Oleh:
Preseptor:
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena hanya dengan rahmat, karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Update Penatalaksanaan Asma Bronkial
Pada Anak Berdasarkan GINA 2021” sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih banyak
kepada dr. Ade Saifan Surya, Sp. A sebagai pembimbing yang telah
meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS
di bagian/KSM Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
referat ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan referat ini. Semoga
dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA) didefinisikan sebagai penyakit heterogen berupa gangguan
inflamasi kronik saluran nafas. Penyakit ini didefinisikan dengan gejala berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi serta
keterbatasan aliran udara yang bervariasi. Asma adalah gangguan aliran udara
intermitten dan reversibel yang hanya mempengaruhi jalan nafas, tidak sampai
pada alveoli. Gangguan aliran udara terjadi dengan dua cara yaitu inflamasi
(peradangan) dan hiperresponsif jalan nafas. Inflamasi terjadi pada lumen (bagian
dalam) jalan napas. Hiperresponsif jalan napas terjadi karena konstriksi otot
bronkial yang lembut sehingga menyebabkan penyempitan jalan napas kearah luar
(1,2) (3).
Mekanisme yang mendasari terjadinya asma pada anak dan dewasa adalah
sama. Namun, ada beberapa permasalahan pada asma anak yang tidak dijumpai
pada dewasa karena bervariasinya perjalanan alamiah penyakit, kurangnya bukti
ilmiah yang baik, kesulitan menentukan diagnosis dan pemberian obat, serta
bervariasinya respons terhadap terapi yang sering tidak dapat diprediksi
sebelumnya. Keadaan ini terutama untuk penentuan asma pada anak usia balita
(<5 tahun). Kompleksitas munculan klinis (fenotip) asma didasari oleh berbagai
keadaan yang terkait dengan patogenesis dan patofisiologinya (endotip) (4).
Centers for Disease Control (CDC) melaporkan bahwa sekitar 6 juta anak
di Amerika Serikat berusia 0-17 tahun telah menderita asma. Masalahnya adalah
separuh anak dengan asma mengalami 1 atau lebih serangan. Penelitian
International Study of Asthma dan Allergies in Childhood (ISAAC) menunjukkan
bahwa prevalensi gejala asma berkisar dari 1.6-27.2% pada anak usia 6-7 tahun,
dan 1.9-35.5% pada anak usia 13-14 tahun. Sedangkan prevalensi asma anak di
Indonesia sekitar 10% pada anak usia 6-7 tahun dan sekitar 6,5% pada anak usia
<14 tahun. Asma juga bertanggung jawab atas 21,6 juta DALYs (Disability-
Adjusted Life Year) pada tahun 2019, yang merupakan 20,8% dari total DALYs
dari penyakit pernapasan kronis (4–6).
1
2
2.1 Definisi
Asma bronkial adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan
peradangan saluran napas kronis. Hal ini ditentukan oleh riwayat gejala
pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk yang bervariasi dari
waktu ke waktu dan intensitas, bersama dengan variabel keterbatasan aliran udara
ekspirasi. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi
hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema, dan
hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran
napas dengan manifestasi klinis yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Gejala ini
berhubungan dengan luasnya inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat
refersibel secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (3,7,8).
2.2 Etiopatogenesis
Adapun faktor risiko terjadinya asma merupakan interaksi antara faktor
pejamu dan faktor lingkungan (1,9).
Faktor pejamu:
Predisposisi genetik
Atopi
Hiperresponsif saluran pernapasan
Jenis kelamin
Ras dan etnik
Faktor lingkungan:
Mite domestik
Alergen binatang
Jamur
Tepung sari bunga
Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
3
4
Polusi udara
Diet dan obat
Ada dua fase eksaserbasi asma, yaitu fase awal dan fase akhir. Fase awal
diinisiasi oleh antibodi IgE yang disensitisasi dan dilepaskan oleh sel plasma.
Antibodi ini merespons pemicu tertentu di lingkungan, seperti faktor risiko yang
tercantum di atas. Antibodi IgE kemudian berikatan dengan sel mast dan basofil
yang berafinitas tinggi. Ketika polutan atau faktor risiko terhirup, sel mast
melepaskan sitokin dan akhirnya mengalami degranulasi. Yang dilepaskan dari sel
mast adalah histamin, prostaglandin, dan leukotrien. Sel-sel ini, pada gilirannya,
berkontraksi pada otot polos dan menyebabkan penyempitan saluran napas.
Limfosit Th2 memainkan peran integral di mana mereka menghasilkan
serangkaian interleukin (IL-4, IL-5, IL-13) dan GM-CSF, yang membantu
komunikasi dengan sel lain dan mempertahankan peradangan. IL-3 dan IL-5
membantu eosinofil dan basofil bertahan hidup. IL-13 atribut untuk remodeling,
fibrosis, hiperplasia. Dalam beberapa jam berikutnya, fase akhir terjadi, dimana
eosinofil, basofil, neutrofil, dan sel T helper dan memori semuanya terlokalisasi
ke paru-paru juga, yang melakukan bronkokonstriksi dan menyebabkan
peradangan. Sel mast juga memainkan peran penting dalam membawa reaktan
fase akhir ke situs yang meradang. Sangat penting untuk mengenali kedua
mekanisme ini untuk menargetkan terapi dan meredakan bronkokonstriksi dan
peradangan, tergantung pada tingkat keparahan penyakitnya. Menariknya, mereka
yang memiliki saluran napas yang lebih tebal dari waktu ke waktu memiliki durasi
penyakit yang lebih lama, karena saluran napas yang lebih sempit. Akibat
inflamasi dan bronkokonstriksi, terjadi obstruksi aliran udara intermiten, yang
mengakibatkan peningkatan kerja pernapasan (9).
