Anda di halaman 1dari 21

REFARAT Februari 2023

ASMA BRONCHIAL

Disusun Oleh:

Muhammad Gisda Yoga Permana


N 111 21 131

Pembimbing Klink
dr. Masnah Sardi, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2023
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Muhammad Gisda Yoga Permana
No. Stambuk : N 111 21 131
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Referat : Asma Bronchial
Bagian : Ilmu Kesehatan Penyakit Dalam

Bagian Ilmu Kesehatan Penyakit Dalam


RSUD Undata Palu
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

Palu, Februari 2023

Pembimbing Klinik Mahasiswa

dr. Masnah Sardi, Sp. PD Muhammad Gisda Yoga Permana


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada
anak maupun dewasa di negara berkembang maupun negara maju. Sejak dua
dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma bronkial meningkat pada
anak maupun dewasa. Prevalensi total asma bronkial di dunia diperkirakan
7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat
bervariasi pada tiap negara dan bahkan perbedaan juga didapat antar daerah di
dalam suatu negara. Prevalensi asma bronkial di berbagai negara sulit
dibandingkan, tidak jelas apakah perbedaan angka tersebut timbul karena
adanya perbedaan kritertia diagnosis atau karena benar-benar terdapat
perbedaan. 1
Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di
negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari
Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa
perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta orang,
dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga seratus delapan puluh
ribu orang per tahun. 1
Etiologi asma belum dapat ditetapkan dengan pasti. Tampaknya terdapat
hubungan antara asma dengan alergi. Pada sebagian besar penderita asma,
ditemukan riwayat alergi, selain itu serangan asmanya juga sering dipicu oleh
pajanan oleh alergen. Pada pasien yang mempunyai komponen alergi, jika
ditelusuri ternyata sering terdapat riwayat asma atau alergi pada keluarganya.
Hal ini menimbulkan pendapat bahwa terdapat faktor genetic yang
menyebabkan seorang menderita asma. Faktor genetic yang diturunkan adalah
kecenderungan memproduksi antibody jenis IgE yang berlebihan. 2
Tujuan dari penatalaksanaan pasien yang mengalami asma adalah
menghilangkan gejala asma dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Penatalaksanaan Asma Bertujuan untuk menghilangkan dan mengendalikan
gejala asma, agar kualitas hidup meningkat, mencegah eksaserbasi akut,
meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin,
mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas
lainnya, Menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya keterbatasan
aliran udara Ireversibel, meminimalkan kunjngan ke gawat darurat
Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan pasien adalah hal yang
penting sebagai dasar penatalaksanaan.1
1.2 TUJUAN
Refarat ini bertujuan untuk membahas tentang penyakit Asma Bronchial
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Asma adalah penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan
saluran napas yang sifatnya reversible (penyempitan dapat hilang dengan
sendirinya) yang ditandai oleh episode obstruksi pernapasan di antara dua
interval asimtomatik. Namun, ada kalanya sifat reversible ini berubah
menjadi kurang reversible (penyempitan akan hilang setelah mendapatkan
pengobatan). Penyumbatan saluran napas yang menimbulkan manifestasi
klinis asma adalah penyakit bronkokonstriksi, pembengkakan mukosa
bronkus dan hipersekresi lender karena hiperreaktivitas saluran pernapasan
terhadap beberapa stimulus.2
Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas
yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat
penyumbatan saluran napas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran
pernapasan kronik. Asma mempunyai tingkat fatalitas yang rendah namun
jumlah kasusnya cukup banyak ditemukan dalam masyarakat. Badan
kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia
menderita asma, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah sebesar
180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma
sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama
20 tahun belakangan ini. Apabila tidak di cegah dan ditangani dengan baik,
maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi
pada masa yang akan datang serta mengganggu proses tumbuh kembang anak
dan kualitas hidup pasien. 3
Asma adalah penyakit inflamasi dari saluran pernafasan yang
melibatkan inflamasi pada saluran pernafasan dan mengganggu aliran udara.
Inflamasi saluran nafas pada asma meliputi interaksi komplek dari sel,
mediator-mediator, sitokin, dan kemokin. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel
dengan atau tanpa pengobatan. 4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai
pada awal kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum
berumur 10 tahun dan sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40
tahun. Pada usia anakanak, terdapat perbandingan 2:1 untuk laki-laki
dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi sama pada umur 30
tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota yang lain dalam
negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %. 4
Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian. Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah
tangga (SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan
asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi)
bersama-sama dengan bronkitis kronik dan empisema. Pada SKRT 1992,
asma, bronkitis kronik dan empisema sebagai penyebab kematian (mortaliti)
ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/1000 dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan
obstruksi paru 2/1000. 4
Prevalensi asma menurut World Health Organization (WHO) tahun
2019 sekitar 235 juta. Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia,
yang mempengaruhi kurang lebih 1-18% populasi di berbagai negara di
dunia. Menurut WHO yang bekerja sama dengan Global Asthma Network
(GAN) yang merupakan organisasi asma di dunia, memprediksikan pada
tahun 2025 akan terjadi kenaikan populasi asma sebanyak 400 juta dan
terdapat 250 ribu kematian akibat asma. Penyakit ini merupakan salah satu
penyakit utama yang menyebabkan pasien memerlukan perawatan, baik
dirumah sakit maupun di rumah.5
Angka kejadian asma di Indonesia yang dilaporkan oleh Puskesmas
melalui sistem informasi surveilans Penyakit Tidak Menular (PTM) yaitu
sebanyak 18.748 jiwa. Jumlah orang dengan penyakit asma menurut
kelompok umur paling banyak pada kelompok umur 35-59 tahun sebesar
7.694 jiwa.5
2.3 KLASIFIKASI
2.4 ETIOLOGI
Risiko berkembangnya asma bronkial merupakan interaksi antara faktor
pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk
predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma
bronkial, yaitu genetik, alergik (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin
dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan
atau predisposisi asma bronkial untuk berkembang menjadi asma bronkial,
menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala
asma bronkial menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen,
sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan
(virus), diet, dan status sosio-ekonomi. Interaksi faktor genetik dengan
lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan bahwa baik faktor lingkungan
maupun faktor genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma
bronkial, dan pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma bronkial
pada individu dengan genetik asma bronkial. Faktor-faktor yang
mempengaruhi asma bronkial akan berbeda pada tiap individu.1
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan
asma. Asma alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi
maupun keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula
disertai dengan reaksi kulit terhadap injeksi intradermal dari ekstrak antigen
yang terdapat di udara, dan dapat pula disertai dengan peningkatan kadar IgE
dalam serum dan atau respon positif terhadap tes provokasi yang melibatkan
inhalasi antigen spesifik. 4
Pada manusia alergen berupa debu rumah (tungau) marupakan pencetus
tersering dari eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebetut secara biologis
dapat merusak struktur daripada saluran nafas melalui aktifitas proteolitik,
yang selanjutnya menghancurkan integritas dari tight junction antara sel-sel
epitel. Sekali fungsi dari epitel ini dihancurkan, maka alergen dan partikel
lain dapat dengan mudah masuk ke area yang lebih dalam yaitu di daerah
lamina propia. Penyusun daripada tungau-tungau pada debu rumah ini yang
memiliki aktivitas protease ini dapat memasuki daerah epitel dan
mempenetrasi daerah yang lebih dalam di saluran pernafasan. 4
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan nonimunologi
juga merupakan pencetus daripada asma termasuk rokok dan perokok pasif.
Kira-kira 25% sampai 30% dari penderita asma adalah seorang perokok. Hal
ini menyimpulkan bahwa merokok ataupun terkena asap rokok akan
meningkatkan morbiditas dan keparahan penyakit dari penderita asma.
Terpapar asap rokok yang lama pada pasien asma akan berkontribusi terhadap
kerusakan dari fungsi paru, yaitu 3 penurunan kira-kira 18% dari FEV 1
selama 10 tahun. Pasien asma yang memiliki kebiasaan merokok akan
mempercepat terjadinya emfisema. 4
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi.
Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan
toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai
dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut dapat bervariasi menurut waktu
dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial, beratnya, intensitas,
dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh
adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi
saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga
mempengaruhi munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik
rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat
pendidikan penderita, atau pekerjaan. 4
Asma bukan suatu penyakit spesifik tetapi merupakan sindrom yang
dihasilkan mekanisme multipel yang akhirnya menghasilkan kompleks gejala
