PROPOSAL
Dibuat Oleh :
PRADIPTA N NIM. P1337420622149
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
2
Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, merupakan
penyebab utama kecacatan dan pemanfaatan sumber daya kesehatan bagi
mereka yang terkena dampak, yang mungkin memerlukan perawatan darurat
(Nunes et al., 2017). Walaupun tidak ada obat untuk asma yang diketahui, ada
berbagai intervensi farmakologis dan non-farmakologis yang dapat membantu
orang mengontrol gejala pada pasien asma (GINA 2018). Intervensi non-
farmakologis rupanya telah mendapat perhatian dalam pengobatan asma.
Intervensi tersebut termasuk latihan pernapasan, aktivitas fisik, dan strategi lain
seperti berhenti merokok, menghindari paparan pekerjaan dan alergen dalam
ruangan, dan penurunan berat badan, dan lain-lain (GINA, 2018). Hampir 6% -
30% pasien asma dilaporkan menggunakan berbagai metode pernapasan untuk
membantu mengendalikan gejala mereka untuk meminimalkan ketergantungan
mereka pada obat-obatan (Hall et al., 2017). Penyakit asma perlu penanganan
yang baik dari tenaga kesehatan karena penyakit tersebut bisa dialami terus
menerus oleh anak bahkan sampai dewasa. Oleh karena itu perlu adanya terapi
yang dapat diberikan, baik terapi farmakologis maupun terapi non
farmakologis. Terapi non farmakologis yang bisa diberirikan pada anak adalah
teknik pernapasan (Harsismanto et al., 2021).
Penyakit asma mempengaruhi sekitar 300 juta orang di seluruh dunia dan
sekitar 7,5% orang dewasa di Amerika Serikat. Penyakit asma juga
mempengaruhi sekitar 1% sampai 18% dari populasi di seluruh dunia. Setiap
tahun, jumlah kematian akibat asma sekitar 180.000 dengan variasi yang luas
antara usia, kelompok ekonomi, benua dan wilayah (GINA 2018; WHO 2018).
Sedangkan, berdasarkan data dari WHO (2021) menunjukan bahwa asma
mempengaruhi sekitar 262 juta orang pada tahun 2019 dan menyebabkan
461.000 kematian. Di Indonesia prevalensi kejadian asma pada penduduk
semua umur sebesar 2,4% (Riskesdas, 2018). Sejalan dengan data dari Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukan
bahwa pada tahun 2018 terdapat sembilan belas provinsi yang mempunyai
3
prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional yaitu DI Yogyakarta,
Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan
Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Kep. Bangka Belitung, Jawa
Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten,
Sulawesi Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Tenggara.
Terdapat lima belas provinsi yang memiliki prevalensi asma di bawah angka
nasional yaitu Aceh, Papua Barat, Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Maluku, Papua, Jawa Tengah,Maluku Utara, Jambi,
Lampung, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat , dan Sumatera Utara.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).
Data GINA 2020, prevalensi asma di dunia 1-18%, tren yang terus
meningkat setiap tahunnya (Initiative, 2020). Spektrum asma mengenai semua
umur, gejala dapat sangat ringan sampai berat dan dapat menyebabkan
kematian. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas hidup serta menjadi beban
ekonomi sosial.
4
Strategi penatalaksanaan upaya yang penting dalam menyembuhkan
dengan perawatan yang tepat merupakan tindakan utama dalam menghadapi
klien penderita asma, untuk mencegah komplikasi yang lebih fatal dan diharap
klien dapat segera sembuh. Penanganan utama pada penderita asma, lakukan
tindakan pemberian oksigen melalui masker maupun kanul nasal. Posisikan
klien senyaman mungkin atau dudukan klien semifowler, lakukan pemberian
inhalasi nebulizer, terapi pemberian obat, lakukan fisioterapi dada dan ajarkan
klien berlatih pernapasan agar klien dapat mengontrol pernapasannya, anjurkan
pasien minum minuman yang hangat. Kerja sama dengan tim medis serta
melibatkan klien dan keluarga sangat diperlukan agar perawatan dapat berjalan
dengan lancar (Claudia, 2017). Pemberian terapi pada penderita asma di
fasilitas pelayanan kesehatan pada umumnya diberikan dengan cara terapi
peroral dan terapi inhalasi.
Terapi oral adalah cara pemberian obat melalui mulut dengan tujuan
mencegah, mengobati, mengurangi, rasa sakit sesuai dengan efek terapi dari
jenis obat, terapi ini sangat lazim diberikan kepada pasien. Obat-obatan oral
tersedia dalam berbagai jenis yaitu pil, tablet, bubuk, syrup dan kapsul. Selama
pasien mampu menelan dan mempertahankan obat dalam perut, pemberian
obat peroral menjadi pilihan. Kontra indikasi pemberian obat peroral adalah
bila pasien muntah, perlunya tindakan suction, kesadaran menurun atau
kesulitan menelan. Suatu obat yang diminum peroral akan melalui tiga fase,
yaitu farmasetik, farmakokinetik dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat
terjadi. Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat
menembus membran biologi. Jika obat diberikan melalui rute subkutan,
intramuskuler atau intravena maka tidak terjadi fase farmasetik. Fase kedua
yaitu farmakokinetik yang meliputi 4 fase, yaitu absorbsi, distribusi,
metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik,
atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis. Sekitar 80% obat
diberikan secara oral, oleh karena itu farmasetika adalah fase pertama dari
kerja obat.
