Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM KOMPLEKS

Oleh :

Ariesta Nurfitria Khansa, S. Ked

I4061192078

Pembimbing :

dr. James L. Alvin Sinaga, Sp.A, DAA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER SOEDARSO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2021

1
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:

KEJANG DEMAM KOMPLEKS

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak di SMF Anak RSUD Dr Soedarso Pontianak

Pontianak, Oktober 2021

Pembimbing Laporan Kasus, Disusun oleh :

dr. James L. Alvin Sinaga, Sp.A, DAA Ariesta Nurfitria Khansa, S. Ked

2
BAB I
PENYAJIAN KASUS

1.1. Anamnesis
A. Identitas
Nama : An. AS
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 04 Juni 2020
Usia : 1 tahun 3 bulan
Agama : Islam
Alamat : Kuala dua, Kubu Raya
Urutan Anak : Anak pertama
Masuk RS : 08 September 2021
No. Rekam Medik : 103937
Identitas Ayah Ibu
Nama Tn. R Ny. A
Umur 29 tahun 28 Tahun
Pendidikan S1 S1
Pekerjaan Wiraswasta IRT

B. Keluhan Utama
Kejang ± 30 menit 1hari SMRS
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS Promedika pada tanggal 8/9/2021 dengan kejang
dan disertai demam 38,2ºC. Satu hari SMRS badan pasien terasa panas,
saat pasien terbangun dari tidur, pasien lalu menangis, kemudian pasien
mengalami kejang selama ± 30 menit. Kejang berupa badan kaku, tangan
menggenggam, mata mendelik ke atas dan samping, setelah kejang
pasien sadar. Demam dialami pasien sudah sejak 3 minggu yang lalu,
demam naik turun, membaik ketika mengonsumsi obat demam. Sudah
berobat ke bidan namun tidak ada perubahan. Pasien juga mengeluhkan
BAB cair sejak 1 hari SMRS sebanyak 4 kali sehari. BAB berwarna

3
kuning kecoklatan, konsistensi encer, terdapat lendir. Pasien kemudian
dibawa ke RS Auri dan mendapat tindakan untuk demam dan kejang.
Keesokan paginya pasien dibawa ke Klinik Mulia, pasien kembali
mengalami kejang berupa tangan menggenggam seperti menggigil
selama ± 2 jam, pasien kemudian diberi tindakan dan dirujuk ke RS
Promedika. Sesampainya di RS Promedika, pasien diberi tindakan dan
tidak mengalami kejang lagi. Pasien tidak pernah mengalami kejang
sebelumnya. Riwayat imunisasi dasar pasien lengkap, pasien biasanya
dibawa kontrol rutin ke posyandu atau bidan. Pasien juga melakukan
penimbangan berat badan secara rutin. Pertumbuhan dan perkembangan
pasien baik, sesuai dengan anak seusianya.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat lahir prematur (UK 32 minggu) dengan
BBLR (1,8 kg) dan lahir secara SC. Setelah lahir pasien tidak BAB
selama 11 hari. Riwayat penyakit yang dialami pasien demam dan batuk.

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien memiliki riwayat kejang yang sama dengan pasien pada
saat bayi sebanyak 1 kali. Sepupu pasien juga memiliki riwayat kejang
pada saat bayi. Kakek pasien memiliki riwayat hipertensi. Selebihnya
keluarga pasien tidak diketahui memiliki riwayat penyakit yang berarti.
F. Riwayat Kehamilan
Saat hamil ibu pasien tidak pernah mengalami sakit apapun. Ibu
pasien melakukan pemeriksaan kehamilan rutin di bidan dan dokter, ibu
pasien juga melakukan USG pada saat kehamilan. Ibu pasien
mengkonsumsi suplemen dan vitamin kehamilan saat hamil. Riwayat
merokok dan konsumsi alkohol saat hamil disangkal.
G. Riwayat Persalinan
Pasien memiliki riwayat lahir prematur (UK 32 minggu) dengan
BBLR (1,8 kg) PB (48 cm) dan lahir secara SC di RS Soedarso. Pasien
langsung menangis saat lahir. Pasien lahir dari ibu dengan G1P0A0M0

4
dengan gemelly namun kembaran pasien meninggal di usia 11 hari. Pasien
dilahirkan sebelum waktunya dikarenakan tekanan darah ibu yang tinggi.
Pasien sudah diberikan pematangan paru sebelum lahir sebanyak 3 kali.
Setelah lahir pasien tidak BAB selama 11 hari, namun setelah mengkonsumsi
obat pasien bisa BAB.

H. Riwayat Pemberian Makan


Pasien mendapatkan ASI hanya selama 1 bulan, dan sejak lahir
pasien sudah diberi susu formula karena pasien dirawat selama 1 bulan di
RS dan pasien kesulitan menyusui langsung dari ibu. Pasien diberikan
MPASI pada usia 6 bulan. Awal MPASI yang diberikan berupa makanan
dalam bentuk bubur cair. Pasien dapat makan sesuai porsi yang
dianjurkan dalam 1 kali pemberian makan, ibu pasien memberikan
makanan 3-4 kali dalam 1 hari.
I. Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap
Usia 1 hari : Hepatitis B (HB-0)
Usia 1 bulan : BCG dan Polio 1
Usia 2 bulan : DPT-HB-Hib (Pentabio) 1 dan Polio 2
Usia 3 bulan : DPT-HB-Hib (Pentabio) 2 dan Polio 3
Usia 4 bulan : DPT-HB-Hib (Pentabio) 3, Polio 4 dan IPV
Usia 9 bulan : Campak

5
J. Riwayat Tumbuh Kembang
 Pertumbuhan: Berat badan sesuai dengan usia
 Perkembangan pasien sesuai usia:
 Usia 1 bulan:
- Tangan dan kaki bergerak
aktif  Usia 6 bulan:
- Kepala dapat menoleh ke - Menoleh suara
samping kiri-kanan  Usia 7 bulan:
 Usia 2 bulan: - Berusaha menggapai barang
- Mengangkat kepala ketika  Usia 8 bulan:
tengkurap - Tengkurap sendiri
 Usia 3 bulan:  Usia 9 bulan:
- Kepala tegak ketika - Memasukan benda ke mulut
didudukan  Usia 10 bulan:
 Usia 4 bulan: - Duduk tanpa berpegangan
- Memegang mainan  Usia 12 bulan:
- Berdiri berpegangan
 Usia 15 bulan:
- Berdiri tanpa berpegangan