klinis termasuk obstruksi jalan napas reversibel. Sebagai sindrom episodik,
terdapat interval asimtomatik di antara kejadian serangan asma. Ciri-ciri yang
sangat penting dari sindrom ini, seperti dispnea, suara mengi, obstruksi jalan
napas reversibel terhadap bronkodilator, bronkus yang hiperresponsif
terhadap berbagai stimulus baik yang spesifik maupun nonspesifik, dan
peradangan saluran pernapasan. Semua ciri-ciri tadi tidak harus terdapat
bersamaan. 2
Serangan asma ditandai dengan batuk, mengi, serta sesak napas. Gejala
yang sering terlihat jelas adalah penggunaan otot napas tambahan, timbulnya
pulsus paradoksus, timbulnya Kussmaul's sign. Pasien akan mencari posisi
yang enak, yaitu duduk tegak dengan tangan berpegangan pada sesuatu agar
bahu tetap stabil, biasanya berpegangan pada lengan kursi, dengan demikian
otot napas tambahan dapat bekerja dengan lebih baik. Takikardia akan timbul
di awal serangan, kemudian diikuti sianosis sentral. 2
Gejala asma dapat dibedakan dengan gejala penyakit obstruksi jalan
napas lainnya, seperti bronkitis kronik, emfisema, dan fibrosis kistik. Asma
terjadi pada penderita muda yang bukan perokok, saat berada di antara
eksaserbasi akut, nilai kapasitas residual fungsional adalah normal, daya
tahan saat exercise dan parameter spirometrik pada penderita asma tidak
banyak berubah dibandingkan penderita bronkitis kronik maupun penderita
emfisema.2
2.6 PATOFISIOLOGI
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan
dengan proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen
yaitu hiperresponsif dari bronkial, inflamasi dan remodeling saluran
pernafasan.
1. Penyempitan saluran napas
Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari
timbulnya gejala dan perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan timbulnya penyempitan saluran napas yaitu kontraksi
otot polos saluran napas, edema pada saluran napas, penebalan dinding
saluran napas dan hipersekresi mukus. 4
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon
terhadap berbagai mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah
mekanisme dominan terhadap penyempitan saluran napas dan prosesnya
dapat dikembalikan dengan bronkodilator. Edema pada saluran napas
disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting pada
eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan
struktural atau disebut juga ”remodelling”. Proses inflamasi kronik pada
asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan
diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan
perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-
sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan
jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian
jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan
jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut berkontribusi dalam
proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan
perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway
remodelling. 4
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan
kerusakan jaringan yang menyebabkan proses perbaikan (repair) yang
terjadi berulang-ulang. Proses remodeling ini yang menyebabkan
terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya proses ini kadang-
kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses
remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses dari
remodeling ini dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein
ekstraselular matrik di dalam dan sekitar otot halus bronkial, dan
peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan peningkatan jumlah
sel atau hiperplasia. 4
2. Hiperreaktivitas saluran napas
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan
patofisiologis yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan
atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin
berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan
hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan
kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama
daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik
selama kontraksi otot polos. 4
Ada 2 faktor yang berperan dalam terjadinya asma yaitu faktor genetik
dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien
menjadi asma:
a. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan
apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul
sensitisasi pada dirinya. 3
b. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi
asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan
dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran
napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses
inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas
bronkus. 3
c. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus
(trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi). 3
Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu
rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur,
kapang, ragi serta pajanan asap rokok, pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian
b2 agonis: sedangkan pencetus: Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah
dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin. 3

