Disusun Oleh :
Theodore Amadeo Nathan G991902056
Residen Pembimbing
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Nn. N
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Sragen
No RM : 0144xxxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas
Status : Belum menikah
Tanggal Masuk : 15 Februari 2019
Tanggal Periksa : 16 Februari 2019
B. Data Dasar
Auto anamnesis dan allo anamnesis dilakukan tanggal 16 Februari 2019
perawatan di Bangsal Flamboyan 8 kamar 12C RSUD Dr. Moewardi PUKUL 14.00
WIB.
Keluhan Utama:
Demam sejak 7 hari SMRS.
: Laki-laki : Perempuan
Riwayat Kebiasaan :
Riwayat Merokok : Disangkal
Riwayat Alkohol : Disangkal
Riwayat Olahraga : Tidak pernah
Riwayat Konsumsi minuman berenergi : Disangkal
IV. RESUME
1. Keluhan utama
Demam sejak 7 hari SMRS.
• Demam dirasakan terus menerus sepanjang hari, demam turun
setelah minum obat dan mulai naik setelah efek obat habis.
• Demam tidak disertai menggigil maupun keringat dingin.
• Demam disertai dengan badan ngilu-ngilu. Ngilu-ngilu di seluruh
badan dirasakan terus menerus. Memberat dengan aktivitas dan
sedikit berkurang dengan istirahat.
• Pasien juga mengeluh nyeri perut sejak 7 hari sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri dirasakan pada ulu hati.
• Nyeri pada ulu hati dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Nyeri perut
memberat jika terlambat makan dan ditekan. Nyeri perut juga
disertai mual dan muntah. Mual dan muntah terutama jika mencium
bau makanan.
• Muntah hari ini 2x sehari. Muntah berisi isi makanan dan cairan
lambung.
• Pasien BAK 5-6x sehari, sebanyak ¼ sampai ¾ gelas air mineral.
BAK nyeri dan panas, BAK keruh, anyang-anyangan.
2. Pemeriksaan fisik:
Tensi : 100/60 mmHg
Nadi : 92 kali /menit
Palpasi abdomen: nyeri tekan (+) regio epigastrium, nyeri tekan
regio suprapubik (+).
3. Pemeriksaan tambahan:
a. Laboratorium Darah: Netrofilia Absolut
b. Urinalisis: Nitrituria, Leukosituria, Bakteriuria
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Observasi Febris H-VII ec ISK, dd Typhoid
2. Dyspepsia organic dd fungsional
VI. DIAGNOSIS
Observasi Febris H-VII ec susp ISK bawah
VII. TATALAKSANA
1. Bedrest tidak total
2. Diet lunak tidak merangsang lambung
3. Inf Nacl 0.9% 20 tpm
4. Inj. Ampicillin 1,5gr/8j
5. PCT 500mg/8j
6. Inj. Omeprazole 40mg/12j
7. Sucralfate syr 15ml/8j
VIII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad sanam : dubia ad bonam
3. Ad fungsionam : dubia ad bonam
Semua obat β-laktam menghambat sintesis dinding sel bakteri dan oleh
karena itu aktif melawan saat bakteri melakukan pembelahan. Langkah awal dari
aksi obat berupa ikatan obat pada reseptor sel yang disebut protein binding
penicillin (PBP). PBP berada di bawah kontrol kromosom dan mutasi dapat
mengubah jumlahnya atau afinitasnya terhadap obat β-laktam.
Setelah obat β-laktam melekat pada satu atau beberapa reseptor, reaksi
transpeptidasi dihambat dan sintesis peptidoglikan dihentikan. Langkah
selanjutnya meliputi perpindahan atau inaktivasi inhibitor otolitik pada dinding
sel.
Inhibitor translasi protein atau sintesis protein bereaksi dengan kompleks
ribosom-mRNA. Walaupun sel manusia juga memiliki ribosom, ribosom pada
eukariotik berbeda dalam ukuran dan struktur dari ribosom prokariotik.
