Anda di halaman 1dari 36

CASE BASED DISCUSSION

THALASEMIA DENGAN STATUS GIZI BAIK


Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RS Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh:
Rike Iman Wicaksono
012085766

Pembimbing:
dr. Azizah, Sp.A.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu kesehatan anak
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Nama : Rike Iman Wicaksono


Judul : Thalasemia dengan Status Gizi Baik
Bagian : Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas : Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung
Pembimbing : dr. Azizah, Sp.A

Semarang, Juni 2020


Pembimbing,

(dr. Azizah, Sp.A )


BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. NU
Umur : 13 tahun 2 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Mutih kulon RT 02/02 Wedung Demak

Nama Ayah : Tn. US


Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Supir
Alamat : Mutih kulon RT 02/02 Wedung Demak

Nama Ibu : Ny. N


Umur : 28 tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Mutih kulon RT 02/02 Wedung Demak

II. DATA DASAR


1. Anamnesis (Alloanamnesis)
Alloanamnesis dengan Ayah penderita pada tanggal 17 Juni 2020 pukul 10.00 WIB di
poli anak dan didukung dengan catatan medis.
Keluhan Utama : Kontrol
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang untuk kontrol ke poli anak RSI Sultan Agung pada tanggal 17
Juni 2020. Pasien datang tanpa ada keluhan.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien pernah mengalami demam saat berusia 3 bulan dan di rawat inap di RS.
 Saat berusia 2 tahun pasien mengeluhkan demam tinggi, sering lemas dan
tampak pucat sehingga pasien menjalani pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, dokter menyatakan bahwa
penderita mengidap penyakit thalasemia.
 Pasien rutin melakukan kontrol rutin ke RS tiap 1 bulan 1x, namun pasien
pernah mengalami keterlambatan kontrol ke RS hingga mengalami gejala
lemas dan bagian lien membengkak, setelah di periksa laboratorium kadar
hemoglobin nya 5 gr/dL.
 Riwayat tranfusi yang telah pasien terima > 10 kali. Frekuensi transfusi
mengalami peningkatan dari yang awalnya setiap 3 bulan 1x, sekarang setiap 1
bulan 1x di RS Islam Sultan Agung Semarang
 Riwayat penyakit hati kronis seperti hepatitis (sakit kuning) disangkal.
 Riwayat trauma disangkal.
 Riwayat keganasan disangkal.
 Riwayat alergi dan asma disangkal.

c. Riwayat Penyakit Keluarga


 Ayah, ibu maupun kedua adiknya tidak ada yang mengalami sakit seperti
pasien.

d. Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien bekerja sebagai supir, dan Ibu pasien bekerja sebagai karyawan
swasta. Pasien tinggal berlima bersama Ayah, Ibu dan kedua adiknya. Biaya
pengobatan menggunakan BPJS-non PBI.
Kesan sosial ekonomi : cukup

e. Riwayat pemeliharaan prenatal


1. Pemeriksaan kehamilan : Teratur, 1x setiap bulan selama kehamilan di bidan
sampai bulan ke- 7. Bulan ke - 8 dan 9 Ibu melakukan pemeriksaan 2x dalam
1 bulan di bidan.
2. Pendarahan dan penyakit kehamilan : disangkal.
3. Obat diminum selama kehamilan : vitamin dan tablet besi
4. Riwayat suntik tetanus kehamilan 2 kali selama masa kehamilan.
Kesan: pemeliharaan prenatal baik
f. Riwayat kelahiran
Persalinan : Lahir pervaginam P1A0 (anak pertama)
Usia dalam kandungan : 37 minggu
Berat badan lahir : 3200 gram
Panjang badan : 50 cm
Kesan : Kehamilan cukup bulan dan BBL normal

g. Riwayat Keluarga Berencana


Saat ini ibu pasien menggunakan KB IUD.

h. Riwayat Imunisasi
No Jenis Imunisasi Jumlah Dasar
1. BCG 1x 1 bulan
2. Polio 4x 0, 2, 4,6 bulan
3. Hepatitis B 3x 0,2,4 bulan
4. DPT 3x 2, 4, 6 bulan
5. Campak 1x 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap tepat bulan

i. Riwayat Gizi
ASI : ASI ekslusif diberikan sejak lahir sampai usia 6 bulan,
kemudian ASI berlanjut sampai usia 2 tahun.
MP-ASI : Umur 6-8 bulan mendapat makanan pendamping berupa
bubur susu, umur 9 bulan mendapat makanan pendamping ASI
berupa nasi tim-sayur-dan lauk (hati/daging/telur/ayam). Umur
1 tahun hingga sekarang mendapat makanan orang dewasa
(nasi, lauk, sayur dan buah)
Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan baik

Pemeriksaan Status Gizi (Z-Score)

Umur : 158 bulan (13 tahun 2 bulan)

BB : 30 kg

TB : 135 cm
WAZ = 30 –46,8 = -2,1 (gizi lebih)
7,70
HAZ = 135 – 146,5 = -1,64 (normal)
7,00
WHZ = 30 – 30,1 = - 0,03 (normal)
3,1
Kesan status gizi : Gizi baik

j. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan anak


- Mengangkat kepala dan tersenyum : 1 bulan
- Miring, tertawa : 2 bulan
- Tengkurap : 3 bulan
- Duduk tanpa bantuan : 6 bulan
- Berdiri berpegangan : 9 bulan
- Berjalan : 12 bulan
Kesan pertumbuhan dan perkembangan sesuai umur.

2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 17 Juni 2020, pukul 10.00 WIB
 Berat badan : 30 kg
 Panjang Badan : 145 cm
 Nadi : 86 x/menit, isi dan tegangan cukup
 Suhu : 36,2 oC
 Frekuensi pernafasan : 28 kali/menit
 Tekanan darah : 90/60 mmHg
Kesadaran/KU : Compos mentis, anak tampak lemas dan pucat
Kulit : Sianosis (-), ikterik (-), hiperpigmentasi (-), tanda
perdarahan (-)
Kepala : Mesocephal
Rambut : Rambut merah (-), mudah dicabut (-)
Mata : Pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-)

Hidung : Sekret (-/-), nafas cuping (-/-)


Telinga : Sekret (-/-), MAE (+/+), CAE (+/+), dbn
Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), trismus (-), lidah
kotor (-), tremor(-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-), tonsil membesar (-/-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-/-), tiroid (-), kaku
kuduk (-)
Thoraks
 Paru
Inspeksi : Bentuk normal, hemithoraks dextra dan sinistra simetris,
retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus hemithoraks dextra dan sinistra sama, nyeri (-)
Perkusi : Sonor (+) di seluruh lapangan paru
Auskultasi: Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, tidak kuat angkat
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi: Bunyi jantung I dan II normal, tidak ada bunyi jantung
tambahan
Frekuensi : 86x/menit
Irama : Reguler
 Abdomen
Inspeksi : Cembung, tampak buncit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), defans muskular (-)
- hepar : Tidak teraba
- lien : Tampak membesar teraba pada schuffner 2
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Ekstremitas

