Anda di halaman 1dari 19

Referat

Diagnosis dan Penatalaksanaan


Asma Stabil dan Eksaserbasi
Diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada
Bagian/SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Disusun Oleh:
Siti Ria Rumaisa
1807101030050

Pembimbing:
dr. Nurrahmah Yusuf, M.Ked(Paru), Sp. P(K), FISR

BAGIAN/ SMF PULMONOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
BAB I. LATAR BELAKANG ....................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2
1. Asma ....................................................................................................... 2
2. Patofisiologi Asma ..................................................................................... 2
3. Klasifikasi Asma......................................................................................... 5
4. Diagnosa Asma........................................................................................... 6
5. Tatalaksana Asma ...................................................................................... 10
Kortikosteroid inhalasi pada asma.............................................................. 12
BAB III. KESIMPULAN............................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16
KATA PENGANTAR

Referat dengan judul “Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma Stabil dan


Eksaserbasi” ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani kepaniteraan
klinik senior pada Bagian/SMF Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUD
dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu dr,


Nurrahmah Yusuf, M.Ked(Paru), Sp.P (K), FISR yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penyajian maupun dari segi materi. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran serta kritik
yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi penyempurnaan tulisan ini.

Banda Aceh, 28 Juli 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh


dunia. Asma adalah suatu penyakit peradangan kronik saluran nafas yang
berhubungan dengan hiperesponsif dan penyempitan saluran nafas yang
menimbulkan gejala-gejala gangguan pernafasan secara episodik yang dapat
membaik secara spontan atau setelah pemberian obat. Dengan pengobatan yang
tepat asma dapat dikontrol secara efektif hingga jarang terjadi eksaserbasi dan
penderita dapat menjalani kualitas hidup yang baik.

World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk


dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga
mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma
sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun
belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan
akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang.

Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan
tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan
frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah
menghindari faktor penyebab.

Perlu dikemukakan bahwa pada penyakit asma sering kali sulit ditarik garis
pemisah yang jelas antara upaya terapi dan prevensi. Pasien asma yang sedang
mendapat serangan akut, selain memerlukan terapi segera yang efektif, pada
hakikatnya juga memerlukan tindakan-tindakan preventif seperlunya, agar serangan
sesaknya tidak sampai sambung-menyambung. Demikian juga pasien yang sedang
bebas dari serangan juga memerlukan tindakan-tindakan preventif untuk mencegah
timbulnya kekambuhan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Asma
Global Initiative for Asthma (GINA) 2020 mendefinisikan asma sebagai
gangguan inflamasi kronis saluran napas yang menyebabkan gejala seperti wheezing,
nafas lebih pendek, dada menyesak dan batuk yang bervariasi tergantung tingkat
intensitas dan kekambuhan.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang dan mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam atau dini hari. Episodik tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Asma dapat dibedakan berdasarkan klasifikasi derajat asma yaitu asma tanpa
gejala, ada gejala, dan serangan ringan sedang, serangan berat, dan ancaman gagal
napas.

Tabel 1.Klasifikasi Asma Berdasarkan Derajat Asma6


No. Derajat Asma Uraian Kekerapan Gejala Asma

1 Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar gejala ≥ 6


Minggu

2 Persisten Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu


Ringan

3 Persisten Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari


Sedang

4 Persisten Berat Episode gejala asma terjadi hampir setiap hari

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang


pedoman pengendalian penyakit asma menjelaskan bahwa faktor risiko asma dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu kelompok faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor
genetik terdiri dari riwayat atopi, jenis kelamin, dan ras/etnik. 2 Kelompok faktor
risiko yang berasal dari lingkungan adalah alergen yang berasal dari dalam ataupun
dari luar ruangan, infeksi, sulful dioksida, perubahan cuaca, emosi,obesitas, dan
aktivitas fisik yang berlebihan.

