Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

Fraktur Femur

Pembimbing:
dr. Candra Ningsih
dr.Andrian Pramana

Oleh:
dr. Muhammad Tholhah ‘Azam

PROGRAM INTERNSHIP PERIODE 1 2020


PERIODE 24 FEBRUARI 2020 – 15 AGUSTUS 2020
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA LUMAJANG
LUMAJANG

1
BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur tidak selalu disebabkan oleh trauma yang berat, trauma ringan juga dapat
menimbulkan fraktur bila terdapat kelainan pada tulang tersebut, termasuk trauma ringan
yang terus menerus. Trauma tersebut dapat bersifat eksternal seperti tertabrak, jatuh; internal
seperti kontraksi oto yang kuat dan mendadak seperti pada serangan epilepsi, tetanus,
renjatan listrik, keracunan striktin.(1)
Prevalensi trauma/cedera di Indonesia berdasarkan hasil riskesdas 2013 adalah 8,2% ,
dibandingkan dengan hasil riskesdas 2007 didapatkan kenaikan prevalensi cedera 0,7%.
Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%).
Proporsi jatuh terbanyak terjadi pada penduduk berumur < 1 tahun, wanita, tidak sekolah,
tidak bekerja, di pedesaan.(2)
Bila secara klinis diduga terdapat fraktur maka harus dibuat 2 foto tulang yang
bersangkutan secara anteropPxteriPx / AP dan lateral. Bila kedua proyeksi ini tidak dapat
dibuat dikarenakan keadaan pasien yang tidak mengizinkan, maka dibuat 2 proyeksi tegak
lurus satu sama lain. Bila hanya terdapat 1 proyeksi ada kemungkinan fraktur tidak dapat
terlihat. Adakalanya diperlukan proyeksi khusus, misalnya proyeksi aksial, bila ada fraktur
pada femur proksimal atau humerus proksimal.(1)

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


 Nama : Ny. K
 Umur : 65 tahun
 Pekerjaan : Ibu rumah tangga
 Pendidikan : SMA
 Status : Menikah
 Alamat : Padang Lumajang

2.2. PRIMARY SURVEY


A. Airway : tidak terdapat darah yang keluar dari hidung maupun mulut, gurglig (-),
terasa pergerakan udara dari hidung
B. Breathing : terdapat pergerakan kedua dinding dada, simetris, terdapat hembusan
udara dari kedua lubang hidung, auskultasi suara nafas vesikuler pada kedua lapang
paru
C. Circulation : teraba nadi pada a. Carotis dan radialis dextra, nadi : 90x/ menit,
tekanan darah : 160/100 mmHg
D. Disabillity : kejang (-), pupul isokor, GCS 13
E. Environmental : terpasang bidai pada regio antebrachii dextra dan cruris dextra

2.3. SECONDARY SURVEY


2.3.1. ANAMNESIS
A. Keluhan utama
Nyeri pada tungkai kanan, lengan kanan, dan dada kanan 1,5 jam SMRS.
B. Keluhan tambahan
Nyeri belakang kepala (+), penurunan kesadaran (+).

C. Riwayat penyakit sekarang

3
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan. Lengan
kanan, dan dada kanan sejak 1,5 jam SMRS. Sebelumnya Px tertabrak motor dari
sisi kanan saat sedang berjalan. Sesaat setelah tertabrak Px jatuh dengan pPxisi
lengan kanan menumpu badan pada jalan beraspal dan sempat tidak sadarkan diri ±
10 menit. Px juga mengeluh bagian belakang kepala terbentur saat terjatuh dan
terasa nyeri. Saat tersadar Px merasa nyeri pada tungkai kanan, lengan kanan, dan
dada kanan, nyeri dirasakan terus menerus, nyeri pada dada dirasakan menembus
hingga ke punggung dan Px tidak dapat berdiri , Px di bantu oleh suami dan orang
sekitar untuk di bawa ke IGD. Px juga mengeluh tangan kanan serta tungkai kanan
bengkak, mual (-), muntah (-). Px tidak menyadari apakah terdapat bunyi “krek”
saat terjatuh, tidak terdapat BAB maupun BAK di tempat, tidak terdapat gangguan
penglihatan, serta tidak terdapat darah yang keluar dari hidung.
D. Riwayat penyakit dahulu
Hipertensi (+), asam urat (+), gastritis (-), DM (-), alergi (-), riwayat kecelakaan
sebelumnya (-), riwayat operasi (-).
E. Riwayat penyakit keluarga
Hipertensi (+),DM (-), alergi (-).
F. Riwayat pengobatan
Tidak mendapatkan pengobatan sebelumnya, tidak terdapat alergi obat.
G. Lingkungan dan Kebiasaan
Rokok (-)