6
K. Riwayat Sosioekonomi
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan kakek neneknya. Pasien menggunakan
pembiayaan umum.
L. Genogram

Gambar 1. Pohon keluarga (genogram) pasien


Keterangan:
: Perempuan
: Laki-laki
: Hipertensi
: Kejang Demam
: Meninggal
1.2. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum
Kesadaran : Sadar
GCS : 15 (E: 4; M: 6; V:5)
Keadaan umum : Baik
Tekanan darah : Tidak diukur
Nadi : 122 x/menit
Pernafasan : 24 x/menit
Suhu : 37,4°C
SpO2 : 99%

7
B. Status Generalis
Kepala Normosefal
Konjungtiva anemi (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi
konjungtiva (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks
Mata
cahaya tidak langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm),
edem palpebra (-) mata cekung (-)
AS: liang telinga lapang, eritem (-), sekret (-),
serumen(+)
Telinga
AD: liang telinga lapang, eritem (-), sekret (-),
serumen(+)
Nafas cuping hidung (-), edem mukosa (-), epistaksis(-),
Hidung
deviasi septum (-), sekret (-)
Mukosa lembab, Stomatitis (-), typhoid tongue (-),
Mulut
sianosis (-)
Tenggorokan Faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1) tidak hiperemis
Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), peningkatan
Leher
JVP (-), kaku kuduk (-)
Dada Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Inspeksi: Gerakan dinding dada simetris
Palpasi: Fremitus kiri = kanan, nyeri tekan (-)
Paru Perkusi: Sonor di semua lapang paru (+)
Auskultasi: SND Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi: Iktus cordis tidak teraba
Jantung
Perkusi: batas jantung normal
Auskultasi: S1S2 reguler, murmur (-) derajat, gallop(-)
Inspeksi: Simetris
Auskultasi: bising usus (+) normal, bruit (-)
Abdomen
Palpasi: Soepl, nyeri tekan (-)
Perkusi: suara timpani, shifting dullnes (-)
Ekstremitas Akral hangat, CRT<2 detik, edem ekstremitas (-)
C. Status Gizi
1) Umur : 15 bulan
2) Berat badan : 8,4 kg
3) Tinggi badan : 78 cm

8
4) BMI : 14
5) Status gizi :
 BB/U : 0 sd < -2 SD (Normal)
 TB/U : 0 SD < 2 SD (Normal)
 BB/TB : 0 sd < -2 SD (Normal)
 BMI : 0 SD < -2 SD (Normal)
Kesan Gizi : Gizi baik
6) Kebutuhan cairan : 800 cc/hari (Holiday segar)

Gambar 2. Kurva berat badan terhadap umur

9
Gambar 3. Kurva tinggi badan terhadap umur

Ga
mbar 4. Kurva Berat Badan/Panjang Badan

10
Gambar 5. Kurva Indeks Massa Tubuh/Usia

1.3. Diagnosis Banding


 Kejang Demam Kompleks
 Susp Meningitis Bakterial
 Disentri
 Diare Cair Akut

1.4. Planning
 Melakukan rawat inap
 Melakukan pemeriksaan penunjang berupa darah rutin dan elektrolit
 Melakukan pemeriksaan feses
 Pemeriksaan pungsi lumbal

11
1.5. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Darah rutin (08/09/2021)
Leukosit 22.50↑ 4.5 – 11 10^3/uL
Eritrosit 4,49↓ 4.6 – 6.0 10^6/uL
Hemoglobin 11,9↓ 12 – 16 g/dL
Hematokrit 34,1↓ 36 – 54 %
MCV 75,9 82 – 92 fL
MCH 26,5 27.0 – 31.0 Pg
MCHC 34,9 32.0 – 37.0 g/dL
Trombosit 651↑ 150 – 440 10^3/uL
RDW-CV 12,4 11.5 – 14.5 %
PDW 8,5 9.0 – 13.0 fL
MPV 7,9 7.2 – 11.1 fL

B. Pemeriksaan GDS
GDS 110 70-150 mg/dL

C. Pemeriksaan Feses
Warna Kuning Kecoklatan
Bau Khas
Konsistensi Encer
Lendir (+)
Leukosit 2-3

1.6. Daftar Masalah


 Demam > 2 minggu, turun naik
 Kejang > 30 menit
 BAB cair
 Riwayat keluarga (ibu dan sepupu) kejang demam
 Riwayat lahir preterm
1.7. Diagnosis Kerja
 Kejang Demam Kompleks
 Disentri
1.8. Tatalaksana
A. Non-Medikamentosa

12
 Pemeriksaan darah rutin
 Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital
B. Edukasi
Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai keadaan pasien, penyakit yang dialami
dan prognosis pasien.
C. Medikamentosa
 IVFD D5 ¼ NS500 cc/6 jam  RL 20 tpm
 O2 1-2 lpm NK
 Inj. Diazepam 2,5 mg (iv)
 Inj. Antrain 100 mg k/p
 Inj. Ceftriaxone 2x350 mg
 Stesolid Supp 2,5 mg
 Sanmol drop 4x 1,2 cc
 Calnic plus syrup 2x1 cth
1.9. Prognsis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

1.10. Catatan Perkembangan Pasien


Tanggal/Hari Catatan Instruksi
Rawatan

13
11/09/2021 S:Demam (+) menurun kejang P:
(-) BAB cair (-) anak masih
 IVFD D5 ¼ NS 500 cc/6
rewel (+)
jam  RL 20 tpm

O:  O2 1-2 lpm NK
KU lemah  Inj. Diazepam 2,5 mg
Kesadaran CM (iv) k/p
HR: 99 X/menit  Inj. Antrain 100 mg k/p
RR: 25 X/menit  Inj. Ceftriaxone 2x350
T: 37,4°C mg
SpO2: 97%
 Sanmol drop 4x 1,2 cc
 Calnic plus syrup 2x1 cth
A:
- Kejang Demam Kompleks
- Disentri

