Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS DIPERSIAPKAN

EPILEPSI

Disusun oleh:
Intan Nur Zamzam
41171096100036

Pembimbing:
dr. Hastari Soekarni, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Epilepsi”. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di stase Neurologi
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada :

1. dr. Hastari Soekardi, Sp.S selaku pembimbing diskusi topik.


2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Neurologi Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.

Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan,


oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan
makalah ini sangat penulis harapkan.

Demikian, semoga makalah diskusi topik ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan kita, terutama dalam
bidang neurologi.

Jakarta, 15 Februari 2018

Intan Nur Zamzam


BAB I
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

No. RM : 00469493

Nama : Nn. AM

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 25 tahun

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Agama : Islam

Suku : Jawa

Status Perkawinan : belum menikah

Alamat : Jl Radio Dalam Rt. 12/2 Kel Gandaria Utara Kec.


Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Pendidikan : Tamat SLTA

Masuk Rumah Sakit : 12 Februari 2018

II. ANAMNESIS

(Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis di ruang poli


saraf pada tanggal 12 Februari 2018)

a. Keluhan Utama

Kontrol rutin dengan riwayat kejang 6 bulan yang lalu.


b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik Saraf RSUP Fatmawati untuk kontrol


dengan serangan kejang terakhir 6 bulan yang lalu. Menurut pengakuan
pasien, sebelum kejang lidah mengecap terus selama 1-15 detik. Saat itu
pasien sedang duduk dan tiba-tiba tangan menjadi kaku lalu diikuti seluruh
tubuh menjadi kaku. Setelah itu pasien kejang kelojotan selama 1-5 menit
dengan mata melirik ke atas. Menurut pasien, ketika kejang pasien tidak
sadardan setelah kejang pasiean sadar dan merasa lemas. Serangan kejang
pertama kali dialami pasien saat usia 15 tahun. Serangan itu terjadi 2 kali.
Setelah itu pasien berobat dan rutin kontrol ke dokter setiap bulan.

Selama masa pengobatan, serangan masih tetap muncul sekitar 2-3


kali setiap tahunnya dengan gejala yang sama. Riwayat muntah
menyemprot dan demam disangkal. Saat ini pasien tidak kejang

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat prenatal: selama kehamilan, tidak ada riwayat sakit pada


ibu pasien. Riwayat natal: pasien lahir normal ditolong oleh dokter di
rumah sakit, lahir cukup bulan dan langsung menangis. Riwayat postnatal:
tidak ada riwayat kejang demam. Imunisasi lengkap. Riwayat trauma
kepala dan operasi kepala disangkal. Alergi obat dan makanan juga
disangkal.

b. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan serupa pada keluarga pasien disangkal.

b. Riwayat Kebiasaan dan Sosial

Pasien adalah seorang pegawai swasta. Pasien tidak merokok dan


juga tidak ada riwayat konsumsi alkohol.


III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 12 Februari 2018 di ruang Poli
Saraf
v Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
v Tanda Vital
Tekanan darah : TD kanan 115/75 mmHg (kanan=kiri)
Nadi : 84 x/menit, regular, kuat angkat, isi cukup
Napas : 20 x/menit, regular
Suhu : 36,5 oC
v Status Gizi
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 22,03 kg/m2 à Normoweight

v Mata
- Inspeksi : alis mata cukup, warna hitam, enoftalmus (-)/(-), eksoftalmus
(-)/(-), nistagmus (-)/(-), ptosis (-)/(-), lagoftalmus (-)/(-),
edema palpebra (-)/(-), bulu mata lurus, Konjungtiva Anemis (-
)/(-), Sklera Ikterik (-)/(-), sekret (-)/(-), injeksi (-)/(-), pupil
bulat isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, RCL (+)/(+), RCTL
(+)/(+).

v Telinga, Hidung, Tenggorokan

Hidung :

- Inspeksi : Deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-)/(-), deviasi


septum (-)/(-), edema (-)/(-)

- Palpasi : Nyeri tekan pada sinus maksilaris (-)/(-), etmoidalis (-)/(-),


frontalis (-)/(-)


Telinga :

- Inspeksi :
ü Preaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-), scar
(-)/(-)
ü Aurikuler : normotia, hiperemis (-)/(-), cauli flower (-)/(-),
pseudokista (-)/(-)
ü Postaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-),
scar (-)/(-)
ü Liang telinga : sempit, serumen (-)/(-), Ottorhea (-)/(-)

v Tenggorokan dan Rongga mulut :

Inspeksi :

ü Bucal : warna normal, ulkus (-)


ü Lidah : pergerakan simetris, massa (-)
ü Palatum mole dan uvula simetris pada keadaan diam dan bergerak,
arkus faring simetris, penonjolan (-)
ü Tonsil : T1/T1, kripta (-)/(-), detritus(-)/(-), membran (-)/(-)
ü Dinding anterior faring licin, hiperemis (-)
ü Dinding posterior faring licin, hiperemis (-), Post nasal drip (-)
ü karies gigi (-), Kandidiasis oral (-)

v Leher
- Inspeksi : bentuk simetris, warna normal, penonjolan vena jugularis
(-), tumor (-), retraksi suprasternal (-), tidak tampak
perbesaran KGB
- Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran thyroid (-), posisi
trakea ditengah, KGB tidak teraba membesar
- Auskultasi : bruit (-),
- Tekanan vena jugularis tidak meningkat


v Thoraks
- Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), Retraksi sela iga (-/-),
bentuk dada normal, barrel chest (-), pectus carinatum
(-)/(-), pectus ekskavatum (-)/(-), pelebaran sela iga (-)/(-),
tumor (-)/(-), scar (-), emfisema subkutis (-)/(-), pergerakan
kedua paru simetris statis dan dinamis, pola pernapasan
normal.
- Palpasi : Massa (-)/(-), emfisema subkutis (-)/(-), ekspansi dada
simetris, vocal fremitus simetris, pelebaran sela iga (-)/(-)
- Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki -/-

v Jantung
- Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terihat
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 2 jari medial dari linea
midklavikulasinistra ICS V, thrill (-)
- Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS IV 1 jari medial linea parasternal
dekstra, batas jantung kiri pada ICS V 1 jari medial linea
midklavikula sinistra.
- Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur (-), gallop (-)

v Abdomen
- Inspeksi : datar, massa (-),striae (-), scar (-), bekas operasi (-)
- Auskultasi : BU (+) normal
- Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), massa (-), Hepar dan lien tidak
teraba, Ginjal : Ballotemen (-)/(-)
- Perkusi : timpani, shifting dullnes (-)

v Ekstremitas

Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 3 detik, edema (-)/(-), jari tabuh
(-), deformitas (-). Terdapat bekas luka jahitan di kaki kiri dan tangan kanan.


IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

GCS E4M6V5 Kesadaran compos mentis

A. Rangsang Selaput Otak Kanan Kiri


Kaku Kuduk : (-)
Laseque : > 70° > 70°
Kernig : > 135° > 135°
Brudzinski I : (-) (-)
Brudzinski II : (-) (-)

B. Peningkatan Tekanan Intrakranial


- penurunan kesadaran (-)
- muntah (-)
C. Pupil
Kanan Kiri
Bentuk bulat bulat
Ukuran 3 mm 3 mm
Refleks Cahaya Langsung + +
Refleks Cahaya Konsensual + +

D. Saraf-saraf Kranialis
N. I : Kanan Kiri
Normosmia Normosmia

N.II Kanan Kiri


Acies Visus : 6/60 6/60
Visus Campus : sama dengan pemeriksa
Funduskopi : tidak dilakukan pemeriksaan

N. III, IV, VI Kanan Kiri


Kedudukan Bola Mata : Ortoposisi Ortoposisi
8


Pergerakan Bola Mata
Ke Nasal : normal normal
Ke Temporal : normal normal
Ke Nasal Atas : normal normal
Ke Nasal Bawah : normal normal
Ke Temporal Atas : normal normal
Ke Temporal Bawah : normal normal
Eksopthalmus : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)
Akomodasi : normal normal

N. V Kanan Kiri
Cabang Motorik : normal normal
Cabang Sensorik
Optahalmika : normal normal
Maxilla : normal normal
Mandibularis : normal normal

N. VII Kanan Kiri


Motorik
M.Frontalis : normal normal
M.Orbicularis oculi : normal normal
M.Buccinator : normal normal
M.Orbicularis oris : normal normal
Pengecap Lidah : Tidak dilakukan pemeriksaan

N. VIII
AD AS
Rhinne : + +
Weber : tidak ada lateralisasi
Swabach : sama dengan pemeriksa


N. IX, X
Motorik : arcus faring simetris, uvula di tengah
Sensorik : baik
Reflek Muntah : +/+

N. XI Kanan Kiri
Mengangkat bahu : normal normal
Menoleh : normal normal

N. XII
Pergerakan Lidah : tidak ada deviasi
Atrofi : (-)
Fasikulasi : (-)
Tremor : (-)
E. Sistem Motorik : 5555 5555

5555 5555

F. Gerakan Involunter
Tremor : (-)/(-)
Chorea : (-)/(-)
Atetose : (-)/(-)
Mioklonik : (-)/(-)
Tics : (-)/(-)
Trofik : eutrofi/eutrofi
Tonus : Normotonus/Normotonus

G. Sistem Sensorik
Proprioseptif : normal/normal
Eksteroseptif : normal/normal

H. Fungsi Cerebellar dan Koordinasi

10


Ataxia :-
Tes Romberg :-
Jari-jari : normal/normal
Jari-hidung : normal/normal
Tumit-lutut : normal-normal

I. Fungsi Otonom
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Sekresi Keringat : Normal

J. Refleks-refleks Fisiologis Kanan Kiri


Bisep : (+2) (+2)
Trisep : (+2) (+2)
Patella : (+2) (+2)
Achilles : (+2) (+2)

K. Refleks-refleks Patologis Kanan Kiri


Hoffman Tromner : (-) (-)
Babinsky : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Gonda : (-) (-)
Schaeffer : (-) (-)
Klonus Lutut : (-) (-)
Klonus Tumit : (-) (-)

1.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


• EEG
Tanggal 8 Agustus 2014
Kesan: EEG abnormal berupa gelombang epileptiform di
frontotemporal kiri
11


1.6. RESUME
Pasien datang ke poliklinik Saraf RSUP Fatmawati untuk kontrol
dengan serangan kejang terakhir 6 bulan yang lalu. Menurut pengakuan
pasien, sebelum kejang lidah mengecap terus selama 1-15 detik. Saat itu
pasien sedang duduk dan tiba-tiba tangan menjadi kaku lalu diikuti seluruh
tubuh menjadi kaku. Setelah itu pasien kejang kelojotan selama 1-5 menit
dengan mata melirik ke atas. Menurut pasien, ketika kejang pasien tidak
sadar dan setelah kejang pasien sadar dan merasa lemas. Serangan kejang
pertama kali dialami pasien saat usia 15 tahun. Serangan itu terjadi 2 kali.
Setelah itu pasien berobat dan rutin kontrol ke dokter setiap bulan.

Selama masa pengobatan, serangan masih tetap muncul sekitar 2-3


kali setiap tahunnya dengan gejala yang sama. Riwayat muntah
menyemprot dan demam disangkal. Saat ini pasien tidak kejang, terakhir
kejang 6 bulan yang lalu saat usia pasien 24 tahun.

Selama kehamilan, tidak ada riwayat sakit pada ibu pasien. Pasien
lahir normal ditolong oleh dokter di rumah sakit, lahir cukup bulan dan
langsung menangis. Tidak ada riwayat kejang demam. Imunisasi lengkap.
Riwayat trauma kepala dan operasi kepala disangkal. Alergi obat dan
makanan juga disangkal. Riwayat keluhan serupa pada keluarga pasien
disangkal.

Status generalis:

• Keadaan umum: tampak sakit ringan

• Kesadaran: compos mentis

• Tekanan darah: 115/75 mmHg

• Nadi: 84x/m

• Suhu: 20x/m

• Pernafasan:

• Jantung: dalam batas normal

• Paru: dalam batas normal

12


• Abdomen: dalam batas normal

• Ekstremitas: dalam batas normal


Status neurologis

• GCS: E4M6V5 = 15

• Pupil: bulat, isokor, diameter 3mm/3mm

• Tanda rangsang meningeal: -

• N. Cranial: parese (-)

