Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RSUD RA. Kartini Jepara
Pembimbing Klinik :
dr. Edwin Tohaga, Sp. A
oleh :
Annesa Saraswati
30101407383
HALAMAN PENGESAHAN
NIM : 30101407383
Pembimbing
I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : An. F
Tanggal lahir : 8 September 2002
Usia : 16 tahun 9 bulan 27 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Demangan, Tahunan, Jepara
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
No. RM : 000575xxx
Tanggal masuk : 23 Mei 2019
1 hari SMRS pasien datang ke poli anak RSUD RA.Kartini dengan keluhan
bengkak pada seluruh tubuh dan juga ekstremitasnya. Selain itu, pasien
mengatakan bahwa dadanya mbesesak, serta nyeri pada perutnya. Pasien
juga mengeluhkan air seni berwarna kuning keruh, berbuih dan jumlahnya
agak berkurang sejak sekitar 2 minggu SMRS, dan semakin berkurang
jumlah dan frekuensinya satu hari SMRS. Pasien tidak mengeluh nyeri saat
buang air kecil, tidak merasa anyang anyangen, makan (+) minum (+)
jumlah 1,5 liter sehari . Buang air besar normal, tidak cair, warna kuning
kecoklatan, darah(-), lendir (-).
BB : 91,5 kg
LAB
Urinalisa
Protein urin : +2
Kimia darah
Albumin : 1,5
Cholesterol : 553
Riwayat Imunisasi :
Lahir : Hepatitis B (HB) 0
1 Bulan: BCG, Polio 1
2 Bulan: DPT/HB 1, Polio 2
3 Bulan: DPT/HB 2, Polio 3
4 Bulan: DPT/HB 3, Polio 4
9 Bulan: Campak
Imunisasi dasar : lengkap, sesuai bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia
Riwayat Makan dan Minum :
Saat ini anak makan nasi dengan lauk ikan asin, tempe atau tahu, sayur 3 x
sehari.Terkadang makan dengan lauk ayam. Minum air putih dan jarang
minum susu.
Sebelum sakit dan saat sakit porsi makan tidak berubah
Kesan : Kualitas dan kuantitas cukup.
Thorak
Paru-paru
Inspeksi : Bentuk normal, hemithorax dextra dan sinistra
simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = Stem fremitus kiri, nyeri tekan
(-)
Perkusi : sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan ronkhi (-
/-), wheezing (-/-), stridor (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Perkusi :
Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas pinggang : ICS III linea mid clavicula sinistra
Batas kanan bawah : ICS V linea parasternalis dextra
Batas kiri bawah : ICS V 2 cm medial linea mid clavicula sinistra
Palpasi : Iktus cordis tak teraba, tak kuat angkat
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II normal reguler, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak distensi
Auskultasi : Peristaltik (+) 15x/permenit
Perkusi : shifting dullness (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+) di region iliaca dextra dan sinistra;
Hepar tak teraba membesar; Lien schufner 0
Anggota Gerak
Extremitas atas (D/S) Extremitas bawah (D/S)
CRT <2” +/+ +/+
Akral dingin -/- -/-
Ikterik -/- -/-
Reflek fisiologis N/N N/N
Reflek patologis -/- -/-
Oedema ++/++ ++/++
Ulkus -/- -/-
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan :
Darah rutin
Ureum
Creatinin
Albumin
Globulin
Total protein
Cholesterol
Urin rutin
1. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 8 Mei 2019 jam 11.02
Pemeriksaan Hasil Nilai normal (laki-laki)
Warna Kuning
Kejernihan Keruh
PH 6,0
Protein (+) 1 positif
Reduksi (-) negatif
Sedimen : epitel 8 -10
Sedimen : kristal (-) negatif Negatif
Sedimen: leukosit 6-9 Negatif
Sedimen: silinder 1 Granula halus (1-2) Negatif
Sedimen: silinder 2 Granula kasar (0-1) Negatif
Sedimen: eritrosit 2-4 Negatif
Sedimen: Bakteri (+) Positif Negatif
VI. RESUME
a. Anamnesis
Autoanamnesa dilakukan pada tanggal 25 Mei 2019 (perawatan hari ketiga)
jam 09.00 WIB di Bangsal Melati 2 RSUD RA. Kartini Jepara
Keluhan utama : Bengkak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang untuk kontrol ke Poli Anak RSUD dengan keluhan bengkak
pada tubuh dan ekstremitas disertai rasa nyeri pada perut, mbesesek, dan
sulit tidur. 1 bulan SMRS, bengkak pertama kali diketahui pasien pada
kelopak mata dan pada area wajah saat bangun tidur di pagi hari hingga
pasien sulit untuk membuka mata. Setelah itu bengkak dirasakan pada jari-
jari tangan hingga kedua punggung tangan sampai pergelangan tangan.
