Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

ASMA BRONKIAL

PIMPINAN SIDANG : dr. Lenny Sihotang, Sp.PD


PENYAJI : Novianti Ratna Dewi (120100370)
Jaka Madda S.P (120100053)
Dina Firanda R.J. Bahroeny (120100050)
Namoratta Rumahorbo (120100200)
Daniel Hutagaol (120100050)

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :


Nilai :

COW Pembimbing Pimpinan Sidang

(dr. Douglas Siagian) (dr. Lenny Sihotang, Sp.PD)

COW Pembimbing

(dr. Wahyu)

COW Pembimbing

(dr. Faisal Sinurat)

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus kami yang berjudul
“Asma Bronkial”. Terima kasih kami ucapkan kepada dr. Lenny Sihotang, Sp.PD
selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian
laporan kasus ini. Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kasus
asma bronkial mulai dari pengertian hingga penatalaksanaan pada pasien yang dirawat
inap selama masa kepanitaan klinik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik,
Medan. Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan mendukung
penerapan klinis yang lebih baik dalam memberikan kontribusi positif sistem
pelayanan kesehatan secara optimal. Kami menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang
telah disusun ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengaharapkan kritik
dan saran yang membangun laporan kasus ini. semoga laporan kasus dapat bermanfaat
bagi semua pihak.

Medan, Desember 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………... iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………….. iii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………. iv
DAFTAR TABEL………………………………………………………. v
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………... 3
2.1. Pengertian Asma…………………………………………… 3
2.2. Epidemiologi Asma di Indonesia……..…………………… 3
2.3. Fenotip Asma…...………………………………..………… 5
2.4. Patofisiologi Asma..………………………………………... 6
2.5. Klasifikasi Asma………………………………………….. 8
2.6 Diagnosis Asma ………….………………………………... 10
2.7. Tatalaksana Asma…………..……………………………… 15
2.8. Edukasi Asma………..…….…………………………......... 17
2.9. Prognosis……….…………………………………............. 18
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT DAN FOLLOW UP……………… 19
3.1. Status Orang Sakit…………………………………………. 19
3.2. Follow up…………………………………………………... 30
BAB 4 DISKUSI KASUS………………………………………………. 33
BAB 5 KESIMPULAN…………………………………………………. 39
DAFTAR PUSTAKA 40

iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Prevalensi penyakit asma berdasarkan usia 13-14 tahun
di dunia pada tahun 2014…………………………………. 4
Gambar 2. Patofisiologi asma………………………………………… 6
Gambar 3. Pemeriksaan spirometri…………………………………. 12
Gambar 4. Peak Flow Meter………………………………………… 15
Gambar 5. Penatalaksanaan asma berdasarkan derajat keparahan
eksaserbasi………………………………………………… 15

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Prevalensi Penyakit Asma Menurut Karakteristik di Indonesia
Pada Tahun 2013........................................................................ 5
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Berat Asma Menurut GINA……………… 9
Tabel 3. Pengobatan Sesuai Berat Asma……………………………….. 16
Tabel 4. Waktu dan Bahan Edukasi Saat Kunjungan Berobat…………. 18

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis pada saluran
pernafasan dimana dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi
jalan napas. Inflamasi kronis ini berhubungan dengan hiperresponsivitas saluran
pernafasan terhadap berbagai stimulus, yang menyebabkan kekambuhan sesak
nafas (mengi), kesulitan bernafas, dada terasa sesak, dan batuk-batuk, yang terjadi
utamanya pada malam hari atau dini hari. Sumbatan saluran nafas ini bersifat
reversibel, baik dengan atau tanpa pengobatan1.
WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia saat ini terkena
penyakit asma dan diperkirakan akan mengalami penambahan 180.000 setiap
tahunnya2. Menurut Kemenkes RI tahun 2014, di Indonesia mengatakan penyakit
asma masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian5
Angka kejadian asma 80% terjadi di negara berkembang akibat kemiskinan,
kurangnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan fasilitas pengobatan. Angka
kematian yang disebabkan oleh penyakit asma diperkirakan akan meningkat 20%
untuk sepuluh tahun mendatang, jika tidak terkontrol dengan baik6. Provinsi
Sumatera Utara sendiri mempunyai prevalensi asma sebesar 2,4%. Kota Medan
yang merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara termasuk dalam kota terbesar
ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Asma merupakan penyakit yang
mengancam hidup. Penyakit asma menyebabkan disabilitas sebesar 1% penduduk
dunia per tahun. 1 dari 250 orang di dunia meninggal karena asma3. Berdasarkan
gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.
Penyebab pasti penyakit asma masih belum diketahui secara jelas7. Tetapi
faktor resiko umum yang mencetuskan asma yaitu udara dingin, debu, asap rokok,
stres, infeksi, kelelahan, alergi obat dan alergi makanan3. Asma tidak bisa
disembuhkan, tetapi dengan tatalaksana yang tepat, asma dapat terkontrol dan