• Motorik: 5555 5555


5555 5555

• Sensorik: normoestesi

• Otonom: normal

1.7. DIAGNOSIS

• Diagnosis klinis : Kejang umum tonik-klonik

• Diagnosis etiologis : idiopatik

• Diagnosis topis : Frontotemporal kiri

• Diagnosis kerja : Epilepsi

1.8. TATA LAKSANA

• Depakote 1 x 500mg

• Fenitoin 3 x 100mg

• Asam folat 1x1

1.9. PROGNOSIS

Ad Vitam : bonam
Ad Functionam : bonam
Ad Sanactionam : dubia ad malam

13


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh
adanya faktor predisposisi secara terus-menerus untuk terjadinya suatu
bangkitan epileptik, dan juga ditandai oleh adanya faktor neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial akibat kondisi tersebut.
Bangkitan epilepsi adalah suatu manifstasi klinis yang timbul sepintas
akibat aktivitas neuron di otak yang berlebihan dan abnormal serta
sinkron.

Epilepsi merupakan salah satu kedaruratan dalam bidang


neurologi. Serangan berulang dalam waktu singkat, serangan yang
berlangsung lama, dan status epileptikus tergolong dalam kedaruratan
epilepsi. Status epileptikus merupakan kejadian terjadinya serangan yang
berulang tanpa perbaikan kesadaran atau serangan yang berlangsung terus-
menerus selama 30 menit atau lebih.

2.2. Epidemiologi
Menurut WHO, diperkirakan terdapat 50 juta orang di seluruh
dunia menderita epilepsi. Populasi yang menderita epilepsi aktif
diperkirakan antara 4-10 per 1000 penduduk. Secara umum, diperkirakan
terdapat 2,4 juta pasien yang didiagnosis epilepsi setiap tahunnya.

Hasil penelitian Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter


Spesialis Saraf Indonesia di beberapa RS di 5 pulau besar di Indonesia
pada tahun 2013 mendapatkan 2.288 penyandang epilepsi dengan 21,3%
merupakan pasien baru. Rerata usia pasien adalah usia produktif dengan
etiologi epilepsi tersering adalah cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat
(SSP), stroke, dan tumor otak. Riwayat kejang demam didapatkan pada
29% pasien. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), sebagian
besar penyandang epilepsi mengalami bangkitan fokal (64,15%) dan
sisanya (15,5%) mengalami bebas bangkitan.

14


2.3. Etiologi
a. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan predisposisi genetik dan umunya berhubungan dengan
usia.
b. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum
diketahui. Termasuk disini adalah sindrom West, sindrom
Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai
dengan ensefalopati difus.
c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
structural pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP,
kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
darah otak, toksik (alkohol,obat), metabolic, kelainan
neurodegeneratif.
2.4. Faktor Predisposisi
Faktor yang memudahkan terjadinya epilepsi adalah kelainan
genetik, malformasi otak, trauma otak (jaringan parut di glia), tumor,
perdarahan, atau abses. Kejang juga dapat dipicu atau dipermudah oleh
inflamasi, demam, pembengkakan sel atau pengerutan sel, hipoglikemia,
hipomagnesia, hipokalsemia, uremia, kurang tidur, iskemia atau hipoksia,
dan perangsangan berulang (misalnya kilatan cahaya).
2.5 Patofisiologi
Secara normal, aktivitas otak terjadi oleh karena perpindahan
sinyal dari satu neuron ke neuron yang lain melalui sinaps. Sinaps
merupakan area penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi
neurotransmitter yang berasal dari vesikel presinaps. Komposisi elekrolit
dan neurotransmitter saling mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga
keseimbangan gradien ion di dalam dan luar sel. Aktivitas tersebut akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi, hiperpolarisasi, dan repolarisasi,
sehingga terjadi potensial eksitasi dan inhibisi pada sel neuron.