Konsekuensi yang potensial terjadi dari penggunaan antimikroba ini adalah
kerusakan ribosom mitokondria eukariotik yang mengandung ribosom yang
sejenis dengan prokariotik. Dua target pada ribosom yang dapat diganggu adalah
subunit 30S dan subunit 50S.
β-laktam
Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk
sintesis dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, penisilin akan
menghasilkan efek bakterisid pada mikroba yang sedang aktif membelah.
Mikroba yang dalam keadaan metabolik tidak aktif (tidak membelah), yang
disebut juga sebagai persisters, praktis tidak dipengaruhi oleh penisilin;
kalaupun ada pengaruhnya hanya bakteriostatis.
Mekanisme kerja antimikroba β-laktam dapat diringkas dengan urutan
sebagai berikut :
(1) obat bergabung dengan penisilin-binding protein (PBP) pada bakteri
(2) terjadi hambatan sintesis dinding sel bakteri karena proses transpeptidasi antar
rantai peptidoglikan terganggu
(3) kemudian terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.
Diantara semua penisilin, penisilin G memiliki aktivitas terbaik terhadap
bakteri gram-positif yang sensitif. Kelompok ampisilin, walaupun spektrumnya
luas, aktivitasnya terhadap mikroba Gram positif tidak sekuat penisilin G, tetapi
efektif terhadap mikroba Gram negatif yang tahan asam sehingga dapat diberikan
per oral. Di antara bakteri Gram negatif hanya S. Moniliformis (Haverrhillia) dan
P. Multocida yang cukup sensitif, sedangkan yang lain (enterobacteriaceae)
kurang atau sama sekali tidak sensitif. Penisilin yang tahan asam pada umumnya
dapat menghasilkan kadar obat dalam plasma yang dikehendaki dengan
penyesuaian dosis oral yang tidak terlalu bervariasi; walaupun beberapa penisilin
oral diabsorbsi dalam proporsi yang cukup kecil. Adanya makanan akan
menghambat absorbsi; tetapi beberapa diantaranya dihambat secara tidak
bermakna. Penisilin V walaupun relatif tahan asam, 30% mengalami pemecahan
di saluran cerna bagian atas, sehingga tidak sempat diabsorpsi.
Jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorpsi pada
pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam
saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil, persentase yang diabsorpsi relatif lebih
besar. Absorpsi ampisilin oral tidak lebih baik daripada penisilin V atau
fenetisilin. Adanya makanan dalam saluran cerna akan menghambat absorpsi
obat. Perbedaan absorpsi ampisilin bentuk trihidrat dan bentuk anhidrat tidak
memberikan perbedaan dalam penggunaan di klinik. Sering absorpsi ampisilin
oral tidak cukup memuaskan sehingga perlu meningkatkan dosis. Ester ampisilin
misalnya pivampisilin, bakampisilin dan hetasilin diabsorpsi lebih baik daripada
ampisilin. Berbagai enzim dalam mukosa saluran cerna, serum dan jaringan lain
menghidrolisis ester-ester ini dan membebaskan ampisilin.
Amoksilin, mencapai kadar dalam darah kira-kira dua kali lebih tinggi
dibanding ampisilin, sedangkan masa paruhnya sama dan absorbsinya tidak
dipengaruhi makanan. Distibusinya sangat luas dalam tubuh.
Ampisilin
Walaupun spektrumnya luas, aktivitasnya terhadap mikroba Gram positif
tidak sekuat penisilin G, tetapi efektif terhadap mikroba Gram negarif dan tahan
asam sehingga dapat diberikan per oral. Jumlah ampisilin dan senyawa
sejenisnya yang diabsorpsi pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan
ada tidaknya makanan dalam saluran cerna.
Dengan dosis lebih kecil, persentase yang diabsorpsi relatif lebih besar.
Amoksilin mempunyai kemampuan yang sama dengan ampisilin dan termasuk
dalam golongan aminopenisilin
Sulbenisilin
Golongan penisilin yang efektif terhadap Pseudomonas aeruginosa dan
galur proteus yang resisten terhadap ampisilin. Bakteri yang paling sensitif
adalah Proteus mirabilis.
