Anda di halaman 1dari 34

Presentasi Kasus

WANITA 19 TAHUN DENGAN OBSERVASI FEBRIS H-VII EC ISK DD


TYPHOID, DISPEPSIA ORGANIK DD FUNGSIONAL

Disusun Oleh :
Theodore Amadeo Nathan G991902056

Residen Pembimbing

dr. Tisha Patricia dr. Maria Immaculata P, SpPK(K), Mkes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Ilmu Patologi Klinik dengan judul:

WANITA 19 TAHUN DENGAN OBSERVASI FEBRIS H-VII EC ISK DD


TYPHOID, DISPEPSIA ORGANIK DD FUNGSIONAL
Theodore Amadeo Nathan G991902056

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

dr. Maria Immaculata P, SpPK(K), Mkes


STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Nn. N
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Sragen
No RM : 0144xxxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas
Status : Belum menikah
Tanggal Masuk : 15 Februari 2019
Tanggal Periksa : 16 Februari 2019

B. Data Dasar
Auto anamnesis dan allo anamnesis dilakukan tanggal 16 Februari 2019
perawatan di Bangsal Flamboyan 8 kamar 12C RSUD Dr. Moewardi PUKUL 14.00
WIB.
Keluhan Utama:
Demam sejak 7 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan demam sejak 7 hari sebelum
masuk rumah sakit. Demam dirasakan terus menerus sepanjang hari, demam turun
setelah minum obat dan mulai naik setelah efek obat habis. Demam tidak disertai
menggigil maupun keringat dingin. Demam disertai dengan badan ngilu-ngilu. Ngilu-
ngilu di seluruh badan dirasakan terus menerus. Memberat dengan aktivitas dan sedikit
berkurang dengan istirahat. Pasien juga mengeluh nyeri perut sejak 7 hari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan pada daerah ulu hati. Nyeri pada ulu hati dirasakan
seperti ditusuk-tusuk. Nyeri perut memberat jika terlambat makan dan ditekan. Nyeri
perut juga disertai mual dan muntah. Mual dan muntah terutama jika mencium bau
makanan. Muntah hari ini 2x sehari. Muntah berisi isi makanan dan cairan lambung.
Pasien BAK 5-6x sehari, sebanyak ¼ sampai ¾ gelas air mineral. Pasien
mengaku BAK warna kuning, keruh, nyeri dan panas. Pasien juga mengeluhkan
anyang-anyangan dan BAK seperti tidak tuntas. BAK merah disangkal.
Pasien BAB 1x sehari, konsistensi lunak, warna kuning-kecoklatan. Pasien
menyangkal BAB merah bercampur darah, BAB hitam seperti ter, BAB cair, BAB
lendir. Pasien menyangkal menderita sakit kencing manis, sakit tekanan darah tinggi,
sakit jantung dan sakit asma.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat Penyakit yang Serupa : disangkal
Riwayat Mondok : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
Riwayat Transfusi : disangkal
Riwayat Sakit TB : disangkal
Riwayat Sakit Hati : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat Sakit Serupa : disangkal
Riwayat Tekanan Darah Tinggi: disangkal
Riwayat Sakit gula : (+) kakek pasien
Riwayat Asma/Alergi : disangkal
Riwayat Keganasan : disangkal
Riwayat Sakit TB : disangkal
Pohon keluarga pasien:

Gambar 1. Pohon Keluarga Pasien


Keterangan :
: Pasien : Meninggal

: Laki-laki : Perempuan

Riwayat Kebiasaan :
Riwayat Merokok : Disangkal
Riwayat Alkohol : Disangkal
Riwayat Olahraga : Tidak pernah
Riwayat Konsumsi minuman berenergi : Disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien seorang mahasiswa dan tidak bekerja. Pasien tinggal di rumah
bersama dengan ayah dan ibunya. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 16 Februari 2019 dengan hasil sebagai berikut:
1. Keadaan umum
Sakit Sedang, compos mentis, GCS E4V5M6.
2. Tanda vital
a. Tensi : 100/60 mmHg
b. Nadi : 92 kali /menit
c. Frekuensi nafas : 18 kali /menit,
d. Suhu : 37,7 0C
e. VAS : 4 di regio epigastrium
3. Status gizi
a. Berat badan : 48 kg
b. Tinggi badan : 148 cm
c. IMT : 22 kg/m2
d. Kesan : Normoweight.
4. Kulit : Kulit berwarna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, atrofi M.temporalis (-), rambut warna hitam,
mudah rontok (-), luka (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-) sklera ikterik (-/-),pupil
isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-), strabismus (-/-), katarak (-/-).
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-)
9. Mulut : Mukosa kering (+), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah
atrofi (-), luka pada sudut bibir (-) oral thrush (-), lidah typhoid (-),
caries dentes (-)
10. Leher : JVP 5+2 cm H2O, trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar
tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening leher (-), leher kaku (-
)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri,
retraksi(-)
12. Jantung
• Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
• Palpasi : Ictus kordis teraba di SIC V 2cm medial linea mid
clavicularis
• Perkusi :
- Batas jantung kiri bawah: SIC IV 1cm medial linea midclavicularis
sinistra
- Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dextra
- Batas pinggang jantung: SIC III linea parasternalis dextra
Kesan: batas jantung kesan tidak melebar
• Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, intensitas normal, gallop (-),
murmur (-).
13. Pulmo
• Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
• Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba menurun kanan = kiri, nyeri tekan (-)
• Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
• Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler (+), RBH (-), suara
tambahan: wheezing (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler (+), RBH (-), suara
tambahan: wheezing (-), krepitasi (-)
13. Abdomen
• Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding thorak, venektasi (-),
darn contour (-), sikatriks (-), striae (-), caput medusae (-),
ikterik (-)
• Auskultasi : Bising usus (+) 12 x/menit, bruit hepar (-), bising epigastrium
(-)
• Perkusi : Timpani, ascites (-)
• Palpasi : Distended (-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+)
regio epigastrium, nyeri tekan regio suprapubik (+).
14. Ekstremitas
Superior
Kanan/ Kiri : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-),
ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubbing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri
gerak (-/-), deformitas (-/-)
Inferior
Kanan/ Kiri : Pitting oedem (+/+), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-),
ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-), clubbing
finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-/-),
deformitas (-/-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Elektrokardiografi