Superior Inferior
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capillary refill < 2″ < 2″
Gerakan Bebas Bebas
Kekuatan 5/5 5/5
Reflek fisiologis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek patologis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tonus Normotoni Normotoni
Klonus -/- -/-

3. Pemeriksaan Penunjang
 Hematologi Darah Rutin (17 Juni 2020)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 6,8 (L) 11,8 – 15,0 g/dl

Hematokrit 19,3 (L) 33-45 %

Leukosit 6,01 4,5 – 13,5 ribu/ uL

Trombosit 240 154 – 442 ribu/uL

Kesan Anemia, Penurunan Ht

I. ASSESMENT (Diagnosis Kerja) :


 Thalasemia
 Gizi Baik

1. Assesment : Talasemia
DD : Anemia defisiensi besi
Anemia penyakit kronik
Anemia aplastik
Anemia hemolitik
Perdarahan
IP. Dx : S:-
O : Laboratorium darah rutin, darah tepi, elektroforesis Hb
IP. Tx :
PRC Leukodepleted 2 kolf @ 250 cc
Kalsirox ( Deferasirox ) syrup 500 mg 1 x 1 cth
IP. Mx :
Evaluasi KU, TTV, darah rutin (Hb, Ht, leukosit, trombosit)
IP. Ex :
 Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit dan kondisi pasien saat
ini yang membutuhkan tranfusi rutin setiap bulan.
 Menjelaskan kepada keluarga mengenai kemungkinan resiko
terjadinya reaksi tranfusi.
 Menjelaskan kepada keluarga mengenai komplikasi dari pemberian
transfusi jangka panjang yang mungkin terjadi pada pasien.

2. Assesment : Gizi baik


DD : -Gizi lebih
- Gizi kurang
IP. Dx : S : Kualitas dan kuantitas makanan
O:-
IP. Tx :
Kebutuhan kalori umur 13 tahun 2 bulan BB 30 kg
(12,2 x 30) + 746 = 1112 kkal
1295 kkal terdiri dari :
 Karbohidrat : 60% x 1295 = 667,2 kkal
 Lemak : 40% x 1295 = 444,8 kkal
 Protein : 10% x 1295 = 111,2 kkal
IP. Mx : - Keadaan umum pasien
- Data antropometri (berat badan, tinggi badan)
IP. Ex : Makan teratur dengan gizi seimbang sesuai kebutuhan gizi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Talasemia

Talasemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang

dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, karena penyakit ini pertama kali

dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Talasemia adalah penyakit genetik yang

diturunkan secara autosomal dominan menurut hukum Mendel dari orang tua kepada

anak-anaknya. Talasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan

akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino

yang membentuk hemoglobin (komponen darah).

Penyakit Talasemia meliputi gelaja klinis yang paling ringan (bentuk

heterozigot) yang disebut Talasemia minor atau Talasemia trait (carrier = pengemban

sifat) hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang disebut Talasemia mayor.

Bentuk heterozigot diturunkan oleh salah satu orang tuanya yang mengidap penyakit

Talasemia, sedangkan bentuk homozigot diturunkan oleh kedua orang tuanya yang

mengidap penyakit Talasemia.

Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh seorang dokter di Detroit USA yang

bernama Thomas B. Cooley pada tahun 1925. Beliau menjumpai anak-anak yang

menderita anemia dengan pembesaran limpa setelah berusia satu tahun. Oleh sebab itu,

anemia ini dinamakan anemia splenic atau eritroblastosis atau anemia mediteranean

atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya.

2.2. Epidemiologi

Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik Talasemia. Dari

250 juta, 80-90 juta di antaranya membawa genetik Talasemia Beta. Pada beberapa
penelitian, penyebaran Talasemia meliputi kawasan sabuk bola dunia,yang dimulai

dari kawasan Mediterania hingga kawasan garis khatulistiwa di Indonesia. Istilah

sabuk Talasemia inilah yang sering disebut sebagai jalur penyebaran penyakit ini.

Wilayah dengan prevalensi tinggi talasemia adalah sekitar Laut Tengah, Timur

Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di Indonesia jumlah

penderita Talasemia hingga tahun 2009 naik menjadi 8, 3 persen dari 3.653

penderita yang tercatat pada tahun 2006. Hampir 90% para penderita penyakit

genetik sintesis Hemoglobin (Hb) ini berasal dari kalangan masyarakat miskin.

Mortalitas dan Morbiditas

Talasemia-α mayor adalah penyakit yang mematikan, dan semua janin yang

terkena akan lahir dalam keadaan hydrops fetalis akibat anemia berat. Beberapa

laporan pernah mendeskripsikan adanya neonatus dengan Talasemia-α mayor yang

bertahan setelah mendapat transfusi intrauterin. Penderita seperti ini membutuhkan

perawatan medis yang ekstensif setelahnya, termasuk transfusi darah teratur dan

terapi khelasi, sama dengan penderita Talasemia-β mayor. Terdapat juga laporan

kasus yang lebih jarang mengenai neonatus dengan Talasemia-α mayor yang lahir

tanpa hydrops fetalis yang bertahan tanpa transfusi intrauterin. Pada kasus ini,

tingginya level Hb Portland, yang merupakan Hb fungsional embrionik,

diperkirakan sebagai penyebab kondisi klinis yang jarang tersebut.

Pada pasien dengan berbagai tipe Talasemia-β, mortalitas dan morbiditas

bervariasi sesuai tingkat keparahan dan kualitas perawatan. Talasemia-β mayor yang

berat akan berakibat fatal bila tidak diterapi. Gagal jantung akibat anemia berat atau

iron overload adalah penyebab tersering kematian pada penderita. Penyakit hati,

infeksi fulminan, atau komplikasi lainnya yang dicetuskan oleh penyakit ini atau

terapinya termasuk merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas pada bentuk


Talasemia yang berat. Mortalitas dan morbiditas tidak terbatas hanya pada penderita

yang tidak diterapi mereka yang mendapat terapi yang dirancang dengan baik tetap

berisiko mengalami bermacam-macam komplikasi. Kerusakan organ akibat iron

overload, infeksi berat yang kronis yang dicetuskan transfusi darah, atau komplikasi

dari terapi khelasi, seperti katarak, tuli atau infeksi merupakan komplikasi yang

potensial.

Usia

Meskipun Talasemia merupakan penyakit turunan (genetik), usia saat

timbulnya gejala bervariasi secara signifikan. Dalam talasemia, kelainan klinis pada

pasien dengan kasus-kasus yang parah dan temuan hematologik pada pembawa

(carrier) tampak jelas pada saat lahir. Ditemukannya hipokromia dan mikrositosis

yang tidak jelas penyebabnya pada neonatus, digambarkan di bawah ini, sangat

mendukung diagnosis.

