Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KASUS

LAKI-LAKI 65 TAHUN DENGAN WEIL’ S DISEASE, ISKEMIA


ANTERIOR, ACUTE KIDNEY INJURY DD ACUTE ON CHRONIC
KIDNEY DISEASE, ANEMIA NORMOKROMIK NORMOSITIK E.C.
PERDARAHAN AKUT DD ON CHRONIC DISEASE, RIWAYAT
HEMATEMESIS MELENA E.C. NON VARICEAL DD VARICEAL
BLEEDING

DISUSUN OLEH :
RARI DEWINDA SUDARMAJI FILIANA
G991903051
Periode : 23 November 2020 s.d. 6 Desember 2020

RESIDEN PEMBIMBING

dr. Yohana Fillamina Setiawan dr. Laily Shofiyah, M.Kes, Sp.PK.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus kecil ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan


Klinik Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret /
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Presentasi kasus dengan judul:

LAKI-LAKI 65 TAHUN DENGAN WEIL’ S DISEASE, ISKEMIA


ANTERIOR, ACUTE KIDNEY INJURY DD ACUTE ON CHRONIC
KIDNEY DISEASE, ANEMIA NORMOKROMIK NORMOSITIK E.C.
PERDARAHAN AKUT DD ON CHRONIC DISEASE, RIWAYAT
HEMATEMESIS MELENA E.C. NON VARICEAL DD VARICEAL
BLEEDING

Telah dipresentasikan pada


Hari, tanggal : Selasa, 24 April 2018

Oleh:
Rari Dewinda Sudarmaji Filiana G991903051

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus Kecil

dr. Laily Shofiyah, M.Kes, Sp.PK.

1
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas penderita
Nama : Tn. S
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kerten, Laweyan, Surakarta
No RM : 01419xxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Distributor es balok
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 14 Mei 2018
Tanggal Periksa : 16 Mei 2018 jam 14.30 WIB

B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan saat hari ketiga
perawatan di Bangsal Penyakit Dalam Flamboyan 8 kamar 802D
RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Keluhan utama:
Demam tinggi sejak 7 hari SMRS.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien mengeluh demam tinggi sejak 7 hari SMRS. Pasien datang
ke IGD RSUD Dr. Moewardi 2 hari yang lalu dan merupakan rujukan
dari Rumah Sakit Slamet Riyadi Surakarta. Pasien datang ke IGD
RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan demam tinggi yang dirasakan
sejak 7 hari SMRS. Demam dirasakan naik turun, dan suhu tertinggi

2
mencapai 390C dengan pengukuran menggunakan termometer di
ketiak. Demam dirasakan hingga pasien menggigil. Menurut
penuturan keluarga, kadang pasien mengigau. Demam turun dengan
pemberian obat penurun panas tetapi beberapa jam kemudian demam
naik kembali. Demam diikuti dengan keluhan sakit kepala yang
dirasakan di semua bagian kepala.
Pasien juga mengeluh mual dan muntah yang dirasakan sejak 7
hari SMRS. Muntah + 4 kali sehari, setiap muntah sebanyak segelas
belimbing berisi makanan dan air. 4 hari SMRS pasien sempat muntah
dengan gumpalan darah sebanyak + 3 sendok makan tiap kali muntah.
Pasien mengeluhkan pegal dan nyeri di seluruh tubuh sejak 6 hari
SMRS. Nyeri dirasakan terutama di betis. Keluhan dirasakan terus-
menerus, tidak bertambah saat aktivitas dan tidak berkurang saat
istirahat.
Pasien BAK 2-3 kali sehari, tiap BAK setengah gelas belimbing
dengan warna coklat seperti teh sejak 6 hari SMRS. 3 hari SMRS,
BAK pasien mulai bertambah hingga + 1000 cc per hari. Keluhan
nyeri pinggang, anyang-anyangan, nyeri saat BAK, dan BAK
pasir/batu disangkal.
Pasien BAB 1-2 kali tiap hari, dengan konsistensi lembek,
berwarna hitam seperti petis, berbau amis, dan jika disiram berubah
warna menjadi merah sejak 5 hari SMRS. Saat pemeriksaan, pasien
sudah tidak BAB hitam. Keluhan obstipasi, perut kembung, dan diare
disangkal pada pasien.
Warna tubuh pasien berwarna menguning yang disadari pasien
sejak 4 hari SMRS. Warna kuning timbul di seluruh tubuh termasuk di
bagian mata pasien.
2 hari SMRS, muncul warna kemerahan pada kedua mata. Keluhan
tidak disertai dengan adanya penglihatan kabur dan tidak nyeri. Tidak
ada riwayat hipertensi, diabetes mellitus, asma, alergi obat dan

3
makanan, penyakit jantung, penyakit liver, maupun penyakit ginjal
pada pasien.
Pasien mengaku saat ini tidak ada keluarga dengan keluhan demam
serupa, dan tidak mengetahui adanya tetangga di kawasan rumah
dengan keluhan serupa. Pasien mengatakan di daerah tempat tinggal
pasien sering hujan dan di sekitar rumah pasien terdapat genangan-
genangan air. Pasien juga mengatakan di rumah pasien terdapat
banyak tikus, dan beberapa kali pasien kerap mengejar tikus di
selokan rumahnya untuk ditangkap karena sering merusak barang
milik pasien. Pasien mengaku tidak sedang habis bepergian jauh
ataupun berkunjung ke daerah pantai beberapa waktu lalu. Pasien
menyangkal adanya mimisan dan gusi berdarah. Pasien juga mengakui
adanya bercak-bercak di kedua kaki. Pasien menyangkal adanya
batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Keluhan nyeri dada dan sesak
napas juga disangkal oleh pasien.

Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat mondok : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat keluhan serupa : (+) kakak kedua pasien sempat dirawat di
rumah sakit karena keluhan serupa beberapa
tahun yang lalu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat DM : (+) kakak kedua pasien
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal

4
Pohon keluarga pasien:

DM
Tn. S, 65 tahun

: Laki-laki : Meninggal

: Perempuan

: Pasien

Riwayat kebiasaan
Makan Pasien makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk
bervariasi, dan sayur.
Merokok Disangkal.
Alkohol Disangkal.
Olahraga Pasien mengaku rutin melakukan aktivitas
olahraga seperti bulu tangkis 1 minggu sekali.
Konsumsi jamu Disangkal

5
Riwayat gizi
Pasien makan 3 kali dalam sehari. Porsi untuk sekali makan +
10-12 sendok makan dengan dengan lauk bervariasi dan sayur.