Gambar 2. EKG pasien diambil tanggal 16/02/19


HR : 100x/menit
Kesimpulan : sinus ritmis 100x per menit, iskemi (-)
B. Laboratorium Darah (16 Februari 2019 di RSUD dr. Moewardi)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 10.6 g/dL 11.7 – 16.2
Hematokrit 32 % 33 – 45
Leukosit 13.8 ribu/µl 4.5 – 11.0
Trombosit 250 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 4.59 juta/µl 4.10 – 5.10
SGOT 33 u/l <35
SGPT 21 u/l <34
Creatinin 0.7 mg/dl 0.8-1.3
Ureum 28 mg/dl <50
Albumin 4.1 g/dl 3.2 – 4.6
Bilirubin total 0.59 mg/dl 0.00 – 1.00
Glukosa darah 109 mg/dl 60-140
sewaktu
Indeks Eritrosit
MCV 69.2 /um 80.0 – 96.0
MCH 23.1 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 33.3 g/dl 33.0 – 36.0
RDW 16.4 % 11.6 – 14.6
MPV 8.3 Fl 7.2 – 11.1
PDW 16 % 25 – 65
Hitung Jenis
Eosinofil 1.00 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.00 % 0.00 – 2.00
Neutrofil 73.00 % 55.00 – 80.00
Limfosit 16.00 % 22.00 – 44.00
Monosit 10.00 % 0.00 – 7.00
Golongan O
Darah
Hemostasis
PT 12.1 Detik 10.0 – 15.0
APTT 22.6 Detik 20.0 – 40.0
INR 0.910
Elektrolit
Natrium darah 130 mmol/L 132 – 146
Kalium darah 3.5 mmol/L 3.7 – 5.4
Calsium ion 1.07 mmol/L 1.17 – 1.29
Serologi
HBsAg nonreactive Nonreactive
Tabel 1. Hasil Laboratorium Darah Pasien
C. Urinalisis (16 Februari 2019 di RSUD dr. Moewardi)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Kimia Urin
Berat jenis 1.011 1.015 –
1.025
Ph 6.0 4.5 – 8.0
Darah Negative mg/dl negatif
Protein Negative mg/dl negatif
Leukosit esterase Positif (++) /ul negatif
Keton Negative mg/dl negatif
Nitrit Positif (+) negatif
Glukosa Negative mg/dl negatif
Urobilinogen Normal mg/dl normal
Bilirubin Negative mg/dl negatif
Mikroskopis
Eritrosit 0 /LPB 0-1
Leukosit 20-25 /LPB 4-5
Sel Epitel
Squamous Negative /LPB negatif
Transisional Negative /LPB normal
Bulat Negative /LPB negatif
Silinder
Hyalin Negative /LPK 0-3
Granuler Negative /LPK negatif
Lekosit Negative /LPK negatif
Eritrosit Negative /LPK negatif
Kristal Negative negatif
Bakteri Positif (++) negatif
Tabel 2. Hasil Urinalisis Pasien

IV. RESUME

1. Keluhan utama
Demam sejak 7 hari SMRS.
• Demam dirasakan terus menerus sepanjang hari, demam turun
setelah minum obat dan mulai naik setelah efek obat habis.
• Demam tidak disertai menggigil maupun keringat dingin.
• Demam disertai dengan badan ngilu-ngilu. Ngilu-ngilu di seluruh
badan dirasakan terus menerus. Memberat dengan aktivitas dan
sedikit berkurang dengan istirahat.
• Pasien juga mengeluh nyeri perut sejak 7 hari sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri dirasakan pada ulu hati.
• Nyeri pada ulu hati dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Nyeri perut
memberat jika terlambat makan dan ditekan. Nyeri perut juga
disertai mual dan muntah. Mual dan muntah terutama jika mencium
bau makanan.
• Muntah hari ini 2x sehari. Muntah berisi isi makanan dan cairan
lambung.
• Pasien BAK 5-6x sehari, sebanyak ¼ sampai ¾ gelas air mineral.
BAK nyeri dan panas, BAK keruh, anyang-anyangan.
2. Pemeriksaan fisik:
Tensi : 100/60 mmHg
Nadi : 92 kali /menit
Palpasi abdomen: nyeri tekan (+) regio epigastrium, nyeri tekan
regio suprapubik (+).

3. Pemeriksaan tambahan:
a. Laboratorium Darah: Netrofilia Absolut
b. Urinalisis: Nitrituria, Leukosituria, Bakteriuria

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Observasi Febris H-VII ec ISK, dd Typhoid
2. Dyspepsia organic dd fungsional

VI. DIAGNOSIS
Observasi Febris H-VII ec susp ISK bawah

VII. TATALAKSANA
1. Bedrest tidak total
2. Diet lunak tidak merangsang lambung
3. Inf Nacl 0.9% 20 tpm
4. Inj. Ampicillin 1,5gr/8j
5. PCT 500mg/8j
6. Inj. Omeprazole 40mg/12j
7. Sucralfate syr 15ml/8j

VIII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad sanam : dubia ad bonam
3. Ad fungsionam : dubia ad bonam

