Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN KASUS

SEORANG BAYI PEREMPUAN BERUSIA 39 HARI DENGAN DIARE


PERSISTEN DEHIDRASI RINGAN-SEDANG EC ALERGI SUSU SAPI

Oleh:
Azka Amana Rosyida G991902009

Pembimbing Residen

dr. Harsono Sp.PK dr. Yan Ajie Nugroho

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul:

SEORANG BAYI PEREMPUAN BERUSIA 39 HARI DENGAN DIARE


PERSISTEN DEHIDRASI RINGAN-SEDANG EC ALERGI SUSU SAPI

Disusun oleh:
Azka Amana Rosyida G991902009

Telah dipresentasikan pada


Jumat, 18 Desember 2020

Pembimbing

dr. Harsono, Sp.PK


BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
1. Nama : An. ANA
2. Usia : 39 hari
3. Tanggal Lahir : 29 Agustus 2019
4. Berat Badan : 3,9 kg
5. Panjang Badan : 55 cm
6. Jenis Kelamin : Perempuan
7. Agama : Islam
8. Alamat : Boyolali
9. Tanggal Pemeriksaan : 7 Oktober 2019
10. Nomor Rekam Medis : 01 47 xx xx

B. Data Dasar
Anamnesis dilakukan terhadap orang tua pasien (alloanamnesis)
saat pasien pertama kali masuk rumah sakit di poli cendana Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi Surakarta.
1. Keluhan Utama
BAB cair
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dikeluhkan oleh orang tuanya BAB cair sejak
usia 18 hari. BAB cair lebih dari 7 kali per hari setiap BAB ±2-5
mL. Diare dirasakan terus menerus dan tidak pernah membaik
maupun bertambah. BAB lebih banyak air daripada ampas, warna
kuning, menyemprot (-), lendir (-), busa (-), dan darah (-).
Keluhan mual dan muntah disangkal. Pasien juga didapatkan

1
demam, paling tinggi dengan suhu 400C kejang (-). BAK 3 kali
ganti popok dalam sehari namun tidak penuh.
Selama diare, pasien masih mau minum. Pasien sering
tampak haus, minum susu formula (susu LLM) sebanyak 360 mL
perhari. Sejak lahir pasien sudah mengonsumsi susu formula dan
tidak minum ASI karena ASI ibu tidak keluar. Awalnya ibu
pasien memberi susu SGM namun pasien tidak mau minum,
kemudian ibu menggantinya dengan susu LLM dan
mengonsumsinya hingga saat ini. Daerah sekitar anus kemerahan
(+) pasien rewel setiap kali BAB. Perut kembung (+) dikeluhkan
hilang timbul. Ibu pasien merasa BB pasien sulit naik. Pasien saat
ini sudah dapat miring kanan dan kiri.
Pada hari masuk rumah sakit pasien tampak rewel dan
gelisah, saat menangis air mata berkurang, masih mau minum
terlihat BAK di popok sekali buang. Oleh orang tua pasien
kemudian dibawa ke RSDM.
Satu minggu SMRS pasien dirawat di sebuah rumah sakit
swasta. Orang tua pasien tidak mengetahui diagnosis yang
diberikan. Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien diberi obat
sirup, puyer, dan suntikan. Orang tua pasien tidak ingat nama
obat yang diberikan dan obat tidak dibawa. Di rumah sakit
sebelumnya dilakukan pemeriksaan laboratorium darah dan foto
polos abdomen. Setelah dirawat tiga hari, pasien APS karena
masalah biaya. Karena pasien masih diare, pasien kemudian
dibawa ke poli cendana Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
Moewardi Surakarta.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat kejang demam : disangkal.

2
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal.
Riwayat rawat inap di rumah sakit : (+) 1 minggu SMRS
dengan keluhan yang sama
Riwayat operasi : disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Faktor Lingkungan
a. Riwayat keluarga :
Riwayat menderita penyakit serupa disangkal
Riwayat alergi obat/makanan (+) ibu alergi minyak kayu
putih.
Riwayat penyakit autoimun disangkal
b. Riwayat lingkungan :
Riwayat diare di sekitar lingkungan disangkal
c. Riwayat Sosial Ekonomi :
Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta mempunyai
toko alat tulis, dengan penghasilan Rp. 4.000.000 – Rp.
5.000.000 per bulan, sementara ibu pasien merupakan ibu
rumah tangga. Pasien periksa menggunakan fasilitas
umum. Kesan sosial ekonomi cukup.
d. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Status ibu G1P0A0, usia ibu saat hamil adalah 27
tahun. Ibu rutin kontrol selama masa kehamilan di bidan
dan menerima vitamin dan suplemen. Riwayat sakit selama
hamil (-), riwayat demam saat hamil (-), hipertensi saat
kehamilan (-). Riwayat anemia saat hamil (+) dan
mendapatkan transfusi.
Pasien lahir spontan, umur kehamilan 38 minggu,
dan berat lahir 3500 gram, panjang badan 48 cm, langsung
menangis kuat, tidak biru, gerak aktif, tidak kuning, BAB

3
mekonium dalam 48 jam pertama setelah lahir. Kesan
kehamilan dan kelahiran dalam batas normal
e. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi pasien
0 bulan : Hep B
1 bulan : BCG, Polio 1 `
Kesan imunisasi dasar lengkap sesuai usia (jadwal
Kemenkes 2017)
f. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan :
 BB = 3,9 kg, PB 55 cm
Perkembangan :
 sudah dapat menatap muka
 Bersuara (aah/ooh)
 Mengangkat kepala 45 derajat dan miring kanan dan
kiri
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan normal
g. Riwayat Nutrisi
Pasien mengkonsumsi susu formula sejak lahir karena
ASI ibu pasien tidak keluar. Saat ini pasien minum susu
formula 6x sehari, 60 mL setiap kali minum. Kesan nutrisi
kurang.

4
h. Pohon Keluarga

II

III

An. ANA usia 39 hari

Keterangan:

Laki-laki Pasien
Perempuan

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik didapatkan hasil sebagai berikut
1. Keadaan umum : Tampak lemas, komposmentis
2. Tanda vital : Suhu : 37 0C
Denyut nadi : 168 x/menit
Saturasi O2 : 98%
Frekuensi pernapasan : 56 x/menit
3. Kepala : Mesocephal, ubun-ubun besar cekung (+)
4. Mata : Mata cekung (+/+), air mata (+/+)
berkurang, Pupil isokor 2mm/2mm, sklera
ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), refleks
cahaya (+/+)
5. Telinga : Sekret (-), tidak ada nyeri tekan telinga

5
6. Hidung : NCH (-/-), sekret (-)
7. Mulut : Mukosa bibir basah, stomatitis (-), mouth ulcer
(-), tonsil T1-T1, faring hiperemis (-),
pseudomembran (-), detritus (-)
8. Leher : Pembesaran KGB (-)
9. Thoraks : Simetris (+), retraksi (-)
10. Cor : Inspeksi : iktus cordis tak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas
normal
Auskultasi : bunyi Jantung I-II intensitas
normal, regular, bising (-)
11. Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada
kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dada sde
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
12. Abdomen : Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dari
dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) meningkat
(40x/menit)
Perkusi : timpani, undulasi (-), pekak alih
(-)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak
teraba membesar, nyeri (-),
turgor kulit kembali cepat
13. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), ADP teraba kuat, CRT < 2
detik
14. Genital : Anus : perianal hiperemis (+)

6
Status gizi : BB/U : -2 SD < BB/U < 0 SD ,
normoweight
PB/U : 0 SD < PB/U < 2 SD ,
normoheight
BB/PB : -3 SD < PB/BB < -2 SD, gizi
kurang

