Pembimbing :
dr. Raden Setiyadi, Sp.A
Disusun oleh :
“Seorang Anak Perempuan dengan Demam Tifoid dan Infeksi Saluran Kemih”
Penyusun:
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal
periode 12 Juli – 26 Agustus 2017
I. IDENTITAS PASIEN
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. RIM Tn. I Ny. S
Umur 13 tahun 2 bulan 34 tahun 34 Tahun
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan
Alamat Mejasem Timur RT03/RW04, Kramat
Agama Islam Islam Islam
Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan SD SMA SMA
Pekerjaan Siswi PNS Ibu Rumah Tangga
Penghasilan Rp 3.500.000,-
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi BPJS NON PBI Kelas II
No. RM 883096
Tanggal masuk RS 18 Juli 2017
II. ANAMNESIS
Data anamnesis diperoleh secara alloanamnesis kepada ayah pasien (Tn I. M, 34 tahun)
pada tanggal 19 Juli 2017 di kamar 8A, di ruang Perawatan Wijaya Kusuma RSU Kardinah
pukul 09.00 WIB.
Keluhan Utama
Os datang dengan keluhan demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa datang ke Poli RSU Kardinah Tegal dengan keluhan demam sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit. Demam yang naik turun selama empat hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam terutama meningkat pada malam hari dan mereda pada pagi dan siang hari.
Demam tidak disertai dengan kejang, tidak disertai dengan mimisan maupun gusi berdarah.
Pasien juga merasa mual dan muntah selama demam berlangsung. Muntah awalnya terjadi
delapan kali dengan isi muntahan berupa makanan. Sekarang setelah dirumah sakit, muntah
hanya satu kali dengan isi muntahan ialah makanan. Pasien menyangkal batuk ataupun pilek,
BAB lancar dengan konsistensi dan warna yang normal serta BAK lancar berwarna kuning
jernih. Nafsu makan dan minum sedikit berkurang. Ayah pasien mengatakan, pasien tampak
lemas dan tidak bersemangat serta mengeluh sakit kepala.
Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran : Rumah
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Spontan pervaginam
Masa gestasi : 38 minggu pada G1P1A0
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 3000 gram
Panjang badan lahir : 48 cm
Lingkar kepala : Ibu lupa
Keadaan lahir : Langsung menangis kuat dan terlihat aktif
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Kelainan bawaan : tidak ada
Air ketuban : Jernih
Kesan: neonatus aterm, lahir secara Spontan, bayi dalam keadaan bugar.
Riwayat Imunisasi
VAKSIN ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
BCG 1 bulan - - - - - -
DTP/ DT - 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
CAMPAK - - - 9 bulan - - -
HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan - 6 bulan - - -
Kesan : Imunisasi dasar pasien lengkap
Silsilah Keluarga
D. Status Generalis
Kepala : mesocephali
Rambut :rambut warna hitam kecoklatan, tebal, penyebaran
merata, tidak mudah dicabut.
Wajah : simetris
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem
palpebra (-/-), mata cekung (-/-), perdarahan (-/-)
Hidung : simetris, septum deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (-),
epistaksis (-/-)
Telinga : OD : normotia, discharge (-/-), OS : agenesis aurikuler
Mulut : mulut simetris, mukosa lidah sianosis (-), mukosa lidah putih
(+), stomatitis(-), normoglosia, deviasi lidah (-) gusi berdarah (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Leher : Simetris, pembesaran KGB (-) petechie (-)
Kulit : coklat, eritema (-), petechie (-)
Thorax :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi
(-), sela iga (-)
Palpasi : Tidak ada hemitoraks yang tertinggal.
Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba.
Perkusi : Normal, batas kiri atas jantung pada ICS 2 Linea parasternal kiri,
batas kiri bawah pada ICS 5 linea midklavikularis kiri, batas kanan atas ICS 2
linea parasternalis kanan, batas kanan bawah ICS 3 linea parasternalis kanan.