2.7 PENATALAKSANAAN
Pengelolaan penyakit asma meliputi terapi nonfarmakologis dan
farmakologis. Terapi nonfarmakologis dengan menghindari faktor pencetus,
menjaga kebersihan lingkungan dan rutin kontrol ke dokter. Sedangkan terapi
farmakologis dengan obat pelega maupun pengontrol saluran nafas ada yang
disemprot dan diminum. Dijelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa
terapi nonfarmakologis lebih penting dan bermakna daripada terapi
farmakologis. Pasien diberitahu masih perlu memperbaiki pola hidupnya dan
sering kontrol asma ke Puskesmas sebulan sekali serta meminum obat dan
kurangi aktivitas fisik serta selalu sedia obat semprot pelega dirumah. 1
Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu
antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol
penyakit serta mencegah serangan dikenal dengan pengontrol, serta
bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi
eksaserbasi/ serangan dekenal dengan pelega. Contoh antiinflamasi yaitu
golongan steroid inhalasi seperti flutikason propionat dan budesonid,
golongan antileukotrin seperti metilprednisolon, kortikosteroid sistemik
seperti prednison, agonis beta-2 kerja lama seperti formeterol, prokaterol.
Obat pelega ada dari golongan agonis beta-2 kerja singkat seperti salbutamol,
terbutalin, fenoterol, golongan antikolinergik seperti ipratoprium bromide,
golongan metilsantin seperti teofilin, aminofilin dan lain-lain. 1