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Hematologi (08 Oktober 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi rutin
Hemoglobin 10,4 g/dl 10,3-17,9
Hematokrit 31 % 31-59
Leukosit 13,8 ribu/ul 5,0-19,5
Trombosit 400 ribu/ul 150-450
Eritrosit 3,77 juta/ul 3,20-5,60
Index eritrosit
MCV 81,2 /um 80,0-96,0
MCH 27,6 Pg 28,0-33,0
MCHC 34 g/dl 33,0-36,0
RDW 16,9 % 11,6-14,6
HDW 4,6 g/dl 2,2-3,2
MPV 11,0 fl 7,2-11,1
PDW 11 % 25-65
Hitung jenis
Eosinofil 5,00 () % 0,00-4,00
Basofil 0,00 % 0,00-1,00

7
Netrofil 50,00 % 29,00-72,00
Limfosit 40,00 () % 60,00-66,00
Monosit 5,00 % 0,00-6,00
Kimia Klinik
Natrium 136 mmol/L 129-147
Kalium 3,8 mmol/L 3,6-6,1
Cholirida 100 mmol/L 98-106
Kalsium 1,21 mmol/L 1,17-1,29

B. Urinalisis (08 Oktober 2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Makroskopis
Warna Yellow
Kejernihan Cloudy
Kimia Urin
Berat jenis 1014 1015 – 1025
pH 6,0 4,50 – 8,00
Leukosit Negatif /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Negatif mg/dl Negatif
Glukosa Normal mg/dl Normal
Keton Negatif mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal mg/dl Normal
Bilirubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit Negatif mg/dl Negatif
Mikroskopis
Eritrosit 5 /ul 0-8,7
Leukosit 11 /LPB 0-12

8
Epitel Squamous 2-3 /LPB Negatif
Epitel transisional 0-1 /LPB Negatif
Epitel bulat 1-2 /LPB Negatif
Silinder - /LPB Negatif
Hyline 0 /LPK 0– 3
Granulated Negatif /LPK Negatif
Lekosit - /LPK Negatif
Kristal Negatif /uL 0,0 – 0,0
Yeast Like Cell 0,0 /uL 0,0 – 0,0
Mukus 0,0 /uL 0,0 – 0,0
Sperma 0,0 /uL 0,0 – 0,0
Kesan : Urinalisis dalam batas normal

C. Parasitologi feces (09 Oktober 2019)


Parameter Hasil Nilai Normal
Makroskopis
Konsistensi Cair Lunak berbentuk
Warna Kuning Kuning coklat
Darah Negatif Negati
f
Lendir Negatif Negati
f
Lemak Negatif Negati
Pus Negatif f
Negati
f
Makanan tidak tercerna Negatif Negatif/Ditemukan
sedikit

9
Parasit Negatif
Mikroskopis
Sel epitel Negatif Neg/Ditemukan sedikit
Lekosit Negatif Neg/Ditemukan sedikit
Eritrosit Negatif Negatif
Makanan tidak tercerna Negatif Negatif/Ditemukan
sedikit
Telur cacing Negatif Negatif
Larva cacing Negatif Negatif
Proglotid cacing Negatif Negatif
Protozoa Negatif Negati
f
Yeast/pseudohifa Negatif Negati
f

D. Radiologi BNO (02 Oktober 2019), di rumah sakit sebelumnya

10
Hasil: Tak tampak illeus maupun peritonitis

IV. RESUME MEDIS


Seorang bayi perempuan berusia 39 hari dari hasil alloanamnesis
didapatkan keluhan utama yaitu BAB cair. BAB cair dikeluhkan berlangsung
sudah 24 hari. Satu hari SMRS pasien didapatkan keluhan BAB cair dengan
frekuensi lebih dari 7 kali/hari sebanyak ±2-5 mL setiap BAB. BAB lebih
banyak air daripada ampas, warna kuning. Keluhan mual maupun muntah
disangkal. Pasien juga didapatkan demam, paling tinggi dengan suhu 40 0C.
Kejang disangkal. BAK 3 kali ganti popok dalam sehari namun tidak penuh.

11
Pasien sering tampak haus, minum susu formula dan tidak minum ASI
karena ASI ibu tidak keluar. Daerah sekitar anus kemerahan (+) pasien rewel
setiap kali BAB. Perut kembung (+) dikeluhkan hilang timbul. Ibu pasien
merasa BB pasien sulit naik. Pada hari masuk rumah sakit pasien tampak rewel
dan gelisah, saat menangis air mata berkurang, masih mau makan dan minum.
BAK (+) di popok sekali buang namun tidak penuh. Oleh orang tua pasien
kemudian dibawa ke RSDM.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien gelisah tampak
sakit sedang, ubun-ubun besar cekung (+), mata cekung (+/+), air mata
berkurang (+/+), mukosa bibir basah (+), abdomen bising usus meningkat 40
kali/menit, turgor kulit kembali cepat, CRT kurang dari 2 detik. Daerah perianal
hiperemis (+)
Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan eosinofilia relatif
(5,00%) dan penurunan limfosit (40,00%).

V. DIAGNOSIS BANDING
A. Diare persisten dengan dehidrasi ringan sedang ec alergi susu sapi dd
intoleransi laktosa dd ETEC dd EIEC
B. Gizi kurang

VI. DIAGNOSIS
A. Diare persisten dengan dehidrasi ringan sedang ec alergi susu sapi
B. Gizi kurang

VII. PENATALAKSANAAN
 Rawat bangsal gastroenterologi
 Diet susu LLM 8 x 60 mL

12
 Cairan IVFD Asering 200ml/kgBB/hari = 32,5 ml/jam sampai
terehidrasi selanjutnya D5 ¼ NS 16,2 ml/jam (maintenance)
 Zinc 10mg/24jam
 Oralit 10ml/kgBB/diare = 40ml/diare

VIII. PLANNING
A. Planning diagnostik
 Pemeriksaan GDS
 Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum kreatinin)
 Pemeriksaan IgE total dan IgE spesifik
B. Planning edukasi
 Edukasi restriksi diet berbahan susu sapi
 Pemeriksaan IgE total dan IgE spesifik

IX. MONITORING
 KUVS/jam
 Status hidrasi/jam
 Balance cairan/8 jam

X. PROGNOSIS
 Ad vitam : bonam
 Ad sanationam : bonam
 Ad fungsionam : bonam

XI. FOLLOW UP
A. 7 Oktober 2019 (DPH 0)
S : BAB cair (+) > 5 kali, tampak lemas, muntah (-), demam (-), minum

13
susu sedikit
O : KU : tampak sakit sedang, CM
TV : HR : 112x/menit RR : 32x/menit
T : 370C SpO2 : 98%
BB : 3,9 kg
Kepala : Mesocephal, UUB cekung
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung
(+/+), air mata (+/+) menurun
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-)
Telinga : Sekret (-), tidak nyeri tekan
Mulut : Mukosa basah, tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris, retraksi (-)
Cor : Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas
normal, regular, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan
simetris dengan dada kiri
Palpasi : Fremitus raba sde
Perkusi : Sonor//sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dari
dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
45x/menit
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba

14
membesar, nyeri (-), turgor kulit
kembali cepat
Ekstremitas : Akral hangat, ADP kuat, CRT <2 detik
A : 1) Diare persisten dehidrasi ringan-sedang ec suspek alergi susu
sapi
2) Gizi kurang
P : 1) Diet susu LLM 8 x 60 mL
2) Cairan IVFD asering 200mL/kgBB/hari = 32,5 mL/jam sampai
terhidrasi selanjutnya D5 ¼ NS 16,2 mL/jam
3) Paracetamol 10 mg/kgBB/8jam = 40mg/8jam iv (jika demam)
4) Zinc 10 mg/24 jam
5) Oralit 10mL/kgBB/diare = 40mL/diare
Plan:
1) Urin rutin
2) Feses rutin
Monitoring
1) KUVS/8jam
2) BCD/8jam

B. 8 Oktober 2020 (DPH-1)


S : BAB cair (+) 4 kali sehari, ampas (+), muntah (-), demam (-), minum
susu formula 10 botol masing-masing 60 mL. perut kembung hilang
timbul.
O : KU : tampak sakit sedang, CM
TV : HR : 130x/menit RR : 45x/menit
T : 36,5 C
0
SpO2 : 99%
BB : 3,9 kg
Kepala : Mesocephal, UUB datar

