Anda di halaman 1dari 36

Referat Session

Asma

OLEH :

Dolly Hasbi Rahman (21100707360803014)


Syifa Ilhami A.S (211007073608015)
Anjelika Fitria Sari (21100707360803020 )
Herdila marjulita dewi (21100707360803057)

PRESEPTOR:

dr. Febianne Eldrian, Sp.A, M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSI SITI RAHMAH PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, dan segala

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Referat yang berjudul

“Asma ” ini dengan sebagaimana mestinya. Referat ini merupakan salah satu tugas

kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSI Siti Rahmah. Referat ini

membahas mengenai pengertian Asma sampai tatalaksananya. Penulis

mengucapkan terimakasih kepada pembimbing dr. Febianne Eldrian Sp.A,

M.Biomed yang telah memberikan pengarahan dalam menyelesaikan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan.

Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

dari pembaca. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terimakasih.

Padang, Mei 2023

Penulis
ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
1.3 Manfaat Penulisan ................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
2.1 Asma ...................................................................................................... 3
2.1.1 Definisi ........................................................................................ 3
2.1.2 Epidemiologi ............................................................................... 3
2.1.3 Faktor Risiko ............................................................................... 4
2.1.4 Patofisiologi ................................................................................ 5
2.1.5 Klasifikasi .................................................................................... 13
2.1.6 Diagnosis ..................................................................................... 16
2.1.7 Tahapan Penegakkan Diagnosis Asma........................................ 19
2.1.8 Penatalaksanaan Umum............................................................... 19
2.1.9 Tatalaksana Jangka Panjang ........................................................ 27
2.1.10 Indikasi Rawat Inap ................................................................... 31
BAB V KESIMPULAN .................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 33

iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan penyakit yang dapat menyerang semua orang, baik anak

maupun dewasa, dengan gejala utama wheezing. Diperkirakan secara global,

terdapat 334 juta orang penderita asma di dunia. Global disease burden menyatakan

penyakit asma kebanyakan terdapat di negara berkembang dengan pendapatan yang

rendah.1

Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu

penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori.

Inflamasi kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori

seperti: wheezing (mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu

maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara ekspiratori.2

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan kekerapan timbulnya gejala

seperti asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, asma

persisten berat, berdasarkan derajat, klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai

dasar penentuan tatalaksana, dan berdasarkan derajat kendali dipakai untuk menilai

keberhasilan tatalaksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang

(step up), pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step down) tatalaksana

yang akan diberikan.1

Berdasarkan data WHO 2019, asma adalah suatu masalah kesehatan sering

banyak ditemukan di kalangan masyarakat dan juga memiliki angka kesakitan dan

kematian yang tinggi. Tidak hanya menyerang pada anak- anak bahkan seluruh

rentang usia. Diperkirakan sebanyak 255 juta orang menderita penyakit asma

1
didunia. Telah tercatat pada tahun 2019 sebanyak 426.000 orang meninggal karena

asma.3 Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 mendapatkan angka

prevalensi penyakit asma pada semua umur di Indonesia adalah 4,5% prevalensi

asma menunjukkan angka sekitar 5,0% (Riskesdas, 2018), dan meningkat menjadi

5,8% Riskesdas (2019). Dengan prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah (7,8%).

Sementara itu, angka kejadian asma di Sumatera Barat sebesar 2,7%. Di Indonesia

prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5%

pada usia sekolah menengah pertama.2

1.2 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui dan menambah wawasan mengenai Asma pada anak.

2. Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian ilmu

kesehatan anak RSI Siti Rahmah Padang tahun 2023.

1.3 Manfaat Penulisan

1. Sebagai informasi dan menambah wawasan mengenai asma pada anak.

2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda untuk menjalankan

kepaniteraan klinik senior terutama di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSI Siti

Rahmah Padang.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma

2.1.1 Definisi

Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu

penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori.