Riwayat sosial ekonomi


Pasien merupakan seorang penjual es balok. Saat ini, pasien
tinggal bersama anak keduanya. Pasien berobat menggunakan fasilitas
BPJS kelas III. Pasien mengatakan di daerah tempat tinggal pasien
sering hujan dan di sekitar rumah pasien terdapat genangan-genangan
air. Pasien juga mengatakan di rumah pasien terdapat banyak tikus,
dan beberapa kali pasien kerap mengejar tikus di selokan rumahnya
untuk ditangkap karena sering merusak barang milik pasien. Pasien
tidak mempunyai ternak maupun memelihara binatang di rumah.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 16 Mei 2018 jam 14.30 dengan hasil
sebagai berikut:
1. Keadaan umum
Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6, kesan gizi baik
2. Tanda vital
a. Tensi
1) Posisi berbaring : 130/80 mmHg di lengan sebelah kiri
2) Posisi duduk : 130/80 mmHg di lengan sebelah kiri
b. Nadi : 94 kali/ menit, reguler, isi dan tegangan
cukup
c. Frekuensi nafas : 20 kali /menit, reguler
d. Suhu : 39,30C, pengukuran dilakukan di axilla
e. VAS : 3 di betis
3. Status gizi
a. Berat badan : 60 kg

6
b. Tinggi badan : 165 cm
c. IMT : 22.01 kg/m2
d. Kesan : Normal
4. Kulit : Kulit berwarna coklat, ikterik (+), turgor menurun (-),
hiperpigmentasi (-), kering (-), petechie (+), ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, warna rambut hitam, mudah rontok
(-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva palpebra pucat (+/+),
sklera ikterik (+/+), subkonjungtival suffusion (+/+),
pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek
cahaya (+/+)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-),
krepitasi (-), deviasi septum nasi (-)
9. Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-), oral thrush (-), lidah kotor (-), tonsil T1-
T1, uvula (+) di tengah, faring hiperemis (-)
10. Leher : Leher kaku (-), JVP R+2 cm, trakea di tengah, simetris,
pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar
getah bening leher (-), nyeri tekan pada KGB (-), distensi
vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan
sejajar kiri, retraksi intercostal (-), sela iga melebar (-),
pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-),
ginekomastia (-), spider naevi (-)
12. Jantung
 Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V
linea mid clavicula sinistra 1 cm ke medial

7
 Perkusi : Batas jantung kanan atas di SIC II linea sternalis
dextra, batas jantung kanan bawah di SIC IV linea
sternalis dextra, batas jantung kiri atas di SIC II
linea parasternalis sinistra, batas jantung kiri
bawah di SIC V linea mid clavicularis sinistra.
Kesan batas jantung tidak melebar
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,
gallop (-), murmur (-).
13. Pulmo
a. Depan
 Inspeksi
o Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak
melebar, iga tidak mendatar
o Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan =
kiri, sela iga tidak melebar, retraksi
intercostal (-)
 Palpasi
o Statis : Simetris
o Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri,
fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan
(-)
 Perkusi
o Kanan : Sonor, pekak pada batas relatif paru-
hepar pada SIC VI linea
medioclavicularis dextra
o Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada
SIC V linea medioclavicularis sinistra
 Auskultasi
o Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-),
ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)

8
o Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-),
ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)

b. Belakang
 Inspeksi
o Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak
melebar, iga tidak mendatar
o Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan =
kiri, sela iga tidak melebar, retraksi
intercostal (-)
 Palpasi
o Statis : Simetris
o Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri,
fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan
(-)
 Perkusi
o Kanan : Sonor
o Kiri : Sonor
o Peranjakan diafragma 5 cm
 Auskultasi
o Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-),
ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
o Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (-),
ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
13. Abdomen
 Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,
distensi (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-),
caput medusae (-), perut seperti papan (-)

9
 Auskultasi : Bising usus (+) 10 x / menit, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
 Perkusi : Timpani, pekak alih (-), liver span kanan 10 cm,
liver span kiri 7 cm
 Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien
tidak teraba
14. Rectal touché : Tonus muskulus sfingter ani (+), mukosa licin (+),
massa (-), feses kecoklatan (+), sarung tangan
lendir darah (-)
15. Ekstremitas
Akral dingin _ _ Oedem _ _
_ _ _ _

Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), palmar


eritema (-/-), akral dingin (-/-), ikterik (+/+),
luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan
dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-), asterixis
(-/-), palmar eritem (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin (-/-), ikterik (+/+), kuku pucat (-/-),
spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail
(-/-), nyeri tekan M. gastrocnemius (+/+),
deformitas (-/-), petechie (+/+), nyeri gerak
(-/-), luka terbuka di punggung kaki kanan
ukuran 1x1 cm sudah mulai terbentuk
epitelisasi

10
16. Kriteria Faine yang dimodifikasi (2012)
A: Data Klinis Skor Skor Pasien
 Sakit kepala 2 2
 Demam 2 2
 Jika demam, suhu > 390C 2 2

 Injeksi konjungtiva (bilateral) 4 4

 Meningismus 4 -

 Mialgia (terutama otot betis) 4 4


10 -
 Injeksi konjungtiva +
meningismus + mialgia
1 1
 Ikterus
2 -
 Albuminuria atau retensi
nitrogen
2 -
 Hemoptisis atau dyspneu
B: Faktor Epidemiologis Skor Skor Pasien
 Curah hujan 5 5
 Kontak dengan lingkungan 4 4
terkontaminasi
 Kontak dengan binatang 1 1
C: Temuan Bakteriologis dan Skor Skor Pasien
Laboratorium
 Isolasi Leptospira pada kultur Diagnosa pasti
 PCR 25
 Serologi positif:
o ELISA IgM positif; SAT* 15
positif; rapid test lain***,
satu kali titer tinggi pada
MAT** (masing-masing
dari ketiga pemeriksaan
ini harus diberikan nilai)

11
o Peningkatan titer MAT** 25
atau serokonversi (serum
yang berpasangan)
Total 25
Probable
Leptospirosis

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium darah (RSUD Dr. Moewardi, 14 Mei 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 9.8 g/dl 13.5 – 17.5
Hct 28 % 33 – 45
AL 10.8 103 /  L 4.5 – 11.0
AT 119 103 /  L 150 – 450
AE 3.29 106/  L 4.50 – 5.90
HEMOSTASIS
PT 13.8 Detik 10.0 – 15.0
APTT 27.3 Detik 20.00 – 40.0
INR 1.080
KIMIA KLINIK
GDS 98 mg/dl 60 – 140
SGOT 45 u/l <35
SGPT 40 u/l <45
Bilirubin total 24.91 mg/dl 0.00 – 1.00
Kreatinin 5.9 mg/dl 0.9 – 1.3
Ureum 241 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 137 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 3.8 mmol/L 3.3 – 5.1