15
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-), air mata (+/+)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-)
Telinga : Sekret (-), tidak nyeri tekan
Mulut : Mukosa basah, tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris, retraksi (-)
Cor : Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas
normal, regular, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan
simetris dengan dada kiri
Palpasi : Fremitus raba sde
Perkusi : Sonor//sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dari
dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
40x/menit
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
membesar, nyeri (-), turgor kulit
kembali cepat
Ekstremitas : Akral hangat, ADP kuat, CRT <2 detik
A : 1) Diare persisten dehidrasi ringan-sedang ec suspek alergi susu
sapi
2) Gizi kurang

16
P : 1) Diet susu ekstensif hidrolisa 8 x 60 mL
2) Cairan IVFD D5 ¼ NS 16,2 mL/jam
3) Zinc 10 mg/24 jam
4) Oralit 10mL/kgBB/diare = 40mL/diare
Plan:
1) Cek darah, IgE, dan eosinofil
2) Elektrolit
Monitoring
1) KUVS/8jam
2) BCD/8jam

C. 9 Oktober 2019 (DPH-2)


S : BAB cair (+) 2 kali sehari, ampas (+), muntah (-), demam (-), perut
kembung (-). Pasien mampu menghabiskan susu formula 8x60 mL.
O : KU : tampak sakit sedang, CM
TV : HR : 142x/menit RR : 48x/menit
T : 36,60C SpO2 : 98%
BB : 4,1 kg
Kepala : Mesocephal, UUB datar
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-), air mata (+/+)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-)
Telinga : Sekret (-), tidak nyeri tekan
Mulut : Mukosa basah, tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris, retraksi (-)
Cor : Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak

17
Palpasi : Iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas
normal, regular, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan
simetris dengan dada kiri
Palpasi : Fremitus raba sde
Perkusi : Sonor//sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dari
dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
membesar, nyeri (-), turgor kulit
kembali cepat
Ekstremitas : Akral hangat, ADP kuat, CRT <2 detik
A : 1) Diare persisten dehidrasi ringan-sedang ec suspek alergi susu
sapi
2) Gizi baik
P : 1) Diet susu pregestimil 8 x 60 mL
2) Cairan IVFD D5 ¼ NS 4 mL/jam
3) Zinc 10 mg/24 jam
4) Oralit 10mL/kgBB/diare = 40mL/diare
Plan:
1) Cek Lab IgE (keluarga menolak karena masalah biaya)
Monitoring
1) KUVS/8jam

18
2) BCD/8jam

D. 10 Oktober 2019 (DPH-3)


S : BAB cair (-), ampas (-), muntah (-), demam (-), perut kembung (+)
dirasakan hilang timbul.
O : KU : tampak sakit sedang, CM
TV : HR : 109x/menit RR : 40x/menit
T : 36,5 C
0
SpO2 : 99%
BB : 4,1 kg
Kepala : Mesocephal, UUB datar
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-), air mata (+/+)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-)
Telinga : Sekret (-), tidak nyeri tekan
Mulut : Mukosa basah, tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris, retraksi (-)
Cor : Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas
normal, regular, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan
simetris dengan dada kiri
Palpasi : Fremitus raba sde
Perkusi : Sonor//sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dari

19
dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Distended (+), hepar dan lien tidak teraba
membesar, nyeri (-), turgor kulit kembali
cepat
Ekstremitas : Akral hangat, ADP kuat, CRT <2 detik
A : 1) Diare persisten dehidrasi ringan-sedang ec suspek alergi susu
sapi
2) Gizi baik
P : 1) Diet susu pregestimil 8 x 70 mL
2) Cairan IVFD D5 ¼ NS 4 mL/jam  ganti stopcock

3) Zinc 10 mg/24 jam


4) Oralit 10mL/kgBB/diare = 40mL/diare
Plan:
1) Edukasi kembali cek lab IgE (keluarga setuju)
Monitoring
1) KUVS/8jam
2) BCD/8jam

E. 11 Oktober 2019 (DPH-4)


S : BAB cair (-), lendir (-), muntah (-), demam (-), perut kembung
berkurang. Pasien minum susu tiap 2 jam 50-60 mL.
O : KU : tampak sakit sedang, CM
TV : HR : 121x/menit RR : 38x/menit
T : 36,50C SpO2 : 98%
BB : 4,2 kg
Kepala : Mesocephal, UUB datar
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata

20
cekung (-/-), air mata (+/+)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-)
Telinga : Sekret (-), tidak nyeri tekan
Mulut : Mukosa basah, tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris, retraksi (-)
Cor : Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas
normal, regular, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan
simetris dengan dada kiri
Palpasi : Fremitus raba sde
Perkusi : Sonor//sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dari
dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
membesar, nyeri (-), turgor kulit
kembali cepat
Ekstremitas : Akral hangat, ADP kuat, CRT <2 detik
A : 1) Diare persisten dehidrasi ringan-sedang ec suspek alergi susu
sapi (terhidrasi)
2) Gizi baik
P : 1) Diet susu pregestimil 8 x 70 mL

21
2) Zinc 10 mg/24 jam
3) Oralit 10mL/kgBB/diare = 40mL/diare
Plan:
1) Tunggu hasil IgE total
Monitoring
1) KUVS/8jam
2) BCD/8jam

F. 12 Oktober 2019 (DPH-5)


S : BAB cair (-), ampas (+), muntah (-), demam (-), perut kembung (-).
Pasien minum susu tiap 2 jam 50-60 mL.
O : KU : tampak sakit sedang, CM
TV : HR : 135x/menit RR : 43x/menit
T : 36,5 C
0
SpO2 : 98%
BB : 4,2 kg
Kepala : Mesocephal, UUB datar
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-), air mata (+/+)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (-)
Telinga : Sekret (-), tidak nyeri tekan
Mulut : Mukosa basah, tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Simetris, retraksi (-)
Cor : Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas
normal, regular, bising (-)

22
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan
simetris dengan dada kiri
Palpasi : Fremitus raba sde
Perkusi : Sonor//sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dari
dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
membesar, nyeri (-), turgor kulit
kembali cepat
Ekstremitas : Akral hangat, ADP kuat, CRT <2 detik
A : 1) Alergi susu sapi
2) Gizi baik
P : 1) BLPL
2) Disarankan untuk mengganti susu dengan susu ekstensif
hidrolisa sesuai kemampuan keluarga
Obat pulang:
1) Zinc 10 mg/24 jam (dilanjutkan hingga 10 hari)
2) Oralit 10mL/kgBB/diare = 40mL/diare

Hasil IgE total dan IgE spesifik (12 Oktober 2019)

23
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
IgE total 120.5 IU/mL <87 IU/mL
IgE spesifik 5.8 kIU/L <5kIU/L
protein susu
sapi/IgE RAST

24
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini didapatkan BAB cair sejak 24 hari SMRS pada seorang pasien
bayi perempuan berusia 39 hari, yang dibawa orang tuanya ke poli cendana RSUD
Dr. Moewardi dengan frekuensi BAB cair 7 kali/hari. Pada BAB cair didapatkan air
lebih banyak daripada ampas, jumlah 2-5 mL. Setiap kali BAB tidak didapatkan
lendir maupun darah. Diare dirasakan terus menerus dan tidak pernah membaik
maupun bertambah. Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya demam paling tinggi
40oC. Mual maupun muntah disangkal. Selama diare pasien masih mau minum susu.
Demam tinggi sejak 20 hari SMRS sudah tidak didapatkan. Saat dibawa ke RSDM
pasien tampak lemas dan menangis (air mata berkurang), mau minum, tidak muntah.
Ibu pasien mengakui bahwa BAK berkurang, batuk (-), pilek (-).
Berdasarkan anamnesis, pasien tersebut mengalami diare persisten. Pada pasien
diare, perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, ada periode membaik atau
tidak, frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah.
Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang
atau tidak kencing dalam 6 – 8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan
selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk, pilek,
otitis media, campak. Pada pasien ini ditemukan bahwa sejak sehari yang lalu, pasien
buang air besar dengan tinja berkonsistensi cair dengan ampas, tidak ada lendir
maupun darah, sebanyak 2-5 ml setiap BAB, warna kuning dan putih, tidak seperti air
cucian beras, tidak berbau amis dan tidak disertai lendir dan darah.
Saat di poli cendana RSDM dari hasil pemeriksaan didapatkan keadaan umum
pasien lemas, gelisah, tidak bergerak aktif, ubun-ubun besar cekung, mata cekung dan
air mata berkurang, tidak muntah, dan BAK didapatkan sedikit.
Dari hasil anamnesis dan pemerikaan fisik pasien dimungkinkan mengalami
diare persisten dengan dehidrasi ringan – sedang, dikategorikan sebagai derajat
dehidrasi ringan sedang apabila didapatkan keadaan umum gelisah atau cengeng,