IX. USULAN PEMERIKSAAN LAB


1. Evaluasi darah rutin
2. Evaluasi urinalisis
3. Kultur urin
4. Kultur darah
TINJAUAN PUSTAKA
INFEKSI SALURAN KEMIH
A. DEFINISI
ISK merupakan istilah umum yang menujukkan keberadaan
mikroorganisme dalam urin. Adanya bakteri dalam urin disebut bakteriuria.
Bakteriuria bermakna menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih
dari 105 colony forming units (CFU) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna
tanpa disertai manifestasi klinis ISK disebut bakteriuria asimptomatik.
Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai manifestasi klinis disebut bakteriuria
simptomatik. Infeksi saluran kemih dibagi berdasarkan lokasinya yaitu saluran
kemih atas dan bawah.
B. ETIOLOGI
Umumnya ISK disebabkan oleh mikroorganisme tunggal seperti:
• Escherichia coli merupakan mikroorganisme yang paling sering diisolasi dari
pasien ISK
• Mikroorganisme lain yang sering ditemukan adalah Proteus sp, klebsiella sp
dan stafilokokus dengan koagulase negatif.
• Infeksi yang disebabkan oleh pseudomonas jarang ditemukan kecuali pasca
katerisasi.
Patogenesis patogen urin pada ISK
Patogenesis bakteriuria asimptomatik menjadi simptomatik dengan
presentasi klinis tergantung patogenesis bakteri dan status kesehatan pasien:
• Peranan patogenesis bakteri, meliputi peranan perlekatan bakteri pada
mukosa dan peranan faktor virulensi lainnya seperti toksin Escherichia coli
dan fimbriae.
• Peranan status kesehatan pasien meliputi faktor predisposisi dan status
imunologi dari pasien.
1. Enterobacteriaceae
Enterobacteriaceae adalah bakteri yang hidup di usus besar manusia dan
hewan, tanah, air dan dapat pula ditemukan pada komposisi material. Sebagian
bakteri ini tidak menimbulkan penyakit pada host (tuan rumah) bila bakteri tetap
berada di usus besar, tetapi pada keadaan-keadaan dimana terjadi perubahan pada
host atau bila ada kesempatan memasuki bagian tubuh yang lain, banyak diantara
bakteri ini mampu menimbulkan penyakit pada tiap jaringan tubuh manusia.
Organisme- organisme di dalam famili ini pada kenyataannya mempunyai
peranan penting di dalam infeksi nosokomial misalnya sebagai penyebab infeksi
saluran kemih, infeksi pada luka, dan infeksi lainnya.
Morfologi
Enterobacteriaceae adalah bakteri berbentuk batang pendek dengan
ukuran 0,5 um x 3,0 um Gram negatif tidak berspora, gerak positif dengan flagel
peritrikh (Salmonella, Proteus, Escherichia) atau gerak negatif (Shigella,
Klebsiella), mempunyai kapsul/selubung yang jelas seperti pada Klebsiella atau
hanya berupa selubung tipis pada Escherichia atau tidak berkapsul sama sekali.
Sebagian besar spesies mempunyai fili atau fimbriae yang berfungsi sebagai alat
perlekatan dengan bakteri lain.
Biakan dan cara pertumbuhan
Sifat biakan Enterobacteriaceae adalah sebagai berikut :
Koloni bakteri biasanya basah, halus, keabu-abuan, permukaannya licin.
Hemolisis yaitu bila ada tipe beta. Pada perbenihan cair tumbuh secara difus.
Macam-macam perbenihan yang dipakai untuk isolasi Enterobacteriaceae
adalah:
1. Diferensial: Agar Mc. Conkey, agar Eosin Methylene Blue, agar
Desoxycholate. Pada perbenihan ini hampir semua jenis bakteri tumbuh.
2. Selektif: Agar Salmonella-Shigella, agar Desoxycholate citrat. Perbenihan ini
khusus untuk mengisolasi bakteri usus patogen.
3. Persemaian: Kaldu GN, kaldu selenit, kaldu tetrathionat. Bakteri usus
pathogen tumbuh lebih subur.
2. Escherichia coli
Bakteri ini berbentuk batang pendek, gemuk, berukuran 2,4 um x 0,4 um
sampai 0,7 um Gram negatif, tak bersimpai, bergerak aktif dan tidak berspora.
Patogenesis
E.coli adalah penyebab yang paling lazim dari infeksi saluran kemih dan
merupakan penyebab infeksi saluran kemih pertama pada kira-kira 90% wanita
muda. Gejala dan tanda-tandanya antara lain sering kencing, disuria, hematuria,
dan piuria. Nyeri pinggang berhubungan dengan infeksi saluran kemih bagian
atas. Tak satupun dari gejala atau tanda-tanda ini bersifat khusus untuk bakteri.
Infeksi saluran kemih dapat mengakibatkan bakterimia dengan tanda-tanda
khusus sepsis. Escherichia coli yang nefropatogenik secara khas menghasilkan
hemolisin. Kebanyakan infeksi disebabkan oleh Escherichia coli dengan
sejumlah kecil tipe antigen O. Antigen K tampaknya penting dalam patogenesis
infeksi saluran kemih atas. Pieloneftritis berhubungan dengan jenis philus
khusus, philus P yang mengikat zat golongan darah P.
Infeksi saluran kemih misalnya sistitis, pielitis dan pielonefritis. Infeksi
dapat terjadi akibat sumbatan saluran kemih karena adanya pembesaran prostat
dan kehamilan. Yang biasa menyebabkan infeksi saluran kemih ialah Escherichia
