Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus

SEORANG PRIA 65 TAHUN DENGAN HEMIPARESE DEXTRA EC


STROKE NON HEMORAGIK DD STROKE HEMORAGIK, HIPERTENSI
URGENSI, POLISITEMIA VERA, HIPERGLIKEMIA EC DIABETES
MELITUS TIPE 2, HIPOKALEMI SEDANG, HIPOKALSEMI RINGAN

Oleh:
Fabianus Anugrah P. G991903015

Residen Pembimbing

dr. Hafizh Widi Cahyono. dr. Laily Shofiyah, MKes, Sp.PK

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


STASE TERINTEGRASI – LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Patologi Klinik dengan judul:

SEORANG PRIA 65 TAHUN DENGAN HEMIPARESE DEXTRA EC


STROKE NON HEMORAGIK DD HEMORAGIK, HIPERTENSI
URGENSI, POLISITEMIA VERA, HIPERGLIKEMIA EC DIABETES
MELITUS TIPE 2, HIPOKALEMI SEDANG, HIPOKALSEMI RINGAN

Oleh:

Fabianus Anugrah P. G991903015

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

dr. Laily Shofiyah, MKes, Sp.PK


BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS

A. Identitas
Nama : Bapak WSW
Usia : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Mluron, Klaten, Jawa Tengah
No. RM : 0149xxxx
Pekerjaan : Pensiunan
Suku : Jawa
Status : Menikah
Tanggal masuk RS : 12 Februari 2020
Tanggal pemeriksaan : 14 Februari 2020

B. Data Dasar
Anamnesis, aloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di
bangsal Flamboyan 8 Kamar 809 C RS Dr. Moewardi

C. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak kanan sejak 3 bulan SMRS

D. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa oleh keluarganya ke IGD dengan keadaan pasien
mengalami kelemahan anggota gerak kanan. Keluhan dirasakan terjadi
mendadak ± 3 bulan SMRS. Pasien tiba-tiba merasa sakit untuk
menggerakkan tangan dan kaki kanannya. Keluhan dirasakan tidak
berkurang dengan istirahat maupun minum minuman manis. Keluhan juga
disertai dengan adanya bicara pelo dan pusing. Demam disangkal, adanya
trauma/benturan di kepala disangkal.
Pasien juga mengatakan bahwa pada pemeriksaan sebelumnya di RS
PKU, dokter mengatakan bahwa Hb pasien terlalu tinggi, sehingga pasien
rawan menderita stroke. Oleh dokter pasien disarankan berobat ke Poli IPD
RSDM dan sudah ± 1 bulan ini pasien mengonsumsi titrasi urea
(hydroxyurea capsul) yang didapat dari RSDM. Keluhan mimisan dan gusi
berdarah disangkal. BAK pasien dikatakan normal, 4–5x sehari, setiap BAK
sebanyak ±1-1,5 gelas belimbing. Urin warna kuning jernih, BAK berpasir
disangkal, warna urin seperti teh disangkal, anyang-anyangen disangkal.
BAB dalam batas normal, tidak ada keluhan. BAB 1 – 2 hari sekali, warna
kuning kecoklatan. BAB berwarna hitam atau dempul disangkal.
Riwayat sakit darah tinggi diakui oleh pasien, namun lupa sejak
kapan terdiagnosis dan obat-obatan tidak rutin diminum, pasien mengeluh
sering mengompol setelah minum obat darah tinggi sehingga tidak
dilanjutkan. Riwayat diabetes pasien diketahui pasien dan keluarga.
Keluarga pasien mengatakan gula darah pasien pernah tinggi namun tidak
ditindaklanjuti oleh pasien dan keluarga. Jari telunjuk kaki kiri pasien sudah
diamputasi karena diabetes pasien. Beberapa bulan terakhir mendapat obat
minum dari pemeriksaan sebelumnya. Namun, tidak diketahui nama
obatnya.
Pasien memiliki riwayat stroke dan sudah pernah mondok 3x
sebelumnya. Pada keluhan pertama 2 – 3 tahun yang lalu, keluarga
mengeluh pasien tidak nyambung saat diajak bicara. Kemudian 1 tahun
yang lalu pasien kembali mondok karena stroke, kondisi pasien saat berjalan
badan mulai miring dan bicara pelo. Pasien kembali dirawat dengan stroke
dengan keluhan pasien muntah-muntah dan tidak bisa berjalan 3 bulan yang
lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit kuning : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat sakit paru-paru : disangkal
Riwayat mondok : + ± 3 bulan yang lalu, 3 tahun yang lalu,
dan 5 tahun yang lalu, karena stroke yang
berulang
Riwayat transfusi : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat minum obat & jamu : disangkal

G. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien saat ini tidak bekerja. Pasien menggunakan fasilitas BPJS untuk
berobat.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 14 Februari 2020 dengan hasil sebagai
berikut:

1. Keadaan Umum
Tampak sakit sedang, composmentis

2. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 150/90 mmHg
b. Nadi : 72x/menit
c. Frekuensi nafas : 22x/menit
d. Suhu : 36.5
e. VAS :0
f.
3. Status Gizi
a. Berat Badan : 52 kg
b. Tinggi Badan : 160 cm
c. IMT : 20.3
d. Kesan : Gizi kesan normal