2. Patofisiologi Asma
P
roses inflamasi saluran nafas pasien asma tidak saja ditemukan pada
pasien asma berat, tetapi juga pasien asma ringan, dan reaksi inflamasi ini dapat
terjadi lewat jalur imunologi ataupun nonimunologi. Dalam hal ini banyak sel
yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil dan sel epitel.
Gambaran khas inflamasi ini adalah peningkatan sejumlah eosinofil teraktifasi, sel
mast, makrofag dan limfosit T. Sel limfosit berperan penting dalam respon
inflamasi melalui pelepasan sitokin-sitokin multifungsional. Limfosit T subset T
helper-2 (Th-2) yang berperan dalam patgenesis asma akan mensekresi sitokin IL-
3,IL-4,IL-5,IL-9,IL-13,IL-16 dan Granulocyte Monocyte Colony Stimulating
Factor (GMCSF). Respon inflamasi tipe cepat dan lambat berperan terhadap
munculnya manifestasi klinis asma. Pada fase cepat, sel-sel mast mengeluarkan
mediator- mediator, seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dan tromboksan
yang menimbulkan bronkokonstriksi. Pada fase lambat, sitokin-sitokin dikeluarkan
sehingga memperlama inflamasi dan mengaktivasi eosinofil, basofil, limfosit dan
sel-sel mast. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi
sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks yang akan merusak epitel saluran
nafas. Hiperplasia otot polos dan hiperresponsif bronkial akibat proses inflamasi
kronis menyebabkan menyempitnya saluran udara, hal ini menimbulkan gejala-
gejala mengi, batuk, sesak dada dan nafas pendek.
Serangan asma berkaitan dengan obstruksi jalan nafas secara luas yang
merupakan kombinasi spasme otot polos bronkus, edem mukosa, sumbatan mukus,
dan inflamasi saluran nafas. Sumbatan jalan nafas menyebabkan peningkatan
tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru yang berlebih
(hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh jaringan
bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dan perfusi. Hiperventilasi
paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan
kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi
melalui saluran nafas yang menyempit, dapat semakin sempit atau menyebabkan
penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
pnemotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal dapat mempengaruhi arus balik
vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar,
dan peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan gas dalam darah. Pada
awal serangan untuk mengompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar
PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik.
Pada obstruksi jalan nafas yang berat akan terjadi kelelahan otot pernafasan
dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadi hiperkapnia dan asidosis
respiratorik. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia
jaringan, produksi laktat oleh otot nafas, dan masukan kalori yang berkurang.
Hipoksia dan anoksia dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal. Hipoksia dan
vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang
dan meningkatkan risiko terjadinya atelectasis.
Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi dan
bersifat irreversibel disebut remodelling. Remodelling saluran nafas merupakan
serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan
mengubah struktur saluran nafas melalui proses diferensiasi, migrasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
produksi berlebihan faktor pertumbuhan profibotik/transforming growth factor
(TGF-β) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas diyakini
merupakan proses yang penting dalam remodelling. Miofibroblast yang teraktivasi
akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin dan sitokin yang
menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran nafas dan meningkatkan
permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan
saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada
dinding saluran nafas dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma
dan hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.
Hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran nafas, sel goblet kelenjar
submukosa pada bronkus terjadi pada pasien asma terutama yang kronik dan
berat. Secara keseluruhan, saluran nafas pada pasien asma memperlihatkan
perubahan struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran nafas. Selama ini asma diyakini merupakan obstruksi saluran nafas yang
bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien reversibilitas yang menyeluruh
dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan
kortikosteroid inhalasi. Beberapa penderita asma mengalami obstruksi saluran nafas
residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, hal ini
mencerminkan adanya remodelling saluran. Fibroblast berperan penting dalam
terjadinya remodelling dan proses inflamasi. Remodelling ini sangat berpengaruh
terhadap kualitas hidup anak asma selanjutnya.

3. Klasifikasi Asma
Klasifikasi asma dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu sebelum dan
sesudah mendapatkan terapi. Pasien yang pertama kali datang dengan gejala asma
akan dinilai derajat eksaserbasi akut dan beratnya asma. Penilaian tersebut akan
menentukan tata laksana awal dan terapi rawat jalan.
Klasifikasi kendali asma dapat dikelompokkan berdasarkan level of asthma
control atau asma control test (ACT). Aspek yang dinilai dalam kendali asma, yaitu
pengendalian gejala klinis dan kemungkinan risiko eksaserbasi, penurunan fungsi
paru, atau efek samping obat.

Tabel 2. Level of Asthma Control


A. Penilaian Terhadap Kontrol Klinis Terkini ( sebaiknya > 4 minggu )
Tak
No. Karakteristik Terkontrol Terkontrol parsial terkontrol

1 Gejala harian ≤ 2x/minggu > 2 x/minggu

2 Hambatan aktivitas Tidak ada ada


3 atau lebih
Gejala malam/bangun keadaan
3 waktu malam Tidak ada ada terkontrol
parsial pada
4 Perlu reliever ≤ 2 x/minggu > 2 x/minggu tiap-tiap
minggu
Fungsi paru < 80% prediksi
5 (PEFR/FEV1) Normal atau hasil terbaik
B. Assesment of Future Risk (risiko eksaserbasi, ketidakstabilan, penurunan fungsi
paru yang cepat, efek samping)
Risiko eksaserbasi akut antara lain: control klinis yang buruk, riwayat eksaserbasi yang sering
pada tahun sebelumnya, riwayat rawat inap di critical care, FEV1 rendah, pajanan asap rokok,
intensitas terapi dengan dosis tinggi.