Namun, pada Talasemia-β berat, gejala mungkin tidak jelas sampai paruh kedua

tahun pertama kehidupan sampai waktu itu, produksi rantai globin γ dan

penggabungannya ke Hb Fetal dapat menutupi gejala untuk sementara. Bentuk

Talasemia ringan sering ditemukan secara kebetulan pada berbagai usia. Banyak

pasien dengan kondisi Talasemia-β homozigot yang jelas (yaitu, hipokromasia,

mikrositosis, elektroforesis negatif untuk Hb A, bukti bahwa kedua orang tua

terpengaruh) mungkin tidak menunjukkan gejala atau anemia yang signifikan selama

beberapa tahun. Hampir semua pasien dengan kondisi tersebut dikategorikan sebagai

Talasemia-β intermedia. Situasi ini biasanya terjadi jika pasien mengalami mutasi

yang lebih ringan.

2.3. Etiologi

Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan
dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang

diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari

kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya

menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.

2.4. Klasifikasi

Secara molekuler Talasemia dibedakan atas Talasemia alfa dan beta,

sedangkan secara klinis dibedakan atas Talasemia mayor dan minor. Hemoglobin

terdiri dari dua jenis rantai protein, yaitu rantai alfa globin dan rantai beta globin.

Jika terdapat masalah pada alfa globin dari hemoglobin, hal ini disebut Talasemia

alfa. Dan jika masalah ditemukan pada beta globin hal ini disebut Talasemia beta.

Kedua bentuk alfa dan beta mempunyai bentuk dari ringan atau berat. Bentuk berat

dari Beta-Talasemia sering disebut anemia Cooley’s.

a. Talasemia Alfa

Rantai Hemoglobin

Pada gambar diatas, empat gen dilibatkan di dalam membuat globin alfa yang

merupakan bagian dari hemoglobin, dua dari masing-masing orangtua. Talasemia

alfa terjadi dimana satu atau lebih varian gen ini hilang.

 Orang dengan hanya satu gen mempengaruhi disebut silent carriers dan tidak

punya tanda penyakit.


 Orang dengan dua gen mempengaruhi disebut Talasemia trait atau Talasemia alfa,

akan menderita anemia ringan dan kemungkinan menjadi carrier.

 Orang dengan tiga gen yang yang dipengaruhi akan menderita anemia sedang

sampai anemia berat atau disebut penyakit hemoglobin H.

 Bayi dengan empat gen dipengaruhi disebut Talasemia alfa mayor atau hydrops

fetalis. Pada umumnya mati sebelum atau tidak lama sesudah kelahiran.

Jika kedua orang menderita alfa Talasemia trait (carriers) memiliki seorang anak, bayi

bisa mempunyai suatu bentuk alfa Talasemia atau bisa sehat.

b. Talasemia Beta

Melibatkan dua gen di dalam membuat beta globin yang merupakan bagian dari

hemoglobin, masing-masing satu dari setiap orangtua. Beta Talasemia terjadi ketika satu

atau kedua gen mengalami variasi. Jika salah satu gen dipengaruhi, seseorang akan

menjadi carrier dan menderita anemia ringan. Kondisi ini disebut Talasemia trait/beta

Talasemia minor, jika kedua gen dipengaruhi, seseorang akan menderita anemia sedang

(Talasemia beta intermedia atau anemia Cooley’s yang ringan) atau anemia yang berat

( beta Talasemia utama, atau anemia Cooley’s).

Anemia Cooley’s, atau beta Talasemia mayor jarang terjadi. Suatu survei tahun 1993

ditemukan 518 pasien anemia Cooley’s di Amerika Serikat. Kebanyakan dari mereka

mempunyai bentuk berat dari penyakit, tetapi mungkin kebanyakan dari mereka tidak

terdiagnosis.

Jika dua orang tua dengan beta Talasemia trait (carriers) mempunyai seorang bayi, salah

satu dari tiga hal dapat terjadi:

 Bayi bisa menerima dua gen normal ( satu dari masing-masing orangtua) dan
mempunyai darah normal ( 25 %).
 Bayi bisa menerima satu gen normal dan satu varian gen dari orangtua yang
Talasemia trait ( 50 %).

 Bayi bisa menerima dua gen Talasemia ( satu dari masing-masing orangtua) dan

menderita penyakit bentuk sedang sampai berat (25 %).

Skema Penurunan Gen Talasemia Menurut Hukum Mendel

2.5. Patogenesis

Talasemia adalah kelainan herediter dari sintesis Hb akibat dari gangguan

produksi rantai globin. Penurunan produksi dari satu atau lebih rantai globin tertentu

(α,β,γ,δ) akan menghentikan sintesis Hb dan menghasilkan ketidakseimbangan

dengan terjadinya produksi rantai globin lain yang normal.

Karena dua tipe rantai globin (α dan non-α) berpasangan antara satu sama lain

dengan rasio hampir 1:1 untuk membentuk Hb normal, maka akan terjadi produksi

berlebihan dari rantai globin yang normal dan terjadi akumulasi rantai tersebut di

dalam sel menyebabkan sel menjadi tidak stabil dan memudahkan terjadinya

destruksi sel. Ketidakseimbangan ini merupakan suatu tanda khas pada semua

bentuk Talasemia. Karena alasan ini, pada sebagian besar Talasemia kurang sesuai
disebut sebagai hemoglobinopati karena pada tipe Talasemia tersebut didapatkan

rantai globin normal secara struktural dan juga karena defeknya terbatas pada

menurunnya produksi dari rantai globin tertentu.

Tipe Talasemia biasanya membawa nama dari rantai yang tereduksi. Reduksi

bervariasi dari mulai sedikit penurunan hingga tidak diproduksi sama sekali

(complete absence). Sebagai contoh, apabila rantai β hanya sedikit diproduksi, tipe

Talasemia-nya dinamakan sebagai Talasemia-β+, sedangkan tipe Talasemia-β°

menandakan bahwa pada tipe tersebut rantai β tidak diproduksi sama sekali.

Konsekuensi dari gangguan produksi rantai globin mengakibatkan berkurangnya

deposisi Hb pada sel darah merah (hipokromatik). Defisiensi Hb menyebabkan sel

darah merah menjadi lebih kecil, yang mengarah kegambaran klasik Talasemia yaitu

anemia hipokromik mikrositik. Hal ini berlaku hampir pada semua bentuk anemia

yang disebabkan oleh adanya gangguan produksi dari salah satu atau kedua

komponen Hb : heme atau globin. Namun hal ini tidak terjadi pada silent carrier,

karena pada penderita ini jumlah Hb dan indeks sel darah merah berada dalam batas

normal.

Pada tipe trait Talasemia-β yang paling umum, level Hb A2 (δ2/α2) biasanya

meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan rantai δ oleh rantai α

bebas yang eksesif, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan rantai β adekuat

untuk dijadikan pasangan. Gen δ, tidak seperti gen β dan α, diketahui memiliki

keterbatasan fisiologis dalam kemampuannya untuk memproduksi rantai δ yang

stabil dengan berpasangan dengan rantai α, rantai δ memproduksi Hb A2 (kira-kira

2,5-3% dari total Hb). Sebagian dari rantai α yang berlebihan digunakan untuk

membentuk Hb A2, dimana sisanya (rantai α) akan terpresipitasi di dalam sel,

bereaksi dengan membran sel, mengintervensi divisi sel normal, dan bertindak
sebagai benda asing sehingga terjadinya destruksi dari sel darah merah. Tingkat

toksisitas yang disebabkan oleh rantai yang berlebihan bervariasi berdasarkan tipe

dari rantai itu sendiri (misalnya toksisitas dari rantai α pada Talasemia-β lebih nyata

dibandingkan toksisitas rantai β pada Talasemia-α).

Dalam bentuk yang berat, seperti Talasemia-β mayor atau anemia Cooley,

berlaku patofisiologi yang sama dimana terdapat adanya substansial yang

berlebihan. Kelebihan rantai α bebas yang signifikan akibat kurangnya rantai β akan

menyebabkan terjadinya pemecahan prekursor sel darah merah di sumsum tulang

(eritropoesis inefektif).

Produksi Rantai Globin

Untuk memahami perubahan genetik pada Talasemia, kita perlu mengenali

dengan baik proses fisiologis dari produksi rantai globin pada orang sehat atau

normal. Suatu unit rantai globin merupakan komponen utama untuk membentuk

Hb : bersama-sama dengan Heme, rantai globin menghasilkan Hb. Dua pasangan

berbeda dari rantai globin akan membentuk struktur tetramer dengan Heme sebagai

intinya. Semua Hb normal dibentuk dari dua rantai globin α (atau mirip-α) dan dua

rantai globin non-α. Bermacam-macam tipe Hb terbentuk, tergantung dari tipe rantai

globin yang membentuknya. Masing-masing tipe Hb memiliki karakteristik yang

berbeda dalam mengikat oksigen, biasanya berhubungan dengan kebutuhan oksigen

pada tahap-tahap perkembangan yang berbeda dalam kehidupan manusia.

Pada masa kehidupan embrionik, rantai γ (rantai mirip-α) berkombinasi dengan

rantai γ membentuk Hb Portland (γ 2γ2) dan dengan rantai ε untuk membentuk Hb

Gower-1 (γ2γ2). Selanjutnya, ketika rantai α telah diproduksi, dibentuklah Hb

Gower-2, berpasangan dengan rantai ε (α2ε2). Hb Fetal dibentuk dari α2γ2 dan Hb
dewasa primer (Hb A) dibentuk dari α2β2. Hb fisiologis yang ketiga, Hb A2,

dibentuk dari rantai α2δ2.

2.6. Patofisiologi

Kelainan dasar dari semua tipe Talasemia adalah ketidakseimbangan sintesis

rantai globin. Namun, konsekuensi akumulasi dari produksi rantai globin yang

berlebihan berbedabeda pada tiap tipe Talasemia. Pada Talasemia-β rantai α yang

berlebihan tidak mampu membentuk Hb tetramer terpresipitasi di dalam prekursor

sel darah merah dan, dengan berbagai cara menimbulkan hampir semua gejala yang

bermanifestasi pada sindroma Talasemia-β, situasi ini tidak terjadi pada Talasemia-

α. Rantai globin yang berlebihan pada Talasemia-α adalah rantai γ pada tahun-tahun

pertama kehidupan dan rantai β pada usia yang lebih dewasa. Rantai-rantai tipe ini

relative bersifat larut sehingga mampu membentuk homotetramer yang, meskipun

relatif tidak stabil, mampu tetap bertahan (viable) dan dapat memproduksi molekul

Hb seperti Hb Bart (γ4) dan Hb H (β4). Perbedaan dasar pada dua tipe utama ini

mempengaruhi perbedaan besar pada manifestasi klinis dan tingkat keparahan dari

penyakit ini.

Rantai α yang terakumulasi di dalam prekursor sel darah merah bersifat tidak

larut (insoluble), terpresipitasi di dalam sel, berinteraksi dengan membran sel

(mengakibatkan kerusakan yang signifikan), dan mengganggu divisi sel. Kondisi ini

menyebabkan terjadinya destruksi intramedular dari prekursor sel darah merah.

Sebagai tambahan, sel-sel yang bertahan yang sampai ke sirkulasi darah perifer

dengan intracellular inclusion bodies (rantai yang berlebih) akan mengalami

hemolisis; hal ini berarti bahwa baik hemolisis maupun eritropoesis inefektif

menyebabkan anemia pada penderita dengan Talasemia-β.


Kemampuan sebagian sel darah merah untuk mempertahankan produksi dari

rantai γ, yang mampu untuk berpasangan dengan sebagian rantai α yang berlebihan

untuk membentuk Hb F, adalah suatu hal yang menguntungkan. Ikatan dengan

sebagian rantai berlebih tidak diragukan lagi dapat mengurangi gejala dari penyakit

dan menghasilkan Hb tambahan yang memiliki kemampuan untuk membawa oksigen.

Selanjutnya, peningkatan produksi Hb F sebagai respon terhadap anemia berat,

menimbulkan mekanisme lain untuk melindungi sel darah merah pada penderita

dengan Talasemia-β. Peningkatan level Hb F akan meningkatkan afinitas oksigen,

menyebabkan terjadinya hipoksia, dimana bersama-sama dengan anemia berat akan

menstimulasi produksi dari eritropoetin. Akibatnya, ekspansi luas dari massa eritroid

yang inefektif akan menyebabkan ekspansi tulang berat dan deformitas. Baik

penyerapan besi dan laju metabolisme akan meningkat, berkontribusi untuk

menambah gejala klinis dan manifestasi laboratorium dari penyakit ini. Sel darah

merah abnormal dalam jumlah besar akan diproses di limpa, yang bersama-sama

dengan adanya hematopoesis sebagai respon dari anemia yang tidak diterapi, akan

menyebabkan splenomegali masif yang akhirnya akan menimbulkan terjadinya

hipersplenisme.

Apabila anemia kronik pada penderita dikoreksi dengan transfusi darah secara

teratur, maka ekspansi luas dari sumsum tulang akibat eritropoesis inefektif dapat

dicegah atau dikembalikan seperti semula. Memberikan sumber besi tambahan secara

teori hanya akan lebih merugikan pasien. Namun, hal ini bukanlah masalah yang

sebenarnya karena penyerapan besi diregulasi oleh dua faktor utama : eritropoesis

inefektif dan jumlah besi pada penderita yang bersangkutan. Eritropoesis yang

inefektif akan menyebabkan peningkatan absorpsi besi karena adanya downregulation

dari gen HAMP yang memproduksi hormone hepar yang dinamakan hepcidin,
regulator utama pada absorpsi besi di usus dan resirkulasi besi oleh makrofag. Hal ini

terjadi pada penderita dengan Talasemia intermedia.