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Kejang Demam

14
1.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam dapat juga didefinisikan sebagai kejang yang
disertai demam tanpa bukti adanya infeksi intrakranial, kelainan intrakranial,
kelainan metabolik, toksin atau endotoksin seperti neurotoksin Shigella.1
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu
kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan sampai 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi
intracranial atau penyebab tertentu. Definisi ini menyingkirkan kejang yang
disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati.
Kejang pada keadaan tersebut mempunyai prognosis berbeda dengan kejang
demam karena keadaan yang mendasari mengenai sistem saraf pusat.2,3
1.2 Etiologi
Hingga saat ini penyebab kejang demam belum diketahui secara pasti, namun
kejang demam yang disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat
yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Pada umumnya berlangsung
secara singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familiar. Kejang demam dapat
disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, dan infeksi
saluran kemih, faktor resiko terjadinya kejang demam:2
a. Faktor-faktor prenatal
b. Malformasi otak congenital
c. Faktor genetika
d. Demam
e. Gangguan metabolism
f. Trauma
g. Neoplasma
h. Gangguan Sirkulasi
1.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 –
5%. Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila
dibandingkan Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar

15
8,3% - 9,9%. Sedangkan di Hong Kong angka kejadian kejang demam sebesar
0,35%. Dan di China mencapai 0,5 – 1,5%. Bahkan di Guam insiden kejang
demam mencapai 14%.1

Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda


bankitan kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu
kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 – 5% anak dibawah 5 tahun pernah
mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% pendertita kejang demam
terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden
bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan.3

1.4 Klasifikasi
Berdasarkan epidemiologi, kejang demam dibagi 3 jenis, yaitu :3
a. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion), biasanya terjadi pada anak

umur 6 bulan sampai 5 tahun, yang disertai kenaikan suhu tubuh yang mencapai

≥ 39⁰C. Kejang bersifat umum, umumnya berlangsung beberapa detik/menit

dan jarang sampai 15 menit. Pada akhir kejang diakhiri dengan suatu keadaan

singkat seperti mengantuk (drowsiness), dan bangkitan kejang terjadi hanya

sekali dalam 24 jam, anak tidak mempunyai kelainan neurologik pada

pemeriksaan fisik dan riwayat perkembangan normal, demam bukan disebabkan

karena meningitis atau penyakit lain dari otak.

b. Kejang demam kompleks (complex or complicated febrile convulsion) biasanya

kejang terjadi selama ≥ 15 menit atau kejang berulang dalam 24 jam dan

terdapat kejang fokal atau temuan fokal dalam masa pasca bangkitan. Umur

pasien, status neurologik dan sifat demam adalah sama dengan kejang demam

sederhana.

c. Kejang demam simtomatik (symptomatic febrile seizure) biasanya sifat dan

16
umur demam adalah sama pada kejang demam sederhana dan sebelumnya anak

mempunyai kelainan neurologi atau penyakit akut. Faktor resiko untuk

timbulnya epilepsi merupakan gambaran kompleks waktu bangkitan. Kejang

bermula pada umur < 12 bulan dengan kejang kompleks terutama bila kesadaran

pasca iktal meragukan maka pemeriksaan CSS sangat diperlukan untuk

memastikan kemungkinan adanya meningitis.

Sedangkan menurut prosesnya kejang demam dibagi menjadi 2 yaitu:4

a. Intrakranial

1) Trauma (perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler.

2) Infeksi : bakteri, virus, parasit misalnya meningitis

3) Kongenital: disgenesis, kelainan serebri

b. Ekstrakranial3

1) Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia,

gangguan elektrolit (Na dan K) misalnyan pada pasien dengan riwayat

diare sebelumnya.

2) Toksis: intoksikasi, anastesi lokal, sindroma putus obat.

3) Kongenital: gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan

kekurangan piridoksin.

1.5 Faktor Resiko


a. Faktor Demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,80C
aksila atau diatas 38,30C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab,

17
tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor
utama timbulnya bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi
virus merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam sebesar
80%.(6)
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai
ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh
berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap
kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan meningkatkan metabolisme
karbohidat 10-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan
mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen.
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2)
perkembangan prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5)
organisasi dan 6) mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai
fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan
mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun pertama pascanatal.
Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan dengan inhibitor.
Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamate sebagai
reseptor eksitator yang aktif, sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang
aktif, sehingga eksitasi lebih dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin
releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai
prokonvulsan. pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi
sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan kejang apabila terpicu oleh
demam.(5)
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan
kejang demam. Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%.
Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang
demam mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20% -
22%. Dan apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat
pernah menderita kejang demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi

18
sebaliknya apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat
kejang demam maka resiko terjadinya kejang demam hanya 9%.(5)

d. Usia saat ibu hamil


Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang
akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahub dapat
mengakibatkan berbagai konplikasi dalam kehamilan dan persalinan.
Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi
berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan
iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai.(5)
e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan
eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada
kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian
terhadap penderita kejang pada anak sebesar 9% disebabkan oleh karena adanya
riwayat eklamsia selama kehamilan. Asfiksia disebabkan oleh karena adanya
hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu
dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat
keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah.(5)
f. Kehamilan primipara atau multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang
ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit
persalinan yang mungkin terjadi adalah partus lama, persalinan dengan alat, dan
kelainan letak. Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi
kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi
perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)
g. Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarah

19
intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses
persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah
hipokampus dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan
terjadi hipoksia dan iskemi di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan
bangkitan kejang, baik pada stadium akut dengan frekuensi bergantung pada
derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan
kejang biasanya mulai timbul 6 – 12 jam setelah lahir dan didapat pada 50%
kasus, setelah 12 – 24 jam bangkitan kejang menjadi lebih sering dan hebat.
Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis yaitu
diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan
dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Hipoksia dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.(5)
h. Bayi berat lahir rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau
iskemia otak dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan
kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu
hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan
otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan
kejang pada perkembangan selanjutnya.(5)
i. Kelahiran premature dan postmatur
Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna
sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita
apnea, asfiksia berat, dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi
hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Bila
keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka
kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar.(5) Pada bayi
yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi proses penuaan
plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi
yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tidak stabil,
hipoglikemia, dan kelainan neurologic.(5)

j. Perdarahan intrakranial

20
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh
gangguan perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural
biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan
letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi vena-
vena, biasanya disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-
kejang. Perdarahan subarachnoid terutama terjadi pada bayi premature yang
biasanya bersama-sama dengan perdarahan intraventrikular. Keadaan ini akan
menimbulkan gangguan struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu
manifestasi klinisnya.(5)
k. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila
serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti
meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis
virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di Negara-negara barat
penyebab yang paling umum adalah Herpes Simpleks (tipe 1) yang menyerang
lobus temporalis. Kejang yang timbul berbentuk serangan parsial kompleks
dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati.
Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan daya ingat yang berat dan kejang
dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi
sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral palsy,
retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis, serta kejang. Dapat
pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada sekelompok neuron
atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun
waktu 2 -3 tahun kemudian menimbulkan kejang.(5)

1.6 Manifestasi klinis


Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada kejang demam diantaranya:7

a. Suhu tubuh mencapai > 38⁰C


b. Anak sering hilang kesadaran saat kejang, kadang- kadang napas dapat berhenti

21
beberapa saat
c. Kejang umumnya diawali kejang tonik kemudian klonik berlangsung 10-15 menit,
bisa juga lebih
d. Mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku, bagian tubuh anak berguncang
(gejala kejang bergantung pada jenis kejang)
e. Kepala terkulai kebelakang disusul munculnya gejala kejut yang kuat
f. Kulit pucat dan membiru
g. Gigi terkatup dan kadang disertai muntah
h. Anak tidak dapat mengontrol untuk buang air besar atau kecil
i. Akral dingin
1.7 Patofisiologi

Pada keadaan demam kenaikkan suhu 1⁰C akan mengakibatkan

kenaikkan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat

20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh

dibandingkan dengan orang dewasa hanya 15%. Oleh karena itu kenaikkan suhu

tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam

waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat

terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya

sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel disekitarnya

dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak

berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang

berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatkanya

kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi

hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik,

hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh

meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan

22
mengakibatkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah

faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama kejang.

Gambar 2.1. Patofisiologi Demam

1.8 Diagnosis
1.8.1 Anamnesis
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
bangkitan kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5

23
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab lain. Penggolongan kejang demam menurut kriteria
Nationall Collaborative Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang
lama kejangnya kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang pada satu
episode demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih
lama dari 15 menit baik bersifat fokal atau multipel.4 Kejang demam berulang
adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam.
Penggolongan tidak lagi menurut kejang demam sederhana dan epilepsi yang
diprovokasi demam tetapi dibagi menjadi pasien yang memerlukan dan tidak
memerlukan pengobatan rumat. Umumnya kejang demam pada anak
berlangsung pada permulaan demam akut, berupa serangan kejang klonik umum
atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post iktal.6
1.8.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi 2 yakni pemeriksaan umum dan
pemeriksaan sistematis. Penilaian keadaan umum pasien antara lain meliputi
kesan keadaan sakit pasien (tampak sakit ringan, sedang, atau berat); tanda –
tanda vital pasien (kesadaran pasien, nadi, tekanan darah, pernafasan, dan suhu
tubuh); status gizi pasien; serta data antropometrik (panjang badan, berat badan,
lingkar kepala, lingkar dada).6
Dilanjutkan dengan pemeriksaan sistematik organ dari ujung rambut
sampai ujung kuku untuk mengarahkan ke suatu diagnosis. Pada pemerikasaan
kasus kejang demam perlu diperiksa faktor faktor yang berkaitan dengan
terjadinya kejang dan demam itu sendiri. Demam merupakan salah satu keluhan
dan gejala yang paling sering terjadi pada anak dengan penyebab bias infeksi
maupun non infeksi, namun paling sering disebabkan oleh infeksi. Pada
pemeriksaan fisik, pasien diukur suhunya baik aksila maupun rektal. Perlu dicari
adanya sumber terjadinya demam, apakah ada kecurigaan yang mengarah pada
infeksi baik virus, bakteri maupun jamur; ada tidaknya fokus infeksi; atau
adanya proses non infeksi seperti misalnya kelainan darah yang biasanya ditandai
dengan dengan pucat, panas, atau perdarahan.6
Pemeriksaaan kejang sendiri lebih diarahkan untuk membedakan apakah

24
kejang disebabkan oleh proses ekstra atau intrakranial. Jika kita mendapatkan
pasien dalam keadaan kejang, perlu diamati teliti apakah kejang bersifat klonik,
tonik, umum, atau fokal. Amati pula kesadaran pasien pada saat dan setelah
kejang. Perlu diperiksa keadaan pupil; adanya tanda-tanda lateralisasi;
rangsangan meningeal (kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski I, II); adanya
paresis, paralisa; adanya spastisitas; pemeriksaan reflek patologis dan fisiologis.6

1.8.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang terdiri dari:9
A. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber
infeksi/ mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan gula darah).9

B. Pemeriksaan Radiologi
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan CT scan atau MRI tidak rutin dan
hanya dikerjakan atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
C. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)
Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil,
klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan
ketentuan sebagai berikut:10

 Bayi < 12 bulan : diharuskan


 Bayi antara 12-16 bulan : dianjurkan
 Bayi > 6 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis.
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan pada anak dengan kejang demam
pertama kali dengan umur dibawah 6 bulan karena tidak tampaknya tanda
meningeal pada umur dibawah 6 bulan, sehingga sulit mendeteksi adanya
meningitis maupun infeksi intrakranial lain tanpa dilakukannya lumbal
pungsi. Namun, jika yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu lumbal
pungsi.4