coli yang mempunyai antigen jenis O1, O2, O4, O6, dan O7. Jenis-jenis pembawa
antigen K dapat menyebabkan timbulnya pielonefritis.
3. Klebsiella pneumoniae
Klebsiella pneumoniae kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran
kemih dan bakteremia dengan lesi fokal pada pasien yang lemah. Ditemukan
pada selaput lendir saluran napas bagian atas, usus dan saluran kemih dan alat
kelamin. Tidak bergerak, bersimpai, tumbuh pada perbenihan biasa dengan
membuat koloni berlendir yang besar yang daya lekatnya berlainan.
4. Proteus sp
Proteus sp dapat menyebabkan infeksi pada manusia hanya bila bakteri
itu meninggalkan saluran usus. Spesies ini ditemukan pada infeksi saluran kemih
dan menyebabkan bakterimia, pneumonia dan lesi fokal pada penderita yang
lemah atau pada penderita yang menerima infus intravena. P. mirabilis
menyebabkan infeksi saluran kemih dan kadang-kadang infeksi lainnya. Pada
infeksi saluran kemih oleh Proteus, urin bersifat basa, sehingga memudahkan
pembentukan batu dan praktis tidak mungkin mengasamkannya. Pergerakan
cepat oleh Proteus mungkin ikut berperan dalam invasinya terhadap saluran
kemih. Spesies Proteus menghasilkan urease mengakibatkan hidrolisis urea yang
cepat dengan pembebasan amonia.
5. Pseudomonas aeruginosa
Bakteri ini sering dihubungkan dengan penyakit pada manusia.
Organisme ini merupakan penyebab 10-20% infeksi nosokomial. Sering diisolasi
dari penderita yang neoplastik, luka dan luka bakar yang berat. Bakteri ini juga
dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan bagian bawah, saluran
kemih, mata dan lain-lainnya.12
Morfologi
Batang Gram negatif, (0,5-1,0) um x (3,0-4,0) um. Umumnya mempunyai
flagel polar, tetapi kadang-kadang 2-3 flagel. Bila tumbuh pada perbenihan tanpa
sukrosa terdapat lapisan lendir polisakarida ekstraseluler. Struktur dinding sel
sama dengan famili Enterobacteriaceae. Galur yang diisolasi dari bahan klinik
sering sering mempunyai pili untuk perlekatan pada permukaan gel dan
memegang peranan penting dalam resistensi terhadap fagositosis.
Pertumbuhan
Pseudomonas aeruginosa tumbuh baik pada suhu (37-42)oC;
pertumbuhannya pada suhu 42°C membantu membedakan spesies ini dari
spesies Pseudomonas lain. Bakteri ini oksidase positif dan tidak meragi
karbohidrat, tetapi banyak galur mengoksidasi glukosa. Pengenalan biasanya
berdasarkan morfologi koloni, sifat oksidase positif, adanya pigmen yang khas
dan pertumbuhannya pada suhu 42°C. Untuk membedakan Pseudomonas
aeruginosa dengan yang lain berdasarkan aktivitas biokimiawi, dibutuhkan
pengujian dengan berbagai substrat.
Patogenesis
Pseudomonas aeruginosa bersifat patogen bila masuk ke daerah yang
fungsi pertahanannya abnormal, misalnya bila selaput mukosa dan kulit "robek"
karena kerusakan kulit langsung; pada pemakaian kateter intravena atau kateter
air kemih; atau bila terdapat netropenia, misalnya pada kemoterapi kanker.
Bakteri melekat dan mengkoloni selaput mukosa atau kulit dan menginvasi
secara lokal dan menimbulkan penyakit sistemik. Proses ini dibantu oleh pili,
enzim dan toksin. Lipopolisakarida berperan langsung yang menyebabkan
demam, syok, oliguria, leukositosis, dan leukopenia, disseminated intravascular
coagulation (DIC) dan respiratory distress syndrome (RDS).
Gambaran Klinis
P. aeruginosa menimbulkan infeksi pada saluran kemih bila masuk
bersama kateter dan instrumen lain atau dalam larutan untuk irigasi.
P.aeruginosa dapat dilihat pada bahan pewarnaan Gram.
Tes Diagnosis Labolatorium
Untuk infeksi saluran kemih bahan dapat diambil dari urin. Sediaan apus
terlihat batang Gram negatif. Biakan ditanam pada lempeng agar darah dan
perbenihan diferensial yang biasa digunakan untuk menumbuhkan batang Gram
negatif enterik.
Pengobatan
Infeksi Pseudomonas aeruginosa yang penting dalam klinik tidak boleh
diobati dengan terapi obat tunggal, karena keberhasilan terapi semacam itu
rendah dan bakteri dapat dengan cepat menjadi resisten. Penisilin yang bekerja
aktif terhadap P. aeruginosa adalah tikarsilin-mezlosilin dan piperasilin-
digunakan dalam kombinasi dengan aminoglikosida, biasanya gentamisin,
tobramisin dan amikasin. Obat lain yang aktif terhadap P. aeruginosa antara lain
aztreonam; imipenem; kuinolon baru, termasuk siprofloksasin yang masih aktif
melawan P. Aeruginosa.
C. TATALAKSANA ISK
Antibiotika
Secara umum, mekanisme kerja antimikroba dikelompokkan dalam lima
kelompok utama:
• Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba
• Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel
• Antimikroba yang mengganggu keutuhan sel mikroba
• Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba
• Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba

Semua obat β-laktam menghambat sintesis dinding sel bakteri dan oleh
karena itu aktif melawan saat bakteri melakukan pembelahan. Langkah awal dari
aksi obat berupa ikatan obat pada reseptor sel yang disebut protein binding
penicillin (PBP). PBP berada di bawah kontrol kromosom dan mutasi dapat
mengubah jumlahnya atau afinitasnya terhadap obat β-laktam.
Setelah obat β-laktam melekat pada satu atau beberapa reseptor, reaksi
transpeptidasi dihambat dan sintesis peptidoglikan dihentikan. Langkah
selanjutnya meliputi perpindahan atau inaktivasi inhibitor otolitik pada dinding
sel.
Inhibitor translasi protein atau sintesis protein bereaksi dengan kompleks
ribosom-mRNA. Walaupun sel manusia juga memiliki ribosom, ribosom pada
eukariotik berbeda dalam ukuran dan struktur dari ribosom prokariotik.
Konsekuensi yang potensial terjadi dari penggunaan antimikroba ini adalah
kerusakan ribosom mitokondria eukariotik yang mengandung ribosom yang
sejenis dengan prokariotik. Dua target pada ribosom yang dapat diganggu adalah
subunit 30S dan subunit 50S.
β-laktam
Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk
sintesis dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, penisilin akan
menghasilkan efek bakterisid pada mikroba yang sedang aktif membelah.
Mikroba yang dalam keadaan metabolik tidak aktif (tidak membelah), yang
disebut juga sebagai persisters, praktis tidak dipengaruhi oleh penisilin;
kalaupun ada pengaruhnya hanya bakteriostatis.
Mekanisme kerja antimikroba β-laktam dapat diringkas dengan urutan
sebagai berikut :
(1) obat bergabung dengan penisilin-binding protein (PBP) pada bakteri
(2) terjadi hambatan sintesis dinding sel bakteri karena proses transpeptidasi antar
rantai peptidoglikan terganggu
(3) kemudian terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.
Diantara semua penisilin, penisilin G memiliki aktivitas terbaik terhadap
bakteri gram-positif yang sensitif. Kelompok ampisilin, walaupun spektrumnya
luas, aktivitasnya terhadap mikroba Gram positif tidak sekuat penisilin G, tetapi
efektif terhadap mikroba Gram negatif yang tahan asam sehingga dapat diberikan
per oral. Di antara bakteri Gram negatif hanya S. Moniliformis (Haverrhillia) dan
P. Multocida yang cukup sensitif, sedangkan yang lain (enterobacteriaceae)
kurang atau sama sekali tidak sensitif. Penisilin yang tahan asam pada umumnya
dapat menghasilkan kadar obat dalam plasma yang dikehendaki dengan
penyesuaian dosis oral yang tidak terlalu bervariasi; walaupun beberapa penisilin
oral diabsorbsi dalam proporsi yang cukup kecil. Adanya makanan akan
menghambat absorbsi; tetapi beberapa diantaranya dihambat secara tidak
bermakna. Penisilin V walaupun relatif tahan asam, 30% mengalami pemecahan
di saluran cerna bagian atas, sehingga tidak sempat diabsorpsi.
Jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorpsi pada
pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam
saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil, persentase yang diabsorpsi relatif lebih
besar. Absorpsi ampisilin oral tidak lebih baik daripada penisilin V atau
fenetisilin. Adanya makanan dalam saluran cerna akan menghambat absorpsi
obat. Perbedaan absorpsi ampisilin bentuk trihidrat dan bentuk anhidrat tidak
memberikan perbedaan dalam penggunaan di klinik. Sering absorpsi ampisilin
oral tidak cukup memuaskan sehingga perlu meningkatkan dosis. Ester ampisilin
misalnya pivampisilin, bakampisilin dan hetasilin diabsorpsi lebih baik daripada
ampisilin. Berbagai enzim dalam mukosa saluran cerna, serum dan jaringan lain
menghidrolisis ester-ester ini dan membebaskan ampisilin.
Amoksilin, mencapai kadar dalam darah kira-kira dua kali lebih tinggi
dibanding ampisilin, sedangkan masa paruhnya sama dan absorbsinya tidak
dipengaruhi makanan. Distibusinya sangat luas dalam tubuh.
Ampisilin
Walaupun spektrumnya luas, aktivitasnya terhadap mikroba Gram positif
tidak sekuat penisilin G, tetapi efektif terhadap mikroba Gram negarif dan tahan
asam sehingga dapat diberikan per oral. Jumlah ampisilin dan senyawa
sejenisnya yang diabsorpsi pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan
ada tidaknya makanan dalam saluran cerna.
Dengan dosis lebih kecil, persentase yang diabsorpsi relatif lebih besar.
Amoksilin mempunyai kemampuan yang sama dengan ampisilin dan termasuk
dalam golongan aminopenisilin
Sulbenisilin
Golongan penisilin yang efektif terhadap Pseudomonas aeruginosa dan
galur proteus yang resisten terhadap ampisilin. Bakteri yang paling sensitif
adalah Proteus mirabilis.
Tikarsilin
Karboksipenisilin dengan spektrum aktivitas anti bakterinya terhadap
Gram negatif lebih luas dibandingkan dengan aminopenisilin, termasuk terhadap
Pseudomonas aeruginosa. Untuk ISK dosis maksimumnya 2 gram
intramuskular.
TYPHOID FEVER
A. DEFINISI
Typhus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh infeksi
kuman Salmonella typhi yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala
demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, dan lebih
banyak menyerang pada anak usia 12 – 13 tahun ( 70% – 80% ), pada usia 30 – 40 tahun
( 10%-20% ) dan di atas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak ( 5%-10% ).1

B. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, demam tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat
endemis. Tidak ada perbedaan yang nyata insidens demam tifoid pada pria dengan
wanita. Insidens tertinggi didapatkan pada remaja dan dewasa muda. Angka kesakitan
yang diakibatkan demam tifoid cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500
/ 100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan 0.6 – 5 % sebagai akibat dari
keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan.6,12

Insidens demam tifoid bervariasi tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) didapatkan 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760 – 810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi
syarat kesehatan lingkungan.6

Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan. Ada 2 sumber penularan


Salmonella typhi yaitu pasien dengan tifoid dan carrier. Di daerah endemik, transmisi
terjadi melalui air yang tercemar dan makanan yang tercemar oleh carrier yang
merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah non endemik 5.

C. ETIOLOGI
Tifus abdominalis disebabkan oleh Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A,
B, dan C. Salmonella typhosa merupakan basil gram negatif yang bergerak dengan bulu
getar, tidak berspora dan memiliki setidaknya tiga macam antigen yaitu :

1. Antigen O (Ohne Hauch) yaitu somkatic antigen (tidak menyebar), terdiri dari zat
kompleks lipopolisakarida.
2. Antigen H (Hauch, menyebar) terdapat pada flagella.
3. Antigen Vi merupakan polisakarida kapsul verilen
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan tiga
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.6

D. PATOFISIOLOGI
Kuman Salmonella thypi masuk ke tubuh manusia melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Sebagian kuman dimusnahkan asam lambung.
Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Payeri di
ileum terminalis yang hipertropi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi
intestinal dapat terjadi. Kuman S.typhi kemudian menembus lamina propia masuk aliran
limfe mesenterial, dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami
hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini, S.typhi masuk aliran darah
melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi
portal dari usus. S.typhi bersarang di plaque Payeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain
system retikuloendotelial. Semua disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada
demam tifoid disebabkan endotoksemia. Tapi kemudian berdasar penelitian
eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama
demam dan gejala-gejala toksemia pada typhus abdominalis. Endotoksin S.typhi
berperan pada patogenesis, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada
jaringan tempat S.typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.typhi
dan endotoksinya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen olek leukosis pada
jaringan yang meradang5. Proses perkembangan S. Typhi di dalam tubuh dijelaskan
dalam bagan berikut.
Tabel 1. Perkembangan kuman S. typhi

E. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas berlangsung 10 – 14 hari. Gejala-gejala yang timbul bervariasi.
Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang asimptomatis sampai
gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian.

Minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya, yaitu demam (suhu tubuh meningkat pada sore dan malam hari), nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, epistaksis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan
meningkat.

Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,


bradikardia relatif, lidah khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah (coated tongue)
serta tremor), hepatomegali, splenomegali, rasa perut kembung (meteorismus),
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae
jarang ditemukan pada orang Indonesia5.

F. DIAGNOSIS
Biakan darah positif memastikan typhus abdominalis, tapi biakan darah negatif
tidak menyingkirkan typhus abdominalis. Biakan feces positif menyokong diagnosis
klinis typhus abdominalis5. Biakan feces ini, 75% positif pada minggu ketiga.

Diagnosis serologis kurang dapat diandalkan dibandingkan biakan. Sebagian


besar pasien dapat mempunyai antibodi terhadap antigen O, H, dan Vi (tes widal). Jika
tidak mendapatkan imunisasi yang baru, titer antibodi terhadap antigen O (> 1/640)
adalah sugestif, tapi tidak spesifik selama salmonella serogrup. Peninggian antibodi
empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria yang baik, untuk memastikan
diagnosis typhus abdominalis selama 2 sampai 3 minggu5,6. Jadi pemeriksaan widal
dinyatakan positif apabila :

• Titer O widal I 1/320 atau


• Titer O widal II naik 4 kali atau lebih dibandingkan titer O widal I atau
• Titer O widal I (-) tapi titer O widal II (+) berapapun angkanya
Sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya :

• Darah perifer lengkap : leukopenia, limfositosis, aneosinofilia


• Biakan empedu : tumbuh koloni Salmonella typhi9
• TUBEX® test
Diagnosis klinis typhus abdominalis atau demam tifoid diklasifikasikan menjadi 2,
yaitu:

1. Suspek demam tifoid (Suspect Case)


Dari anamnesis, pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran
cerna, dan petanda gangguan kesadaran. Jadi sindrom tifoid didapatkan belum
lengkap. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.

2. Demam tifoid klinis (Probable Case)


Didapatkan gejala klinis demam tifoid yang lengkap dan didukung dengan hasil
laboratorium yang menunjukkan tifoid.11,12

G. DIAGNOSIS BANDING
• Demam Berdarah Dengue
• Malaria
• Leptospirosis
• Hepatitis A
• Infeksi Saluran Kemih
• Demam yang berhubungan dengan infeksi HIV11

H. KOMPLIKASI
Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi demam
tifoid antara lain :

1. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)


Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang disertai dengan
kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari delirium sampai koma.
2. Syok septik
Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia yang
berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti tekanan darah
turun, nadi halus dan cepat, keringat dingin dan akral dingin.
3. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Dapat juga diketahui
dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi ini
ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto polos abdomen 3
posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas bebas dalam rongga perut.
4. Hepatitis tifosa
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati.
5. Pankreatitis tifosa
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan amilase.
Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau CT Scan.
6. Pneumonia
Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan foto polos
toraks.11
I. TERAPI
1. Terapi Suportif
a. Bed rest total, sampai 7 hari bebas panas3. Maksudnya untuk mencegah
terjadinya komplikasi yakni perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi
pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kekuatan pasien guna
menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus5.
b. Menjaga kecukupan asupan cairan yang dapat diberikan secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita yang sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dalam hal ini dapat
diberikan Infus Ringer Laktat 20 tetes/menit, untuk menggantikan cairan tubuh
yang hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit-elektrolit tubuh
karena pasien mengalami mual dan muntah dimana dapat mengancam
terjadinya dehidrasi. Keadaan dehidrasi ini dapat dicegah karena infus ringer
laktat mengandung komposisi elektrolit dan konsentrasinya sama dengan yang
dikandung di dalam cairan ekstraseluler. Kandungan elektrolitnya antara lain
Natrium 130 mEq, Kalium 4 mEq, Klorida 109 mEq, Kalsium 3 mEq, Asetat
28 mEq. Natrium merupakan kation utama plasma darah dan menentukan
tekanan osmotik, klorida merupakan anion utama plasma darah serta kalium
merupakan kation intraseluler sebagai konduksi syaraf dan otot11,12.
c. Diet saring TKTP (Tinggi Kalori Tinggi Protein) rendah serat, konsistensi
lunak sampai 7 hari bebas panas lalu ganti bubur kasar, dan setelah 7 hari ganti
dengan nasi3. Pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari komplikasi
perdarahan usus / perforasi usus, karena ada pendapat bahwa usus perlu
diistirahatkan5.
2. Terapi Simptomatik
a. Antipiretik, untuk menurunkan demam. Misalnya, dengan pemberian
Paracetamol dengan dosis 3 x 500-1000 mg sehari
b. Antiemetik, diperlukan bila penderita muntah hebat11,12
3. Terapi Definitif / Kausatif
Penyebab dari typhus abdominalis adalah bakteri Salmonella typhii,
sehingga jelas dalam hal ini diberikan terapi kausatif/definitif berupa pemberian
antimikroba (antibiotik) sesuai dengan bakteri penyebabnya. Terapi antibiotik
merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai jika bukti klinis mendukung
gambaran typhus abdominalis2. Sejak tahun 1960, telah muncul strain S.typhii yang
resisten terhadap kloramfenikol dan pada tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs
Resistance (MDR) yang kebal terhadap Kloramfenikol amoxicillin dan
cotrimoxazol muncul dan menyebar di anak benua India dan beberapa negara di
Asia Tenggara. Untuk kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah
Flouoroquinolone dan Cephalosporin generasi ketiga karena kemanjuran serta
rendahnya angka kasus relaps dan carrier2. Kloramphenikol terutama digunakan
pada daerah-daerah dimana strain lokal masih sensitif1,2. Pada kasus Typhus
Abdominalis MDR pada anak, karena penggunaan quinolone tidak dianjurkan,
maka cephalosporine generasi ke tiga menjadi pilihan utama2.