Hiperresponsif jalan napas merupakan ciri penting asma; ini adalah
respons bronkokonstriktor yang berlebihan, biasanya terhadap rangsangan yang
berbeda. Ada berbagai mekanisme yang menyebabkan hiperresponsif saluran
napas. Beberapa penjelasan adalah karena peningkatan histamin dari sel mast atau
peningkatan massa otot polos saluran napas. Juga, ada peningkatan tonus vagal
5
Prevalensi rawat inap pasien dengan asma berdasarkan umur tertinggi pada
umur 45-64 tahun yaitu sebesar 25,66% dan usia prevalensi terendah adalah 0-6
hari
sebesar 0,1%. Sedangkan pasien rawat jalan berdasarkan umur tertinggi pada
umur 24-44 tahun yaitu sebesar 24,05% dan prevalensi umur terendah usia 0-6
hari sebesar 0,13% (7).
7
dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada
mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien
akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulent
(3,9,12).
2.5 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Padila (2015) yaitu (11):
a. Spirometri
Untuk mengkaji jumlah udara yang dinspirasi dan menunjukkan
adanya penyempitan saluran napas. Spirometri adalah alat pengukur
faal paru, selain penting untuk pegakan diagnosis juga untuk menilai
beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Suatu tanda yang khas pada
asma yaitu penyempitan ini akan kembali ke arah normal dengan
bantuan obat antiasma atau kadang-kadang spontan tanpa obat.
b. Uji provokasi bronkus
Pemeriksaan ini memberi beberapa manfaat antara lain sebagai alat
diagnosis asma. Hiperresponsif bronkus hampir selalu ditemukan pada
asma dan derajat berkorelasi dengan keparahan asma. Tes ini sangat
sensitif sehingga kalau tidak ditemukan hiperresponsif saluran nafas
harus memacu untuk mengulai pemeriksaan dari awal dan memikirkan
diagnose penyakit lain. Airway hyperresponsive (AHR) adalah kondisi
saluran nafas yang menyempit setelah paparan stimulus di mana pada
saluran napas orang normal tidak menimbulkan reaksi. Uji provokasi
bronkus dapat dibagi dua kategori yaitu uji farmakologi (histamine,
adenosine atau methacoline) dan uji non farmakologi (salin hipertonis,
exercise). Pada uji farmakologi, metacholine suatu bahan kolinergik
yang bekerja dengan cara membuat kontraksi otot polos slauran napas
pada saluran napas yang hiperreaktif. Pada pasien dengan FEV1 >
90%, uji provokasi bronkus dapat dibuktikan dengan berbagai tes
provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulisasi droplet
ekstrak allergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas
pada pasien yang sensitif.
9
2.6 Diagnosis
Diagnosis asma ditegakkan apabila dapat dibuktikan adanya obstruksi
jalan napas yang reversibel. Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit
atau gejala (3):
Mengi, sesak napas, batuk yang bersifat episodik, reversibel dengan atau
tanpa pengobatan
Terkadang gejala memburuk pada malam hari atau dini hari
pemeriksaan fisik didapatkan wheezing saat inspirasi dan atau ekspirasi; fase
ekspirasi memanjang; takipneu; orthopneu; batuk (produktif/tidak) (3).
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri
Kemudian diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis (berat penyakit). Hasil
yang didapatkan berupa (3):
Gambaran obstruksi saluran nafas: FEV1 rendah (<80% nilai
prediksi) FEV1/ FVC ≤ 90%
Uji reversibilitas (paska bronkodilator): Peningkatan FEV1 > 12%
Variabilitas: Perbedaan PEFR harian > 10%
Uji provokasi: Penurunan FEV1 > 20% atau PEFR > 15%
Gambar 4. Guideline tatalaksana asma pada anak usia 6-11 tahun (3)
Keterangan:(13)
Gamb
ar 5
2 tahun, tetapi lebih sering pada pasien berisiko dan mereka yang menderita asma
berat. Kontrol baik didapatkan apabila pasien selama 4 minggu pasien tidak
mengalami serangan asma pada siang hari selama satu atau dua minggu, pasien
juga tidak terbangun pada malam hari karena serangan asma, tidak ditemukan
keterbatasan aktivitas fisik, dan tidak menggunakan SABA sebagai reliever lebih
dari dua minggu. Apabila terdapat dua gejala/tanda dari itu selama 4 minggu,
maka pasien digolongkan menjadi kontrol sebagian (3).
BAB 3
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
22