4. Kulit : Kulit berwarna sawo matang, turgor menurun (-),


hiperpigmentasi (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-), rambut tidak
mudah dicabut.
5. Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi m. temporalis (-/-), kaku duduk
(-)
6. Mata : Conungtiva Anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Mukosa basah, sianosis (-), papil lidah atrofi (-), gusi
berdarah (-), stomatitis (-)
10. Leher : JVP R + 2 cmH2O, trakea di tengah, simetris, pembesaran
kelenjar getah bening (-)
11. Thorax : Bentuk normochest (+), pengembangan dinding dada kanan
= kiri, retraksi intercostal (-), sela iga melebar (-),
pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-)
12. Jantung :
a. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
c. Perkusi :
Batas Jantung
Kanan : SIC IV linea para sternalis dextra
Kiri : SIC IV linea mid clavicularis senistra
Pinggang jantung: SIC III linea para sternalis sinistra
Kesan : Batas jantung kesan tidak melebar
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-), gallop (-)
13. Pulmo :
a. Depan
Inspeksi
1. Statis : Normochest, simetris kanan dan kiri, sela iga tidak
melebar, iga tidak mendatas
2. Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
1. Statis : simetris kanan dan kiri, emfisema subkutis (-),
benjolan (-), nyeri tekan (-)
2. Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
1. Kanan : Sonor, Pekak pada batas absolut paru hepar pada
SIC VI linea midclavicularis dekstra
2. Kiri : Sonor, timpani sesuai batas paru lambung pada SIC
VII linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi:
Suara dasar vesikuler (N/N) di kedua lapang paru, suara bronkial (+) di
atas manubrium, Bronkovesikular (+) SIC II dan III, Trakeal (+) di atas
trachea dan leher, suara tambahan: wheezing (-/-), ronkhi basah kasar
(-/-), ronkhi basah halus (-/-), krepitasi (-/-)
b. Belakang
Inspeksi
1. Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
benjolan (-), tidak ada kelainan bentuk tulang
belakang
2. Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
1. Statis : Simteris kanan dan kiri, emfisema subkutis (-),
benjolan (-), nyeri tekan (-)
2. Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
1. Kanan : Sonor
2. Kiri : Sonor
Peranjakan diafragma 5 cm
Auskultasi:
Suara dasar vesikuler (N/N) di kedua lapang paru, suara bronkial (+) di
atas manubrium, Bronkovesikular (+) SIC II dan III, Trakeal (+) di atas
trachea dan leher, suara tambahan: wheezing (-/-), ronkhi basah kasar
(-/-), ronkhi basah halus (-/-), krepitasi (-/-)
14. Abdomen :
a. Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
b. Auskultasi : Bising usus 10x/menit
c. Perkusi : Timpani, undulasi (-), pekak alih (-)
d. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
15. Ekstremitas : Akral dingin Oedem Motorik

_ _ _ _ 4 5
_ _ _ _ 4 5
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Hasil Laboratorium Darah RSUD dr. Moewardi (12-02-2020 – 13:08


WIB)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 18.2 g/dl 13.5 – 17.5
Hematokrit 56 % 33 – 45
Leukosit 6.5 ribu/ul 4.5 – 11.0
Trombosit 308 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 6.48 juta/ul 4.50 – 5.90

B. Hasil Laboratorium Darah RSUD dr. Moewardi (12-02-2020 – 16:44


WIB)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 17.5 g/dl 13.5 – 17.5
Hematokrit 52 % 33 – 45
Leukosit 6.8 ribu/ul 4.5 – 11.0
Trombosit 312 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 5.91 juta/ul 4.50 – 5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 87.7 /um 80.0 – 96.0
MCH 29.5 pg 28.0 – 33.0
MCHC 33.7 g/dl 33.0 – 36.0
RDW 17.1 % 0.00 – 2.00
MPV 8.9 fl 7.2 – 11.1
PDW 16 % 25 – 65
HITUNG JENIS
Eosinofil 12.20 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.70 % 0.00 – 2.00
Netrofil 48.10 % 55.00 – 80.00
Limfosit 36.40 % 22.00 – 44.00
Monosit 2.60 % 0.00 – 7.00
HEMOSTASIS
PT 12.4 detik 10.0 – 15.0
APTT 33.6 detik 20.0 – 40.0
INR 0.950
KIMIA KLINIK
Gula Darah 155 mg/dl 60 – 140
Sewaktu
SGOT 23 u/l <35
SGPT 25 u/l <45
Albumin 3.4 g/dl 3.2 – 4.6
Creatinine 1.2 mg/dl 0.8 – 1.3
Ureum 44 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 136 mmol/L 132 – 146
Kalium darah 3.0 mmol/L 3.3 – 5.1
Calsium Ion 1.06 mmol/L 1.17 – 1.29
SEROLOGI HEPATITIS
HBsAg Nonreactive Nonreactive
C. Hasil Pemeriksaan EKG di RSUD dr. Moewardi (12-02-2020)

Kesimpulan:
Irama: Sinus
HR: 68x/menit,
Axis: LAD
Zona Transisi: V3-V4
LVH
Kesimpulan: Sinus rhythm dengan HR 68x/menit, axis deviasi ke kiri, zona
transisi V3-V4 dan terdapat hipertrofi ventrikel kiri.
D. Hasil Pemeriksaan Rontgen di RSUD dr. Moewardi (12-02-2020)

Cor : Ukuran dan bentuk normal


Pulmo : Tak tampak infiltrate di kedua lapang paru, corakan
bronkovaskular normal
Sinus costophrenicus kanan dan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan dan kiri normal
Trakhea berada di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan : Cor dan pulmo tak tampak kelainan

E. Hasil Laboratorium Darah RSUD dr. Moewardi (13-02-2020-14:06


WIB)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
KIMIA KLINIK
HbA1c 6.4 % 4.8 – 5.9
Glukosa Darah 76 mg/dl 70 – 110
Puasa
Glukosa 2 Jam PP 106 mg/dl 80 – 140
Kolesterol Total 159 mg/dl 50 – 200
Kolesterol LDL 89 mg/dl 98 – 210
Kolesterol HDL 34 mg/dl 30 – 75
Trigliserida 204 mg/dl < 150

F. Hasil Laboratorium Urin RSUD dr. Moewardi (14-02-2020-07:35


WIB)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
SEKRESI
MAKROSKOPIS
Warna Yellow
Kejernihan Cloudy
KIMIA URIN
Berat Jenis 1.013 1.015 – 1.025
pH 6.5 4.5 – 8.0
Leukosit Negatif /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein +++/Positif 3 mg/dl Negatif
Glukosa Normal mg/dl Normal
Keton Negatif mg/dl Negatif
Urobilinogen +/Positif 1 mg/dl Normal
Bilirubin Negatif mg/dl Negatif
Eritorsit ++/Positif 2 mg/dl Negatif
MIKROSKOPIS
Eritrosit 314.6 /uL 0 – 6.4
Leukosit 2.6 /LPB 0 – 12
EPITEL
Epitel Squamous 2–4 /LPB Negatif
Epitel Transisional 0–1 /LPB Negatif
Epitel bulat - /LPB Negatif
SILINDER
Hyaline 0 /LPK 0–3
Granulated 1–2 /LPK Negatif
Leukosit - /LPK Negatif
Small Round Cell 5.9 /uL 0.0 – 0.0
Mukus 0.00 /uL 0.00 – 0.00
Sperma 0.0 /uL 0.0 – 0.0
Konduktivitas 11.7 mS/cm 3.0 – 32.0
Lain-lain Eritrosit 56 – 57/LPB, Leukosit 2 – 3/LPB, Bakteri
(+), Oval Fat Body (+), Jamur (+)
IV. RESUME

1. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak kanan sejak 3 bulan SMRS

