Oleh
Laode Muhammad Sufi Malik A, S.Ked 04054821719108
Virdhanitya Vialetha, S.Ked 04084821719209
Pembimbing
dr. Nova Kurniati, Sp.PD-KAI
Judul
Oleh:
Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 11
Desember 2017- 19 Febuari 2018
Asma merupakan penyakit kronik yang banyak diderita oleh anak dan dewasa baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Menurut data WHO, sekitar 300 juta manusia di
dunia menderita asma dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada
tahun 2025. Meskipun dengan pengobatan efektif, angka morbiditas dan mortalitas asma
masih tetap tinggi. Satu dari 250 orang yang meninggal adalah penderita asma. 14 Angka
mortalitas penyakit asma di dunia mencapai 17,4% dan penyakit ini menduduki peringkat 5
besar sebagai penyebab kematian.15
Penyakit asma tidak dapat disembuhkan akan tetapi penderita dapat sembuh dalam arti
asmanya terkontrol. Bila tidak, akan mengganggu kualitas hidup penderita yang
menyebabkan kehilangan waktu sekolah dan kehilangan jam kerja. Disamping itu penderita
harus mampu meminimalkan faktor-faktor pemicu penyakit tersebut seperti keadaan
lingkungan dimana kita berada dan perilaku. 15 Polusi udara dan kurangnya kebersihan
lingkungan yang terdapat di kota-kota besar bahkan termasuk kota pinggiran menjadi faktor
penyebab yang sangat dominan meningkatkan serangan asma di Indonesia. Buruknya kualitas
udara dan berubahnya pola hidup masyarakat di perkirakan menjadi penyebab meningkatnya
penderita asma di Indonesia yang hingga sampai saat ini belum terpecahkan. Tingginya
angka kematian akibat asma banyak disebabkan oleh kontrol asma yang buruk.
Mengingat hal tersebut pengelolaan asma yang baik harus dilakukan dari awal dengan
berbagai tindakan pencegahan agar penderita tidak mengalami serangan. Pada akhir-akhir ini
dilaporkan adanya peningkatan prevalensi morbiditas dan mortalitas asma di seluruh dunia
terutama didaerah perkotaan dan industri. Prevalensi yang tinggi ini menunjukkan bahwa
16
pengelolaan asma belum berhasil. Oleh karena itu, pemahaman mengenai asma, faktor
resiko, penegakan diagnosis dan penanganan yang tepat tentang asma perlu diketahui.
Laporan kasus ini disusun dengan tujuan memperdalam pemahaman tenaga kesehatan medis
mengenai penyakit asma.
BAB II
STATUS PASIEN
1. Identifikasi
Nama : Tn. SK
Tanggal Lahir : 26 April 1984 (33 tahun)
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ojek Online
Status : Menikah
Alamat : Siring Agung Palembang
No. Rekam Medik : 839625
MRS : 14 Desemberi 2017
Tanggal Pemeriksaan : 15 Desember 2017
2. Anamnesis
Autoanamnesis pada tanggal 15 Desember 2017
Keluhan Utama
Sesak disertai mengi bertambah berat sejak 1 hari SMRS.
Riwayat Pengobatan
- Riwayat Berotec Inhaler setiap kali serangan asma muncul
- Riwayat konsumsi theofilin
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
- Kesadaran : Compos mentis
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 102 x/menit
- Napas : 30x/menit
- Suhu : 36,7 C
Keadaan Spesifik
Kepala
Mata
Eksophtalmus tidak ada, edema palpebral tidak ada, konjungtiva palpebra pucat tidak ada, sklera
ikterik tidak ada, pupil isokor, reflek cahaya (+/+), visus tidak diperiksa, gerakan baik ke segala arah,
mata cekung tidak ada.
Hidung
Bagian luar hidung tak ada kelainan, septum deviasi tidak ada, tidak keluar cairan, cavum nasi lapang,
epistaksis tidak ada, napas cuping hidung tidak ada.
Mulut
Sariawan tidak ada, pembesaran tonsil tidak ada, gusi berdarah tidak ada, lidah pucat tidak ada, lidah
kering tidak ada, lidah kotor tidak ada, atrofi papil tidak ada, bibir tidak sianosis.
