Asma
OLEH :
PRESEPTOR:
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, dan segala
“Asma ” ini dengan sebagaimana mestinya. Referat ini merupakan salah satu tugas
kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSI Siti Rahmah. Referat ini
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit yang dapat menyerang semua orang, baik anak
terdapat 334 juta orang penderita asma di dunia. Global disease burden menyatakan
rendah.1
Inflamasi kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori
seperti: wheezing (mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu
seperti asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, asma
dasar penentuan tatalaksana, dan berdasarkan derajat kendali dipakai untuk menilai
keberhasilan tatalaksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang
(step up), pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step down) tatalaksana
Berdasarkan data WHO 2019, asma adalah suatu masalah kesehatan sering
banyak ditemukan di kalangan masyarakat dan juga memiliki angka kesakitan dan
kematian yang tinggi. Tidak hanya menyerang pada anak- anak bahkan seluruh
rentang usia. Diperkirakan sebanyak 255 juta orang menderita penyakit asma
1
didunia. Telah tercatat pada tahun 2019 sebanyak 426.000 orang meninggal karena
prevalensi penyakit asma pada semua umur di Indonesia adalah 4,5% prevalensi
asma menunjukkan angka sekitar 5,0% (Riskesdas, 2018), dan meningkat menjadi
Sementara itu, angka kejadian asma di Sumatera Barat sebesar 2,7%. Di Indonesia
prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5%
kepaniteraan klinik senior terutama di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSI Siti
Rahmah Padang.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma
2.1.1 Definisi
Inflamasi kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori
seperti: wheezing(mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu
respiratori dan hiperresponsif bronkus, yang secara klinis ditandai dengan adanya
wheezing, batuk, dan sesak napas yang berulang.4 UKK Respirologi IDAI
dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing,
sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel,
cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada
pencetus.1
2.1.2 Epidemiologi
pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju
3
pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor
maupun outdoor.3
Menurut data WHO 2019, Asma adalah suatu masalah kesehatan sering
banyak ditemukan di kalangan masyarakat dan juga memiliki angka kesakitan dan
kematian yang tinggi. Tidak hanya menyerang pada anak- anak bahkan seluruh
rentang usia. Diperkirakan sebanyak 255 juta orang menderita penyakit asma
didunia. Telah tercatat pada tahun 2019 sebanyak 426.000 orang meninggal karena
asma.3
prevalensi penyakit asma pada semua umur di Indonesia adalah 4,5% prevalensi
asma menunjukkan angka sekitar 5,0% (Riskesdas, 2018), dan meningkat menjadi
Sementara itu, angka kejadian asma di Sumatera Barat sebesar 2,7%. Di Indonesia
prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5%
Secara umum faktor risiko dibedakan menjadi 2 yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan3 :
1. Faktor genetik
a. Hiperaktivitas
b. Atopi/alergi bronkus
d. Jenis kelamin
4
e. Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
g. Asap rokok
h. Polusi udara
j. Perubahan cuaca
+
Sedikitnya ada dua jenis T3helper (Th1 dan Th2), limfosit subtipe CD4
telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T
mensekresi interleukin-3 (IL-3) dan granulocyte3 macrophage
colony3stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2,
IFH dan TNFH . Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang
terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang
dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe
lambat ataupun cell3 mediated.
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh selHsel aksesoris, yaitu suatu proses
yang melibatkan molekul major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel
T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan antigen
5
presenting cells (APC) yang utama dalam saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, membentuk jaringan luas, dan
sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratori. Kemudian,
sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan selHsel limfoid di bawah pengaruh GM-
CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag,
dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah ke daerah yang banyak
mengandung limfosit. Di tempat tersebut, dengan pengaruh sitokinHsitokin lainnya,
sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif. Sel dendritik juga
mendorong polarisasi sel T naïve-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi
sekresi sitokinHsitokin yang termasuk dalam klaster gen 5q31-33 (IL34
genecluster).
Gambar 3.1. Patogenesis asma (Diambil dari Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma management and prevention. National Institute of Health.
National Heart, Lung, and Blood Institute; 2002)
Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien
asma atopi dan nonatopi wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit
THeosinofil sangat penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat oleh
ditemukannya sel yang mengekspresikan ILH5 pada biopsi bronkus pasien asma
atopi. ILH5 merupakan sitokin yang penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat
keberadaannya pada mukosa saluran respiratori pasien asma berkorelasi dengan
aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.
