Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSHIP

SEORANG BAYI LAKI-LAKI USIA 21 HARI DENGAN


HIPERBILIRUBINEMIA

Diajukan guna melengkapi tugas Dokter Internship

Disusun oleh :
dr. Sia, Elizabeth Ariel Setiawan

Pembimbing :
dr. Mulyono, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT NASIONAL DIPONEGORO
SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Dokter Internship : Sia, Elizabeth Ariel Setiawan


Bagian : Ilmu Kesehatan Anak RS Nasional Diponegoro Semarang
Judul Kasus : Seorang Bayi 21 Hari dengan Hiperbilirubinemia
Penguji : dr. Mulyono, Sp.A

Dokter Internsip Dokter Pembimbing

dr. Sia, Elizabeth Ariel Setiawan dr. Mulyono, Sp.A

2
BAB I
PENYAJIAN KASUS

I. IDENTITAS
Data pasien
Nama pasien : An. ASDR
Umur/Tanggal lahir : 0 tahun 0 bulan 21 hari/ 26 Februari 2019
Jenis kelamin : Laki-laki
No. CM : 0418xx
M.R.S : 17 Maret 2019

Data orang tua pasien


Nama ayah : Tn. S
Usia : 43 tahun
Pendidikan terakhir : SD
Pekerjaan : Kuli bangunan
Golongan darah : A+

Nama ibu : Ny. P


Usia : 40 tahun
Pendidikan terakhir : SD
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Golongan darah : Tidak tahu

II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Nasional Diponegoro (RSND) tanggal 17 Maret 2019 pukul 22.50 WIB dan di
bangsal Chrysant RSND tanggal 19 Maret 2019 pukul 08.15 WIB.
a. Keluhan Utama: Kuning seluruh badan

b. Riwayat Penyakit Sekarang

2
Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Islam (RSI) Purwodadi
dengan diagnosis neonatus hiperbilirubinemia, pasien dirujuk ke RSND
setelah perawatan selama 6 hari.
Sejak usia 2 hari, orang tua mengatakan putih mata dan wajah pasien
terlihat kuning. Seminggu kemudian, kuning menyebar hingga ke seluruh
tubuh sampai ke ujung kaki. Pasien baru dibawa orang tuanya ke RSI
Purwodadi pada usia 14 hari (6 hari SMRS di RSND). Di RSI Purwodadi
pasien mendapatkan terapi sinar, namun setelah 6 hari disinar, kuning masih
belum berkurang, sehingga akhirnya pasien dirujuk ke RSND untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Selama pasien di rumah (sebelum dibawa ke RSI Purwodadi), pasien
setiap hari menyusu tiap 1-2 jam sekali, lama menyusu 20-30 menit,
menyusu kuat, muntah (-), kejang (-). Pasien BAK sehari 5-6 kali, BAK
warna kuning muda jernih. BAB sehari 2-3 kali, BAB lembek warna
kuning-coklat. Riwayat BAK berwarna seperti teh dan/atau BAB warna
pucat disangkal. Sejak pagi hari sebelum dirujuk pasien tampak kurang aktif
dan malas menyusu. Sejak sebelum mulai perjalanan dari RSI Purwodadi ke
RSND pasien belum BAK sama sekali, terakhir BAK ±3 jam sebelum tiba
di RSND.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat cacat bawaan lahir disangkal.
- Riwayat kuning pada hari pertama setelah lahir disangkal.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat kuning semasa bayi pada saudara kandung pasien dan anggota
keluarga lainnya disangkal.
- Riwayat gangguan hati pada keluarga dan saudara kandung pasien
disangkal.
- Riwayat gangguan hormon pada keluarga dan saudara kandung pasien
disangkal.
- Riwayat kelainan darah pada keluarga dan saudara kandung pasien
disangkal.

4
e. Riwayat kehamilan dan persalinan
Pasien merupakan anak ketiga, lahir dari ibu berusia 40 tahun,
kehamilan yang keempat (G4P2A1). Ibu pasien rutin kontrol kehamilan ke
bidan dan rumah sakit, selama masa kehamilan kontrol >4x. Selama hamil
ibu pasien rutin mengonsumsi suplemen besi dan asam folat. Riwayat
penyakit lain selama kehamilan (asma, jantung, diabetes) disangkal.
Riwayat minum obat-obatan dan jamu selama kehamilan disangkal.
Pasien lahir melalui operasi SC pada usia kehamilan 34 minggu atas
indikasi preeklampsia berat, berat lahir 2.400 gram. Pasien langsung
menangis, biru (-), kuning (-), tidak dilakukan inisiasi menyusui dini.
Setelah lahir pasien segera dirawat terpisah dari ibu dan baru dirawat
gabung dengan ibu setelah 2 hari. Pasien diperbolehkan pulang dari RS
bersama ibunya pada usia 4 hari.

f. Riwayat Nutrisi
Selama satu minggu pertama sejak pasien lahir, pasien disusui ASI
ditambah susu formula karena produksi ASI ibu dirasa kurang. Setelah lewat
usia seminggu hingga di RS, pasien hanya disusui ASI saja tanpa susu
formula, air putih, maupun tambahan lainnya. Pasien disusui setiap 1-2 jam
sekali, lama menyusu kira-kira 20-30 menit.