2. Anamnesis
• Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan kelemahan anggota
gerak kanan sejak 3 bulan SMRS
• Keluhan dirasakan terus-menerus, tidak berkurang dengan istirahat
maupun minum minuman manis
• Keluhan disertai dengan adanya bicara pelo dan pusing
• Pada pemeriksaan sebelumnya, dokter mengatakan bahwa Hb pasien
terlalu tinggi, sehingga rawan menderita stroke
• Riwayat darah tinggi diakui, namun tidak diketahui sejak kapan dan
tidak rutin minum obat
• Riwayat diabetes didapatkan, namun setelah diketahui gula darah
tinggi tidak ditindaklanjuti. Jari telunjuk kaki kiri pasien sudah
diamputasi karena diabetes pasien.
• Pasien memiliki riwayat stroke dan sudah pernah mondok 3x
sebelumnya. Pada keluhan pertama 2 – 3 tahun yang lalu, keluarga
mengeluh pasien tidak nyambung saat diajak bicara. Kemudian 1
tahun yang lalu pasien kembali mondok karena stroke, kondisi pasien
saat berjalan badan mulai miring dan bicara pelo. Pasien kembali
dirawat dengan stroke dengan keluhan pasien muntah-muntah dan
tidak bisa berjalan 3 bulan yang lalu.

3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4V5M6,
kesan gizi normal. Tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 72x/menit,
frekuensi nafas 22x/menit, suhu 36.5oC.
Ekstremitas: Motorik
4 5
4 5

4. Pemeriksaan Tambahan:
• Laboratorium darah:
12/02/2020 (12.21 WIB)
Hemoglobin: 18.2 g/dl
Hematokrit: 56%
Eritrosit: 6.48 juta/ul
12/02/2020 (15.42 WIB)
Hematokrit: 52%
Eritrosit: 5.91 juta/ul
RDW: 17.1 %
PDW: 16%
Eosinofil: 12.2 %
Netrofil: 48.1 %
Kalium: 3.0 mmol/L
Calsium Ion: 1.06 mmol/L
13/02/2020 (14.06 WIB)
Kolesterol LDL 89 mg/dl
Trigliserida 204
14/02/2020 (07.35 WIB) (KIMIA URIN)
Berat Jenis 1013
Protein +++/Positif 3
Urobilinogen +/Positif 1
Eritrosit ++/Positif 2
Eritrosit (mikroskopis) 314.6/uL
Epitel Squamous 2 – 4
Epitel Transisional 0 – 1
Small Round Cell 5.9
• EKG
Axis LAD
• Rontgen thorax:
Cor dan pulmo dalam batas normal

V. DIAGNOSIS ATAU PROBLEM

1. Hemiparese dextra ec Stroke Non Hemoragik dd Stroke Hemoragik


2. HT urgensi
3. Polisitemia vera
4. Hiperglikemia ec DM tipe 2
5. Hipokalemi sedang
6. Hipokalsemi ringan
RENCANA AWAL

No Diagnosis Pengkajian Rencana Awal Rencana Terapi Rencana Rencana


Diagnosis Edukasi Monitoring
1. Hemipareses dextra Anamnesis: MSCT Brain - Bed rest tidak Penjelasan BC/12 jam
ec SNH dd SH Kelemahan anggota gerak kanan total kepada pasien
- O2 Nasal Kanul mengenai
Pemeriksaan Fisik: 3 lpm kondisi prosedur
Ekstremitas: motorik - Infus NaCl 0.9% diagnosis dan

+4 +5 20 tpm tatalaksana

+4 +5 beserta
komplikasinya
yang dapat
terjadi
2. HT Urgensi Anamnesis: Funduskopi - SP nicardipin 10 Penjelasan KUVS/8 jam
Riwayat hipertensi Urin Rutin mg dalam 50 cc kepada pasien
NS 0.9% mengenai
Pemeriksaan Fisik: kecepatan mulai kondisi prosedur
TD: 240 / 120 (IGD) 7.5 cc/jam diagnosis dan
(titrasi) tatalaksana
- Amlodipin 10 beserta
mg/24 jam komplikasinya
- Captopril 25 yang dapat
mg/8 jam terjadi
3. Polisitemia vera Anamnesis: Gambaran - Injeksi NaCl Penjelasan
Riwayat Hb tinggi Darah Tepi 0.9% 20 tpm kepada pasien
- Phlebotomy mengenai
Pemeriksaan Penunjang: kondisi prosedur
Hb: 17.5 diagnosis dan
HCT: 52% tatalaksana
beserta
komplikasinya
yang dapat
terjadi
4. Hiperglikemia ec Anamnesis: - GDP Diet DM 1500 kkal Penjelasan GDS 22/05
DM tipe 2 Riwayat DM diketahui pasien dan - GD2PP kepada pasien
keluarga, namun tidak - HbA1c mengenai
ditindaklanjuti oleh pasien dan kondisi prosedur
keluarga. Jari telunjuk kaki kiri diagnosis dan
pasien sudah diamputasi karena tatalaksana
diabetes pasien. Beberapa bulan beserta
terakhir mendapat obat minum dari komplikasinya
kontrol sebelumnya. yang dapat
terjadi
Pemeriksaan Penunjang:
GDS: 155
5. Hipokalemi sedang Pemeriksaan Penunjang: KSR tab 75 Penjelasan
Kalium: 3.0 mEq/8jam kepada pasien
mengenai
kondisi prosedur
diagnosis dan
tatalaksana
beserta
komplikasinya
yang dapat
terjadi
6. Hipokalsemi ringan Pemeriksaan Penunjang: CaCO3 I/8 jam Penjelasan
Ca: 1.06 kepada pasien
mengenai
kondisi prosedur
diagnosis dan
tatalaksana
beserta
komplikasinya
yang dapat
terjadi
Analisis Kasus
Pada Kasus ini didapatkan pasien dengan keluhan kelemahan anggota gerak
kanan sejak 3 bulan SMRS dirasakan terus menerus tidak berkurang dengan
istirahat ataupun minum-minuman manis. Pasien juga mengeluhkan adanya pusing
dan dikeluhkan keluarga berbicara pelo. Sebelumnya pasien sudah pernah 3x
mondok dengan keluhan serupa. Pertama kali pada 2-3 tahun yang lalu dimana
pasien dikeluhkan oleh keluarga pasien tidak nyambung saat diajak bicara.
Kemudian 1 tahun yang lalu mondok dengan keluhan yang sama karena pasien
berjalan badan mulai miring dan berbicara pelo. Terakhir pasien mondok 3 bulan
yang lalu karena pasien mengeluhkan muntah-muntah dan tidak bisa berjalan. Pada
pasien tidak dilakukan pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS) sebaiknya
dilakukan pemeriksaan GCS, lalu pada pemeriksaan kekuatan motorik didapati skor
4 pada ekstremitas atas dan bawah bagian sebelah kiri sedangkan untuk ekstremitas
atas dan bawah bagian sebelah kanan didapati skor 5.
Pemeriksaan Keterangan Skor
Mata Mata terbuka secara spontan 4
Mata terbuka dengan rangsangan bukan nyeri 3
Mata terbuka dengan rangsangan nyeri 2
Mata tidak terbuka 1
Berbicara Berbicara secara spontan dan pembicaraan 5
nyambung
Berbicara secara spontan namun tidak 4
nyambung
Berbicara secara 1 kata per 1 kata 3
Mengerang 2
Tidak berbicara 1
Motorik Dapat melakukan sesuai permintaan 6
Dapat melokalisasi nyeri 5
Tidak dapat melokalisasi nyeri 4
Terdapat fleksi 3
Terdapat ekstensi 2
Tidak dapat bergerak 1