25
ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata berkurang, mukosa
mulut dan bibir sedikit kering, turgor lambat dan akral masih hangat.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan eosinophilia relatif dan peningkatan
IgE total yang mana mengarahkan diagnosis pasien kepada alergi ditambah dengan
riwayat keluarga (ibu pasien) yang memiliki alergi. Pemeriksaan lain yaitu urinalisis
dan parasitologi feses dalam batas normal sehingga dapat disingkirkan penyebab
diare lain seperti infeksi bakteri dan virus serta investasi parasit. Pasien berusia 39
hari hanya mengonsumsi susu, pasien ini sudah mengonsumsi susu formula sejak
lahir dan tidak minum ASI. Kecurigaan terbesar penyebab alergi pada pasien adalah
susu sapi, kemudian di lakukan pemeriksaan IgE total dan IgE spesifik terhadap
protein susu sapi dan didapatkan hasil yang meningkat yaitu 120.5 IU/mL dan 5.8
kIU/L. Sehingga dapat disimpulkan penyebab diare yang dialami pasien adalah alergi
susu sapi.
Saat ini pasien berusia 1 tahun dengan berat badan 3,9 kg dan panjang badan 55
cm. Pada antropometri didapatkan gizi kurang, normoweight, normoheight. Pasien
tidak mengkonsumsi ASI sejak lahir sampai saat ini. Sejak lahir pasien
mengkonsumsi susu formula (susu LLM). Pada awalnya pasien sempat mengonsumsi
susu formula SGM, namun pasien tidak mau minum lalu ibu pasien menggantinya
dengan susu LLM yang di gunakannya hingga saat ini.
Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi
semua kasus diare yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah maupun
sedang dirawat di rumah sakit, yaitu: 1. Cairan, 2. Seng, 3. Nutrisi, 4. Antibiotik, 5.
Nasihat kepada orang tua. Pasien ini ditatalaksana dengan mondok bangsal
gastroenterologi anak untuk dilakukan monitoring
Terapi cairan yang diberikan pada pasien ini diberikan sesuai dengan terapi
dehidrasi ringan sedang, yaitu: Rehidrasi dapat menggunakan oralit 75 ml/kgBB
dalam 3 jam pertama yaitu 75ml x 4 kg= 300 ml oralit, dilanjutkan untuk mengganti
kehilangan cairan setiap diare cair sebanyak 5-10ml/kgBB yaitu 10ml x 4 kg = 40 ml
tiap buang air besar.

26
Namun karena pasien mengalami dehidrasi ringan-sedang dan direncanakan
untuk mondok, maka diberikan rehidrasi parenteral (intravena) dengan menggunakan
IVFD Asering (200ml/kg/hari) = 200ml x 4 kg= 800 ml / hari ≈ 32.5 ml/ jam sampai
dengan terehidrasi; lanjut maintenance D5 ¼ NS 16.2 mL/jam.
Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan penggunaan seng
pada anak berusia >6 bulan dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 – 14
hari, dan pada bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10 – 14 hari
(Soebagyo dan Santoso, 2009). Suplementasi seng telah terbukti mampu
memperingan durasi dan keparahan diare serta kemungkinan infeksi selanjutnya
selama 2-3 bulan berikutnya (Khan dan Sellen, 2011).
Antibiotik diberikan jika ada indikasi saja, misalnya disentri (diare berdarah)
atau kolera. Pemberian antibiotik tidak rasional akan mengganggu keseimbangan
flora usus sehingga dapat memperpanjang lama diare dan Clostridium defficile akan
tumbuh yang menyebabkan diare sulit disembuhkan (IDAI, 2009). Pasien pada kasus
ini tidak mendapatkan terapi antibiotik. Pemberian obat pada pasien ini berupa terapi
simtomatis diberikan antipiretik dengan pilihan paracetamol 10mg/kgBB/8jam IV
apabila demam.
Selanjutnya tatalaksana terkait penyebab diare persisten yang dialami pasien
adalah menghindari (complete avoidance) segala bentuk produk susu sapi tetapi harus
memberikan nutrisi yang seimbang dan sesuai untuk tumbuh kembang pasien.
Nasihat kepada orang tua penting diberikan dalam penatalaksanaan diare persisten
karena alergi susu sapi. Selanjutnya pilihan utama susu formula pada bayi dengan
alergi susu sapi adalah susu hipoalergenik. Susu hipoalergenik ada dua yaitu susu
terhidrolisat ekstensif dan susu formula asam amino. Pada pasien ini gejala yang
muncul masih tegolong ringan – sedang sehingga pilihan susu yang dianjurkan untuk
pasien adalah susu terhidrolisat ekstensif. Apabila pasien tidak mengalami perbaikan
dengan susu terhidrolisat ekstensif, maka dapat diganti menjadi formula asam amino.
Penggunaan formula khusus ini dilakukan sampai usia pasien 9-12 bulan atau
minimal 6 bulan

27
28
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Diare Persisten
A. Pendahuluan
Diare kronik/persisten pada anak masih menjadi suatu masalah
kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Di
Indonesia, prevalensi diare kronis/persisten sebesar 0,1% dengan angka
kejadian tertinggi anak-anak berusia 6-11 bulan. Untuk menangani hal ini
didasarkan pada anamnesis umum tentang gejala diare, baik pada jenis
diare infeksi maupun non infeksi.1 Penyakit diare merupakan masalah
kesehatan di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Walaupun
telah banyak kemajuan diperoleh di bidang pemberantasan penyakit diare
di Indonesia namun hingga kini angka kesakitan diare tetap masih tinggi.
Angka kesakitan diare diperkirakan antara 120-130 kejadian per 1000
penduduk, 60% kejadian diare tersebut terjadi pada balita. Telah banyak
kemajuan yang diperoleh sehingga angka kematian dari diare akut sudah
dapat ditekan, tetapi angka kematian diare persisten pada anak balita masih
tinggi yaitu berkisar antara 23-62% dengan rata-rata 45%. Di samping itu
penderita diare persisten juga akan mengalami gangguan pertumbuhan di
kemudian hari.1 Terdapat faktor-faktor yang merupakan predisposisi
terjadinya diare persisten. Identifikasi faktor risiko diare persisten sangat
bermanfaat untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit dan
perencanaan intervensi pencegahan untuk menurunkan kejadian diare
persisten.1

B. Definisi
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih
lunak dan lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam

29
24 jam. Dalam referensi lain disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi
dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >10g/kg/24 jam, sedangkan rata-
rata pengeluaran tinja normal pada bayi sekitar 5-10 g/kg/24jam. Diare
umumnya dibagi menjadi menjadi diare akut dan diare kronis.
Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi
yang sama. Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare
lebih dari 2 minggu, sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan
menurun atau sukar naik didefinisikan penulis lain sebagai diare
persisten.4,5 Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare > 2
minggu, sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat
infeksi, sedangkan definisi menurut The American Gastroenterological
Association adalah episode diare lebih dari 4 minggu, dengan etiologi non-
infeksi.1,6
Bervariasinya definisi ini disebabkan perbedaan kejadian diare kronik
dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi
merupakan latar belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan
penyebab non-infeksi lebih banyak dibicarakan dan dideteksi di negara
maju. Di lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia
digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare ≥ 14 hari, yang juga
menggunakan istilah diare kronis dan diare persisten secara berbeda.