Auskultasi : Bunyi jantung I, II normal, reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, Ptechie (-), Hematoma (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi :Supel, distensi (-), turgor kulit baik,
hepar dan lien teraba tidak membesar. Nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen.
Genitalia : jenis kelamin perempuan, tidak ada kelainan.
Anorektal : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis +/+ +/+
CRT <2” <2”
Oedem -/- -/+
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Petechie - -
Urinalisa
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Jernih Jernih
Kimia urin
pH 7.0 6.0-9.0
Protein Positif Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Mikroskopis
Eritrosit Negatif +1<4, +2/5-9, +3/10-29, +4/
Leukosit 8-10 / LPB +1<4, +2/5-9, +3/10-29, +4/
Epitel Positif
Silinder -
Bakteri Positif Negatif
Kristal amorf
Jamur Negatif Negatif
Khusus
Berat Jenis 1.010 1.005-1.030
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Eritrosit Positif Negatif
Leukosit +2 Negatif
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Pasien dibawa datang ke Poli RSU Kardinah Tegal dengan keluhan demam sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit. Demam yang naik turun selama empat hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam terutama meningkat pada malam hari dan mereda pada pagi dan siang hari.
Demam tidak disertai dengan kejang, tidak disertai dengan mimisan maupun gusi berdarah.
Pasien juga merasa mual dan muntah selama demam berlangsung. Muntah awalnya terjadi
delapan kali dengan isi muntahan berupa makanan. Sekarang setelah dirumah sakit, muntah
hanya satu kali dengan isi muntahan ialah makanan. Pasien menyangkal batuk ataupun pilek,
BAB lancar dengan konsistensi dan warna yang normal serta BAK lancar berwarna kuning
jernih. Nafsu makan dan minum sedikit berkurang. Ayah pasien mengatakan, pasien tampak
lemas dan tidak bersemangat serta mengeluh sakit kepala. Riwayat keluhan yang sama Riwayat
trauma, riwayat alergi obat maupun makanan tertentu disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan umum compos mentis, tampak sakit sedang dan
tampak gizi kurang. Pemeriksaan status generalis didapatkan thorax auskultasi paru SNV +/+ rh
-/-, wheezing -/-, auskultasi jantung dimana Bunyi jantung I, II normal, reguler, murmur (-),
gallop (-). Pada pemeriksaan abdomen Inspeksi terlihat datar, simetris, Ptechie (-), Hematoma (-
), pada auskultasi terdengar bising usus (+), dimana pada perabaan teraba supel, distensi (-),
turgor kulit baik, hepar dan lien teraba tidak membesar, adanya nyeri tekan epigastrium serta
perkusi yang timpani pada seluruh kuadran abdomen.
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan hasil laboratorium yakni penurunan hematokrit,
nilai eritrosit MCV dan MCH, serta nilai hitung jenis leukosit, yakni eosinofil dan neutrofil.
Terdapat pula peningkatan pada hitung jenis leukosit yakni limfosit, serta nilai postif pada uji
widal baik pada St-O, St-H.
VII. MASALAH
1. Demam naik turun selama 4 hari 3. Lemas dan kurang bersemangat
2. Mual dan muntah-muntah 8x/hari 4. Sakit kepala
selama 1 hari 5. Nafsu makan berkurang
VIII. DIAGNOSIS KERJA
Typhoid Fever
X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
IVFD Asering 20 tpm
Inj Ceftriaxone 1gr/12 jam
Inj. Ondancentron 2 x 4 mg
Inj PCT 3 x ½ tab
Inj vit C 1x100 mg
Non Medikamentosa
Rawat inap untuk monitor gejala
Awasi keadaan umum, dan tanda vital
Edukasi, menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan
komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
Memberikan asupan gizi yang sesuai
XI. PROGNOSA
Quo ad vitam : Dubia Ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia Ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia Ad bonam
XII. PERJALANAN PENYAKIT
19 Juli 2017 pkl. 06.45 WIB 20 Juli 2017 pkl. 06.45 WIB
Wijaya Kusuma Atas Wijaya Kusuma Atas
Hari Perawatan ke-1 Hari Perawatan ke-2
Pasien dibawa datang ke Poli RSU Kardinah Tegal dengan keluhan demam sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit. Demam yang naik turun selama empat hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam terutama meningkat pada malam hari dan mereda pada pagi dan siang hari.