Tabel Interpretasi Glassgow Coma Scale


Keterangan Skor
Kontraksi dengan kekuatan maksimal 5
Kontraksi dapat melawan tahanan pemeriksa 4
Kontraksi dapat melawan gravitasi 3
Didapatkan Gerakan tetapi tidak dapat melawan gravitasi 2
Didapatkan kontraksi tanpa ada gerakan 1
Tdak ada kontraksi 0
Tabel Pemeriksaan Kekuatan Motorik
Dari Pemeriksaan GCS dan kekuatan motorik ini dapat dicurigai bahwa
pasien mengalami penurunan fungsi motorik. Beberapa penyebab penurunan fungsi
motorik antara lain karena adanya defek neurologis ditingkat sistem saraf pusat,
defek neurologis ditingkat sistem saraf pinggir, dan gangguan elektrolit.
Untuk membedakan perbedaan defek neurologis karena system saraf pusat(
Upper Motor Neuron Lession) dengan system saraf pinggir( Lower Motor Neuron
Lession) dapat lakukan beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan refleks fisiologis
dan refleks patologis. Pada pasien ini tidak dilakukan, sebaiknya dilakukan untuk
menentukan letak defek neurologis yang terjadi. Berikut tabel perbedaan hasil
interpretasi UMN dengan LMN.
Tabel UMN vs LMN
Perbedaan Upper Motor Neuron Lower Motor Neuron
Kekuatan Otot Hipertonus Hipotonus
Refleks Hiperrefleks Hiporefleks
Refleks Patologis Babinski (+) Babinski (-)
Atrofi Otot Tidak ada Ada

Setelah menentukan letak defek neurologis, pasien ini juga harus


disingkirkan dari gangguan elektrolit yang dapat menyebabkan penurunan fungsi
motorik. Pada pasien dilakukan pemeriksaan Elektrolit pada 12 November 2020
didapati hasil sebagai berikut;
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Rujukan
Kalium 3.0 mmol/L 3.3-5.1
Calcium Ion 1.06 mmol/L 1.17-1.29
Tabel Pemeriksaan Elektrolit 12 November 2020
Pasien mengalami hipokalium ringan dengan hipokalsemia
Hipokalemia Ringan 3.5-3.0 mmol/L
Hipokalemia Sedang 3.0-2.5 mmol/L
Hipokalemia Berat < 2.5 mmol/L
Hipokalsemia < 1.15mmol/L
Pada pasien juga memiliki Riwayat Diabetes Melitus tipe 2. Namun pada
pasien ini tidak dapat evaluasi apakah ada tanda-tanda khas DM seperti polifagia,
polydipsi, polyuria. Maka dilakukan pemeriksaan GDS, GDP, GD2PP, dan HbA1c
untuk melihat apakah pasien terkontrol atau tidak. Dari hasil pemeriksaan didapati;
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Rujukan
Gula Darah 150 Mg/dl 60-140
Sewaktu
Gula Darah Puasa 76 Mg/dl 70-140
GD2PP 106 Mg/dl 80-140
HbA1c 6.4 % 4.8-5.9

Pasien ini juga mengeluhkan bahwa hasil pemeriksaan lab dulu di RS PKU
mengalami peningkatan pada Hemoglobin. Sehingga pasien pada saat sampai di
IGD dilakukan pemeriksaan hematology dengan hasil sebagai berikut;
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 18.2 g/dl 13.5 – 17.5
Hematokrit 56 % 33 – 45
Leukosit 6.5 ribu/ul 4.5 – 11.0
Trombosit 308 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 6.48 juta/ul 4.50 – 5.90
Tabel Pemeriksaan Hematology 12-02-2020 13:00WIB

Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Rujukan


Hemoglobin 17.5 g/dl 13.5 – 17.5
Hematokrit 52 % 33 – 45
Leukosit 6.8 ribu/ul 4.5 – 11.0
Trombosit 312 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 5.91 juta/ul 4.50 – 5.90
Tabel Pemeriksaan Hematology 12-02-2020 16:00 WIB
Dari kedua hasil pemeriksaan hematology pada pasien mengalami
peningkatan Hemoglobin, Hematocrit, dan Eritrosit. Pasien ini dicurigai adanya
keganasan pada darah. Pemeriksaan lanjutan yang sebaiknya dilakukan untuk
menegakkan diagnosis adalah dengan pemeriksaan Serum Eritropoetin,
pemeriksaan mutasi genetik JAK2 V617F, dan Pemeriksaan Biopsi Sumsum
Tulang Belakang.
Kriteria Diagnosis PV berdasarkan WHO 2016
Kriteria Mayor
1. Hb Laki-laki >16.5 mg/dl
Hb Perempuan > 16.0 mg/dl
Atau
Hct Laki-laki > 49%
Hct Perempuan >48%
2. Sumsum Tulang Belakang Proliferasi trlineage dengan Pleomorfik
Megakariosit Dewasa
3. Adanya mutase JAK2
Kriteria Minor
1. Abnormal Serum Eritropoetin

Pada Pemeriksaan Biopsi Sumsum Tulang belakang diharapkan didapatinya


pleomorfik megakariosit dewasa seperti gambar berikut;

Gambar Bone Marrow PV (Medscape, 2020)

Pasien ini juga memiliki Riwayat hipertensi ditandai dengan hasil tensi 240/120
pada saat datang ke IGD. Lalu diberikan Nicardipine SP dengan dosis 10 mg dalam
50mg dengan kecepatan 7.5 mg/jam.
Tinjauan Pustaka
A. Stroke
Definisi
Stroke didefinisikan sebagai gangguan vaskularisasi pada otak yang
ditandai dengan defisit neurologis yang terjadi secara mendadak.

