Anda di halaman 1dari 27

Referat

UPDATE PENATALAKSANAAN ASMA BRONKIAL PADA


ANAK BERDASARKAN GLOBAL INITIATIVE FOR ASTHMA
(GINA) 2021

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara

Oleh:

Dio Gusfanny, S. Ked


20061120

Preseptor:

dr. Ade Saifan Surya, Sp. A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM CUT MUTIA
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
FAKULTAS KEDOKTERAN
ACEH UTARA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena hanya dengan rahmat, karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Update Penatalaksanaan Asma Bronkial
Pada Anak Berdasarkan GINA 2021” sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih banyak
kepada dr. Ade Saifan Surya, Sp. A sebagai pembimbing yang telah
meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS
di bagian/KSM Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
referat ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan referat ini. Semoga
dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.

Lhokseumawe, Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3


2.1 Definisi......................................................................................................3
2.2 Etiopatogenesis..........................................................................................3
2.3 Epidemiologi.............................................................................................5
2.4 Manifestasi klinis......................................................................................6
2.5 Pemeriksaan penunjang.............................................................................7
2.6 Diagnosis...................................................................................................9
2.7 Diagnosa banding....................................................................................13
2.8 Penatalaksanaan Asma pada anak berdasarkan GINA 2021...................13

BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pathway Asma bronkial (11)................................................................10


Gambar 2. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit (12)...............................14
Gambar 3. Alur diagnosa asma (3)........................................................................15
Gambar 4. Guideline tatalaksana asma pada anak usia 6-11 tahun (3).................18
Gambar 5 Mekanisme kerja kortikosteroid terhadap asma....................................20
Gambar 6 Dosis ICS (Usia 6-11 tahun).................................................................20
Gambar 7 Dosis ICS (usia < 5 tahun)....................................................................21

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. diagnosa banding asma berdasarkan usia................................................17

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA) didefinisikan sebagai penyakit heterogen berupa gangguan
inflamasi kronik saluran nafas. Penyakit ini didefinisikan dengan gejala berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi serta
keterbatasan aliran udara yang bervariasi. Asma adalah gangguan aliran udara
intermitten dan reversibel yang hanya mempengaruhi jalan nafas, tidak sampai
pada alveoli. Gangguan aliran udara terjadi dengan dua cara yaitu inflamasi
(peradangan) dan hiperresponsif jalan nafas. Inflamasi terjadi pada lumen (bagian
dalam) jalan napas. Hiperresponsif jalan napas terjadi karena konstriksi otot
bronkial yang lembut sehingga menyebabkan penyempitan jalan napas kearah luar
(1,2) (3).
Mekanisme yang mendasari terjadinya asma pada anak dan dewasa adalah
sama. Namun, ada beberapa permasalahan pada asma anak yang tidak dijumpai
pada dewasa karena bervariasinya perjalanan alamiah penyakit, kurangnya bukti
ilmiah yang baik, kesulitan menentukan diagnosis dan pemberian obat, serta
bervariasinya respons terhadap terapi yang sering tidak dapat diprediksi
sebelumnya. Keadaan ini terutama untuk penentuan asma pada anak usia balita
(<5 tahun). Kompleksitas munculan klinis (fenotip) asma didasari oleh berbagai
keadaan yang terkait dengan patogenesis dan patofisiologinya (endotip) (4).
Centers for Disease Control (CDC) melaporkan bahwa sekitar 6 juta anak
di Amerika Serikat berusia 0-17 tahun telah menderita asma. Masalahnya adalah
separuh anak dengan asma mengalami 1 atau lebih serangan. Penelitian
International Study of Asthma dan Allergies in Childhood (ISAAC) menunjukkan
bahwa prevalensi gejala asma berkisar dari 1.6-27.2% pada anak usia 6-7 tahun,
dan 1.9-35.5% pada anak usia 13-14 tahun. Sedangkan prevalensi asma anak di
Indonesia sekitar 10% pada anak usia 6-7 tahun dan sekitar 6,5% pada anak usia
<14 tahun. Asma juga bertanggung jawab atas 21,6 juta DALYs (Disability-
Adjusted Life Year) pada tahun 2019, yang merupakan 20,8% dari total DALYs
dari penyakit pernapasan kronis (4–6).

1
2

Menggunakan obat sesuai anjuran dokter dapat mencegah serangan asma.