Telinga
Kedua meatus acustikus eksternus tak ada kelainan, tophi tidak ada, nyeri tekan tragus tidak ada, tidak
keluar cairan dari MAE, ada sekret atau serumen di liang telinga.
Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada, kaku kuduk tidak ada, struma diffusa
tidak ada.
Thorax
Bentuk dada simetris, sela iga tidak melebar, retraksi dinding dada ada, spider naevi tidak ada, barrel
chest tidak ada, angulus costae < 90, kifosis (+).
Paru-paru (Anterior)
Inspeksi : Statis dan dinamis dada kanan = dada kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan kiri sama, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, nyeri ketok tidak ada, batas paru hepar
pada ICS VI, peranjakan 1 sela iga.
Paru-paru (Posterior)
Palpasi : Stem femitus kanan kiri sama, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, nyeri ketok tidak ada
Jantung:
Auskultasi : HR 102 x/ menit, reguler, bunyi jantung I-II normal (suara jantung
normal. M1>M2, T1>T2, P2>P1, A2>A1), murmur tidak ada, gallop
tidak ada.
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi tidak ada, scar operasi tidak ada
Ekstremitas : Edema pretibial tidak ada, jari tabuh tidak ada, tremor tidak ada, akral
hangat (+/+).
Kulit : Warna sawo matang, efloresensi dan jaringan parut tidak ada, turgor baik, ikterus
tidak ada, nodul subkutan tidak ada, pertumbuhan rambut normal, sianosis tidak ada,
lembab.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 14 Januari 2017
KIMIA KLINIK
AST/SGOT 17 IU/L
ALT/SGPT 14 IU/L
Ureum 15 mg/dL
Kreatinin 0,76 mg/dL
Natrium 150 mEq/L
Kalium 3,3 mEq/L
Kalsium 9,1 mg/dL
Pemeriksaan Spirometri
Hasil pemeriksaan spirometri tanggal 15 Desember 2017
Pasien Normal
Base Pr% Mm Pred Max
FEV1 1,83 78 1,83 2,36 2,89
FVC 2,61 86 2,40 3,03 3,66
FEV1/FVC 70 89 69 79 88
PEV 4,19 70 4,45 6,00 7,56
Interpretasi
FEV1 78% menunjukkan obstruksi ringan (70-79% pred)
5. Diagnosis
Serangan asma akut derajat sedang
6. Diagnosis Banding
- PPOK
- Bronkitis Kronik
- Gagal Jantung Kongestif
- Obstruksi Mekanis (tumor)
7. Penatalaksanaan
Non Farmakologi
- Bedrest
- Oksigen 5 L/ menit nasal kanul
- Edukasi
Farmakologi
- Nebulizer Farbivent + Combivent sebanyak 3 kali taip 20 menit, observasi selama 1
jam (aktivitas, kesadaran, bicara, frekuensi nafas, retraksi otot bantu nafas, Mengi,
frekuensi nadi, pulsus paradoksus, APE, Pa Co2, SaO2)
- Injeksi Fartisen 1 ampul dalam NaCl 0,9% gtt xx/menit
- Rethapyl 2x1 tab po
8. Follow Up
O:
Nadi 96 x/menit
Pernapasan 30 x/ menit
Temperatur 36,6 oC
Saturasi O2 95%
Keadaan spesifik
Leher
JVP (5-2) cm H2O
Thorax:
Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (+)
Paru
Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan=kiri
Genitalia
Tidak diperiksa
Ekstremitas
Akral hangat (+), palmar pucat (-), edema(-),
6 Mengi Keras
11 SaO2 95%
P Non Farmakologis
Pro MRS
Istirahat
Edukasi
O2 3L/menit
Farmakologis
O:
Nadi 90 x/menit
Pernapasan 26 x/ menit
Temperatur 36,6 oC
Saturasi O2 98%
Keadaan spesifik
Thorax:
Tidak diperiksa
Genitalia
6 Mengi Keras
11 SaO2 98%
P Non Farmakologis
Istirahat
Edukasi
O2 3L/menit
Farmakologis
Nadi 90 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,6 oC
Saturasi O2 99%
Keadaan spesifik
Tidak diperiksa
Genitalia
Akral hangat (+), palmar pucat (-), edema(-)
Ekstremitas
FEV1: 78 %, FVC: 86%, PEF: 70%
11 SaO2 99%
A Serangan asma akut derajat ringan
P Non Farmakologis
Istirahat
Edukasi kontrol tiap bulan ke poli
Rencana pulang
Farmakologis
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik: (1) obstruksi saluran nafas yang
reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun dengan
pengobatan; (2) inflamasi saluran nafas; (3) peningkatan respon saluran nafas terhadap
berbagai rangsangan (hipereaktivitas).1 Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan respon
saluran nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang, mengi, sesak nafas, rasa berat di
dada serta batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Gejala ini umumnya berhubungan
dengan pengurangan arus udara yang luas tapi bervariasi yang biasanya reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. 3
2. Epidemiologi
Asma bronchial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih menjadi masalah
kesehatan baik di Negara maju maupun di Negara berkembang. Prevalensi dan angka rawat
inap penyakit asma bronkial di Negara maju dari tahun ke tahun cenderung meningkat.
Perbedaan prevalensi, angka kesakitan dan kematian asma bronchial berdasarkan letak
geografi telah disebutkan dalam berbagai penelitian. Selama sepuluh tahun terakhir banyak
penelitian epidemiologi tentang asma bronchial dan penyakit alergi berdasarkan kuisioner
telah dilaksanakan di berbagai belahan dunia. Semua penelitian ini walaupun memakai
berbagai metode dan kuisioner namun mendapatkan hasil yang konsisten untuk prevalensi
asma bronchial sebesar 5-15% pada populasi umum dengan prevalensi lebih banyak pada
wanita dibandingkan laki-laki. Di Indonesia belum ada data epidemiologi yang pasti namun
diperkirakan berkisar 3-8%.4
Dua pertiga penderita asma bronchial merupakan asma bronchial alergi (atopi) dan 50%
pasien asma bronchial berat merupakan asma bronchial atopi. Asma bronchial atopi ditandai
dengan timbul nya antibody terhadap satu atau lebih allergen seperti debu, tungau rumah,
bulu binatang dan jamur. Atopi ditandai oleh peningkatan produksi IgE sebagai respon
terhadap alergen. Prevalensi asma bronkial non atopi tidak melebihi angka 10%. Asma
bronchial merupakan interaksi yang kompleks antara factor genetic dan lingkungan. Data
pada penelitian saudara kembar monozigot dan dizigot, didapatkan kemungkinan kejadian
asma bronchial diturunkan sebesar 60-70%.4
3. Patofisiologi
Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu individu
dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah alergen, polusi udara, infeksi
saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi emosi yang
berlebihan, rinitis, sinusitis bakterial, poliposis, menstruasi, refluks gastroesofageal dan
kehamilan.1
Pada penderita asma bronkial karena saluran napasnya sangat peka (hipersensitif)
terhadap adanya partikel udara, sebelum sempat partikel tersebut dikeluarkan dari tubuh,
maka jalan napas (bronkus) memberi reaksi yang sangat berlebihan (hiperreaktif), maka
terjadilah keadaan dimana6
Otot polos yang menghubungkan cincin tulang rawan akan berkontraksi / memendek /
mengkerut
Produksi kelenjar lendir yang berlebihan
Bila ada infeksi akan terjadi reaksi sembab / pembengkakan dalam saluran napas
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas. Akibatnya
menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk membersihkan diri, keluar
dahak yang kental bersama batuk, terdengar suaranapas yang berbunyi yang timbul apabila
udara dipaksakan melalui saluran napas yang sempit. Suara napas tersebut dapat sampai
terdengar keras terutama saat mengeluarkan napas.1,6
Gambar 2 Patofisiologi Asma7
Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut.
Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat dinilai
dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) dan FEV1
(Forced Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatif
cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah
kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiper inflasi
dinamik. Besarnya hiper inflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan
fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula terlihat pada foto toraks yang
memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar.1
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama
ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional dan pasien akan
bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total. Keadaan hiperinflasi ini
bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.8
Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang,
maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan
pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.8
4. Klasifikasi
Berdasarkan derajatnya, Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi:4
1. Intermiten
a. Gejala klinis < 1 kali/minggu
b. Gejala malam < 2 kali/bulan
c. Tanpa gejala di luar serangan
d. Serangan berlangsung singkat
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi atau arus
puncak ekspirasi (APE) > 80% nilai terbaik
f. Variabilitas APE < 20%
2. Persisten ringan
a. Gejala klinis > 1 kali/minggu tetapi < 1 kali/hari
b. Gejala malam > 2 kali/bulan
c. Tanpa gejala di luar serangan
d. Serangan dapat menggangu aktivitas tidur dan tidur
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi atau arus
puncak ekspirasi (APE) > 80% nilai terbaik
f. Variabilitas APE 20%-30%
3. Persisten sedang
a.Gejala setiap hari
b.Gejala malam > 2 kali/minggu
c.Sering dapat menggangu aktivitas dan tidur
d.Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) 60%-80% nilai prediksi atau
arus puncak ekspirasi (APE) 60%-80% nilai terbaik
e. Variabilitas APE > 30%
4. Persisten berat
a.
Gejala terus menerus
b.
Gejala malam sering
c.
Sering kambuh
d.
Aktivitas fisik terbatas
e.
Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) < 60% nilai prediksi atau arus
puncak ekspirasi (APE) < 60% nilai terbaik
f. Variabilitas APE > 30%
Berdasarkan gejala siang, aktivitas, gejala malam, pemakaian obat pelega dan eksaserbasi,
GINA membagi asma menjadi:1
Tabel 1. Tingkat Kontrol Asma
Terkontrol
Kontrol Penuh
Sebagian (Salah Tidak
No. Karakteristik (Semua
satu dalam per Terkontrol
Kriteria)
mgg)
Tidak ada (≤ 2x /
1. Gejala Harian mgg) > 2x / mgg ≥3
Tidak ada (≤ 2x /
> 2x / mgg
4. Kebutuhan Pelega mgg)
Mungkin Biasanya
Biasanya terganggu
2. Kesadaran terganggu terganggu
Lemah sampai
Keras Keras
6. Mengi sedang
APE sesudah
> 80% 60 - 80 % < 60%
9. bronkodilator (% prediksi)
Sumber: Sudoyo, A, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid I Edisi Jakarta: Interna Publishing.
5. Gambaran Klinis
Keluhan dan gejala tergantung dari berat ringannya pada waktu serangan. Pada
serangan asma bronkial yang ringan dan tanpa adanya komplikasi, keluhan dan gejala tak ada
yang khas.9
Nafas berbunyi
Sesak nafas
Batuk
Tanda-tanda fisik :6,9,10
Cemas/gelisah/panik/berkeringat
Tekanan darah meningkat
Nadi meningkat
Pulsus paradoksus : penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg pada waktu
inspirasi
Frekuensi pernafasan meningkat
Sianosis
Otot-otot bantu pernafasan hipertrofi
Paru :
6. Diagnosis
Diagnosis dari asma umunya tidak sulit, diagnosis asma didasari oleh gejala yang
episodik, gejala berupa batuk, sesak nafas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang
berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal
paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.11
a. Anamnesis
Riwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap asma, riwayat
keluarga dan riwayat adanya alergi.12
b. Pemeriksan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran nafas.
Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernafasan dan denyut nadi juga
meningkat, ekspirasi memanjang disertai ronki kering, mengi (wheezing) dapat
dijumpai pada pasien asma.12
c. Pemeriksaan laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal Charcot
Leyden).12
d. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru.
Reversibilitas penyempitan saluran nafas yang merupakan ciri kahs asma dapat
dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20%atau lebih sesudah pemberian
bronkodilator.13
7. Diagnosis Banding
Emfisema paru
Sesak nafas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya.
Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung. Disamping gejala
sesak nafas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).
8. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma: 1
- Penyuluhan
- Menghindari faktor pencetus
- Pengendalian emosi
- Pemakaian oksigen
2. Pengobatan medikamentosa 1,9,10
Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi dua golongan yaitu antiinflamasi
merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan
dikenal dengan pengontrol, dan bronkodilator yang merupakan pengobatan saat serangan
untuk mencegah eksaserbasi/serangan dikenal dengan pelega.
a) Antiinflamasi (pengontrol)
- Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah agen anti inflamasi yang paling potensial dan merupakan anti
inflamasi yang secara konsisten efektif sampai saat ini. Efeknya secara umum adalah
untuk mengurangi inflamasi akut maupun kronik, menurunkan gejala asma, memperbaiki
aliran udara, mengurangi hiperresponsivitas saluran napas, mencegah eksaserbasi asma,
dan mengurangi remodelling saluran napas. Kortikosteroid terdiri dari kortikosteroid
inhalasi dan sistemik.
- Kromolin
Mekanisme yang pasti kromolin belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui
merupakan antiinflamasi non steroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast.
- Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi.
- Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Selain
bersifat bronkodilator juga mempunyai efek anti inflamasi.
- Metilxantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibanding
agonis beta 2.
- Antikolinergik
Pemberian secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin
dari saraf kolinergik pada jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan
tonus vagal intrinsik, selain itu juga menghambat reflek bronkokonstriksi yang
disebabkan iritan.
1. Atelektasis
2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis
3. Pneumothoraks
4. Gagal nafas
5. Bronkitis
10. Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-kira 10
juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian penderita asma wanita
dua kali lipat penderita asma pria. Juga suatu kenyataan bahwa angka kematian pada
serangan asma dengan usia lebih tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan di
mulai sejak kanak-kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun,
hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami
serangan commond cold 29% akan mengalami serangan ulangan.4
ANALISIS KASUS
Pasien datang ke IGD RMSH dengan keluhan utama sesak nafas yang semakin berat
sejak ± 1 hari yang lalu. Sesak nafas disertai mengi dan juga terdapat batuk. Ketiga gejala ini
merupakan gejala yang khas ditemukan pada pasien Asma Bronkiale. Hal tersebut terjadi
sesuai dengan patofisiologi dari penyakit ini, yaitu terjadinya obstruksi saluran nafas karena
inflamasi pada saluran nafas tersebut dan adanya peningkatan respon saluran nafas terhadap
berbagai rangsangan (hipereaktivitas). Penyempitan saluran nafas dapat terjadi baik pada
saluran nafas yang besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan
di saluran nafas besar, sedangkan pada saluran nafas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih
dominan dibanding mengi.
Etiologi dari asma bronkiale antara lain adalah paparan pasien dengan alergen, yang
dapat memicu reaksi inflamasi dan hipersensitivitas tipe 1 pada pasien ini. Alergen pada
pasien ini adalah makanan laut yang dikonsumsi pasien.
Pada anamnesis bisa ditegakkan bahwa pasien mengalami serangan asma derajat
sedang. Hal ini sesuai dengan klasifikasi GINA, dimana pada pasien ini didapatkan keluhan
sesak yang mulai mengganggu aktivitas, seperti jalan terbatas dan lebih suka duduk. Pasien
juga mulai berbicara dengan kalimat terbatas dan adanya mengi yang keras saat
menghembuskan nafas. Pasien juga bisa dikatakan mengalami sesak nafas derajat persisten
sedang, karena serangan asma 4-5 kali dalam sehari dan serangan asma saat tidur malam hari
1-2 kali.
Dari pemeriksaan fisik, pada keadaan umum peningkatan laju pernafasan (30x/menit),
ekspirasi yang memanjang dan terdapat wheezing ekspirasi. Obstruksi saluran nafas pada
asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi
dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran
nafas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya
obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi, sehingga didapatkan eskpirasi yang memanjang.