Tabel 1. Antibiotik dan Dosis Penggunaan untuk Tifoid5,11,12

Antibiotik Dosis Kelebihan dan Kekurangan

Kloramfenikol Dewasa : 4x500 mg (2 g / Kelebihan :


hari) selama 10 hari
• Merupakan obat yang sering
Anak : 100 mg/kgBB/hari digunakan dan telah lama
per oral atau IV, dibagi 4 dikenal efektif untuk tifoid
dosis, selama 10-14 hari • Murah dan dapat diberikan
peroral dan sensitivitas masih
tinggi
• Pemberian PO / IV
• Tidak diberikan bila leukosit
< 2000/mm3
Seftriakson Dewasa : 2–4 g / hari Kelebihan :
selama 3-5 hari
• Cepat menurunkan suhu,
Anak : 80 mg/kgBB/hari, lama pemberian pendek dan
IM atau IV, dosis tunggal, dapat dosis tunggal serta
selama 5 hari cukup aman untuk anak
• Pemberian IV
Ampisilin dan Dewasa : 1,5–2 g / hari Kelebihan :
Amoksisilin selama 7-10 hari
• Aman untuk penderita hamil
Anak : 100 mg/kgBB/hari • Sering dikombinasikan
per oral atau IV, dibagi 3 dengan kloramfenikol pada
dosis, selama 10 hari pasien yang kritis
• Tidak mahal
• Pemberian PO / IV
• Angka Carrier lebih sedikit
pada bakteri yang benar-
benar sensitif
Kekurangan :

• Perbaikan klinis lebih lambat


• Kasus relaps lebih banyak
• Kurang efektif dibandingkan
dengan Kloramfenikol dalam
menurunkan panas dan kasus
relaps
Kotrimoksasol Dewasa : 2x(160–180) mg Kelebihan :
(TMP-SMX) selama 7-10 hari
• Tidak mahal
Anak : 4–6 mg/kgBB/hari, • Pemberian PO
per oral, dibagi 2 dosis, • Dapat digunakan pada pasien
selama 10 hari yang alergi terhadap
Kloramfenikol, Tiamfenikol,
dan golongan Penisilin
• Sama efektif seperti
Kloramfenikol dalam
menurunkan panas dan
pencegahan relaps
Kekurangan :
• Perbaikan klinis lebih lambat
Kuinolon Siprofloksasin 2x500 mg Kelebihan :
selama 1 minggu
• Pefloksasin dan Fleroksasin
Ofloksasin 2x(200–400) lebih cepat menurunkan suhu
mg selama 1 minggu • Efektif mencegah relaps dan
karier
Pefloksasin 1x400 mg
• Pemberian PO
selama 1 minggu
• Anak < 18 tahun tidak
Fleroksasin 1x400 mg dianjurkan karena efek
selama 1 minggu samping pada pertumbuhan
tulang
Sefiksim Anak : 20 mg/kgBB/hari, Kelebihan :
per oral, dibagi 2 dosis,
• Aman untuk anak
selama 10 hari
• Efektif
• Pemberian PO
Tiamfenikol Dewasa : 4x500 mg/hari Kelebihan :

Anak : 50 mg/kgBB/hari • Dapat dipakai untuk anak dan


selama 5-7 hari bebas dewasa
panas • Dilaporkan cukup sensitif
pada beberapa daerah
• Dosis dan efektivitas sama
dengan Kloramfenikol
• Angka Carrier lebih sedikit
pada bakteri yang sensitif
Kekurangan :

• Perbaikan klinis lebih lambat


• Kasus relaps lebih banyak

Pengobatan Thypus Abdominalis / Demam Tifoid pada Wanita Hamil

Penggunaan Kloramfenikol pada ibu hamil trimester III tidak dianjurkan


karena dapat menyebabkan partus prematur, IUFD (Intra Uterin Fetal Death), dan
sindrom “Grey Baby”8. Sedangkan untuk ibu hamil Trimester I dan II dapat
diberikan3. Tiamfenikol juga tidak dianjurkan digunakan pada trimester I karena
adanya kemungkinan efek teratogenik terhadap janin. Namun, pada kehamilan
lebih lanjut Tiamfenikol dapat digunakan. Demikian juga obat golongan
Fluorokuinolon maupun Kotrimoksasol tidak boleh digunakan untuk mengobati
demam tifoid pada ibu hamil. Obat yang dianjurkan untuk pengobatan demam tifoid
pada ibu hamil adalah Ampisilin, Amoksisilin, dan Seftriakson6.

“Grey Baby Syndrome” juga dapat terjadi pada pemberian kloramfenikol


pada bayi prematur yang mendapat dosis tinggi. Dosis maksimal untuk bayi kurang
dari 1 bulan adalah 25 mg/kgBB/hari7.