g. Riwayat Imunisasi: Hepatitis B 0 (+)

h. Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien bekerja sebagai kuli bangunan, sedangkan ibu pasien
merupakan ibu rumah tangga, keduanya merupakan lulusan SD. Kedua
orang tua menanggung empat orang anak yang belum mandiri. Biaya
pengobatan ditanggung pribadi karena kedua orang tua pasien belum pernah
mengurus BPJS. Kesan: sosial ekonomi serta pendidikan kurang.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal : 17 Maret 2019 jam 23.00 WIB (IGD RSND)
Keadaan umum : Sadar, tampak pucat, kurang aktif, menangis kuat
Tanda vital:

5
- Nadi : 160x /menit, reguler, teraba kuat, isi dan tegangan cukup
- Napas : 50x /menit
- Suhu : 37,8ºC
- SpO2 : 95%
Usia : 21 hari Usia koreksi : 37 minggu
Jenis kelamin : Laki-laki Status antropometri :
BB : 2.700 gram BB : persentil 10-50%
PB : 47 cm PB : persentil 10-50%
LK : 33 cm Kesan : sesuai usia gestasi

New Ballard Score


Kematangan neuromuskular:

Kematangan fisik:

6
Total skor pada pasien: 32  sesuai usia gestasi 36-37 minggu

Status generalisata
Kepala : Mesosefal, UUB cekung (-)
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (+/+)
Mata cekung (-), pupil isokor  3 mm, reflek cahaya (+/+)
(normal), reflek kornea (+/+) (normal), reflek bulu mata (+/+)
(normal)
Telinga : Sekret (-/-)
Hidung : Nafas cuping (-), krusta perdarahan (-)
Mulut : Lipatan nasolabial simetris (+), mukosa kering (-), sianosis (-),
pucat(-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-)
Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-), kaku kuduk (-)
Thorax
Paru:
Inspeksi : Simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan-kiri simetris
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru.

7
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
Suara tambahan: wheezing (-/-), rhonki (-/-), hantaran (-/-)

Vesikuler
Vesikuler Vesikuler

Paru depan Paru belakang


Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Perkusi : Batas kiri : sulit dinilai
Batas atas : sulit dinilai
Batas kanan: sulit dinilai
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, irama reguler, gallop (-), bising
(-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-)
Palpasi : Supel, turgor kulit baik, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Auskultasi : Bising usus (+) dalam batas normal

Genitalia: laki-laki, dalam batas normal

Ekstremitas
superior inferior
Ikterus +/+ + / + (Kramer V)
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
Capillary refill <2” <2”

8
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (hasil dari RSI Purwodadi):
Lab 11/3/2019
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,2 14,0-18,0 gr/dl
Leukosit 11,2 4,0-10,0 10^3/uL
Trombosit 306 150-500 10^3/uL
Hematokrit 33 40,0-48,0 %
Eritrosit 3,34 3,7-6,1 10^6/uL
Eosinofil 0 2-3 %
Basofil 0 0-1 %
Neutrofil batang 0 3-5 %
Neutrofil segmen 25 50-70 %
Limfosit 63 20-40 %
Monosit 12 2-6 %
KIMIA KLINIK
Gula darah sewaktu 116 <140 mg/dL
Bilirubin total 28,11 0,1-1,2 mg/dL
Bilirubin direk 1,70 <0,25 mg/dL
Bilirubin indirek 26,41 <0,75 mg/dL

Pemeriksaan bilirubin harian


11/3/2019 13/3/2019 15/3/2019 17/3/2019 17/3/2019
(pagi) (siang)
Total 28,11 22,26 19,34 21,15 19,71
Direk 1,70 3,88 2,45 3,36 0,57
Indirek 26,41 18,38 16,89 17,79 19,14

V. RESUME
Pasien anak laki-laki usia 21 hari dirujuk dari Rumah Sakit Islam (RSI)
Purwodadi ke RSND dengan diagnosis neonatus hiperbilirubinemia. Keluhan
utama yaitu tampak kuning sejak usia 2 hari, awalnya kuning hanya pada
mata lalu menyebar hingga ke seluruh tubuh, dan tidak berkurang setelah
fototerapi selama 6 hari. Riwayat BAK warna teh dan BAB warna pucat
disangkal. Sejak pagi hari sebelum dirujuk pasien tampak kurang aktif, malas
menyusu (+), BAK berkurang, terakhir BAK ±3 jam sebelum tiba di RSND.

9
Riwayat penyakit keluarga disangkal. Pasien lahir dari ibu G4P2A1 usia 40
tahun, usia kehamilan 34 minggu, lahir secara SC atas indikasi preeklamsia
berat dengan BBL 2.400 gram.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan anak sadar dan menangis kuat,
namun tampak pucat dan kurang aktif. Nadi dan napas di ambang batas
normal tinggi, suhu subfebris. Kematangan fisik dan neuromuskular
berdasarkan New Ballard Score sesuai dengan usia gestasi 36-37 minggu.
Didapatkan konjungtiva pucat, sklera ikterik, dan ikterus Kramer V. Thorax
dan abdomen dalam batas normal. Tanda dehidrasi (-). Pada pemeriksaan
penunjang laboratorium didapatkan hiperbilirubinemia indirek yang persisten.