Inflamasi kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori

seperti: wheezing(mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu

maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara ekspiratori.2

International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma mendefinisikan asma

sebagai gangguan inflamasi kronik yang berhubungan dengan obstruksi saluran

respiratori dan hiperresponsif bronkus, yang secara klinis ditandai dengan adanya

wheezing, batuk, dan sesak napas yang berulang.4 UKK Respirologi IDAI

mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi

kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori

dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing,

sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel,

cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada

pencetus.1

2.1.2 Epidemiologi

Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai

pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju

maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan

3
pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor

maupun outdoor.3

Menurut data WHO 2019, Asma adalah suatu masalah kesehatan sering

banyak ditemukan di kalangan masyarakat dan juga memiliki angka kesakitan dan

kematian yang tinggi. Tidak hanya menyerang pada anak- anak bahkan seluruh

rentang usia. Diperkirakan sebanyak 255 juta orang menderita penyakit asma

didunia. Telah tercatat pada tahun 2019 sebanyak 426.000 orang meninggal karena

asma.3

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 mendapatkan angka

prevalensi penyakit asma pada semua umur di Indonesia adalah 4,5% prevalensi

asma menunjukkan angka sekitar 5,0% (Riskesdas, 2018), dan meningkat menjadi

5,8% Riskesdas (2019). Dengan prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah (7,8%).

Sementara itu, angka kejadian asma di Sumatera Barat sebesar 2,7%. Di Indonesia

prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5%

pada usia sekolah menengah pertama.2

2.1.3 Faktor Resiko

Secara umum faktor risiko dibedakan menjadi 2 yaitu faktor genetik dan faktor

lingkungan3 :

1. Faktor genetik

a. Hiperaktivitas

b. Atopi/alergi bronkus

c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

d. Jenis kelamin

4
e. Ras/etnik

2. Faktor lingkungan

a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur dll)

b. Alergen di luar ruangan

c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewama makanan, kacang,

makanan laut, susu sapi, telur)

d. Obat-obatan tertentu (golongan) aspirin, NSAID, beta bloker dll)

e. Bahan yang mengiritasi ( misalnya parfum)

f. Ekpresi emosi yang berlebihan

g. Asap rokok

h. Polusi udara

i. Olahraga yang berat

j. Perubahan cuaca

2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi


A. Patogenesis a. Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratori

+
Sedikitnya ada dua jenis T3helper (Th1 dan Th2), limfosit subtipe CD4

telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T
mensekresi interleukin-3 (IL-3) dan granulocyte3 macrophage
colony3stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2,
IFH dan TNFH . Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang
terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang
dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe
lambat ataupun cell3 mediated.
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh selHsel aksesoris, yaitu suatu proses
yang melibatkan molekul major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel
T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan antigen

5
presenting cells (APC) yang utama dalam saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, membentuk jaringan luas, dan
sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratori. Kemudian,
sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan selHsel limfoid di bawah pengaruh GM-
CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag,
dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah ke daerah yang banyak
mengandung limfosit. Di tempat tersebut, dengan pengaruh sitokinHsitokin lainnya,
sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif. Sel dendritik juga
mendorong polarisasi sel T naïve-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi
sekresi sitokinHsitokin yang termasuk dalam klaster gen 5q31-33 (IL34
genecluster).

Gambar 3.1. Patogenesis asma (Diambil dari Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma management and prevention. National Institute of Health.
National Heart, Lung, and Blood Institute; 2002)

Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien
asma atopi dan nonatopi wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit
THeosinofil sangat penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat oleh
ditemukannya sel yang mengekspresikan ILH5 pada biopsi bronkus pasien asma
atopi. ILH5 merupakan sitokin yang penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat
keberadaannya pada mukosa saluran respiratori pasien asma berkorelasi dengan
aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.

6
Sel-sel Inflamasi yang Berperan pada Asma

Sel mast, sel mast yang teraktifasi melepaskan mediator bronkokonstriksi


(histamin, leukotrien sisteinil, prostaglandin D2). Sel tersebut diaktivasi
oleh alergen melalui reseptor IgE yang berafinitas tinggi, juga oleh stimulus
osmotik (misalnya bronkokontriksi yang diinduksi oleh olahraga).
Meningkatnya jumlah sel mast pada otot polos saluran respiratori dapat
dihubungkan dengan hiperreaktivitas saluran respiratori.

Eosinofil, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, melepaskan


protein dasar yang dapat merusak sel epitel saluran respiratori. Juga
berperan dalam pelepasan growthfactor dan airwayremodeling.

Limfosit T, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, memproduksi


sitokin spesifik, di antaranya ILH4, ILH5, ILH9, dan ILH13 yang
membantu proses inflamasi eosinofilik dan produksi IgE oleh limfosit B.
Peningkatan pada aktifitas sel Th2 mungkin sebagian karena penurunan sel
T regulator yang normalnya menghambat sel Th2. Juga terjadi peningkatan
sel inKT, yang melepaskan Th1 dalam jumlah banyak dan sitokin Th2.