Jenis
Stroke secara besar dibedakan menjadi 2 yakni Stroke Hemoragik dan
Stroke Iskemik. Stroke Hemoragik adalah stroke yang diakibatkan adanya
perdarahan pada pembuluh darah yang menuju otak sehingga terjadi
gangguan pada vaskularisasi otak. Stroke Iskemik adalah stroke yang
diakibatkan adanya sumbatan pada pembuluh darah yang menuju otak
sehingga terjadi gangguan vaskularisasi otak.

Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan beberapa Langkah, antara lain anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis dapat dilakukan dengan penekanan pada
• Apakah ada kelainan pada wajah atau merot pada wajah yang
mendadak?
• Apakah ada penurunan kekuatan atau kelumpuhan pada anggota
gerak bagian atas / tangan yang mendadak?
• Apakah ada penurunan kemampuan dalam berbicara atau berbicara
yang pelo yang mendadak?
• Kelainan atau penurunan kemampuan sudah terjadi sejak berapa
lama ?
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan dengan melakukan pengecekan
pada kekuatan motorik, tonus otot, refleks fisiologis dan refleks patologis.
Pada pemeriksaan kekuatan motorik dapat dilakukan dengan meminta
pasien untuk menggerakan anggota tubuh tertentu, apabila dapat
melakukan tapi ada keterbatasan dalam melakukannya dapat diberi
tahanan untuk mengetahui kekuatannya, dan yang terakhir pasien tidak
dapat mengkontraksikan ototnya. Untuk interpretasi skoring kekuatan
motoric sebagai berikut;
Keterangan Skor
Kontraksi dengan kekuatan maksimal 5
Kontraksi dapat melawan tahanan pemeriksa 4
Kontraksi dapat melawan gravitasi 3
Didapatkan Gerakan tetapi tidak dapat melawan gravitasi 2
Didapatkan kontraksi tanpa ada gerakan 1
Tdak ada kontraksi 0
Pada pemeriksaan refleks fisiologis, pemeriksaan akan melakukan
beberapa seperti refleks biceps, triceps, patella, dan achilles. Nilai normal
untuk refleks fisiologis adalah + dimana tidak ada hiporefleks ( penurunan
refleks) ataupun hiperrefleks ( peningkatan refleks dengan perluasan
rangsang refleks). Sedangkan untuk pemeriksaan refleks patologis
diantaranya pemeriksaan Babinsky, caddock, Oppenheim, Gordon,
Transky, Mendel Bechtrew, Rosolimo, Schaeffer, Hoffman dan Tromner,
dan Gonda. Pada pemeriksaan nilai normalnya adalah ( - ) negative atau
tidak ditemukan adanya refleks patologis.
Untuk membedakan apakah pasien mengalami Stroke Iskemik atau Stroke
Hemoragik dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan CT Scan
untuk melihat apakah ada titik perdarahan atau titik iskemia yang terjadi di
otak.
Gambar CT Scan pada Stroke Iskemik dan Stroke Hemoragik
Untuk pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan hitung darah lengkap, GDS, Elektrolit serum, tes fungsi ginjal,
PT/INR, aPTT,Fibrinogen.
Tatalaksana
Tatalaksana Secara umum
1. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan
2. Stabilisasi hemodinamik
3. Pengendalian Peningkatan Tekanan Intrakranial
4. Pengendalian Kejang
5. Pengendalian suhu tubuh
6. Tatalaksana cairan
7. Nutrisi
8. Pencegahan dan mengatasi komplikasi
9. Penatalaksanaan medik lain
Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
1. Pemantauan secara terus menerus terhadap status
neurologic, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan
saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam
2. Pemberian oksigen untuk mempertahankan SpO2 >94%
3. Pasang pipa orofaring pada pasien yang tidak sadar.
Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan
gangguan jalan napas.
4. Intubasi ETT atau LMA → pasien dengan hiposia (pO2
>50mmHg), syok, resiko aspirasi.
5. Pipa endotrakeal tidak lebih dari 2 minggu. Lebih dari
dari 2 minggu →Trakeostomi.
Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi)
1. Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pemberian
cairan hipotonik seperti glukosa)
2. Dianjurkan pemasangan CVC (central venous catheter), dengan
tujuan dapat memantau kecukupan cairan dan nutrisi CVP 5-
12mmHg.
3. Optimalisasi tekanan darah
4. Pemantauan jantung selama 24 jam pertama setelah onset.
Pengendalian Tekanan Intrakranial.
1. Posisi headup dengan meninggikan posisi kepala 20-30o
2. Hindari penekanan vena jugular
3. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4. Hindari hipertermia
5. Jaga normovolemia
Pengendalian Kejang
1. Bila terjadi kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-
20mg dilanjutkan oleh fenitoin loading dose 15-20mg/kg bolus
dengan kecepatan maksimum 50mg/menit.
Pengendalian Suhu tubuh
1. Acetaminophen 500-650mg bila suhu tubuh lebih dari 38oC
2. Pada pasien febris atau berisiko infeksi, harus dilakukan kultur dan
apusan(trakeal, darah dan urin) dan diberikan antibiotic
Tatalaksana Cairan
1. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan
menjaga euvolemi.
2. Pada umumnya kebutuhkan cairan 30ml/kgBB/hari (parenteral
maupun enteral)
3. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah
dihindari kecuali pada keadaan hipoglikemia.
Nutrisi
1. Nutrisi enteral (dengan atau tanpa NGT) sebaiknya sudah harus
diberikan dalam 48 jam.
2. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun
makanan diberikan melalui pipa nasogastric.
3. Kebutuhkan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
a. Karbohidrat 30-40% dari total kalori
b. Lemak 20-35%
c. Protein 20-30%
Terapi Spesifik Stroke Iskemik
1. Pemberian Trombolisi dengan rtPA (Alteplase)
Kriteria Inklusi
1. Usia ≥ 18 tahun
2. Diagnosis klinis stroke dengan deficit neurologis yang jelas
3. Onset <4.5jam
4. Tidak ada gambaran perdarahan intracranial pada CT-Scan / MRI
(DWI)
5. Pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan dan
resiko yang mungkin timbul. Harus ada persetujuan tertulis dari
pasien atau keluarga untuk dilakukan terapi rtPA (Alteplase)
6. Boleh diberikan pada pasien gagal ginjal kronik dengan aPTT
normal (resiko perdarahan meningkat pada pasien dengan
peningkatan aPTT)
7. Boleh diberikan pada pasien dengan sickle cell disease.