VI. DIAGNOSIS
1. Neonatus hiperbilirubinemia
2. Neonatus preterm (34 minggu)
3. BBLR (2400 gram), SMK
4. Low intake + dehidrasi tak berat

VII. PLANNING
Tata laksana di IGD:
a. Rehidrasi: infus NaCl 0,9% 10 cc/kgBB/jam (27 cc/jam selama 1 jam) 
evaluasi tanda dehidrasi  bila baik, dilanjutkan dengan infus
maintenance: infus D10% 120 ml/24 jam (5 ml/jam) + NaCl 3% (2 meq)
44 ml + KCl otsu (2 meq) 23 ml

b. Program:
i. Cek DR, gambaran darah tepi, hitung jenis, elektrolit, GDS,
bilirubin total, bilirubin indirek, golongan darah, rhesus, SGOT,
SGPT, ALP, GGT, FT4, TSHS
ii. Fototerapi 3x24 jam
iii. Diet ASI ad libitum
c. Rawat inap ruang PBRT (perinatologi)

VIII. FOLLOW-UP HARIAN


Tanggal Follow Up
18/3/2019 S : Kuning (+)
O : KU: sadar, kurang aktif, menangis kuat
N : 110x/min, reguler, isi cukup
RR : 48x/min
T : 37oC

10
Kepala: UUB cekung (-)
Mata: konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (+/+)
Hidung: napas cuping (-/-)
Mulut: sianosis (-)
Thorax: jantung: S1S2 reguler, bising (-) gallop (-)
paru: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: datar, supel, BU +, hepar-lien ttb
Ekstremitas: hangat, CRT <2s, ikterus (+/+), sianosis (-/-),
petekiae (-/-)

Hasil lab:
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 7,3 12,7-18,7 gr/dl
Leukosit 11,82 5,0-20,0 10^3/uL
Trombosit 396 217-497 10^3/uL
Hematokrit 21,5 42,0-62,0 %
Eritrosit 2,07 3,7-6,1 10^6/uL
Eosinofil 3 1-5 %
Basofil 0 0-1 %
Neutrofil 2 0-8 %
batang
Neutrofil 30 17-60 %
segmen
Limfosit 51 20-70 %
Monosit 14 1-11 %
Golongan darah A/Rhesus +
MCV 103,9 84,0-128,0 fL
MCH 35,3 26,0-38,0 Pg
MCHC 34 26,0-34,0 g/dL
RDW-CV 17,2 11,5-14,5 %
KIMIA KLINIK
Gamma GT 81 <151 U/L
SGPT 7 <56 U/L
SGOT 21 <77 U/L
Gula darah 116 50-80 mg/dL
sewaktu
ELEKTROLIT
Kalsium 2,72 2,25-2,75 mmol/L
Natrium 140,7 132-147 mmol/L
Kalium 4,82 3,6-6,1 mmol/L
Klorida 101,48 95-116 Mmol/L
HORMON
TSH 8,289 Euthyroidism uIU/ml
0,27-4,7

11
Hyperthyroidism
<0,27
Hypothyroidism
>4,7
FT4 18,02 9-20 pmol/l

A : Neonatus hiperbilirubinemia
dd/patologis: hipotiroid
Neonatus preterm
BBLR, SMK
Low intake
Anemia
P : Infus D10% + NaCl 0,9% (44 ml) + KCl otsu (23 ml)  120/
5ml/jam
Fototerapi 3x24 jam
Diet ASI 8x30-50 ml
Program:
 Transfusi PRC 30 ml dalam 4 jam (di tengah dan di akhir
inj. furosemid 1 mg), premed: inj. dexametason 1/3 ampul
 Konsul endokrin
 USG abdomen
19/3/2019 S : Kuning (+) berkurang.
Jawaban konsul endokrin:
TSH sedikit meningkat, dengan FT4 normal (di range normal
tinggi)
Kesan: hipotiroid subklinis  kemungkinan hiperbilirubinemia
bukan karena hipotiroid, masih mungkin suatu obstruksi?
Saran: cek ulang TSH dan FT4 2 minggu lagi
O : KU: sadar, aktif, menangis kuat
N : 108x/min, reguler, isi cukup
RR : 32x/min
T : 37,3oC
Kepala: UUB cekung (-)
Mata: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
Hidung: napas cuping (-/-)
Mulut: sianosis (-)
Thorax: jantung: S1S2 reguler, bising (-) gallop (-)
paru: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: datar, supel, BU +, hepar-lien ttb
Ekstremitas: hangat, CRT <2s, ikterus (-/-), sianosis (-/-),
petekiae (-/-)

Hasil lab (18/3/2019):


KIMIA KLINIK
ALP 227,0 46-116 U/L
BILIRUBIN
Bilirubin total 12,42 0,1-1,2 mg/dL

12
Bilirubin direk 0,53 0,0-0,2 mg/dL
Bilirubin indirek 11,89 0,0-1,0 mg/dL

Hasil USG abdomen:

Kesan:
Tak tampak gambaran triangular cord sign, pada prandial duktus
biliaris di periportal tampak terbuka dan tak tampak pelebaran
duktus biliaris intra-ekstra hepatal.
Sonomorfologi vesika felea tampak baik.
Tak tampak kelainan pada sonografi organ-organ intraabdomen di

13
atas.
A : Neonatus hiperbilirubinemia
dd/patologis: obstruksi ec. infeksi
Neonatus preterm
BBLR, SMK
P : Infus D10% + NaCl 0,9% (44 ml) + KCl otsu (23 ml)  120/
5ml/jam
Fototerapi 3x24 jam (selesai 21/3/2019 pk. 02.00)
Amoxicillin syr 2 ml/8 jam PO
Dexametason 0,3 mg/12 jam PO
Diet ASI 8x30-50 ml
Program:
 Cek bilirubin total, direk (20/3/2019 pk 15.00)
20/3/2019 S : Kuning (+) berkurang. Demam (-).
O : KU: sadar, aktif, menangis kuat
N : 130x/min, reguler, isi cukup
RR : 34x/min
T : 36,7oC
Kepala: UUB cekung (-)
Mata: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
Hidung: napas cuping (-/-)
Mulut: sianosis (-)
Thorax: jantung: S1S2 reguler, bising (-) gallop (-)
paru: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: datar, supel, BU +, hepar-lien ttb
Ekstremitas: hangat, CRT <2s, ikterus (-/-), sianosis (-/-),
petekiae (-/-)
A : Neonatus hiperbilirubinemia
dd/patologis: obstruksi ec. infeksi
Neonatus preterm
BBLR, SMK
P : Infus D10% + NaCl 0,9% (44 ml) + KCl otsu (23 ml)  120/
5ml/jam
Fototerapi 3x24 jam (selesai 21/3/2019 pk. 02.00)
Amoxicillin syr 2 ml/8 jam PO
Dexametason 0,3 mg/12 jam PO
Diet ASI 8x30-50 ml
Program:
 Cek DR, bilirubin total, direk, ALP (20/3/2019 pk 15.00)
 Cek golongan darah + rhesus ibu pasien
21/3/2019 S : Kuning (+)
O : KU: sadar, aktif, menangis kuat
N : 130x/min, reguler, isi cukup
RR : 38x/min
T : 37,2oC
Kepala: UUB cekung (-)
Mata: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
Hidung: napas cuping (-/-)

14
Mulut: sianosis (-)
Thorax: jantung: S1S2 reguler, bising (-) gallop (-)
paru: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: datar, supel, BU +, hepar-lien ttb
Ekstremitas: hangat, CRT <2s, ikterus (+/+), sianosis (-/-),
petekiae (-/-)

Hasil lab (20/3/2019):


Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9,9 12,7-18,7 gr/dl
Leukosit 10,21 5,0-19,5 10^3/uL
Trombosit 279 217-497 10^3/uL
Hematokrit 29,7 42,0-62,0 %
Eritrosit 3,19 3,7-6,1 10^6/uL
MCV 93,1 84,0-128,0 fL
MCH 31 26,0-38,0 Pg
MCHC 33,3 26,0-34,0 g/dL
RDW-CV 22,1 11,5-14,5 %
KIMIA KLINIK
ALP 261,0 46-116 U/L
BILIRUBIN
Bilirubin total 17,92 0,1-1,2 mg/dL
Bilirubin direk 0,69 0,0-0,2 mg/dL
Bilirubin indirek 17,23 0,0-1,0 mg/dL

Golongan darah ibu pasien: A/Rhesus +

A : Neonatus hiperbilirubinemia
dd/patologis: obstruksi ec. infeksi
suspek anemia hemolitik, sindrom tertentu
Neonatus preterm
BBLR, SMK
P : Infus D10% + NaCl 0,9% (44 ml) + KCl otsu (23 ml)  120/
5ml/jam
Fototerapi lanjut s/d besok pagi
Amoxicillin syr 2 ml/8 jam PO
Dexametason 0,3 mg/12 jam PO
Urdafalk 20 mg/12 jam PO
Diet ASI 8x30-50 ml
Pro rujuk ke RSDK  batal  besok pagi pulang, kontrol ke
poli RSDK