Sel dendritik, menangkap alergen dari permukaan saluran respiratori lalu


bermigrasi ke kelenjar getah bening regional. Di kelenjar getah bening,
mereka berinteraksi dengan sel T regulator dan akhirnya menstimulus
produksi sel Th2 dari sel T naif.

Makrofag, jumlahnya meningkat pada saluran napas, dapat diaktivasi oleh


alergen melalui reseptor IgE yang berafinitas rendah untuk memproduksi
mediator inflamasi dan sitokin yang memperkuat respons inflamasi.

Neutrofil, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori dan dahak pasien


dengan asma berat dan pasien asma yang merokok, namun peranan
patofisiologi dari sel ini masih belum jelas dan peningkatannya dapat pula
disebabkan oleh terapi steroid.

b. Inflamasi kronik dan akut


Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respons
alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat.
Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE-
spesifik terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen

7
alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara
sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi
mediatorHmediator seperti histamin, proteolitik, enzim glikolitik, dan heparin
serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan
oksigen reaktif. BersamaH sama dengan mediatorHmediator yang sudah
terbentuk sebelumnya, mediatorHmediator ini menginduksi kontraksi otot
polos saluran respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus,
vasodilatasi, dan kebocoran mikrovaskuler.
Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari
mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selama
berlangsung pajanan alergen, aktivasi selHsel pada saluran respiratori
menghasilkan sitokinHsitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya
leukosit proinflamasi terutama eosinofil dan selprekursornyadarisumsum tulang ke
dalam sirkulasi.
c. Remodeling saluran respiratori
Remodeling saluran respiratori merupakan serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur
sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, produksi
berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors (TGFH ),
dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini
merupakan proses yang penting pada remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi
akan memproduksi faktorHfaktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang
menyebabkan proliferasi selHsel otot polos saluran respiratori, meningkatkan
permeabilitas mikrovaskular, serta memperbanyak vaskularisasi, neovaskularisasi,
dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul, termasuk kompleks
proteoglikan pada dinding saluran respiratori, dapat diamati pada pasien yang
meninggal karena asma dan hal ini secara langsung
berhubungandenganlamanyapenyakit.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet
kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik
dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma memperlihatkan

8
perubahan struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran respiratori. Selama ini, asma dipercaya sebagai suatu obstruksi saluran
respiratori yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang
menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi
dengan inhalasi steroid. Akan tetapi, beberapa pasien asma mengalami obstruksi
saluran respiratori residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan
gejala. Hal ini menunjukkan adanya remodeling saluran respiratori.

Gambar 3.2. Inflamasi dan remodeling pada asma.(Diambil dari GINA 2002)

Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperreaktivitas


saluran respiratori yang nonspesifik, terutama pada pasien yang waktu
penyembuhannya lama (lebih dari satu hingga dua tahun) atau yang tidak sembuh
sempurna setelah terapi steroid hirupan.

Penyempitan Saluran Respiratori pada Asma

Kontraksi otot polos saluran respiratori sebagai respons terhadap berbagai mediator
bronkokonstriksi dan neurotransmiter dan merupakan mekanisme utama dari penyempitan
saluran respiratori dan sebagian besar normal kembali dengan bronkodilator.

Edema saluran napas disebabkan peningkatan kebocoran mikrovaskuler sebagai respons


terhadap mediator inflamasi. Hal ini kemungkinan sangat berperan selamaeksaserbasiakut.

Penebalan saluran napas karena perubahan struktural, seringkali disebut remodeling,


mungkin penting dalam penyakit yang lebih parah dan
tidaksepenuhnyareversibeldenganterapiyangadasaatini.

9
Hipersekresi mukus dapat menyebabkan oklusi luminal (“mucus plugging”) dan
merupakan produk dari peningkatan sekresi mukus dan eksudat inflamasi.

b. Patofisiologi a. Obstruksi saluran respiratori


Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran respiratori
menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik secara spontan
maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi dihubungkan
dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan hiperreaktivitas
saluran respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin
disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh mediator
inflamasi. Terutama pada anak, batuk berulang dapat menjadisatusatunya gejala
asma yang ditemukan.