6
Sel-sel Inflamasi yang Berperan pada Asma
7
alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara
sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi
mediatorHmediator seperti histamin, proteolitik, enzim glikolitik, dan heparin
serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan
oksigen reaktif. BersamaH sama dengan mediatorHmediator yang sudah
terbentuk sebelumnya, mediatorHmediator ini menginduksi kontraksi otot
polos saluran respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus,
vasodilatasi, dan kebocoran mikrovaskuler.
Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari
mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selama
berlangsung pajanan alergen, aktivasi selHsel pada saluran respiratori
menghasilkan sitokinHsitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya
leukosit proinflamasi terutama eosinofil dan selprekursornyadarisumsum tulang ke
dalam sirkulasi.
c. Remodeling saluran respiratori
Remodeling saluran respiratori merupakan serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur
sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, produksi
berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors (TGFH ),
dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini
merupakan proses yang penting pada remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi
akan memproduksi faktorHfaktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang
menyebabkan proliferasi selHsel otot polos saluran respiratori, meningkatkan
permeabilitas mikrovaskular, serta memperbanyak vaskularisasi, neovaskularisasi,
dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul, termasuk kompleks
proteoglikan pada dinding saluran respiratori, dapat diamati pada pasien yang
meninggal karena asma dan hal ini secara langsung
berhubungandenganlamanyapenyakit.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet
kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik
dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma memperlihatkan
8
perubahan struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran respiratori. Selama ini, asma dipercaya sebagai suatu obstruksi saluran
respiratori yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang
menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi
dengan inhalasi steroid. Akan tetapi, beberapa pasien asma mengalami obstruksi
saluran respiratori residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan
gejala. Hal ini menunjukkan adanya remodeling saluran respiratori.
Gambar 3.2. Inflamasi dan remodeling pada asma.(Diambil dari GINA 2002)
Kontraksi otot polos saluran respiratori sebagai respons terhadap berbagai mediator
bronkokonstriksi dan neurotransmiter dan merupakan mekanisme utama dari penyempitan
saluran respiratori dan sebagian besar normal kembali dengan bronkodilator.
9
Hipersekresi mukus dapat menyebabkan oklusi luminal (“mucus plugging”) dan
merupakan produk dari peningkatan sekresi mukus dan eksudat inflamasi.
Gambar 3.3. Patofisiologi asma bronkial. Seperti pada asma dewasa, asma anak ditandai
dengan adanya inflamasi saluran respiratori kornik dan remodeling. Hiperresponsivitas
saluran respiratori diperberat oleh kerusakan epitel saluran respiratori yang disebabkan
oleh inflamasi. (Diambil dari: Yuhei H, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S,
Nishimuta T, dkk. Japanese guideline for childhood asthma. Allergol
Int.2014;63:335H56.)
10
aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot
polos saluran respiratori diperkuat oleh penebalan dinding saluran respiratori akibat
edema akut, infiltrasi selHsel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan
hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan selHsel sekretori, serta deposisi
matriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan saluran respiratori
juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel
goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular
bronkus, dan debris selular.
Gambar 3.4. Remodeling saluran respiratori pada asma.(Diambil dari ICON 2012)
11
belum diketahui. Akan tetapi, kemungkinan berhubungan dengan perubahan otot
polos saluran respiratori (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder,
yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran
respiratori terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran
respiratori selama kontraksi otot polos.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan
stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif,
kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1).
Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisis, hiperventilasi, udara kering, aerosol
garam hipertonik, dan adenosin tidak memunyai efek langsung terhadap otot polos
(tidak seperti histamin dan metakolin) tetapi dapat merangsang pelepasan mediator
dari sel mast, ujung serabut saraf, atau selHsel lain pada saluran respiratori.
Dikatakan hiperreaktif bila dengan cara pemberian histamin didapatkan penurunan
FEV1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.
2.1.5 Klasifikasi
a. Asma intermiten yaitu episode asma < 6x/tahun atau jarak antar gejala ≥ 6
minggu
b. Asma persisten ringan yaitu episode gejala > 1x /bulan, < 1x/ minggu
c. Asma persisten sedang yaitu episode gejala asma > 1x/minggu, namun
d. Asma persisten berat yaitu episode gejala asma terjadi hamper setiap
hari.1
12
1
Tabel 1. Derajat kekerapan asma
akut yang memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma.
Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan
tatalaksana1
13
Berdasarkan derajat kendali
terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan
14
Dalam pedoman ini, klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai
keberhasilan tatalaksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang
(step up), pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step down) tatalaksana
yang akandiberikan.1,6
1
Tabel 3. Berdasarkan derajat kendali
b. Ada gejala
c. Serangan ringan-sedang
d. Serangan berat
15
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi
2.1.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik yaitu melalui
peranan sangat penting mengingat diagnosis asma anak sebagian besar ditegakkan
secara klinis.1
1. Anamnesis
klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori
asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan,
dan produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang) dapat
rinofaringitis.
16
• Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa
berlebihan.
2. Pemeriksaan fisik
biasanya tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau
sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung audible wheeze
atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain
pada pasien seperti dermatitis atopi atau rhinitis alergi, dan dapat pula dijumpai
3. Pemeriksaan penunjang
a. Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk
b. Uji cukit kulit (skin pricktest), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE
spesifik.
eosinofil sputum.
17
d. Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik.5
Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tatalaksana umum
Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi klinis
sudah kuat.
18
3. Diagnosis derajat kendali
klasifikasi kekerapan.6
dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal
kendali asma serta menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal.
Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller). Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat
pelega atau obat serangan.Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau
gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada
serangan asma.Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi
19
respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Pemakaian obat
ini secara terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada
20
Obat Obat Serangan Asma
inhalasi agonis β2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi pilihan utama
bagi serangan asma ringan sedang yang terjadi! Dirumah maupun di fasilitas
menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera dibawa
dengan ipratropium bromida. Obat ini juga diberikan sebagai premedikasi untuk
serangan asma yang dipicu latihan exercise induced asthma. Contoh agonis β2
21
2. Ipratropium bromida
inap dan memperbaiki PEF dan FEV1 dibandingkan dengan 2-agonis saja.
Kombinasi tersebut dapat diberikan sebagai obat pulang yang dipakai di rumah
jika pasien dapat diedukasi dengan baik dan dapat menilai bahwa serangan yang
3. Aminofilin intravena
Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan serangan asma berat atau
dengan ancaman henti napas yang tidak berespons terhadap dosis maksimal
awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam
pertama, tetapi tidak mengurangi gejala,jumlah nebulisasi dan lama rawat inap.
Dosis yang direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial bolus pelan 6-8
aminofilin serum 2 ug/ml. untuk target kadar aminofilin serum adalah 10-20
22
4. Steroid sistemik
jenis serangan. Jika memungkinkan, steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama.
Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan pemberian secara
intravena. Keuntungan pemberian per oral adalah lebih murah dan tidak invasif.
tidak dapat menelan obat (misalnya terlalu sesak, muntah atau pasien
diberikan per oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum
sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 3-5 hari
oleh pedoman asma yang berbeda seperti GINA dan EPR3. Terjadi peningkatan
fungsi paru-paru hanya dengan kortikosteroid sistemik dosis sedang atau tinggi.
bila diberikan pada dosis tinggi sekitar 60-80 mg/hari atau 2 mg/kg/hari
23
dalam efikasi atau onset kerja antara pemberian oral dan IV.Pada anak-anak
lamanya pasien dirawat di rumah sakit.Selain itu, pengobatan oral lebih hemat
biaya.Pedoman GINA dan EPR3 lebih memilih pemberian oral karena kurang
invasif kecuali pada pasien dengan masalah penyerapan atau mereka yang tidak
dapat mengambil secara oral karena beratnya gangguan pernapasan atau karena
mereka muntah.7
terbagi selama 5 hari dalam hal resolusi gejala. Juga tidak ada manfaat dari
yang buruk pada prednison oral setelah keluar dari keadaan darurat, injeksi
kerja dari kotrikosteroid inhlasi melalui 2 jalur yaitu jalur genomic dan jalur non
genomic, jalur genomic bekerja pada regulasi gen target, dengan cara
nafas, sedangkan jalur non genomic diperantarai oleh merkanisme seluler cepat
24
dan menginduksi vasokontriksi saluran nafas, sehinggan pemberian
Kortikosteroid inhlasi diberikan dalam satu jam pertama masuk rumah sakit dan
dengan cara dicampur atau terpisah, dapat diulang setiap 20 menit, hingga tiga
dosis untuk satu jam pertama atau dapat diberikan 2 dosis dalam satu jam
pertama, dosis selanjutnnya ditentukan oleh hasil evaluasi gejala klinis setelah
waktu penyerapan yang lebih cepat yaitu 1 jam dan bertahan lebih lama pada
fluticason per dosis dengan total dosis harian 2 mg diberikan selama 15 menit
25
2.1.9 Tatalaksana Jangka Panjang
Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma
ditentukan dalam waktu enam minggu. Pada asma intermiten tidak dibutuhkan
tatalaksana asma jangka panjang sesuai dengan jenjang 1, sedangkan pada asma
persisten dilakukan tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai
jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis derajat kendali dibuat
kekerapan.1,5,6
26
Gambar 3 : Jenjang dalam tatalaksana asma jangka panjang pada anak usia
> 5 tahun.
Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tatalaksana jangka panjang menggunakan
klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 6-8 minggu dan
asma belum terkendali, maka tatalaksana naik jenjang ke atasnya (step
up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan
asma terkendali penuh, maka tatalaksana turun jenjang kebawahnya (step
down).
4. Perubahan jenjang tatalaksana harus memperhatikan aspek- aspek penghindaran
penyakit penyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tatalaksana ditambahkan omalizumab. 1
Apabila asma belum terkendali maka dilakukan pemberian obat sesuai jenjang
selanjutnya. Sebelumnnya perlu dicermati apakah dosis, cara pemberian obat yang
27
Jenjang 1
serangan pasien tidak mengalami gangguan tidur maupun aktivitas sehari hari.
Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat pereda berupa inhalasi agonis ß2
bromida, agonis ß2 kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral.
Bila pemakaian obat pereda asma melebihi dua kanister setiap bulannya,
menandakan anak memerlukan obat pengendali asma. Pada tatą laksana jangka
gejala asma, perbaikan fungsi paru, dan penurunan frekuensi eksaserbasi asma.
Jenjang 2
Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi
steroid inhalasi atau pada pasien yang menderita asma disertai rinitis alergi.
Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena efikasinya lebih rendah dan
Jenjang 3
28
Jenjang 3 Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun
ialah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada dosis menengah. Pemberian
melalui inhalasi dosis terukur dengan spacer akan memperbaiki deposisi obat di
lambat.2,4
Jenjang 4
pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini pasien asma dikategorikan sebagai asma
sulit
steroid inhalasi dari dosis sedang ke dosis tinggi hanya memberikan sedikit
dosis sedang-agonis 82 kerja panjang diberikan selama 6-8 minggu. Pilihan lain
kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-teofilin lepas lambat. Pada jenjang ini
Jenjang 5
29
Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter spesialis
respirologi anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut, oleh karena
itu tata laksana pada jenjang ini tidak dituliskan dalam gambar. Pada jenjang ini
mulai dipertimbangkan pemberian steroid oral, oleh karena itu pasien harus
asma, dan penyakit lain yang menyertai asma. Pada umumnya pasien dimonitor
setiap bulan dan pencapaian perbaikan setelah 3 bulan. Selain jenis obat, dosis
obat, cara pemberian obat dan kepatuhan, pasien asma senantiasa perlu dipantau
Rawat inap pada pasien asma diruangan inap biasa ataupun diruang
intensive tergangtung berat ringannya gejala asma yang dialami oleh respon terapi
di unit rawat darurat, gambaran klinis dari serangan, tes fungsi paru (FEV1/PEF
sebelum terapi <25% prediksi atau FEV1/PEF <40% (setelah terapi) dan faktor
seperti ada dirawat atau datang ke ruang rawat darurat karena serangan asma dalam
jenis obat asma, sebelumnnya pernah dengan serangan berat atau mengancam jiwa,
30
ada masalah psikologis serta mengunakan beta2 agonis inhalasi secara regular,
kehamilan tua. Kondisi ini juga merupakan pertimbangan untuk dirawat inap.7
BAB III
KESIMPULAN
Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
31
bervariasi. Etiologi dari asma masih belum jelas akan tetapi berbubungan erat
dengan faktor genetic dan alergi (atopi), biokimiawi, saraf otonom, imunologis,
infeksi, endokrin, psikologis, lingkungan dan lainnya, karena itu asma disebut
penyakit multifaktorial.
serangan, derajat kendali dan berdasarkan keadaan saat ini. Diagnosis asma dapat
Penatalaksanaan asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat Pereda
asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
32
2. The Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma
management and prevention.The GINA report. 2014:2-72.
3. Runtuwenw I, Wahani A, dkk. Prevalensi dan factor-faktor risiko yang
menyebabkan asma pada anak. Sari Pediatri. 2016;4(2):3-4.
4. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R,
dkk. International consensus on (ICON) pediatric asthma.Allergy.
2012;67:967-97.
5. Akib, Arwin Ap. Asma pada anak. Sari Pediatri. 2016;4(2):78-81.
6. Bernstein D, Steven shelov. Ilmu Kesehatan Anak. Pediatrics for medical
student. EGC. 2014;3:420-426.
7. Juel-Berg N, Darling P, Bolvig J, et al. Intranasal corticosteroids compared with
oral antihistamines in allergic rhinitis: a systematic review and metaanalysis.
SAGE.2017;(1):4-10.
8. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis. PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2009;250-255..
9. Rahajoe, Nastiti N, Supriyatno. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: IDAI;
2008.
10. Guyton AC, John EH. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.
33