Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN April 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

CHRONIC KIDNEY DISEASE

vv
Disusun oleh:
Asmayuni Jumad
2018-84-003

Konsulen
dr. Ria Jauwerissa, Sp. PD, M. Biomed

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
BAB I
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AI
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 25 Oktober 1959
Umur : 59 Tahun
Pekerjaan : Pensiunan
Agama : Islam
Alamat : Jalan Baru
No. RM : 14.20.22
Tanggal MRS : 20 januari 2019
2. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dan autoanamnesis
a. Keluhan Utama :
Sesak napas 1 hari SMRS
b. Keluhan Tambahan :
Batuk berlendir, lemas, mual dan muntah, bengkak kedua kaki, sulit tidur malam.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas 1 hari SMRS. Pada awalnya keluhan
dirasakan hilang timbul dan mulai memberat. Keluhan sedikit berkurang ketika
pasien duduk, memberat jika pasien berbaring. Pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak sejak 1 minggu, intensitas hilang timbul, dan dahak yang keluar berwarna
kuning cair sampai kental, tidak ada darah. Pasien juga mengeluh lemas, mual dan
muntah 3x, berupa makanan hingga cairan berwarna kuning 2 hari yang lalu.
Keluhan lain yang dirasakan bengkak pada kedua kaki mulai 3 hari yang lalu, dan
pasien sulit tidur dimalam mulai dari keluhan yang dirasakan. Tidak ada keluhan
demam, pusing, nyeri kepala, atau pun nyeri perut. Makan/minum berkurang,
BAK/BAB tidak lancar (sedikit-sedikit dan jarang).
d. Riwayat Kebiasaan :
- Riwayat merokok : tidak ada
- Riwayat minum alkohol : tidak ada
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat sakit serupa : tidak diketahui
- Riwayat Diabetes Melitus : ada (orang tua)
- Riwayat Hipertensi : ada (orang tua)

3
- Riwayat dilakukannya HD : tidak ada
f. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat sakit serupa : Penah dirawat di RSUD Haulussy dengan
keluhan yang sama (Mei 2018) dan dilakukan HD pertama kali.
- Riwayat Diabetes Melitus :sejak 5 tahun yang lalu terkontrol
- Riwayat Hipertensi :sejak 10 tahun yang lalu terkontrol
- Riwayat penyakit infeksi :tidak ada
g. Riwayat Pengobatan :
- Pasien mengkonsumsi obat amlodipine 1x10 mg, candesartan 1x16 mg,
furosemide 1x 40mg.
- Pasien rutin melakukan hemodialisa di RSUD M. Haulussy dengan jadwal 1
minggu 2x pada hari rabu dan jumat.

3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 20 Januari 2019.
a. Keadaan umum : Sakit sedang
b. Status Gizi : Cukup (BB 57 kg, TB 163 cm, IMT 21,45 kg/m2)
c. Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
d. Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 150/90 mmHg
- Nadi : 65x/menit reguler
- Pernapasan : 24x/menit
- Suhu : 36,60 C
e. Kepala :
- Bentuk Kepala : Normocephal
- Simetris Wajah : Simetris
- Rambut : berwaran hitam beruban dengan distribusi tidak merata
f. Mata :
- Bola mata : Eksoftalmus/endoftalmus (-/-)
- Gerakan : Bisa ke segala arah, strabismus (-/-)
- Kelopak mata : Xanthelasma (-/-), edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (+/+), ikterus (-/-)
- Kornea : Injeksi siliaris (-/-), sikatrik kornea (-/-)
- Pupil : Isokor (3 mm/3 mm), reflex cahaya langsung (+/+), reflex
cahaya tidak langsung (+/+)
g. Telinga :
- Aurikula : Tofus(-/-), sekret (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-), nyeri tekan
tragus (-/-)

- Pendengaran : Kesan Normal

4
- Proc. mastoideus : Nyeri tekan (-/-)
h. Hidung :
- Cavum Nasi : Lapang (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), krusta (-/-)
i. Mulut :
- Bibir : Pucat (+), stomatitis (-), perdarahan (-)
- Tonsil : T1/T1, hiperemis (-)
- Gigi : Intak
- Gusi : Perdarahan (-)
- Lidah : Atrofi papil lidah (-), kandidiasis oral (-)

j. Leher
- Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
- Kelenjar tiroid : Ukuran kesan normal, permukaan licin, konsistensi kenyal, nyeri
tekan (-)
- DVS : JVP = 5-2 cmH2O
- Pembuluh darah : Venektasi (-), pulsasi abnormal (-)
- Kaku kuduk : Negatif
- Tumor : Tidak ada
k. Dada
- Inspeksi : Simetris kiri = kanan, pembengkakan abnormal (-)
- Bentuk : Normochest
- Pembuluh darah : Venektasi (-), spider naevi (-),
- Buah dada : Simetris kiri = kanan, tanda radang (-)
- Sela iga : Pelebaran (-), retraksi (-)
- Atrofi M. Pectoralis Mayor (-)
l. Paru
- Palpasi : Fremitus raba simetris kiri = kanan, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Batas Paru-hepar : sonor menjadi pekak pada ICS VI,
Batas belakang paru kanan : sonor menjadi pekak pada vertebra torakalis IX,
Batas belakang pasru kiri : sonor vertebra torakalis XI.
- Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler, bunyi tambahan ronki basah halus
lapang paru kanan (+/-), Wheezing (-/-)

5
m. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tampak ICS V linea mid clavicula sinistra
- Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V linea mid clavicula sinistra
- Perkusi : Redup, batas jantung kanan ICS III-IV linea parasternalis
dextra, pinggang jantung di ICS III sinistra (2-3 cm dari mid sternum), batas
kiri jantung di ICS V linea mid clavicularis sinistra.
- Auskultasi : BJ I dan II regular dgn HR 47x/m, murmur sistolik (-),
gallop (-)
n. Perut
- Inspeksi : Datar, striae (-), caput medusae (-)
- Palpasi :Nyeri tekan epigastrium (-), hepatosplenomegali (-),
ballotement ginjal (-/-), tidak teraba masa tumor
- Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
o. Alat Kelamin :
Tidak dilakukan pemeriksaan.
p. Anus dan Rectum :
Tidak dilakukan pemeriksaan.
q. Punggung :
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
- Perkusi : Nyeri ketok CVA (-/-)
r. Ekstremitas :
- Inspeksi : Sianosis (+), clubbing finger (+)

- Palpasi : Akral dingin (+), pembesaran kelenjar getah bening aksila


dan inguinal (-), Pada kedua tungkai Edema (+), Pitting edema (+).

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Kimia (Tanggal 20 Januari 2019)
Gula Darah Puasa : 222 mg/dl
Ureum : 167 mg/dl

6
Creatinin : 8,5 mg/dl
Albumin : 3,5 mg/dl
b. Darah Rutin (Tanggal 20 Januari 2019)
PRC : 2,42 106 L
HB : 8,1 g/dl
HT : 23,0 %
MCV : 95 um3
MCH :33,5 pg
MCHC :35,5 g/dl
PLT : 8,5 103 L
WBC : 3,1 103 L

c. EKG

d. Foto Thoraks PA : Tampak corokan bronkovesikuler kasar dikedua paru, SPC


dekstra tumpul, pembesaran ventrikel.

7
Kesan : Pembesaran ventrikel kiri dan Efusi Pleura Dekstra.

5. DIAGNOSIS
 CKD stage e.c DKD on HD
- Anemia ringan normositik normokrom e.c CKD
- Susp. Lung edema
 CHF grade III-IV e.c HHD
- HT grade I
- Bradikardi symptomatic
 Trombocitopenia e.c susp. HIT
 Pneumonia
 DM type 2

6. DIAGNOSIS BANDING : -

7. RENCANA PENGOBATAN
- IVFD NaCl 0,9% 8 TPM
- O2 3 LPM Nasal Canul
- Furosemid 3x1 amp
- Clonidin 1x1 Tab
- Ambroxsol 3x1 Tab
- Transfusi PRC 2 kolf

8
8. FOLLOW UP

Tanggal Follow-Up Tatalaksana


25/01/2019 (H1) S : Sesak napas, kedua kaki bengkak, - IVFD NaCl 0,9% 8
 TD : 150/80 mmHg
batuk berlendir (putih-kuning), sulit tpm
 S : 36,70C - IVFD Levo 1x1 20 tpm
 N : 80 x/mnt regular tidur malam.
- Ceftriakson 2x1 gr/IV
 P : 22 x/menit - Furosemid 3x1 amp
 SPO2 : 98% (O2 Nasal O : Mata: CA +/+, SI -/- - Clonidin 3x1 tab
Canul 3 LPM) - Amplodipin 1x10mg
Cor: BJ I & II regular, mur 2 (-),
- TF PRC 2 Kolf
gallop (-)
Paru: BP vesikuler, Rh +/-,Wh -/-
Ext: Edema (+/+)

A : CKD on HD, Anemia, HT gr. I,


CHF gr. III-IV

26/01/2019 (H2) S : Sesak napas berkurang, kedua - IVFD NaCl 0,9% 8


 TD : 170/90 mmHg
kaki bengkak, batuk berlendir tpm
 S : 360C - IVFD Levo 1x1 20 tpm
 N : 75 x/mnt regular (putih-kuning), sulit tidur malam.
- Ceftriakson 2x1 gr/IV
 P : 20 x/menit - Furosemid 3x1 amp
 SPO2 : 98% (O2 Nasal O : Mata: CA +/+, SI -/- - Clonidin 3x1 tab
Canul 3 LPM) - Amplodipin 1x10mg
Cor: BJ I & II regular, mur 2 (-),
- Candesartan 1x 16mg
gallop (-) - Endomex 3x1 tab
Paru: BP vesikuler, Rh +/-,Wh -/-
Ext: Edema (+/+)

A : CKD on HD, Anemia, HT gr. II,


CHF gr. III-IV

27/01/2019 (H3) S : Sesak napas berkurang, kedua - IVFD NaCl 0,9% 8


 TD : 140/70 mmHg
kaki bengkak, batuk berlendir tpm
 S : 360C - IVFD Levo 1x1 20 tpm
 N : 70 x/mnt regular (kecoklatan), sulit tidur malam.
- Ceftriakson 2x1 gr/IV
 P : 20 x/menit - Furosemid 3x1 amp
 SPO2 : 99% (O2 Nasal O : Mata: CA +/+, SI -/- - Clonidin 3x1 tab
Canul 2 LPM) - Amplodipin 1x10mg
Cor: BJ I & II regular, mur 2 (-),
- Candesartan 1x 16mg

9
gallop (-) - Codein 3x1 tab
- Clobazam 1x10mg
Paru: BP vesikuler, Rh +/-,Wh -/-
- TF PRC 1 Kolf
Ext: Edema (+/+)

A : CKD on HD, Anemia, HT gr. I,


CHF gr. III-IV

28/01/2019 (H4) S : Sesak napas berkurang, kedua - IVFD NaCl 0,9% 8


 TD : 130/80 mmHg kaki bengkak berkurang, batuk tpm
 S : 370C - IVFD Levo 1x1 20 tpm
 N : 79 x/mnt regular berlendir (coklat).
- Ceftriakson 2x1 gr/IV
 P : 20 x/menit - Furosemid 3x1 amp
 SPO2 : 98% (O2 Nasal O : Mata: CA +/+, SI -/- - Clonidin 3x1 tab
Canul 2 LPM) - Amplodipin 1x10mg
Cor: BJ I & II regular, mur 2 (-),
- Candesartan 1x 16mg
gallop (-) - Codein 3x1 tab
- Clobazam 1x10mg
Paru: BP vesikuler, Rh +/-,Wh -/-
- TF PRC 1 Kolf
Ext: Edema (+/+) - Cek HB post. TF

A : CKD on HD, CHF gr. III-IV

29/01/2019 (H5) S : mual, muntah (2x berisi makanan- - IVFD NaCl 0,9% 8
 TD : 140/90 mmHg cairan), Sesak napas berkurang, tpm
 S : 370C - Furosemid 3x1 tab
 N : 89 x/mnt regular kedua kaki bengkak berkurang, batuk
- Clonidin 3x1 tab
 P : 20 x/menit berkurang, blm BAB 5 hri - Amplodipin 1x10mg
 SPO2 : 99% (O2 Nasal - Candesartan 1x 16mg
Canul 2 LPM) - Codein 3x1 tab
O : Mata: CA -/-, SI -/-
Cor: BJ I & II regular, mur 2 (-),
gallop (-)
Paru: BP vesikuler, Rh +/-,Wh -/-
Ext: Edema (+/+)

HB : 10,2 g/dL

A : CKD on HD, CHF gr. III-IV

PASIEN PULANG

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Chronic Kidney Disease


2.1.1 Definisi
Gagal Ginjal Kronik (GGK) didefinisikan sebagai ketidaknormalan struktur atau
fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan yang progresif ke arah gagal ginjal terminal.
Kriteria lain dari GGK adalah terdapat tanda kerusakan ginjal seperti terjadinya
albuminuria, adanya sedimen urin, abnormalitas elektrolit yang disebabkan oleh penyakit
tubular, riwayat transplantasi ginjal serta penurunan nilai GFR hingga kurang dari 60
ml/menit/1,73m2. Pasien GGK dengan nilai GFR kurang dari 15 ml/menit/1,73m2 perlu

11
dilakukan inisiasi hemodialisis atau transplantasi ginjal (KDIGO, 2013).1 KDIGO juga
menjelaskan kriteria lain dari GGK ialah sebagai berikut
1. Kerusakan ginjal yang ditandai satu atau lebih dari penanda berikut:
a. albuminuria (AER ≥ 30 mg/24 jam; ACR ≥ 30 mg/g);
b. adanya sedimen urin;
c. abnormalitas elektrolit yang disebabkan oleh penyakit tubular;
d. riwayat transplantasi ginjal.
2. ‘Penurunan nilai GFR hingga kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2.

2.1.2 Etiologi
Di Indonesia jumlah pasien penyakit gagal ginjal berdasarkan diagnosa
etiologi/comorbid tahun 2012 menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(PERNEFRI), dimana penyakit ginjal hipertensi masih menduduki angka tertinggi yaitu
5.654 pasien, disusul nefropati diabetika sebanyak 4.199 pasien. Untuk wilayah DIY
angka tertinggi penyakit ginjal hipertensi sebanyak 746 pasien dan angka nefropati
diabetika sebanyak 534 pasien. Penyakit penyebab pasien hemodialisis pada tahun 2012
menurut data (PERNEFI2013)2. Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan
tekanan darah tinggi, yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation,
2015).

2.1.3 Klasifikasi Stadium


Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan kemampuan ginjal
dalam menjalankan fungsinya.
Berikut adalah klasifikasi stadium CKD:

12
Tabel 2.1 Stadium CKD (KDIGO, 2013)

Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh pasien sekaligus
sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah CKD yang dialami, maka nilai GFRnya
akan semakin kecil. Chronic Kidney Disease stadium 5 disebut dengan gagal ginjal. Perjalanan
klinisnya dapat ditinjau dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dengan GFR sebagai
presentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN).
Kadar BUN dapat diukur dengan rumus berikut:

Perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama merupakan
stadium penurunan cadangan ginjal dimana pasien tidak menunjukkan gejala dan kreatinin serum
serta kadar BUN normal. Gangguan pada fungsi ginjal baru dapat terdeteksi dengan pemberian
beban kerja yang berat seperti tes pemekatan urin yang lama atau melakukan tes GFR yang teliti.
Stadium kedua disebut dengan insufisiensi ginjal. Pada stadium ini, ginjal sudah mengalami
kehilangan fungsinya sebesar 75%. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat melebihi
nilai normal, namun masih ringan. Pasien dengan insufisiensi ginjal ini menunjukkan beberapa
gejala seperti nokturia dan poliuria akibat gangguan kemampuan pemekatan. 1
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari, namun
perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini menyebabkan berkurangnya
massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi, terjadilah hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih tersisa yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor.
Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah

13
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti dengan
penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi.
Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk.
Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada DM.
Mekanisme peningkatan GFR yang terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi
kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang
diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth Factor (IGF) – 1, nitric oxide,
prostaglandin dan glukagon. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi
nonenzimatik asam amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi ekspansi
mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis.
Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal. Hipertensi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada arteriol di seluruh
tubuh, ditnadai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Salah satu
organ sasaran dari keadaan ini adalah ginjal . Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai
kompensasi, pembuluh darah akan melebar. Namun di sisi lain, pelebaran ini juga menyebabkan
pembuluh darah menjadi lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang
kelebihan air serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam tubuh
kemudian dapat menyebabkan tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga keadaan ini
membentuk suatu siklus yang berbahaya.3

2.1.5. Gambaran Klinis


Gambaran klinis pasien CKD meliputi gambaran yang sesuai dengan penyakit yang
mendasari, sindrom uremia dan gejala kompikasi. Pada stadium dini, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal dimana GFR masih normal atau justru meningkat. Kemudian terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan. Ketika GFR sebesar
30%, barulah terasa keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan
penurunan berat badan. Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien menunjukkan gejala uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,

14
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terserang infeksi, terjadi gangguan
keseimbangan elektrolit dan air. Pada GFR di bawah 15%, maka timbul gejala dan komplikasi. 4

2.1.6 Penegakan Diagnosis


Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak langsung. Bukti langsung
kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitraan atau pemeriksaan histopatologi biopsi ginjal.
Pencitraan meliputi ultrasonografi, computed tomography (CT), magnetic resonance imaging
(MRI), dan isotope scanning dapat mendeteksi beberapa kelainan struktural pada ginjal.
Histopatologi biopsi renal sangat berguna untuk menentukan penyakit glomerular yang mendasari.
Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari urinalisis. Inflamasi atau
abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan kebocoran sel darah merah atau protein. Hal ini
dideteksi dengan adanya hematuria atau proteinuria. Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan
mempergunakan rumus. Penggunaan rumus ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin. 1

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )


72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.6
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

15
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit
termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik
(keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum
klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
 sesuai dengan penyakit yang mendasari;
 sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia,
kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
 gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
chlorida).
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit
yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan
rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar
hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi
meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk
oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi

16
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

2.1.7 Penatalaksanaan
A. Terapi konservatif
Pengobatan konservatif terdiri dari 2 strategi. Pertama adalah usaha-usaha untuk
memperlambat laju penurunan fungsi ginjal yaitu dengan pengobatan hipertensi,
pembatasan asupan protein, restriksi fosfor, mengurangi proteinuria dan mengendalikan
hiperlipidemia. Kedua adalah mencegah kerusakan ginjal (KDIGO, 2013).1

Tabel 2.2. Manejemen Tatalaksana CKD (KDIGO 2012)


Terapi Kondisi
GFR<60mL/menit/1,73m2 dan/atau
Terapi dengan bikarbonat
transplantasi ginjal
GFR<60mL/menit/1,73m2 dan/atau
Terapi dengan allopurinol
transplantasi ginjal dengan/tanpa hiperuresemia
Inisiasi dilakukan RRT (Renal Replacement
GFR<30mL/menit/1,73m2
Therapy)
GFR<60mL/menit/1,73m2 dan/atau
Diet protein
transplantasi ginjal

Pedoman KDIGO juga merangkum catatan penting dalam peresepan obat pada pasien
dengan gangguan ginjal kronik.

Tabel 2.3. Catatan Penting untuk Peresepan pada Pasien GGK (KDIGO, 2012)
Obat Catatan Penting
1. Antihipertensi
Antagonis sistem  Hindari pada pasien yang diduga gangguan fungsional stenosis arteri ginjal
RAA (ACEI,  Dimulai dengan dosis yang lebih rendah pada pasien dengan
ARB, antagonis GFR<45mL/menit/1,73m2
aldosteron,  Menilai GFR dan mengukur serum kalium dalam waktu 1 minggu dari awal
inhibitor renin

17
pemberian atau mengikuti setiap eskalasi dosis
 Dihentikan sementara selama adanya penyakit penyerta, persiapkan radiocontrast
langsung) secara IV, persiapan untuk colonscopy atau sebelum operasi besar
 Jangan rutin menghentikan pengobatan pada pasien dengan
GFR<30mL/menit/1,73m2 selama mereka tetap nephroprotective
Beta-blocker  Turunkan dosis hingga 50% pada pasien dengan GFR<30mL/menit/1,73m2
Digoxin  Turunkan dosis berdasarkan konsentrasi plasmanya

2. Analgetik
 Hindarkan pada pasien dengan GFR<30mL/menit/1,73m2
 Terapi jangka panjang tidak direkomendasikan pada pasien dengan GFR
NSAID <60mL/menit/1,73m2
 Dianjurkan tidak digunakan pada pasien yang menggunakan lithium
 Hindarkan pada pasien yang menggunakan RAAS blocking agent
 Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
Opioid
 Gunakan dengan peringatan pada pasien dengan GFR<15mL/menit/1,73m2
3. Antimikroba
 Risiko crystalluria ketika GFR<15mL/menit/1,73m2 dengan dosis tinggi
Penicillin  Neurotoksik dengan benzylpenicillin ketika GFR<15ml/menit/1,73m2dengan
dosis tinggi (maksimum 6 g/hari)
 Turunkan dosis dan atau naikkan interval dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
Aminoglikosida  Monitor konsentrasi serum
 Hindari pemakaian ototoxic agents secara bersamaan seperti furosemide
Makrolida  Turunkan dosis sampai 50% ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
Fluorokuinolon  Turunkan dosis sampai 50% ketika GFR<15mL/menit/1,73m2
Tetrasiklin
 Turunkan dosis ketika GFR<45mL/menit/1,73m2, dapat memperburuk uremia

 Hindari amphotericin kecuali tidak ada alternatif ketika GFR<60mL/menit/1,73m 2


Antifungi  Turunkan dosis pemeliharaan dari fluconazole sampai 50% ketika
GFR<45mL/menit/1,73m2
 Turunkan dosis flucytosine ketika GFR<60mL/menit/1,73m2

4. Obat
Hipoglikemia
 Hindari obat-obat yang utamanya dieksresi melalui ginjal (contoh:
glyburide/glibenklamid)
Sulfonilurea
 Obat-obat yang utamanya dimetabolisme di hati perlu diturunkan dosisnya ketika
GFR<30mL/menit/1,73m2 (contoh: gliclazide, gliquidone)
 Sebagian diekskresi di ginjal dan perlu diturunkan dosisnya ketika
Insulin
GFR<30mL/menit/1,73m2
Metformin  Dianjurkan untuk dihindari ketika GFR<30mL/menit/1,73m 2, tapi pertimbangkan

18
risk-benefit jika nilai GFR stabil
 Tinjau penggunaan ketika GFR<45mL/menit/1,73m2
 Dimungkinkan aman ketika GFR≥45mL/menit/1,73m2
 Tunda penggunaan pada pasien yang tidak sehat secara mendadak
5. Antihiperlidemia
 Tidak ada kenaikan toksisitas untuk simvastatin dengan dosis 20 mg/hari atau
kombinasi simvastatin 20 mg dan ezetimide 10 mg per hari pada pasien dengan
Statin GFR<30mL/menit/1,73m2 atau dengan dialysis
 Uji lain tentang statin pada pasien dengan GFR <15mL/menit/1,73m 2 atau dengan
dialisis juga menunjukan tidak ada kelebihan toksisitas
Fenofibrat  Menaikkan SCr sekitar 0,13 mg/dL (12µmol/L)
6. Kemoterapetik
Cisplatin  Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
Melphalan  Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
 Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
Methotrexate
 Hindari jika mungkin ketika GFR<15mL/menit/1,73m2
7. Antikoagulan
 Bagi dua dosis ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
Heparin berbobot
molekul kecil  Pertimbangkan beralih ke heparin konvensional atau dengan alternatif memantau
plasma anti-faktor Xa pada pasien yang berisiko tinggi perdarahan
 Menaikkan risiko perdarahan ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
Warfarin  Pakailah dosis lebih rendah dan monitor secara ketat ketikat
GFR<30mL/menit/1,73m2
8. Lain-lain
 Nefrotoksisk dan dapat menyebabkan disfungsi tubular ginjal dengan penggunaan
jangka panjang bahkan dalam range terapeutik
Lithium  Memantau GFR, elektrolit dan level lithium 6 bulanan atau secara rutin jika dosis
berubah atau pasien tidak sehat mendadak
 Hindari penggunaan bersamaan dengan NSAI

2.1.8. Hemodialisa
Hemodialisis pertama kali diperkenalkan sebagai pengobatan efektif yang bisa
diterapkan dalam 19.431 prospek pasien dengan gagal ginjal yang kemudian dapat
merubah antisipasi risiko kematian yang akan datang menjadi kelangsungan hidup yang
lebih panjang. Sejak itu, pelaksanaan dialisis telah maju dari intensif bedside therapy
menjadi pengobatan yang lebih mudah, kadang-kadang dapat diberikan dengan self-
administered di kediaman pasien sendiri, menggunakan teknologi modern yang telah

19
disederhanakan dengan mengurangi waktu dan usaha yang dibutuhkan oleh pasien dan
perawat Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah
yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (Renal
Replacement Therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal.
Hemodialisis dilakukan pada penderita GGK stadium 5 dan pada pasien dengan Acute
Kidney Injury (AKI) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.5
Menurut prosedur yang dilakukan hemodialisis dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
hemodialisis darurat/emergency, hemodialisis persiapan/preparative dan hemodialisis
kronik/regular. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis
adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya
UF atau penarikan cairan saat hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40%
penderita yang menjalani hemodialysis reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien
hemodialisis tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi
intradialitik atau intradialytic hypertension (K-DOQI, 2015).1

2.1.9. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Antara lain ;6

1. Gangguan Biokimiawi
a. Asidosis metabolic
Pada diet normal ginjal harus mengeluarkan 40-60 mEq ion hydrogen (H +), setiap harinya
untuk mencegah asidosis. Pada gagal ginjal gangguan kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan H+ mengakibatkan asidosis sistemik disertai penurunan kadar bikarbonat
(HCO3-) dan PH plasma. kadar (HCO3-) menurun untuk mendapatkan H+. eksresi ion
ammonium merupakan mekanisme utama ginja dalam usahanya mengeluarkn H+ dan
pembentukan kembali (HCO3-). Pada gagal ginjal sekresi ammonium berkurang karena
berkurangnya jumlah nefron. Ekskresi fosfat adalah mekanisme lain untuk mengskresi H+.
pada G, fosfat cenderung tertahan dalam tubuh karena berkurangnya masa nefron. Gejala

20
anoreksia, mual, dan lelah sering ditemukan pada pasien uremia, sebagian disebabkan oleh
asidosis. Salah satu gejala yang jelas akibat asidosis adalah pernapasan kussmaul (dalam dan
berat) yang timbul karena kebutahan untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida, sehingga
mengurangi keparahan asidosis.
b. Ketidakseimbangan Kalium
Hypokalemia dapat menyerupai polyuria pada CKD tertutama pada e.c penyakit tubulus
seperti pielonefritis kronik. Akan tetapi akan hyperkalemia selalu terjadi bila pasien
mengalami oliguria pada CKD. Hyperkalemia melalui pergeseran dari dalam ke sel cairan
ektraselular. Efek dari hyperkalemia yang mengancam kehidupan pengaruhnya pada hantaran
listrik jantung.
c. Ketidakseimbangan Natrium
Pada CKD kehilangan kemampuan ginjal yang sangat fleksibel. Pada insufisiensi ginjal dini
(bila terjadi polyuria), terjadi kehilangan natrium karena peningkatan beban zat terlarut pada
nefron yang utuh, diuresis osmotic mengakibatkan kehilangan natrium secara obligat.
d. Azotemia
Peningkatan kadar urea dan kreatinin plasma biasanya merupakan tanda timbulnya gagal
ginjal terminal dan menyerupai gejala uremik. Beberapa zat yang ditemukan dalam darah
pasien uremia yang mungkin bertindak sebagai racun adalah guanidine, fenol, amin, urat,
kreatinin dan asam hidroksi.

e. Hiperurisemia
Peningktan kadar asam urat serum dan pembentukan Kristal yang menyumbat ginjal dapat
menyebabkan gagal ginjal akut atau kronik. Sebaliknya, pada stadium ini gagal ginjal kronik,
dapat timbul gangguan ekskresi ginjal sehingga kadar asam urat serum biasanya meningkat.
Penderita CKD mengalami serangan artritis gout akibat endapan garam urat pada sendi dan
jaringan lunak.

2. Gangguan Kemih-Kelamin
Poliuria akibat diuresis osmotic lambat laun akan menjadi oliguria, bahkan juga anuria karena
kerusakan massa nefron yang berlangsung bertahap. Selain itu diuresis osmotic juga

21
menimbulkan gejala penting lain berupa nokturia dan pembalikan pola diurnal ekskresi urin
yang relative konstan pada siang dan malam. Penderita uremia menunjukan hilangnya
kemampuan pemekatan atau pengenceran urin dari kadar plasma. diare atau muntah dapat
menyebabkan dehidrasi secara cepat dan mengakibatkan hipovolemi, penurunan GFR,
memberburuk fungsi ginjal, sementara asupan air yang berlebihan dapat meyebabkan
kelebihan beban sirkulasi,edema, dan gagal jantung kongestif. Perempuan yang menderita
uremia mungkin berhenti menstruasi, sedangkan laki-laki umumnya menjadi impoten dan
streril bila GFR turun hingga 5 ml/menit. Baik perempuan/laki2 akan kehilangan libido bila
uremia semakin memberat. Sesudah menjalani transplantsi ginjal atau dialisa fungsi seksual
dan reproduksi kembali normal.

3. Kelainan kardiovaskular
Sindrom uremik sering disertai hipertensi dan gagal jantung kongestif. Sekitar 90% hipertensi
bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi dan natrium dan air sementara kurang
dari 10% yang bergantung pada renin. Kombinasi hipertensi, anemia dan kelebihan beban
sirkulasi yang disebabkan oleh retensi dan air semuanya berperan dalam meningginya
kecenderungan kasus gagal jantung kongestif. Foto thoraks memperlihatkan gambaran jantung
yang membesar bila terjadi efusi pericardial.

4. Perubahan pernapasan
Pernapasan kussmaul pada pasien yang menderita asidosis berat. Namun, penderita asidosis
sedang akibat insufisiensi ginjal kronik cenderung mengeluhkan dyspnea pada waktu
melakukan kegiatan fisik, dan perubahan pernapasam yang makin dalam. Komplikasi lain
pada pernapasan akibat gagal ginjal adal “paru uremik” dan pneumonitis. Foto thoraks pada
paru uremik memperlihatkan infiltrasi bilateral terbentuk kupu-kupu pada paru. Sebenarnya
keadaan ini merupakan suatu edema paru yang tentunya disertai kelebihan beban cairan akibat
retensi natrium dan air dan atau gangguan ventrikel kiri. Konfigurasi kupu-kupu pada edema
paru terjadi peningkatan permeabilitas membran kapiler alveolar disekitar hilus paru. Infeksi

22
bilateral penyebab pneumonitis dapat menunggangi paru basah kronik. Kongesti paru dengan
menurunannya cairan tubuh melalui pembatasan garam dan hemodialisa.

5. Kelaianan hematologi
Anemia normositik dan normokromik yang biasanya khas selalu terjadi pada sindrom uremik.
Biasanya hematocrit menurun dari 20-30% sesuai dengan derajat azotemia. Penyebab utama
anemia adalah berkurangnya sel darah merah. Penurunan pembentukan sel darah merah ini
akibat defisiensi pembentukan eritropiten oleh ginjal, juga racun uremik dapat menginaktifkan
eritropoiten atau menekan respon sumsum tulang terhadap eritropoiten. Faktor lain yang ikut
berperan pada anemia masa hidup sel darah merah pada pasien CKD hanya separuh dari masa
hidup normal dan kehilangan darah iatrogenic dan defisiensi zat besi dan asam folat.
Kekurangan zat besi dapat disebabkan oleh kehilangan darah dan absorpsi saluran cerna yang
buruk. Kecenderungan untuk mengalami perdarahan pada uremia disebabkan oleh gangguan
kualitatif trombosit dan mengakibatkan gangguan adhesi, maka terjadi hambatan pada
gangguan faktor pembekuan darah. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin <
10 g/dL atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum),
mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan
sebagainya.

6. Kelainan Kulit
Penimbunan pigmen urin (terutama urokrom) bersama anemia pada insufisiensi ginjal
lanjut akan menyebabkan kulit pasien menjadi putih seakan-akan berlilin dan
kekuning-kuningan. Terutama pada daerah telapak tangan dan kaki. Kulit akan
menjadi keringdan bersisik, sedangkan rambut menjadi rapuh dan berubah warna, serta
kuku yang tipis dan rapuh. Perubahan ini merupakan ciiri khas kehilangan protein
kronik. Pada penderita uremia sering mengalami pruritus dan ini dianggap sebagai
manifestasi peningkatan fungsi kelenjar tiroid dan pengendapan kalsium dalam kulit.

23
7. Kelainan Pada Saluran Pencernaan
Anoreksia, mual dan muntah merupakan gejala yang sering ditemukan pada uremia
dan sering kali menjadi gejala awal penyakit. Pasien juga sering mengeluh rasa kecap
logam pada mulutnya, dan napasnya mungkin berbau ammonia. Mulut dapat
mengalami peradangan dan ulserasi dan lidah dapat menjadi kering dan berselaput.
Flora normal mulut terdiri dari organisme (bakteri karang gigi) yang dapat memecah
urea dalam saliva sehingga terbentuk ammonia. Inilah yang menyebabkan timbulnya
bau seperti urin pada napas, dapat mengubah cita rasa serta merupakan faktor pemicu
terjadinya mual dan kemudian muntah, predisposisi peradangan atau infeksi jaringan.
Dapat juga terbentuk tukak dari mukosa lambung, usus kecil dan besar, dapat
menyebabkan perdarahan yang cukup berat menyebabkan penurunan tekanan darah
akan semakin menurunkan GFR sedangkan darah yang dicerna menyebabkan
peningkatan kadar BUN.

8. Kelainan Neuromuskular
Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg
syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan saraf dapat pula berupa
kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan
kesadaran atau koma. Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi,
insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan
mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada
pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).

9. Kelaianan Kalsium dan Rangka


Gangguan rangka pada CKD disebut osteodistrofi ginjal yang terdiri dari tiga lesi;

24
a. Osteomalasia. Gangguan mineralisasi tulang dan disebabkan oleh difisiensi 1,25
dihidoksikolekalsiferol (1,25 OH2D3) atau kalsitrol, berbentuk paling aktif vitamin
D yang dimetabolisme jika terjadi defisiensi menyebabkan terjadi gangguan
absorpsi kalsium dari usus. Dalam tulang osteoblast terus membentuk jaringan
osteoid, tetapi kadar kalsium serum yang rendah dan kerja vitamin D yang tidak
aktif pada tulang maka terjadi mineralisasi.
b. Osteitis fibrosa. Ditandai dengan resorpsi osteoklastik tulang serta penggantian
oleh jaringan fibrosa. Demineralisasi tulang munkin bersifat local dan tampak
seperti lesi kistik. Osteitis fibrosa disebabkan oleh peningkatan kadar hormone
paratiroid pada CKD.
c. Osteosklerosis. Terjadi karena disebabkan oleh selang seling antara pengurangan
dan peningkatan densitas tulang.

10. Kelainan pada Mata


Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan
gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata
menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien
gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

25
BAB III
PEMBAHASAN

Kasus Teori

26
Anamnesis Sesak napas Pada pasien dengan CKD Sesak napas merupakan salah
satu gejala asidosis metabolik, pada saat melakukan
kegiatan. Asidosis metabolik disebabkan oleh
ketidakmampuan ginjal mengeliminasi asam berlebihan
dari dalam tubuh. Asidosis metabolik juga ditandai
dengan pernapasan kussmaul yang timbul karena
kebutuhan untk meningktkn ekskresi karbon dioksida,
untk mengurangi asidosis.
Batuk berdahak Batuk merupakan mekanisme yang pling efesien untuk
membersihkan saluran napas yang bertujuan untuk
menghilangkan mucus, zat beracun, dan infeksi pada
saluran pernapasan. Pada pasien dengan CKD mudah
terjadi batuk disebabkan karena paru uremia dimana urea
menumpuk didalam darah dan mencapai sistem
pernapasan. Selain itu batuk yang terjadi pada pasien
CKD bisa juga disebabkan karena adanya Infeksi
bilateral penyebab pneumonitis dapat menunggangi paru
basah kronik.
Lemas, mual dan muntah Lemas pada pasien CKD disebabkan karena anoreksia,
mual dan muntah yang merupakan gejala yang sering
ditemukan pada uremia dan sering kali menjadi gejala
awal penyakit. Flora normal mulut terdiri dari organisme
(bakteri karang gigi) yang dapat memecah urea dalam
saliva sehingga terbentuk ammonia. Inilah yang
menyebabkan timbulnya bau seperti urin pada napas,
dapat mengubah cita rasa serta merupakan faktor pemicu
terjadinya mual dan kemudian muntah, predisposisi
peradangan atau infeksi jaringan.

27
Pemeriksaan Tekanan darah : 150/90 Komplikasi dari hipertensi yang tidak diterapi dengan
fisik mmHg termasuk hipertensi. baik salah satunya akan terjadi kelainan pada ginjal.
Pasien merupakan pasien Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari
dengan hipertensi selama 10 tingginya tekanan darah dan lamanya menderita
tahun tidak terkontrol. hipertensi. Hipertensi menyebabkan hilangnya sebagian
besar nefron fungsional yang progresif, peningkatan
tekanan darah dan regangan yang kronik pada arteriol
dan glomeruli diayakini dapat menyebabkan sclerosis
pada pembuluh darah glomeruli.
Konjungtiva Anemis Konjungtiva anemis merupakan tanda pada seseorang
yang mengalami penurunan dari hemoglobin darah. Pada
pasien dengan CKD penyebab utama anemia adalah
berkurangnya sel darah merah. Penurunan pembentukan
sel darah merah ini akibat defisiensi pembentukan
eritropiten oleh ginjal, juga racun uremik dapat
menginaktifkan eritropoiten atau menekan respon
sumsum tulang terhadap eritropoiten.
Pemeriksaan fisik pada paru- Bunyi ronki basah halus disebabkan karena adanya cairan
paru terdengar bunyi ronki atau secret dalam alveoli atau bronkiolus.
basah halus pada paru kanan
bagian atas
Bengkak pada ekstremitas Bengkak atau edema merupakan pembengkakan yang
bawah dsebabkan oleh akumulasi cairan dalam jaringan tubuh.
pada pasien CKD disebabkan karena kehilangan protein
(albumin) yang berat dalam urin. Albumin membantu
mempertahankan volume darah pada pembuluh darah,
pengurangan cairan pada pembuluh darah.
Pemeriksaan Peningkatan kadar gula darah Salah satu penyebab terjadinya CKD adalah diabetes
Penunjang = 222 mg/dl melitus (peningkatan kadar guladarah). DM disebut juga
nefropati diabetik. Terjadi perubahan pada membrane
basalis glomerulus yaitu proliferasi dari sel mesangium.
Hal ini menyebabkan glomerulosklerosis dan

28
berkurangnya aliran darah sehingga terjadi perubahan
permeabilitas membrane basalis glomerulus yang
ditandai dengan timbulnya albuminuria.
Peningakatan GFR Pemeriksaan kreatinin dalam darah merupakan salah satu
Ureum : 167 mg/dl parameter untuk mengetahui fungsi ginjal. Peningkatan
Creatinin: 8,5 mg/dl dua kali lipat kadar kreatinin serum mengindikasi adanya
penurunan fungsi ginjal sebesar 50%, demikian
peningkatan kadar kreatinin tiga kali lipat
mengisyaratkan penurunan fungsi ginjal sebesar 75%.
Blood Urea Nitrogen (BUN) dapat didefinisikan sebagai
jumlah nitrogen urea yang hadir dalam darah. Urea
merupakan produk limbah yang dibentuk dalam tubuh
selama proses pemecahan protein. Metabolism protein
berlangsung dalam hati dan dengan demikian urea juga
diproduksi oleh hati. Selanjutnya, urea ditransfer ke
ginjal melalui aliran darah dan dikeluarkan dalam bentuk
urin. Setiap disfungsi ginjal akan menyebabkan
peningkatan atau penurunan BUN dalam darah.
Anemia : Anemia normositik dan normokromik yang biasanya
HB : 8,1 g/dl khas selalu terjadi pada sindrom uremik. Biasanya
hematocrit menurun dari 20-30% sesuai dengan derajat
azotemia. Penyebab utama anemia adalah berkurangnya
sel darah merah. Penurunan pembentukan sel darah
merah ini akibat defisiensi pembentukan eritropiten oleh
ginjal, juga racun uremik dapat menginaktifkan
eritropoiten atau menekan respon sumsum tulang
terhadap eritropoiten. Faktor lain yang ikut berperan pada
anemia masa hidup sel darah merah pada pasien CKD
hanya separuh dari masa hidup normal dan kehilangan
darah iatrogenic dan defisiensi zat besi dan asam folat.

29
Trombositopenia Trombosit diproduksi oleh sumsum tulang, pada pasien
3
PLT : 8,5 10 L CKD Penyebab trombositipenia karena berkurangnya sel
darah merah. Berkurangnya pembentukan sel darah
merah ini akibat defisiensi pembentukan eritropiten oleh
ginjal, juga racun uremik dapat menginaktifkan
eritropoiten atau menekan respon sumsum tulang
terhadap eritropoiten.
HIT???

DAFTAR PUSTAKA

30
1. KDIGO. Clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic kidney disease. 2013
(diunduh Maret 2019). Tersedia dari: http://www.kdigo.org/clinical_practice _guide
lines/pdf/CKD/KDIGO_2012_CKD_GL.pdf
2. PERNEFRI. 4th report of indonesian renal registry. 2015 (diunduh Maret 2019).
Tersediadari:http://www.indonesianrenalregistry.org/data/4th%%20Report%20Of%20IRR
%202015.pdf
3. Aisara S, Azmi S. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Artikel Penelitan. http://jurnal.fk.unand.ac.id.
Publishing 2018 (diunduh maret 2019)
4. Price SA, Wilson LM, 2003. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit, edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
5. Supandiman FH, Sukrisman L. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo Aru W SB, Alwi
Idrus, Marcellus Simadibrata K, editor. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
6. Arief M, Kuspuji T, Rakhmi S, Wahyu I K, Wiwiek S, 2010. Kapita Selekta Kedokteran, edisi
3. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI
7. Askandar T, Poernomo B S, Djoko S, Gatot s, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 1.
Surabaya: Penerbit Airlangga University Press

31

Anda mungkin juga menyukai