Gambar 3.3. Patofisiologi asma bronkial. Seperti pada asma dewasa, asma anak ditandai
dengan adanya inflamasi saluran respiratori kornik dan remodeling. Hiperresponsivitas
saluran respiratori diperberat oleh kerusakan epitel saluran respiratori yang disebabkan
oleh inflamasi. (Diambil dari: Yuhei H, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S,
Nishimuta T, dkk. Japanese guideline for childhood asthma. Allergol
Int.2014;63:335H56.)

Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.


Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot polos
bronkus yang diprovokasi o.leh pelepasan. Yang termasuk agonis adalah histamin,
triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropeptida dari saraf

10
aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot
polos saluran respiratori diperkuat oleh penebalan dinding saluran respiratori akibat
edema akut, infiltrasi selHsel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan
hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan selHsel sekretori, serta deposisi
matriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan saluran respiratori
juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel
goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular
bronkus, dan debris selular.

Gambar 3.4. Remodeling saluran respiratori pada asma.(Diambil dari ICON 2012)

Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada


bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi dicetuskan
oleh berbagai faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll. Faktor tersebut juga
menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran respiratori penderita asma.
Inflamasi dan hiperreaktivitas menyebabkan obstruksi saluran respiratori.
Meskipun perubahan patofisiologis yang berkaitan dengan asma pada umumnya
reversibel, penyembuhan sebagian/parsial dapat terjadi. b. Hiper-reaktivitas
saluran respiratori
Penyempitan saluran respiratori secara berlebihan merupakan patofisiologi
yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini

11
belum diketahui. Akan tetapi, kemungkinan berhubungan dengan perubahan otot
polos saluran respiratori (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder,
yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran
respiratori terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran
respiratori selama kontraksi otot polos.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan
stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif,
kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1).
Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisis, hiperventilasi, udara kering, aerosol
garam hipertonik, dan adenosin tidak memunyai efek langsung terhadap otot polos
(tidak seperti histamin dan metakolin) tetapi dapat merangsang pelepasan mediator
dari sel mast, ujung serabut saraf, atau selHsel lain pada saluran respiratori.
Dikatakan hiperreaktif bila dengan cara pemberian histamin didapatkan penurunan
FEV1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.
2.1.5 Klasifikasi

Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala:

Berdasarkan kekerapan timbulnnya gejala asma dapat dibagi menjadi :

a. Asma intermiten yaitu episode asma < 6x/tahun atau jarak antar gejala ≥ 6

minggu

b. Asma persisten ringan yaitu episode gejala > 1x /bulan, < 1x/ minggu

c. Asma persisten sedang yaitu episode gejala asma > 1x/minggu, namun

tidak setiap hari

d. Asma persisten berat yaitu episode gejala asma terjadi hamper setiap

hari.1

12
1
Tabel 1. Derajat kekerapan asma

Berdasarkan derajat beratnya serangan:

Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala

akut yang memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma.

a. Asma serangan ringan-sedang

b. Asma serangan berat

c. Serangan asma dengan ancaman henti napas

Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan

tatalaksana1

Tabel 2. Berdasarkan derajat beratnnya serangan1

13
Berdasarkan derajat kendali

Tujuan utama tatalaksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma

terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan

kualitas hidup pasien baik.

a. Asma terkendali penuh (well controlled)

- Tanpa obat pengendali pada asma intermiten

- Dengan obat pengendali pada asma persisten (ringan/ sedang/ berat)

b. Asma terkendali sebagian (partly controlled)

c. Asma tidak terkendali (uncontrolled)

14
Dalam pedoman ini, klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai

keberhasilan tatalaksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang

(step up), pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step down) tatalaksana

yang akandiberikan.1,6

1
Tabel 3. Berdasarkan derajat kendali

Berdasarkan keadaan saat ini:


a. Tanpa gejala

b. Ada gejala

c. Serangan ringan-sedang

d. Serangan berat

e. Ancaman gagal napas

15
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala

gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi

dari gejala-gejala tersebut.1

2.1.6 Diagnosis

Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik yaitu melalui

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis memegang

peranan sangat penting mengingat diagnosis asma anak sebagian besar ditegakkan

secara klinis.1

1. Anamnesis

Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi

klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori

asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan,

dan produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang) dapat

menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan

karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma.

