ASMA BRONKIAL
COW Pembimbing
(dr. Wahyu)
COW Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus kami yang berjudul
“Asma Bronkial”. Terima kasih kami ucapkan kepada dr. Lenny Sihotang, Sp.PD
selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian
laporan kasus ini. Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kasus
asma bronkial mulai dari pengertian hingga penatalaksanaan pada pasien yang dirawat
inap selama masa kepanitaan klinik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik,
Medan. Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan mendukung
penerapan klinis yang lebih baik dalam memberikan kontribusi positif sistem
pelayanan kesehatan secara optimal. Kami menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang
telah disusun ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengaharapkan kritik
dan saran yang membangun laporan kasus ini. semoga laporan kasus dapat bermanfaat
bagi semua pihak.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………... iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………….. iii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………. iv
DAFTAR TABEL………………………………………………………. v
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………... 3
2.1. Pengertian Asma…………………………………………… 3
2.2. Epidemiologi Asma di Indonesia……..…………………… 3
2.3. Fenotip Asma…...………………………………..………… 5
2.4. Patofisiologi Asma..………………………………………... 6
2.5. Klasifikasi Asma………………………………………….. 8
2.6 Diagnosis Asma ………….………………………………... 10
2.7. Tatalaksana Asma…………..……………………………… 15
2.8. Edukasi Asma………..…….…………………………......... 17
2.9. Prognosis……….…………………………………............. 18
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT DAN FOLLOW UP……………… 19
3.1. Status Orang Sakit…………………………………………. 19
3.2. Follow up…………………………………………………... 30
BAB 4 DISKUSI KASUS………………………………………………. 33
BAB 5 KESIMPULAN…………………………………………………. 39
DAFTAR PUSTAKA 40
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Prevalensi penyakit asma berdasarkan usia 13-14 tahun
di dunia pada tahun 2014…………………………………. 4
Gambar 2. Patofisiologi asma………………………………………… 6
Gambar 3. Pemeriksaan spirometri…………………………………. 12
Gambar 4. Peak Flow Meter………………………………………… 15
Gambar 5. Penatalaksanaan asma berdasarkan derajat keparahan
eksaserbasi………………………………………………… 15
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Prevalensi Penyakit Asma Menurut Karakteristik di Indonesia
Pada Tahun 2013........................................................................ 5
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Berat Asma Menurut GINA……………… 9
Tabel 3. Pengobatan Sesuai Berat Asma……………………………….. 16
Tabel 4. Waktu dan Bahan Edukasi Saat Kunjungan Berobat…………. 18
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1
kualitas hidup terjaga7. Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami
peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas1.
Selain itu, apabila asma terjadi pada usia dewasa muda akan mempengaruhi
tingkat produktivitas penderita. Kurangnya pengetahuan pasien dan masyarakat
tentang asma dan menganggap asma merupakan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, kurangnya upaya untuk melaksanakan pencegahan serangan asma di
rumah, serta belum terlihat adanya usaha yang baik dalam mengontrol dan
menghindari alergen9. Hal ini yang mengakibatkan kekambuhan pada pasien asma.
Usaha untuk menjaga agar tidak kambuh juga bergantung pada pengetahuan klien
terhadap penyakitnya, karena dengan pengetahuannya tersebut klien memiliki
alasan dan landasan untuk menentukan suatu pilihan4. Informasi dan pengetahuan
tentang asma sangat penting dimana yang harus diajarkan kepada pasien adalah
mengenal faktor pemicu serangan asma pada dirinya serta pemahaman tentang
pencegahan, perawatan dan kerja obat asma10. Strategi ini mengurangi frekuensi
gejala, eksaserbasi, dampak asma pada gaya hidup serta kekambuhan pada asma1.
Tingkat pengetahuan yang baik mempengaruhi frekuensi kekambuhan, karena
dengan pengetahuan yang baik penderita mampu melakukan pencegahan
kekambuhan yang berulang4.
Oleh karena itu, perlu bagi seorang dokter untuk mengenal penyakit asma
dan bagaimana tatalaksana yang benar pada penyakit asma.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 1. Prevalensi penyakit asma berdasarkan usia 13-14 tahun di dunia pada
tahun 20141.
4
Tabel 1. Prevalensi penyakit asma menurut karakteristik di Indonesia pada tahun
20133.
5
disebabkan oleh eosinofil. Pasien dengan fenotip asma ini mempunyai respon baik
dengan pengobatan kortikosteroid inhalasi.
• Asma non alergi
Pasien dengan fenotip asma non alergi, profil sel pada sputum bisa ditemukan
neutrofil, eosinofil, atau sedikit sel inflamasi (paucigranulocytic). Pasien dengan
asma non alergi sering mempunyai respon kurang baik terhadap kortikosteroid
inhalasi.
• Asma onset telat
Fenotipe asma pada orang dewasa, umumnya wanita, dengan serangan asma
pertama pada usia dewasa. Pasien ini cenderung non alergi dan mayoritas
membutuhkan dosis kortikosteroid inhalasi lebih tinggi atau relatif refrakter
terhadap tatalaksana kortikosteroid.
• Asma dengan keterbatasan aliran udara menetap
Beberapa pasien asma yang sudah lama berkembang sehingga terjadai keterbatasan
aliran udara menetap yang diduga terjadi karena remodeling dinding saluran nafas.
• Asthma dengan obesitas
Beberapa pasien dengan obesitas mempunyai gejala respiratorik lebih menonjol dan
2.4. Patofisiologi
6
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran
napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel
saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos
bronkus juga diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas.
Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang
khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat
terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam
rangsang8,13.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis
yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang
didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC
(Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T penolong inilah yang akan
memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma
membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil,
neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti
histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF),
bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan
mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran
pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular,
edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya
plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga
menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat
menginduksi pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan
stress.
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom
pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas
saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus
terjadi karena adanya peregangan nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator
7
inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada
beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan
SO2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel
mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi,
edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel
inflamasi8,13.
2.5. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai1,2.
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi 4 yaitu
- Asma intermitten, ditandai dengan :
1) gejala kurang dari 1 kali seminggu
2) eksaserbasi singkat
3) gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan
4) bronkodilator diperlukan bila ada serangan
5) jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid
6) APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi
7) variabiliti APE atau VEP1 < 20%
- Asma persisten ringan, ditandai dengan :
1) gejala asma malam >2x/bulan
2) eksaserbasi >1x/minggu, tetapi 1x/minggu
3) eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur
4) membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari
8
5) APE atau VEP1 60-80%
6) variabiliti APE atau VEP1 >30%
- Asma persisten sedang, ditandai dengan:
1) Gejala hampir tiap hari
2) Gejala asma malam > 1 kali per minggu
3) Eksaserbasi mempengaruhi aktifitas dan tidur
4) Membutuhkan steroid inhalasi dan bronkodilator setiap hari
5) APE atau VEP1 60-80%
6) Variabiliti APE atau VEP1 > 30%
- Asma persisten berat, ditandai dengan :
1) APE atau VEP1 30%
9
2.6. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada, dan variabilitas yang berkaitan
dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik12.
Pemeriksaan fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema, dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas, sebagai kompensasi, penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak
10
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya
disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi,
dan penggunaan otot bantu napas.
Faal paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea
dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain
untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai
berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
obstruksi jalan napas
reversibiliti kelainan faal paru
Variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif
jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kerjasama penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai
yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
11
Gambar 3. Pemeriksaan Spirometri
Cara Pemeriksaan Spirometri:
- Dilakukan pengukuran tinggi badan, kemudian tentukan besar nilai dugaan
berdasarkan nilai standar faal paru Pneumobile Project Indonesia
- Pemeriksaan sebaliknya dilakukan dalam posisi berdiri
- Penilaian meliputi pemeriksaan VC, FVC, FEV1, MVV :
a. Kapasitas vital (Vital Capasity, VC)
Pilih pemeriksaan kapasitas vital pada alat spirometri
Menerangkan manuver yang akan dilakukan
Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak ada
kebocoran
Instruksikan pasien menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian
udara dikeluarkan sebanyak mungkin melalui mouthpiece
Manuver dilakukan minimal 3 kali
12
b. Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capasity, FVC) dan Volume
ekspirasi paksa detik pertama (Forced Expiratory Volume in One
Second, FEV1)
Pilih pemeriksaan FVC pada alat spirometri
Menerangkan manuver yang akan dilakukan
Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak
ada kebocoran
Istruksikan pasien menghirup udara semaksimal mungkin dengan cepat
kemudian sesegera mungkin udara dikeluarkan melalui mouth piece
dengan tenaga maksimal hingga udara dapat dikeluarkan sebanyak-
banyaknya
Nilai FEV1 ditentukan dari FVC dalam 1 detik pertama (otomatis)
Pemeriksaan dilakukan 3 kali
c. Maksimal Voluntary Ventilation (MVV)
Pilih pemeriksaan MVV pada alat spirometri
Menerangkan manuver yang akan dilakukan
Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak
ada kebocoran
Instruksikan pasien bernapas cepat dan dalam selama 15 detik
Manuver dilakukan 1 kali
13
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis
asma
Menilai derajat berat asma.
14
Gambar 4. Peak Flow Meter
2.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma
terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu
bulan1,2.
15
Tabel 3. Pengobatan sesuai berat asma1,2.
16
Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan standar, seperti uji
kulit (uji alergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji provokasi bronkus, uji latih
(kardiopulmonary exercise test), bronkoskopi dan sebagainya.
2.8. Edukasi
Edukasi tidak hanya ditujukan untuk penderita dan keluarga tetapi juga
pihak lain yang membutuhkan seperti11 :
Pemegang keputusan, pembuat perencanaan bidang kesehatan / asma
Profesi kesehatan
Masyarakat luas (guru, karyawan, dll).
Edukasi kepada pasien / keluarga bertujuan untuk :
Meningkatkan pemahaman mengenai penyakit asma secara umum
Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma)
Meningkatkan kepuasan
Meningkatkan rasa percaya diri
Meningkatkan kepatuhan dan penanganan mandiri.
Edukasi harus dilakukan terus menerus, dapat dilakukan secara perorangan
maupun berkelompok dengan berbagai metode. Pada prinsipnya edukasi diberikan
pada10 :
Kunjungan awal (I)
Kunjungan kemudian (II) yaitu 1-2 minggu kemudian dari kunjungan pertama
Kunjungan berikut (III)
Kunjungan – kunjungan berikutnya
17
Tabel 4. Waktu dan bahan edukasi, saat kunjungan berobat.
2.9. Prognosis
Keadaan yang berkaitan dengan prognosis yang kurang baik antara lain12:
a. Asma tidak terkontrol secara klinis
b. Eksaserbasi sering terjadi dalam satu tahun terakhir
c. Menjalani perawatan kritis karena asma
d. VEP1 ysng rendah
e. Paparan terhadap asap rokok
f. Pengobatan dosis tinggi
18