J. PROGNOSIS
Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis pada stadium
dini, sangat berhasil. Angka kematian dibawah 1%, dan hanya sedikit penyulit yang
terjadi6. Secara keseluruhan, prognosis penyakit ini adalah bonam (baik), namun dari
segi kesembuhan (ad sanationam) dubia ad bonam (ragu-ragu atau cenderung baik)
karena penyakit ini cenderung dapat terjadi berulang / relaps.11
DAFTAR PUSTAKA
Butterton JR, Calderwood SB (2002). Acute Infectious Diarrheal Disease and
Bacterial Food Poisoning. In Harrison Principles of Internal Medicine 15-Ed, McGraw-
Hill, p : 83.

Corales R (2004). Typhoid Fever. www.emedicine.com.

Gunawan GS. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi


dan Terpeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hermawan AG (1999). Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-2.
Surakarta : Yayasan Kesuma Islam Kedokteran.

Hermawan AG, Sumandjar T (2004). Penanganan penderita Demam Tifoid Dewasa


Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam : Protap IPD-FK UNS RSUD Dr. Moewardi,
SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNS-RSUD Dr. Moewardi Surakarta. pp : 115-116.

Widodo D (2009). Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III
Edisi ke-5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, pp : 2797-2806.

Keusch GT (1999). Salmonellosis. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit


Dalam. Jakarta : EGC, pp : 755-758.

Setiabudy I, Kunadi R (1995). Antimikroba. Dalam : Farmakologi dan Terapi Edisi


Ke-4. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 651-
653.

Tjay TH, Rahardja K (2001). Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan , dan Efek-
Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. pp : 64-82.

Zulkarnain I, Nelwan RHH, Pohan GT (2001). Demam Tifoid. Dalam : Pedoman


Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, pp : 256-259.

Ikatan Dokter Indonesia (2014). Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi Tahun 2014. Jakarta : IDI, pp : 104-108.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 364/MENKES/SK/V/2006
tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.

Bint, B., 2003. Penyakit Infeksi Saluran Kencing; Sistitis dan Pielonefritis in Dasar
Biologis Klinis Penyakit Infeksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

BNF, 2008, BNF 54, British National Formulary, United Kingdom, BMJ Group
andRPS Publishing. Coyle, E.A., Prince, R. A., In DiPiro, J. T., Robert, L. T., Gary, C. Y.,
Gary,

. M., Barbara, G. W., L. Michael, P., 2005. Urinary Tract Infections and Prostatitis
Edition 6th. The McGraw Hill Companies, ed., USA.

DeBelhs R.J., Smith, B.S., Cawley P.A., Burniske, G.M., 2000, Drug Dosing in
Critically Ill Patients with Renal Failure: A Pharmacokinetic Approach, J. Intensive Care
Med, 15: 273-313.

Dipiro, J. T., Talbert, R. I., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B. G., Posey, L. M.,
2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Sevent Edition, McGraw-Hill
Companies, Inc., New York, 1906-1907.

Elly Puspitosari, 2014, Evaluasi Penggunan Antibiotik pada Pasien Infeksi Saluran
Kemih di Instalasi Rawat Inap RSPAU dr. S Hardjolukto Yogyakarta tahun 2014,
Yogyakarta.

Fish, D. N.,dan Sahai, J. V., 2001, Urinary Tract Infection, in Koda Kimble, M. A.,
Yee Young, L., Kradjan, W. A., Guglielmo, B. J. (Eds), Applied Therapeutics, 7th Edition,
Book 2, 62.1-62.22, Lippicott William and Wilkins, USA.

Grabe, M., Botto, H., Wullt, B., Cek, M., Naber, K G., Pickard, R S., Tenke, P.,
Wagenlehner, F., 2011. Guidelines on Urological Infections. Update, pp.1– 112. Available
at: http://www.uroweb.org/gls/pdf/15_Urological_Infections.pdf. \

Hellerstein. S., 2003, Urinary Tract Infection, in (http://www.emedicines.com)


Javadian, F., Sepehri, Zahra., Khaje, Hamideh., Farazmand, Raziyeh., Gholipoura,
Naghmeh., Shahi, Zahra., 2014. Detection, susceptibility and molecular characterisation of
ESBL- producing E. coli causing urinary tract infection., 5(1), pp.291–299.

Kementrian Kesehatan RI, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinia Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan
Primer, Jakarta. 29

Knowles, M., 2005. The Definitive Classic in Adult Education and Human Resource
Development 6th edition. Amsterdam.

Mardiyati, A.P., 2010, Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran
Kemih di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo Slawi Kabupaten Tegal Tahun 2009,
Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta

Musnelina, L., Afdhal, A. F., Gani, A., dan Andayani, P., 2004, Poa Pemberian
Antibiotik di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002, Makara Kesehatan, 8 (2),
59-64.

Pezzlo M., 1992, Urinary Tract Specimens, In editor: Tilton RC., Clinical Laboratory
Medicine, Mosby Year Book, United State of America.

Shetty, H. G. M., Woodhouse, K., 2003, in Walker, R., Edwards, C., Clinical
Pharmacy and Therapeutics, 562, 5rd Edition, Churchill Livingstone, London.

Soemohardjo, S., 2009. Pemakaian Antibiotik Rasional, Mataram, ed., Mataram.

Suwitra, K. & Mangatas, S.M., 2004. Diagnosis dan Penatalaksanaan Infeksi Saluran
Kemih Terkomplikasi F. K. UNUD & Dexamedia, eds., Denpasar.

Sukandar, E. 2006. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit IPD FK UI. Standart Pelayanan
Medik, 2014, RSUD Kabupaten Sukoharjo, Sukoharjo.

Tessy, A. & Suwanto, A., 2001. Infeksi Saluran Kemih dalam Buku Ajar Ilmu Jilid
II E. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ed., Jakarta.
Tjay, H.. & Rahardja, K., 2007. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan
EfekEfek Sampingnya Edisi VI. Kompas-Gramedia, ed., Jakarta

World Health Organization (WHO), 2011. Prevention of hospital-acquired infection,


A practical Guide 2nd edition.

Anda mungkin juga menyukai