C. Epidemiologi
Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare
pada balita, insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang
berkisar antara 7-15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-
54% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini menunjukan bahwa
diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang
mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Di Indonesia diare
kronis/persisten sebesar 0,1% dengan angka kejadian tertinggi anak-anak

30
berusia 6-11 bulan.2 Penyebab diare persisten dan penyakit penyerta adalah
terbanyak adalah gizi buruk 36,6%, alergi susu sapi 31,7%, infeksi saluran
kemih 24,4%, HIV 19,5%.3

D. Etiologi
Penyebab diare terbagi menjadi 2 yaitu infeksi dan non infeksi: Diare
Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri, parasit, protozoa, cacing dan
virus ada. Contohnya adalah diare sekretorik.2 Diare non infeksi juga dapat
menimbulkan diare pada anak seperti: malabsorpsi laktosa, gangguan
motilitas usus, alergi susu sapi, defisiensi imun, logam berat, defisiensi
disakaridase contohnya adalah diare osmotik.2

E. Patogenesis
Patogenesis diare kronis dan persisten melibatkan berbagai faktor
yang sangat kompleks. Menghasilkan suatu konsep patogenesis diare
kronis yang menjelaskan bahwa paparan berbagai faktor predisposisi, baik
infeksi maupun non infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang pada
akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare
kronis/persisten. Seringkali diare kronis dan persisten tidak dapat
dipisahkan, sehingga beberapa referensi hanya menggunakan salah satu
istilah untuk menerangkan kedua jenis diare tersebut. Meskipun
sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda, namun kedua
jenis diare ini lebih sering dianggap karena infeksi.2

F. Faktor Risiko
Faktor utama mekanisme diare kronik dan persisten meliputi:
1. Faktor intralumen

31
Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam
lumen, termasuk gangguan pancreas, hepar, dan brush border
membrane.

2. Faktor mucosal
Faktor mukosal adalah faktor yang mempengaruhi pencernaan
dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses yang
mengakibatkan perubahan integritas membrane mukosa usus
(karena infeksi ataupun noninfeksi, seperti intoleransi laktosa),
ataupun gangguan pada fungsi transport protein, antara lain
gangguan penukar ion Natrium-Hidrogen dan Klorida-Bikorbonat.
Faktor risiko terjadinya diare persisten adalah kelompok usia <12
bulan, pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini, penundaan
pemberian ASI pertama pada awal kelahiran, dan manajemen yang tidak
tepat pada diare akut.

G. Patofisiologi
Secara umum patofisiologi diare kronis /persisten dibagi menjadi
lima mekanisme:
1. Sekretoris
Pada diare sekretoris terjadi peningkatan sekresi Cl- secara
aktif dari sel kripta akibat mediator intraseluler seperti cAMP,
cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga mencegah terjadinya
perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini berakibat
cairan tidak dapat diserap dan terjadi pengeluaran cairan secara
masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda
khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi
tinja yang sangat cair, konsentrasi Na+ dan Cl- >70 mEq, dan tidak
berespon terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare

32
sekretoris adalah Rotavirus dimana bakteri mengeluarkan toksin
yang mengaktivasi cAMP.5

2. Osmotik
Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika
terjadi kegagalan proses pencernaan atau penyerapan nutrien dalam
usus halus sehingga zat tersebut akan langsung memasuki colon.
Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen usus
sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak
hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada
kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan kontak
dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai
dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan
menimbulkan gangguan absorpsi nutrien.
Contoh klasik dari jenis diare ini diare akibat intoleransi
laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab infeksi
maupun noninfeksi yang didapat (sekunder) maupun bawaan
(primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam
keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini
kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk
laktat dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala
yang khas yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi reduktif,
dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu
diare. 2
3. Mutasi Protein Transpor
Congenital Chlorida Diarrhea (CLD) mutasi protein ini yang
mengatur pertukaranion Cl-/ HCO3- pada sel brush border apical
usus ileo-colon berdampak pada gangguan absorpsi Cl-dan
menyebabkan HCO3- tidak dapat tersekresi. Hal ini berlanjut pada

33
alkalosis metabolik dan pengasaman isi usus yang kemudian
menggangu proses absorpsi Na+/ kadar Cl- dan Na+ yang tinggi di
dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik.
Pada kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal
dengan konsekuensi polihidramnion, kelahiran prematur dan
gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum rendah,
sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah
dilaporkan di berbagai daerah di dunia. Selain mutasi pada penukar
Cl-/HCO3- didapat juga mutasi pada penukar Na+/H+ dan Na+
protein pengangkut asam empedu. 2
4. Pengurangan Luas Permukaan Anatomi Usus
Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-
kondisi tertentu seperti necrotizing enterocolitis, volvulus, atresia
intestinal, penyakit chron dan lain-lain diperlukan pembedahan
bahkan pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan
short bowed syndrome. Diare dengan patogenesis ini ditandai
dengan kehilangan cairandan elektrolit yang masif, serta
malabsorpsi makro dan mikronutrien. 2
5. Perubahan pada Pergerakan Usus
Akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, sklerodermia,
obstruksi usus, dan diabetes melitus mengakibatkan pertumbuhan
bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan
menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang berdampak
meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme
diare sekretorik. Perubahan gerakan usus pada diabetes melitus
terjadi akibat neuropati saraf otonom, misalnya saraf adrenergik,
yang pada kondisi normal berperan sebgai anti sekretori dan atau
proabsorbtif cairan usus sehingga gangguan pada fungsi saraf ini
memicu terjadinya diare. 6

34
H. Diagnosis
Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten meliputi:
1. Anamnesis
Anamnesis bertujuan untuk mengetahui perjalanan penyakit
diare, antara lain berapa lama diare sudah berlangsung dan
frekuensi buang air besar. Selain itu anamnesis juga bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor resiko penyebab diare, antara lain riwayat
pemberian makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak,
riwayat pemberian obat dan adanya penyakit sistemik.3
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten harus mencakup
perhatian khusus pada penilaian status dehidrasi, status gizi, dan
status perkembangan anak.
a. Edema mungkin menunjukan adanya protein losing
enteropathy yang merupakan akibat sekunder dari
inflammatory bowel disease, lymphangiekstasia, atau colitis.
b. Perianal rash merupakan akibat dari diare yang memanjang
dan juga tanda malabropsi karbohidrat karena feses bersifat
jadi lebih asam.
c. Tanda-tanda malnutrisi seperti cheilosis, rambut merah
jarang, mudah dicabut, lidah yang halus, badan yang kurus.3
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yaitu darah lengkap, elektrolit, ureum
darah, tes fungsi hati, vitamin asam folat, kalsium, ferritin, laju
endap darah, dan protein C reaktif.3
a. Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim
pankreas jika curiga ada pankreas, pH tinja <5 menandakan

35
adanya intoleransi laktosa. Kultur tinja diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi protozoa seperti
giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan dengan
kejadian diare persisten.3
b. Darah lengkap, hitung jenis leukosit, serum Ig deteksi adanya
defisiensi imun, HIV testing, LED, CRP, albumin,ureum
darah, elektrolit, tes fungsi hati, vitamin B12 , A,D, E, asam
folat, kalsium, feritin, waktu protrombin dan juga
mengevaluasi gangguan nutrisi akibat diare yang
berkepanjangan.3
c. Osmolalitas feses dan elektrolit feses untuk menghitung
osmotik gap dapat membantumembedakan antara diare
osmotik dengan diare sekretorik. Osmotik gap dihitungdengan
rumus 290-2 (Na+ + K+) osmotik gap > 50 mOSm
menunjukan diareosmotik.5,6
d. Barium meal
e. Endoskopi (curiga Inflammatory Bowel Disease)
f. Pemberian susu bebas laktosa (curiga intoleransi laktosa)