Dengan pemberian transfusi darah, eritropoesis yang inefektif dapat diperbaiki,

dan terjadi peningkatan jumlah hormon hepcidin; sehingga penyerapan besi akan

berkurang dan makrofag akan mempertahankan kadar besi.

Pada pasien dengan iron overload (misalnya hemokromatosis), absorpsi besi

menurun akibat meningkatnya jumlah hepsidin. Namun, hal ini tidak terjadi pada

penderita Talasemia-β berat karena diduga faktor plasma menggantikan mekanisme

tersebut dan mencegah terjadinya produksi hepsidin sehingga absorpsi besi terus

berlangsung meskipun penderita dalam keadaan iron overload.

Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain bernama

ferroportin, yang mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag menuju plasma

dan menghantarkan besi dari plasenta menuju fetus. Ferroportin diregulasi oleh

jumlah penyimpanan besi dan jumlah hepsidin. Hubungan ini juga menjelaskan

mengapa penderita dengan Talasemia-β yang memiliki jumlah besi yang sama

memiliki jumlah ferritin yang berbeda sesuai dengan apakah mereka mendapat

transfusi darah teratur atau tidak. Sebagai contoh, penderita Talasemia-β intermedia

yang tidak mendapatkan transfusi darah memiliki jumlah ferritin yang lebih rendah

dibandngkan dengan penderita yang mendapatkan transfuse darah secara teratur,

meskipun keduanya memiliki jumlah besi yang sama.

Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan kuat dengan

protein pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload, seperti pada Talasemia

berat, transferrin tersaturasi, dan besi bebas ditemukan di plasma. Besi ini cukup

berbahaya karena memiliki material untuk memproduksi hidroksil radikal dan


akhirnya akan terakumulasi pada organ-organ, seperti jantung, kelenjar endokrin, dan

hati, mengakibatkan terjadinya kerusakan pada organ-organ tersebut (organ damage).

2.7. Gejala dan Tanda Talasemia

Gejala yang didapat pada pasien berupa gejala umum anemia yaitu: anemis,

pucat, mudah capek, dan adanya penurunan kadar hemoglobin. Hal ini disebabkan

oleh penurunan fungsional hemoglobin dalam menyuplai atau membawa oksigen ke

jaringan-jaringan tubuh yang digunakan untuk oksidasi sel. Sehingga oksigenasi ke

jaringan berkurang. Selain sebagai pembawa oksigen, hemoglobin juga sebagai

pigmen merah eritrosit sehingga apabila terjadi penurunan kadar hemoglobin ke

jaringan maka jaringan tersebut menjadi pucat.

Penurunan fungsional hemoglobin tersebut dapat disebabkan oleh adanya

kelainan pembentukan hemoglobin, penurunan besi sebagai pengikat oksigen dalam

hemoglobin. Kompensasi tubuh agar suplai oksigen ke jaringan tetap terjaga maka

jantung sebagai pemompa darah berdenyut lebih keras dan sering yang disebut

sebagai takikardia di mana hal ini juga terjadi pada anak (denyut nadi 120 kali/menit,

normal 60-100 kali.menit). Tetapi frekuensi respirasi pasien dalam tahap normal 24

kali/menit (normal 16-24 kali/menit).

Lemas dan mudah capek disebabkan oleh karena suplai oksigen ke jaringan

untuk oksidasi sel sebagai proses penghasil energi berkurang. Pasien mengalami

penurunan kadar hemoglobin (4,8 g/dl) di mana nilai rujukan normal untuk anak-anak

sebesar 10-16 g/dl. Penurunan ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan

produksi/pembentukan hemoglobin berupa kelainan susunan asam amino dan

kelainan kecepatan sintesis hemoglobin. Kelainan dua hal tersebut dapat

dikategorikan adanya hemoglobinopati. Kelainan pembentukan hemoglobin tersebut

dapat mengakibatkan adanya morfologi eritrosit abnormal (mikrositik, Heinz bodies,


sel target) sehingga dengan cepat akan didestruksi oleh limpa dan hati. Peristiwa

destruksi eritrosit secara cepat kurang dari masa hidupnya (120 hari) disebut sebagai

hemolisis.

Adanya hepatomegali dan splenomegali merupakan salah satu tanda dari anemia

hemolitik di mana disertai adanya penurunan kadar hemoglobin. Pada pasien

ditemukan splenomegali sebesar 1 shuffner (satuan splenomegali yang diukur dengan

membuat garis diagonal antara arcus costarum dengan crista illiaca melewati

umbulicus, lalu dari garis tersebut dibagi menjadi delapan bagian. Satu bagian

dinamakan satu shuffner). Splen atau limpa secara normal bertugas menghancurkan

eritrosit tua maupun abnormal sehingga dapat melepaskan hemoglobin yang akan

dimetabolisme menjadi biliribun di hati/hepar, menjadi reservoir cadangan eritrosit,

sintesis limfosit dan sel plasma dalam system imun, dan membentuk eritrosit baru saat

masa janin dan bayi baru lahir.

Adanya hemolisis menyebabkan proses perombakan eritrosit secara cepat. Eritrosit

abnormal cepat dihancurkan oleh limpa dan hati dengan bantuan makrofag sehingga semakin

banyak eritrosit abnormal maka kerja limpa akan semakin berat. Hal inilah yang

menyebabkan adanya splenomegali. Selain destruksi eritrosit di limpa juga terdapat di hati.

Selain itu sebagai kompensasi atau umpan balik dari penurunan kadar hemoglobin akibat

oksigenasi ke jaringan kurang merangsang terjadinya eritropoesis 6-8 kali lipat oleh sumsum

tulang. Untuk menunjang dan membantu kerja sumsum tulang dalam eritropoesis sehingga

terbentuk eritropoesis ekstramedular pada limpa dan hati sehingga merupakan salah satu

penyebab hepatosplenomegali.

Pada pasien hemoglobinopati anemia sel sabit tidak ditemukan hepatomegali di mana

limpa mengecil dikarenakan terjadinya infark. Selain itu makrofag di limpa lebih aktif

dibandingkan makrofag pada hati. Penyebab lain hepatomegali pada pasien disebabkan oleh
pemberian obat penambah darah dan penyerapan besi meningkat akibat peningkatan

eritropoesis di mana mengandung preparat besi (sulfas ferrosus) sehingga terjadi penimbunan

cadangan besi berlebih. Padahal hati secara normal berfungsi sebagai sintesis ferritin

(simpanan besi) dan transferin (protein pengikat besi) dan sebagai tempat penyimpanan

terbesar cadangan besi dalam bentuk ferritin dan hemosiderin.