Tikarsilin
Karboksipenisilin dengan spektrum aktivitas anti bakterinya terhadap
Gram negatif lebih luas dibandingkan dengan aminopenisilin, termasuk terhadap
Pseudomonas aeruginosa. Untuk ISK dosis maksimumnya 2 gram
intramuskular.
TYPHOID FEVER
A. DEFINISI
Typhus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh infeksi
kuman Salmonella typhi yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala
demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, dan lebih
banyak menyerang pada anak usia 12 – 13 tahun ( 70% – 80% ), pada usia 30 – 40 tahun
( 10%-20% ) dan di atas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak ( 5%-10% ).1
B. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, demam tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat
endemis. Tidak ada perbedaan yang nyata insidens demam tifoid pada pria dengan
wanita. Insidens tertinggi didapatkan pada remaja dan dewasa muda. Angka kesakitan
yang diakibatkan demam tifoid cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500
/ 100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan 0.6 – 5 % sebagai akibat dari
keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan.6,12
Insidens demam tifoid bervariasi tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) didapatkan 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760 – 810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi
syarat kesehatan lingkungan.6
C. ETIOLOGI
Tifus abdominalis disebabkan oleh Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A,
B, dan C. Salmonella typhosa merupakan basil gram negatif yang bergerak dengan bulu
getar, tidak berspora dan memiliki setidaknya tiga macam antigen yaitu :
1. Antigen O (Ohne Hauch) yaitu somkatic antigen (tidak menyebar), terdiri dari zat
kompleks lipopolisakarida.
2. Antigen H (Hauch, menyebar) terdapat pada flagella.
3. Antigen Vi merupakan polisakarida kapsul verilen
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan tiga
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.6
D. PATOFISIOLOGI
Kuman Salmonella thypi masuk ke tubuh manusia melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Sebagian kuman dimusnahkan asam lambung.
Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Payeri di
ileum terminalis yang hipertropi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi
intestinal dapat terjadi. Kuman S.typhi kemudian menembus lamina propia masuk aliran
limfe mesenterial, dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami
hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini, S.typhi masuk aliran darah
melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi
portal dari usus. S.typhi bersarang di plaque Payeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain
system retikuloendotelial. Semua disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada
demam tifoid disebabkan endotoksemia. Tapi kemudian berdasar penelitian
eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama
demam dan gejala-gejala toksemia pada typhus abdominalis. Endotoksin S.typhi
berperan pada patogenesis, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada
jaringan tempat S.typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.typhi
dan endotoksinya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen olek leukosis pada
jaringan yang meradang5. Proses perkembangan S. Typhi di dalam tubuh dijelaskan
dalam bagan berikut.
Tabel 1. Perkembangan kuman S. typhi
E. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas berlangsung 10 – 14 hari. Gejala-gejala yang timbul bervariasi.
Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang asimptomatis sampai
gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian.
Minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya, yaitu demam (suhu tubuh meningkat pada sore dan malam hari), nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, epistaksis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan
meningkat.
F. DIAGNOSIS
Biakan darah positif memastikan typhus abdominalis, tapi biakan darah negatif
tidak menyingkirkan typhus abdominalis. Biakan feces positif menyokong diagnosis
klinis typhus abdominalis5. Biakan feces ini, 75% positif pada minggu ketiga.
G. DIAGNOSIS BANDING
• Demam Berdarah Dengue
• Malaria
• Leptospirosis
• Hepatitis A
• Infeksi Saluran Kemih
• Demam yang berhubungan dengan infeksi HIV11
H. KOMPLIKASI
Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi demam
tifoid antara lain :
J. PROGNOSIS
Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis pada stadium
dini, sangat berhasil. Angka kematian dibawah 1%, dan hanya sedikit penyulit yang
terjadi6. Secara keseluruhan, prognosis penyakit ini adalah bonam (baik), namun dari
segi kesembuhan (ad sanationam) dubia ad bonam (ragu-ragu atau cenderung baik)
karena penyakit ini cenderung dapat terjadi berulang / relaps.11
DAFTAR PUSTAKA
Butterton JR, Calderwood SB (2002). Acute Infectious Diarrheal Disease and
Bacterial Food Poisoning. In Harrison Principles of Internal Medicine 15-Ed, McGraw-
Hill, p : 83.