25
D. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam,
oleh sebab itu tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang
tidak khas (misalnya pada kejang demam komplikata pada anak usia > 6
tahun atau kejang demam fokal).4
Pemeriksaan EEG yang dibuat 8-10 hari setelah panas tidak
menunjukkan kelainan. Dan hanya sebanyak 5% dari anak normal memiliki
gambaran EEG yang abnormal. EEG abnormal juga tidak dapat digunakan
untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari.1,4
1.9 Diagnosis Banding

Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan


klinis dan cairan cerebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-
kadang diikuti hemiperesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena
proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar
dibedakan dengan kejang demam. Meningitis, ensefalitis, anak dengan demam
tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga
menyerupai kejang demam.1

1.10 Tatalaksana

Penatalaksanaan kejang demam meliputi 3 hal yang perlu dikerjakan


yaitu pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, pengobatan
profilaksis.
1.10.1 Pengobatan Fase Akut
A. Penanganan Kejang
Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang
semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan apabila muntah untuk
mencegah aspirasi. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin.
Penghisapan lendir dilakukan secara teratur, diberikan oksigen, kalau perlu
intubasi. Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan
dan fungsi jantung.1
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada saat datang ke

26
tempat pelayanan kesehatan, kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam
keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 2 menit
dengan dosis maksimal 20 mg.11
Obat yang praktis dan dapat diberikan kepada orang tua atau di rumah
adalah diazepam rektal dengan dosis 0,5 - 0,75 mg/kgBB/kali atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak berat badan di bawah 10 kg dan 10 mg untuk anak
dengan berat badan diatas 10 kg. Atau diazepam rectal dengan dosis 5 mg untuk
anak di bawah 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak usia di atas 3 tahun.11
Kejang yang tetap belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila 2 kali
dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan orang tua untuk segera ke
rumah sakit. Dan disini dapat dimulai pemberian diazepam intravena dengan
dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/kali. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan
fenithoin secara iv dengan loading dose 10-20 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1
mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti, selanjutnya
diberikan dosis rumatan 4-8 mg/kgbb/hari (12 jam setelah pemberian loading
dose). Bila kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang intensif
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demamnya dan faktor resikonya apakah kejang demam sederhana atau
kejang demam kompleks.12
Pemakaian antikonvulsan diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb setiap 8 jam
pada saat demam menurunkan resiko berulangnya kejang (1/3 s.d 2/3 kasus).
Begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgbb setiap 8 jam pada
suhu > 38,5 0C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel,
dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin,
dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.16

27
Diagram 1. Algoritme Penanganan Kejang Demam

28
B. Penanganan Demam
Pada dasarnya demam tidak mengakibatkan kerusakan otak jika suhu
berada di bawah 41,70C. Untungnya, otak tetap menjaga keseimbangan suhu
didalamnya dari demam yang tidak teratasi sampai batas suhu 41,10C. Meskipun
setiap anak mempunyai kemungkinan untuk demam, namun hanya 4% yang
berkembang menjadi kejang demam. Untuk anak dengan kejang demam, demam
dengan delirium ataupun peningkatan suhu diatas 41,10C, terindikasi untuk
dilakukan kompres dengan air biasa (lukewarm = hangat kuku), dan tidak
dengan alkohol, ataupun air es. Antipiretik pada saat kejang dianjurkan
walaupun tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
resiko terjadinya kejang demam.
Obat-obat penurun panas yang dapat digunakan adalah :8
 Asetaminophen / parasetamol
Asetaminofen diindikasikan untuk anak yang berumur diatas 2 bulan,
jika suhu tubuh diatas 390C atau jika anak terlihat tidak nyaman. Namun
beberapa referensi menyatakan bahwa seringkali suhu saat panas tidak diketahui
secara pasti, sehingga penggunaan obat antipiretik bisa digunakan dengan
melihat kondisi anak (merasakan suhu anak dengan perabaan). Dosis yang
digunakan adalah 10-15 mg/kgbb/kali.10,12 Dapat diberikan tiap 4-6 jam dan akan
menurunkan suhu 1-20C dalam waktu 2 jam.18 Pemberian asetaminofen
sebaiknya dilakukan 30 menit sebelum dikompres, karena apabila kompres
dilakukan sebelum munculnya efek dari asetaminofen, akan berdampak terhadap
peningkatan suhu tubuh yang lebih tinggi lagi dan anak akan menggigil.8
 Ibuprofen
Ibuprofen sama halnya dengan asetaminofen, memiliki kesamaan dalam
keaamanan dan kemampuannya mengatasi demam. Ibuprofen dapat diberikan
dengan dosis 10 mg/kgbb/kali, diberikan tiap 6-8 jam sekali.13
Sementara obat jenis lain seperti aspirin pernah menjadi antipiretik yang
populer di masyarakat, tetapi penggunaannya sebagai antipiretik untuk pediatri
saat ini dilarang, karena dapat mengakibatkan Reye’s syndrome.14

29
1.10.2 Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan rutin seperti elektrolit serum, glukosa, kalsium, dapat
dilakukan untuk menyingkirkan adanya gangguan elektrolit dan metabolisme.
Angka leukosit diatas 20.000/ul atau Shift to the left yang extreme menandakan
adanya bakteremia. Sodium serum terkadang menunjukkan angka di bawah
normal, tetapi tidak cukup rendah hingga membutuhkan terapi ataupun dapat
menyebabkan kejang. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam
yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal
hanya pada kasus yang dicurigai mengalami meningitis atau bila kejang demam
berlangsung lama. Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas.
Untuk usia diatas 6 bulan, lumbal pungsi tidak dianjurkan lagi kecuali bila
ditemukan gejala klinis meningitis, infeksi intrakranial yang lain atau status
konvulsivus. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari
penyebab.1,14
1.10.3 Pengobatan profilaksis
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena
menakutkan dan bila sering berulang menyebabkan kerusakan otak yang
menetap. Ada 2 cara profilaksis yaitu :14
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari
1) Profilaksis intermittent
Pengobatan profilaksis intermittent disertai edukasi pada orangtua
penderita sangat bermanfaat untuk mencegah kejang demam berulang.1 Anti
konvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orang
tua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada
pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorbsi dan harus cepat masuk ke
otak. Hal yang demikian sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti- peneliti sekarang
tidak mendapat hasil dengan fenobarbital intermittent.

Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya lebih


cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien
dengan berat badan kurang dari 10 Kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih
dari 10 Kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5o C atau lebih. Diazepam dapat juga
diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu
30
pasien demam.1
2) Profilaksis terus menerus (jangka panjang) dengan antikonvulsan tiap hari
Pengobatan jangka panjang tidak dianjurkan pada kejang demam sederhana,
tetapi diberikan pada kejang demam yang dengan pengobatan profilaksis intermittent
masih sering terjadi kejang berulang. Obat-obat yang dapat digunakan untuk profilaksis
jangka panjang adalah:
a. Fenobarbital.
Fenobarbital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam
pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan
menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi pilihan
karena cukup efektif dan murah. Dosis efektifnya relatif rendah dan kadar stabil
1
tercapai dalam 14-21 hari. Pemberian fenobarbital 4-8 mg/KgBB/hari dengan kadar
darah sebesar 16 ug/ml dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk
mencegah berulangnya kejang demam. Namun beberapa sumber mengatakan bahwa
fenobarbital tidak lagi dianjurkan sebagai pengobatan jangka panjang karena efek
sampingnya yang tidak menyenangkan (perubahan watak berupa iritabel, hiperaktif,
pemarah dan agresif).1 Efek samping tersebut ditemukan pada 30-50% pasien. Efek
samping dapat diturunkan dengan menurunkan dosis fenobarbital.1,3
b. Asam Valproat
Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah asam
valproat. Kadar stabil tercapai dalam 4-7 hari. Dosis yang digunakan adalah 15-40
mg/kgbb/hari diberikan selama 1 tahun. Valproat telah terbukti keefektifannya terhadap
epilepsi umum, tetapi bukan merupakan obat terpilih karena efek toksisitasnya terhadap
hati. Gangguan pada hati berupa peninggian aktivitas enzim-enzim hati, dan sesekali
terjadi nekrosis hati yang sering berakibat fatal. Kira-kira 60 kasus kematian telah
dilaporkanakibat penggunaan obat ini. Kerugiannya adalah bahwasanya obat ini lebih
mahal dan lebih sulit didapat bila dibandingkan dengan fenobarbital. 1, 3
Fenitoin dan karbamazepin tidak dianjurkan karena tidak mempunyai efek
mencegah terjadinya kejang demam berulang.4 Profilaksis terus menerus berguna untuk
mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak
tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari.1,15
Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang dapat
dipakai untuk pemberian pengobatan profilaksis terus-menerus pada saat ini adalah :
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau kelainan
31
perkembangan neurologi (Cerebral Palsy, retardasi mental, mikrosefali).
2. Ada riwayat tanpa demam pada orang tua saudara kandung.
3. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti oleh kelainan neurologis
sementara atau menetap.
4. Dapat dipertimbangkan pemberian profilaksis.
 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang 12 bulan
 Kejang demam ≥ 4 kali per tahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang > 15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan
perkembangan ringan bukan merupakan indikasi. Kejang fokal atau fokal menjadi umum
menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organic.12,11

Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah


kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.15
Selain ketiga hal tersebut diatas, dalam penatalaksaan kejang demam juga
diperlukan penanganan suportif, edukasi pada orang tua pasien, dan penggunaan
vaksinasi pada pasien kejang demam.

1.11 Komplikasi
Kompikasi kejang demam adalah:11
A. Kerusakan neorotransmiter
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh
sel ataupun membrane sel yang menyebabkan kerusakan pada daerah medial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsy yang sepontan
B. Kelainan anatomi di otak neuron.
C. Epilepsi
Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan kelainan diotak
yang lebih banyak terjadi pada anak berumur 4 bulan sampai 5 tahun
D. Kecacatan atau kelainan neorologis karena disertai demam

1.12 Pencegahan

32
Pencegahan kejang demam adalah tindakan menghilangkan penyebab
ketidaksesuaian yang potensial atau situasi yang tidak dikehendaki. Pencegahan yang
harus dilakukan pada anak yang mengalami kejang demam adalah sebagai berikut :7
1. Imunisasi adalah dengan sengaja memasukkan vaksin yang berisi mikroba hidup
yang sudah dilemahkan pada balita yang bertujuan untuk mencegah dari berbagain
macam penyakit. Imunisasi akan memberikan perlindungan seumur hidup pada balita
terhadap serangan penyakit tertentu. Apabila kondisi balita kurang sehat bisa
diberikan imunisasi karena suhu badannya akan meningkat sangat tinggi dan berisiko
mengalami kejang demam. Berbagai jenis vaksinasi atau imunisasi yang saat ini
dikenal dan diberikan kepada balita dan anak adalah vaksin poliomyelitis, vaksin
DPT (difteria, pertusis dan tetanus), vaksin BCG (Bacillus Calmette Guedrin), vaksin
campak.
2. Orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengamati anak
dengan cara jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak karena benda
tersebut justru dapat menyumbat jalan napas, anak harus dibaringkan ditempat yang
datar dengan posisi menyamping bukan terlentang untuk menghindari bahaya
tersedak, jangan memegangi anak untuk melawan, jika kejang terus berlanjut selama
10 menit anak harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat.
1.13 Prognosis

Prognosis dari kejang demam umunya baik dan sebagian besar akan sembuh
sempurna. Sepertiga pada prognosis kejang demam akan mengalami kekambuhan
atau bangkitan kejang, sebagian kecil berisiko mengalami morbiditas neurologis 2-
4% (meliputi epilepsi, cacat neurologis atau gangguan perkembangan mental) dan
kematian (0,64%-0,75%).10
Kejang demam sederhana memiliki 4 prognosis buruk. Prognosis tersebut
meliputi, 1) penurunan IQ, 2) peningkatan resiko epilepsi, 3) risiko kejang demam
berulang, dan 4) kematian. Baik penurunan IQ, penurunan prestasi akademis, dan
kelainan perilaku telah terbukti menjadi konsekuensi kejang demam berulang.11
2. Disentri
2.1 Definisi
Disentri merupakan penyakit diare yang terdapat darah di dalam feses. Disentri
sering juga digambarkan sebagai tanda dari diare dengan demam, kram pada perut, tinja
berlendir dan nyeri pada dubur. Pendarahan yang terjadi pada anak anak biasanya adalah

