan disajikan dengan delesi
homozigot 40 nt pada gen IL-18 binding protein (IL-18BP) yang menghasilkan
tiga varian sambatan baru IL- 18BP. Menariknya, ketiga isoform IL-18BP
cenderung terdegradasi dan tidak memiliki aktivitas penetralisir terhadap IL-18,
sehingga mengakibatkan defisiensi IL-18BP lengkap. Pasien dengan hepatitis A
fulminan juga memiliki tingkat IL-18 yang tinggi pada makrofag dan hepatosit.
Akibatnya, baik hepatosit yang terinfeksi dan tidak terinfeksi HAV dibunuh oleh
sel NK karena aktivasinya oleh produksi IL-18 yang berlebihan dan tidak
terkontrol. Oleh karena itu, aktivitas sitotoksik yang dimediasi IL-18 yang tidak
terkontrol terhadap hepatosit kemungkinan bertanggung jawab atas kerusakan hati
pada pasien khusus ini (Gambar 2C)15.
Sebuah studi epidemiologi anak-anak dengan hepatitis A berat
mengidentifikasi penyisipan 6-asam amino dalam imunoglobulin sel-T dan
domain musin 1 (TIM-1) sebagai faktor genetik yang terkait dengan tingkat
keparahan hepatitis A. TIM-1 awalnya ditemukan sebagai sel reseptor untuk
HAV. Pada pasien dengan hepatitis A berat, sel NKT tampaknya diaktifkan oleh
HAV dengan cara yang bergantung pada TIM-1. Bentuk TIM-1 yang lebih
panjang menunjukkan afinitas pengikatan yang lebih tinggi terhadap partikel
HAV daripada TIM-1 tipe liar. Sejalan dengan itu, sel NKT yang membawa
bentuk TIM-1 yang lebih panjang memiliki aktivitas sitotoksik yang lebih tinggi
untuk sel yang terinfeksi HAV. Dengan demikian, Wang dkk mengusulkan variasi
genetik pada TIM-1 sebagai mekanisme yang bertanggung jawab atas keparahan
hepatitis yang diinduksi HAV (Gambar 2D). Secara keseluruhan, baik gen IL-
18BP dan TIM-1 adalah gen kerentanan yang masuk akal secara biologis untuk

31
hepatitis A, memfasilitasi evaluasi risiko untuk mengembangkan hepatitis virus
parah pada pasien12.
3.1.8 Faktor yang Mempengaruhi Prolonged Jaundice
Faktor risiko prolonged jaundice adalah pasien yang lebih tua (35 vs 30
tahun), tingkat bilirubin yang lebih tinggi (15,7 mg/dL vs 6,4 mg/dL) dan pada
pasien dengan tingkat albumin rendah (3,5 g/dL vs 3,7 mg/dL). g/dL). Durasi
waktu dari masuk sampai sembuh dan perbaikan fungsi hati bisa sampai 70 hari
dibandingkan dengan pasien kontrol yaitu 36 hari (p <0,01). Infeksi hepatitis A
kronis, perpanjangan waktu protrombin/INR (1,6 vs. 1,2) dan tingkat bilirubin
yang lebih tinggi juga berhubungan. Meskipun kolestasis meningkatkan
morbiditas tetapi pasien dapat sembuh total16.
Prolonged jaundice juga disebabkan oleh faktor host atau kerusakan parah
pada sel-sel hati pada awal infeksi. Memang benar karena ada juga waktu
protrombin yang memanjang dan peningkatan bilirubin pada pasien dengan
kolestasis yang berkepanjangan. Bisa juga disebabkan oleh virus itu sendiri yang
menghambat pengangkutan garam empedu meskipun mekanismenya belum
diketahui. Pada pasien dengan kolestasis berkepanjangan karena hepatitis A,
durasi viremia HAV lebih lama dari yang klasik, sehingga mungkin membuat efek
langsung pada transporter yang terkait dengan kolestasis17.