Penyempitan saluran nafas menyebabkan keadaan hipoksemia, sehingga paru melakukan
kompensasi untuk mengatasi kekurangan oksigen dengan melakukan hiperventilasi,
sehinggan laju pernafasan meningkat.
Pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan peningkatan pada netrofil, tidak menunjukkan
keadaan khas asma. Pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator didapatkan
FEV1 78% dan PEV 70%, menunjukkan terdapat obstruksi ringan (70 – 79%) pada pasien.
Pemeriksaan lain seperti Uji Provokasi Bronkus, rontgen dada, dan analisis gas darah belum
dilakukan.
Prinsip pengobatan asma akut adalah memelihara saturasi oksigen yang cukup (SaO2
≥ 92%) dengan memberikan oksigen, melebarkan saluran nafas dengan pemberian
bronkodilator aerosol (agonis beta 2 dan ipratropium bromida) dan mengurangi inflamasi
serta mencegah kekambuhan dengan memberikan kortikosteroid sistemik. Oleh karena itu,
pada pasien ini diberikan oksigen 5L/ menit , diminta istirahat dan diberi edukasi. Terapi
farmakologisnya adalah nebulizer Ferbivant 1 amp/ 20 menit dan evaluasi setelah 1 jam. Jika
belum ada perbaikan dilanjutkan pengobatan 1-3 jam dan pertimbangkan juga pemakaian
kortikosteroid pada pasien ini diberikan Fartisen 1 amp yang dilarukan dalam NaCL 0,9%.
Respon pengobatan sesak pada pasien sudah membaik sehingga pasien sebenarnya bisa
pulang dan dilanjutkan dengan pengobatan di rumah. Akan tetapi, pasien belum bisa
dipulangkan karena perlu observasi karena dicurigai adanya infeksi sekunder lain dilihat dari
pemeriksaan darah rutin netrofilnya yang meningkat
1. Sudoyo, A, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing.
2. Davey P. 2000. At a glance medicine. Jakarta : Erlangga. 178-180
3. Surjanto E. 2008. Derajat Asma dan Kontrol Asma. Jurnal Respirologi Indonesia. p. 88-
95.
4. Marleen FS, Yunus F. 2008. Asma pada UsiaLanjut. Jurnal Respirologi Indonesia.
p.165-73.
5. Widjaja A. Patogenesis Asma. 2003. Makalah Ilmiah Respirologi. Surakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. p.27.
6. Ward JPT. Ward J, Leach RM, Wiener CM. 2003. at a glance Sistem Respirasi. Jakarta:
Erlangga. p.54-57
7. Amin M, Alsagaff H, Saleh T. 1989. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press. p.1-11.
8. Manurung P, Yunus F, Wiyono WH, Jusuf A, Murti B. 2006. Hubungan Antara
Eosinofil Sputum dengan Hiperreaktivitas Bronkus pada Asma Persisten Sedang. Jurnal
Respirologi Indonesia. p.1-45
9. Mangunnegoro dkk. 2004. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI p.3-79.
10. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, wardani WI, Setiowulan W. 2001. Kapita Selekta
kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. p. 477-82.
11. Sundaru H. 2001. Asma Bronkial. Dalam Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. p.21-27.
12. Danususanto H. 2000. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates, p. 196-224.
13. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Asma. 2003. Jakarta: Konsesus Asma PDPI
14. Ratnawati J. 2011. Epidemiologi Asma. J Respir Indones 31(4):172-5.
15. Sihombing M, Alwi Q, Nainggolan O. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Penyakit Asma Pada Usia ≥10 Tahun di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2007). J
Respir Indones, 30(2):85-91.
16. Harsono, Bambang Irawan, dkk. 2003. Peranan Magnesium Pada Asma. Cermin Dunia
Kedokteran, 141 : 46-51.
17. Bellarny D. 2005. Spirometry in Practice: A Practicl Guide to Using Spirometry in
Primary Care. 2nd Edition. British: BTS COPD Consortium.
18. Uyainah A. 2012. Spirometri dalam Kompendium: Tatalaksana Penyakit Respirasi dan
Kritsi Paru. Jilid 2. Bandung: PERPARI. p.709-719