Hal ini dapat dilakukan dengan pemakaian inhaler atau nebulizers sehingga
meredakan gejala dengan cepat. Kortikosteroid inhalasi dan obat-obatan
pengontrol lainnya dapat mencegah serangan asma, namun sekitar setengah dari
anak-anak yang diberikan obat pengontrol asma tidak menggunakannya secara
teratur sehingga memperberat dan memicu serangan asma (6).
Pedoman tata laksana asma anak juga bervariasi antara negara satu dengan
lainnya. Meskipun demikian, beberapa pedoman tersebut mempunyai prinsip dan
komponen tata laksana serta pesan kunci yang konsisten. Tujuan tata laksana
asma pada anak adalah mencapai asma yang terkendali dengan frekuensi serangan
seminimal mungkin. Untuk itu, tatalaksana harus dilakukan secara menyeluruh
dan terpadu meliputi semua elemen penting berikut: edukasi pasien dan orang
tua/pengasuh, identifikasi dan pencegahan faktor pemicu, pemakaian obat yang
baik dan benar dengan pencatatan yang baik, serta pemantauan yang teratur.
Pemberian obat pereda (reliever) maupun pengendali (controller) secara inhalasi
lebih dianjurkan dibanding pemberian peroral karena efek sampingnya minimal.
Keteraturan terhadap pengobatan merupakan salah satu kunci keberhasilan
tatalaksana asma yang perlu mendapat perhatian.(4)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma bronkial adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan
peradangan saluran napas kronis. Hal ini ditentukan oleh riwayat gejala
pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk yang bervariasi dari
waktu ke waktu dan intensitas, bersama dengan variabel keterbatasan aliran udara
ekspirasi. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi
hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema, dan
hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran
napas dengan manifestasi klinis yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Gejala ini
berhubungan dengan luasnya inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat
refersibel secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (3,7,8).

2.2 Etiopatogenesis
Adapun faktor risiko terjadinya asma merupakan interaksi antara faktor
pejamu dan faktor lingkungan (1,9).
Faktor pejamu:
 Predisposisi genetik
 Atopi
 Hiperresponsif saluran pernapasan
 Jenis kelamin
 Ras dan etnik
Faktor lingkungan:
 Mite domestik
 Alergen binatang
 Jamur
 Tepung sari bunga
 Bahan di lingkungan kerja
 Asap rokok

3
4

 Polusi udara
 Diet dan obat
Ada dua fase eksaserbasi asma, yaitu fase awal dan fase akhir. Fase awal
diinisiasi oleh antibodi IgE yang disensitisasi dan dilepaskan oleh sel plasma.
Antibodi ini merespons pemicu tertentu di lingkungan, seperti faktor risiko yang
tercantum di atas. Antibodi IgE kemudian berikatan dengan sel mast dan basofil
yang berafinitas tinggi. Ketika polutan atau faktor risiko terhirup, sel mast
melepaskan sitokin dan akhirnya mengalami degranulasi. Yang dilepaskan dari sel
mast adalah histamin, prostaglandin, dan leukotrien. Sel-sel ini, pada gilirannya,
berkontraksi pada otot polos dan menyebabkan penyempitan saluran napas.
Limfosit Th2 memainkan peran integral di mana mereka menghasilkan
serangkaian interleukin (IL-4, IL-5, IL-13) dan GM-CSF, yang membantu
komunikasi dengan sel lain dan mempertahankan peradangan. IL-3 dan IL-5
membantu eosinofil dan basofil bertahan hidup. IL-13 atribut untuk remodeling,
fibrosis, hiperplasia. Dalam beberapa jam berikutnya, fase akhir terjadi, dimana
eosinofil, basofil, neutrofil, dan sel T helper dan memori semuanya terlokalisasi
ke paru-paru juga, yang melakukan bronkokonstriksi dan menyebabkan
peradangan. Sel mast juga memainkan peran penting dalam membawa reaktan
fase akhir ke situs yang meradang. Sangat penting untuk mengenali kedua
mekanisme ini untuk menargetkan terapi dan meredakan bronkokonstriksi dan
peradangan, tergantung pada tingkat keparahan penyakitnya. Menariknya, mereka
yang memiliki saluran napas yang lebih tebal dari waktu ke waktu memiliki durasi
penyakit yang lebih lama, karena saluran napas yang lebih sempit. Akibat
inflamasi dan bronkokonstriksi, terjadi obstruksi aliran udara intermiten, yang
mengakibatkan peningkatan kerja pernapasan (9).
Hiperresponsif jalan napas merupakan ciri penting asma; ini adalah
respons bronkokonstriktor yang berlebihan, biasanya terhadap rangsangan yang
berbeda. Ada berbagai mekanisme yang menyebabkan hiperresponsif saluran
napas. Beberapa penjelasan adalah karena peningkatan histamin dari sel mast atau
peningkatan massa otot polos saluran napas. Juga, ada peningkatan tonus vagal
5

dan peningkatan kalsium bebas intraseluler yang selanjutnya meningkatkan


kontraktilitas sel otot polos saluran napas. Untuk menilai hiperresponsif jalan
napas, tes provokasi bronkus digunakan untuk menentukan tingkat keparahannya.
Aspek ini secara klinis signifikan karena adanya hiperresponsif saluran napas
dikaitkan dengan penurunan fungsi paru-paru yang lebih besar, dan peningkatan
risiko pengembangan dan eksaserbasi asma dari masa kanak-kanak hingga
dewasa. Oleh karena itu, pengobatan yang ditargetkan dapat digunakan lebih awal
untuk memerangi asma dan hiperresponsif. Semua mekanisme ini bersama-sama
mengubah kepatuhan paru-paru sedikit untuk meningkatkan kerja pernapasan.
Dalam kombinasi dengan peradangan, sel darah putih granular, eksudat, dan
lendir yang menempati pohon bronkiolus, dapat semakin sulit bagi seseorang
untuk bernapas secara normal. Jumlah miofibroblas yang menghasilkan kolagen
akan menyebabkan peningkatan epitel, yang mempersempit lapisan otot polos dan
lamina reticularis. Akibatnya, terjadi peningkatan penebalan membran basal.
Seseorang dapat mengalami obstruksi ireversibel aliran udara, yang diyakini
karena remodeling saluran napas (9).
Remodeling terjadi oleh sel-sel epitel yang bertransisi ke mesenkim,
meningkatkan kandungan otot polos. Sel epitel kehilangan adhesi sel dan polaritas
fungsionalnya dengan sambungan rapat, memformat ulang selnya untuk
berkembang menjadi sel mesenkim. Selain itu, eosinofil lebih lanjut dapat
memperburuk remodeling saluran napas karena pelepasan TGF-B dan sitokin oleh
interaksi sel mast. Mekanisme remodelling saluran napas ini dapat memperburuk
peradangan dan memperburuk asma dari waktu ke waktu jika tidak diobati dan
dikelola dengan benar (9).
2.3 Epidemiologi
Asma bertanggung jawab atas 21,6 juta DALYs (Disability-Adjusted Life
Year) pada tahun 2019, yang merupakan 20·8% dari total DALYs dari penyakit
pernapasan kronis. Angka kematian akibat asma paling tinggi di negara-negara
dengan SDI (Socio-Demographic Index) rendah dan menengah, sedangkan
prevalensi tertinggi di negara-negara dengan SDI tinggi (10).
6

Prevalensi rawat inap pasien dengan asma berdasarkan umur tertinggi pada
umur 45-64 tahun yaitu sebesar 25,66% dan usia prevalensi terendah adalah 0-6
hari

sebesar 0,1%. Sedangkan pasien rawat jalan berdasarkan umur tertinggi pada
umur 24-44 tahun yaitu sebesar 24,05% dan prevalensi umur terendah usia 0-6
hari sebesar 0,13% (7).
7

Gambar 1. Pathway Asma bronkial (11)


2.4 Manifestasi klinis
Ciri-ciri berikut adalah ciri khas asma dan, jika ada, meningkatkan
kemungkinan pasien menderita asma (9,12):
1. Gejala pernapasan berupa mengi, sesak napas, batuk dan/atau sesak dada:
 Pasien (terutama orang dewasa) mengalami lebih dari satu jenis gejala
ini.
 Gejala sering memburuk pada malam hari atau dini hari.
 Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitas.
 Gejala dipicu oleh infeksi virus (pilek), olahraga, paparan alergen,
perubahan cuaca, tawa, atau iritan seperti asap knalpot mobil, asap atau
bau yang menyengat.
2. Gejala berikut mengurangi kemungkinan gejala pernapasan karena asma:
 Batuk terisolasi tanpa gejala pernapasan lainnya
 Produksi sputum kronis
 Sesak napas yang berhubungan dengan pusing, pusing atau kesemutan
perifer (parestesia)
 Nyeri dada
 Dispnea akibat olahraga dengan inspirasi bising.
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di
8

dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada
mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien
akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulent
(3,9,12).
2.5 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Padila (2015) yaitu (11):
a. Spirometri
Untuk mengkaji jumlah udara yang dinspirasi dan menunjukkan
adanya penyempitan saluran napas. Spirometri adalah alat pengukur
faal paru, selain penting untuk pegakan diagnosis juga untuk menilai
beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Suatu tanda yang khas pada
asma yaitu penyempitan ini akan kembali ke arah normal dengan
bantuan obat antiasma atau kadang-kadang spontan tanpa obat.
b. Uji provokasi bronkus
Pemeriksaan ini memberi beberapa manfaat antara lain sebagai alat
diagnosis asma. Hiperresponsif bronkus hampir selalu ditemukan pada
asma dan derajat berkorelasi dengan keparahan asma. Tes ini sangat
sensitif sehingga kalau tidak ditemukan hiperresponsif saluran nafas
harus memacu untuk mengulai pemeriksaan dari awal dan memikirkan
diagnose penyakit lain. Airway hyperresponsive (AHR) adalah kondisi
saluran nafas yang menyempit setelah paparan stimulus di mana pada
saluran napas orang normal tidak menimbulkan reaksi. Uji provokasi
bronkus dapat dibagi dua kategori yaitu uji farmakologi (histamine,
adenosine atau methacoline) dan uji non farmakologi (salin hipertonis,
exercise). Pada uji farmakologi, metacholine suatu bahan kolinergik
yang bekerja dengan cara membuat kontraksi otot polos slauran napas
pada saluran napas yang hiperreaktif. Pada pasien dengan FEV1 >
90%, uji provokasi bronkus dapat dibuktikan dengan berbagai tes
provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulisasi droplet
ekstrak allergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas
pada pasien yang sensitif.
9

c. Pemeriksaan sputum Pemeriksaan tes kulit


Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
d. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
e. Foto thorak
Untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma seperti
tuberkulosis atau komplikasi asma seperti infeksi paru atau pecahnya
alveoli (pneumotoraks). Pemeriksaan rontgen untuk asma tidak begitu
bermakna. Karena sebagian besar menunjukkan normal atau
hiperinflasi.
f. Analisa gas darah
Untuk mengetahui status kardiopulmoner yang berhubungan dengan
oksigenasi. Pada asma yang berat tekanan oksigen menurun, bila lebih
berat lagi selain tekanan oksigen menurun, tekanan karbondioksida
meninggi dan darah menjadi asam. Hasil pemeriksaan AGD ini
menentukan apakah pasien telah menderita gagal napas sehingga perlu
dirawat ruang intensif. Untuk melihat kemajuan hasil pengobatan,
pemeriksaan AGD ini kadang-kadang dikerjakan berulang-ulang.

2.6 Diagnosis
Diagnosis asma ditegakkan apabila dapat dibuktikan adanya obstruksi
jalan napas yang reversibel. Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit
atau gejala (3):
 Mengi, sesak napas, batuk yang bersifat episodik, reversibel dengan atau
tanpa pengobatan
 Terkadang gejala memburuk pada malam hari atau dini hari

 Terkadang gejala memburuk bila sedang beraktivitas, terpapar alergen,


udara dingin
Selain itu dari anamnesis ditanyakan tentang riwayat keluarga (atopi),
riwayat alergi, riwayat pengobatan, dan riwayat penyakit lainnya. Dari
10

pemeriksaan fisik didapatkan wheezing saat inspirasi dan atau ekspirasi; fase
ekspirasi memanjang; takipneu; orthopneu; batuk (produktif/tidak) (3).
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri
Kemudian diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis (berat penyakit). Hasil
yang didapatkan berupa (3):
 Gambaran obstruksi saluran nafas: FEV1 rendah (<80% nilai
prediksi) FEV1/ FVC ≤ 90%
 Uji reversibilitas (paska bronkodilator): Peningkatan FEV1 > 12%
 Variabilitas: Perbedaan PEFR harian > 10%
 Uji provokasi: Penurunan FEV1 > 20% atau PEFR > 15%