Bengkak dirasakan memberat setiap harinya. Pasien sudah periksa ke dokter
praktik swasta kemudian diberi obat. 2 minggu SMRS pasien datang ke poli
anak RSUD RA.Kartini Jepara. Pasien mengeluhkan bengkak pada
ekstremitas semakin memberat, perutnya semakin lama semakin
membuncit. Selain itu, pasien mengeluhkan sulit untuk tidur.
1 minggu SMRS pasien datang untuk kontrol ke poli anak RSUD RA
Kartini. Pasien masih merasakan bengkak pada tangan, kaki, dan juga
badannya. Keluhan sulit tidur juga masih dirasakan oleh pasien.
1 hari SMRS pasien datang ke poli anak RSUD RA.Kartini dengan keluhan
bengkak pada seluruh tubuh dan juga ekstremitasnya. Selain itu, pasien
mengatakan bahwa dadanya mbesesak, serta nyeri pada perutnya. Pasien
juga mengeluhkan air seni berwarna kuning keruh, berbuih dan jumlahnya
agak berkurang sejak sekitar 2 minggu SMRS, dan semakin berkurang
jumlah dan frekuensinya satu hari SMRS. Pasien tidak mengeluh nyeri saat
buang air kecil, tidak merasa anyang anyangen, makan (+) minum (+)
jumlah 1500 ml sehari . Buang air besar normal, tidak cair, warna kuning
kecoklatan, darah(-), lendir (-). Riwayat keluhan bengkak sebelumnya
disangkal, riwayat sakit ginjal disangkal.
Pemeriksaan fisik pada hari ketiga di bangsal : kesadaran composmentis,
TD: 150/90 mmHg, nadi 90x/menit isi dan tegangan cukup, RR 20x/menit,
suhu 36,8̊ C . Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya oedema pada
kelopak mata, abdomen, serta pada ekstremitas atas dan bawah.
Pemeriksaan shifting dullness + .
B. DIAGNOSIS KERJA
1. Diagnosis utama : Sindroma Nefrotik Primer
2. Diagnosis komplikasi : -
3. Diagnosis gizi : gizi lebih dengan edema anasarka
4. Diagnosis tumbuh kembang : sesuai usia
5. Diagnosis imunisasi : imunisasi dasar lengkap sesuai usia
6. Diagnosis sosial ekonomi : cukup
Medikamentosa
Immunosupresan
Po. Prednison 30mg /8 jam (2 mg/kgbb/hari maks 80 mg/hari dosis
terbagi selama 4 minggu)
Diuretik
Inj Furosemide 20 mg/ 8 jam (1-3 mg/kgBB/hari)
*Kadar Albumin < 1 gr/dL pemberian albumin 20 -25 % dengan dosis
(1gr/KgBB selama 2 – 4 jam). Kadar albumin (1-2 gr/dL: 0,5
gr/kgBB/hari
Albumin 20% pemberian 300 cc tiap 12 jam 1 flash
Ip. Mx :
Monitoring ku, kesadaran, ttv
Intake makanan dan minuman
Diuresis
Distress pernapasan
Ip. Ex :
menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa keadaan
pasien disebut sindroma nefrotik. bengkak yang muncul pada
pasien disebabkan karena adanya penurunan kadar albumin di
darah oleh karena kebocoran protein akibat penurunan fungsi
ginjal.
Menjelaskan bahwa karena terdapat gangguan pada fungsi ginjal
maka dilakukan pembatasan asupan cairan, pemberian obat
untuk meningkatkan jumlah urin, pengaturan intake protein dan
restriksi natrium.
Diit tinggi protein akan menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein dan menyebabkan
terjadinya sklerosis glomerulus. Sedangkan diit rendah protein
akan menyebabkan malnutrisi energi protein dan hambatan
pertumbuhan anak. Karena terdapat edema tubuh, perlu restriksi
garam yaitu diberikan 1-2 gr/hari.