Adanya hepatomegali dan splenomegali pada pasien dapat mengakibatkan penurunan

imunitas tubuh sehingga tubuh rentan terhadap infeksi mikroorganisme. Limpa sebagai

tempat sintesis limfosit dan sel plasma (bahan antibodi) merupakan salah satu pertahanan

imunitas tubuh. Hati sebagai tempat yang sering dilalui mikroorganisme patogenik yang akan

dihancurkan sebelum memasuki saluran gastrointestinal. Kemungkinan pasien mengalami

infeksi dimana terdapat tanda-tanda infeksi pada pasien, yaitu : suhu (38,00C), panas, tonsil

membesar dan kemerahan, dan faring kemerahan. Infeksi ini bisa didapatkan dari

mikroorganisme seperti: malaria, hepatitis, haemophilus, streptococcus, pneumococcus, dll.

Suhu tubuh meningkat dikarenakan adanya metabolisme organ yang berlebihan

terhadap infeksi. Tonsil merupakan salah satu jaringan limfoid yang memproduksi limfosit

untuk pertahanan imunitas tubuh dan akan membesar apabila bekerja berlebihan terhadap

suatu infeksi atau penurunan imunitas lainnya. Infeksi mikroorganisme menyerang saluran

pencernaan salah satu faring sehingga membuat organ tersebut mengalami kemerahan. Gejala

infeksi lainnya pada pasien yaitu batuk pilek.

 Gejala klinis Talasemia mayor :

1.      Tampak pucat dan lemah karena kebutuhan jaringan akan oksigen tidak

terpenuhi yang disebabkan hemoglobin pada Talasemia (HbF) memiliki afinitas

tinggi terhadap oksigen

2.      Facies Talasemia yang disebabkan pembesaran tulang karena hiperplasia

sumsum hebat
3.      Hepatosplenomegali yang disebakan oleh penghancuran sel darah merah

berlebihan, hemopoesis ekstramedular, dan kelebihan beban besi.

4.      Pemeriksaan radiologis tulang memperlihatkan medula yang lebar, korteks tipis,

dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan pada anak

besar kadang-kandang terlihat brush appereance.

5.      Hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin menyebabkan keterlambatan

menarse dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder. Selain itu juga

menyebabkan diabetes, sirosis hati, aritmia jantung, gagal jatung, dan

perikarditis.

6.      Sebagai sindrom klinik penderita Talasemia mayor (homozigot) yang telah agak

besar menunjukkan gejala-gejala fisik yang unik berupa hambatan

pertumbuhan, anak menjadi kurus bahkan kurang gizi, perut membuncit akibat

hepatosplenomegali dengan wajah yang khas mongoloid, frontal bossing,mulut

tongos (rodent like mouth), bibir agak tertarik, maloklusi gigi

 Gejala klinis Talasemia minor

Penderita yang menderita Talasemia minor, hanya sebagai carrier dan hanya

menunjukkan gejala-gejala yang ringan. Orang dengan anemia talasemia minor

(paling banyak) ringan (dengan sedikit menurunkan tingkat hemoglobin dalam

darah. Situasi ini dapat sangat erat menyerupai dengan anemia kekurangan zat besi

ringan. Namun, orang dengan talasemia minor memiliki tingkat besi darah normal

(kecuali mereka miliki adalah kekurangan zat besi karena alasan lain). Tidak ada

perawatan yang diperlukan untuk Talasemia minor. Secara khusus, besi tidak perlu

dan tidak disarankan

2.8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis Talasemia ialah:


1. Darah

Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita Talasemia adalah

 Darah rutin

Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan peningkatan jumlah lekosit,

ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi hipersplenisme akan terjadi

penurunan dari jumlah trombosit.

 Hitung retikulosit

Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.

 Gambaran darah tepi

Anemia pada Talasemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom. Pada

gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear drops

sel dan target sel.

 Serum Iron & Total Iron Binding Capacity

Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan anemia

terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan menurun,

sedangkan TIBC akan meningkat.

 LFT (Liver Fungtion Test)

Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka tersebut

sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis, obstruksi batu

empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat dan menandakan

adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi

kelainan dalam faktor pembekuan darah.

2. Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis hemoglobin.

Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita Talasemia saja, namun juga

pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis

hemoglobin dan kadar Hb A2. petunjuk adanya Talasemia α adalah ditemukannya

Hb Barts dan Hb H. Pada Talasemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%,

sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.

3. Pemeriksaan sumsum tulang

Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat aktif sekali.

Ratio rata-rata antara eritroid dan mieloid adalah 10 : 8. pada keadaan normal

biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.

4. Pemeriksaan roentgen

Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak

mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi

berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala.

Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari

korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak

memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai

rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.

2.9. Penatalaksanaan
Penderita trait Talasemia tidak memerlukan terapi ataupun perawatan lanjut

setelah diagnosis awal dibuat. Terapi preparat besi sebaiknya tidak diberikan kecuali

memang dipastikan terdapat defisiensi besi dan harus segera dihentikan apabila nilai

Hb yang potensial pada penderita tersebut telah tercapai. Diperlukan konseling pada

semua penderita dengan kelainan genetik, khususnya mereka yang memiliki anggota

keluarga yang berisiko untuk terkena penyakit Talasemia berat.

Penderita Talasemia berat membutuhkan terapi medis, dan regimen transfusi darah

merupakan terapi awal untuk memperpanjang masa hidup. Transfusi darah harus dimulai

pada usia dini ketika anak mulai mengalami gejala dan setelah periode pengamatan awal

untuk menilai apakah anak dapat mempertahankan nilai Hb dalam batas normal tanpa

transfusi.

a. Transfusi Darah

Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan nilai Hb tetap pada level 9 - 9.5

gr/dL sepanjang waktu. Pada pasien yang membutuhkan transfusi darah reguler, maka

dibutuhkan suatu studi lengkap untuk keperluan pretransfusi. Pemeriksaan tersebut

meliputi fenotip sel darah merah, vaksinasi hepatitis B (bila perlu), dan pemeriksaan

hepatitis. Darah yang akan ditransfusikan harus rendah leukosit, 10-15 mL/kg PRC

dengan kecepatan 5 mL/kg/jam setiap 3-5 minggu biasanya merupakan regimen yang

adekuat untuk mempertahankan nilai Hb yang diinginkan. Pertimbangkan pemberikan

asetaminofen dan difenhidramin sebelum transfusi untuk mencegah demam dan reaksi

alergi.

Komplikasi Transfusi Darah

Komplikasi utama dari transfusi adalah yang berkaitan dengan transmisi bahan

infeksius ataupun terjadinya iron overload. Penderita Talasemia mayor biasanya lebih
mudah untuk terkena infeksi dibanding anak normal, bahkan tanpa diberikan transfusi.