Karakteristik yang mengarah ke asma adalah :

a. Gejala timbul secara episodik atau berulang.

b. Timbul bila ada faktor pencetus.


• Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu

dingin, udara kering,makanan minuman dingin, penyedap rasa,

pengawet makanan, pewarna makanan.

• Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari. •

Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold,

rinofaringitis.

16
• Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa
berlebihan.

c. Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.

d. Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan


dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).

e. Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan

pemberian obat pereda asma.2

2. Pemeriksaan fisik

Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien

biasanya tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau

sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung audible wheeze

atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain

pada pasien seperti dermatitis atopi atau rhinitis alergi, dan dapat pula dijumpai

tanda alergi seperti allergic shiners atau geographictongue.2

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas

akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya

atopi pada pasien.

a. Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk

menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan

dengan peak flow meter.

b. Uji cukit kulit (skin pricktest), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE

spesifik.

c. Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide),

eosinofil sputum.

17
d. Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin

hipertonik.5

Gambar 1. Alur diagnosis asma pada anak1,2

2.1.7 Tahapan Penegakan Diagnosa Asma

1. Diagnosis kerja asma

Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tatalaksana umum

yaitu penghindaran pencetus, pereda, dan tatalaksana penyakit penyulit

2. Diagnosis klasifikasi kekerapan

Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi klinis

sudah kuat.

18
3. Diagnosis derajat kendali

Dibuat setelah 6 minggu menjalani tatalaksana jangka panjang awal sesuai

klasifikasi kekerapan.6

2.1.8 Penatalaksanaan Umum

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan

dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal

tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Tujuan penatalaksanaan asma:

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

2. Mencegah eksaserbasi akut

3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise

5. Menghindari efek samping obat

6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel 7.

Mencegah kematian karena asma

Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan

kendali asma serta menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal.

Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)

dan obat pengendali (controller). Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat

pelega atau obat serangan.Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau

gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada

lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan.1

Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk mencegah

serangan asma.Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi

19
respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Pemakaian obat

ini secara terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada

kekerapan gejala asma dan responsnya terhadap pengobatan atau

penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi inhalasi

atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid–agonis β2 kerja panjang, teofilin

lepas lambat, dan anti Himunoglobulin E.1

Gambar 2. Alur Tatalaksana Asma.1

20
Obat Obat Serangan Asma

1. Agonis β2 kerja pendek

Gejala asma ringan sedang memberikan respons yang cepat terhadap

inhalasi agonis β2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi pilihan utama

bagi serangan asma ringan sedang yang terjadi! Dirumah maupun di fasilitas

layanan kesehatan. Pemberiannya dapat diulang hingga 2 kali dengan interval 20

menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera dibawa

ke fasilitas layanan kesehatan terdekat, sedangkan bila pemberian 2 kali sudah

dilakukan di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi

dengan ipratropium bromida. Obat ini juga diberikan sebagai premedikasi untuk

serangan asma yang dipicu latihan exercise induced asthma. Contoh agonis β2

kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin,dan prokaterol.6

21
2. Ipratropium bromida

Kombinasi agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromida

(antikolinergik) pada serangan asma ringan-sedang menurunkan risiko rawat

inap dan memperbaiki PEF dan FEV1 dibandingkan dengan 2-agonis saja.

Kombinasi tersebut dapat diberikan sebagai obat pulang yang dipakai di rumah

jika pasien dapat diedukasi dengan baik dan dapat menilai bahwa serangan yang

terjadi dinilai berat. Ipratropium bromida terbukti memberikan efek dilatasi

bronkus lewat peningkatan tonus para simpatis dalam inervasi

otonom di saluran napas. 1,6

3. Aminofilin intravena

Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan serangan asma berat atau

dengan ancaman henti napas yang tidak berespons terhadap dosis maksimal

inhalasi agonis β2 dan steroid sistemik. Penambahan aminofilin pada terapi

awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam

pertama, tetapi tidak mengurangi gejala,jumlah nebulisasi dan lama rawat inap.

Dosis yang direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial bolus pelan 6-8

mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan

secara drip 1 mg/kgBB/jam. Loading1 mg/kgBB akan meningkatkan kadar

aminofilin serum 2 ug/ml. untuk target kadar aminofilin serum adalah 10-20

ug/ml. oleh karena itu kadar aminodilin serum

seharusnnya diukur 1-2 jam setelah loading dose diberikan. 6

22
4. Steroid sistemik

Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan

mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua

jenis serangan. Jika memungkinkan, steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama.

Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan pemberian secara

intravena. Keuntungan pemberian per oral adalah lebih murah dan tidak invasif.

Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk memberikan

perbaikan klinis. Pemberian secara intravena direkomendasikan bila pasien

tidak dapat menelan obat (misalnya terlalu sesak, muntah atau pasien

memerlukan intubasi). Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon

diberikan per oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum

sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 3-5 hari

tanpa tapering off.

Kortikosteroid sistemik yang diberikan pada awal pengobatan eksaserbasi

asma akut di UGD secara keseluruhan terbukti efektif dan direkomendasikan

oleh pedoman asma yang berbeda seperti GINA dan EPR3. Terjadi peningkatan

fungsi paru-paru hanya dengan kortikosteroid sistemik dosis sedang atau tinggi.

Kortikosteroid sistemik memberikan manfaat yang bermakna secara klinis pada

pasien yang mengalami asma akut.7

Tidak ada manfaat tambahan yang signifikan dari kortikosteroid sistemik

bila diberikan pada dosis tinggi sekitar 60-80 mg/hari atau 2 mg/kg/hari

sehubungan dengan fungsi paru.Studi juga menunjukkan tidak ada perbedaan

23
dalam efikasi atau onset kerja antara pemberian oral dan IV.Pada anak-anak

juga, prednisolon oral ditemukan setara dengan metilprednisolon IV dalam hal

lamanya pasien dirawat di rumah sakit.Selain itu, pengobatan oral lebih hemat

biaya.Pedoman GINA dan EPR3 lebih memilih pemberian oral karena kurang

invasif kecuali pada pasien dengan masalah penyerapan atau mereka yang tidak

dapat mengambil secara oral karena beratnya gangguan pernapasan atau karena

mereka muntah.7

Pada anak-anak, dosis tunggal deksametason 0,6 mg/kg dengan maksimum

18 mg ditemukan setara dengan prednisolon 2 mg/kg/ di dalam dua dosis

terbagi selama 5 hari dalam hal resolusi gejala. Juga tidak ada manfaat dari

penggunaan dosis lancip dibandingkan rejimen dosis tetap. Karena kepatuhan

yang buruk pada prednison oral setelah keluar dari keadaan darurat, injeksi

metilprednisolon intramuskular dipelajari sebagai alternatif tetapi tidak

ditemukan lebih unggul, ditambah ada bukti reaksi merugikan di tempat

suntikan seperti adanya nyeri dan memar.7

5. Steroid Inhalasi Dosis Tinggi Pada Asma Serangan Berat

Kortikosteroid inhalasi efektif dalam penanganan eksaserbasi asma akut

pada semua tingkat keparahan. Penggunaan kortikosteroid inhalasi pada asma

serangan berat bertujuan untuk mempersingkat serangan asma. Mekanisme

kerja dari kotrikosteroid inhlasi melalui 2 jalur yaitu jalur genomic dan jalur non

genomic, jalur genomic bekerja pada regulasi gen target, dengan cara

meningkatkan gen pengkode antiinflamasi dan menurunkan gen pengkode

proinflamasi sehingga menekan faktor inflamasi pada pembuluh darah saluran

nafas, sedangkan jalur non genomic diperantarai oleh merkanisme seluler cepat

24
dan menginduksi vasokontriksi saluran nafas, sehinggan pemberian

kortikosteroid memiliki peran dalam pengendalian gejala dari asma akut.7

Kortikosteroid inhlasi diberikan dalam satu jam pertama masuk rumah sakit dan

dapat diberikan secara bersamaan dengan Agonis β2 kerja pendek diberikan

dengan cara dicampur atau terpisah, dapat diulang setiap 20 menit, hingga tiga

dosis untuk satu jam pertama atau dapat diberikan 2 dosis dalam satu jam

pertama, dosis selanjutnnya ditentukan oleh hasil evaluasi gejala klinis setelah

pemberian 2 dosis pada satu jam pertama.7

Obat pilihan utama pada inhalasi kortikosteroid yaitu budesonide jika

budesonide tidak tersedia dapat mengunakaan flutikason. Budesonide memiliki

waktu penyerapan yang lebih cepat yaitu 1 jam dan bertahan lebih lama pada

saluran nafas, sedangkan fluticasone waktu penyerapannya adalah 7 jam.