1
kualitas hidup terjaga7. Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami
peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas1.
Selain itu, apabila asma terjadi pada usia dewasa muda akan mempengaruhi
tingkat produktivitas penderita. Kurangnya pengetahuan pasien dan masyarakat
tentang asma dan menganggap asma merupakan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, kurangnya upaya untuk melaksanakan pencegahan serangan asma di
rumah, serta belum terlihat adanya usaha yang baik dalam mengontrol dan
menghindari alergen9. Hal ini yang mengakibatkan kekambuhan pada pasien asma.
Usaha untuk menjaga agar tidak kambuh juga bergantung pada pengetahuan klien
terhadap penyakitnya, karena dengan pengetahuannya tersebut klien memiliki
alasan dan landasan untuk menentukan suatu pilihan4. Informasi dan pengetahuan
tentang asma sangat penting dimana yang harus diajarkan kepada pasien adalah
mengenal faktor pemicu serangan asma pada dirinya serta pemahaman tentang
pencegahan, perawatan dan kerja obat asma10. Strategi ini mengurangi frekuensi
gejala, eksaserbasi, dampak asma pada gaya hidup serta kekambuhan pada asma1.
Tingkat pengetahuan yang baik mempengaruhi frekuensi kekambuhan, karena
dengan pengetahuan yang baik penderita mampu melakukan pencegahan
kekambuhan yang berulang4.
Oleh karena itu, perlu bagi seorang dokter untuk mengenal penyakit asma
dan bagaimana tatalaksana yang benar pada penyakit asma.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Asma


Asma merupakan penyakit heterogen yang disebabkan oleh inflamasi
kronik saluran napas. Asma ditandai dengan adanya riwayat gejala respiratori
seperti mengi, sesak nafas, sesak dada, dan batuk yang bervariasi intensitas di setiap
episode disertai penurunan aliran udara ekspirasi yang bervariasi setiap episode
akibat obstruksi jalan napas yang reversibel. Sel yang terutama berperan dalam
inflamasi tersebut adalah sel mast, eosinofil, dan limfosit T.1

2.2. Epidemiologi Asma


Berdasarkan data WHO, hingga saat ini jumlah penderita asma di dunia
diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus
meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025. Asma dapat ditemukan pada
laki – laki dan perempuan di segala usia, terutama pada usia dini. Perbandingan
laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi
1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa. Laki-laki lebih
memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja dibandingkan
dengan perempuan6.
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti.
Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan
kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children)
melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%5, Provinsi Sumatera Utara sendiri
mempunyai prevalensi asma sebesar 2,4%. Kota Medan yang merupakan ibukota
Provinsi Sumatera Utara termasuk dalam kota terbesar ketiga di Indonesia setelah
Jakarta dan Surabaya. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius3.

3
Gambar 1. Prevalensi penyakit asma berdasarkan usia 13-14 tahun di dunia pada
tahun 20141.

Menurut karakteristik, prevalensi asma meningkat bertambahnya usia.


Prevalensi asma pada kelompok umur ≥ 45 tahun mulai menurun. Prevalensi asma
dan kanker pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Prevalensi
asma terlihat sama antara perkotaan dan perdesaan3.

4
Tabel 1. Prevalensi penyakit asma menurut karakteristik di Indonesia pada tahun
20133.

2.3. Fenotip Asma


Asma adalah penyakit heterogen dengan bermacam – macam penyakit
penyebabnya. Berbagai kelompok dengan demografis, klinis, dan/atau patofisiologi
karakteristik asma yang seragam disebut ‘fenotip asma’. Pada pasien dengan asma
berat, tatalaksana berdasarkan fenotip sudah tersedia, tetapi, hingga sekarang, tidak
ditemukan hubungan kuat antara gambaran klinis dengan pola klinis atau respon
pengobatan1.
Beberapa fenotipe asma yang sudah teridentifikasi adalah:
• Asma alergi
Asma alergi sering muncul pada masa anak dan berhubungan dengan riwayat
keluarga, seperti: eksema, rinitis alergi, atau alergi makanan atau obat. Pada
pemeriksaan sputum pasien sebelum pengobatan, inflamasi saluran pernapasan

5
disebabkan oleh eosinofil. Pasien dengan fenotip asma ini mempunyai respon baik
dengan pengobatan kortikosteroid inhalasi.
• Asma non alergi
Pasien dengan fenotip asma non alergi, profil sel pada sputum bisa ditemukan
neutrofil, eosinofil, atau sedikit sel inflamasi (paucigranulocytic). Pasien dengan
asma non alergi sering mempunyai respon kurang baik terhadap kortikosteroid
inhalasi.
• Asma onset telat
Fenotipe asma pada orang dewasa, umumnya wanita, dengan serangan asma
pertama pada usia dewasa. Pasien ini cenderung non alergi dan mayoritas
membutuhkan dosis kortikosteroid inhalasi lebih tinggi atau relatif refrakter
terhadap tatalaksana kortikosteroid.
• Asma dengan keterbatasan aliran udara menetap
Beberapa pasien asma yang sudah lama berkembang sehingga terjadai keterbatasan
aliran udara menetap yang diduga terjadi karena remodeling dinding saluran nafas.
• Asthma dengan obesitas
Beberapa pasien dengan obesitas mempunyai gejala respiratorik lebih menonjol dan

inflamasi jalan nafas akibat eosinofil yang sedikit2.

2.4. Patofisiologi

Gambar 2. Patofisiologi Asma

6
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran
napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel
saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos
bronkus juga diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas.
Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang
khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat
terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam
rangsang8,13.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis
yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang
didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC
(Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T penolong inilah yang akan
memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma
membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil,
neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti
histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF),
bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan
mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran
pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular,
edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya
plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga
menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat
menginduksi pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan
stress.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom
pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas
saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus
terjadi karena adanya peregangan nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator

7
inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada
beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan
SO2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel
mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi,
edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel
inflamasi8,13.

2.5. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai1,2.
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi 4 yaitu
- Asma intermitten, ditandai dengan :
1) gejala kurang dari 1 kali seminggu
2) eksaserbasi singkat
3) gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan
4) bronkodilator diperlukan bila ada serangan
5) jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid
6) APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi
7) variabiliti APE atau VEP1 < 20%
- Asma persisten ringan, ditandai dengan :
1) gejala asma malam >2x/bulan
2) eksaserbasi >1x/minggu, tetapi 1x/minggu
3) eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur
4) membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari

8
5) APE atau VEP1 60-80%
6) variabiliti APE atau VEP1 >30%
- Asma persisten sedang, ditandai dengan:
1) Gejala hampir tiap hari
2) Gejala asma malam > 1 kali per minggu
3) Eksaserbasi mempengaruhi aktifitas dan tidur
4) Membutuhkan steroid inhalasi dan bronkodilator setiap hari
5) APE atau VEP1 60-80%
6) Variabiliti APE atau VEP1 > 30%
- Asma persisten berat, ditandai dengan :
1) APE atau VEP1 30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Berat Serangan Asma menurut GINA1,2.

9
2.6. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada, dan variabilitas yang berkaitan
dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik12.

Riwayat penyakit / gejala:


 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit:


 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema, dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas, sebagai kompensasi, penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak

10
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya
disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi,
dan penggunaan otot bantu napas.

Faal paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea
dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain
untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai
berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
 obstruksi jalan napas
 reversibiliti kelainan faal paru
 Variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif
jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).

Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kerjasama penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai
yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.