Kriteria Eksklusi
1. Tekanan Darah sistol > 185mmHg diastolic >110mmhg
2. Glukosa darah <50mg/dl atau >400mg/dl.
3. Gejala perdaraha subaraknoid.
4. Gejala endocarditis infektif.
5. Kejang pada saat onset stroke.
6. Wanita hamil
7. Jumlah platelet <100.000/mm3
8. Riwayat perdarahan intracranial
9. Riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir.
Dosis pemberian rtPA (Alteplase) adalah 0,6-0,9mg/kgBB dengan dosis
maksimum 90mg. Diberikan 10% dari dosis total sebagai bolus dalam 1 menit
pertama, dan sisanya diberikan sebagai infus selama 60 menit.
Tatalaksana Tekanan Darah pada Stroke Iskemik
TDS > 220mmHg
atau TTD > 120mmHg

Diturunkan 15% dalam 24 Pro rtPA diturunkan


jam pertama setelah awitan sehingga TDS <185mmHg
dan TDD <110mmHg

Dipantau hingga TDS <180mmHg


dan TDD<105mmHg selama 24
jam

Macam-macam obat Hipertensi IV pada pasien dengan Stroke;


Tatalaksana Tekanan Darah pada Stroke Hemoragik

TDS >200mmHg atau MAP TDS >180mmHg atau MAP TDS >180mmHg atau MAP
>150mmHg >130mmHg + tanda >130mmHg tanpa
peningkatan TIK peningkatan TIK

Turunkan TD dengan obat Turunkan TD secara Turunkan TD secara


IV dan monitor TD setiap 5 berlanjut atau intermitten, berlanjut atau intermittent.
menit pertahankan CPP >80mmHg
B. Diabetes Melitus
Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolic
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekre
insulin, kerja insulin atau keduanya.

Patogenesis
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar,
dan sel beta pancreas saja yang berperan sentral dalam pathogenesis
penyandang DM tipe 2 tetapi terdapat delapan organ lain yang berperan,
disebut sebagai the egregious eleven

1. Kegagalan Sel Beta Pankreas


Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang.
2. Disfungsi Sel Alfa Pankreas
Sel alfa pancreas merupakan orang ke -6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada
sintesis glucagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hati
(hepatic glucose production) dalam keadaan basal meningkat secara
bermakna dibandingkan individu yang normal.
3. Sel Lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (free fatty acid(FFA)) dalam plasma. Peningkatan FFA akan
merangsang proses gluconeogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoksisitas.
4. Otot
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi
tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
5. Hepar
Pada penyandang DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh hepar (hepatic glucose production) meningkat.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obese baik yang DM maupun non-DM didapatkan
hyperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang terjadi di otak.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi microbiota pada kolon berkontribusi dalam
keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan
DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa
hanya sebagian individu berat badan berlebih akan berkembang DM.
Probiotik dan prebiotik diperkirakan sebagai mediator untuk
menangani keadaan hiperglikemia.
8. Usus Halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar
dibanding kalua diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like
polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP).
Pada penyandang DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap hormone GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh
keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja enzim alfa glucosidase yang akan memecah
polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh usus
sehingga meningkatan glukosa darah setelah makan.

9. Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis


DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari.
Sembilan putuh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali
melalui peran enzim sodium glucose ini akan diserap kembali melalui
peran enzim sodium glucose co-transporter (SGLT-2) pada bagian
convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya akan diabsorbsi
melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penyandang DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan
reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin.

10. Lambung

Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi


kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan
percepatan pengosongan lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di
usus halus yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respons fase akut (disebut
sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi
system imun bawaan/innate) yang berhubungan kuat dengan
pathogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti
dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah
berperan dalam induksi stress pada endoplasma akibat peningkatan
kebutuhan metabolisme untuk insulin. DM tipe 2 ditandai dengan
resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin, disertai
dengan inflamasi kronik derajat rendah pada jaringan perifer seperti
adipose, hepar dan otot.
Diagnosis
Anamnesis
Keluhan klasik DM : Poliuria, Polidipsi, Polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain : Lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Untuk Kriteria Diagnosis DM berdasarkan pemeriksaan hematology;
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 – 10 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200mg/dl 2 jam setelah tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Tabel Diagnosis Diabetes (Perkeni, 2019)
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa antara 100 – 125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2 jam < 140mg/dl.
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 jam setelah TTGO antara 140 – 199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa < 100 mg/dl.
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4%.
HbA1c(%) Glukosa darah Glukosa plasma 2
puasa (mg/dl) jam setelah
TTGO (mg/dl)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Pre- diabetes 5,7 – 6,4 100 125 140 – 199
Normal < 5,7 70 – 99 70 – 139
Tabel Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Pre Diabetes
(Perkeni, 2019)
Tatalaksana
Tujuan tatalaksana secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang
diabetes. Tujuan penatalaksaan meliputi;
1. Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka Panjang : mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir penatalaksanaan : turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

a) Tatalaksana Non Farmakologis


Tatalaksana Non Farmakologis dengan menggunakan terapi nutrisi medik
(TNM)
a. Komposisi Makanan yang dianjurkan terdiri dari
i. Karbohidrat
Dianjurkan sebesar 45 – 65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
ii. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 – 25 %
kebutuhan kalori, dan tidak diperkenankan melebihi
30% total asupan energi.
iii. Protein
Pada pasien dengan Nefropati Diabetik perlu
penurunan asupan protein menjadi 0,8g/kgBB/hari
atau 10% dari kebutuhan energi.
Penyandang DM yang sudah menjalani hemodialisis
asupan protein menjadi 1 – 1,2g/kgBB/hari.
iv. Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM
sama dengan orang sehat yaitu < 1500 mg/hari.
v. Serat
Peyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari
kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat
Jumlah konsumsi serat yang disarankan adalah
14gram/1000kal atau 20-35gram per hari.
b) Kebutuhan Kalori
a. Perhitungan Berat Badan Ideal (BBI) menggunakan rumus Broca
yang dimodifikasi:
Berat badan ideal
→ 90% (TB dalam cm – 100) x 1kg
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160cm dan wanita di
bawah 150cm, rumus dimodifikasi menjadi
→ (TB dalam cm – 100) x 1kg
b. Perhitungan Berat Badan Ideal menggunakan Indeks Massa Tubuh
(IMT)
Indeks Massa Tubuh dapat dihitung dengan rumus :
IMT = BB(kg)/TB (m2)
Klasifikasi IMT
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5 – 22,9
BB Lebih ≥ 23,0
Dengan resiko 23,0 – 24,9
Obese I 25,0 – 29,9
Obese II ≥ 30
c) Terapi Farmakologis
a. Obat Antihiperglikemia Oral
i. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
1. Sulfonilurea
Mempunyai efek utama meningkatan sekresi insulin
oleh sel beta pancreas
Efek samping utama adalah hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. Hati-hati penggunaan
sulfonylurea pada pasien dengan resiko tinggi
hipoglikemia ( orang tua, gangguan fungsi hati, dan
ginjal)
2. Glinid
Cara kerjanya mirip dengan sulfonylurea, namun
berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa
penekanan pada sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu ;
Repaglinid (derivate asam benzoate ) dan Nateglinid
(derivate Fenilalanin). Obat ini dapat mengatasi
efek hiperglikemia post prandial. Efek samping
obat ini dapat menyebabkan hipoglikemia. Obat
golongan glinid sudah tidak tersedia di Indonesia.
ii. Peningkatan Sensivitas pada Insulin
1. Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa pada hati (gluconeogenesis), dan
memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada
Sebagian besar kasus DM tipe 2. Dosis metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (LFG 30 – 60 ml/menit/ 17,3m2). Metformin
tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan LFG <
30ml/ menit/ 1,73m2, adanya gangguan hatian berat,
serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hiposekmia (misalnya penyakit serebrovaskular,
sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung NYHA
fungsional kelas III – IV). Efek samping yang
mungkin terjadi adalah gangguan saluran
pencernaan seperti dyspepsia, diare, dan lain-lain.
2. Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-
gamma), suatu receptor inti yang terdapat antara
lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
jaringan perifer. Tiazolidinedion meningkatkan
retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA
Fungsional kelas III-IV) karena dapat memperberat
edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faat
hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati
secara berkala.