Asma eksaserbasi akut (acute severe asthma, flares up) merupakan suatu
keadaan klinis dimana didapatkan adanya peningkatan gejala asma yang progresif,
ditandai dengan sesak napas, batuk, mengi atau rasa terikat di dada yang semakin
memberat disertai dengan adanya penurunan fungsi paru yang juga bersifat
progresif. Pada asma eksaserbasi akut seringkali pasien harus mengubah pengobatan
yang biasa digunakan sebelumnya.
Eksaserbasi biasanya terjadi akibat adanya respons terhadap paparan dari luar
(misalnya infeksi saluran napas atas akibat virus, paparan dengan serbuk sari
tanaman, polusi) atau akibat ketidakteraturan dalam menggunakan obat pengontrol,
dan pada sebagian kecil pasien datang dengan gejala eksaserbasi akut tanpa adanya
paparan dengan faktor risiko yang jelas. Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada
pasien asma yang sebelumnya terkontrol baik.

4. Diagnosa Asma
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berkaitan
dengan cuaca. Anamsesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, di tambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan
faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Terdapat dua definisi kunci dari asma bronkial, yaitu riwayat gejala respirasi
seperti mengi (wheezing), shortness of breath, chest tightness, dan batuk yang
bervariasi tiap waktu dan intensitasnya, serta limitasi expiratory airflow yang
bervariasi.

1. Anamnesa :

 Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang
memburuk pada malam hari atau secara musiman.
 Riwayat asma sebelumnya
 Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada
keluarga
 Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan bulu
binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu rumah, obat –
obatan (aspirin, penghambat beta), olah raga, rangsang emosi yang kuat
 Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma.

2. Pemeriksaan Fisik :
Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi dan perpanjangan
.
ekspirasi tanda emfisema pada asma yang berat

 Vital Sign Fitur umum dicatat selama serangan asma akut


tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit), takikardia,
dan pulsus paradoksus.
 Pemeriksaan Thorak
Pemeriksaan dapat mengungkapkan bahwa pasien yang mengalami
serangan asma dapat dijumpai:
- Inspeksi: sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium,
retraksi suprasternal)
- Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat
terjadi pulsus paradoksus
- Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
- Auskultasi: ekspirasi memanjang,wheezing.

Gambar 1. Alur diagnosis Asma

3. Pemeriksaan Penunjang :

 Spirometri :
- (Volume Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP1 < 70% dari nilai prediksi
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
- Tes reversibilitas : peningkatan VEP1 ≥ 12% dan ≥ 200 ml
menunjukkan reversibilitas yang menyokong diagnosis asma

- Arus Puncak Ekspirasi ( APE ) :


 Reversibilitas. Peningkatan 60 L/menit ( atau ≥ 20% )
dengan pemberian bronkodilator ( misalnya 200-400 ugr
salbutamol ), atau variasi diurnal dari APE ≥ 20% ( dengan
bacaan 2x sehari > 10% ) menyokong diagnosis asma
 Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau perburukan gejala
atau fungsi paru dalam periode tertentu misalnya 1 hari
(variabilitas diurnal), hari atau bulanan.

Gambar 2. Nilai FEV1, PEFR, MMEFR pada derajat keparahan asma

 Pengukuran Status Alergi


Untuk mengidentifikasi komponen alergi pada asma dapat
dilakukan pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum dan
eosinofil. Uji ini dapat membantu mengidentifikasi faktor pencetus sehingga
dapat dilakukan pencegahan terarah. Umumnya dilakukan skin prick
test. Namun, uji ini dapat menghasilkan positif palsu maupun negatif
palsu. Sehingga konfirmasi pajanan alergen dengan timbulnya gejala
harus selalu dilakukan.

 Analisa Gas Darah


Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2 < 35 mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat pada PaCO2 justru mendekati
normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada asma yang sangat
berat terjadi hiperkapnea (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis
respiratorik.

 Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi
saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma
yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan
adanya kelainan.