12
Calsium Ion 1.19 mmol/L 1.17 – 1.29
HEPATITIS
HbsAg Rapid Nonreactive Nonreactive
EGFR berdasar rumus CKD-EPI Creatinine = 9 ml/menit/1.73m2
Simpulan : Anemia normositik normokromik, trombositopenia,
hyperbilirubinemia, Penurunan Fungsi Ginjal RIFLE-Fafilure/AKIN stage
III

2. Pemeriksaan Urin (RSUD Dr. Moewardi, 14 Mei 2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Makroskopis
Warna Dark Yellow
Kejernihan Clear
Kimia urine
Berat jenis 1.014 1.015-1.025
PH 5.5 4.5 – 8.0
Leukosit 25 /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Negatif Mg/dl Negatif
Glukosa Normal Mg/dl Normal
Keton Negatif Mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal Mg/dl Normal
Bilirubin 2 Mg/dl Negatif
Eritrosit 0.2 Mg/dl Negatif
Mikroskopis
Leukosit 2.3 /LPB 0-12
Epitel
Squamous 0–2 /LPB Negatif
Transitional - /LPB Negatif
Bulat - /LPB Negatif

13
Silinder
Hyaline 0 /LPK 0-3
Granulated 0-2 /LPK Negatif
Leukosit - /LPK Negatif
Bakteri 4.4 /Ul 0.0 – 2.150
Small Round Cell 0.0 /uL 0.0 – 0.0
Mukus 0.12 /uL 0.00 – 0.00
Sperma 0.0 /uL 0.0 – 0.0
Produktivitas 13.5 mS/cm 3.0 – 32.0
Lain-lain Eritrosit 10-12/LPB. Leukosit 2-3/LPB.
Benang mucus (+).
Kesan Bilirubinuria, hematuria, silinderuria,
hiperhidrasi

3. Pemeriksaan Feses Rutin (RSUD Dr. Moewardi, 14 Mei 2018)


HASIL PEMERIKSAAN PARASITOLOGI FECES
A. Makroskopis Hasil Nilai Normal
Konsistensi Cair Lunak berbentuk
Warna Coklat Kuning coklat
Darah Negatif Negatif
Lender Positif Negatif
Lemak Negatif Negatif
Pus Negatif Negatif
Negatif Neg/ditemukan
Makanan tidak terecerna
sedikit
Parasit Negatif Negatif
B. Mikroskopis
Sel epitel Negatif Neg/ditemukan
sedikit
Leukosit Positif (+) Neg/ditemukan

14
sedikit
Eritrosit Negatif Negatif
Negatif Neg/ditemukan
Makanan tidak tercerna
sedikit
Telur cacing Negatif Negatif
Larva cacing Negatif Negatif
Proglotid cacing Negatif Negatif
Protozoa Negatif Negatif
Yeast/pseudohifa Yeast cell (+) Negatif
Pseudohifa (+)
Kesimpulan:
Ditemukan yeast cell dan pseudohifa pada sample feces.

4. Pemeriksaan EKG
(RSUD Dr. Moewardi, 14 Mei 2018)

Kesimpulan: Sinus ritmis, HR 94 x/menit, normoaxis, iskemia anterior


(ST depresi tipe upsloping dan t inversi di V1-4)

15
5. Hasil Pemeriksaan Foto Thorax PA
(RSUD Dr. Moewardi, 14 Mei 2018)

Foto Thorax AP (inspirasi kurang/ tidak simetris)


Cor : Ukuran dan bentuk kesan membesar
Paru : Tampak infiltrat disertai air brochogram di paracardial kanan
dan kiri
Sinus costophrenicocostalis kanan kiri tajam
Hemidiaphagma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan:
1. CTR tidak valid dinilai
2. Pneumonia

16
IV. RESUME
1. Keluhan utama
Demam tinggi sejak 7 hari SMRS.
2. Anamnesis:
 Riwayat demam tinggi naik turun sejak 7 hari SMRS
 Mual dan muntah yang dirasakan sejak 7 hari SMRS.
 4 hari SMRS pasien sempat muntah dengan gumpalan darah
sebanyak ± 3 sendok makan tiap kali muntah
 Pegal dan nyeri di seluruh tubuh sejak 6 hari SMRS. Nyeri
dirasakan terutama di betis.
 BAK setengah gelas belimbing dengan warna coklat seperti teh
sejak 6 hari SMRS.
 Riwayat BAB berwarna hitam sejak 5 hari SMRS.
 Warna tubuh pasien menguning sejak 4 hari SMRS.
 2 hari SMRS, muncul warna kemerahan pada kedua mata.
3. KUVS:
Tekanan darah: 130/80 mmHg; Suhu 39,3oC;
Pemeriksaan fisik:
Kulit : ikterik (+); mata : konjungtiva palpebra pucat (+/+),
sklera ikterik (+/+), subconjunctival suffusion (+/+); ekstremitas
superior dan inferior : ikterik (+); nyeri tekan m. gastrocnemius
kanan dan kiri (+); kedua kaki : petechie (+), terdapat luka di
punggung kaki kanan dengan ukuran 1x1 cm dengan dasar
jaringan granulasi.
Pemeriksaan tambahan:
Faine Score Termodifikasi: 25
Laboratorium darah:
Anemia normositik normokromik, trombositopenia,
hyperbilirubinemia, Penurunan Fungsi Ginjal  RIFLE-
Fafilure/AKIN stage III

17
Urinalisis :
Bilirubinuria, hematuria, silinderuria
Feses rutin :
Ditemukan yeast cell dan pseudohifa pada sample feces.
EKG :
Sinus ritmis, HR 94 x/menit, normoaxis, iskemia anteroseptal

V. DIAGNOSIS ATAU PROBLEM


1. Weil’s disease
2. Acute kidney injury dd acute on chronic kidney disease
3. Iskemia anterior
4. Anemia normositik normokromik e.c. perdarahan akut dd penyakit
kronis
5. Riwayat hematemesis melena e.c. non variceal dd variceal bleeding

VI. TATALAKSANA
1. Bedrest tidak total
2. O2 3 lpm nasal kanul
3. Infus EAS primmer 1 fl/24 jam
4. Diet ginjal 1700 kkal
5. Penisilin G 1,5 juta Unit/6 jam
6. Paracetamol 500 mg/8 jam p.o
7. Injeksi Resfar 6 cc dalam 100 cc NS/24 jam
8. Injeksi Omeprazole 40 mg/12 jam
9. Sucralfate syrup 15 cc/8 jam
10. Rujuk Pro Hemodialisa