iii. Penghambat Alfa Glukosidase


Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa
glucosidase di saluran pencernaan sehingga menghambat
absorpsi glukosa dalam usus halus. Penghambatan
glucosidase alfa tidak digunakan pada keadaan LFG ≤ 30
ml/menit/ 1,732, gangguan faal hati yang berat, irritable
bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi
berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga
sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping
pada awalnya diberikan dengan dosis kecil.
iv. Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4(DPP-4
Inhibitor)
Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease,
yang didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini
memecah dua asam amino dari peptide yang mengandung
alanin atau prolin di posisi kedua peptide N-terminal.
Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ tubuh,
termasuk di usus dan membrane brush border ginjal, di
hepatosit, endothelium vaskuler dari kapiler villi, dan
dalam bentuk larut dalam plasma. Penghambat DPP-4 akan
menghambat lokasi pengikatan pada DPP-4 sehingga akan
mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide (GLP)-1.
Proses inhibisi ini dakan mempertahankan kadar GLP-1
dan glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP)
dalam bentuk aktif di sirkulasi darah, sehingga dapat
memperbaiki toleransi glukosa, meningkatkan respons
insulin, dan mengurangi sekresi glucagon.
v. Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter
2(SGLT-2 Inhibitor)
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi
glukosa di tubulus proksimal dan meningkatkan ekskresi
glukosa melalui urin. Obat golongan ini mempunyai
manfaat untuk menurunkan berat badan dan tekanan darah.
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat ini
adalah infeksi saluran kencing dan genital. Pada
penyandang DM dengan gangguan fungsi ginjal perlu
dilakukan penyesuaian dosis, dan tidak diperkenankan bila
LFG ≤45ml/menit. Hati-hati karena dapat mencetuskan
ketoasidosis.
b. Obat Antihiperglikemia Suntik
i. Insulin
1. Digunakan pada keadaan
a. HbA1c saat diperiksa ≥ 7.5% dan sudah
menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
b. HbA1c saat diperiksa > 9%
c. Penurunan berat badan yang cepat
d. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
e. Krisis HIperglikemia
f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
g. Stres berat (Infeksi sistemik, operasi besar,
infark miokard akut, stroke)
h. Kehamilan dengan DM/diabtes melitus
gestasional yang tidak terkendaali dengan
perencanaan makan
i. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap
OHO
k. Kondisi perioperative sesuai dengan indikasi
Penjelasan untuk algoritma Pengelolaan DM tipe 2
1. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa < 7,5% makan
pengobatan dimulai dengan modifikasi gaya hidup sehat dan monoterapi
oral
2. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa ≥ 7,5% atau pasien
yang sudah mendapatkan monoterapi dalam waktu 3 bulan namun tidak
bisa mencapai target HbA1c <7% maka dimulai terapi kombinasi 2 macam
obat yang teriri dari metformin ditambah dengan obat lain yang memilii
mekanisme kerja berbeda. Bila terdapat intoleransi terhadap metformin
maka diberikan obat lain seperti table lini pertama dan ditambah dengan
obat lain yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.
3. Kombinasi 3 obat perlu diberikan bila sesudah terapi 2 macam obat selama
3 bulan tidak mencapai target HbA1c <7%
4. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% namun tanpa disertai
dengan gejala dekompensasi metabolic atau penurunan berat badan yang
cepat, maka boleh diberikan terapi kombinasi 2 atau 3 obat, yang terdiri
dari metformin (atau obat lain pada lini pertama bila ada intoleransi
terhadap metformin) ditambah obat dari lini ke 2.
5. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa >9% dengan disertai gejala
dekompensasi metabolic maka diberikan terapi kombinasi insulin dan obat
hipoglikemik lainnya.
6. Pasien yang telah mendapat terapi kombinasi 3 obat dengan atau tanpa
insulin, namun tidak mencapat target HbA1c <7% selama minimal 3 bulan
pengobatan, maka harus segera dilanjutkan dengan terapi intensifikasi
insulin.
7. Jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan, maka keputusan
pemberian terapi dapat menggunakan pemeriksaan glukosa darah.
8. HbA1c 7% setara dengan rerata glukosa darah sewaktu 154mg/dl. HbA1c
7 – 7,49% setara dengan rerata glukosa darah puasa atau sebelum makan
152mg/dl, atau rerata glukosa darah post prandial 176mg/dl. HbA1c >9%
setara dengan rerata glukosa darah sewaktu ≥ 212mg/dl.
C. Polisitemia Vera

Definisi
Polisitemia vera adalah suatu neoplasma pada mieloproliferatif yang
ditandai dengan peningkatan jumlah eritrosit pada darah, beberapa sel
darah putih, dan platelet.

Patogenesis
Adanya reaktivitas berlebihan pada sinyal Janus Kinase yaitu tirosin
kinase yang berperan dalam proses hematopoetik menyebabkan proliferasi
berlebih pada sel-sel hematopoetik dan juga menstimulasi proses inflamasi
pembuluh darah.
Proliferasi berlebih pada sel-sel hematopoetik akan menimbulkan
abnormalitas pada penilaian klinis pasien seperti abnormalitas hitung
darah lengkap dan inflamasi akan memicu timbulnya gejala klinis pada
pasien.