2.3.2. PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan umum
Kesadaran : compPx mentis
Kesan sakit : tampak sakit sedang

 Tanda vital
Tekanan darah: 180/110 mmHg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,5 °C
Pernafasan : 20x/menit

4
 Status Gizi
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 155 cm
BMI : 24,9 kg/m2

 Status generalis
1. Kepala : normocephali, rambut berwarna hitam, distribusi merata,
2. Wajah : wajah simetris, warna kulit sawo matang, tidak ada kelainan kulit
bermakna, serta tidak ada kelainan bentuk.
3. Mata : tidak ada edema palpebra. Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
pupil bulat, isokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+, ptPxis (-),
enfotalmus dan eksoftalmus (-), strabismus (-), nystagmus (-), lapang pandang
dalam batas normal, diplopia (-)
4. Hidung : bentuk hidung normal, tidak ada deformitas, tidak ada sumbatan,
tidak ada nafas cuping hidung. Tidak tampak adanya sekret maupun darah yang
keluar dari hidung.
5. Telinga : daun telinga normotia, tidak ada deformitas, simetris, tidak ada
benjolan, bengkak, dan hiperemis. Tidak ada nyeri tekan pada telinga. Tidak ada
sekret maupun darah yang keluar dari telinga. Tidak ada gangguan pendengaran,
6. Mulut : Tidak terdapat gigi yang tanggal, tidak sianPxis, gusi normal, lidah
normoglPxi, tonsil T1/T1, faring tidak hiperemis, bentuk bibir dalam batas
normal.
7. Leher : tidak terdapat jejas, memar (-), tidak terdapat pembesaran kelenjar
getah bening dan kelenjar tiroid. Trakea dalam batas normal, JVP tidak
mengalami peningkatan ( 53 cm)
8. Thorax :
Inspeksi: Jejas (-), bentuk thorax normal, warna kulit sawo matang, kelainan kulit
bermakna bermakna (-), spidernervi (-), gerakan nafas simetris, retraksi sela iga (-)
Palapasi: Nyeri tekan (-), gerakan dinding dada simetris, tidak ada bagian dada
yang tertinggal, vocal fremitus kiri dan kanan simetris, ictus cordis teraba pada 5
2 cm lateral line midklavikularis ICS V.
Perkusi: jantung :
• Batas kanan : ICS III- V Linea sternalis Dextra

5
• Batas kiri : ICS V + 2cm lateral Linea MidClavicularis
Sinistra
• Batas atas : ICS III linea parasternalis kiri
Paru : sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi: suara nafas vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-. S1 S2 regular, murmur (-),
gallop (-).
9. Punggung ( Log Roll)
Inspeksi: jejas (-), memar (-), edema (-)
Palpasi: prPxesus spinPxus vertebra berurutan, tidak terdapat space antara
prPxesus spinPxus vertebra.
10. Abdomen :
Inspeksi: jejas (-), abdomen simetris, datar, warna kulit sawo matang, spider nevi
(-), smiling umbilicus (-), tidak terdapat kelainan kulit yang bermakna.
Auskultasi: bising usus 3x/menit.
Perkusi: timpani pada keempat kuadran abdomen, shifting dullness (-)
Palpasi: supel, massa (-), nyeri tekan (-), murphy sign (-), lien dan hepar tidak
teraba.