15


Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak alah natrium
(Na ), kalsium (Ca2+), kalium (K+), magnesium (Mg2+)dan klorisa (Cl-).
+

Neurotransmitter utama pada proses eksitasi adalah glutamat. Sementara


pada proses inhibisi, neurotransmitter utama adalah asam aminobutirik
(GABA).
Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan
menyebabkan hiperekstabilitas yang pada akhirnya akan menyebabkan
bangkitan epileptik. Fenomena pemicu epilepsi adalah depolarisasi
paroksismal pada neuron tunggal atau paroxymal depolaritation shift
(PDS) akibat Na+ dan Ca2+ yang masuk secara terus-menerus.
Pada hipereksitabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamat
ke celah sinaps sehingga terjadi peningkatan jumlah Ca2+ di dalam sel.
Julah Ca2+ yang berlebihan ini akan mengaktifkan enzim intrasel yang
menyebabkan kematian sel. Hal ini merangsang keluarnya berbagai faktor
inflamasi yang akan meningkatkan permeabilitas sel, gangguan
keseimbangan elektrolit, edema otak, kerusakan dawar darah otak, dan
sebagainya. Kerusakan yang terjadi secara terus-menerus dalam jangka
waktu lama akan menyebabkan perubahana aktivitas otak ,struktur neuron,
dan ekspresi gen.
Hiperesksitabilitas satu sel neuron akan mempengaruhi sel neuron
di sekitarnya. Sekelompok neuron yang mencetuskan aktivitas abnormal
secara bersamaan disebut sebagai hipersinkroni. Pada saat satu sel neuron
teraktivasi maka sel-sel neuron disekitarnya juga akan ikut teraktivasi. Jika
teraktivasi pada waktu yang hampir bersamaan, maka akan terbentuk suatu
potensial eksitasi yang besar dan menimbulkan gejala klinis.
2.6. Klasifikasi
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut tipe bangkitan dan
menurut sindrom epilepsi. Secara garis besar, menurut Commision of
Classification and Terminology of International league Againts Epilepsi
(ILAE) tahun 1981, epilepsi diklasifikasikan sebagi berikut:
I. Kejang Parsial (fokal, lokal)
a. Kejang parsial sederhana (kesadaran tetap normal)

16


1. Dengan gejala motorik
• Fokal motorik tidak menjalar: kejang sebatas pada satu
bagian tubuh saja
• Fokal motorik menjalar: kejang dimulai dari satu
bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain
• Versif: kejang disertai gerakan memutar kepala, mata,
tubuh
• Postural: kejang disertai dengan langan atau tungkai
kaku dalam sikap tertentu
• Disertai gangguan fonasi: kejang disertai arus bicara
yang terhanti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi
tertentu.
2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial
• Somatosensoris: timbul rasa kesetrum atau seperti
ditusuk-tusuk jarum
• Visual: terlihat cahaya
• Auditoris: terdengar sesuatu
• Gustatoris: terkecap sesuatu
• Disertai vertigo
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat)
4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
• Disfasia: gangguan bicara misalnya mengulang suatu
suku kata, kata, atau bagian kalimat
• Demensia: ganggguan proses ingatan misalnya merasa
seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau
sebaliknya tidak pernah mengalami, mendengar,
melihat, mengetahui sesuatu.
• Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri
berubah
• Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut:

17


• Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak
lebih kecil atau lebih besar
• Halusinasi kompleks: mendengar ada yang bicara,
mendengar musik , melihat suatu fenomena tertentu
dan lain-lain
b. Kejang parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran:
awalnya kesadaran baik kemudian baru menurun.
• Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala
seperti pada golongan A1A4 diikuti menurunnya
kesadaran
• Timbul automatisme. Automatisma yaitu gerakan-
gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya,
misalnya dengan gerakan mengunyah-ngunyah,
menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti
ketakutan, menata-nata sesuatu, memegang-megang
kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu,
berbicara, dll
2. Serangan parsial sederhana dengan penurunan kesadaran
sejak serangan: kesadaran menurun sejak serangan
• Hanya dengan penurunan kesadaran
• Dengan automatisme
c. Kejang parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
(tonik-klonik, tonik, klonik)
1. Kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang
generalisata
2. Kejang parsial kompleks yang berkembang menjadi kejang
generalisata
3. Kejang parsial sederhana yang menjasi kejang persial
kompleks lalu berkembang menjadi kejang generalisata.
II. Kejang Generalisata (konvulsif atau nonkonvulsif)
a. Kejang Lena (absance)
18