VII. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia
Ad Sanam : dubia
Ad Fungsionam : dubia

18
VIII. USULAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. IgM & IgG anti-leptospira


2. MAT
3. Pemeriksaan profil Lipid (Kolesterol Total, HDL, LDL, Trigliserida)
4. Pemeriksaan biomarka jantung
5. Guaiac Test/ darah samar

Tambahan
1. Esophagogastroduodenoscopy (EGD)
2. Pro USG Urologi

19
RENCANA AWAL

Rencana
Pengkajian Rencana Rencana
No Diagnosis Awal Rencana Terapi
(Assesment) Edukasi Monitoring
diagnosis
1. Weil’s disease Anamnesis: IgM dan IgG  Bedrest tidak total Penjelasan  KUVS/8
RPS: anti-leptospira  Injeksi Ceftriaxone kepada pasien jam
Demam 7 hari, demam > 390C, MAT 2 gr/24 jam mengenai  Balance
mata merah, mata dan tubuh  Paracetamol 500 kondisi, cairan/8 jam
kuning, nyeri pada betis, BAB mg/8 jam p.o. prosedur  Monitoring
hitam, BAK sempat sedikit dan diagnosis dan tanda
berwarna seperti teh. Pasien tatalaksana perdarahan
mengatakan di daerah tempat beserta spontan
tinggal pasien sering hujan dan komplikasi yang  Hitung
di sekitar rumah pasien terdapat dapat terjadi. trombosit/ 3
genangan-genangan air. Pasien hari
juga mengatakan di rumah  Monitoring
pasien terdapat banyak tikus, efektifitas
dan beberapa kali pasien kerap

19
mengejar tikus di selokan pemberian
rumahnya untuk ditangkap obat
karena sering merusak barang
milik pasien
Faine Score : 23
Pemeriksaan fisik:
 Kulit : ikterik (+)
 Mata : subconjunctival
suffusion (+/+), ikterik (+/+)
 Kedua kaki: petechie (+)
 Nyeri tekan m.
gastrocnemius (+/+)
 Terdapat luka di punggung
kaki kanan dengan ukuran
1x1 cm sudah mulai
terbentuk epitelisasi

Pemeriksaan penunjang:

20
 SGOT : 45 u/L
 Bilirubin total : 24.91 mg/dl
 Trombosit : 119 ribu/ul
 EGFR berdasar rumus CKD-
EPI Creatinine = 9
ml/menit/1.73m2
Komplikasi :
 Gagal ginjal (acute kidney
injury)
 ARDS
 Perdarahan masif
 Sepsis
2. Acute kidney Anamnesis:  USG  Diet ginjal 1700 Penjelasan  Balance
injury dd acute  BAK sempat sedikit dan urologi kkal kepada pasien cairan per 6
on chronic berwarna keruh sejak 6 hari  Infus EAS mengenai jam
kidney disease SMRS pfrimmer 1 fl/24 kondisi,
Pemeriksaan fisik:- jam prosedur
 Injeksi Resfar 6 cc diagnosis dan

21
Pemeriksaan penunjang: dalam 100 cc tatalaksana
 Ureum: 241 mg/dl NS/24 jam beserta
 Creatinin: 5.9 mg/dl  Hemodialisa komplikasi yang
 Pemeriksaan Urin: Kesan dapat terjadi.
bilirubinuria, hematuria,
silinderuria.
 EGFR berdasar rumus CKD-
EPI Creatinine = 9
ml/menit/1.73m2
Komplikasi :
Gagal ginjal kronis, urosepsis
3. Iskemia Anamnesis : -  Profil lipid  O2 3 lpm nasal Penjelasan  EKG rutin
anteroseptal Pemeriksaan fisik:- kanul kepada pasien setiap hari
Pemeriksaan penunjang: mengenai
 EKG: T inverted di lead V1- kondisi,
V3 prosedur
diagnosis dan
tatalaksana

22
beserta
komplikasi yang
dapat terjadi.
4. Riwayat Anamnesis:  Benzidime  Injeksi Omeprazole Penjelasan  Monitoring
hematemesis  BAB hitam, konsistensi test 40 mg/12 jam kepada pasien darah rutin
melena e.c. lembek, jika disiram berubah  EGD  Sucralfate syrup 15 mengenai setiap 3 hari
non variceal warna menjadi merah sejak 5 cc/8 jam kondisi,  Monitoring
dd variceal hari SMRS prosedur tanda
bleeding  4 hari SMRS muntah dengan diagnosis dan perdarahan
gumpalan darah sebanyak ± 3 tatalaksana spontan
sendok makan setiap kali beserta
muntah komplikasi yang
Pemeriksaan fisik: - dapat terjadi.
Pemeriksaan penunjang:
 Trombosit : 119 ribu/ul
 Feses rutin: Ditemukan yeast
cell dan pseudohifa pada
sample feses.

23
BAB II
ANALISIS KASUS

Menurut data anamnesis, pasien sedang mengalami demam akut selama 7 hari hingga
menggigil dan tidak bisa beraktivitas (mengindikasikan demam tinggi). Selain itu secara klinis
didapatkan myalgia, nyeri tekan m. gastrocnemius kanan dan kiri, juga kulit yang kekuningan
ditambah data epidemiologis telah terjadinya banjir di daerah tempat tinggal pasien dan keluhan
yang sama pada kakak pasien maka dapat diambil keputusan pasien termasuk ke dalam suspek
leptospirosis. Dari Kriteria Faine yang dimodifikasi didapat nilai total 25 poin pada kategori
epidemiologi dan gejala klinis sehingga probable leptospirosis dan bisa ditegakkan bila terdapat
temuan laboratorium spesifik.
Untuk mengambil keputusan selanjutnya secara klinis (menurut pedoman
penatalaksanaan Leptospirosis di Indonesia tahun 2016) dengan adanya kulit ikterik, sklera ikterik,
nyeri perut, mual, muntah, diare, riwayat oliguria, dan perdaraham maka pasien menderita
Leptospirosis Sedang-Berat sehingga harus menjalani Rawat Inap.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal,
peningkatan lipase, pemeriksaan bilirubin, dan urinalisis, tetapi ada beberapa pemeriksaan belum
dilakukan dengan lengkap sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Hasil laboratorium
yang menunjukkan adanya leptospirosis adalah adanya anemia yang mungkin disebabkan oleh
perdarahan yang terjadi, penurunan fungsi ginjal yang mengindikasikan adanya organ damage
karena salah satu komplikasi dari leptospirosis adalah adanya gagal ginjang akut di renal. Dari
urinalisis dapat diketahui adanya bilirubinuria, leukosuria, dan hematuria mikroskopisyang
mendukung diagnosis leptospirosis. Dari gambaran darah tepi juga didapatkan neutrofilia absolut
yang mengindikasikan adanya infeksi bakteri akut dan trombositopenia yang mengindikasikan
adanya perdarahan. Dari hasil laboratorium juga ditemukan adanya sedikit peningkatan SPOT
yang bisa mengindikasikan adanya rabdomyolisis, juga terjadi trombositopenia yang disebabkan
oleh terikatya trombosit dengan factor von Wilbrand sehingga terjadi clot yang abnormal dan
bermanifestasi pada perdarahan11.
Untuk menegakkan diagnosis leptospirosis dengan lebih cepat dapat dilakukan dengan
menggunakan uji aglutinasi mikroskopis (MAT) yang perlu diinterpretasikan secara hati-hati