Gambar 2. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit (12)


Berdasarkan derajat beratnya serangan, asma merupakan penyakit kronik
yang dapat mengalami episode gejala akut yang memberat dengan progresif yang
disebut sebagai serangan asma.(4)
1. Asma serangan ringan-sedang
2. Asma serangan berat
3. Serangan asma dengan ancaman henti napas
11

Gambar 3. Alur diagnosa asma (3)


12
13

2.7 Diagnosa banding


Berikut diagnosa banding dengan suspect asma berdasarkan usia. Salah satu
diagnosa lain dapat ditemukan bersamaan dengan asma (3).
14

Tabel 1. diagnosa banding asma berdasarkan usia

2.8 Penatalaksanaan Asma pada anak berdasarkan GINA 2021


Tatalaksana asma bertujuan untuk mendapatkan kontrol yang baik
terhadap asma dan menjaga pasien agar tetap dapat beraktivitas dan
meminimalisir risiko kematian karena asma, eksaserbasi, terbatasnya aliran udara
dan efek samping. Pada prinsipnya penalataksanaan diklasifikasikan menjadi dua
yaitu penatalaksaan asma akut/saat serangan dan penatalaksanaan jangka
panjang. Tatalaksana pada asma dibagi menjadi (3):
a) Non Farmakologi
a. Edukasi
b. Lingkungan
c. Imunoterapi
Tujuan:
1. Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah kekambuhan
15

3. Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta


mempertahankannya
4. Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk
melakukan exercise
5. Menghindari efek samping obat asma
6. Mencegah obstruksi jalan nafas yang ireversibel
b) Farmakologi

Gambar 4. Guideline tatalaksana asma pada anak usia 6-11 tahun (3)
Keterangan:(13)

1. Step 1 (gejala muncul < 2 kali/bulan)


16

Penggunaan ICS dosis rendah meskipun SABA lebih disukai daripada


ICS harian, karena pasien tidak patuh sangat mungkin terjadi.
2. Step 2
Penggunaan harian ICS dosis rendah.
3. Step 3
Perawatan dan terapi pereda (MART) dengan ICS-formoterol dosis
sangat rendah termasuk dalam pilihan untuk anak-anak, untuk
mengurangi risiko keparahan saat eksaserbasi.
Pilihan lain: ICS-LABA dosis rendah, atau ICS dosis sedang.
4. Step 4
ICS-LABA dosis sedang, atau ICS-formoterol MART dosis rendah
atau rujuk untuk pendapat ahli.
5. Step 5
ICS-formoterol (Inhaled corticosteroid) dosis rendah digunakan sebagai
reliever mengurangi risiko eksaserbasi dibandingkan regimen dengan SABA
(Short acting β2 agonis) sebagai reliever. ICS-formoterol digunakan sebagai
single inhaler untuk mengendalikan gejala. Pada step 3 dan 4, pasien juga
menggunakan ICS-formoterol sebagai daily controler sehingga menjadi MART
(maintenance and reliever therapy). SABA digunakan pada Track 2 apabila Track
1 tidak bisa digunakan atau tidak dipilih oleh pasien tanpa eksaserbasi pada terapi
mereka saat ini (3).
Glukokortikosteroid inhalasi (ICS)
Kortikosteroid inhalasi bertujuan untuk menekan proses inflamasi dan
komponen yang berperan dalam remodeling pada bronkus yang menyebabkan
asma. Pada tingkat vascular, glukokortikosteroid inhalasi bertujuan menghambat
terjadinya hipoperfusi, mikrovaskular, hiperpermeabilitas, pembentukan mukasa
udem, dan pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) (3). Kontrikosteroid
bekerja dengan mekanisme genomik yaitu sebagai anti inflamasi (kontroler).
Kemudian, mekanisme non-genomik yang memberikan efek vasokonstriksi
(14,15)
17

Gamb
ar 5

Mekanisme kerja kortikosteroid terhadap asma

Gambar 6 Dosis ICS (Usia 6-11 tahun)


18

Gambar 7 Dosis ICS (usia < 5 tahun)

Agonis β2 Short Acting (SABA)


Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi
atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping
minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β2 yaitu relaksasi otot
polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast
dan basofil. Efek sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan
hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek
samping (3).
Agonis β2 Long Acting (LABA)
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol
yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek relaksasi
otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Pada pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan
mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian
inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik
dibandingkan preparat oral. Karena pengobatan jangka panjang dengan agonis β2
kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu
dikombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis β2
kerja lama inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan asma malam,
19

memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega)


dan menurunkan frekuensi serangan asma. Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat
memberikan efek samping sistemik (rangsangan kardiovaskuler, tremor otot
rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral
(3).
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok
sintesis semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor
leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas).
Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan
menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain
bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi (3).
Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan
bersama/kombinasi dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif
bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat
digunakan sebagai obat pengontrol, dimana pemberian jangka panjang efektif
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai
aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma
malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Efek samping berpotensi
terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari atau lebih) dengan gejala
gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan
sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardi, aritmia dan kadangkala
merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan
kematian (3).
Kaji kontrol gejala selama 4 minggu terakhir. Identifikasi faktor risiko lain
untuk eksaserbasi, keterbatasan aliran udara persisten atau efek samping. Ukur
fungsi paru saat diagnosis/mulai pengobatan, 3–6 bulan setelah memulai
pengobatan pengontrol, kemudian secara berkala, misal setidaknya sekali setiap 1-
20

2 tahun, tetapi lebih sering pada pasien berisiko dan mereka yang menderita asma
berat. Kontrol baik didapatkan apabila pasien selama 4 minggu pasien tidak
mengalami serangan asma pada siang hari selama satu atau dua minggu, pasien
juga tidak terbangun pada malam hari karena serangan asma, tidak ditemukan
keterbatasan aktivitas fisik, dan tidak menggunakan SABA sebagai reliever lebih
dari dua minggu. Apabila terdapat dua gejala/tanda dari itu selama 4 minggu,
maka pasien digolongkan menjadi kontrol sebagian (3).
BAB 3
KESIMPULAN

Asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA) adalah penyakit


heterogen berupa inflamasi kronik saluran nafas. Gejala penyakit ini berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi serta
keterbatasan aliran udara yang bervariasi. Wheezing berulang dan / atau batuk
kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis seperti uji fungsi paru. Penyakit ini dapat
diklasifikasikan menjadi asma episodik jarang, episodik sering serta persisten.
Sedangkan saat serangan dibagi menjadi asma serangn ringan, sedang, berat dan
ancaman henti napas. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk
menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. GINA 2021
merekomendasikan penatalaksaan terhadap asma disesuaikan dengan tingkah
kekambuhannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Allergy Asthma & Immunology. Asthma &


Immunology. 2013.
2. Fitri K, Kartikasari D. Gambaran Tingkat Kontrol Asma Pada Pasien
Asma: Literature Review. Semin Nas Kesehat. 2021;71:1016–22.
3. Global Strategy For Asthma Management and Prevention. Global Initiative
for Asthma; 2021.
4. Rahajoe N, Kartasasmita CB, Supriyanto B, Setyanto DB. Pedoman
Nasional Asma Anak. 2nd ed. Vol. 2. UKK Respirologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2016.
5. Fakultas kedokteran Universitas Airlangga. Asma Pada Anak. Universitas
Airlangga; 2017.
6. Centers for Disease Control and Prevention. Asthma in children. 2018.
7. Kementrian Kesehatan RI. Penderita Asma di Indonesia. Indonesia; 2019.
8. Global Initiative For Asthma. Diagnosis of Diseases of Chronic Airflow
Limitation: Asthma COPD and Asthma - COPD Overlap Syndrome. 2014.
9. B S, L CP. Pathophysiology Of Asthma [Internet]. StatPearls Publishing;
2021. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551579/
10. Global Health Metrics. Asthma — Level 3 cause. Lancet. 2020;396:108–9.
11. Padila. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika;
2015.
12. S S, I A, AW S, B S, AF S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. I. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. 478-488 p.
13. Global Initiative for Asthma. GINA Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. 2021.
14. Horvath G, Wanner A. Airway vasculature in bronchial asthma. Eur Respir
J. 2006;27(1):172–87.
15. Barnes PJ. Corticosteroids : The drugs to beat. Eur J Pharmacol.
2006;533:2–14.

22

Anda mungkin juga menyukai