• Bangkitan absans tipikal
Pada kejang ini, kegiatan yang sedang dilakukan
terhenti, hilang kesadaran atau “pandangan kosong”, bola
mata dapat memutar ke atas, tidak ada reaksi bila diajak
bicara. Biasanya berlangsung selama ¼ -1/2 menit. Dapat
juga disertai komponen motorik yang minimal (mioklonik,
atonik, tonik, automatisme). Pada pemeriksaan EEG
didapatkan aktivitas epileptiform umum berupa kompleks
paku-ombak 3Hz
• Bangkitan absans atipikal
Bangkitan ini berupa gangguan kesadaran disertai
perubahan tonus otot (hipotonia atau atonia), tonik, atau
automatisme. Pasien dengan bangkitan absand atipikal
sering mengalami kesulitan belajar akibat seringnya disertai
terjadinya bangkitan tipe lain seperti atonik, tonik, dan
mioklonik. Pada absans atipikal, onset, dan berhentinya
bangkitan tidak semendadak bangkitan absans tipikal. Pada
EEG didapatkan gambaran kompleks paku ombak frekuensi
lambat [1-2,5Hz atau <2,5Hz] yang iregular dan heterogen
dan dapat bercampur dengan irama cepat.
b. Kejang mioklonik
Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi mendadak,
sebentar, dapat kuat atau lemas sebagian otot atau semua otot-
otot, sesekali atau berulang-ulang. Otot yang berkontraksi
dapat tunggal atau multipel atau berupa sekumpulan otot yang
agonis dari berbagai topografi. Kejang ini dapat terjadi pada
semua umur. Gambaran EEG berupa gelombang polyspikes
yang bersifat umum dan singkat.
c. Kejang klonik
Pada kejang ini tidak ada komponen tonik, hanya kejang
klojot. Bangkitan ini ditandai oleh gerakan kontraksi klobik
ritmik di seluruh tubuh disertau hilangnya kesadaran sejak

19


awal bangkitan. Pada EEG iktal didapatkan aktivitas
epileptiform umum berupa gelombang paku, paku multipel,
atau kombinasi gelombang irama cepat dan lambat.
d. Kejang tonik
Pada kejang ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku. Bangkitan ini ditandai olekh kontraksi seluruh
otot yang berlangsung terus-menerus, berlangsung selama 2-10
detik namun dapat hingga beberapa menit, disertai hilangnya
kesadaran. Dapat disertai gejala autonom apnea. Gambaran
EEG interiktal menunjukkan irama cepat dan gelombang paku
atau kompleks paku-ombak frekuensi lambat yang bersifat
umum.
e. Kejang tonik-klonik
Kejang ini sering dijumpai pada usia diatas balita yang
terkenal dengan nama gran mal. Serangan dpat diawali dengan
aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu kejang. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang
kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang klojot di
seluruh badan
Serangan ini biasanya berhenti sendiri. Selama beberapa
saat, tarikan napas menjadi dalam. Produksi air liur meningkat
saat kejang sehingga bisa ditemui mulut berbusa karena
hembusan napas saat kejang. Pasien mungkin miksi saat
serangan. Setelah kejang berhenti, pasien tertidur beberapa
lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih
rendah, atau menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal
dan lelah.
f. Kejang atonik
Pasien dapat terjatuh karena pada keadaan ini otot-otot
seluruh badan mendadak melemas secara mendadak.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Kejang ini
terutama terjadi pada anak-anak.

20


III. Kejang tak tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah serangan pada bayi berupa
gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan
seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak
berhenti sementara.

2.7. Penegakan Diagnosis


Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
1) Gejala dan tanda saat sebelum, selama dan sesudah bangkitan
2) Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol
3) Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan
4) Terapi epilepsi sebelumnya: jenis obat, dosis, kepatuhan,
kombinasi OAE
5) Penyakit yang diderita sekarang
6) Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
7) Riwayat saat dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
8) Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam
9) Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi sususnan saraf pusat, dll.
b. Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi,
misalnya: trauma kepala, tanda-tanda infeksi, kelainan kongenital,
kecanduan alkohol atau napza, dan tanda-tanda keganasan.
c. Pemeriksaan neurologis
Tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus dapat berhubungan
dengan epilepsi.
d. Pemeriksaan penunjang
1) Elektro-ensefalografi

21


EEG dilakukan untuk membantu penentuan jenis bangkitan
maupun sindrom epilepsi, prognosis, dan membantu penentuan
perlu/tidaknya pemberian OAE.
2) Pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak. MRI
beresolusi tinggi dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai
macam lesi patologik misalnya mesial temporal scelosis, glioma,
ganglioma, dan malformasi kavernosus.