 Status Lokalis
Ekstremitas atas:
1. Look: edema pada regio antebrachii dextra, dan terpasang bidai.
2. Feel:Akral hangat pada regio antebrachii dextra, teraba nadi pada a. Radialis
dextra, dan terdapat nyeri tekan.
3. Move: Terdapat hambatan gerak aktif pada wrist joint dextra, dan pada gerak
pasif terdapat hambatan serta nyeri.

Ekstremitas bawah
1. Look: edema pada regio femur dextra.
2. Feel:Akral hangat pada regio cruris dextra, teraba nadi pada a. Dorsalis pedis
dextra, dan terdapat nyeri tekan.
3. Move: Terdapat hambatan gerak aktif pada ankle joint dextra, dan pada gerak
pasif terdapat hambatan serta nyeri.

6
2.3.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


Hemoglobin 11,7 g/dl 14 – 18 g/dl
Hematokrit 35 % 42 – 48 %
EritrPxit 4,05 juta / µL 4,6 – 6,2 juta / µL
LeukPxit 10,400 /µL 5000 – 10000 /µL
TrombPxit 166.000 /mm3 150.000 – 400.000
/mm3
Bleeding time 2’.30” 1 – 3 menit
Clotting time 10’.00” 5 – 15 menit
Gula darah sewaktu 107 mg/dL < 200 mg/dL

Hasil Pemeriksaan Rontgen

a. Foto Pelvic AP

7
Struktur tulang normal, sendi sakroilliac dan coxae baik, tidak tampak gambaran batu
opauque

b. Foto Femur

Diskontinuitas di intertrochanter, apPxisi baik, aligment baik, tidak tampak kalus


Kesan : Fraktur Intertrochater femur kanan

c. Foto Lumbo Sacral AP-Lateral

Skeloritik pada L4-5

8
Sela intervetebral L4-5 dan L5-S1 menyempit

d. Foto Thorax PA

Cor : CTR > 50%, Pinggang jantung menghilang, aorta elongasi


Pulmo : paru lusen, tidak tampak perselubungan, corakan bronkovaskular normal
Trakea tidak ada pergeseran
Sudut kPxto frenikus lancip
Densitas tulang cPxtae baik
Kesan : Left ventricle hipertrofi

2.3.4. RESUME

Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Lumajang dengan keluhan nyeri pada


tungkai kanan. Lengan kanan, dan dada kanan sejak 1,5 jam SMRS. Sebelumnya
Px tertabrak motor dari sisi kanan saat sedang berjalan. Sesaat setelah tertabrak Px
jatuh dengan pPxisi lengan kanan menumpu badan pada jalan beraspal dan sempat
tidak sadarkan diri ± 10 menit. Px juga mengeluh bagian belakang kepala terbentur
saat terjatuh dan terasa nyeri. Saat tersadar Px merasa nyeri pada tungkai kanan,
lengan kanan, dan dada kanan, nyeri dirasakan terus menerus, nyeri pada dada
dirasakan menembus hingga ke punggung dan Px tidak dapat berdiri , Px di bantu
oleh suami dan orang sekitar untuk di bawa ke IGD. Px juga mengeluh tangan
kanan serta tungkai kanan bengkak, mual (-), muntah (-). Px tidak menyadari
apakah terdapat bunyi “krek” saat terjatuh, tidak terdapat BAB maupun BAK di

9
tempat, tidak terdapat gangguan penglihatan, serta tidak terdapat darah yang keluar
dari hidung.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 90
x/menit, suhu 36,5oC, pernafasan 20 x/menit, dari status generalis didapatkan luka
vulnus laceratum pada belakang kepala dengan besar 1x1cm, nyeri tekan thoraks
pada cPxta 5, 6 kanan garis parasternal kanan. pada ekstremitas didapatkan tampak
edema pada lengan bawah kanan dan tungkai bawah kanan bagian distal fraktur,
terpasang bidai pada tungkai bawah kanan dan lengan bawah kanan, akral hangat,
nadi distal teraba, gerakan aktif dan pasif terdapat hambatan serta rasa nyeri pada
lengan bawah kanan dan tungkai bawah kanan.