Diagnosis
Diagnosis polisitemia vera saat ini sesuai dengan kriteria WHO 2016 dan
berdasarkan penilaian gabungan antara klinis dan laboratorium.

Kriteria Mayor
1. Hb Laki-laki >16.5 mg/dl
Hb Perempuan > 16.0 mg/dl
Atau
Hct Laki-laki > 49%
Hct Perempuan >48%
2. Sumsum Tulang Belakang Proliferasi trlineage dengan Pleomorfik
Megakariosit Dewasa
3. Adanya mutase JAK2
Kriteria Minor
1. Abnormal Serum Eritropoetin
Suspek Polisitemia Vera

Skrining Mutasi JAK 2


Diagnosis mungkin
Mutasi JAK 2 Biopsi Sumsum tulang belakang
disarankan untuk mengkonfirmasi
diagnsosis
Mutasi JAK 2 Negatif

Pengecekan kadar serum Eritropoetin Diagnosis mungkin

Normal atau peningkatan Subnormal

Gambar Alur Algoritma untuk diagnosis PV.


Tatalaksana
Rekomendasi Tatalaksana pada Polisitemia Vera

Plebotomi untuk Hematocrit < 45% pada laki-laki dan perempuan


+
Aspirin Dosis Rendah (40-100mg) 1x sehari

Penyakit Resiko Rendah Penyakit Resiko Tinggi


Tidak ada Riwayat Trombosis Ada Riwayat Trombosis
Usia ≤60 tahun Usia> 60 tahun

Penambahan Hydroxyurea 2x500mg Intoleran atau resistan


Kontrol gejala mikrovaskular yang Hydroxyurea
tidak memadai
atau
adanaya factor resiko kardiovaskular Riwayat Riwayat Pegylated IFN-α
atau Trombosis arteri Trombosis vena Pasien Muda
adanya leukositosis

Pertimbangkan Pemberian Busulfan


Pertimbangkan pemberian Aspirin 2x1 pemberian Antikoagulan Pasien Dewasa
Aspirin 2x1 sistemik
D. Hipertensi Urgensi
Definisi
Hipertensi Urgensi adalah kondisi dimana tekanan darah sistolik
lebih dari 180mmHg atau tekanan diastolic lebih dari 120mmHg pada
pasien stabil tanpa disertai adanya bukti secara klinis atau laboratorium
yang mengarah pada target organ damage.

Diagnosis
Untuk diagnosis hipertensi emergensi adalah dengan ditemukannya
tekanan darah sistolik lebih dari 180mmHg atau tekanan diastolic lebih
dari 120mmHg pada pasien stabil tanpa disertai adanya bukti secara klinis
atau laboratorium yang mengarah pada target organ damage. Berikut
adalah macam-macam dari TOD;
Tatalaksana
Tatalaksana pada Hipertensi Urgensi dapat dilakukan dengan
pemakaian Nicardipine SP ( Syringe Pump ) dengan dosis titrasi awal
5mg/h dapat ditingkatkan 2.5mg setiap 5 menit sampai dosis maksimal
titrasi 15mg/h. Sedangkan untuk tekanan darah yang ingin dicapai sebagai
berikut;

Sasaran Waktu Sasaran Tekanan Tekanan Darah


1 Jam pertama Penurunan MAP sebanyak 25% (
tetap mempertahankan sasaran
tekanan diastole ≥ 100mmHg
Jam 2 – 6 Tekanan sistol 160mmHg dan atau
tekanan diastole 100-110mmHg
Jam 6 – 24 Mempertahankan sasaran seperti
jam 2 – 6 sampai 24 jam pertama
24 – 48 jam Rawat pasien sesuai dengan
Guideline Tekanan Darah Tinggi
pada orang dewasa tahun 2017.
Tabel Sasaran Tatalaksana Tekanan Darah pada Hipertensi Emergensi
Daftar Pustaka
1. Papadopoulos DP, Sanidas EA, Viniou NA, Gennimata V, Chantziara
V, Barbetseas I, Makris TK Curr Hypertens Rep. 2015 Feb; 17(2):5.
2. Muiesan, M. L., Salvetti, M., Amadoro, V., di Somma, S., Perlini, S.,
Semplicini, A., … Pedrinelli, R. (2015). An update on hypertensive
emergencies and urgencies. Journal of Cardiovascular Medicine, 16(5),
372–382.
3. Benken ST. Hypertensive emergencies; CCSAP 2018 book 1 medical
issues in the ICU. Lenexa, Kansas, United States: American College of
Clinical Pharmacy; 2018.
4. Tefferi A, Lasho TL, Guglielmelli P, et al. Targeted deep sequencing in
polycythemia vera and essential thrombocythemia. Blood Adv
2016;1:21-30.
5. Tefferi A, Rumi E, Finazzi G, et al.Survival and prognosis among 1545
patients with contemporary polycythemia vera: an international study.
Leukemia 2013;27(9):1874-1881.
6. PERKENI. (2019). Pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes
melitus tipe 2 dewasa di Indonesia. Jakarta: PERKENI.
7. Mendelow AD, Lo EH, Sacco RL, FAAN MMF, Wong LK. Stroke:
pathophysiology, diagnosis, and management: Elsevier Health
Sciences; 2015.
8. Polycythemia Vera Workup: Approach Considerations, Laboratory
Studies, Imaging Studies (medscape.com)
9. Kelompok Studi Stroke Perdossi. Guideline Stroke. Jakarta: Perdossi,
2011.
10. Williams B, Mancia G, Spiering W, et al. 2018 ESC/ESH guidelines for
the management of arterial hypertension: the task force for the
management of arterial hypertension of the European Society of
Cardiology and the European Society of Hypertension: The Task Force
for the management of arterial hypertension of the European Society of
Cardiology and the European Society of Hypertension. J Hypertens
2018;36: 1953–2041.
11. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb
C, Handler J, Lackland DT, Lefevre ML, Mackenzie TD, Ogedegbe O,
Smith SC, Svetkey LP, Taler SJ, Townsend RR, Wright JT, Narva AS,
Ortiz E. 2014 Evidence-based guideline for the management of high
blood pressure in adults: report from the panel members appointed to
the Eighth Joint National Committee (JNC 8).JAMA. 2014; 311:507–
520.
12. Can Artificial Intelligence Tell the Difference Between Ischemic and
Hemorrhagic Stroke? – Young Scientists Journal (ysjournal.com)
13. Powers WJ, Rabinstein AA, Ackerson T, et al. 2018 Guidelines for the
early management of patients with acute ischemic stroke: a guideline for
healthcare professionals from the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke 2018;49(3):e46-
e110.

Anda mungkin juga menyukai