2.8. Tata Laksana


Tujuan pengobatan adalah mengupayakan penderita epilepsi agar
dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal. Harapannya
adalah “bebas bangkitan , tanpa efek samping”. Pengobatan
medikamentosa dan pengobatan psikososial.
Medikamentosa:
1) OAE diberikan bila:
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
c. Penyandang dan/atau keluarganya sudah menerima
penjelasan tentang tujuan pengobatan
d. Penyandangdan/atau keluarganya telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE
e. Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah
dihindari (misalnya: alkohol, kurang tidur, stress, dll)
2) Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
3) Pemberian dimulai dari dosis rendah secara bertahap dinaikkan
sampai dosis efektif tercapai atau timbulefek samping.
4) Bila dengan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya
bila OAE pertama telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama
diturunkan bertahap. Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE

22


pertama, maka kedua OAE tetap diberkan. Bila respon yang
didapat buruk, maka kesua OAE harus diganti dengan OAE yang
lain. Penambahan OAE ketiga harus dilakukan ila terdapat respon
dengan OAE kedua, tetapi respon tetap suboptimal walaupun
penggunaan OAE pertama sudah maksimal.
5) OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan
OAE pertama.

Tabel 2.1 Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan

Tabel 2.2 Dosis obat antiepilepsi dan konsentrasi dalam plasma


Nama obat Dosis Cara Konsentrasi
(mg/kgBB/hari) pemberian dalam plasma
(mg/mm3)
Fenobarbital 1-5 1x/hari 20-40
Fenitoin 4-20 1-2x/hari 10-20
Karbamazepin 4-20 3x/hari 4-10
Asam Valproat 10-60 3x/hari 50-100
Klonazepam 0.05-0.2 3x/hari 10-80
Diazepam 0.005-0.015 iv 0.3-0.7
0.4-0.6 Per rektal

23


Pemberian OAE pada dewasa dapat dihentikan secara bertahap
dengan pertimbangan telah melewati 3-5 tahun bebas bangkitan. OAE
dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Syarat umum
untuk menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
1) Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG
normal
2) Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya
3) Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
4) Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1
OAE yang bukan utama
Bila bangkitan timbul kembali setelah penghentian OAE, maka
gunakan dosis efektif terakhir sebelum pengurangan dosis OAE,
kemudian perlu dievaluasi kembali.

24


BAB III
KESIMPULAN

Epilepsi merupakan salah satu kedaruratan dalam bidang neurologi.


Epilepsi merupakan suatu keadaan neurologic yang ditandai oleh bangkitan
epilepsy yang berulang, yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan
epilepsy sendiri adalh suatu manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik yang abnormal, berlebihan dan sinkron, dari neuron yang terutama
terletak pada korteks serebri.
Ny. AM (25 tahun) didiagnosis kejang umum tonik klonik berdasarkan
anamnesis ditemukan gejala awal kaku tangan dan kaki lalu kelojotan selama 1-5
menit dengan mata melirik ke arah atas. Ketika kejang pasien tidak sadar tapi
setelah kejang pasien sadar dan langsung merasa lemas. Pada pemeriksaan fisik
tidak ditemukan gangguan neurologis. Pada EEG didapatkan kesan abnormal
berupa gelombang epileptiform di frontotemporal kiri. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang tersebut, dapat
ditegakkan kejang umum tonik klonik.

Prinsip penatalaksanaan pada pasien berfokus pada “bebas bangkitan ,


tanpa efek samping”. Terapi farmakologi yang diberikan adalah Depakote,
Fenitoin, dan asam folat.

25


DAFTAR PUSTAKA

1. Arifputera A, Sumantri F. Epilepsi. Dalam: Kapita selekta kedokteran jilid


2 edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius; 2014

2. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia


(Perdossi). Pedoman tatalaksana epilepsi. Jakarta: Penerbit Perdossi; 2014

3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat;


2012

4. Price, Sylvia Anderson. Profisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.


Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005

5. Anindhita, Tiara. Wiratman, W. Buku ajar neurologi. Jakarta: Departemen


Neurologi FK UI RSCM; 2017

26

Anda mungkin juga menyukai