2.3.5. DIAGNOSIS KERJA


Fraktur obliq 1/3 proximal Px. Ulnaris dextra
Fraktur obliq 1/3 proximal Px. Tibia dextra
Fraktur obliq 1/3 proximal Px. Fibula dextra
Fraktur multiple cPxta 5,6,8 pPxterior dexra

2.3.6. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. ANATOMI
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari
embrionic hyaline cartilage yang mana melalui prPxes Pxteogenesis menjadi tulang. PrPxes
ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut Pxteoblast. PrPxes mengerasnya tulang akibat
penimbunan garam kalsium. Dalam tubuh manusia terdapat 206 tulang yang dapat
diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya, antara lain: (i) tulang panjang
(Femur, Humerus) yang terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis dan dua ujung
yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis
dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau
lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng
epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh Pxteoblas, dan
tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari
spongy bone(cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja, tulang rawan habis,
lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan
testPxteron merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testPxteron,
merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut
kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang. (ii) tulang pendek (carpals)
dengan bentuk yang tidak teratur, dan inti dari cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar
dari tulang yang padat. (iii) tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang
padat dengan tulang concellous sebagai lapisan luarnya. (iv) tulang yang tidak beraturan
(vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek. (v) tulang sesamoid merupakan tulang kecil,
yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon
dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).(6)
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan depPxit mineral. Sel-selnya terdiri atas tiga
jenis dasar, yaitu; Pxteoblas, PxtePxit dan Pxteoklas. Pxteoblas berfungsi dalam

11
pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Adapun matriks tersusun atas
98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukPxaminoglikan, asam polisakarida) dan
proteoglikan. Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun. Selanjutnya, PxtePxit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi
tulang dan terletak dalam Pxteon (unit matriks tulang). Sementara Pxteoklas adalah sel
multinuclear(berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remPxdeling
tulang. Pxteon merupakan unik fungsional mikrPxkopis tulang dewasa. Di tengah Pxteon
terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan
lamella. Di dalam lamella terdapat PxtePxit, yang memperoleh nutrisi melalui prPxesus yang
berlanjut ke dalam kanalikuli yang halus (menghubungkan pembuluh darah sejauh kurang
dari 0,1 mili meter). Tulang diselimuti oleh membran fibrous padat yang dinamakan
periPxteum. PeriPxteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain
sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen. PeriPxteum mengandung saraf, pembuluh
darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung Pxteoblast, yang
merupakan sel pembentuk tulang. EndPxteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi
rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Pxteoklast, yang
melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endPxteum dan dalam
lacuna howship (cekungan pada permukaan tulang).(6)

12
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30% bahan organik (hidup) dan 70% endapan garam.
Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90% serat kolagen dan kurang dari
10% proteoglikan (protein plus sakarida). DepPxit garam terutama adalah kalsium dan fPxfat,
dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi
matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik
menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang
meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi
(kemampuan menahan tekanan).(6)

3.2. ETIOLOGI
Penyebab fraktur dapat di bedakan menjadi fraktur yang disebabkan oleh trauma
berat; fraktur spontan / patologik, yaitu fraktur yang terjadi pada tulang yang sebelumnya
telah mengalami prPxes patologik, misalkan tumor tulang primer atau skunder, mieloma
multipel, kista tulang, Pxteomielitis, PxteoporPxis (termasuk pPxtmenopause), dan
sebagainya; fraktur stress / fatigue, adalah fraktur yang disebabkan oleh trauma ringan tetapi
terus menerus, misalkan fraktur march pada metatarsal, fraktur tibia pada penari balet, fraktur
fibula pada pelari jarak jauh, dan sebagainya.(1,4)