24
karena antibody bisa bertahan bertahun-tahun setelah infeksi sehingga dapat menyebabkan
terjadinya nilai palsu. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan antibody IgM spesifik leptospira.
Kemudian dari skrining fungsi ginjal didapatkan kreatinin naik 4,5kali dari batas atas
normal kreatinin orang sehat sehingga sudah masuk ke dalam AKI RIFLE-failure atau AKIN stage
3 atau KDIGO stage 3, kondisi ini juga bisa menjadi salah satu etiologi terjadinya anemia pada
pasien karena EPO yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah malah tidak terbentuk sehingga
AKI masih bisa di diagnosis bandingkan dengan acute on CKD.
Dari pemeriksaan EKG yang digunakan untuk skrining pasien lebih dari 40 tahun
didapatkan adanya ganbaran iskemia anterior dengan adanya ST depresi tipe upsloping dengan T
inverted di lead V1-4. Belum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk temuan ini sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan HS-Troponin untuk mengetahui adanya peningkatan biomarka jantung
sehingga bisa dibedakan antara NSTEMI dan UAP. Selain itu juga perlu dilakukan penilaian risiko
dengan mengetahui profil lipid (Pedoman Tatalaksana Penyakit Jantung Koroner 2018).
Dari anamnesis juga didapatkan adanya BAB seperti petis yang jika disiram akan
berubah warna menjadi merah. Kemudian dari Darah rutin didapatkan adanya Anemia dan jika
dihitung maka didapatkan hasil konstanta RBC menjadi anemia normositik normokromik. Hasil
Perhitungan ini dikonfirmasi dengan AGD yang menyatakan hal yang sama. Untuk lebih
mengetahui etiologi dari anemia ini maka perlu dilakukan pemeriksaan retikulosit dan RDW.
Dari anamnesis juga diakui bahwa pasien 4 hari SMRS mengalami muntah dengan
gumpalan darah dan BAB hitam yang mungkin terjadi hematemesis melena, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan feses rutin dengan hasil ditemukan yeast cell dan pseudohifa pada sampel
feses yang mengindikasikan adanya infeksi jamur di saluran cerna, hal ini dapat disebabkan oleh
hygiene pasien yang kurang dan kondisi imunitas pasien yang sedang turun. Karena belum
menjawab adanya perdarahan maka perlu dilakukan tes darah samar dan untuk mengexclude dari
penyebab perdarahan anatomis perlu dirujuk ke spesialis penyakit dalam untuk melakukan
esophagogastroduodenoscopy.

25
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Leptospirosis
A. DEFINISI LEPTOSPIROSIS
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
patogen spirochaeta, genus Leptospira. Spirochaeta ini pertama kali diisolasi
di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh Adolf Weil tahun
1886. Weil menemukan bahwa penyakit ini menyerang manusia dengan
gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal.2
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan
binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat
menjangkiti manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi
di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam
banjir karena memang muncul dikarenakan banjir.3,6
Dibeberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama demam
icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit swinherd, demam rawa,
penyakit weil, demam canicola (PDPERSI Jakarta, 2007). Leptospirosis
adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman leptospira patogen (Saroso,
2003).3,6
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan
Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever,
Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious jaundice,
Field fever, Cane cutter dan lain-lain (WHO, 2003). 3,6
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia,
tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta
leptospira icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus
(Swastiko, 2009).3,6
Leptospirosis merupakan istilah untuk penyakit yang disebabkan oleh
semua leptospira tanpa memandang serotipe tertentu. Hubungan gejala klinis

26
dengan infeksi oleh serotipe yang berbeda membawa pada kesimpulan bahwa
suatu serotipe leptospira bertanggung jawab terhadap berbagai macam
gambaran klinis, sebaliknya suatu gejala seperti meningitis aseptik dapat
disebabkan oleh berbagai serotipe. Oleh karena itu lebih disukai untuk
menggunakkan istilah umum leptospirosis dibanding Weil’s Disease dan
demam kanikola.3
B. ETIOLOGI LEPTOSPIROSIS
Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta, dapat menyebabkan
penyakit infeksius yang disebut leptospirosis. Leptospira merupakan
organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15 μm, disertai
spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 μm. Salah satu ujung bakteri ini seringkali
bengkok dan membentuk kait.2,4,6
Leptospira memiliki ciri umum yang membedakannya dengan bakteri
lainnya. Sel bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3-5
lapis. Di bawah membran luar, terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel
dan helikal, serta membran sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini adalah
lokasi flagelnya, yang terletak diantara membran luar dan lapisan
peptidoglikan. Flagela ini disebut flagela periplasmik. Leptospira memiliki
dua flagel periplasmik, masing-masing berpangkal pada setiap ujung sel.
Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat dengan menggunakan
mikroskop lapangan gelap.2,4,6

Gambar 1. Leptospira interrogans

27
Gambar 2. Bakteri Leptospira sp. menggunakan mikroskop elektron tipe
scanning

Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan, tumbuh


paling baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH 7,4. Media
yang bisa digunakan adalah media semisolid yang kaya protein, misalnya
media Fletch atau Stuart. Lingkungan yang sesuai untuk hidup leptospira
adalah lingkungan lembab seperti kondisi pada daerah tropis.2,4,6
Berdasarkan spesifisitas biokimia dan serologi, Leptospira sp. dibagi
menjadi Leptospira interrogans yang merupakan spesies yang patogen dan
Leptospira biflexa yang bersifat tidak patogen (saprofit). Sampai saat ini telah
diidentifikasi lebih dari 200 serotipe pada L.interrogans. Serotipe yang paling
besar prevalensinya adalah canicola, grippotyphosa, hardjo,
icterohaemorrhagiae, dan pomona.2,4,6
Infeksi pada manusia terjadi akibat tertelan makanan atau minuman yang
tercemar air kencing hewan yang sakit leptospirosis selain itu kuman dapat
masuk ke dalam tubuh melalui luka pada kulit atau selaput lendir jaringan
tubuh. Hewan-hewan yang dapat menularkan leptospirosis selain anjing
adalah sapi, babi, dan tikus. Meskipun banyak binatang tidak menunjukkan
gejala penyakit, tetapi 1 dari 10 anjing yang terinfeksi leptospirosis akan
mati5