Demam tidak disertai dengan kejang, tidak disertai dengan mimisan maupun gusi berdarah.
Pasien juga merasa mual dan muntah selama demam berlangsung. Muntah awalnya terjadi
delapan kali dengan isi muntahan berupa makanan. Sekarang setelah dirumah sakit, muntah
hanya satu kali dengan isi muntahan ialah makanan. Pasien menyangkal batuk ataupun pilek,
BAB lancar dengan konsistensi dan warna yang normal serta BAK lancar berwarna kuning
jernih. Nafsu makan dan minum sedikit berkurang. Ayah pasien mengatakan, pasien tampak
lemas dan tidak bersemangat serta mengeluh sakit kepala. Riwayat keluhan yang sama Riwayat
trauma, riwayat alergi obat maupun makanan tertentu disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan umum compos mentis, tampak sakit sedang dan
tampak gizi kurang. Pemeriksaan status generalis didapatkan thorax auskultasi paru SNV +/+ rh
-/-, wheezing -/-, auskultasi jantung dimana Bunyi jantung I, II normal, reguler, murmur (-),
gallop (-). Pada pemeriksaan abdomen Inspeksi terlihat datar, simetris, Ptechie (-), Hematoma (-
), pada auskultasi terdengar bising usus (+), dimana pada perabaan teraba supel, distensi (-),
turgor kulit baik, hepar dan lien teraba tidak membesar, adanya nyeri tekan epigastrium serta
perkusi yang timpani pada seluruh kuadran abdomen.
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan hasil laboratorium yakni penurunan hematokrit,
nilai eritrosit MCV dan MCH, serta nilai hitung jenis leukosit, yakni eosinofil dan neutrofil.
Terdapat pula peningkatan pada hitung jenis leukosit yakni limfosit, serta nilai postif pada uji
widal baik pada St-O, St-H.
Prognosis demam tifoid pada umumnya baik pada demam tifoid tanpa komplikasi.
Prognosis demam tifoid itu sendiri bergantung pada ketepatan terapi, usia penderita, serta
keadaan kesehatan sebelumnya. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%. Hal ini
biasanya dikarenakan adanya keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Infeksi kuman tifoid berhubungan dengan kebiasaan seseorang dalam menjaga
kebersihan dirinya. Karena penularannya melalui mulut atau makanan, maka penyakit ini dapat
dicegah penularannya. Adapun, pemberian vaksinasi tifoid dewasa ini yang telah
direkomendasikan oleh Satuan Tugas Imunisasi PP IDAI untuk diberikan mulai anak usia 2
tahun, diulang setiap 3 tahun.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
1. Definisi
Merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman “Salmonella typhii”. Demam
tifoid dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain. Demam tifoid menular melalui kotoran
(fecal-oral) dan sangat erat kaitannya dengan higienisitas seseorang.1,2
2. Epidemiologi
3
Kelompok usia yang rentan menderita demam tifoid adalah anak pada kelompok usia 5
tahun ke atas. Pada usia tersebut, anak sudah mulai masuk sekolah dan mengenal jajanan di luar
rumah. Makanan atau jajanan yang kurang bersih dapat mengandung kuman S. typhii dan masuk
ke tubuh anak jika termakan. Angka rata- rata kesakitan demam tifoid di Indonesia mencapai
500/100.000 penduduk dengan angka kematian antara 0,6 –5%.4.
5,6
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan tahun 2007, prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi
prevalensi tertinggi adalah pada usia 5-14 tahun (1,9%), usia 1- 4 tahun (1,6%), usia 15-24 tahun
(1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%). Kondisi ini menunjukkan bahwa anak-anak (0-18 tahun;
WHO) merupakan populasi penderita demam tifoid terbanyak di Indonesia.