Beberapa tahun lalu, 25% pasien yang menerima transfusi terekspose virus hepatitis B.

Saat ini, dengan adanya imunisasi, insidens tersebut sudah jauh berkurang. Virus

Hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utama hepatitis pada remaja usia di atas 15

tahun dengan Talasemia. Infeksi oleh organisme opurtunistik dapat menyebabkan

demam dan enteriris pada penderita dengan iron overload, khususnya mereka yang

mendapat terapi khelasi dengan Deferoksamin (DFO). Demam yang tidak jelas

penyebabnya, sebaiknya diterapi dengan Gentamisin dan Trimetoprim-Sulfametoksazol.

b. Terapi Khelasi (Pengikat Besi)

Apabila diberikan sebagai kombinasi dengan transfusi, terapi khelasi dapat menunda

onset dari kelainan jantung dan, pada beberapa pasien, bahkan dapat mencegah kelainan

jantung tersebut.

Chelating agent yang biasa dipakai adalah DFO yang merupakan kompleks

hidroksilamin dengan afinitas tinggi terhadap besi. Rute pemberiannya sangat penting

untuk mencapai tujuan terapi, yaitu untuk mencapai keseimbangan besi negatif (lebih

banyak diekskresi dibanding yang diserap). Karena DFO tidak diserap di usus, maka rute

pemberiannya harus melalui parenteral (intravena, intramuskular, atau subkutan). Dosis

total yang diberikan adalah 30-40mg/kg/hari diinfuskan selama 8-12 jam saat pasien

tidur selama 5 hari/minggu.

c. Transplantasi Sel Stem Hematopoetik (TSSH)

TSSH merupakan satu-satunya yang terapi kuratif untuk Talasemia yang saat ini

diketahui. Prognosis yang buruk pasca TSSH berhubungan dengan adanya hepatomegali,

fibrosis portal dan terapi khelasi yang inefektif sebelum transplantasi dilakukan.

Prognosis bagi penderita yang memiliki ketiga karakteristik ini adalah 59%, sedangkan

pada penderita yang tidak memiliki ketiganya adalah 90%. Meskipun transfusi darah
tidak diperlukan setelah transplantasi sukses dilakukan, individu tertentu perlu terus

mendapat terapi khelasi untuk menghilangkan zat besi yang berlebihan. Waktu yang

optimal untuk memulai pengobatan tersebut adalah setahun setelah TSSH. Prognosis

jangka panjang pasca transplantasi, termasuk fertilitas tidak diketahui. Biaya jangka

panjang terapi standar diketahui lebih tinggi daripada biaya transplantasi. Kemungkinan

kanker setelah TSSH juga harus dipertimbangkan.

d. Terapi Bedah

Splenektomi merupakan prosedur pembedahan utama yang digunakan pada

pasien dengan Talasemia. Limpa diketahui mengandung sejumlah besar besi nontoksik

(yaitu fungsi penyimpanan). Limpa juga meningkatkan perusakan sel darah merah dan

distribusi besi. Fakta-fakta ini harus selalu dipertimbangkan sebelum memutuskan

melakukan splenektomi.. Limpa berfungsi sebagai penyimpanan untuk besi nontoksik,

sehingga melindungi seluruh tubuh dari besi tersebut. Pengangkatan limpa yang terlalu

dini dapat membahayakan. Sebaliknya, splenektomi dibenarkan apabila limpa menjadi

hiperaktif menyebabkan penghancuran sel darah merah yang berlebihan dan dengan

demikian meningkatkan kebutuhan transfusi darah, menghasilkan lebih banyak

akumulasi besi.

Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan lebih dari 200-250

mL/kg PRC per tahun untuk mempertahankan tingkat Hb 10 gr / dL karena dapat

menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30%.

Risiko yang terkait dengan splenektomi minimal, dan banyak prosedur sekarang

dilakukan dengan laparoskopi. Biasanya, prosedur ditunda bila memungkinkan sampai

anak berusia 4-5 tahun atau lebih. Pengobatan agresif dengan antibiotik harus selalu

diberikan untuk setiap keluhan demam sambil menunggu hasil kultur. Dosis rendah
Aspirin setiap hari juga bermanfaat jika platelet meningkat menjadi lebih dari 600.000 /

μL pasca splenektomi.

e. Diet

Pasien dianjurkan menjalani diet normal dengan suplemen sebagai berikut : asam

folat, asam askorbat dosis rendah dan alfa-tokoferol. Sebaiknya zat besi tidak diberikan,

dan makanan yang kaya akan zat besi juga dihindari. Kopi dan teh diketahui dapat

membantu mengurangi penyerapan zat besi di usus.

2.10. Pencegahan

Mengingat dampaknya yang tidak kecil, langkah pencegahan selalu menjadi

yang terbaik bagi penyakit ini. Pada penyakit Talasemia, untuk mencegah lahirnya

anak dengan Talasemia mayor adalah tidak menikah dengan pembawa gen Talasemia

maupun pengidap Talasemia. Untuk mengetahui seseorang itu mempunyai gen

Talasemia atau tidak,satu-satunya jalan adalah dengan pemeriksaan atau tes darah.

Sangat disayangkan tidak banyak yang melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum

menikah. Hal ini turut meningkatkan jumlah penderita talasemia yang di Indonesia

memang sudah cukup banyak. Ada bermacam-macam pemeriksaan yang dapat

dilakukan, yaitu :

 Melakukan tes darah sebelum terjadi perkawinan (premarital screening).

Pemeriksaan ini dilakukan pada calon suami istri yang akan menikah. Jika pada

perempuan tidak ditemukan gen pembawa Talasemia,maka tidak perlu dilakukan

pemeriksaan pada laki-laki. Tetapi jika ditemukan gen pembawa Talasemia pada

perempuan,maka laki-laki harus diperiksa juga. (Wendy Mehari, 2009)

 Apabila sepasang suami isteri sudah mengetahui bahwa keduanya merupakan

pengidap penyakit Talasemia minor,maka maka perlu dilakukan pemeriksaan dan


perencanaan kelahiran yang teliti dengan dibantu dokter dan ahli genetika agar

anak yang lahir tidak mengidap Talasemia.(Erik Tapan, 2009)

 Apabila telah terjadi perkawinan dan hamil, maka perlu dilakukan pula antenatal

atau prenatal diagnosis untuk menghindari lahirnya anak dengan penyakit

Talasemia. (Sut, 2009) Pemeriksaan pada janin dapat dilakukan saat usia

kehamilan mencapai 10-15 minggu. (Wendy Mehari, 2009)


Pemeriksaan Pra Natal

Pada saeorang ibu yang hamil, akan diperiksa darah tepi lengkap dan analisis

hemoglobin. Jika hasilnya normal, artinya tidak perlu ada tindakan apa-apa. Namun

jika hasilnya menunjukkan bahwa sang ibu pembawa sifat Talasemia, maka sang

suami harus juga diperiksa. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu sama seperti pada sang

Ibu, pemeriksaan darah tepi lengkap dan analisis hemoglobin. Sama seperti pada Ibu,

jika sang suami tidak membawa gen talasemia, maka pemeriksaannya dianggap sudah

selesai.