28
C. EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS

Leptospirosis diperkirakan merupakan zoonosis yang paling luas tersebar


di dunia. Kasus-kasus dilaporkan secara teratur dari seluruh dunia kecuali
Antartika dan terutama paling banyak di daerah tropis. Meskipun leptospirosis
bukan merupakan penyakit umum, penyakit ini sudah pernah dilaporkan dari
seluruh daerah Amerika Serikat, termasuk daerah kering seperti Arizona.
Leptospira biasa terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu,
kuda, kucing, marmut, atau binatang-binatang pengerat lainnya seperti tupai,
musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut
leptospira hidup di dalam ginjal/air kemihnya. Tikus merupakan vektor utama
dari L.icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia.3,6

Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta
berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus
ikut mengalir dalam filtrat urin. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah
beriklim sedang, masa puncak insiden dijumpai pada musim panas dan musim
gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan
hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis insiden tertinggi terjadi selama
musim hujan.3,6

Di daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka kejadian leptospirosis


berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di daerah subtropis angka
kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 per tahun. Case fatality rate (CFR)
leptospirosis di beberapa bagian dunia dilaporkan berkisar antara <5%-30%.
Angka ini memang tidak terlalu reliabel mengingat masih banyak daerah di
dunia yang angka kejadian leptospirosisnya tidak terdokumentasi dengan baik.
Selain itu masih banyak kasus leptospirosis ringan belum didiagnosis secara
tepat.7

29
D. PENULARAN LEPTOSPIROSIS

Transmisi bakteri leptospira ke manusia dapat terjadi karena ada kontak


dengan air atau tanah yang tercemar urin hewan yang mengandung leptospira.
Selain itu penularan bisa juga terjadi karena manusia mengkonsumsi makanan
atau minuman yang terkontaminasi dengan bakteri leptospira.7

Gambar 3. Siklus penularan leptospirosis

Faktor lingkungan memiliki peranan penting dalam proses penularan


leptospirosis. Faktor lingkungan tersebut meliputi lingkungan fisik, biologik,
dan sosial. Salah satu pengaruh lingkungan sosial adalah mengenai jenis
pekerjaan. Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit leptospirosis antara lain:
petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan, pekerja pengontrol tikus,
tukang sampah, pekerja selokan, buruh tambang, tentara, pembersih septic
tank dan pekerjaan yang selalu kontak dengan binatang. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Agus (2008) di Kabupaten Demak
menunjukkan beberapa faktor risiko kejadian leptospirosis yaitu pekerjaan
yang melibatkan kontak tubuh dengan air (OR=17,36; p:0,001), keberadaan

30
sampah di dalam rumah (OR=7,76; p:0,008), keberadaan tikus di dalam dan
sekitar rumah (OR=10,34; p:0,004), kebiasaan tidak memakai alas kaki
(OR=24,04; p:0,001), kebiasaan mandi/cuci di sungai (OR=12,24; p:0,001),
tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis (OR=4,94; p:0,022).7

E. MANIFESTASI KLINIK LEPTOSPIROSIS

Manifestasi klinik pada leptospirosis berkaitan dengan penyakit febril


umum dan tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis.9 Secara khas
penyakit ini bersifat bifasik, yaitu fase leptospiremi/ septikemia dan fase
imun.8,9
1. Fase leptospiremi atau septikemia
Masa inkubasi dari leptospira virulen adalah 7-12 hari, rata-rata 10
hari. Untuk beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat yaitu 2 hari
atau bahkan bisa memanjang sampai 30 hari.10 Fase ini ditandai
adanya demam yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit
kepala, mialgia, ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion, dan
tampak lemah.8,9
Demam tinggi dan bersifat remiten bisa mencapai 40ºC sebelum
mengalami penurunan suhu tubuh. Conjunctival suffusion merupakan
tanda khas yang biasanya timbul pada hari ke-3 atau ke-4 sakit.20
Selama fase ini, leptospira dapat dikultur dari darah atau cairan
serebrospinal penderita. Tes serologi menunjukkan hasil yang negatif
sampai setidaknya 5 hari setelah onset gejala. Pada fase ini mungkin
dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi splenomegali kurang umum
dijumpai. Pada hitung jumlah platelet, ditemukan adanya penurunan
jumlah platelet dan trombositopeni purpura. Pada urinalisis ditemukan
adanya proteinuri, tetapi kliren kreatinin biasanya masih dalam batas
normal sampai terjadi nekrosis tubular atau glomerulonefritis.8,9
2. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan
dengan timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita. Pada kasus

31
yang ringan (mild case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda dan
gejala yang minimal, sementara pada kasus yang berat (severe case)
ditemukan manifestasi terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal
yang dominan. Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala
meningitis yang ditandai dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku
kuduk. Keterlibatan sistem saraf pusat pada leptospirosis sebagian
besar timbul sebagai meningitis aseptik. Pada fase ini dapat terjadi
berbagai komplikasi, antara lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis,
dan neuropati perifer.10 Pada kasus yang berat, perubahan fase
pertama ke fase kedua mungkin tidak terlihat, akan tetapi timbul
demam tinggi segera disertai jaundice dan perdarahan pada kulit,
membrana mukosa, bahkan paru. Selain itu ini sering juga dijumpai
adanya hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal ginjal, oliguria,
syok, dan miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan dengan
mortalitas penderita.8,9

Gambar 4. Sifat bifasik leptospirosis

32
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan (nonikterik)
dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari leptospirosis
berat.8,9

a. Leptospirosis ringan (non-ikterik)

Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan ini


diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat.
Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan virallike illness, yaitu
demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi
pada infeksi dengue, disertai nyeri retro orbital dan fotofobia. Nyeri otot
diduga terjadi karena adanya kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase
(CPK) pada sebagian besar kasus meningkat, dan pemeriksaan CPK ini dapat
membantu penegakan diagnosis klinik leptospirosis. Dapat juga ditemukan
nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati, splenomegali, rash makulopapular,
kelainan mata (uveitis, iridosiklitis), meningitis aseptik dan conjunctival
suffusion. 8,9

Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan
di daerah betis. Gambaran klinik terpenting leptospirosis non-nikterik adalah
meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan
diagnosisnya. Sebanyak 80-90% penderita leptospirosis anikterik akan
mengalami pleositosis pada cairan serebrospinal selama minggu ke-2 penyakit
dan 50% diantaranya akan menunjukkan tanda klinis meningitis. Karena
penderita memperlihatkan penyakit yang bersifat bifasik atau memberikan
riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut kadang salah didiagnosis
sebagai kelainan akibat virus.8,9

Pasien dengan leptospirosis non-ikterik pada umumnya tidak berobat


karena keluhan bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini bisa
sembuh sendiri (self-limited) dan biasanya gejala kliniknya menghilang dalam
waktu 2 sampai 3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip dengan penyakit
demam akut yang lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam akut,

33
leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis banding,
terutama di daerah endemik leptospirosis seperti Indonesia.8,9

b. Leptospirosis berat (ikterik)

Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan sebagai


Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat terlihat pada setiap
serotipe leptospira yang lain. Manifestasi leptospirosis yang berat memiliki
angka mortalitas sebesar 5-15%. Leptospirosis ikterik disebut juga dengan
nama Sindrom Weil. Tanda khas dari sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik,
azotemia, gagal ginjal, serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari
setelah onset gejala dan dapat mengalami perburukan dalam minggu ke-2.
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Pada
leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak
jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia.8,9

Sindroma, Fase Gambaran Klinik Spesimen Laboratorium

Leptospirosis anikterik* Demam tinggi, nyeri Darah, LCS Urin


Fase leptospiremia kepala, mialgia, nyeri
perut, mual, muntah,
Fase imun
conjunctival suffusion
Demam ringan, nyeri
kepala, muntah,
meningitis aseptik

Leptospirosis ikterik Fase Demam, nyeri kepala, Darah, LCS (minggu 1)


leptospiremia dan fase mialgia, ikterik, gagal Urin (minggu ke-2)
imun (sering ginjal, hipotensi,
overlapping) manifestasi perdarahan,
pneumonitis hemorrargik,
leukositosis

34
*antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik
(± 1-3 hari)8,9

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik

Beratnya berbagai komponen sindrom Weil kemungkinan mencerminkan


beratnya vaskulitis yang mendasarinya. Ikterus biasanya tidak terkait dengan
nekrosis hepatoselular, dan setelah sembuh tidak terdapat gangguan fungsi hati
yang tersisa. Kematian pada sindrom Weil jarang disebabkan oleh gagal hati.8,9

F. PATOLOGI LEPTOSPIROSIS

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin


yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ.
Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada
leptospirosis, terdapat perbedaan, antara derajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan
ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata
dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit,
limfosit, dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler
dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier.
Selain di ginjal leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira
dapat masuk ke dalam cairan cerebrospinalis pada fase leptospiremia. Hal ini
akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak
yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering
diserang leptospira adalah 8

a. Ginjal : Interstisial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear


merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa
gangguan fungsi ginjal.

b. Hati : Hati menunjukan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi


sel limfosit fokal dan proliferasi sel kuppfer dengan kolestasis.

35
c. Jantung : Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat
berupa perdarahan fokal pada miokardium dan endokarditis.

d. Otot rangka : Pada otot rangka terjadi perubahan-perubahan berupa


lokal nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata.

e. Mata : Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama


fase leptospiremia dan bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang
terbentuk cukup tinggi.

f. Pembuluh darah : Terjadi perubahan pembuluh darah akibat


terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan.

g. Susunan daraf pusat : Leptospira mudah masuk ke dalam cairan


cerebrospinal dan dikaitkan dengan terjadinya meningitis.

h. Weil Disease : merupakan leptospirosis yang ditandai dengan


ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan
kesadaran dan demam tipe kontinu.8

G. PATOGENESIS LEPTOSPIROSIS

Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang


tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri
leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan
mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat
melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama dengan air.
Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui
konjungtiva. Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak
menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang
menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya
leptospira ke dalam tubuh. 10

Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di


darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi

36
dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi.
Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer
adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis
serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan
ekstravasasi sel.10

Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan


sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira
mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram
negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel
dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.
Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang
mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung
fosfolipid.10

Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen
tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler
salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal
disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal.
Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata.
Secara mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis sentrolobuler
disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.10

37
Gambar 5. Leptospirosis pathway dan gambaran klinis10

38
H. DIAGNOSIS LEPTOSPIROSIS

1. Diagnosis Klinis

Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat


kontak terhadap binatang atau lingkungan yang terkontaminasi urin
binatang, disertai dengan gejala akut demam, menggigil, mialgia,
conjunctival suffusion, nyeri kepala, mual, atau muntah.20 Selain itu
penting juga untuk mempertimbangkan jenis pekerjaan penderita dan
riwayat adanya kontak dengan air sebelumnya.10

2. Diagnosis Laboratorium

Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan


laboratorium. Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan
netropenia, terutama selama fase awal penyakit. Anemia tidak biasa
ditemukan pada leptospirosis anikterik, tetapi dapat terjadi anemia
berat pada sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin, dan ureum dapat
sedikit meningkat pada leptospirosis anikterik, dan meningkat secara
ekstrim pada sindrom Weil.10

a. Pemeriksaan mikrobiologik

Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di


mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan
mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase kontras.
Spesimen pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin.10

b. Kultur

Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan


serebrospinal hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri
tersebut biasanya dijumpai di dalam urin pada 10 hari pertama
penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80-albumin
merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi

39
primer leptospira. Pada media semisolid, leptospira tumbuh
dalam lingkaran padat 0,5-1 cm dibawah permukaan media
dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur
harus dilakukan biakan multipel,10

c. Inokulasi hewan

Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi


inokulasi intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa
hari dapat ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal;
setelah hewan ini mati (8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik
pada banyak organ.10

d. Serologi

Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas


pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test
merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening.
Pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi antibodi terhadap
Leptospia interrogans yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT)
yang menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi
tersebut tidak positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi,
kadar puncak antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan menetap
selama beberapa tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan
menurun. 10

Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga


dapat digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada
manusia dan hewan dan karena itu membutuhkan sejumlah strain
(battery of strains) Leptospira termasuk stock-culture, disamping
sepasang sera dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari
sesudahnya. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi
serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu
atau lebih antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik
leptospirosis digunakan nilai ≥ 1:160).10

