Disusun Oleh:
Siti Ria Rumaisa
1807101030050
Pembimbing:
dr. Nurrahmah Yusuf, M.Ked(Paru), Sp. P(K), FISR
Penulis menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penyajian maupun dari segi materi. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran serta kritik
yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi penyempurnaan tulisan ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan
tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan
frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah
menghindari faktor penyebab.
Perlu dikemukakan bahwa pada penyakit asma sering kali sulit ditarik garis
pemisah yang jelas antara upaya terapi dan prevensi. Pasien asma yang sedang
mendapat serangan akut, selain memerlukan terapi segera yang efektif, pada
hakikatnya juga memerlukan tindakan-tindakan preventif seperlunya, agar serangan
sesaknya tidak sampai sambung-menyambung. Demikian juga pasien yang sedang
bebas dari serangan juga memerlukan tindakan-tindakan preventif untuk mencegah
timbulnya kekambuhan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Asma
Global Initiative for Asthma (GINA) 2020 mendefinisikan asma sebagai
gangguan inflamasi kronis saluran napas yang menyebabkan gejala seperti wheezing,
nafas lebih pendek, dada menyesak dan batuk yang bervariasi tergantung tingkat
intensitas dan kekambuhan.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang dan mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam atau dini hari. Episodik tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Asma dapat dibedakan berdasarkan klasifikasi derajat asma yaitu asma tanpa
gejala, ada gejala, dan serangan ringan sedang, serangan berat, dan ancaman gagal
napas.
2. Patofisiologi Asma
P
roses inflamasi saluran nafas pasien asma tidak saja ditemukan pada
pasien asma berat, tetapi juga pasien asma ringan, dan reaksi inflamasi ini dapat
terjadi lewat jalur imunologi ataupun nonimunologi. Dalam hal ini banyak sel
yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil dan sel epitel.
Gambaran khas inflamasi ini adalah peningkatan sejumlah eosinofil teraktifasi, sel
mast, makrofag dan limfosit T. Sel limfosit berperan penting dalam respon
inflamasi melalui pelepasan sitokin-sitokin multifungsional. Limfosit T subset T
helper-2 (Th-2) yang berperan dalam patgenesis asma akan mensekresi sitokin IL-
3,IL-4,IL-5,IL-9,IL-13,IL-16 dan Granulocyte Monocyte Colony Stimulating
Factor (GMCSF). Respon inflamasi tipe cepat dan lambat berperan terhadap
munculnya manifestasi klinis asma. Pada fase cepat, sel-sel mast mengeluarkan
mediator- mediator, seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dan tromboksan
yang menimbulkan bronkokonstriksi. Pada fase lambat, sitokin-sitokin dikeluarkan
sehingga memperlama inflamasi dan mengaktivasi eosinofil, basofil, limfosit dan
sel-sel mast. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi
sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks yang akan merusak epitel saluran
nafas. Hiperplasia otot polos dan hiperresponsif bronkial akibat proses inflamasi
kronis menyebabkan menyempitnya saluran udara, hal ini menimbulkan gejala-
gejala mengi, batuk, sesak dada dan nafas pendek.
Serangan asma berkaitan dengan obstruksi jalan nafas secara luas yang
merupakan kombinasi spasme otot polos bronkus, edem mukosa, sumbatan mukus,
dan inflamasi saluran nafas. Sumbatan jalan nafas menyebabkan peningkatan
tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang berlebih
(hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh jaringan
bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dan perfusi. Hiperventilasi
paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan
kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi
melalui saluran nafas yang menyempit, dapat semakin sempit atau menyebabkan
penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
pnemotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal dapat mempengaruhi arus balik
vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar,
dan peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan gas dalam darah. Pada
awal serangan untuk mengompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar
PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik.
Pada obstruksi jalan nafas yang berat akan terjadi kelelahan otot pernafasan
dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadi hiperkapnia dan asidosis
respiratorik. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia
jaringan, produksi laktat oleh otot nafas, dan masukan kalori yang berkurang.
Hipoksia dan anoksia dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal. Hipoksia dan
vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang
dan meningkatkan risiko terjadinya atelectasis.
Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi dan
bersifat irreversibel disebut remodelling. Remodelling saluran nafas merupakan
serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan
mengubah struktur saluran nafas melalui proses diferensiasi, migrasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
produksi berlebihan faktor pertumbuhan profibotik/transforming growth factor
(TGF-β) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas diyakini
merupakan proses yang penting dalam remodelling. Miofibroblast yang teraktivasi
akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin dan sitokin yang
menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran nafas dan meningkatkan
permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan
saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada
dinding saluran nafas dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma
dan hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.
Hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran nafas, sel goblet kelenjar
submukosa pada bronkus terjadi pada pasien asma terutama yang kronik dan
berat. Secara keseluruhan, saluran nafas pada pasien asma memperlihatkan
perubahan struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran nafas. Selama ini asma diyakini merupakan obstruksi saluran nafas yang
bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien reversibilitas yang menyeluruh
dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan
kortikosteroid inhalasi. Beberapa penderita asma mengalami obstruksi saluran nafas
residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, hal ini
mencerminkan adanya remodelling saluran. Fibroblast berperan penting dalam
terjadinya remodelling dan proses inflamasi. Remodelling ini sangat berpengaruh
terhadap kualitas hidup anak asma selanjutnya.