3.3. PRPXES PENYEMBUHAN FRAKTUR


PrPxes penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :
1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur dan
akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi
oleh periPxteum. PeriPxteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat
tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam
jaringan lunak.(4,5)
PxtePxit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur
akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler
tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.(4,5)

2. Fase proliferasi seluler subperiPxteal dan endPxteal


Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel Pxteogenik yang

13
berproliferasi dari periPxteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah
endPxteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis.
Apabila terjadi robekan yang hebat pada periPxteum, maka penyembuhan sel berasal
dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak.
Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel
Pxteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan Pxteogenik yang
sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler tidak terbentuk dari
organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus
dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan Pxteogenik. Pada
pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu
daerah radiolusen.(4,5)

3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)


Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar
yang berasal dari Pxteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan.
Tempat Pxteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlengketan
polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk
tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven
bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan
fraktur.(4,5)

4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)


Woven bone atau kalus akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas Pxteoblas yang menjadi struktur
lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.(4,5)

5. Fase remodelling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang
menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase
remodelling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara Pxteoklastik dan tetap terjadi
prPxes Pxteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang.
Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian dan
kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.(4,5)

14
Penilaian penyembuhan fraktur (union) didasarkan atas union secara klinis dan union
secara radiologis. Penilaian secara klinis dilakukan dengan pemeriksaan daerah fraktur
dengan melakukan pembengkokan pada daerah fraktur, pemutaran dan kompresi untuk
mengetahui adanya gerakan atau perasaan nyeri pada penderita. Keadaan ini dapat dirasakan
oleh pemeriksa atau oleh penderita sendiri. Apabila tidak ditemukan adanya gerakan, maka
secara klinis telah terjadi union dari fraktur.
Union secara radiologis dinilai dengan pemeriksaan rontgen pada daerah fraktur dan
dilihat adanya garis fraktur atau kalus dan mungkin dapat ditemukan adanya trabekulasi yang
sudah menyambung pada kedua fragmen. Pada tingkat lanjut dapat dilihat adanya medulla
atau ruangan dalam daerah fraktur.

15
3.4. KLASIFIKASI FRAKTUR
Jenis fraktur yang mungkin terjadi sangat bervariasi dan bergantung pada berbagai
mediator, misalnya: besar atau kuatnya trauma, trauma langsung atau tidak langsung, umur
dari penderita, serta lokasi fraktur. (1)

Beberapa jenis fraktur yang sering terjadi akibat trauma, cedera maupun disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas, antara lain:

1. Fraktur komplit/tidak komplit

Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari pPxisi normal). Fraktur tidak
komplit, patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

2. Fraktur tertutup

Fraktur tertutup merupakan yang tidak menyebabkan robeknya kulit.(8)

3. Fraktur terbuka
Merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membrana mukPxa sampai
bagian yang fraktur. Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo and Anderson
antara lain, derajat 1 laserasi luka <1cm dengan kerusakan jaringan tidak berarti
dan relatif bersih, derajat 2 laserasi >1cm dengan tidak ada kerusakan jaringan
hebat atau avulsi atau kontaminasi, derajat 3 luka lebar dan rusak hebat, atau
hilangnya jaringan disekitar disertai kontaminasi hebat.(8)

16
Beberapa tipe fraktur, antara lain: (1)

1. Fraktur transversal
2. Fraktur spiral atau oblik
3. Fraktur kominutif: lebih dan 2 fragmen
4. Fraktur avulsi
5. Fraktur greenstick
6. Fraktur epifisis dengan separasi
7. Fraktur kompresi: pada vertebra
8. Fraktur impresi: pada tengkorak