40
I. PENATALAKSANAAN LEPTOSPIROSIS

Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat selflimited


disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi. Pengobatan harus dimulai segera
pada fase awal penyakit. Secara teori, Leptospira sp. adalah mikroorganisme yang
sensitif terhadap antibiotik.10

Tabel 2. Manajemen kasus dan kemoprofilaksis leptospirosis berdasarkan


Kriteria Diagnosis WHO SEARO 2009

41
J. KOMPLIKASI LEPTOSPIROSIS

Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya adalah gagal


ginjal akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari kasus), gangguan
respirasi akut (38% dari kasus), gangguan kardiovaskuler akut (33% dari
kasus), dan pankreatitis akut (25% dari kasus)10

K. PROGNOSIS LEPTOSPIROSIS

Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikteru,
angka kematian 5 % pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut
mencapai 30-40%.10

L. PENCEGAHAN

- Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi Para


pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya
pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter hewan, harus memakai
pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan air atau tanah yang
terkontaminasi leptospira. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot,
masker, sarung tangan.

- Melindungi sanitasi air minum penduduk Dalam hal ini dilakukan


pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi dan deklorinai untuk
mencegah invasi leptospira.

- Pemberian vaksin.10

42
GAGAL GINJAL AKUT
A. Definisi
Gagal ginjal akut (GGA) adalah penurunan fungsi ginjal yang mendadak dengan akibat
hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Akibat
penurunan fungsi ginjal terjadi peningkatan metabolit persenyawaan nitrogen seperti
ureum dan kreatinin serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kriteria tambahan
lain untuk menegakkan diagnosis GGA yaitu terjadinya peningkatan kadar kreatinin darah
secara progresif 0,5 mg/dl per hari dan peningkatan kadar ureum darah sekitar 10-20 mg/dl
per hari.11
B. Klasifikasi

Gambar B.1. Klasifikasi Gagal Ginjal Akut12

43
C. Patogenesis

Gambar B.2. Patofisiologi gagal ginjal akut13


D. Assessment
1. Kadar kreatinin serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali
kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat LFG
karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh, dan ekskresi oleh
ginjal13,12
2. Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang spesifik untuk
gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah.
Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa bermacam-macam, GGA prerenal
biasanya hampir selalu disertai oliguria (<400ml/hari), walaupun kadang tidak
dijumpai oliguria. GGA renal dan post-renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun
poliuria.13,15
3. Petanda biologis (biomarker). Syarat petanda biologis GGA adalah mampu mendeteksi
sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik pemeriksaannya.
Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA. Petanda biologis ini
adalah zat-zat yang dikeluarkan oleh tubulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18,
enzim tubular, N-acetyl-B-glucosamidase, alanine aminopeptidase, kidney injury
molecule 1. Dalam satu penelitian pada anak-anak pasca bedah jantung terbuka

44
gelatinaseassociated lipocain (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2 jam setelah
pembedahan, 34 jam lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin.14
E. Diagnosis
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prerenal,
sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI
postrenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria
dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan
menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain
pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat
ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis
tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada
nefritisinterstitial.11,12
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada
penentuan tipeAKI. Kelainan analisis urin dapat dilihat pada table di bawah ini.

Gambar B.3. Temuan dari pemeriksaan laboratorium urinalisis11

45
Anemia Normositik Normokromik

A. Definisi
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut, hemolisis, dan
penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit
tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks eritrosit normal pada anak: MCV
73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.16

Gambar B.4. Morfologi Gambaran Darah Tepi Eritrosit pada Anemia

B. Alur Diagnosis Anemia

46
C. Alur Diagnosis Anemia Normositik Normokromik

Anemia

Hapusan darah tepi dari indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)

Anemia makrositer Anemia normokromik Anemia hipokromik mikrositer


normositer

Retikulosit

Meningkat Normal/menurun

Tanda Hemolisis positif Riwayat Perdarahan Hipoplastik Displastik Infiltrasi Normal


Akut
Tumor
Tes Coomb ganas
hematologi
(melanoma) Limfoma Faal hati
kanker Faal Ginjal
Negatif Positif Faal tiroid
Penyakit kronik
Anemia pada
leukimia Anemia
akut/melano mieloplastik
Riwayat AHA ma Anemia pada
Keluarga GGK
Positif Penyakit hati
kronik
Hipotiroid
Penyakit kronik
Enzimopati
Membranopati
Hemoglobinopati

Anemia aplastik

Anemia mikroangiopati
Obat/parasit Anemia pada Sindrom
Anemia pasca Mielodisplastik
perdarahan akut

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Wahyuningsih, Dwinur. 2016. Leptospirosis.


http://eprints.ums.ac.id/41309/5/BAB%20I.pdf, accessed on 28 November
2020.
2. Lucy, Andani. 2014. Infeksi Tropis : Leptospirosis.
http://eprints.undip.ac.id/44817/3/BAB_II.pdf , accessed on 28 November
2020.
3. Isselbacher, Braunwald, et all. 2002. Harrison : Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam Volume 2. Jakarta. EGC.
4. Soedarto. 2009. Penyakit Menular di Indonesia. Surabaya: Sagung Seto
5. Soedarto. 2012. Penyakit Zoonosis Manusia Ditularkan oleh Hewan.
Surabaya: Sagung Seto
6. Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing
7. Lucy, Andani. 2014. Infeksi Tropis : Leptospirosis.
http://eprints.undip.ac.id/44817/3/BAB_II.pdf , accessed on 28 November
2020.
8. Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing
9. Lucy, Andani. 2014. Infeksi Tropis : Leptospirosis.
http://eprints.undip.ac.id/44817/3/BAB_II.pdf , accessed on 19 November
2017
10. Isselbacher, Braunwald, et all. 2002. Harrison : Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam Volume 2. Jakarta. EGC.
11. Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi.Ginjal. Rumah Sakit Hasan Sadikin :
Bandung, Indonesia. CDK-237/ vol. 43 no. 2. 2016.
12. M. Wilson Lorraine, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses
Penyakit. 6th edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2012.p867-
889.

47
13. Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical
Practice Guideline for Acute Kidney Injury. Kidney International
Supplements 2012. Vol.2. 19-36
14. Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of
mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two
databases does and does not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5
15. Nash K, Hafeez A, Hou S: Hospital-acquired renal insufficiency. American
Journal of Kidney Diseases 2002; 39:930-936.

Anda mungkin juga menyukai