Untuk mengatasi kondisi hiperkolesterolemia, dianjurkan untuk
makan makanan rendah kolesterol dengan jumlah lemak < 30%
dari kalori total dan asam lemak jenuh 10% dari seluruh kalori
FOLLOW UP
Pemeriksaan Tanggal
25/05/19 26/05/19 27/05/19 28/05/19 29/05/19
S -Perut, kelopak -Perut, kelopak -Perut, kelopak -Perut, -Perut, kelopak mata,
mata, kaki,tangan mata, mata, kelopak mata, kaki,tangan bengkak
bengkak kaki,tangan kaki,tangan kaki,tangan berkurang
-Perut terasa tidak bengkak bengkak bengkak -Dada mbeseseg
enak (sebah) -Perut terasa berkurang berkurang berkurang
Keluhan
-Dada mbeseseg tidak enak -Perut terasa -Perut terasa
-Sulit tidur (sebah) tidak enak tidak enak
-Dada (sebah) (sebah)
mbeseseg -Dada mbeseseg -Dada
-Sulit tidur mbeseseg
O KU Baik Baik Baik Baik Baik
Kesadaran Composmentis Composmentis Composmentis Composmentis Composmentis
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.DEFINISI
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria masif,
hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang gejala
disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Angka
kejadian bervariasi antara 2-7 per 100.000 anak, dan lebih banyak pada anak
lelaki daripada perempuan dengan perbandingan 2:1. Sindrom nefrotik dapat
dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik primer, dan
sindrom nefrotik sekunder. Pada umumnya sebagian besar (± 80%) sindrom
nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan
steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relaps berulang dan sekitar
10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.
2.2. ETIOLOGI
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh Glomerulonefritis primer dan
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, akibat
obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik. Penyebab sekunder akibat
infeksi yang sering dijumpai misalnya pada glomerulonefritis pasca infeksi
streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti
inflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat penyakit
sistemik misalnya pada lupus eritrematosus sistemik dan diabetes melitus.
(Prodjosudjadi, 2006)
2.3. Gejala Sindrom Nefrotik
2.3.1 Proteinuria
Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal
glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran
protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size
barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN
mekanisme barrier tersebut akan terganggu. Selain itu konfigurasi molekul
protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui membran basal
glomerulus. (Prodjosudjadi, 2006)
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin sedangkan
non-selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur
membran basal glomerulus. (Prodjosudjadi, 2006)
Pada SN yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal ditemukan
proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi
dari foot processus sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari
struktur membran basal glomerulus. Berkurangnya preparat heparan sulfat
proteoglikan pada glomerulonefritis lesi minimal menyebabkan muatan
negatif membran basal glomerulus menurun dan albumin dapat lolos ke
dalam urine. Pada glomerulosklerosis fokal segmental peningkatan
permeabilitas membran basal glomerulus disebabkan suatu faktor yang ikut
dalam sirkulas. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus
terlepas dari membran basal glomerulus sehingga permeabilitasnya
meningkat. Pada glomerulonefritis membranosa kerusakan membran basal
glomerulus terjadi akibat endapa komplek imun di sub-epitel. Kompleks C5b-
9 yang terbentuk pada glomerulonefritis membranosa akan meningkatkan
permeabilitas membran glomerulus, walaupun mekanisme yang pasti belum
diketahui. (Prodjosudjadi, 2006)
2.3.2 Hipolbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia
disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik
plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha
meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak
berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat
meningkatkan sintesis albumin hati akan tetapi dapat mendorong peningkatan
ekskresi albumin melalui urin. (Prodjosudjadi, 2006)
2.3.3 Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma sehingga terjadi
hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi
air dan natrium. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume
inravaskular tetapi juga mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia
sehingga edema semakin berlanjut. (Prodjosudjadi, 2006)
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan menambah terjadinya retensi natrium dan edema.
Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada pasien SN. Faktor seperti asupan
natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis
lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung dan hati akan
menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. (Prodjosudjadi, 2006)
Gambar 2.4 Patogenesis terjadinya edema pada sindrom nefrotik
2.4. Diagnosis
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin keruh atau jika terdapat
hematuri berwarna kemerahan.
Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata,
tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia; terkadang ditemukan
hipertensi.
Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (≥ 2+), rasio albumin kreatinin
urin >2 dan dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan
hipoalbuminemia (<2,5g/dL), hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) dan laju
endap darah yang meningkat. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal
kecuali ada penurunan fungsi ginjal.