3. Etiologi
7
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup
sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini
dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi.
8
Berdasarkan serotipenya kuman Salmonella dibedakan menjadi 4: Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Serotipe group D. Salmonella typhi,
Paratyphi A, dan Paratyphi B merupakan penyebab infeksi utama pada manusia, bakteri ini
selalu masuk melalui jalan oral, biasanya dengan mengkontaminasi makanan dan minuman.
Faktor- faktor lain yang mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp. adalah
keasaman lambung, flora normal usus, dan ketahanan usus lokal.
9
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin
4. Faktor resiko10
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang
berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat
juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada
bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control,
mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid
pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan
anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena
penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan (OR=2,7)
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105– 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka
semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan
sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid
adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah
5. Cara Penularan11
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang
dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung
bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung
Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis.
Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan
kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.
6. Patogenesis dan Patofisiologi Demam Tifoid9,12
Bakteri Salmonella (termasuk serotipe Typhi maupun Paratyphi) memasuki tubuh inang
melalui rute fekal-oral menuju lokasi infeksi pada usus halus (ileum). Pada usus halus pars ileum
ini didapatkan kumpulan limfonoduli submukosa yang memperantarai sistem imunologi mukosa
dikenal sebagai Plak Peyeri. Port d’entree bakteri ke dalam tubuh adalah melalui sel Mkifrofold
(sel M) yang merupakan struktur khusus pada permukaan Plak Peyeri, berfungsi menyaring
antigen yang akan memasuki plak payeri. dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal
dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik,
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
Penelitian pada subjek sukarelawan didapatkan dosis infeksi (infecting dose) sekitar 105-
‐106 organisme dengan Salmonella yang ditangkap oleh sel M akan mentranslokasikannya ke
basal sel, lokasi dimana makrofag yang merupakan Sel Penyaji Antigen berada. Makrofag akan
memfagosit Salmonella untuk dihancurkan dan dikelola antigennya, disajikan pada Sel T helper
maupun Sel B spesifik.
Salmonella memiliki mekanisme evasi fagositik yang baik, yaitu dengan menggagalkan
fusi fagosom dengan lisosom. Bakteri yang survive tersebut akan menggandakan diri dan
menginfeksi makrofag‐makrofag, dan ikut terbawa ke nodus limfatik mesenterium, dan keluar ke
aliran darah menyebabkan bakteremia primer. Setelah itu, Salmonella memasuki organ
retikuloendotelial seperti sumsum tulang, hepar dan lien dan bereplikasi kembali di dalam
makrofag organ‐organ tersebut sehingga terjadi aktivasi jaringan limfoid maupun makrofag,
menyebabkan hepatomegali dan splenomegali.
Manifestasi klinisnya adalah gejala nyeri perut akibat pendesakan organomegali, mual
dan muntah sebagai manifestasi hepatomegali yang mendesak saluran pencernaan. Pasca
organomegali, bakteri kembali memasuki aliran darah menyebabkan bakteremia sekunder yang
mengawali munculnya gejala demam akibat dilepaskannya endotoksin ke peredaran darah,
menginduksi pirogen endogen yang mempengaruhi temperatur set di hipothalamus sehingga
terjadi peningkatan suhu tubuh.
Salmonella yang berada di dalam hepar akan diekskresikan melalui sistem bilier, dan
mengikuti siklus enterohepatik, sehingga terjadi reinfeksi kembali. Pada Plak Peyer terjadi
fokus‐fokus infeksi Salmonella di sepanjang ileum, menyebabkan nekrosis. Apabila nekrosis ini
menembus tunika serosa maka akan terjadi perforasi ileum yang dapat berakibat peritonitis.