A. Obat Pereda
 Inhalasi Short Acting Beta Agonis (SABA)
Inhalasi Short Acting Beta Agonis (SABA) adalah obat pereda yang
lebih disukai untuk pengobatan gejala akut, dan harus diresepkan untuk
semua pasien dengan asma. SABA hanya boleh dikonsumsi berdasarkan
kebutuhan untuk menghilangkan gejala. Penggunaan SABA sesuai
kebutuhan dengan tidak adanya terapi pengontrol harus disediakan untuk
pasien dengan gejala kurang dari dua kali per bulan, tanpa terbangun malam
hari dalam sebulan terakhir, atau eksaserbasi dalam satu tahun terakhir. Pada
anak-anak dengan asma yang terkontrol dengan baik, SABA harus
digunakan kurang dari tiga kali seminggu. 5
 ICS/Formoterol Dosis Rendah
Inhalasi kortikosteroid dosis rendah misalnya
beclomethasone/formoterol atau budesonide/formoterol merupakan obat
pereda untuk pasien dengan pemeliharaan yang ditentukan. Obat ini dapat
mengurangi risiko dari eksaserbasi dibandingkan dengan SABA prn degan
gejala yang sama. 5
 Short Acting Anticholinergics
Short acting anticholinergics misalnya inhalasi ipratropium yang
digunakan bersamaan dengan SABA dapat digunakan dalam jangka waktu
pendek untuk menangani serangan akut dan dapat juga menurunkan risiko
pasien dirawat di rumah sakit. 5
B. Obat-obatan Pengontrol
 Kortikosteroid inhalasi (ICS)
ICS adalah obat antiinflamasi paling efektif yang tersedia untuk
pengobatan asma dan merupakan terapi andalan bagi sebagian besar pasien
dengan penyakit ini. Monoterapi ICS dosis rendah direkomendasikan
sebagai terapi perawatan lini pertama untuk sebagian besar anak-anak dan
orang dewasa dengan asma. Penggunaan ICS secara teratur telah terbukti
mengurangi gejala dan eksaserbasi, dan meningkatkan fungsi paru-paru
dan kualitas hidup. 5
Efek samping Efek samping lokal yang paling umum yang terkait
dengan terapi ICS adalah kandidiasis orofaringeal (juga dikenal sebagai
oral thrush) dan disfonia (suara serak, kesulitan berbicara). Membilas dan
mengeluarkan (meludah) setelah setiap perawatan dan penggunaan spacer
dengan perangkat MDI dapat membantu mengurangi risiko efek samping
ini. Efek samping sistemik dengan terapi ICS jarang terjadi, tetapi dapat
terjadi pada dosis tinggi, seperti >500 μg setara fluticasone propionate, dan
termasuk perubahan dalam kepadatan tulang, katarak, glaukoma dan
retardasi pertumbuhan. Pasien yang menggunakan dosis ICS tinggi juga
harus dimonitor untuk penekanan adrenal. 5
 Kombinasi inhaler ICS / LABA
Monoterapi LABA tidak dianjurkan pada pasien dengan asma karena
tidak berdampak pada peradangan jalan nafas dan berhubungan dengan
peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas. LABA hanya
direkomendasikan bila digunakan dalam kombinasi dengan terapi ICS.
Kombinasi LABA dan ICS telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi
gejala asma dan eksaserbasi, dan merupakan pilihan pengobatan yang
disukai pada remaja atau orang dewasa yang asma tidak terkontrol secara
memadai pada terapi ICS dosis rendah, atau pada anak di atas 6 tahun. usia
yang tidak terkontrol pada dosis ICS moderat. Kombinasi budesonide/
formoterol telah disetujui untuk digunakan sebagai inhaler tunggal untuk
perawatan harian (pengontrol) dan terapi pereda pada individu yang
berusia 12 tahun ke atas. Ini hanya boleh digunakan pada pasien yang
asma tidak terkontrol secara memadai dengan ICS dosis rendah yang
memerlukan pengobatan dengan terapi kombinasi. 5
 Leukotriene modifiers
Leukotriene modifiers contohnya adalah montelukast dan zafirlukast,
juga efektif untuk pengobatan asma dan umumnya dianggap aman dan
ditoleransi dengan baik. Karena agen ini kurang efektif daripada
pengobatan ICS ketika digunakan sebagai monoterapi, mereka biasanya
disediakan untuk pasien yang tidak mau atau tidak dapat menggunakan
ICS. Leukotriene modifiers juga dapat digunakan sebagai terapi tambahan
jika asma tidak terkontrol meskipun menggunakan terapi ICS dosis rendah
hingga sedang atau terapi kombinasi ICS/LABA. 5
 Chromones
Chromones contohnya adalah sodium cromoglycate dan nedocromil
sodium yang sangat dibatas penggunaannya pada pengobatan jangka
panjang. Memiliki efek antiinflamasi yang rendah, kurang efektif
dibandingkan dengan ICS dosis rendah. 5
C. Obat-obatan Pengontrol Tambahan
 Long Acting Muscarinic Antagonis (LAMA)
Long Acting Muscarinic Antagonis (LAMA) tiotropium, yang
diberikan dengan mist inhaler dapat digunakan sebagai terapi tambahan
untuk pasien dengan riwayat eksaserbasi walaupun telah diobati dengan
terapi kombinasi ICS/LABA. Ini hanya diindikasikan untuk pasien yang
berusia 12 tahun ke atas. 5
 Anti-IgE
Anti-IgE misalnya omalizub (diberikan secara subkutan) dapat
menjadi pilihan terapi tambahan pada pasien dengan alergi asma parah ≥ 6
tahun yang tidak terkontrol menggunakan ICS/LABA dosis tinggi. 5
 Anti-IL5
Anti-IL5 misalnya mepolizumab atau benralizumab (diberikan
secara subkutan dan usia diatas 12 tahun), dan reslizumab (diberikan
secara secara IV dan usia diatas 18 tahun) bisa menjadi pilihan terapi
tamabahan untuk pasien asma eosinofilik parah yang tidak terkontrol
menggunakan ICS/LABA dosis tinggi. 5
 Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik, seperti prednison oral, umumnya digunakan
untuk perawatan akut eksaserbasi asma sedang hingga berat. Sementara
terapi kortikosteroid sistemik kronis mungkin juga efektif untuk
pengelolaan asma yang sulit dikontrol, penggunaan steroid oral yang
berkepanjangan dikaitkan dengan efek samping serius yang diketahui dan
berpotensi serius dan oleh karena itu, penggunaan rutin atau jangka
panjangnya harus dihindari jika semua mungkin, terutama pada anak-anak.
Kejadian buruk dengan prednison oral jangka pendek dan dosis tinggi
jarang terjadi, tetapi dapat meliputi kelainan reversibel dalam metabolisme
glukosa, peningkatan nafsu makan, edema, kenaikan berat badan,
pembulatan wajah, perubahan suasana hati, hipertensi, tukak lambung dan
nekrosis vascular. 5