5. Tatalaksana Asma
Tujuan jangka panjang dari asma adalah pengurangan resiko dan pengendalian
gejala untuk mengurangi beban beban pasien dan kematian terkait asma,
ekstraserbasi, kerusakan saluran napas, dan efek samping obat.
Terapi yang diberikan kepada pasien harus mempertimbangkan karakteristik,
faktor resiko, komorbiditas atau fenotip yang bisa mempengaruhi seberapa besar
kemungkinan gejala yang timbul pada pasien. Perawatan untuk mencegah
ekstraserbasi asma dan mengendalikan gejala yang di rekomendasi GINA adalah:
• Obat-obatan: setiap orang dewasa dan remaja dengan asma harus menerima
obat pengontrol yang mengandung ICS untuk mengurangi risiko eksaserbasi
serius, tak terkecuali pasien dengan gejala yang jarang. Setiap penderita asma
harus memiliki ihaler yang berisi ICS formoterol atau SABA.
• Terapi modifikasi fakto risiko dan komorbid.
• Mengunakan obat non farmakologi dan strategi yang wajar.
Rekomendasi GINA untuk asma tidak lagi dimulai dengan perawatan SABA.
GINA merekomendasikan penderita asma harus menerima perawatan pengontrol
yang mengandung ICS untuk mengurangi risiko eksaserbasi serius dan untuk
mengendalikan gejala.

• Untuk asma ringan diberikan sesuai kebutuhan ICS-formoterol dosis rendah


atau jika tidak tersedia diberikan ICS dosis rendah setiap kali mengkonsumsi
SABA.
• ICS atau ICS-LABA reguler setiap hari, di tambah SABA sesuai kebutuhan.
• perawatan pemeliharaan dan pereda dengan ICS-formoterol.

Gambar 3. Tatalaksana pada GINA 2020

Obat asma terdiri dari;


1. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk
obat pelega antara lain agonis beta-2 kerja singkat, antikolinergik ,
aminofillin, dan adrenalin.
2. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol antara lain: Kortikosteroid inhalasi, Kortikosteroid
sistemik, Sodium kromoglikat, Nedokromil sodium, Metilsantin, Agonis
beta-2 kerja lama, inhalasi, Agonis beta-2 kerja lama, oral, Leukotrien
modifiers, antihistamin generasi ke dua.

Kortikosteroid Inhalasi Pada Asma


Kortikosteroid adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas
glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga memperlihatkan efek yang
sangat beragam yang meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat, protein
dan lipid, efek terhadap keseimbangan air dan elektrolit, dan efek terhadap
pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Namun, secara umum
efeknya dibedakan atas efek retensi Na, efek terhadap metabolisme karbohidrat
dan efek antiinflamasi.
Kortikosteroid adalah salah satu obat antiinflamasi yang poten dan
banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan baik yang
bekerja secara topikal maupun secara sistemik. Kortikosteroid mengurangi
jumlah sel inflamasi di saluran napas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast
dan sel dendritik. Efek ini dicapai dengan menghambat penarikan sel inflamasi
ke saluran napas dan menghambat keberadaan sel inflamasi di saluran napas.
Oleh karena itu, kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi spektrum luas,
sehingga berdampak pada berkurangnya aktivasi inflamasi, stabilisasi
kebocoran vaskular, penurunan produksi mukus dan peningkatan respon β-
adrenergik.

Mekanisme kerja kortikosteroid pada asma belum diketahui dengan


pasti. Salah satu teori mengemukakan bahwa kortikosteroid dapat membentuk
makrokortin dan lipomodulin yang bekerja menghambat fosfolipase A2
membentuk leukotrien, prostaglandin, tromboksan, dan metabolit asam
arakidonat lain. Mekanisme kerja steroid yang lain adalah menghalangi
pembentukan mediator oleh inflamasi, menghalangi pelepasan mediator dan
menghalangi respon yang timbul akibat lepasnya mediator.
Pada asma kronik, kortikosteroid inhalasi digunakan dalam dosis yang
rendah untuk menangani asma yang ringan dan sedang dan dengan dosis
yang lebih tinggi (lebih dari 800 mikrogram/hari pada orang dewasa) untuk
asma yang lebih berat. Kortikosteroid juga mengendalikan inflamasi yang
mendasari dan dengan demikian dapat mengurangi keparahan dan frekuensi
dari serangan akut. Dosis dapat ditingkatkan untuk sementara waktu agar dapat
memberikan proteksi tambahan pada saat resiko meningkat, seperti pada waktu
terjadi selesma.
Pada asma akut, pemberian dini kortikosteroid oral dapat mencegah
terjadinya progresifitas dari eksaserbasi dan menurunkan kebutuhan akan
opname, serta menurunkan morbiditas (kesakitan). Pada dosis yang tinggi
kortikosteroid sangat bermanfaat untuk mengobati eksaserbasi akut yang berat.
Pada asma kronik, kortikosteroid mungkin diperlukan untuk digunakan dalam
jangka lama dengan dosis rendah untuk menangani asma yang sangat berat .
Obat kortikosteroid sistemik diberikan bila obat inhalasi masih kurang
efektif dalam mengontrol asma serta saat terjadi seragan asma yang
berat. Pemberian kortikosteroid selama 5-7 hari dapat digunakan sebagai
terapi maksimal untuk mengontrol gejala asma. Pemberian demikian dilakukan
pada permulaan terapi jangka panjang maupun sebabai terapi awal pada asma
yang tidak terkontrol.
Pemberian kortikosteroid jangka panjang diperlukan untuk mengontrol
asma persisten berat, tetapi pemberian itu terbatas karena resiko terhadap efek
samping. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi jangka lama selalu lebih
baik daripada pemberian secara oral maupun parenteral.
Pemberian kortikosteroid oral untuk jangka lama harus diperhatikan
tentang kemungkinan timbulnya efek samping. Pemakaian kortikosteroid
jangka panjang secara oral lebih baik daripada parenteral. Preparat oral
golongan steroid yang bersifat short acting seperti prednison, prednisolon dan
metilprednisolon lebih baik karena efek minerlokortikoidya minimal, masa
kerja pendek sehingga efek samping lebih sedikit dan efeknya terbatas pada
otot. Bila memungkinkan prednison oral jangka lama diberikan selang sehari
pada pagi hari untuk mengurangi efek samping, tetapi kadang-kadang penderita
asma berat membutuhkan obat tiap hari bahkan dua kali sehari.