7. Manifestasi Klinis13,14
Masa inkubasi demam tifoid rata‐rata adalah 7 –14 hari, dipengaruhi oleh dosis infeksi
dengan rentang waktu 3 –30 hari. Manifestasi klinis meliputi tifoid ringan dengan demam derajat
ringan, malaise, sedikit batuk kering hingga manifestasi klinis yang berat seperti gangguan
gastrointestinal, roseola spot dan berbagai komplikasi. Kondisi ini sangat dipengaruihi oleh
virulensi bakteri, usia, daya tahan tubuh, waktu pengobatan dan obat pilihan terbaik yang
diberikan.
Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang
biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan
suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu
tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) .
Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan
limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi
mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan
penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc
hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi
antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran
bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih
berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah
kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh
penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada
periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi
pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan
terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola)
berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada
penderita golongan kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok,
timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat
bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi
teraba dan abdomen mengalami distensi. Penyebab roseola ini karena emboli basil dalam kapiler
kulit terkumpul di bawah permukaan kulit sehingga menyerupai bentuk bunga roseola.
Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang
biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu,
pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu
badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari akan berlangsung. Terjadi
perlambatan relatif pada nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan
peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala
toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.
Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat. Nadi semakin
cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-
kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung
dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika
berkomunikasi, hal ini terjadi karena gangguan sistem saraf. Hal ini terjadi bila ada toksin yang
menembus Blood Brain Barier, pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering
bersifat Sindrom Otak Organik yang berarti kelainan extra kranial mengakibatkan gangguan
kesadaran seperti Delirium, gelisah, somnolen, supor hingga koma.
Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi
tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan
makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa
delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin.
Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan
nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai
oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya
pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
8. Diagnosis15
a. Anamnesis
Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Karena pemeriksaan kuman melalui metode kultur memerlukan waktu yang
lebih lama untuk mendapatkan hasil pasti Salmonella typhi.
Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk mengarahkan kecurigaan terhadap demam tifoid:
- Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa ke pusat
pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam hari dan turun menjelang
pagi hari), menggigil atau tidak, keringat dingin, sejak kapan mulai demam tinggi
terus tanpa suhu turun, disertai kejang atau tidak
- Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar? Atau hanya sebatas
ngelindur atau mengigau saja waktu tidur.
- Riwayat Penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah pernah sakit seperti
ini, karena demam tifoid adalah infeksi yang sangat mungkin menjadikan
penderitanya sebagai carier atau pembawa meskipun tidak menunjukkan gejala
- Riwayat Terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya antipiretik dan atau
antibiotika klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin sudah mengalami
perubahan
- Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan mengingat salah satu
faktor resiko terjadinya penyakit adalah lingkungan yang padat dan sanitasi
perorangan yang kurang baik.
- Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau minum sembarangan
atau di tempat yang kurang sehat dan mudah dihinggapi lalat dan vektor penyakit
yang lain. Riwayat pemberian ASI juga perlu diketahui karena pentingnya ASI
dalam pembentukan IgA yang berperan dalam imunologi lokal dalam saluran cerna.
Anak yang minum susu formula sejak kecil tentunya memiliki saluran cerna yang
kurang diproteksi dengan baik oleh Imunoglobulin.
- Riwayat Imunisasi. Selain imunisasi wajib pemerintah juga telah ditemukan vaksin
untuk penyakit ini. Bila setelah diimunisasi pasien tetap terinfeksi Tifoid sangat
mungkin titer antibodi yang dibentuk oleh vaksinasi sebelumnya tidak cukup kuat
untuk mengantisipasi infeksi berikutnya. Atau terdapat kegagalan dalam vaksinasi
yang dipengaruhi banyak faktor.
b. Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien yang bervariasi
menurut sudah sampai dimana perjalanan penyakitnya. Keadaan Umum anak
biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari biasanya. Pada keadaan yang sudah
terjadi komplikasi sangat mungkin keadaan menjadi toksik, salah satunya adalah
penurunan kesadaran mulai dari delirium, stupor hingga koma.
- Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi yang mungkin
terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat terjadi pada infeksi demam
tifoid. Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cowong dan bibir kering
dengan rasa haus yang meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi lidah apakah
didapatkan Tifoid Tongue dengan pinggir yang hiperemi sampai tremor.
- Pemeriksaan Thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan, kecuali pada
demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi extraintestinal pada cavum
pleura yang menyebabkan pleuritis, namun sangat jaarang terjadi pada anak- anak.
- Pemeriksaan Abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan fisik pada
demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman Salmonella typhi
pada intestinal atau akibat pengaruh diare yang diselingi konstipasi. Bising usus
biasanya meningkat baik pada saat diare maupun saat konstipasi. Palpasi organ
kemungkinan didapatkan hepato-splenomegali ringan permukaan rata dengan nyeri
tekan minimal.
- Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya didapatkan rose spot
atau Roseola, yaitu ruam makulopapular kemerahan dengan diameter 1-5 mm.
Namun sangat jarang terjadi pada anak- anak
c. Pemeriksaan Penunjang
- Darah Lengkap, pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan leukositosis
dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (Diff. count shift to the Left). Namun
untuk tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai leukopenia. Penyebab
dari leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi diyakini akibat replikasi
kuman di dalam Peyer Patch yang merupakan makrofag jaringan usus sehingga
tidak mampu dideteksi oleh polimorfonuklear leukosit granul seperti Netrofil stab
ataupun segmen. Makrofag jaringan merupakan Limfosit sehingga tidak jarang
terjadi Limfositosis relatif, karena makrofag meningkat sedangkan lekosit PMN
normal sampai menurun, hitung jenis bisa jadi Shift to Right. Namun tidak jarang
ditemukan leukosit yang meningkat (leukositosis) bisa primer ataupun sekunder.
Primer dari penyakit demam tifoid itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi
akibat infeksi tumpangan. Pada keadaan Demam Tifoid yang sudah terjadi
komplikasi berupa perdarahan usus sangat mungkin didapatkan anemia dengan tipe
Hipokromik Mikrositik.
- Uji Widal, uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella
typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella
typhi dengan antibody penderita yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan
pada uji widal adalah suspense bakteri Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah
di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
agglutinin/antibodi dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: antigen O
(dari tubuh kuman itu sendiri), antigen H (dari flagella kuman), antigen Vi (simpai
kuman) dan antigen Paratyphi A dan B (antigen dari Salmonella Paratyphi A dan B)
Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam atau awal
minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-
mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H. pada penderita yang
sudah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
agglutinin H dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1) pengobatan dini
dengan antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibody/ immunocompromissed, 3)
pemberian kortikosteroid, 4) waktu pengambilan darah, 5) riwayat vaksinasi, 6)
Reaksi amnestik, yaitu peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid atau infeksi
tifoid pada masa lalu, 7) faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium,akibat
aglutinasi silang dan strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Tromnositopeni juga sangat mungkin terjadi bila terjadi penekanan sumsum tulang
akibat bakteremia kuman
- Kultur, hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa
hal sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum
dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media
biakan terhambat dan hasil mungkin negatif, 2) volume darah yang kurang (< 5cc
darah). Bila volume darah yang dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan kuman bisa
negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedsaide langsung dimasukkan ke
media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman. 3) riwayat vaksinasi.
Vaksinasi di masa lalu dapat menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi in
dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif, 4) saat pengambilan
darah yang kurang tepat pada waktu antibodi meningkat (minggu pertama).
Oleh karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur sebaiknya
diambil waktu awal minggu kedua setelah sakit karena sensitifitasnya cukup tinggi,
dikarenakan kuman hampir pasti didapatkan diseluruh organ dan jaringan tubuh.