Hermawan AG (1999). Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-2.
Surakarta : Yayasan Kesuma Islam Kedokteran.
Widodo D (2009). Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III
Edisi ke-5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, pp : 2797-2806.
Tjay TH, Rahardja K (2001). Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan , dan Efek-
Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. pp : 64-82.
Ikatan Dokter Indonesia (2014). Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi Tahun 2014. Jakarta : IDI, pp : 104-108.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 364/MENKES/SK/V/2006
tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Bint, B., 2003. Penyakit Infeksi Saluran Kencing; Sistitis dan Pielonefritis in Dasar
Biologis Klinis Penyakit Infeksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
BNF, 2008, BNF 54, British National Formulary, United Kingdom, BMJ Group
andRPS Publishing. Coyle, E.A., Prince, R. A., In DiPiro, J. T., Robert, L. T., Gary, C. Y.,
Gary,
. M., Barbara, G. W., L. Michael, P., 2005. Urinary Tract Infections and Prostatitis
Edition 6th. The McGraw Hill Companies, ed., USA.
DeBelhs R.J., Smith, B.S., Cawley P.A., Burniske, G.M., 2000, Drug Dosing in
Critically Ill Patients with Renal Failure: A Pharmacokinetic Approach, J. Intensive Care
Med, 15: 273-313.
Dipiro, J. T., Talbert, R. I., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B. G., Posey, L. M.,
2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Sevent Edition, McGraw-Hill
Companies, Inc., New York, 1906-1907.
Elly Puspitosari, 2014, Evaluasi Penggunan Antibiotik pada Pasien Infeksi Saluran
Kemih di Instalasi Rawat Inap RSPAU dr. S Hardjolukto Yogyakarta tahun 2014,
Yogyakarta.
Fish, D. N.,dan Sahai, J. V., 2001, Urinary Tract Infection, in Koda Kimble, M. A.,
Yee Young, L., Kradjan, W. A., Guglielmo, B. J. (Eds), Applied Therapeutics, 7th Edition,
Book 2, 62.1-62.22, Lippicott William and Wilkins, USA.
Grabe, M., Botto, H., Wullt, B., Cek, M., Naber, K G., Pickard, R S., Tenke, P.,
Wagenlehner, F., 2011. Guidelines on Urological Infections. Update, pp.1– 112. Available
at: http://www.uroweb.org/gls/pdf/15_Urological_Infections.pdf. \
Knowles, M., 2005. The Definitive Classic in Adult Education and Human Resource
Development 6th edition. Amsterdam.
Mardiyati, A.P., 2010, Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran
Kemih di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo Slawi Kabupaten Tegal Tahun 2009,
Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
Musnelina, L., Afdhal, A. F., Gani, A., dan Andayani, P., 2004, Poa Pemberian
Antibiotik di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002, Makara Kesehatan, 8 (2),
59-64.
Pezzlo M., 1992, Urinary Tract Specimens, In editor: Tilton RC., Clinical Laboratory
Medicine, Mosby Year Book, United State of America.
Shetty, H. G. M., Woodhouse, K., 2003, in Walker, R., Edwards, C., Clinical
Pharmacy and Therapeutics, 562, 5rd Edition, Churchill Livingstone, London.
Suwitra, K. & Mangatas, S.M., 2004. Diagnosis dan Penatalaksanaan Infeksi Saluran
Kemih Terkomplikasi F. K. UNUD & Dexamedia, eds., Denpasar.
Sukandar, E. 2006. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit IPD FK UI. Standart Pelayanan
Medik, 2014, RSUD Kabupaten Sukoharjo, Sukoharjo.
Tessy, A. & Suwanto, A., 2001. Infeksi Saluran Kemih dalam Buku Ajar Ilmu Jilid
II E. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ed., Jakarta.
Tjay, H.. & Rahardja, K., 2007. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan
EfekEfek Sampingnya Edisi VI. Kompas-Gramedia, ed., Jakarta