Budesonide memiliki resiko yang rendah terjadinnya pneumonia dan efek

samping sistemik yang rendah, sedangkan flutikason dengan dosis tinggi

meningkatkan resiko terjadinnya pneumonia Dosis nebulisasi kortikosteroid

yang direkomendasikan adalah 0,5-1 mg untuk budesonide dan 1 mg untuk

fluticason per dosis dengan total dosis harian 2 mg diberikan selama 15 menit

pada eksaserbasi asma akut pada anak-anak.7

Tabel 4. Perbandingan Budesonide dan Fluticasone

25
2.1.9 Tatalaksana Jangka Panjang

Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma

anak berdasarkan kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan

tatalaksana umum berupa penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan asma dapat

ditentukan dalam waktu enam minggu. Pada asma intermiten tidak dibutuhkan

tatalaksana asma jangka panjang sesuai dengan jenjang 1, sedangkan pada asma

persisten dilakukan tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai

jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan

jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis derajat kendali dibuat

setelah 6 minggu menjalani tatalaksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi

kekerapan.1,5,6

26
Gambar 3 : Jenjang dalam tatalaksana asma jangka panjang pada anak usia
> 5 tahun.
Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tatalaksana jangka panjang menggunakan
klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 6-8 minggu dan
asma belum terkendali, maka tatalaksana naik jenjang ke atasnya (step
up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan
asma terkendali penuh, maka tatalaksana turun jenjang kebawahnya (step
down).
4. Perubahan jenjang tatalaksana harus memperhatikan aspek- aspek penghindaran
penyakit penyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tatalaksana ditambahkan omalizumab. 1

Pengendalian asma senantiasa dilakukan berdasarkan derajat kendali asma.

Apabila asma belum terkendali maka dilakukan pemberian obat sesuai jenjang

selanjutnya. Sebelumnnya perlu dicermati apakah dosis, cara pemberian obat yang

diberikan sudah tepat, apakah penghindaran faktor pencetus telah dilaksanankan

dengan benar. Pada setiap jenjang pengendalian, apabila terjadi

serangan/eksaserbasi asma, pasien harus mendapat obat pereda yaitu inhalasi

agonis β2 kerja pendek.1,2

27
Jenjang 1

Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat

pengendali, hanya mengalami gejala ringan s2 kali/minggu dan di antara

serangan pasien tidak mengalami gangguan tidur maupun aktivitas sehari hari.

Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat pereda berupa inhalasi agonis ß2

kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai alternatif bisa

diberikan obat inhalasi agonis B2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium

bromida, agonis ß2 kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral.

Pengendalian asma dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat pereda asma.

Bila pemakaian obat pereda asma melebihi dua kanister setiap bulannya,

menandakan anak memerlukan obat pengendali asma. Pada tatą laksana jangka

panjang jenjang 1, 2, 3, dan 4 pemilihan obat dinilai berdasarkan pengurangan

gejala asma, perbaikan fungsi paru, dan penurunan frekuensi eksaserbasi asma.

Pada pasien yang memiliki faktor risiko dapat

dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi dosis rendah.1,2

Jenjang 2

Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi

dosis rendah, sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan antileukotrien

yang diberikan pada pasien asma yang tidak memungkinkan menggunakan

steroid inhalasi atau pada pasien yang menderita asma disertai rinitis alergi.

Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena efikasinya lebih rendah dan

lebih sering menimbulkan efek samping.1,2,4

Jenjang 3

28
Jenjang 3 Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun

ialah kombinasi steroid dosis rendah-agonis 82 kerja panjang. Pilihan lainnya

ialah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada dosis menengah. Pemberian

melalui inhalasi dosis terukur dengan spacer akan memperbaiki deposisi obat di

paru, mengurangi impaksi obat di orofaring dan mengurangi efek sistemik.

Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-

antileukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-teofilin lepas

lambat.2,4

Jenjang 4

Jenjang 4 Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3

sebaiknya dirujuk kepada dokter spesialis respirologi anak untuk

pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini pasien asma dikategorikan sebagai asma

sulit

(difficult-to-treat asthma). Pilihan pertama pada jenjang 4 ialah kombinasi

steroid inhales dosis menengah-agonis ß2 kerja panjang. Menaikkan dosis

steroid inhalasi dari dosis sedang ke dosis tinggi hanya memberikan sedikit

perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah pemberian steroid inhalasi

dosis sedang-agonis 82 kerja panjang diberikan selama 6-8 minggu. Pilihan lain

pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis tinggiantileukotrin atau

kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-teofilin lepas lambat. Pada jenjang ini

dapat dipertimbangkan penambahan anti- imunoglobulin E (omalizumab) yang

dapat memperbaiki pengendalian asma yang disebabkan karena alergi.2,4

Jenjang 5

29
Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter spesialis

respirologi anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut, oleh karena

itu tata laksana pada jenjang ini tidak dituliskan dalam gambar. Pada jenjang ini

mulai dipertimbangkan pemberian steroid oral, oleh karena itu pasien harus

dijelaskan tentang kemungkinan efek samping yang timbul akibat pemberian

steroid oral jangka panjang dan berbagai alternatif pilihan pengobatan.

Pengendalian asma harus dimonitor teratur tergantung kondisi pasien, derajat

asma, dan penyakit lain yang menyertai asma. Pada umumnya pasien dimonitor

setiap bulan dan pencapaian perbaikan setelah 3 bulan. Selain jenis obat, dosis

obat, cara pemberian obat dan kepatuhan, pasien asma senantiasa perlu dipantau

bagaimana upaya penghindaran faktor pencetus dan adanya penyakit penyerta

asma. Penurunan dosis steroid dipertimbangkan setiap 8-12 minggu dengan

penurunan dosis sebesar 25-50%.2,4

2.1.10 Indikasi Rawat Inap

Rawat inap pada pasien asma diruangan inap biasa ataupun diruang

intensive tergangtung berat ringannya gejala asma yang dialami oleh respon terapi

di unit rawat darurat, gambaran klinis dari serangan, tes fungsi paru (FEV1/PEF

sebelum terapi <25% prediksi atau FEV1/PEF <40% (setelah terapi) dan faktor

sosial ekonomi pasien.7

Pasien-pasien yang memiliki resiko tinggi untuk terjadi serangan ulangan

seperti ada dirawat atau datang ke ruang rawat darurat karena serangan asma dalam

satu tahun terakhir, mengunakan kortikosteroid sistemik, menggunakan beberapa

jenis obat asma, sebelumnnya pernah dengan serangan berat atau mengancam jiwa,

30
ada masalah psikologis serta mengunakan beta2 agonis inhalasi secara regular,

kehamilan tua. Kondisi ini juga merupakan pertimbangan untuk dirawat inap.7

BAB III

KESIMPULAN

Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang

mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat

31
bervariasi. Etiologi dari asma masih belum jelas akan tetapi berbubungan erat

dengan faktor genetic dan alergi (atopi), biokimiawi, saraf otonom, imunologis,

infeksi, endokrin, psikologis, lingkungan dan lainnya, karena itu asma disebut

penyakit multifaktorial.

Asma diklasifikasikan berdasarkan kekerapan timbulnya gejala, beratnya

serangan, derajat kendali dan berdasarkan keadaan saat ini. Diagnosis asma dapat

ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Penatalaksanaan asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat Pereda

(reliever) dan obat pengendali (controller) dimana tujuan utama penatalaksanaan

asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita

asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI. UKK Respirologi. pedoman nasional asma anak. 2 nd ed. PP ikatan


dokter anak Indonesia. 2016;2(2):5-56.

32
2. The Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma
management and prevention.The GINA report. 2014:2-72.
3. Runtuwenw I, Wahani A, dkk. Prevalensi dan factor-faktor risiko yang
menyebabkan asma pada anak. Sari Pediatri. 2016;4(2):3-4.
4. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R,
dkk. International consensus on (ICON) pediatric asthma.Allergy.
2012;67:967-97.
5. Akib, Arwin Ap. Asma pada anak. Sari Pediatri. 2016;4(2):78-81.
6. Bernstein D, Steven shelov. Ilmu Kesehatan Anak. Pediatrics for medical
student. EGC. 2014;3:420-426.
7. Juel-Berg N, Darling P, Bolvig J, et al. Intranasal corticosteroids compared with
oral antihistamines in allergic rhinitis: a systematic review and metaanalysis.
SAGE.2017;(1):4-10.
8. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis. PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2009;250-255..
9. Rahajoe, Nastiti N, Supriyatno. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: IDAI;
2008.
10. Guyton AC, John EH. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.

33

Anda mungkin juga menyukai