33
suatu tanda dari infeksi enterik yang invasif yang dapat berdampak besar terhadap
morbiditas dan kematian. 10 % dari semua kejadian diare yang terjadi pada anak dibawah
5 tahun adalah disentri, dan merupakan penyebab kematian dari diare hingga 15%. Selain
itu, disentri juga didefinisikan sebagai serangan akut diare yang berlangsung ≤ 14 hari
dimana terdapat darah dalam tinja, atau tanpa ada darah darah dalam tinja namun tinja
berlendir.16
2.2 Etiologi
Bakteri yang menyebabkan disentri yang paling sering adalah Shigella, terutama
S. Flexneri dan S. Dysenteriae tipe 1. Penyebab lainnya adalah Campylobacter jejuni,
terutama pada bayi, dan yang lebih jarang adalah Salmonella ; Enteroinvasif Escherichia
coli bersama dengan Shigella dan dapat menyebabkan disentri yang berat, kemudian
Entamoeba histolytica dapat menyebabkan disentri pada anak anak usia lebih dari 5 tahun
dan orang yang dewasa namun jarang dijumpai pada anak di bawah 5.
2.3 Tatalaksana
Terapi penyakit disentri pada anak biasanya dilakukan perawatan di rumah sakit.
Anak yang harus diberi perawatan di rumah sakit adalah :
1. Anak dengan umur <2 bulan
2. Anak yang mengalami keracunan, letargis, perut kembung dan nyeri tekan atau
kejang
3. Anak mempunyai resiko sepsis dan harus dilakukan perawatan di rumah sakit.
Penatalaksanaan disentri pada balita biasanya direkomendasikan untuk diberikan
kotrimoksazol dan jika tidak membaik maka dilakukan penggantian antibiotik. Dosis
kotrimoksazol pada anak adalah Trimetoprim 4mg/kgBB dan Sulfametoksazol
20mg/kgBB dua kali sehari. Penanganan disentri pada anak adalah :16,17
1. Penanganan pada gejala dehidrasi dan pemberian makan seperti pada diare akut.
2. Penanganan paling baik adalah yang didasarkan pada pemeriksaan tinja rutin atau
hasil laboratorium tinja, jika positif adanya amuba maka diberikan Metronidazol
dengan dosis 50mg/kg/BB dengan frekuensi 3 kali sehari dan durasi pemberian
selama 5 hari.
3. Pemberian antibiotik oral dengan durasi pemberian 5 hari yang sebagian besar
sensitif terhadap bakteri shigella. Antibiotik yang sensitif untuk penyakit disentri
di Indonesia adalah Siprofloksasin, Sefiksim dan Asam Nalidiksat.
4. Penanganan untuk bayi dengan umur <2 bulan, jika terdapat sebab yang lain
seperti invaginasi maka anak harus dirujuk ke spesialis bedah.
34
BAB III
PEMBAHASAN
An. AS, perempuan, usia 1 tahun 3 bulan datang ke RS Promedika pada tanggal
8/9/2021 dengan kejang dan disertai demam 38,2ºC. Satu hari SMRS badan pasien terasa
panas, saat pasien terbangun dari tidur, pasien lalu menangis, kemudian pasien
mengalami kejang selama ± 30 menit. Kejang berupa badan kaku, tangan menggenggam,
mata mendelik ke atas dan samping, setelah kejang pasien sadar. Demam dialami pasien
sudah sejak 3 minggu yang lalu, demam naik turun, membaik ketika mengonsumsi obat
demam. Sudah berobat ke bidan namun tidak ada perubahan. Pasien juga mengeluhkan
BAB cair sejak 1 hari SMRS sebanyak 4 kali sehari. BAB berwarna kuning kecoklatan,
konsistensi encer, terdapat lendir. Pasien kemudian dibawa ke RS Auri dan mendapat
tindakan untuk demam dan kejang. Keesokan paginya pasien dibawa ke Klinik Mulia,
pasien kembali mengalami kejang berupa tangan menggenggam seperti menggigil selama
± 2 jam, pasien kemudian diberi tindakan dan dirujuk ke RS Promedika. Sesampainya di
35
RS Promedika, pasien diberi tindakan dan tidak mengalami kejang lagi. Pasien tidak
pernah mengalami kejang sebelumnya.

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh seperti suhu rektal >38 oC yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Pada pasien ini diagnosa kejang demam sudah tepat, dikarenakan dari pemeriksaan
fisik didapatkan suhu 38oC, tidak ada kelainan intrakranial, yang ditandai dengan
refleks patologis dan tes rangsang meningeal negatif. Kejang demam dibagi menjadi
dua jenis, yaitu kejang demam simpleks atau sederhana dan kejang demam
kompleks. Kejang demam sederhana yaitu kejang yang berlangsung singkat, kurang
dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum, tonik
dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.5

Sedangkan kejang demam kompleks yaitu kejang demam dengan salah satu
ciri berikut: kejang lama >15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang
umum didahului kejang parsial, dan kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24
jam. Pada pasien ini, kejang terjadi sebanyak dua kali, kejang bersifat tonik-klonik,
durasi kejang 30 menit, dan berulang dalam 24 jam. Dari hasil anamnesis tersebut,
kejang demam pada pasien ini termasuk klasifikasi kejang demam kompleks.1