15
BAB II
PEMBAHASAN

Hiperbilirubinemia adalah kondisi di mana kadar bilirubin serum total ≥5


mg/dL (86 µmol/L). Ikterus atau jaundice adalah warna kuning pada kulit,
konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin tak terkonjugasi pada
jaringan. Hiperbilirubinemia cukup sering ditemukan baik pada bayi cukup bulan
(50-70%) maupun bayi prematur (80-90%). Pada neonatus, secara klinis ikterus
akan terlihat bila kadar bilirubin serum >5 mg/dL.1
Hiperbilirubinemia pada neonatus dapat disebabkan oleh proses fisiologis
maupun nonfisiologis/patologis:
1. Hiperbilirubinemia fisiologis
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi pada neonatus cukup bulan dapat
mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari, setelah itu berangsur turun. Pada
bayi prematur, awitan ikterus terjadi lebih dini dan bilirubin naik perlahan
tetapi dengan kadar puncak lebih tinggi serta menghilang dalam durasi
yang lebih lama, dapat mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin pada neonatus
prematur dapat mencapai 10-12 mg/dL pada hari ke-5 dan masih dapat
meningkat menjadi >15 mg/dL tanpa adanya kelainan tertentu. Kadar
bilirubin akan mencapai <2 mg/dL setelah usia 1 bulan, baik pada bayi
cukup bulan maupun prematur.1
Hiperbilirubinemia fisiologis dapat disebabkan beberapa mekanisme:1–3
a. Peningkatan produksi bilirubin yang disebabkan oleh:
i. Masa hidup eritrosit yang lebih singkat
ii. Peningkatan eritropoiesis inefektif
b. Peningkatan sirkulasi enterohepatik
c. Defek uptake bilirubin oleh hati
d. Defek konjugasi karena aktivitas uridin difosfat glukuronil transferase
(UDPG-T) yang rendah
e. Penurunan ekskresi hepatik

2. Hiperbilirubinemia nonfisiologis
Tanda dan gejala di bawah ini menandakan adanya kemungkinan
hiperbilirubinemia nonfisiologis dan membutuhkan pemeriksaan lebih
lanjut:1–3

16
a. Awitan ikterus sebelum usia 24 jam
b. Peningkatan bilirubin serum hingga mencapai kadar yang
membutuhkan fototerapi
c. Peningkatan bilirubin serum >5 mg/dL/24 jam
d. Kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL
e. Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum,
penurunan berat badan, apne, takipnu, instablilitas suhu)
f. Ikterus yang menetap >2 minggu
Pada pasien ini, hiperbilirubinemia dimulai pada usia 2 hari dan menetap
hingga 3 minggu. Selain itu, terdapat pula tanda sakit yaitu tampak kurang aktif
dan malas menyusu. Maka, dapat dikatakan bahwa hiperbilirubinemia pada pasien
ini kemungkinan bersifat patologis, walaupun tidak menutup kemungkinan
hiperbilirubinemia menjadi lebih berat karena proses fisiologis yang belum
sempurna sebagai akibat dari prematuritas.
Penegakan diagnosis pada kasus hiperbilirubinemia dilakukan
berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang. Riwayat yang penting untuk digali
pada saat anamnesis yaitu:1
1. Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi
glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD).
2. Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, defisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia,
penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik.
3. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breastmilk jaundice.
4. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus
atau toksoplasma.
5. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser
ikatan bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan
hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin,
antimalaria).
6. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan
atau hemolisis: bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang
disebabkan ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat
perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan
polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin.

17
7. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
direk berkepanjangan.
8. Pemberian air susu ibu (ASI). Harus dibedakan antara breastmilk jaundice
dan breastfeeding jaundice.
Pada pemeriksaan fisis, ikterus dapat dideteksi dengan cara
mengobservasi warna kulit setelah dilakukan penekanan menggunakan jari.
Pemeriksaan lebih akurat bila dilakukan di bawah cahaya matahari. Ikterus
dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal. Bila ditemukan ikterus, tanda
di bawah ini harus dicari pada pemeriksaan fisis:1
1. Prematuritas
2. Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia
3. Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
4. Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
5. Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah
ekstravaskular
6. Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
7. Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi
kongenital, atau penyakit hati
8. Omfalitis, berkaitan dengan infeksi dan sepsis
9. Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
10. Tanda hipotiroid: penurunan aktivitas, ubun-ubun besar lebar,
makroglosia, kulit kering dan mottling, hernia umbilikalis, hipotonia,
pucat, berat lahir <2000 gram atau >4000 gram, defek septum ventrikel
dan/atau atrium
Pada pasien ini, melalui anamnesis diketahui bahwa pasien lahir
prematur pada usia kehamilan 34 minggu, serta terdapat beberapa gejala yang
mengarah kepada dehidrasi yaitu minum ASI berkurang dan BAK berkurang.
Hasil anamnesis yang lain baik dari riwayat penyakit sekarang maupun riwayat
keluarga tidak secara signifikan mengarah kepada satu diagnosis tertentu sebagai
penyebab hiperbilirubinemia. Sementara itu, dari pemeriksaan fisis didapatkan
keadaan umum pasien tampak kurang aktif, namun masih sadar dan menangis
kuat. Tanda vital masih dalam batas normal kecuali suhu subfebris. Selain ikterus
Kramer V, ditemukan juga tanda anemia yaitu keadaan umum pasien yang tampak
pucat dan konjungtiva yang pucat.

18
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisis, diperlukan pemeriksaan
penunjang untuk penegakan diagnosis. Terdapat beberapa jenis pemeriksaan yang
dapat dilakukan:4,5
1. Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa
bila ikterus menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai adanya
kolestasis. Selain itu, diperlukan pemeriksaan penunjang tambahan untuk
mengidentifikasi penyebab dari kolestasis, misalnya USG abdomen
(evidence quality C: benefits exceed harms).4,5
2. Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologi eritrosit dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, dapat
dilengkapi dengan hitung retikulosit.5
3. Golongan darah, Rhesus, dan tes Coombs direk dari ibu dan bayi untuk
mencari penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus
menjalani pemeriksaan golongan darah, Rhesus, dan tes Coombs direk
segera setelah lahir.5
4. Kadar enzim G6PD pada eritrosit. Pengukuran kadar G6PD
direkomendasikan untuk bayi ikterik yang menjalani fototerapi dan
memiliki riwayat keluarga atau etnis atau daerah geografis asal di mana
G6PD banyak ditemukan (biasanya pada populasi di wilayah Mediterania,
Timur Tengah, semenanjung Arab, Asia Tenggara, dan Afrika), atau pada
bayi yang sudah menjalani fototerapi namun respon terhadap fototerapi
kurang memuaskan (evidence quality C: benefits exceed harms).4
5. Pada ikterus yang berkepanjangan, dilakukan uji fungsi hati, pemeriksaan
urin untuk mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk
mencari infeksi kongenital, sepsis, defek metabolik, atau hipotiroid
(evidence quality D: benefits versus harms exceptional). Pemeriksaan urin
dan kultur urin dilakukan juga pada bayi dengan peningkatan bilirubin
direk. Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk sepsis dilakukan bila
terdapat tanda dan gejala yang mengarah kepada sepsis (evidence quality
C: benefits exceed harms).4
Pada pasien ini sudah dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu darah
rutin, hitung jenis, serta golongan darah/rhesus anak dan ibu. Dari pemeriksaan
tersebut didapatkan adanya hiperbilirubinemia indirek, anemia (Hb 7,3), ALP
meningkat (227, lalu meningkat kembali menjadi 261) dengan SGOT, SGPT, dan

19
gamma GT dalam batas normal, serta hormon TSH meningkat (8,289) dengan
FT4 pada ambang batas normal tinggi (18,02). Golongan darah dan rhesus anak
serta ibu sama, yaitu A rhesus positif.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis serta penunjang di
atas, diagnosis dan diagnosis banding ditetapkan sebagai berikut:
1. Neonatus hiperbilirubinemia
Diagnosis banding:
a. Fisiologis: hiperbilirubinemia terjadi sebagai akibat dari imaturitas
fisiologis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
b. Patologis
i. Hipotiroid kongenital: hiperbilirubinemia dapat terjadi pada
pasien hipotiroid sebagai akibat dari melambatnya proses
konjugasi bilirubin serta perlambatan motilitas usus yang
meningkatkan sirkulasi enterohepatik.6,7 Pada pasien ini
didapatkan hasil TSH meningkat dengan FT4 normal (ambang
batas tinggi). Kemungkinan adanya hipotiroid kongenital masih
belum dapat disingkirkan, sehingga masih diperlukan
pemeriksaan ulangan.6
ii. Kolestasis: kolestasis dapat terjadi baik intrahepatik maupun
ekstrahepatik.8 Pada pasien ini terdapat peningkatan ALP yang
tidak disertai peningkatan enzim hepar dan gamma-GT serta hasil
USG abdomen yang berada dalam batas normal, sehingga
kolestasis pada kasus ini dicurigai bersifat ekstrahepatik yaitu
kemungkinan sebagai akibat dari infeksi (kolesistitis).8,9
iii. Hemolisis: pada pasien ini didapatkan terjadinya anemia
bersamaan dengan hiperbilirubinemia indirek, sehingga
menimbulkan kecurigaan adanya peningkatan produksi bilirubin
akibat peningkatan destruksi eritrosit (melalui proses autoimun
maupun non-imun) atau penurunan produksi eritrosit (misalnya
akibat defisiensi nutrisi atau sepsis).9,10
iv. Infeksi: ikterus merupakan salah satu tanda nonspesifik dari
infeksi. Pada pasien juga sempat didapatkan gejala nonspesifik
infeksi lainnya seperti kurang aktif dan malas menyusu, serta
terdapat juga faktor risiko infeksi nosokomial yaitu riwayat
dirawat inap di RS lain sebelumnya.11,12

20
v. Sindrom tertentu: mutasi genetik tertentu dapat mengakibatkan
terjadinya sindrom yang dapat bermanifestasi sebagai
hiperbilirubinemia, di antaranya yaitu sindrom Gilbert dan
Criggler-Najjar yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
indirek.2,3
2. Neonatus preterm (34 minggu)
3. BBLR (2400 gram), SMK: berdasarkan pengukuran antropometri serta
kematangan fisik dan neuromuskular.
4. Low intake + dehidrasi tak berat: minum ASI dan BAK berkurang, namun
tidak didapatkan tanda dehidrasi yang signifikan dari pemeriksaan fisis
sehingga belum memenuhi kriteria dehidrasi berat.13
Prinsip umum tata laksana hiperbilirubinemia adalah berdasarkan
etiologi, yaitu sebagai berikut:
1. Tata laksana untuk breastfeeding jaundice:4
a. Pemantauan jumlah ASI yang diberikan apakah sudah mencukupi atau
belum.
b. Pemberian ASI sejak lahir minimal 8-12 kali sehari (evidence quality
C: benefits exceed harms).
c. Pemberian air putih, air gula, dan formula pengganti tidak diperlukan
(evidence quality B dan C: harms exceed benefits).
d. Jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, perlu dilakukan penambahan
volume cairan dan stimulasi produksi ASI dengan melakukan
pemerasan payudara.
e. Pemeriksaan komponen ASI dilakukan bila hiperbilirubinemia
menetap >6 hari, kadar bilirubin >20 mg/dL, atau riwayat terjadi
breastfeeding jaundice pada anak sebelumnya.
2. Pemberian ASI pada breastmilk jaundice: terdapat dua pendapat mengenai
pemberian ASI untuk bayi dengan breastmilk jaundice. Kedua pilihan ini
beserta untung-ruginya harus dijelaskan secara lengkap kepada orangtua
dan orangtua dilibatkan dalam mengambil keputusan.
a. Berdasarkan rekomendasi dari American Academy of Pediatrics
(AAP), ASI sebisa mungkin terus diberikan bahkan selama bayi
menjalani fototerapi (evidence quality C: benefits exceed harms).4
b. Alternatif rekomendasi dari AAP serta pendapat ahli yaitu pemberian
ASI dapat dihentikan untuk sementara dan digantikan pemberian susu
formula untuk menurunkan bilirubin dan/atau meningkatkan

21
efektivitas fototerapi untuk memberi kesempatan hati mengkonjugasi
bilirubin indirek yang berlebihan. Pada breastmilk jaundice,
penghentian ASI untuk sementara adalah juga sebagai cara untuk
membantu penegakan diagnosis. Apabila kadar bilirubin tidak turun
maka penghentian ASI dilanjutkan sampai 24 jam dan dilakukan
pengukuran kadar bilirubin tiap 6 jam. Bila kadar bilirubin tetap
meningkat setelah penghentian ASI selama 24 jam, maka jelas
penyebabnya bukan karena ASI. Air susu ibu kembali diberikan
sambil mencari penyebab hiperbilirubinemia yang lain.2,4
3. Terapi sinar dan transfusi tukar: batas bilirubin untuk inisiasi fototerapi
dan transfusi tukar ditentukan menggunakan panduan berupa nomogram
(untuk bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu) dan tabel (untuk neonatus
kurang bulan) di bawah ini. Pada kasus di mana bilirubin tidak mengalami
penurunan atau tetap meningkat meskipun telah dilakukan fototerapi
intensif, maka besar kemungkinan hiperbilirubinemia terjadi akibat proses
hemolisis. Bila jumlah bilirubin total mencapai titik di mana transfusi
tukar direkomendasikan, atau bila bilirubin total mencapai 25 mg/dl atau
lebih, maka kasus diperlakukan sebagai kegawatdaruratan medis dan
pasien harus segera dirawat untuk menjalani fototerapi intensif. (evidence
quality C: benefits exceed harms).1,4
Transfusi tukar hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih di
unit NICU dengan sarana monitoring dan resusitasi yang lengkap
(evidence quality D: benefits versus harms exceptional).4
4. Tata laksana untuk etiologi lainnya:
a. Semua obat atau faktor yang mengganggu metabolisme bilirubin,
ikatan bilirubin dengan albumin, atau integritas sawar darah-otak
harus dieliminasi.1
b. Bayi dengan hipotiroid harus mendapat substitusi hormon sesuai
protokol.6,7
c. Pada bayi dengan penyakit hemolitik harus berhati-hati terhadap
kemungkinan hemolitik berat yang membutuhkan transfusi tukar.
Pemberian gamma-globulin intravena (0,5-1 gram/kgBB dalam 2 jam,
dapat diulang setelah 12 jam bila dibutuhkan) untuk hemolitik
isoimun ABO dan Rh direkomendasikan bila kadar bilirubin terus

22
meningkat setelah fototerapi intensif atau kadar bilirubin total berada
dalam rentang 2-3 mg/dl dari indikasi transfusi tukar (evidence quality
B: benefits exceed harms).4
d. Pada kasus hiperbilirubinemia akibat kolestasis, manajemen
tergantung dari penyebab kolestasis. Pada atresia bilier dapat
dilakukan tata laksana spesifik yaitu prosedur Kassai sebelum bayi
berusia 8 minggu. Untuk kolestasis akibat penyebab lain diberikan
terapi suportif yaitu medikamentosa dan nutrisi yang bertujuan untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangan seoptimal mungkin serta
meminimalkan komplikasi akibat kolestasis kronis.8
e. Untuk kasus sepsis neonatal, dilakukan pemberian antibiotik spektrum
luas berdasarkan pedoman serta pola kuman setempat.11,12

Tabel 1. Panduan terapi sinar untuk bayi prematur (usia gestasi <35 minggu)1

Diagram 1. Panduan terapi sinar untuk bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu1,4