3.2. Peran Steroid dalam Tatalaksana Hepatitis A


Steroid memiliki peran yang cukup besar dalam tatalaksana hepatitis A
pada anak. Steroid dipercaya memiliki efek yang baik dalam terapi hepatitis A.
Dalam sebuah penelitian pada tahun 2018 diketahui bahwa terapi steroid pada
anak dengan hepatitis fulminan akibat hepatitis A memberikan peningkatan
outcome dan survival secara signifikan. Pada penelitian tersebut pasien yang
diberikan prednisolone 1 mg/kgbb/hari memberikan hasil yang lebih baik
daripada pasien yang tidak diberikan terapi tersebut.18
Pemberian steroid pada pasien anak dengan hepatitis A dapat diberikan
secara tunggal ataupun kombinasi dengan terapi lainnya. Penelitian lain
menemukan bahwa pemberian steroid pada pasien dengan gagal hati akut karena

32
infeksi hepatitis memberikan hasil yang positif dan perbaikan kondisi pasien
secara bermakna.19

33
BAB IV
DISKUSI

Berdasarkan kasus diatas, didapatkan dari anamnesis bahwa pasien


mengalami gejala kuning seluruh tubuh selama kurang lebih 2 bulan, mual (+),
nyeri perut dan BAK seperti teh. Sesuai dengan teori yang ada, waktu yang
dibutuhkan berkisar antara 15-50 hari untuk terinfeksi, namun pada umumnya
kurang lebih 28 hari. Gejala yang timbul setelah adanya infeksi virus Hepatitis A
sebenarnya bukanlah akibat langsung dari virus tersebut melainkan akibat respons
imun tubuh anak untuk mengeluarkan virus pada sel hati. Munculnya gejala
penyakit ini merupakan pertanda respons imun tubuh seseorang sudah bekerja
dengan baik. Penularan virus hepatitis melalui fekal-oral ketika seseorang
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja seseorang yang
terinfeksi virus hepatitis A. Kontak orang ke orang adalah cara penularan yang
paling umum dan umumnya terbatas pada kontak dekat. Diketahui dari riwayat
imunisasi pasien yang tidak diketahui secara pasti apakah pasien sudah diberikan
vaksin hepatitis A, kemudian riwayat epidemiologi bahwa pasien sering jajan di
luar rumah dan tetangga memiliki gejala serupa menunjukkan bahwa terdapat
faktor risiko yang mendukung terjadinya hepatitis A pada pasien.
Diagnosis hepatitis A ditegakkan melalui pemeriksaan klinis dan
serologis. Pada kasus ini didapatkan pemeriksaan fisik yaitu sklera ikterik dan
nyeri tekan abdomen serta hasil serologi IgM anti HAV positif. Antibodi IgM
dibuat oleh sistem kekebalan tubuh lima sampai sepuluh hari, dan antibodi ini
hilang dalam waktu enam bulan. Apabila tes serologi menunjukkan hasil positif
untuk antibodi IgM dan hasil negatif untuk antibodi IgG, maka seseorang
kemungkinan telah tertular HAV dalam kurun waktu enam bulan terakhir.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan selain pemeriksaan serologis yaitu
pemeriksaan biokimia terhadap fungsi organ hati yang terdiri dari bilirubin urin,
urobilinogen, bilirubin total, bilirubin direk, alanine transaminase (ALT),
aspartate transaminase (AST), prothombin time (PT), total protein, serum
albumin, IgG, IgA, IgM, dan hitung sel darah lengkap. Pada kasus ini dilakukan
pemeriksaan hemotologi, SGOT, SGPT, alkalin fosfatase, gamma GT, albumin,

34
bilirubin total, direk, indirek, serta urin lengkap. Didapatkan peningkatan kadar
SGOT, SGPT, alkalin fosfatase, bilirubin total, bilirubin direk dan bilirubin urin.
Diagnosis juga ditunjang dengan hasil USG pasien yang memberikan kesan
gambaran parenkim hepar yang mendukung adanya hepatitis A.
Berdasarkan kepustakaan yang ada, tidak ada tatalaksana khusus pada
pasien hepatitis A. Pengobatan yang dianjurkan cukup berupa tirah baring
sedangkan terapi yang dilakukan hanya untuk mengatasi gejala yang ditimbulkan.
Pengobatan yang diberikan pada kasus ini hanya simptomatik untuk mengurangi
gejala yang dirasakan oleh pasien. Pemberian kortikosteroid ditujukan untuk
menekan respon imun yang berlebihan dan reaksi inflamasi. Kortikosteroid juga
memiliki peran hepatoprotektif termasuk mencegah sitolisis hepatosit yang
mengalami inflamasi dan keadaan apoptosis. Terapi juga harus didukung dengan
menjaga keseimbangan gizi yang cukup. Diet disesuaikan dengan kebutuhan dan
menghindari makanan yang mengandung zat pengawet hepatotoksik ataupun zat
hepatotoksik lainnya. Setelah kurang lebih 2 bulan menjalani perawatan, pasien
mengalami perbaikan ditandai dengan klinis yang sudah membaik tanpa keluhan
dan parameter laboratorium fungsi hati yang kembali normal.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Hepatitis A [Internet]. 2021. Available from:


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hepatitis-a
2. Jacobsen K. The Global Prevalence of Hepatitis A Virus Infection and
Susceptibility: A Systematic Review. World Health Organization. 2009.
3. H PS, Azhar K, Pradono J, Sukoco NEW. Hubungan Perilaku Cuci Tangan,
Pengelolaan Air Minum Dan Rumah Sehat Dengan Kejadian Hepatitis Di
Indonesia. J Ekol Kesehat. 2018;17(1):41–51.
4. Iorio N, John S. Hepatitis A. In: StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
2021. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459290/
5. Lemon SM, Ott JJ, Van Damme P, Shouval D. Type A viral hepatitis: A
summary and update on the molecular virology, epidemiology,
pathogenesis and prevention. J Hepatol [Internet]. 2018;68(1):167–84.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jhep.2017.08.034
6. Matheny SC, Kingery JE. Hepatitis A. Am Fam Physician.
2012;86(11):1027–34.
7. Nelson NP, Weng MK, Hofmeister MG, Moore KL, Doshani M, Kamili S,
et al. Prevention of Hepatitis A Virus Infection in the United States:
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices,
2020. MMWR Recomm Reports [Internet]. 2020 Jul 3;69(5):1–38.
Available from: https://www.cdc.gov/vaccines/acip.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2015. 2015.
9. Sintusek P, Sa-nguanmoo P, Poovorawan Y. Viral Hepatitis A in Children:
Detection and Management. In: Viral hepatitis in children- Prevention and
Management. 2019. p. 71–89.
10. Kumar KJ, Kumar HCK, Manjunath VG, Anitha C, Mamatha S. Hepatitis
A in children- clinical course, complications and laboratory profile. Indian
J Pediatr. 2014;81(1):15–9.
11. Manka P, Verheyen J, Gerken G, Canbay A. Liver failure due to acute viral
hepatitis (A-E). Visc Med. 2016;32(2):80–5.

36
12. Wang M, Feng Z. Mechanisms of hepatocellular injury in hepatitis A.
Viruses. 2021;13(5):1–9.
13. Hirai-Yuki A, Hensley L, McGivern DR, González-López O, Das A, Feng
H, et al. MAVS-dependent host species range and pathogenicity of human
hepatitis A virus. Science (80- ) [Internet]. 2016 Sep 30;353(6307):1541–5.
Available from:
https://www.sciencemag.org/lookup/doi/10.1126/science.aaf8325
14. Hirai-Yuki A, Whitmire JK, Joyce M, Tyrrell DL, Lemon SM. Murine
models of hepatitis A virus infection. Cold Spring Harb Perspect Med.
2019;9(1).
15. Belkaya S, Michailidis E, Korol CB, Kabbani M, Cobat A, Bastard P, et al.
Inherited IL-18BP deficiency in human fulminant viral hepatitis. J Exp
Med. 2019;216(8):1777–90.
16. Jung YM, Park SJ, Kim JS, Jang J-H, Lee SH, Kim J-W, et al. Atypical
manifestations of hepatitis A infection: A prospective, multicenter study in
Korea. J Med Virol [Internet]. 2010 Aug;82(8):1318–26. Available from:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jmv.21822
17. Yoon EL, Yim HJ, Kim SY, Kim JH, Lee JH, Lee YS, et al. Clinical
courses after administration of oral corticosteroids in patients with severely
cholestatic acute hepatitis A; three cases. Korean J Hepatol.
2010;16(3):329–33.
18. Zakaria HM, Saleem TA, Araby HA et al. Steroid therapy in children with
fulminant hepatitis A. J Viral Hepat. 2018 Jul;25(7):853-859.
19. Lin SJ, Wu MC, Wang DJ. Successful treatment of pediatric acute liver
failure with steroids. Case Report. J Clin Exp Med 2020;13(4):2649-2654

37

Anda mungkin juga menyukai