BATASAN
Remisi. : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
Relaps. : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu
Relaps jarang. : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
Relaps sering. (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun
Dependen steroid. : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan
Resisten steroid. : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh
(full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
Sensitif steroid. : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu
2.5. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Pengobatan dengan prednison diberikan dengan dosis awal 60 mg/m2/hari
atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi tiga, selama
4 minggu, dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari, maksimum 60
mg/hari) dosis tunggal pagi selang sehari (dosis alternating) selama 4-8
minggu (lihat lampiran) (ISKDC 1982). Bila terjadi relaps, maka diberikan
prednison 60 mg/m2/hari sampai terjadi remisi (maksimal 4 minggu),
dilanjutkan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari) secara alternating selama 4
minggu. Pada sindrom nefrotik resisten steroid atau toksik steroid, diberikan
obat imunosupresan lain seperti siklofosfamid per oral dengan dosis 2-3
mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal di bawah pengawasan dokter nefrologi
anak. Dosis dihitung berdasarkan berat badan tanpa edema ( persentil ke -50
berat badan menurut tinggi badan )
Suportif
Bila ada edema anasarka diperlukan tirah baring. Selain pemberian
kortikosteroid atau imunosupresan, diperlukan pengobatan suportif lainnya,
seperti pemberian diet protein normal (1,5-2 g/kgbb/hari), diet rendah garam
(1-2 g/hari) dan diuretik. Diuretik furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat
kalium) 2-3 mg/kgbb/hari bila ada edema anasarka atau edema yang
mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi dapat ditambahkan obat
antihipertensi. Pemberian albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4
jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb dilakukan atas indikasi seperti
edema refrakter, syok, atau kadar albumin ≤1 gram/dL. Terapi psikologis
terhadap pasien dan orangtua diperlukan karena penyakit ini dapat berulang
dan merupakan penyakit kronik.
-- Dosis pemberian albumin:
Kadar albumin serum 1-2 g/dL: diberikan 0,5g/kgBB/hari; kadar albumin
<1 g/dL diberikan 1g/kgBB/hari.
-- Skema pengobatan SN inisial menurut ISKDC 1967
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya, dll)
Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk merujuk ke dokter
spesialis nefrologi anak:
-- Awitan sindrom nefrotik pada usia dibawah 1 tahun, riwayat penyakit
sindrom nefrotik di dalam keluarga
-- Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan
fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artitis, serositis, atau
lesi di kulit
-- Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi
berat, toksik steroid
-- Sindrom nefrotik resisten steroid
-- Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid
-- Diperlukan biopsi ginjal
2.6.Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada sindrom nefrotik adalah:
Hiperlipidemi dan lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar
kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi ari normal
sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan
meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut
kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL
(very low density lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL
dan lipoprotein a sedangkan HDL cenderung normal atau rendah.
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula
diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi non-spesifik terhadap
sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan
hiperlipidemia disimpulkan hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh
hipo-albuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar
albumin mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan
hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal.1-2 Tinginya kadar LDL
pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme.
Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi
LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya ektivitas
enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya
katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi
akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan
kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT
(lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan
HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju
hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait
dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan
pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti
badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih
dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.
Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravascular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya
trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP
frekuensinya kecil. Emboli paru dan thrombosis vena dalam (deep vein
thrombosis=DVT) sering dijumpai pada SN. Kelainan tersebut disebabkan
oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan
ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup kompleks meliputi
peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit, dan penurunan fibrinolisis.
Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein
oleh hati dan kehilangan protein melalui urin
1 hari SMRS pasien datang ke poli anak RSUD RA.Kartini dengan keluhan
bengkak pada seluruh tubuh dan juga ekstremitasnya. Selain itu, pasien
mengatakan bahwa dadanya mbesesak, serta nyeri pada perutnya. Pasien
juga mengeluhkan air seni berwarna kuning keruh, berbuih dan jumlahnya
agak berkurang sejak sekitar 2 minggu SMRS, dan semakin berkurang
jumlah dan frekuensinya satu hari SMRS. Pasien tidak mengeluh nyeri saat
buang air kecil, tidak merasa anyang anyangen, makan (+) minum (+)
jumlah 1,5 liter sehari . Buang air besar normal, tidak cair, warna kuning
kecoklatan, darah(-), lendir (-).
BB : 91,5 kg
LAB
Urinalisa
Protein urin : +2
Kimia darah
Albumin : 1,5
Cholesterol : 553