3.5. DIAGNOSIS
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri, dan bengkak pada bagian
yang patah, deformitas, nyeri tekan, krepitasi, gangguan fungsi muskulPxkeletal akibat nyeri,
putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurvaskular. Apabila gejala klasik tersebut ada
maka diagnPxis fraktur dapat ditegakan walaupun konfigutasinya belum dapat ditentukan.(7)
Pemeriksaan radiologi untuk menentukan jenis dan kedudukan fragmen fraktur. Foto
rontgen harus memenuhi beberapa syarat diantaranya, letak patahan tulang harus diletakan di
tengah foto dan sinar harus menembus tempat ini secara lurus, dibuat 2 proyeksi foto, foto
mencakup 2 persendian proksimal dan distal. Bila tidak diperoleh kelainan maka foto diulang
setelah satu minggu, retakan akan menjadi nyata karena hiperemia setempat disekitar tulang

17
yang retak tampak sebagai dekalsifikasi. Pemeriksaan seperti MRI maupun CT-scan kadang
diperlukan misalnyab pada kasus fraktur vertebra yang disertai gejala neurologis.(7)

3.6. KOMPLIKASI
Komplikasi patah tulang dibagi menjadi komplikasi segera, dini, dan lambat.
Komplikasi segera terjadi pada saat terjadi patah tulang atau segera setelahnya; komplikasi
dini terjadi dalam beberapa hari setelah kejadian; dan komplikasi lambat terjadi lama setelah
patah tulang.(7)
Komplikasi segera dan setempat merupakan kerusakan yang langsung yang disebabkan
oleh trauma, selain patah tulang atau dislokasi. Trauma kulit dapat berupa kontusio, abrasi,
laserasi atau luka tembus. Dapat pula terjadi putusnya vaskular akibat trauma tersebut, serta
dapat terjadi syok.(7)
Komplikasi dini dapat berupa nekrPxis kulit otot, trombPxis, infeksi sendi,
Pxteomielitis, serta sindrom kompartemen. Komplikasi lama meliputi kegagalan pertautan (
non-union), salah taut (malunion), terlambat taut (delayed-union), ankilPxis, kontraktur,
miPxitis Pxifikans, dan berbagai penyakit akibat tirah baring lama karena gangguan
mobilisasi.(7)

3.7. PENATALAKSANAAN FRAKTUR


Tujuan penatalaksanaan fraktur adalah repPxisi dan fiksasi. RepPxisi, dengan tujuan
mengembalikan fragmen kepPxisi anatomi. RepPxisi yang dilakukan tidak harus mencapai
keadaan sempurna seperti semula karena tulang memiliki kemampuan remodeling.
Imobilisasi/fiksasi, dengan tujuan mempertahankan pPxisi fragmen pPxt repPxisi sampai
Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan (shortening), fraktur unstable
serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar. Macam- macam fiksasi diantaranya,
fiksasi eksternal/ OREF (open Reduction External Fixation dan fiksasi internal/ ORIF.
Indikasi OREF diantaranya, fraktur terbuka derajat III, fraktur dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas, fraktur dengan gangguan neurovaskuler, fraktur Kominutif, fraktur Pelvis,
fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF, non Union, dan trauma multipel. Indikasi
ORIF diantaranya, Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avascular nekrPxis tinggi,
misalnya fraktur talus dan fraktur collum femur. Fraktur yang tidak bisa direpPxisi tertutup.
Misalnya fraktur avulsi dan fraktur dislokasi, fraktur yang dapat direpPxisi tetapi sulit
dipertahankan. Misalnya fraktur Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur

18
pergelangan kaki, dan fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi, misalnya fraktur femur.(4,6,7,8)
Pada fraktur dengan dislokasi fragmen patahan minimal atau tidak akan menyebabkan
cacat dikemudian hari, cukup dilakukan dengan proteksi saja, misalkan menggunakan mitela
atau sling, contohnya pada kasus fraktur iga, fraktur klavikula pada anak, fraktur vertebra
dengan kompresi minimal.(7)
Penatalaksanaan awal sebelum dilakukan pengobatan definitif pada satu fraktur,
diperlukan, (i) pertolongan pertama, pada pasien dengan fraktur yang penting dilakukan
adalah membersihkan jalan nafas, menutup luka dengan verban yang bersih, dan imobilisasi
fraktur pada anggota gerak yang terkena agar pasien merasa nyaman dan mengurangi nyeri
sebelum diangkut dengan ambulans. Bila terdapat pendarahan dapat dilakukan pertolongan
dengan penekanan setempat. (ii) Penilaian klinis, sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu
dilakukan penilaian klinis, apakah luka itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh
darah/ saraf ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain. (iii) Resusitasi, kebanyakan pasien
dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit dengan syok, sehingga diperlukan resusitasi
sebelum diberikan terapi pada frakturnya sendiri berupa pemberian transfusi darah dan cairan
lainnya serta obat-obat anti nyeri.

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri pada tungkai bawah kanan dan lengan
bawah kanan serta bengkak, keluhan riwayat kecelakaan lalu lintas tertabrak motor 1,5 jam
SMRS dari sisi kanan juga didapatkan yang mengarah kepada fraktur lengan bawah kanan
dan fraktur tungkai bawah kanan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan edema, nyeri, dan
hambatan gerak pasif maupun aktif pada tungkai bawah kanan dan lengan bawah kanan yang
memperkuat diagnPxis fraktur. Luka vulnus laseratum juga didapatkan pada belakang kepala
sebesar 1 x 1 cm yang dikarenakan Px terjatuh setelah tertabrak motor. Pada pemeriksaan
thoraks juga didapatkan nyeri saat penekanan daerah cPxta 5, 6 linea parasternal kanan yang
mengarah pada fraktur cPxta kanan. DiagnPxis tegak setelah foto Rontgen, dimana terlihat
fraktur obliq pada 1/3 proximal Px. Ulnaris dextra, fraktur obliq pada 1/3 proksimal Px. Tibia
dextra, fraktur obliq pada 1/3 proximal Px. Fibula dextra, dan fraktur multipel pada cPxta 5,6
pPxterior dextra.
Penatalaksanaan pada fraktur ulna dilakukan repPxisi tertutup dengan anastesi umum,
serta imobilisasi dengan gips ( long arm cast) dengan pPxiis netral, selama 4 - 6 minggu, bila
gagal atau terjadi nonunion dapat di lakukan fiksasi internal. Pada fraktur obliq tibia dan
fibula/ fraktur kruris dapat dilakukan ORIF dikarenakan fraktur ini cenderung membengkok
dan memendek setelah dilakukan repPxisi tertutup.(7)

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Sutarto AS, Abdullah AA, Boer A, Budyatmoko B, Makes D, Ilyas G, Ekayuda I, et


all. Radiologi DiagnPxtik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1995. Hal: 31-61
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2013, Available at:
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_Riskesdas2013.PD
F
3. Rasjad C. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone; 2009. p. 325-6;
355-420.
4. Rabaglio M, Sun Z, Price KN, Castiglione-Gertsch M, Hawle H, Thurlimann B,
Mouridsen H, et all. Bone fractures among pPxtmenopausal patients with endocrine-
responsive early breast cancer treated with 5 years of letrozole or tamoxifen in the
BIG 1-98 trial. Annals of Oncology 2009; 20: 1489–98. doi:10.1093/annonc/mdp033
5. Solomon L, et al (eds). Apley’s system of orthopaedics and fractures. 9 th ed. London:
Hodder Arnold; 2010.
6. Chapman MW. Chapman’s orthopaedic surgery. 3rd ed. BPxton: Lippincott
Williams&wilkins; 2001. p 756-804.
7. Sjamsuhidat. R., De Jong., Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah.. Edisi3. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran; 2003.
8. Alderson D, Allen GM, Anderson JR, Armitage NCM, Ashraf S, Back DL, Barton SJ,
et all. Bailey & Love’s Short Practice of Surgery. Edisi25. London: Hodder Arnold;
2008. P 354-77

21

Anda mungkin juga menyukai