Obat-obatan asma yang beredar di Indonesia


Jenis Obat Golongan Nama Generik Bentuk Kemasan Nama Dagang
Obat
Pengontrol Glukokortikoid Flutikason Inhalasi (diskus)  Seretide diskus
inhalasi propionat kombinasi dengan  Seretide IDT
salmeterol  Respitide IDT
Budesonid  Inhalasi  Symbicort
(Turbuhaler), turbuhaler
kombinasidengan  Obucort
formoterol  inflafide
 Swing haler
 IDT
Agonis beta-2 Salmaterol Inhalasi, kombinasi  Seretide diskus
kerja lama dengan Flutikason  Seretide IDT
(LABA) propionat
Folmoterol Inhalasi, kombinasi Symbicort
dengan Budesonid turbuhaler
Prokaterol Oral (Tablet)  Meptin
 Meptin mini
Antileukotrien Zafirlukast Oral, Tablet Accolate
Montelukast Oral, Tablet  Singulair
 Monarin
Glukokortikoid Metilprednisolon Oral, Tablet Metilprednisolon
sistemik Prednisolon Oral, Tablet Prednisolon
Salumedrol Inj
Medrol tablet
Prednison Oral, Tablet Prednison
Trisamsinolon Oral, Tablet Kenacort
Pelega Agonist Beta-2 Salbutamol Inhalasi (IDT,  Ventolin
kerja singkat Nebuls) IDT/Nebuls
 Suprasma
Terbutalin Inhalasi (Turbuhaler Bricasma
nebuls), injeksi, sirup
Prokaterol Inhalasi (Swinghaler), Meptin swinghaler
sirup
Fenoterol Inhalasi (IDT, Berotec solusio
Solusio)
Antikolinergik Ipratorium  Inhalasi, nebulasi  Atrovent solusio
kerja singkat bromide  Kombinasi dengan  Combivent
SABA IDT/Nebuls
Metilsantin Teofilin  Oral, tablet/sirup
aminofilin
Beta-2 Agonis Formoterol Inhalasi turbuhaler Symbicort
kerja lama dalam kombinasi turbuhaler
(LABA)
BAB III
PENUTUP

Asma didefinisikan sebagai penyakit radang kronis pada saluran pernafasan.


Peradangan kronis dikaitkan dengan hiperresponsivitas jalan napas (adanya
penyempitan jalan napas berlebihan yang disebabkan oleh pemicu spesifik seperti
virus, alergen, dan olahraga) yang mengarah pada episode berulang berupa mengi,
sesak napas, nyeri dada dan/atau batuk yang dapat bervariasi dari waktu ke waktu
dan intensif. Gejala umum yang terjadi berkaitan dengan penyumbatan aliran
udara yang biasanya reversibel baik secara spontan atau dengan pengobatan asma
yang sesuai seperti bronkodilator yang bekerja cepat.
Asma merupakan penyakit yang banyak menyerang masyarakat. Gejala
pasien yang memiliki asma banyak diketahui seperti mengi, batuk, nafas pendek,
dan nyeri/sesak pada dada. Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan
terjadinya asma. Beberapa cara dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit
asma seperti melihat riwayat medis, pemeriksaan fisik dan pengukuran objektif,
pertanyaan kunci yang ditanyakan kepada pasien. Manajemen terapi dari pasien
yang terkena asma meliputi obat pereda dan pengontrol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nuari, A., Soleha, T. U., Maulana, M. "Penatalaksanaan Asma Bronkial
Eksaserbasi pada Pasien Perempuan Usia 46 Tahun dengan Pendekatan
Kedokteran Keluarga di Kecamatan Gedong Tataan." Jurnal Majority 7.3
2018: 144-151.
2. Djojodibroto, R. D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC. 2015
3. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman
Pengendalian Penyakit Asma. 2008
4. Setiawan, K. Asma Bronkial. Universitas Udayana. 2018
5. Afgani, A. Q., Hendriani, R. "Review Artikel: Diagnosis Dan Manajemen
Terapi Asma." Farmaka 18.2 2020: 26-36.

Anda mungkin juga menyukai