Namun jika sang suamipun membawa gen Talasemia, pemeriksaan harus

dilanjutkan. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan analisis DNA suami-

isteri. Kemudian dilakukan pengambilan jaringan vili chorealis untuk menganalisa

DNA janin. Dari sini bisa diputuskan apakah janin tersebut normal, atau menjadi

pembawa sifat (heterozigot) ataupun menderita talasemia major

(penderita/homozigot). Kemungkinannya adalah 25% normal, 50% minor dan 25%

mayor.

Pemeriksaan Pra Natal (sebelum kelahiran) yang disebutkan di atas

mengandung suatu resiko bahwa mungkin saja sang janin menderita talasemia

mayor. Ini merupakan suatu dilema yang sangat sulit untuk diputuskan, apakah janin

tersebut akan dilahirkan atau tidak. Untuk itulah lagi-lagi dianjurkan hendaknya

pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum menikah. Maka akan bisa diketahui

apakah salah satu atau dua-duanya pembawa gen Talasemia. Namun dari sisi kedua

pasangan tersebut, ini juga merupakan dilema. Biasanya bila diketahui salah satu

membawa sifat talasemia, maka pihak keluarga pasangannya akan menolak

melanjutkan hubungan tersebut (padahal sebenarnya tidak perlu jika pasangannya

normal).
2.11. Komplikasi

Kerusakan sel darah merah dalam tubuh penderita Talasemia meninggalkan

zat besi. Pada manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan

membentuk sel darah merah baru. Sementara dalam tubuh penderita Talasemia zat

besi yang ditinggalkan sel darah merah yang rusak menumpuk dalam organ tubuh

seperti jantung dan hati karena suplai sel darah merah diperoleh dari transfusi darah.

Jumlah zat besi yang menumpuk dalam tubuh atau iron overload ini akan

mengganggu fungsi organ tubuh. (Victor As, 2009)

Komplikasi utama pada Talasemia baik minor maupun mayor adalah anemia.

Dan pada anemia ini lah komplikasi penyakit Talasemia bermula. Anemia yang

disebabkan Talasemia lebih serius sifatnya, disebabkan oleh ketidakseimbangan

hemoglobin pasien yang menyebabkan fungsi hemoglobin sebagai pengangkut

oksigen ke seluruh jaringan tubuh jadi terganggu. Dan kondisi anemia ini tidak dapat

diobati hanya dengan mengonsumsi suplemen zat besi.

Jika kondisi anemia yang disababkan oleh Talasemia ini sudah tergolong

parah, maka dibutuhkan transfusi darah untuk menyeimbangkan eritrosit dalam

tubuh dan menjaga agar suplai oksigen tetap stabil. Transfusi darah harus dilakukan

secara rutin dengan frekuensi 2-3 kali dalam satu minggu.

Transfusi darah yang terlalu sering menyebabkan zat besi tertimbun di organ-

organ tubuh. Penumpukan zat besi itu karena sel darah merah yang rusak itu

meninggalkan zat besi dalam tubuh. Dalam kondisi normal, zat besi ini dapat

dimanfaatkan untuk membentuk sel darah merah baru yang diproduksi oleh tubuh.

Akan tetapi, karena tubuh memperoleh suplai darah merah dari transfusi darah,

maka terjadi penumpukan zat besi di hampir seluruh organ tubuh.


Penumpukan zat besi di organ-organ tubuh bersifat fatal karena dapat

menyebabkan kegagalan fungsi organ tersebut. Salah satu organ tempat penimbunan

zat besi adalah jantung. Banyak penderita Talasemia yang meninggal akibat gagal

jantung. Hal ini disebabkan oleh kurangnya daya kompensasi yang dimiliki jantung

dibandingkan dengan organ-organ lainnya. Awalnya jantung akan mengalami

pembesaran, namun karena daya kompensasinya rendah, maka jantung tidak dapat

lagi bekerja.

Selain jantung, limpa dan hati juga mengalami pembesaran akibat bekerja terus

menerus membentuk sel darah merah, limpa penderita menjadi besar karena

penghancuran darah merah terjadi di sana. Limpa dan hati yang membesar dapat

membatasi gerak tubuh penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal

dan bahaya terjadinya rupture atau sobekan pada organ tersebut karena terlalu besar.

Penumpukan zat besi juga terjadi di kelenjar endrokrin sehingga menyebabkan

pubertas lambat, tidak menstruasi, pertumbuhan pendek dan lamban,dan bahkan tidak

mempunyai keturunan. Dan yang lebih parah lagi, penderita Talasemia berpeluang

terkena penyakit hepatitis B, hepatitis C dan HIV yang tertular dari transfuse darah

yang berulang.

Perubahan pada tulang juga dapat terjadi karena hiperaktivitas sumsum merah

berupa deformitas dan fraktur spontan (terutama tulang panjang). Dapat pula

mengakibatkan pertumbuhan berlebihan tulang frontal, zigomatik dan maksilaris.

Pertumbuhan gigi biasanya buruk. IQ Fkurang baik apabila tidak mendapat tranfusi

darah secara teratur dan menaikan kadar Hb. Jika kerusakan tulang terjadi pada tulang

muka, misalnya, pada tulang hidung, maka bentuk muka pun akan berubah, batang

hidung menjadi hilang/melesak ke dalam (faciescooley).


2.12. Prognosis

Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari Talasemia. Seperti
dijelaskan sebelumnya, kondisi klinis penderita Talasemia sangat bervariasi dari
ringan bahkan asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Berhman, RE; Kliegman, RM ; Arvin: Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume 2, edisi 15.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2005, hal1708-1712

2. Berhman, RE; Kliegman, RM and Jensen, HB: Nelson Text Book of Pediatrics, 16th
edition. WB Saunders company, Philadelphia: 2000, page 1630-1634

3. Permono, H. BAmbang; Sutaryo; Windiastuti, Endang; Abdulsalam, Maria; IDG


Ugrasena: Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Cetakan ketiga. Penerbit Badan
Penerbit IDAI, Jakarta : 2010, hlm 64-84

4. A.V. Hoffbrand and J.E. Pettit; alih bahasa oleh Iyan Darmawan : Kapita Selekta
Haematologi, edisi ke 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1996, hal 66-85

5. Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005. “What is Talasemia and Treating
Talasemia”

6. Markum : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI, Jakarta : 1991, hal 331

7. Paediatrica Indonesiana, The Indonesian Journal of pediatrics and Perinatal Medicine,


volume 46, No.5-6. Indonesian Pediatric Society, Jakarta: 2006, page 134-138

Anda mungkin juga menyukai