Berdasarkan alloanamnesis ibu pasien memiliki riwayat kejang demam saat


kecil. Riwayat keluarga dengan kejang merupakan salah satu faktor resiko yang
dilaporkan untuk terjadi bangkitan kejang demam. Keluarga dengan riwayat pernah
menderita kejang demam sebagai faktor resiko untuk terjadi kejang demam pertama
adalah kedua orangtua ataupun saudara kandung relatif dapat diperkirakan, apakah
autosomal resesif atau autosomal dominan. Pewarisan sifat secara autosomal
dominan diperkirakan sebesar 60-80. Pertolongan pertama yang diberikan pada
pasien ini adalah pemberian oksigen sebanyak 2 liter saat mengalami kejang
merupakan tindakan yang tepat. Hal ini dikarenakan pada saat seorang anak sedang
dalam keadaan kejang maka suplai oksigen ke otak semakin berkurang.12

Saat pasien dibawa ke rumah sakit pasien sudah tidak kejang, namun suhu
tubuh pasien masih tinggi yaitu 38oC. Penatalaksaan yang direncanakan jika terjadi
serangan kejang adalah pemberian diazepam suppositoria 2,5 mg. Tatalaksana
tersebut sudah tepat. Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
36
diazepam yang diberikan secara intravena atau per rektal. Dosis diazepam intravena
0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau
dalam waktu 3- 5 menit dengan dosis maksimal 20 mg. Untuk memudahkan
orangtua di rumah dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis 5 mg pada anak
dengan berat badan <10 kg, 10 mg untuk berat badan anak >10 kg.9

Tujuan utama pengobatan adalah mencegah demam meningkat. Pemberian


obat penurun panas parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari dan tidak lebih
dari 5 kali atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, sebanyak 3-4 kali. Pada pasien ini
diberikan parasetamol, dosis dan tujuan sudah tepat. Asetaminofen diindikasikan
untuk anak yang berumur diatas 2 bulan, jika suhu tubuh diatas 390C atau jika anak
terlihat tidak nyaman.9
Angka leukosit diatas 20.000/ul atau Shift to the left yang extreme
menandakan adanya bakteremia. Pada pasien ini didapatkan hasil leukosit 22.000
yang menandakan kemungkinan adanya infeksi bakteri, sehingga pada terapi pasien
ini diberikan antibiotik ceftriaxone 2x350 mg. Pasien didiagnosis disentri
berdasarkan keluhan pasien BAB cair sebanyak 4x dan terdapat lendir, dari
pemeriksaan feses didapatkan hasil warna kuning kecoklatan, berbau khas,
konsistensi encer, lendir (+), dan terdapat leukosit 2-3/ LBP. Terapi yang diberikan
berupa terapi cairan dan pemberian antibiotik oral. Pasien juga diberikan Antrain 100
mg intravena. Antrain injeksi mrupakan obat yang mengandung natrium metamizole.
Metamizole mempunyai aktivitas antipiretik, antirematik, analgesik, dan spasmolitik
sehingga dapat digunakan juga untuk mengatasi nyeri akibat berbagai etiologi dan
kondisi spastik (terutama pada saluran cerna.18

BAB IV
KESIMPULAN
An. AS, perempuan, usia 1 tahun 3 bulan datang ke RS Promedika dengan keluhan demam
sejak 3 minggu SMRS, kejang 1 hari SMRS >1x dalam 24 jam dengan durasi >30 menit.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada pengukuran suhu axila 38ºC.

37
Tatalaksana yang diberikan berupa stabilisasi, perawatan di ruang perawatan dan
pemberian medikamentosa diantaranya, pemberian oksigen antikonvulsan, antibiotik,
antipiretik, analgesik, dan vitamin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soetomenggolo TS. Kejang demam dalam buku ajar neurologi. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2013.
2. Jonhston MV. Seizure in childhood and prevalence of febrile seizure. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co; 2007. hlm. 2457-71.
3. Lumbantobing SM. Kejang demam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. hlm. 1-3.
4. Nelson KB. Febrile seizures. Dalam: Dodson WE, Pellock JM, Penyunting. Pediatric
38
epilepsy: diagnosis and therapy. New York: Demos, 1993. h. 129-33.
5. Shinnar S. Febrile seizures in current management in child neurology. Edisi ke-7
Ontario: BC Decker In; 2005.
6. Behrman RE, Robert MK, Jenson HB. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi ke-18.
Jakarta: EGC; 2007. hlm. 2059–60.
7. Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. Konsensus penatalaksanaan kejang demam,
unit kerja koordinasi neurologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006.
8. American academy of pediatrics committee on quality improvement, subcommittee on
febrile seizures. Practice parameter: long term treatment of the child with simple
seizures. Pediatrics. 1999; 103(6):1307-9.
9. Knudsen FU. Febrile seizures: treatment and prognosis. Epilepsia. 2000; 41(1):2-9.
10. Stafstrom CE. The incidence and prevalence of febrile seizure. Dalam: Baram TZ,
Shinar S, editor. Febrile seizures. San Diego: Academic prees; 2002. hlm. 1-25.
11. Kenneit FS, Stephen A, Donna MF. Pediatric neurology principles and practice. Edisi
ke-4. Philadelphia: Mosby; 2006.
12. Fuadi F. Faktor risiko bangkitan kejang demam pada anak [tesis]. Semarang:
Universitas Diponegoro; 2010.
13. Ling SG. Clinical Characteristic and risk factor for a complex first febriles convulsion.
Singapore Med J 2009. 42:267-7
14. Scott RC, Besag FMC, Neville BGR. Buccal midazolam and rectal diazepam for treatment
of prolonged seizures in childhood and adolescence: a randomized trial. Lancet 2004;
353:623-6.
15. Saing B. Faktor pada kejang demam pertama yang berhubungan dengan terjadinya kejang
demam berulang (Studi selama 5 tahun). Medan: Balai Penerbit FK-USU, 2010:1–44.
16. Pfeiffer M.L., Dupont H.L. and Ochoa T.J., 2012, The patient presenting with acute
dysentery - A systematic review, British Infection Association, 64 (4), 374–386.
17. World Health Organization, 2005, The Treatment of Diarrhoea A Manual for Physicians
and other Senior Health Workers, 4th Editio., WHO press, Switzerland.
18. Edwards, JE, Meseguer F., Faura C., Moore RA., McQuay HJ.Single dose dipyrone for
acute acute renal colic pain, Cochrane Database Syst Rev, (4). 2010

39

Anda mungkin juga menyukai