3. Klasifikasi Asma
Klasifikasi asma dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu sebelum dan
sesudah mendapatkan terapi. Pasien yang pertama kali datang dengan gejala asma
akan dinilai derajat eksaserbasi akut dan beratnya asma. Penilaian tersebut akan
menentukan tata laksana awal dan terapi rawat jalan.
Klasifikasi kendali asma dapat dikelompokkan berdasarkan level of asthma
control atau asma control test (ACT). Aspek yang dinilai dalam kendali asma, yaitu
pengendalian gejala klinis dan kemungkinan risiko eksaserbasi, penurunan fungsi
paru, atau efek samping obat.
Asma eksaserbasi akut (acute severe asthma, flares up) merupakan suatu
keadaan klinis dimana didapatkan adanya peningkatan gejala asma yang progresif,
ditandai dengan sesak napas, batuk, mengi atau rasa terikat di dada yang semakin
memberat disertai dengan adanya penurunan fungsi paru yang juga bersifat
progresif. Pada asma eksaserbasi akut seringkali pasien harus mengubah pengobatan
yang biasa digunakan sebelumnya.
Eksaserbasi biasanya terjadi akibat adanya respons terhadap paparan dari luar
(misalnya infeksi saluran napas atas akibat virus, paparan dengan serbuk sari
tanaman, polusi) atau akibat ketidakteraturan dalam menggunakan obat pengontrol,
dan pada sebagian kecil pasien datang dengan gejala eksaserbasi akut tanpa adanya
paparan dengan faktor risiko yang jelas. Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada
pasien asma yang sebelumnya terkontrol baik.
4. Diagnosa Asma
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berkaitan
dengan cuaca. Anamsesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, di tambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan
faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Terdapat dua definisi kunci dari asma bronkial, yaitu riwayat gejala respirasi
seperti mengi (wheezing), shortness of breath, chest tightness, dan batuk yang
bervariasi tiap waktu dan intensitasnya, serta limitasi expiratory airflow yang
bervariasi.
1. Anamnesa :
Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang
memburuk pada malam hari atau secara musiman.
Riwayat asma sebelumnya
Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada
keluarga
Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan bulu
binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu rumah, obat –
obatan (aspirin, penghambat beta), olah raga, rangsang emosi yang kuat
Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma.
2. Pemeriksaan Fisik :
Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi dan perpanjangan
.
ekspirasi tanda emfisema pada asma yang berat
3. Pemeriksaan Penunjang :
Spirometri :
- (Volume Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP1 < 70% dari nilai prediksi
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
- Tes reversibilitas : peningkatan VEP1 ≥ 12% dan ≥ 200 ml
menunjukkan reversibilitas yang menyokong diagnosis asma
Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi
saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma
yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan
adanya kelainan.
5. Tatalaksana Asma
Tujuan jangka panjang dari asma adalah pengurangan resiko dan pengendalian
gejala untuk mengurangi beban beban pasien dan kematian terkait asma,
ekstraserbasi, kerusakan saluran napas, dan efek samping obat.
Terapi yang diberikan kepada pasien harus mempertimbangkan karakteristik,
faktor resiko, komorbiditas atau fenotip yang bisa mempengaruhi seberapa besar
kemungkinan gejala yang timbul pada pasien. Perawatan untuk mencegah
ekstraserbasi asma dan mengendalikan gejala yang di rekomendasi GINA adalah:
• Obat-obatan: setiap orang dewasa dan remaja dengan asma harus menerima
obat pengontrol yang mengandung ICS untuk mengurangi risiko eksaserbasi
serius, tak terkecuali pasien dengan gejala yang jarang. Setiap penderita asma
harus memiliki ihaler yang berisi ICS formoterol atau SABA.
• Terapi modifikasi fakto risiko dan komorbid.
• Mengunakan obat non farmakologi dan strategi yang wajar.
Rekomendasi GINA untuk asma tidak lagi dimulai dengan perawatan SABA.
GINA merekomendasikan penderita asma harus menerima perawatan pengontrol
yang mengandung ICS untuk mengurangi risiko eksaserbasi serius dan untuk
mengendalikan gejala.
Asma adalah inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan peranan banyak
sel dan elemen seluler. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsivitas
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang: mengi, sesak napas, dada
terasa berat, dan batuk-batuk khususnya pada malam dan atau dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Terapi yang diberikan
kepada pasien harus mempertimbangkan karakteristik, faktor resiko, komorbiditas
atau fenotip yang bisa mempengaruhi seberapa besar kemungkinan gejala yang
timbul pada pasien.
Pasien asma yang sedang mendapat serangan akut, selain memerlukan terapi
segera yang efektif, pada hakikatnya juga memerlukan tindakan-tindakan preventif
seperlunya, agar serangan sesaknya tidak sampai sambung-menyambung. Demikian
juga pasien yang sedang bebas dari serangan juga memerlukan tindakan-tindakan
preventif untuk mencegah timbulnya kekambuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1. The Global Astma Report 2018. Auckland, New Zeland: Global Astma
Network, 2018.
2. Global Initiative for Asthma (GINA). Asthma Management and Prevention.
A Pocket Guide for Health Professionals. 2020. Available from:
www.ginasthma.org.
3. Menteri Kesehatan RI. 2008. Keputusan menteri kesehatan RI nomor
1023MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman penyakit asma.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. 2004.
5. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.Infodatin-you can
control your Astma. 2015.[citied 2019 maret 19]. Available from:
http://www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-asma.pdf
6. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi
Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.
7. Wibisono M. Jusuf dkk. 2010. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT PARU 2010.
Surabaya. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair.