Anda di halaman 1dari 37

TUGAS INDIVIDU

PROPOSAL

PENGARUH TERAPI DAN TERAPI ORAL


TERHADAP SERANGAN ASMA DI RSUD
KRATON KAB. PEKALONGAN

Dosen Pengampu : Ibu Dina Indrati DS, S.Kep. Ns. M.Kep.,Sp.Mat.

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Riset Keperawatan

Dibuat Oleh :
PRADIPTA N NIM. P1337420622149

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN KELAS ALIH


JENJANG

POLTEKKES KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG


TAHUN 2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma merupakan suatu penyakit heterogen yang menyerang individu dari


segala usia (Ilmarinen et al., 2021). Menurut Global Initiative for Asthma
GINA (2021), menjelaskan bahwa asma adalah suatu penyakit heterogen, yang
biasanya ditandai dengan adanya peradangan pada saluran napas kronis. Hal ini
ditentukan oleh riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, dada
sesak dan batuk yang sangat lama dan dalam intensitas, bersama dengan
kondisi keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi. Interaksi dari
karakteristik asma tersebut menentukan manifestasi klinis, tingkat keparahan
dan respon terhadap pengobatan. Episode perburukan obstruksi jalan nafas
biasanya luas tetapi dapat bersifat reversibel, dapat membaik sendiri atau perlu
dibantu dengan pengobatan (Initiatife, 2020; , Services, 2007). Asma adalah
gangguan aliran udara intermitten dan reversibel yang hanya mempengaruhi
jalan nafas, tidak sampai pada alveoli. Gangguan aliran udara terjadi dengan
dua cara yaitu inflamasi (peradangan) dan hiperresponsif jalan nafas. Inflamasi
terjadi pada lumen (bagian dalam) jalan napas. Hiperresponsif jalan napas
terjadi karena konstriksi otot bronkial yang lembut sehingga menyebabkan
penyempitan jalan napas kearah luar. Asma ditandai dengan peradangan
saluran udara, obstruksi aliran udara, dan hiperresponsif bronkus (Nanda &
Wasan, 2020). Eksaserbasi bisa berakibat fatal dan lebih sering serta lebih
serius pada pasien berisiko tinggi atau pasien dengan asma yang tidak
terkontrol (GINA, 2018). Faktor-faktor seperti infeksi virus, alergen, asap
tembakau, latihan fisik, stres, obat-obatan tertentu (obat antiinflamasi
nonsteroid dan beta-blocker) dapat memicu atau memperburuk gejala asma
(GINA 2018; WHO 2018). Beberapa fenotipe sudah teridentifikasi, seperti
asma alergi, asma non-alergi, dan asma onset lambat (GINA ,2018).

2
Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, merupakan
penyebab utama kecacatan dan pemanfaatan sumber daya kesehatan bagi
mereka yang terkena dampak, yang mungkin memerlukan perawatan darurat
(Nunes et al., 2017). Walaupun tidak ada obat untuk asma yang diketahui, ada
berbagai intervensi farmakologis dan non-farmakologis yang dapat membantu
orang mengontrol gejala pada pasien asma (GINA 2018). Intervensi non-
farmakologis rupanya telah mendapat perhatian dalam pengobatan asma.
Intervensi tersebut termasuk latihan pernapasan, aktivitas fisik, dan strategi lain
seperti berhenti merokok, menghindari paparan pekerjaan dan alergen dalam
ruangan, dan penurunan berat badan, dan lain-lain (GINA, 2018). Hampir 6% -
30% pasien asma dilaporkan menggunakan berbagai metode pernapasan untuk
membantu mengendalikan gejala mereka untuk meminimalkan ketergantungan
mereka pada obat-obatan (Hall et al., 2017). Penyakit asma perlu penanganan
yang baik dari tenaga kesehatan karena penyakit tersebut bisa dialami terus
menerus oleh anak bahkan sampai dewasa. Oleh karena itu perlu adanya terapi
yang dapat diberikan, baik terapi farmakologis maupun terapi non
farmakologis. Terapi non farmakologis yang bisa diberirikan pada anak adalah
teknik pernapasan (Harsismanto et al., 2021).

Penyakit asma mempengaruhi sekitar 300 juta orang di seluruh dunia dan
sekitar 7,5% orang dewasa di Amerika Serikat. Penyakit asma juga
mempengaruhi sekitar 1% sampai 18% dari populasi di seluruh dunia. Setiap
tahun, jumlah kematian akibat asma sekitar 180.000 dengan variasi yang luas
antara usia, kelompok ekonomi, benua dan wilayah (GINA 2018; WHO 2018).
Sedangkan, berdasarkan data dari WHO (2021) menunjukan bahwa asma
mempengaruhi sekitar 262 juta orang pada tahun 2019 dan menyebabkan
461.000 kematian. Di Indonesia prevalensi kejadian asma pada penduduk
semua umur sebesar 2,4% (Riskesdas, 2018). Sejalan dengan data dari Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukan
bahwa pada tahun 2018 terdapat sembilan belas provinsi yang mempunyai

3
prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional yaitu DI Yogyakarta,
Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan
Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Kep. Bangka Belitung, Jawa
Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten,
Sulawesi Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Tenggara.
Terdapat lima belas provinsi yang memiliki prevalensi asma di bawah angka
nasional yaitu Aceh, Papua Barat, Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Maluku, Papua, Jawa Tengah,Maluku Utara, Jambi,
Lampung, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat , dan Sumatera Utara.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).

Di Indonesia, terdapat sembilan belas provinsi yang mempunyai


prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional dan salah satunya termasuk
Aceh. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) asma
merupakan penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar
5,6%. Dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000
penduduk. Kejadian asma terbanyak di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu 7,8%
dan di Nusa Tenggara Timur yaitu 7,3%, sedangkan di Provinsi Bengkulu
angka kejadian asma yaitu 2,0%.

Data GINA 2020, prevalensi asma di dunia 1-18%, tren yang terus
meningkat setiap tahunnya (Initiative, 2020). Spektrum asma mengenai semua
umur, gejala dapat sangat ringan sampai berat dan dapat menyebabkan
kematian. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas hidup serta menjadi beban
ekonomi sosial.

Berdasarkan buku saku Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dalam


perkembangan kasus PTM, penyakit Asma berada diurutan ke 4 pada tahun
2020 dengan prevalensi 2% atau 70.702 jiwa dan pada tahun 2021 triwulan 1
prevalensinya mencapai 2% atau 17.676 jiwa ( Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah, 2021).

4
Strategi penatalaksanaan upaya yang penting dalam menyembuhkan
dengan perawatan yang tepat merupakan tindakan utama dalam menghadapi
klien penderita asma, untuk mencegah komplikasi yang lebih fatal dan diharap
klien dapat segera sembuh. Penanganan utama pada penderita asma, lakukan
tindakan pemberian oksigen melalui masker maupun kanul nasal. Posisikan
klien senyaman mungkin atau dudukan klien semifowler, lakukan pemberian
inhalasi nebulizer, terapi pemberian obat, lakukan fisioterapi dada dan ajarkan
klien berlatih pernapasan agar klien dapat mengontrol pernapasannya, anjurkan
pasien minum minuman yang hangat. Kerja sama dengan tim medis serta
melibatkan klien dan keluarga sangat diperlukan agar perawatan dapat berjalan
dengan lancar (Claudia, 2017). Pemberian terapi pada penderita asma di
fasilitas pelayanan kesehatan pada umumnya diberikan dengan cara terapi
peroral dan terapi inhalasi.

Terapi oral adalah cara pemberian obat melalui mulut dengan tujuan
mencegah, mengobati, mengurangi, rasa sakit sesuai dengan efek terapi dari
jenis obat, terapi ini sangat lazim diberikan kepada pasien. Obat-obatan oral
tersedia dalam berbagai jenis yaitu pil, tablet, bubuk, syrup dan kapsul. Selama
pasien mampu menelan dan mempertahankan obat dalam perut, pemberian
obat peroral menjadi pilihan. Kontra indikasi pemberian obat peroral adalah
bila pasien muntah, perlunya tindakan suction, kesadaran menurun atau
kesulitan menelan. Suatu obat yang diminum peroral akan melalui tiga fase,
yaitu farmasetik, farmakokinetik dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat
terjadi. Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat
menembus membran biologi. Jika obat diberikan melalui rute subkutan,
intramuskuler atau intravena maka tidak terjadi fase farmasetik. Fase kedua
yaitu farmakokinetik yang meliputi 4 fase, yaitu absorbsi, distribusi,
metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik,
atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis. Sekitar 80% obat
diberikan secara oral, oleh karena itu farmasetika adalah fase pertama dari
kerja obat.

5
Terapi inhalasi merupakan suatu terapi melalui sistem pernafasan yang
ditujukan untuk membantu mengembalikan atau memperbaiki fungsi
pernafasan pada berbagai kondisi, penyakit, ataupun cidera. Terapi ini telah
lama dikembangkan dan kini sudah diterima secara luas sebagai salah satu
terapi yang berkaitan dengan penyakit-penyakit saluran nafas kronik seperti
asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Pada umumnya, terapi
inhalasi dilakukan dengan menggunakan suatu alat khusus yang dapat
membentuk partikel-partikel aerosol yang selanjutnya dengan teknik tertentu
dialirkan menuju saluran nafas hingga mencapai reseptor kerja obat. Aerosol
adalah suspensi partikel-partikel zat padat atau cairan di dalam gas yang dapat
memasuki saluran nafas melalui proses inspirasi. Keuntungan utama dari terapi
inhalasi ini adalah obat yang diberikan akan secara langsung menuju lumen
internal dari saluran nafas dan kemudian menuju target kerja obat di dalam
paru-paru. Selain itu, onset kerja obat akan lebih cepat dan dosis yang
diberikan lebih kecil, sehingga dosis sistemik dari sebagian besar obat yang
diberikan secara inhalasi lebih rendah daripada obat oral maupun intravena dan
efek samping sistemiknya juga akan lebih rendah. Adapun beberapa tipe
perangkat pembentuk aerosol atau generator aerosol yang umm digunakan
yaitu pressurized metered dose inhaler (pMDI), dry powder inhaler (DPI) dan
nebulizer. Pemilihan generator aerosol disesuaikan dengan penderita. Terapi
inhalasi harus dapat menyediakan dosis yang konsisten, yaitu dengan distribusi
ukuran partkel aerodinamik yang sesuai, untuk memastikan bahwa obat dapat
secara efisien mencapai ke sisi target pada paru-paru. Desain generator
(device) yang baik juga harus mempertimbangkan penggunaannya pada pasien,
hal ini dapat meliputi ketahanan, mudah untuk digunakan, portable, dan cocok
untuk segala usia yang ditujukan untuk mencapai kepatuhan yang baik dari
pasien terhadap pengobatan yang diberikan.

Untuk menunjang keberhasilan dalam penggunaan inhalasi diperlukan


pengetahuan tentang teknik inhalasi yang optimal, sehingga penggunaan terapi

6
inhalasi dapat lebih dipahami dan perlu berulang kali memantau apakah pasien
menggunakan inhaler dengan tepat (Rahajoe, 2018).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas,


maka peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu apakah ada perbedaan
terapi inhalasi dengan terapi oral terhadap serangan asma.

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Adapun tujuan umum adalah diketahuinya perbedaan terapi oral


dengan terapi inhalasi terhadap serangan asma.

2. Tujuan khusus

a. Menganalisa perbedaan efektifitas terapi oral dan inhalasi terhadap


respon sesak pasien asma.

b. Diketahuinya perbandingan lama reaksi terapi inhalasi dengan terapi


oral.

c. Diketahuinya penurunan sesak nafas dan irama nafas teratur setelah


pemberian terapi.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

a. Bagi Peneliti

7
1) Mengembangkan pengetahuan peneliti dalam mengaplikasikan
pengetahuan tentang metode penelitian berdasarkan kasus yang ada di
masyarakat.

2) Mengetahui perbedaan pemberian terapi inhalasi dengan terapi oral pada


pasien asma.

b. Bagi Institusi

Sebagai bahan tambahan untuk pengetahuan dan informasi agar dapat


mengembangkan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Tempat Penelitian

Dapat digunakan untuk referensi dalam meningkatkan program


pelayanan terhadap pasien dengan serangan asma.

b. Bagi Responden

Dapat meningkatkan pengetahuan tentang penanganan terhadap serangan


asma.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asma

1. Definisi Asma.

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemennya, dimana banyak sel yang berperan terutama sel mast,
eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Inflamasi kronik
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang, seperti mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk
terutama pada malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel
dengan atau tanpa pengobatan (PDPI, 2003 ; Yudhawati & Krisdanti, 2019).

Penyakit asma merupakan penyakit tidak menular yang ditandai dengan


sesak napas. Penyempitan saluran napas akibat proses peradangan (inflamasi)
inilah yang menjadi penyebabnya. Pada asma, terjadinya kontraksi otot polos di
saluran pernapasan dan pengeluaran lendir yang meningkat dari biasanya akibat
adanya pencetus, yaitu alergen atau iritan. Saat terjadi serangan asma, saluran
napas meradang, bengkak, dan terisi lendir. Lendir ini sangat kental sehingga
mempersempit atau bahkan menyumbat saluran napas. Akibatnya, saat terjadi
serangan asma, mengeluarkan napas menjadi lebih sulit dibanding saat menarik
napas (Prihaningtyas, 2014).

9
2. Etiologi

Secara umum, penderita asma mengalami penyempitan bronkus yang


disebabkan oleh hiperaktivitas bronkus. Oleh karena itu, serangan asma mudah
terjadi akibat berbagai rangsangan baik alergen, infeksi saluran pernapasan dan
psikologis. Menurut penyebabnya asma terbagi menjadi tiga, antara lain sebagai
berikut :

1. Asma ekstrinsik (alergik), merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh
alergen (misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan).
Alergen yang paling umum adalah alergen yang perantaraan penyebarannya
melalui udara (airborne) dan alergen yang muncul secara musiman (seasonal).
Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi
pada keluarga dan riwayat pengobatan ekzema atau rhinitis alergik. Paparan
terhadap alergi menjadi pencetus serangan asma. Gejala asma umumnya
dimulai saat anak-anak.

2. Asma intrinsik (non alergik), merupakan jenis asma yang tidak berhubungan
secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti udara dingin,
infeksi saluran napas atas, aktivitas fisik, ekspresi emosi yang berlebihan, dan
polusi lingkungan dapat menimbulkan serangan asma. Beberapa agen
farmakologi, antagonis beta-adrenergik, dan agen sulfite (penyedap makanan)
juga dapat berperan sebagai faktor pencetus. Serangan asma dapat menjadi
lebih berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat berkembang
menjadi bronkhitis dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat
berkembang,menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai pada
saat dewasa (>35 tahun).

3. Asma campuran (mixed asthma), merupakan bentuk asma yang paling sering
ditemukan. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma ekstrinsik
(alergik) dan asma intrinsik (non alergik) (Muttaqin, 2012; Utama, 2018).

10
3. Faktor Resiko Asma

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan :

1. Faktor genetik

a. Atopi/ alergi, hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penanggulangannya. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma jika terpajan dengan faktor
pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus, saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan


alergen maupun iritan.

c. Jenis kelamin, pria merupakan risiko untuk asma pada anak.

d. Usia, sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5 – 2
kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut
lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

2. Faktor lingkungan

a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing dan lain-lain).

b. Alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur).

c. Alergen makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat,
kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna makanan).

d. Alergen obat-obatan tertentu (penisilin, sefalosporin, golongan beta lactam


lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesic, antipiretik dan lainlain).

11
e. Bahan yang mengiritasi (parfum, household spray dan lain-lain).

f. Ekspresi emosi berlebih atau stres seperti kecemasan dapat menjadi pencetus
serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang
mengalami kecemasan perlu diberikan konseling untuk mengatasinya. Karena jika
belum diatasi, maka gejala asmanya akan sulit diobati.

g. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif, berhubungan dengan penurunan
fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan
dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya
gejala serupa asma pada usia dini.

h. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan.

i. Exercise-induced asthma, pada penderita yang kambuh asmanya ketika


melakukan aktivitas/ olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan
mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat.
Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.

j. Perubahan cuaca, cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan)
(Priyatna, 2012).

4. Tanda dan Gejala Asma

Tanda dan gejala yang muncul yaitu hipoventilasi, dispnea, wheezing


(mengi), pusing, perasaan yang merangsang, sakit kepala, nausea, peningkatan
napas pendek, kecemasan, diaforesis dan kelelahan. Hiperventilasi merupakan
salah satu gejala awal dari asma. Kemudian sesak napas parah dengan ekspirasi

12
memanjang disertai wheezing (pada apeks dan hilus). Gejala utama yang sering
muncul adalah dispnea, batuk dan mengi. Mengi sering dianggap salah satu gejala
yang ditandai selalu ada apabila serangan asma muncul (Utama, 2018).

Tanda dan gejala umum asma meliputi, antara lain :

a. Batuk dengan ataupun tanpa produksi sputum (dahak)

b. Kulit diantara tulang rusuk tampak tertarik ke dalam saat bernapas (retraksi
interkostalis)

c. Sesak napas yang semakin memburuk bila disertai dengan latihan atau aktivitas

d. Wheezing (mengi) yang muncul secara episodik dalam periode tanpa gejala
lain, lebih buruk pada malam hari atau pagi hari, akan menghilang dengan
sendirinya, akan membaik bila minum obat yang membuka saluran pernapasan
(bronkodilator), semakin buruk saat menghirup udara dingin, semakin buruk saat
melakukan aktivitas fisik, semakin buruk bila disertai refluks, biasanya muncul
secara tiba-tiba.

Sedangkan tanda dan gejala yang berat pada asma, antara lain:

a. Bibir dan wajah tampak kebiruan

b. Penurunan tingkat kewaspadaan seperti mengantuk berat atau kebingungan

c. Kesulitan bernapas yang ekstrem

d. Denyut nadi meningkat

e. Timbul kecemasan berat karena sulit bernapas

f. Berkeringat

13
Beberapa tanda dan gejala lain yang mungkin menyertai asma, antara lain:

a. Pola pernapasan abnormal seperti perlu menarik dua tarikan napas untuk
menghirup napas dalam-dalam

b. Kadang-kadang terjadi henti napas

c. Nyeri dada dan rasa sesak di dada (Priyatna, 2012)

5. Klasifikasi Asma

Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahan penyakit (derajat asma)


yaitu:

1. Intermiten
Intermitten ialah derajat asma yang paling ringan. Pada tingkatan
derajat asma ini, serangan asma biasanya berlangsung secara singkat.
Gejala ini bisa muncul di malam hari dengan intensitas sangat rendah yaitu
≤ 2x sebulan.

2. Persisten Ringan
Persisten ringan ialah derajat asma yang tergolong ringan. Pada
tingkatan derajat asma ini, gejala pada sehari-hari berlangsung lebih dari 1
kali seminggu, tetapi kurang dari atau sama dengan 1 kali sehari dan
serangannya biasanya dapat mengganggu aktifitas tidur di malam hari.

3. Persisten Sedang
Persisten sedang ialah derajat asma yang tergolong lumayan berat.
Pada tingkatan derajat asma ini, gejala yang muncul biasanya di atas 1x
dalam sepekan dan hampir setiap hari. Serangannya biasanya dapat
mengganggu aktifitas tidur di malam hari.

4. Persisten Berat

14
Persisten berat ialah derajat asma yang paling tinggi tingkat
keparahannya. Pada tingkatan derajat asma ini, gejala yang muncul
biasanya hampir setiap hari, terus menerus, dan sering kambuh.
Membutuhkan bronkodilator setiap hari dan serangannya biasanya dapat
mengganggu aktifitas tidur di malam hari.

6. Patofisiologi Asma

Alergen masuk ke dalam tubuh dapat melalui saluran pernapasan yang


akan ditangkap oleh Antigen Presenting Cells (APC). Setelah alergen diproses
dalam APC (sel dendritik), kemudian dipresentasikan menjadi sel T helper 2
(Th2) yang akan melepaskan interleukin 4 (IL-4), interleukin 5 (IL-5), dan
interleukin 13 (IL-13). IL-4 menyebabkan proliferasi sel B menjadi sel plasma
untuk memproduksi IgE antibodi. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh sel
mastosit. Ikatan tersebut menimbulkan degranulasi sel mastosit, dan merangsang
keluarnya mediator dalam granul-granul sitoplasma, yaitu histamin, leukotriene,
Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECFA), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF),
triptase, dan kinin yang memunculkan gejala asma seperti sesak, mengi, dan
bronkokonstriksi. Sel Th 2 mengeluarkan Growth Factors (GF) yang
menyebabkan terjadinya remodelling jalan napas melibatkan pengaktifan banyak
struktur sel yang meningkatkan penyumbatan aliran udara dan hiperresponsif
saluran napas (Saputro & Fazrin, 2017).

7. Pemeriksaan Asma

a. Pengukuran fungsi paru (spirometri)

15
Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator
aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asma

b. Tes provokasi bronkhus

Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV sebesar 20% atau
lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90% dari maksimum dianggap
bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 10% atau lebih

c. Pemeriksaan kulit

Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik di dalam


tubuh

d. Pemeriksaan laboratorium

1. Analisa gas darah (AGD/Astrup) Hanya dilakukan pada serangan asma


berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik

2. Sputum Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma


yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi
dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari
perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, cara
tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik

3. Sel eosinofil Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat
mencapai 1000-1500/mm3 baik asma ekstrinsik ataupun intrinsik, sedangkan
hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai
penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat

16
4. Pemeriksaan darah rutin dan kimia Jumlah sel leukosit yang lebih dari
15.000/mm3 terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat
disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea

e. Pemeriksaan Radiologi

Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma bronkhial biasanya


normal, tetapi prosedur ini harus tetap dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti
pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain (Muttaqin, 2012).

8. Penatalaksanaan Asma

Pengobatan Nonfarmakologi

a. Penyuluhan, penyuluhan ini ditujukan untuk peningkatan pengetahuan


klien tentang penyakit asma sehingga klien secara sadar menghindari faktor-faktor
pencetus, menggunakan obat secara benar dan berkonsultasi pada tim kesehatan.

b. Menghindari faktor pencetus, klien perlu dibantu mengidentifikasi


pencetus serangan asma yang ada pada lingkungannya, diajarkan cara
menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk intake cairan yang cukup
bagi klien.

c. Fisioterapi, dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus.


Ini dapat dilakukan dengan postural drainase, perkusi, dan fibrasi dada.

Pengobatan Farmakologi

a. Agonis beta: metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol,


bekerja sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4 kali semprot, dan jarak antara
semprotan pertama dan kedua adalah 10 menit 20
17
b. Metilxantin, dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4 kali sehari.
Golongan metilxantin adalah aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila
golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan

c. Kortikosteroid, jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan


respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol
dengan dosis 4 kali semprot tiap hari. Pemberian steroid dalam jangka yang lama
mempunyai efek samping, maka klien yang mendapat steroid jangka lama harus
diawasi dengan ketat

d. Kromolin dan Iprutropioum bromide (atroven), kromolin merupakan


obat pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis Iprutropioum bromide
diberikan 1-2 kapsul 4 kali sehari (Muttaqin, 2012).  

Pencegahan Kambuhnya Asma :


1. Perhatikan waktu atau kegiatan sebelum mendapat serangan, misalnya
udara, rokok, makanan/minuman, debu, kegiatan fisik, obat-obatan, infeksi
dan lain sebagainya. Buat catatan, sehingga di dapat gambaran jelas
tentang penyebabnya dan dapat dihindari
2. Cuci sarung bantal, sprei, horden lebih sering
3. Potong rumput di halaman lebih sering
4. Pilih tanaman yang tidak berbunga
5. Jauhi asap rokok
6. Hindari makanan laut
7. Jangan memelihara binatang berbulu dirumah (anjing, kucing, burung)
8. Gunakan pakaian hangat jika cuaca dingin
9. Hindari aktifitas yang dapat membuat tubuh kelelahan
10. Selalu sediakan obat asma di rumah dan/atau di tas kala bepergian
11. Jika menggunakan obat steroid hirup, setelah menghirup obat ini
dianjurkan berkumur dengan air hangat untuk menghindari efek
sampingnya berupa jamur pada kerongkongan dan pita suara
12. Jika asma terlanjur kambuh, hentikan aktifitas dan segera beristirahat
18
13. Obati serangan secara dini, jangan menunggu sampai sesak nafas
14. Jika setelah minum obat tidak terjadi perbaikan, harus segera berobat ke
UGD rumah sakit terdekat.
B. Terapi Oral

1. Definisi

Terapi pemberian obat yang cara penggunaannya masuk melalui


mulut. Obat oral biasanya diberikan secara oral dalam bentuk tablet, cairan
(sirup, emulsi), kapsul, atau tablet kunyah. Rute ini paling sering
digunakan karena paling nyaman dan biasanya yang paling aman dan tidak
mahal. Namun, rute ini memiliki keterbatasan karena jalannya obat
biasanya bergerak melalui saluran pencernaan. Untuk obat diberikan
secara oral, penyerapan (absorpsi) bisa terjadi mulai di mulut dan
lambung. Namun, sebagian besar obat biasanya diserap di usus kecil. Obat
melewati dinding usus dan perjalanan ke hati sebelum diangkut melalui
aliran darah ke situs target. Dinding usus dan hati secara kimiawi
mengubah (memetabolisme) banyak obat, mengurangi jumlah obat yang
mencapai aliran darah. Akibatnya, ketika obat yang sama diberikan secara
suntikan (intravena), biasanya diberikan dalam dosis yang lebih kecil
untuk menghasilkan efek yang sama.

Pemberian obat melalui oral atau mulut memang merupakan cara


termudah dan paling sederhana. Cara tersebut meminimalkan
ketidaknyamanan pada klien dan dengan efek samping yang paling kecil,
serta paling murah dibandingkan dengan cara pemberan yang lain.
Keuntungan pemberian obat melalui oral diantaranya realtif aman, praktis,
ekonomis, sedangkan kerugiannya timbul efek lambat, tidak bermanfaat
untuk pasien yang sering muntah, diare, tidak sadar atau tidak kooperatif.

2. Farmakokinetik

a. Absorpsi dan Bioavailabilitas

19
Absorpsi merupakan proses penyerapan partikel-partikel obat dari
tempat pemberian ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif,
absorpsi aktif atau pinositosis. Absorpsi menyangkut kelengkapan dan
kecepatan proses penyerapan. Kelengkapan dinyatakan dalam persen
dari jumlah obat yang diberikan. Secara klinik, bioavailabilitas lebih
penting.

Bioavailabilitas dinyatakan sebagai jumlah obat dalam persen terhadap


dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini
terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi
dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Setelah
diabsorpsi, partikrl obat melewati lumen usus masuk ke dalam hati
melalui vena porta.. di dalam hati, kebanyakan obat dimetabolisme
menjadi bentuk yang tidak aktif untuk diekskresikan sehingga
mengurangi jumlah zat aktif

b. Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat akan diditribusi ke seluruh tubuh melalui


sirkulasi darah. Factor-faktor yang mempengaruhi distribusi adalah
aliran darah (fungsi kardiovaskuler), afinitas terhadap jaringan, ikatan
obat dengan protein plasma, sifat fisikokimia, dan adanya hambatan
fisiologi tertentu, seperti abses atau kanker. Sedangkan kecepatan
distribusi dipengaruhi oleh permeabilitas membrane kapiler terhadap
molekul obat.

Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya


di dlam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah
penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik (suplai darah
lebih banyak atau cepat) misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.
Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup
jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas, misalnya otot,

20
visera, kulit dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai
keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Jaringan yang mengalami
penurunan perfusi (misalnya : kontraksi) atau kerusakan perfusi
(misalnya: abses) akan mengalami hambatan dalam distribusi obat.

c. Biotransformasi/Metabolisme

bitransformasi atau Metabolisme obat ialah proses perubahan


struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim.
Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih
mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak, sehingga lebih
mudah diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar biotransformasi
berlangsung di bawah pengaruh enzim yang mendetoksifikasi,
mengurai (memecah), dan melepas zat kimia aktif secara biologis.
Enzim yang berperan dalam biotranformasi obat dapat dibedakan
berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat
dalam reticulum endoplasma halus (pda isolasi in vitro membentuk
mikrosom), dan enzi non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolism
ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan
lain, misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna dan plasma.

Hati sangat penting karena strukturnya yang khusus mengoksidasi


dan mengubah banyak zat toksik hati mengurai banyak zat kimia
berbahaya sebelum didistribusi ke jaringan. Penurunan fungsi hati yang
terjadi seirimg penuaan atau disertai penyakit hati memengaruhi
kecepatan eliminasi obat dari tubuh. Perlambatan metabolism yang
dihasilkan membuat obat terakumulasi di dalam tubuh, akibat klien
lebih berisiko mengalami toksisitas obat.

d. Eksresi

21
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam
bentuk metabolit hasil biotransformai atau dalam bentuk asalnya. Obat
atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak,
kecuali pada ekskresi melalui paru. Obat bebas, yang mudah larut
dalam air difiltrasi di ginjal. Obat-obatan yang masih berikatan dengan
protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Setelah ikatan antara obat dan
protein lepas maka obat baru dapat diekskresikan melalui urine.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan
rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali, sehingga tidak
berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur juga dapat digunakan sebagai
pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut. Pun
dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada
kedokteran forensik.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolism obat


a. Faktor Genetik dan Keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat
kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan
bahwa faktor genetik atau keturunan ikut berperan terhadap adanya
perbedaan kecepatan metabolisme obat.
b. Perbedaan Spesies dan Galur
Pada proses metabolism obat, perubahab kimia yang terjadi pada
spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi
kadang-kadang ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi
metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan dilakukan
terhadaptipe reaksi metabolic atau perbedaan kualitatif dan pada
kecepatan metabolism atau perbedaan kuantitatif.
c. Perbedaan Jenis Kelamin
Pada spesies binatangmenunjukkan ada pengaruh jenis kelamin
terhadap kecepatan metabolism obat.
d. Perbedaan Umur

22
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir, jumlah enzim-
enzim mikrosom hati yang diperlukan untukmemetabolisme obat relatif
Masih sedikit, sehingga sangat peka terhadap obat.
e. Pemghambatan Enzim Metabolisme
Pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu
senyawayang menghambat kerja enzim-enzim metabolism dapat
meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan
kemungkinan juga meningkatkanefek samping dan toksisitas.
f. Induksi Enzim Metabolisme
Peningkatan aktivitas enzim metabolism obat-obat tertentu atau
proses induksi enzim mempercepat proses metabolism dan menurunkan
kadar obat bebas dalam plasma, sehingga efek farmakologis obat
menurun dan masa kerjanya menjadi singkat.
g. Faktor lain-lain
diet makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan
hormone, kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi
obat dalam jaringan dan keadaan patologis hati.

C. Terapi Inhalasi

23
Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat dalam bentuk partikel aerosol
atau serbuk yang dihirup dan masuk kedalam saluran pernafasan. Prinsip pada
terapi inhalasi yaitu agar obat dapat masuk kedalam paru-paru dengan adanya
partikel aerosol atau serbuk yang terdisposisi kedalam paru-paru, dapat bekerja
cepat dan meminimalkan adanya efek samping secara sistemik karena konsentrasi
obat di dalam darah rendah dan efek terapi dapat tercapai. Partikel uap air atau
obat-obatan dibentuk oleh suatu alat yang disebut nebulizer atau aerosol
generator. Aerosol yang terbentuk akan dihirup pasien melalui mouth piece atau
sungkup dan masuk ke paru-paru untuk mengencerkan. (Meriyani et al., 2016).

Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang dilakukan secara inhalasi


(hirupan) ke dalam saluran respiratorikatau saluran pernapasan Nanda Yudip
(2016).

1. Tujuan
Menurut (Aryani et al., 2009) terapi inhalasi ini memiliki tujuan sebagai
berikut :
a. Melebarkan saluran pernapasan (karena efek obat bronkodilator)
b. Menekan proses peradangan
c. Mengencerkan dan memudahkan pengeluaran sekret (karena efek obat
mukolitik dan ekspektoran).

2. Indikasi
Indikasi penggunaan terapi inhalasi menurut (Aryani et al., 2009) efektif
dilakukan pada klien dengan :
a. Bronchospasme akut
b. Produksi sekret yang berlebih
c. Batuk dan sesak napas
d. Radang pada epiglottis

3. Kontra Indikasi
Kontraindikasi pada terapi inhalasi (Aryani et al., 2009) adalah :
24
a. Pasien yang tidak sadar atau confusion umumnya tidak kooperatif
dengan prosedur ini, sehingga membutuhkan pemakaian mask/sungkup,
tetapi efektifitasnya akan berkurang secara signifikan

b. Pada klien dimana suara napas tidak ada atau berkurang maka
pemberian medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang
menggunakan tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas
juga tidak dapat menggerakan/memasukan medikasi secara adekuat ke
dalam saluran napas.

c. Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac iritability harus


dengan perhatian. Ketika diinhalasi, katekolamin dapat meningkat cardiac
rate dan dapat menimbulkan disritmia.

4.Keuntungan terapi inhalasi

a. Onset kerja lebih cepat dibandingkan obat oral

b. Dosis yang diberikan kecil

c. Obat langsung menuju paru-paru, sehingga paparan sistemik minimal.

d. Efek samping sistemik lebih jarang dan lebih ringan dibandingkan obat
yang diberikan secara sistemik.

e. Terapi dengan obat inhalasi cenderung tidak menimbulkan nyeri,


dibandingan obat yang diberikan melalui injeksi, dan lebih nyaman.

5.Kelemahan terapi inhalasi

a. Beberapa variabel (pola nafas yang benar, tatacara penggunaan alat atau
generator aerosol) dapat mempengaruhi deposisi paru dan reproduktifitas
dosis.

25
b. Dosis yang tepat sering tidak tercapai sehingga dapat terjadi kekurangan
atau sebaliknya.

c. Deposisi orofaringeal dapat menyebabkan absorbsi sistemik

d. Iritasi orofaringeal menyebabkan penyumbatan, nausea, vomitus, dan


aerofagi.

e. Membutuhkan peralatan khusus dan mahal.

f. Kesulitan koordinasi antara gerakan tangan dan inhalasi dengan pMDI


yang dapat menurunkan keefektifan.

g. Ketersediaan berbagai macam jenis alat akan membingungkan pasien


dan klinisi.

h. Keterbatasan informasi tentang standarisasi teknik inhalasi kepada


klinisi akan mengurangi keefektifan.

i. Pemberian secara inhalasi lebih kompleks dibandingkan oral

26
D. Kerangka Teori

Penyebab Asma:

1. Genetik
2. Alergen Klasifikasi asma:
Jenis Asma:
3. Perubahan Cuaca 1. Intermiten
4. Lingkungan kerja 1. Asma Instrinsik 2. Peristen Ringan
5. Olahraga 2. Asma Ekstrinsik 3. Peristen Sedang
6. Stress 3. Asma Campuran 4. Peristen Berat

Manifestasi Klinis:
1. hipoventilasi,
2. dyspnea
3. wheezing (mengi),
4. pusing Asma
5. perasaan yang Non farmakologi:
merangsang
6. sakit kepala 1. Penyuluhan
7. Nausea 2. Hindari
8. peningkatan napas pencetus
Penatalaksanaan Asma:
pendek 3. Fisioterapi
9. kecemasan 1. Non Farmakologi
10. diaforesis 2. Farmakologi
11. kelelahan
Farmakologi

1. Terapi oral
2. Terapi Inhalasi
27
Gambar 2.1 Kerangka Teori

Keterangan :

: Diteliti

: Mempengaruhi

E. Kerangka Konsep

Faktor Kekambuhan Pasien Asma


Asma:

1. Faktor Genetik
2. Faktor Kondisi
Medis
3. Faktor Usia Kekambuhan Asma
4. Faktor Lingkungan
5. Olahraga Berlebihan
6. Stress
Terpai Oral Terapi Inhalasi

Gambar 2.2 Keramgka Konsep

Keterangan :

: Diteliti

: Alur

28
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data


yang valid dengan tujuan dapat ditemukan,dikembangkan,dan dibuktikan,
suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk
memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam bidang
pendidikan (Sugiyono, 2018).
Pada bab ini akan menguraikan tentang : 1) Desai Penelitian, 2) Populasi dan
Sampel, 3) Variabel Penelitian, 4) Definisi Penelitian, 5) Instrumen
Penelitian, 6) Metode Pengumpulan Data, 7) Analisis Data, 8) Etik Penelitian.

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa

sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian

(Setiadi, 2013). Penelitian dengan menggunakan data sekunder dari telaah

jurnal penelitian merupakan penelitian bersifat kuantitatif dengan desain

deskriptif menggunakan pendekatan Literature Review. Literature Review

adalah sebuah sintesa dari literatur tentang topik penelitian (Pan, 2008).

Metode ini dibuat dengan bersumber pada buku, jurnal serta publikasi lainnya
29
terkait dengan topik yang diteliti dan digunakan untuk menjustifikasi

pentingnya studi dilakukan, tempat penelitian, refine research question,

identifikasi teori, metodelogi dan instrument yang tepat. Adapun tujuan dari

Literature Review adalah mengidentifikasi masalah penelitian dan

mengembangkan rumusan masalah dan hipotesis, orientasi apa yang sudah dan

belum diketahui tentang area penelitian serta mendeterminasi gap atau

inkonsistensi dalam a body of knowledge (Swarjana, 2012). Metode studi

literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode

pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelolah bahan

penulisan (Nursalam, 2016). Fokus penelitian kepustakaan adalah menemukan

berbagai teori, hukum, dalil prinsip, atau gagasan yang dmigunakan untuk

menganalisis dan memecahkan pertanyaan penelitian yang dirumuskan.

B. Populasi dan Sampel


Populasi target dari penelitian ini merupakan semua pasien asma rawat jalan
di rumah sakit RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Populasi terjangkau dari
penelitian ini adalah pasien asma rawat jalan di RSUD Kraton Kabupaten
Pekalongan, yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling, yaitu
setiap pasien asma rawat jalan di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan yang
telah memenuhi kriteria inklusi akan diikutsertakan dalam penelitian hingga
jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi. Kriteria inklusi yang telah ditetapkan
adalah sebagai berikut : 1. Pasien Asma yang menggunakan terapi oral dalam
waktu minimal 3 bulan. 2. Pasien asma yang menggunakan inhaler dalam
waktu minimal 3 bulan. 3. Pasien asma dengan usia ≥ 18 tahun. Kriteria
eksklusi yang telah ditetapkan adalah pasien asma yang disertai penyakit
pernapasan yang lain meliputi (PPOK, kanker paru, bronkitis kronis, sistik
fibrosis, bronkiektasis).

30
C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah segala yang berbentuk atribut, sifat, objek atau
nilai dari suatu hal yang mempunyai variasi tertentu yang kemudian
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari guna diperolehnya informasi dan
dapat ditariknya suatu kesimpulan (Sugiyono, 2013).
a. Variabel Bebas (independent variable) Variabel bebas (variable
independent) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel terikat (variable dependen) (Sugiyono,
2014). Variabel bebas pada penelitian ini yaitu Terapi oral dan Terapi inhalasi
b. Variabel Terikat (dependent variable) Variabel terikat (variable dependent)
adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya
variabel bebas (variable independent). (Sugiyono, 2014). Variabel terikat
pada penelitian ini yaitu Kekambuhan Asma.
D. Definisi Operasional
Variabel penelitian adalah segala yang berbentuk atribut, sifat, objek atau
nilai dari suatu hal yang mempunyai variasi tertentu yang kemudian
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari guna diperolehnya informasi dan
dapat ditariknya suatu kesimpulan (Sugiyono, 2013). a. Variabel bebas
(independent variable) Variabel bebas (variable independent) adalah variabel
yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya
variabel terikat (variable dependen) (Sugiyono, 2014). Variabel bebas pada
penelitian ini yaitu Status Kontrol Asma. b. Variabel terikat (dependent
variable) Variabel terikat (variable dependent) adalah variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (variable
independent). (Sugiyono, 2014). Variabel terikat pada penelitian ini yaitu
Kualitas Hidup.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan
data (Setiadi, 2007). Penelitian ini menggunakan instrument yaitu lembar
wawancara dan lembar kuisioner ACT (Asthma Control Test). Wawancara
adalah metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dimana peneliti

31
mendapat keterangan atau pendirian secara lisan dengan penggalian secara
mendalam dan menggunakan pertanyaan terbuka (Sibagariang dkk, 2010).
Pertanyaan pada lembar pedoman wawancara mengandung unsur penyakit
asma yang sudah diderita. Pedoman wawancara dibuat 6 pertanyaan terbuka
sehingga subyek penelitian bebas memberikan jawaban. Pedoman yang
digunakan untuk mengetahui perbedaan terapi oral dengan terapi inhalasi
yang telah digunakan oleh pasien. Selain itu peneliti menggunakan alat ukur
Asthma Control Test (ACT) yang merupakan kuesioner berisi lima
pertanyaan yang dapat mendeteksi adanya perburukan penyakit berdasarkan
gejala harian, gejala malam, hambatan aktifitas, penggunaan obat pelega serta
penilaian sendiri pasien terhadap penyakitnya. Lembar kuisioner ini untuk
mengetahui apakah ada perbedaan dari 2 jenis penggunaan terapi yang
berbeda terutama dalam kecepatan reaksi terapi.

32
33
F. Metode Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini diurutkan melalui tahap-
tahap yaitu:
1. Prosedur administrasi.
a. Peneliti mengajukan permohonan studi pendahuluan ke Poltekkes
Kemenkes Semarang Prodi DIV Keperawatan Semarang.
b. Surat rekomendasi ke Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan.
c. Peneliti diberikan surat rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Pekalongan yang ditujukan kepada Direktur RSUD Kraton
Kab.Pekalongan.
2. Tahap pelaksanaan.
a. Peneliti mendata pasien asma di Puskesmas RSUD Kraton
Kab.Pekalongan..
b. Peneliti memberikan penjelasan kepada pasien tentang gambaran
umum, tujuan, manfaat, dan kerugian yang dapat ditimbulkan.
c. Peneliti menjelaskan SOP dalam pemberian terapi inhalasi dan terapi
oral
d. Setelah menjelaskan, peneliti meminta persetujuan kepada subyek
penelitian secara tertulis dengan memberikan lembar informed consent.
e. Kegiatan pengambilan data dilakukan 8 kali selama 2 minggu dan
dilakukan dalam waktu 10 menit pada saat tidak terjadi serangan.
f. Peneliti melakukan intervensi latihan nafas dalam sesuai dengan SOP.
g. Subyek penelitian mengisi kuisioner asthma control test (ACT) setelah
dilakukan terapi.
G. Analisis Data
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh
data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan
menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang
diperlukan (Setiadi, 2007). Pengolahan data yang dilakukan pada studi kasus
ini menggunakan teknik analisis kualitatif. Analisa kualitatif dilakukan
dengan cara induktif, yaitu pengambilan kesimpulan umum berdasarkan hasil

34
wawancara. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis kemudian
disajikan dalam bentuk tekstular yaitu penyajian data hasil penelitian dalam
bentuk uraian kalimat. Data yang terkumpul dari hasil wawancara dan lembar
kuisioner Asthma Control Test (ACT) untuk selanjutnya disimpulkan.
Kesimpulan ini dilihat apakah ada perubahan penyakit asma yang dialami
oleh subyek penelitian setelah dilakukan latihan nafas dalam. Setelah data
terkumpul, dilakukan pengecekan ulang terhadap kelengkapan data umum
dan pengecekan apakah data wawancara dari jawaban subyektif penelitian
sesuai dengan pernyataan yang telah dibuat.

H. Etik Penelitian

Secara umum prinsip etika dalam penelitian/pengumpulan data dapat

dibedakan menjadi tiga bagian sebagai berikut (Nursalam, 2008): 3.7.1 Prinsip

Manfaat 1. Bebas dari penderitaan Penelitian dilaksanakan tanpa

mengakibatkan penderitaan kepada subyek penelitian, khususnya jika

menggunakan tindakan khusus. 2. Bebas dari eksploitasi Partisipasi subyek

dalam penelitian harus dihindarkan dari keadaan yang tidak menguntungkan. 3.

Resiko Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan yang

akan berakibat kepada subyek pada setiap tindakan. 3.7.2 Prinsip menghargai

hak asasi manusia (respect human dignity) 1. Hak untuk ikut/tidak menjadi

responden (right to self determination). Subyek harus diperlakukan secara

manusiawi. Subyek mempunyai hak memutuskan apakah mereka bersedia

menjadi subyek atau tidak, tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat

terhadap kesembuhannya, jika mereka seorang klien. 2. Hak untuk

mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full disclosure).

Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta bertanggung

35
jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subyek. 3. Informed Consent 39

Subyek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian

yang telah dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau

menolak menjadi subyek penelitian. Pada informed consent juga perlu

dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya dipergunakan untuk

pengembangan ilmu. 3.7.3 Prinsip Keadilan 1. Hak untuk mendapatkan

pengobatan yang adil (right in fair treatment). Subyek harus diperlakukan

secara adil baik sebelum, selama, dan sesudah keikutsertaanya dalam penelitian

tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata mereka tidak bersedia atau

dikeluarkan dari penelitian. 2. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy).

Subyek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus

dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan rahasia

(confidentiali

36
37

Anda mungkin juga menyukai