11
Gambar 3. Pemeriksaan Spirometri
Cara Pemeriksaan Spirometri:
- Dilakukan pengukuran tinggi badan, kemudian tentukan besar nilai dugaan
berdasarkan nilai standar faal paru Pneumobile Project Indonesia
- Pemeriksaan sebaliknya dilakukan dalam posisi berdiri
- Penilaian meliputi pemeriksaan VC, FVC, FEV1, MVV :
a. Kapasitas vital (Vital Capasity, VC)
 Pilih pemeriksaan kapasitas vital pada alat spirometri
 Menerangkan manuver yang akan dilakukan
 Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak ada
kebocoran
 Instruksikan pasien menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian
udara dikeluarkan sebanyak mungkin melalui mouthpiece
 Manuver dilakukan minimal 3 kali

12
b. Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capasity, FVC) dan Volume
ekspirasi paksa detik pertama (Forced Expiratory Volume in One
Second, FEV1)
 Pilih pemeriksaan FVC pada alat spirometri
 Menerangkan manuver yang akan dilakukan
 Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak
ada kebocoran
 Istruksikan pasien menghirup udara semaksimal mungkin dengan cepat
kemudian sesegera mungkin udara dikeluarkan melalui mouth piece
dengan tenaga maksimal hingga udara dapat dikeluarkan sebanyak-
banyaknya
 Nilai FEV1 ditentukan dari FVC dalam 1 detik pertama (otomatis)
 Pemeriksaan dilakukan 3 kali
c. Maksimal Voluntary Ventilation (MVV)
 Pilih pemeriksaan MVV pada alat spirometri
 Menerangkan manuver yang akan dilakukan
 Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak
ada kebocoran
 Instruksikan pasien bernapas cepat dan dalam selama 15 detik
 Manuver dilakukan 1 kali

- Menampilkan hasil di layar spirometri dan mencetak hasil grafik.


- Menentukan interpretasi hasil uji faal paru (spirometri).

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :


 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ³ 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid

13
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis
asma
 Menilai derajat berat asma.

Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter(PEF meter) yang
relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di
berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat
darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter
maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk
memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ³ 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons
terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
 Variabilitas, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabilitas APE
harian selama 1-2 minggu. Variabilitas juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru
lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat
obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan
nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai
terbaik penderita yang bersangkutan.

14
Gambar 4. Peak Flow Meter

2.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma
terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu
bulan1,2.

Gambar 5. Penatalaksanaan asma berdasarkan derajat keparahan eksaserbasi1,2.

15
Tabel 3. Pengobatan sesuai berat asma1,2.

Rujuk kasus ke ahli paru layak dilakukan pada keadaan :


 Tidak respons dengan pengobatan
 Pada serangan akut yang mengancam jiwa
 Tanda dan gejala tidak jelas(atipik), atau masalah dalam diagnosis banding,
atau komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid); seperti sinusitis, polip
hidung, aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi pita suara, refluks
gastroesofagus dan PPOK

16
Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan standar, seperti uji
kulit (uji alergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji provokasi bronkus, uji latih
(kardiopulmonary exercise test), bronkoskopi dan sebagainya.

2.8. Edukasi
Edukasi tidak hanya ditujukan untuk penderita dan keluarga tetapi juga
pihak lain yang membutuhkan seperti11 :
 Pemegang keputusan, pembuat perencanaan bidang kesehatan / asma
 Profesi kesehatan
 Masyarakat luas (guru, karyawan, dll).
Edukasi kepada pasien / keluarga bertujuan untuk :
 Meningkatkan pemahaman mengenai penyakit asma secara umum
 Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma)
 Meningkatkan kepuasan
 Meningkatkan rasa percaya diri
 Meningkatkan kepatuhan dan penanganan mandiri.
Edukasi harus dilakukan terus menerus, dapat dilakukan secara perorangan
maupun berkelompok dengan berbagai metode. Pada prinsipnya edukasi diberikan
pada10 :
 Kunjungan awal (I)
 Kunjungan kemudian (II) yaitu 1-2 minggu kemudian dari kunjungan pertama
 Kunjungan berikut (III)
 Kunjungan – kunjungan berikutnya

17
Tabel 4. Waktu dan bahan edukasi, saat kunjungan berobat.

2.9. Prognosis
Keadaan yang berkaitan dengan prognosis yang kurang baik antara lain12:
a. Asma tidak terkontrol secara klinis
b. Eksaserbasi sering terjadi dalam satu tahun terakhir
c. Menjalani perawatan kritis karena asma
d. VEP1 ysng rendah
e. Paparan terhadap asap rokok
f. Pengobatan dosis tinggi

18

Anda mungkin juga menyukai