Penggunaan kortikosteroid dalam jangka lama akan dapat menimbulkan


efek samping akibat khasiat glukokortikoid maupun khasiat mineralokortikoid.
Efek samping glukokortikoid meliputi diabetes dan osteoporosis yang
terutama berbahaya bagi usia lanjut. Pemberian dosis tinggi dapat
menyebabkan nekrosis vaskular, Sindrom Cushing yang sifatnya reversibel,
gangguan mental, euforia dan miopati. Pada anak kortikosteroid dapat
menimbulkan gangguan pertumbuhan sedangkan pada wanita hamil dapat
mempengaruhi pertumbuhan adrenal janin. Efek samping mineralokortikoid
adalah hipertensi, retensi Na dan cairan, dan hipokalemia.
Dengan efek samping yang demikian, penggunaan kortikosteroid harus
benar-benar dipertimbangkan. Beberapa prinsip penggunaan kortikosteroid
yaitu:
 Digunakan dosis efektif terkecil, terutama jika diperlukan untuk
jangka panjang
 Digunakan lebih singkat lebih aman
 Diberikan pengobatan berselang, pemberian demikian dapat
dipertahankan bertahun-tahun
 Tidak boleh diberikan dosis tinggi lebih dari 1 bulan
 Dosis diturunkan secara bertahap dalam beberapa minggu atau
bulan tergantung besarnya dosis dan lamanya terapi
 Penggunaan injeksi sebaiknya dihindari
 Dosis dapat dinaikkan 2-3 kali lipat dalam keadaan stres dosis
 Digunakan hati-hati pada pasien lanjut usia, gizi buruk, anak-anak,
diabetes
 Asupan garam dikurangi.
BAB III
KESIMPULAN

Asma adalah inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan peranan banyak
sel dan elemen seluler. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsivitas
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang: mengi, sesak napas, dada
terasa berat, dan batuk-batuk khususnya pada malam dan atau dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Terapi yang diberikan
kepada pasien harus mempertimbangkan karakteristik, faktor resiko, komorbiditas
atau fenotip yang bisa mempengaruhi seberapa besar kemungkinan gejala yang
timbul pada pasien.
Pasien asma yang sedang mendapat serangan akut, selain memerlukan terapi
segera yang efektif, pada hakikatnya juga memerlukan tindakan-tindakan preventif
seperlunya, agar serangan sesaknya tidak sampai sambung-menyambung. Demikian
juga pasien yang sedang bebas dari serangan juga memerlukan tindakan-tindakan
preventif untuk mencegah timbulnya kekambuhan.

DAFTAR PUSTAKA

1. The Global Astma Report 2018. Auckland, New Zeland: Global Astma
Network, 2018.
2. Global Initiative for Asthma (GINA). Asthma Management and Prevention.
A Pocket Guide for Health Professionals. 2020. Available from:
www.ginasthma.org.
3. Menteri Kesehatan RI. 2008. Keputusan menteri kesehatan RI nomor
1023MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman penyakit asma.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. 2004.
5. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.Infodatin-you can
control your Astma. 2015.[citied 2019 maret 19]. Available from:
http://www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-asma.pdf
6. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi
Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.

7. Wibisono M. Jusuf dkk. 2010. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT PARU 2010.
Surabaya. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair.

Anda mungkin juga menyukai