23
Diagram 2. Panduan transfusi tukar untuk bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu1,4

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya hiperbilirubinemia pada


neonatus dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu mayor dan minor:4
1. Faktor risiko mayor:
a. Kadar bilirubin serum total sebelum dipulangkan berada pada zona
risiko tinggi
b. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama
c. Inkompatibilitas golongan darah dengan uji antiglobulin direk positif
atau penyakit hemolitik lain (misalnya defisiensi G6PD)
d. Usia gestasi 35-36 minggu
e. Riwayat saudara kandung mendapat terapi sinar
f. Sefalhematom atau memar luas
g. ASI eksklusif, terutama bila asupan tidak adekuat dan terdapat
penurunan berat badan berlebih
h. Ras Asia Timur
2. Faktor risiko minor:
a. Kadar bilirubin serum total sebelum dipulangkan berada pada zona
risiko tinggi sedang
b. Usia gestasi 37-38 minggu
c. Ikterus terjadi sebelum dipulangkan
d. Riwayat saudara kandung dengan ikterus
e. Bayi makrosomia dari ibu DM
f. Usia ibu ≥25 tahun
g. Jenis kelamin laki-laki
Pada kasus ini, bilirubin pasien sudah melewati ambang batas untuk
inisiasi fototerapi, sehingga pelaksanaan fototerapi pada kasus ini sudah sesuai

24
dengan pedoman. Selain fototerapi, pada pasien ini juga diberikan obat
Amoxicillin sirup 2 ml (50 mg)/8 jam, Dexametason 0,3 mg/12 jam, dan Urdafalk
20 mg/12 jam. Pemberian obat-obatan tersebut dilakukan berdasarkan kecurigaan
adanya kolestasis akibat kolesistitis. Sementara ini untuk hipotiroid belum
diberikan terapi, pemberian terapi baru dilakukan apabila pada pemeriksaan
ulangan didapatkan jumlah TSH dan FT4 yang abnormal.6
Sebagai tata laksana dehidrasi diberikan rehidrasi yaitu infus NaCl 0,9%
10 cc/kgBB (27 cc) dalam 1 jam sambil dilakukan evaluasi tanda dehidrasi.
Setelah rehidrasi selesai, didapatkan bahwa tanda dehidrasi sudah membaik
sehingga pemberian cairan intravena dilanjutkan dengan cairan rumatan yaitu
infus D10% 120 cc/24 jam (5 cc/jam) ditambah elektrolit NaCl 3% 2 mg (44 cc)
dan KCl Otsu 2 mg (23 cc).
Anemia pada pasien ini ditangani dengan pemberian transfusi PRC 30 ml
dalam 4 jam, dengan premedikasi yaitu injeksi Deksametason 1/3 ampul sebelum
transfusi dan injeksi Furosemid 1 mg di tengah dan akhir transfusi. Jumlah
pemberian transfusi sesuai dengan pedoman, yaitu 10 ml/kgBB dalam 4 jam.14

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Hiperbilirubinemia. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S,


Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et al., editor. Pedoman Pelayanan
Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2 ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2011. hal. 114–22.
2. Lauer BJ, Spector ND. Hyperbilirubinemia in the Newborn. Pediatr Rev
[Internet]. 2011;32(8):341–8. Tersedia pada:
http://pedsinreview.aappublications.org/content/32/8/341
3. Pan DH, Rivas Y. Jaundice : Newborn to Age 2 Months. Pediatr Rev.
2017;38(11):499–510.
4. American Academy of Pediatrics S on H. Management of
Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation.
Pediatrics [Internet]. 2004;114(1):297–311. Tersedia pada:
http://pediatrics.aappublications.org/content/114/1/297
5. Provisional Committee for Quality Improvement and S on H. Practice
Parameter: Management of Hyperbilirubinemia in the Healthy Term
Newborn. Pediatrics. 1994;94(4):558–65.
6. Rose SR, Brown RS, Foley T, Kaplowitz PB, Kaye CI, Sundararajan S, et
al. Update of Newborn Screening and Therapy for Congenital
Hypothyroidism. Pediatrics [Internet]. 2006;117(6):2290–300. Tersedia
pada: http://pediatrics.aappublications.org/content/117/6/2290
7. Anonim. Hipotiroid Kongenital. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S,
Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, editor. Pedoman Pelayanan
Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1 ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2009. hal. 125–8.
8. Anonim. Kolestasis. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS,
Gandaputra EP, Harmoniati ED, editor. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 1 ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.
hal. 170–4.
9. Chand N, Sanyal AJ. Sepsis-Induced Cholestasis. Hepatology.
2007;45(1):230–41.
10. Widness JA. Pathophysiology, Diagnosis, and Prevention of Neonatal

26
Anemia. Neoreviews [Internet]. 2000;1(4):e61–7. Tersedia pada:
http://neoreviews.aappublications.org/content/1/4/e61
11. Anonim. Sepsis Neonatal. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris
NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, editor. Pedoman Pelayanan Medis
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1 ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2009. hal. 263–8.
12. Pusponegoro TS. Sepsis pada Neonatus (Sepsis Neonatal). Sari Pediatr.
2000;2(2):96–102.
13. Anonim. Diare Akut. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS,
Gandaputra EP, Harmoniati ED, editor. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 1 ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.
hal. 58–62.
14. Anonim. Transfusi Darah. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris
NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, editor. Pedoman Pelayanan Medis
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2 ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2011. hal. 304–13.

27

Anda mungkin juga menyukai