Kultur kuman dapat diambil dari darah, urin, atau feses. Arti diagnostik yang
penting didapat dari gall kultur (kultur di media biakan garam empedu) karena
kemampuan hidup bakteri salmonella sangat tinggi di media ini. Spesimen lain yang
mengandung arti diagnostik penting adalah biopsi sumsum tulang yang memiliki
hasil positif hampir 90% kasus. Pada biakan feses yang perlu dicari adalah Fecal
Monocyte sebagai respon dari usus yang mengalami reaksi dengan skuman
salmonella yang bereplikasi di dalamnya. Biakan dari feses ini khususnya
bermanfaat bagi carier tifoid
- Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella), IgM anti salmonella atau
yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan diagnostic in vitro
semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut.
Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida
bakteri Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan >
91%.
Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding Immunoassay
(IMBI). Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri dideteksi melalui
kemampuannya untuk menghambat reaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu
indikator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan antibodi monoclonal anti 09
(reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang disensitisasi dengan LPS
Salmonella typhi (reagen warna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan
kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan
menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan
konsentrasi IgM Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan
membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna.
9. Tatalaksana 16,17
Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah Istirahat dan perawatan, diet
dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta pemberian antibiotika. Pada
kasus tifoid yang berat hasus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, eletrolit,
serta nutrisi disamping observasi kemungkinan penyulit.
Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari
aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan
keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya
sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain
atau Novalgin.
d. Antibiotika
10. Komplikasi18
Komplikasi Intestinal
- Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat
perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam.
- Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid
dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerahkuadran kanan
bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah
nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
Komplikasi Ekstraintestinal
- Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
- Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
- Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
- Komplikasi hepar
- kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
- Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
- Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
- Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatoni
11. Pencegahan19
-Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar
tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat
dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella
typhi yang dilemahkan.
-Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini
dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
- Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan
akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid
sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga
dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid.
12. Prognosis20
Prognosis demam tifoid pada umumnya baik pada demam tifoid tanpa
komplikasi. Prognosis demam tifoid itu sendiri bergantung pada ketepatan terapi, usia
penderita, serta keadaan kesehatan sebelumnya. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya > 10%. Hal ini biasanya dikarenakan adanya keterlambatan diagnosis,
perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal
atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Daftar Pustaka
1. Behrman, Kliegma dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume Z. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC.
2. Burnside, Mc Glynn. 1995. Adam’s Diagnosis Fisik. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta.
3. Hegar, Badriul dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
Jilid 1. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
6. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo. 2008. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya: RSU Dr. Soetomo Surabaya.
7. Soedarmo, Poorwo Sumarmo S. dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi
Kedua. Jakarta: Badan Peberbit IDAI.
8. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Wilson, dan Price. 2002. Patofisiologi Volume 1 Edisi Keenam. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
10. Pudjiadi AH et al editor. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi
II. 2011
11. .Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever
Communicable Disease Surveillance and Response Vaccines and Biologicals. World
Health Organization. 2003. Geneva Switzerland.
12. Standar Kompetensi Dokter Umum Indonesia Tahun 2012. Konsil Kedokteran Indonesia
13. Monack DM, Mueller A, Falkow S. Persistent bacterial infections: the interface of the
pathogen and the host immune system. Nat Rev Microbiol 2004;(2):747-65
14. Mastroeni P, Grant A, Restif O, Maskell D. A dynamic view of the spread and
intracellular distribution of Salmonella enterica. Nat Rev Microbiol 2009;(7):73‐80
15. Escobedo GG, Marshall JM, Gunn JS. Chronic and acute infection of the gall bladder by
Salmonella Typhi: understanding the carrier state. Nat Rev Microbiol 2011;(9):9-14
16. Jong EC. Enteric Fever in Netter’s Infectious Diseases. 2012. Philadelphia. Elsevier
Saunders;394‐98
17. Feasey NA, Gordon MA (Enteric fever) in Farrar J et al. Manson’s Tropical Diseases
23rd Edition. 2014. Elsevier Saunders; 338-‐43
19. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis Edisi ke-2. 2008. UKK Infeksi dan Pediatri Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta
20. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med. 2002;
347:1770‐1782