I. Tatalaksana
Manejemen diare persisten harus dilakukan secara bertahap dengan
meliputi:
1. Penilaian awal, resusitasi, dan stabilisasi
Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan
rehidrasi secepatnya. Diare persisten seringkali disertai gangguan
elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya
pada kondisi hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotic
spektrum luas perlu dipertimbangkan pada anak-anak yang

36
menunjukan gambaran kondisi kegawatan atau infeksi sitemik
sebelum hasil kultur diperoleh.6

2. Pemberian nutrisi
Kebutuhan energi dan protein pada diare persisten/kronis
berturut-turut sebesar 100an 2-3 kg/hari, sehingga diperlukan
asupan yang mengandung energi 1 kcal/g. Pilihan terapi nutrisi
dapat meliputi diet elemental, diet berbahan dasar susu, dan diet
berbahan dasar ayam.2 Rehabilitasi Nutrisi, pemasukan kalori secara
bertahap sampai 50% atau lebih diatas Recommended daily
allowance (RDA) untuk umur dan jenis kelamin. Pemberian kalori
dimulai dari 75 kkal/kgbb/hari dinaikkan bertahap sebesar
25kkal/kgbb/hari sampai bisa mencapai 200 kkal/kgbb/hari.6
3. Susu bebas laktosa
4. Pemberian susu protein kedelai
5. Enteral nutrisi melalui Naso Gastric Tube (NGT) jika anak sangat
lemah tidak bisa makan
Diet Elemental
Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri
atas asam amino kristalin atau protein hidrosilat, mono atau disakarida, dan
kombinasi trigliserida rantai panjang atau sedang. Kelemahan diet
elemental ini adalah harganya mahal. Selain itu rasanya tidak enak
membuat diet ini sulit diterima oleh anak-anak sehingga dibutuhkan
pemasangan pipa nasogastrik untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Oleh karena itu, diet elemental mayoritas hanya digunakan di negara maju.
Diet Berbahan Dasar Susu
Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki
keunggulan dalam mengatasi dan mencegah diare persisten. Antara lain

37
mengandung nutrisi dalam jumlah yang mencukupi, kadar laktosa yang
tinggi (7 gram laktosa/ 100 gram ASI, pada susu non ASI sebanyak 4,8
gram laktosa/ 100 gram) namun mudah diserap oleh sistem pencernaan
bayi, serta membantu pertahanan tubuh dalam mencegah infeksi. Proses
pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih cepat dibandingkan susu
non ASI, sehingga lambung lebih cepat kembali ke kondisi ph rendah,
dengan demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran
pencernaan. ASI juga dapat membantu mempercepat pemulihan jaringan
usus pasca infeksi karena mengandung epidermal growth factors. 5
Diet Berbahan Dasar Daging Ayam
Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antara lain bebas laktosa,
hipoosmolar, dan lebih murah. Sejumlah studi telah menunjukan bahwa
pemberian diet berbahan dasar unggas pada diare persisten memberikan
hasil perbaikan yang signifikan. Menunjukan durasi diare yang lebih
pendek secara bermakna pada anak dengan diare yang mendapat bubur
ayam dibandingkan yang mendapat bubur tempe. Namun demikian,
mengingat harga bubur refeeding ayam empat kali lebih tinggi daripada
bubur refeeding tempe, penggunaan bubur temper dapat menjadi pilihan
tatalaksana diare pada situasi keterbatasan kondisi ekonomi.5
Pemberian Mikronutrien
Defiensi zink, vitamin A dan besi pada diare persisten/ kronis
diakibatkan asupan nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan
mikronutrien melalui defekasi. Suplementasi multivitamin dan mineral
harus diberikan minimal dua RDA selama dua minggu. Satu RDA untuk
anak umur 1 tahun meliputi asan folat 50 mikrogram, zink 10 mg, Vitamin
A 400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg, dan magnesium 80 mg.
WHO merekomendasikan suplementasi zink untuk anak berusia < 6 bulan
sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak berusia > 6 bulan sebesar 20 mg
(1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari. Pemberian zink menurunkan

38
probablitas pemanjangan diare akut sebesar 24% dan mencegah kegagalan
terapi diare persisten.6

Probiotik
Pemberian susu yang mengandung Lactobacillus casei, Lactobacillus
acidophilus dan Saccharomyces boulardii pada penderita diare persisten
selama 5 hari menunjukan penurunan jumlah tinja, durasi diare, dan durasi
muntah yang menyertai. 6
Tempe
Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu
berhenti diare setelah 2,39 +- 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila
dibandingkan dengan anak yang mendapat bahan makanan campuran
beras-susu (rata-rata 2,94 = 0,33 hari), formula yang berbahan dasar tempe
dapat mempersingkat durasi diare akut serta mempercepat pertambahan
berat badan setelah menderita satu episode diare akut.6
Terapi Farmakologis
Antibiotik diberikan jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi
intestinal maupun ekstra-intestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah,
segera diberikan antibiotik yang sensitif untuk shigellosis. Metronidazol
oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada kondisi adanya
trofozoit Entamoeba histolityca dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia
lambia pada tinja jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian 2
antibiotik berbeda yang biasanya efektif untuk shigella. Jika dicurigai
penyebab infeksi lainnya, antibiotic disesuaikan hasil biakan tinja dan
sensitivitas.6
Follow Up
Follow up perlu dilakukan untuk memantau tumbuh kembang anak
sekaligus memantau perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak

39
menunjukan perbaikan dengan terapi diare persisten membutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan intractable
diarrhea, yaitu diare yang berlangsung lebih > 2 minggu dimana 50%
kebutuhan cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini
banyak ditemukan di negara maju, dan berhubungan dengan kelainan
genetik. Kegagalan manejemen nutrisi ditandai adanya peningkatan
frekuensi buang air besar dan diikuti tanda-tanda kembalinya dehidrasi,
atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari.6
Faktor Risiko dan Pencegahan
Malnutrisi, defiensi mikronutrien dan defiensi status imun pasca
infeksi atau trauma menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus,
sehingga menjadi kontribusi utama terjadinya diare persisten.7 Kejadian
diare persisten sangat terkait dengan pemberian ASI dan makanan.
Penderita diare persisten rata-rata mendapatkan ASI eksklusif 2,5 bulan
lebih singkat dibandingkan dengan yang tidak mendapat ASI. Penundaan
pemberian ASI pertama pada awal kelahiran juga merupakan salah satu
faktor risiko diare persisten.
Pemberian makan pendamping terlalu dini meningkatkan risiko
kontaminasi sehingga insidensi diare persisten semakin tinggi. Oleh karena
itu, pencegahan terhadap kejadian diare persisten meliputi pemberian ASI
ekslusif selama 6 bulan, pemberian makanan tambahan yang higienis, dan
manejemen yang tepat pada diare akut sehingga kejadian diare tidak
berkepanjangan Manejemen diare akut yang tepat meliputi pemberian
manejemen nutrisi dan suplementasi zink.7
Pemberian Makan Untuk Diare Persisten
Bayi berumur di bawah 6 bulan :
1. Semangati ibu untuk memberi ASI eksklusif. Bantu ibu yang tidak
memberi ASI eksklusif untuk memberi ASI eksklusif pada
bayinya.8

40
2. Jika anak tidak mendapat ASI, beri susu pengganti yang sama sekali
tidak mengandung laktosa. Gunakan sendok atau cangkir, jangan
gunakan botol susu. Bila anak membaik, bantu ibu untuk menyusui
kembali.8
3. Jika ibu tidak dapat memberi ASI karena mengidap HIV-positif, ibu
harus mendapatkan konseling yang tepat mengenai penggunaan
susu pengganti secara benar. 8
Anak berumur 6 bulan atau lebih :
Pemberian makan harus dimulai kembali segera setelah anak bisa
makan. Makanan harus diberikan setidaknya 6 kali sehari untuk mencapai
total asupan makanan setidaknya 110 kalori/kg/hari. Walaupun demikian,
sebagian besar anak akan malas makan, sampai setiap infeksi serius telah
diobati selama 24 – 48 jam. Anak ini mungkin memerlukan pemberian
makan melalui pipa nasogastrik pada awalnya. 8
Jika terdapat tanda kegagalan diet atau jika anak tidak membaik
setelah 7 hari pengobatan, diet yang pertama harus dihentikan dan diet
yang kedua diberikan selama 7 hari. 8
Evaluasi Hasil Diet
Pengobatan yang berhasil dengan diet dicirikan dengan:
1. Asupan makanan yang cukup
2. Pertambahan berat badan
3. Diare yang berkurang
4. Tidak ada demam
Ciri yang paling penting adalah bertambahnya berat badan.
Bertambahnya berat badan dipastikan dengan terjadinya penambahan berat
badan setidaknya selama tiga hari berturut- turut. 9 Beri tambahan buah
segar dan sayur-sayuran matang pada anak yang memberikan reaksi yang
baik. Setelah 7 hari pengobatan dengan diet efektif, anak harus kembali
mendapat diet yang sesuai dengan umurnya, termasuk pemberian susu,

41
yang menyediakan setidaknya 110 kalori/kg/hari. Anak bisa dirawat di
rumah, tetapi harus terus diawasi untuk memastikan pertambahan berat
badan yang berkelanjutan dan sesuai dengan nasihat pemberian makan.
Kegagalan diet ditunjukkan oleh:
1. Peningkatan frekuensi BAB anak (biasanya menjadi >10 berak
encer per harinya), sering diikuti dengan kembalinya tanda
dehidrasi (biasanya terjadi segera setelah dimulainya diet baru)
2. Kegagalan dalam pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari.9

II. Alergi Susu Sapi


A. Definisi
Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan
yang diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi
susu sapi biasanya dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang
diperantarai oleh IgE. Namun demikian ASS dapat diakibatkan oleh reaksi
imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan
antara keduanya.
B. Epidemiologi
Insidensi alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi terhadap
susu sapi masih mungkin terjadi pada 0.5% pada bayi yang mendapat ASI
eksklusif. Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE
dengan insidens 1.5% sedangkan sisanya adalah tipe non-IgE. Gejala yang
timbul sebagian besar adalah gejala klini yang ringan sampai sedang,
hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat.
C. Klasifikasi
Alergi susu sapi dapat dibagi menjadi:
1. IgE mediated, yaitu alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE.
Gejala klinis timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam setelah
mengonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat

42
timbul adalah urtikaria, angioedema, ruam kulit, dermatitis atopic,
muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis, bronkospasme, dan
anafilaksis, alergi susu sapi tipe dapat didukung dengan kadar IgE
susu sapi yang positif (uji tusuk kulit atau pemeriksaan IgE
spesifik/IgE RAST)
2. Non-IgE mediated, yaitu alergi susu sapi yang tidak diperantarai
oleh IgE, tetapi diperantarai oleh IgG. Gejala klinis timbul lebih
lambat (>1 jam) setelah mengonsumsi protein susu sapi.
Manifestasi klinis yang dapat timbul antara lain adalah allergic
eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterocolitis, proktokolitis,
anemia, dan gagal tumbuh.

D. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Tidak ada gejala yang patognomonik untuk alergi susu sapi. Gejala
akibat alergi susu sapi antara lain pada ganstrointestinal (50-60%), kulit
(50-60%), dan system pernapasan (20-30%). Gejala alergi susu sapi
biasanya timbul sebelum usia satu bulan dan muncul dalam satu minggu
setelah mengkonsumsi protein susu sapi. Gejala klinis akan muncul dalam
satu jam (reaksi cepat) atau setelah satu jam (reaksi lambat) setelah
mengkonsumsi protein susu sapi.
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi tipe IgE-mediated adalah
dengan melihat gejala klinis dan dilakukan uji IgE spesifik (uji tusuk kulit
atau RAST)
1. Jika hasil positif maka dilakukan eliminsai (penghindaran) makanan
yang mengandung protein susu sapi.
2. Jika hasil negatif maka dapat diberikan kembali makanan yang
mengandung protein susu sapi.
3. Untuk diagnosis pasti dapaat dilakukan uji eliminasi dan provokasi.

43
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi yang diperantarai non
IgE-mediated adalah dengan adanya riwayat alergi terhadap protein susu
sapi, diet eliminasi, uji provokasi makanan, dan kadang-kadang dibutuhkan
pemeriksaan tambahan seperti endoskopi dan biopsi.
Beberapa diagnosis banding yang perlu disingkirkan adalah kelainan
metabolisme bawaan, kelainan anatomi, coeliac disease, insufisiensi enzim
pankreas (cystic fibrosis), intoleransi laktosam keganasan, dan infeksi.
Keadaan yang menyulitkan adalah bila terdapat 2 keadaan/penyakit yang
terjadi bersamaan. Anak dengan penyakit refluks gastroesofageal juga
alergi terhadap susu sapi sebesar 15-20%.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. IgE spesifik
a. Uji tusuk kulit (skin prick test)
 Uji tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau
bagian punggung (jika didapatkan lesi kulit luas di lengan
bawah atau lengan terlalu kecil)
 Batasan usia terendah untuk uji tusuk kulit adalah 4
bulan. Hasil uji tusuk kulit biasanya lebih kecil pada anak
<2 tahun sehingga perlu interpretasi yang hati-hati.
 Bila uji kulit positif, kemungkinan alergi susu sapi
sebesar <50% (nilai duga positif <50%), sedangkan bila
uji kulit negatif berarti alergi susu sapi yang diperantarai
IgE dapat disingkirkan karena nilai duga negatif sebesar
>95%.
b. IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
 Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik
dengan uji kulit, tidak didapatkan perbedaan bermakna

44
sensitivitas dan spesifitas antara uji tusuk kulit dan uji IgE
RAST
 Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan karena adanya lesi kulit yang luas di daerah
pemeriksaan dan bila penderita tidak bisa lepas minum
obat antihistamin.
 Kadar serum IgE spesifik antibodi untuk susu sapi
dinyatakan positif jika > 5kIU/L pada anak usia ≤ 2 tahun
dan >15 kIU/L pada anak usia > 2 tahun. Hasil uji ini
mempunyai nilai duga positif <53% dan nilai duga negatif
95%, sensitivitas 57% dan spesifitas 94%.
2. Uji eliminasi dan provokasi
Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPFC)
merupakan uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi
makanan. Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Untuk itu dapat
dilakukan uji eliminasi dan provokasi terbuka. Uji eliminasi dan
provokasi masuk merupakan baku standar untuk diagnosis alergi
susu sapi. Selama eliminasi, bayi dengan gejala alergi ringan
sampai sedang diberikan susu formula terhidrolisat ekstensif,
sedangkan bayi dengan gejala berat diberikan susu formula berbasis
asam amino. Diet eliminasi 2-4 minggu tergantung berat ringannya
gejala. Diet eliminasi sampai 4 minggu bila terdapat gejala AD
berat disertai gejala saluran cerna kolitis alergi. Pada pasien dengan
riwayat alergi berat, uji provokasi dilakukan di bawah pengawasan
dokter dan dilakukan di rumah sakit atau klinik. Anak dengan uji
tusuk kulit dan uji RAST negative mempunyai risiko rendah
mengalami reaksi akut berat pada saat uji provokasi.

45
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi
muncul kembali, maka diagnosis alergi susu sapi pada saat uji
provokasi sampai 3 hari pasca provokasi (untuk menyingkirkan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat). Apabila uji provokasi negatif,
maka bayi tersebut diperbolehkan minum formula susu sapi.
3. Pemeriksaan darah pada tinja
Pada keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata
kadang sulit untuk dinilai, sehingga perlu pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan seperti chromium-51 labelled erythrocites pada feses
dan reaksi orthotolidin mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang
lebih baik disbanding uji guaiac/benzidin. Uji guaiac hasilnya
dipengaruhi oleh berbagai subtract non-hemoglobin sehingga
memberikan sensitivitas yang rendah (30-70%), spesivitas (88-
98%) dengan nilai duga positif palsu yang cukup tinggi.

F. Tatalaksana
1. Nutrisi
Prinsip utama terapi untuk alergi susu sapi adalah
menghindari (complete avoidance) segala bentuk produk susu sapi
tetapi harus memberikan nutrisi yang seimbang dan sesuai untuk
tumbuh kembang bayi/anak.
Bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat
melanjutkan pemberian ASI dengan menghindari protein susu sapi
dan produk turunannya pada makanan sehari-hari. ASI tetap
merupakan pilihan terbaikan pada bayi dengan alergi susu sapi.
Suplementasi kalsium perlu dipertimbangkan pada ibu menyusui
yang membatasi protein susu sapi dan produk turunannya.
Bayi yang mengonsumsi susu formula:

46
a. Pilihan utama susu formula pada bayi dengan alergi susu sapi
adalah susu hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu
yang tidak menimbulkan reaksi alergi pada 90% bayi/anak
dengan diagnosis alergi susu sapi bila dilakukan uji klinis
tersamar ganda dengan interval kepercayaan 95%. Susu
tersebut mempunyai peptide dengan berat molekul <1500
kDa. Susu yang memenuhi kriteria tersebut ialah susu
terhidrolisat ekstensif dan susu formula asam amino.
Sedangkan susu terhidrolisat parsial tidak termasuk dalam
kelompok ini dan bukan merupakan pilihan untuk terapi alergi
susu sapi.
b. Formula susu terhidrolisat ekstensif merupakan susu yang
dianjurkan pada alergi susu sapi dengan gejala klinis ringan
atau sedang. Apabila anak dengan alergi susu sapi dengan
gejala klinis ringan atau sedang tidak mengalami perbaikan
dengan susu terhidrolisat ekstensif, maka dapat diganti
menjadi formula asam amino. Pada anak dengan alergi susu
sapi dengan gejala klinis berat dianjurkan untuk mengonsumsi
formula asam amino.
c. Eliminasi diet menggunakan formula susu terhidrolisat
ekstensif atau formula asam amino diberikan sampai usia bayi
9 atau 12 bulan, atau paling tidak selama 6 bulan. Setelah itu
uji provokasi diulang kembali, bila gejala tidak timbul
kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba
diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi
diet dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.
Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia
atau terdapat kendala biaya, maka sebagai alternatif bayi dapat
diberikan susu formula yang mengandung isolate protein kedelai

47
dengan penjelasan kepada orang tua kemungkinan adanya reaksi
silang alergi terhadap protein kedelai pada bayi. Secara keseluruhan
angka kejadian alergi protein kedelai pada bayi berkisar 10-20%
dengan proporsi 25% pada bayi dibawah 6 bulan dan 5% pada bayi
siatas 6 bulan. Mengenai efek samping, dari beberapa kajian ilmiah
terkini menyatakan bahwa tidak terdapat bukti yang kuat bahwa
susu formula dengan isolate protein kedelai memberikan dampak
negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan, metabolisme
tulang sistem reproduksi, sistem imun, maupun fungsi neurologi
pada anak.
Pada bayi dengan alergi susu sapi, pemberian makanan padat
perlu menghindari adanya protein susu sapi dalam bubur susu atau
biskuit bayi.
Susu mamalia lain selain sapi bukan merupakan alternatif
karena berisiko terjadinya reaksi silang. Selain itu, susu kambing,
susu domba, dan sebagainya tidak boleh diberikan pada bayi di
bawah usia 1 tahun kecuali telah dibuat menjadi susu formula bayi.
Saat ini belum tersedia susu formula berbahan dasar susu mamalia
selain sapi di Indonesia.
2. Medikamentosa
a. Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala
yang terjadi
b. Antagonis reseptor H1 (antihistamin) generasi satu dan
generasi kedua dapat digunakan dalam penanganan alergi.
c. Jika didapatkan riwayat reaksi alergi vepat, anafilaksis, asma,
atau dengan alergi makanan yang berhubungan dengan reaksi
alergi yang berat, epinefrin harus dipersiapkan.

G. Prognosis

48
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka
remisi 45-55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua, dan 90%
pada tahun ketiga. Namun terjadinya alergi terhadap makanan lain juga
meningkat hingga 50% terutama jenis: telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan,
dan sereal dan alergi inhalan meningkat 50-80% sebelum pubertas.

49
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Diare persisten merupakan diare akut yang berlanjut lebih dari 14 hari.
Diare persisten sering berhubungan dengan malnutrisi dengan patogen penyebab
sama dengan diare akut. Patogenesis diare persisten berupa osmotik, sekretori,
gangguan motilitas usus dan proses inflamasi, yang biasanya saling berkaitan.
Pada kasus alergi susu sapi, bisa ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium berupa pemeriksaan IgE spesifik alergen atau IgE RAST untuk
menentukan alergi susu sapi IgE mediated atau non IgE mediated.
Tatalaksana untuk alergi susu sapi yaitu dengan complete avoidance.
Pada bayi disarankan untuk mengganti susu formula dengan susu formula yang
hipoalergenik. Apabila terjadi diare, diberikan tatalaksana 5 pilar diare, yaitu:
cairan, zinc, antibiotik (bila ada tanda infeksi), nutrisi, dan edukasi kepada
keluarga.

B. Saran
1. Untuk orang tua dan pasien
a. Jaga kesehatan dan kebersihan orang tua dan bayi.
b. Apabila bayi masih mengonsumsi ASI eksklusif, ibu disarankan untuk
menghindari konsumsi susu sapi dan turunannya.
c. Apabila bayi mengonsumsi susu formula, susu diganti dengan susu
hipoalergenik
d. Apabila terjadi reaksi hipersensitivitas, segera bawa bayi ke dokter.
2. Untuk dokter
a. Diharapkan dokter dapat lebih mempertajam kemampuan anamnesis
b. Diharapkan dapat melakukan pemeriksaan fisik dengan benar sehingga
dapat menyingkirkan diagnosis banding.

50
c. Diharapkan dapat menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat
sehingga dapat menegakkan diagnosis dengan baik.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Walker-smith J, Barnard J, Bhutta Z et al. Chronic diarrhea and


malabsorptionWorking Group Report Of the first World Congress of pediatric
gastroenterology,hepatology, and nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology
and nutrition. 2002;33. 11

2. Juffie M, Arief S, Rosalina I. Gastroenterohepatologi. Dalam: Yati Soenarto.


BukuAjar Gatroenterologi-Hepatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Penerbit
IDAI. Jilid1. 2010. Hal 121-132.

3. Hegar B, Yuliarti K, Gandaputra E. Buku Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan


DokterAnak Indonesia. Penerbit IDAI. Jilid 2. 2011. hal 56-63.

4. Alfa Yasmar, Prasetyo Dwi, Martiza Iesye. Gastrohepatologi. Dalam: Herry


Garna,Hida Melinda D Nataprawira, editor. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
KesehatanAnak. Ed 3. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran UniversitasPadjadjaran RS Dr Hasan Sadikin; 2005. hal 271-8.

5. Widiastuti E, Permono B. Buku Saku Kesehatan Anak. WHO. Ikatan Dokter


AnakIndonesia. Penerbit IDAI. 2009. hal 146-153.

6. Putra DS, Kadim M, Pramita GD, Badriul H, Aswitha B, Agus . 2008. Diare
Persisten: Karakteristik Pasien, Klinis, Laboratorium, dan Penyakit Penyerta.
SariPediatri, Vol. 10, No. 2. 27 Juli 2008.

7. Lannywati G. Faktor-faktor risiko diare persisten pada anak balita. Pusat


Penelitiandan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Tak Menular Badan
Penelitian RI.November 2008

8. International Child Health. 2007. Diare persisten. International Child


Health.http://www.ichrc.org/53-diare-persisten, 19 Oktober 2019

9. http://www.gizikia.depkes.go.id/wpontent/uploads/downloads/2011/09/.pdf. Diunduh
pada tanggal 19 Oktober 2019

10. IDAI. 2014. Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia.

52
53

Anda mungkin juga menyukai