5
Terapi inhalasi merupakan suatu terapi melalui sistem pernafasan yang
ditujukan untuk membantu mengembalikan atau memperbaiki fungsi
pernafasan pada berbagai kondisi, penyakit, ataupun cidera. Terapi ini telah
lama dikembangkan dan kini sudah diterima secara luas sebagai salah satu
terapi yang berkaitan dengan penyakit-penyakit saluran nafas kronik seperti
asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Pada umumnya, terapi
inhalasi dilakukan dengan menggunakan suatu alat khusus yang dapat
membentuk partikel-partikel aerosol yang selanjutnya dengan teknik tertentu
dialirkan menuju saluran nafas hingga mencapai reseptor kerja obat. Aerosol
adalah suspensi partikel-partikel zat padat atau cairan di dalam gas yang dapat
memasuki saluran nafas melalui proses inspirasi. Keuntungan utama dari terapi
inhalasi ini adalah obat yang diberikan akan secara langsung menuju lumen
internal dari saluran nafas dan kemudian menuju target kerja obat di dalam
paru-paru. Selain itu, onset kerja obat akan lebih cepat dan dosis yang
diberikan lebih kecil, sehingga dosis sistemik dari sebagian besar obat yang
diberikan secara inhalasi lebih rendah daripada obat oral maupun intravena dan
efek samping sistemiknya juga akan lebih rendah. Adapun beberapa tipe
perangkat pembentuk aerosol atau generator aerosol yang umm digunakan
yaitu pressurized metered dose inhaler (pMDI), dry powder inhaler (DPI) dan
nebulizer. Pemilihan generator aerosol disesuaikan dengan penderita. Terapi
inhalasi harus dapat menyediakan dosis yang konsisten, yaitu dengan distribusi
ukuran partkel aerodinamik yang sesuai, untuk memastikan bahwa obat dapat
secara efisien mencapai ke sisi target pada paru-paru. Desain generator
(device) yang baik juga harus mempertimbangkan penggunaannya pada pasien,
hal ini dapat meliputi ketahanan, mudah untuk digunakan, portable, dan cocok
untuk segala usia yang ditujukan untuk mencapai kepatuhan yang baik dari
pasien terhadap pengobatan yang diberikan.
6
inhalasi dapat lebih dipahami dan perlu berulang kali memantau apakah pasien
menggunakan inhaler dengan tepat (Rahajoe, 2018).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Peneliti
7
1) Mengembangkan pengetahuan peneliti dalam mengaplikasikan
pengetahuan tentang metode penelitian berdasarkan kasus yang ada di
masyarakat.
b. Bagi Institusi
2. Manfaat Praktis
b. Bagi Responden
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asma
1. Definisi Asma.
9
2. Etiologi
1. Asma ekstrinsik (alergik), merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh
alergen (misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan).
Alergen yang paling umum adalah alergen yang perantaraan penyebarannya
melalui udara (airborne) dan alergen yang muncul secara musiman (seasonal).
Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi
pada keluarga dan riwayat pengobatan ekzema atau rhinitis alergik. Paparan
terhadap alergi menjadi pencetus serangan asma. Gejala asma umumnya
dimulai saat anak-anak.
2. Asma intrinsik (non alergik), merupakan jenis asma yang tidak berhubungan
secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti udara dingin,
infeksi saluran napas atas, aktivitas fisik, ekspresi emosi yang berlebihan, dan
polusi lingkungan dapat menimbulkan serangan asma. Beberapa agen
farmakologi, antagonis beta-adrenergik, dan agen sulfite (penyedap makanan)
juga dapat berperan sebagai faktor pencetus. Serangan asma dapat menjadi
lebih berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat berkembang
menjadi bronkhitis dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat
berkembang,menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai pada
saat dewasa (>35 tahun).
3. Asma campuran (mixed asthma), merupakan bentuk asma yang paling sering
ditemukan. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma ekstrinsik
(alergik) dan asma intrinsik (non alergik) (Muttaqin, 2012; Utama, 2018).
10
3. Faktor Resiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan :
1. Faktor genetik
a. Atopi/ alergi, hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penanggulangannya. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma jika terpajan dengan faktor
pencetus.
d. Usia, sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5 – 2
kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut
lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing dan lain-lain).
c. Alergen makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat,
kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna makanan).
11
e. Bahan yang mengiritasi (parfum, household spray dan lain-lain).
f. Ekspresi emosi berlebih atau stres seperti kecemasan dapat menjadi pencetus
serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang
mengalami kecemasan perlu diberikan konseling untuk mengatasinya. Karena jika
belum diatasi, maka gejala asmanya akan sulit diobati.
g. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif, berhubungan dengan penurunan
fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan
dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya
gejala serupa asma pada usia dini.
j. Perubahan cuaca, cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan)
(Priyatna, 2012).
12
memanjang disertai wheezing (pada apeks dan hilus). Gejala utama yang sering
muncul adalah dispnea, batuk dan mengi. Mengi sering dianggap salah satu gejala
yang ditandai selalu ada apabila serangan asma muncul (Utama, 2018).
b. Kulit diantara tulang rusuk tampak tertarik ke dalam saat bernapas (retraksi
interkostalis)
c. Sesak napas yang semakin memburuk bila disertai dengan latihan atau aktivitas
d. Wheezing (mengi) yang muncul secara episodik dalam periode tanpa gejala
lain, lebih buruk pada malam hari atau pagi hari, akan menghilang dengan
sendirinya, akan membaik bila minum obat yang membuka saluran pernapasan
(bronkodilator), semakin buruk saat menghirup udara dingin, semakin buruk saat
melakukan aktivitas fisik, semakin buruk bila disertai refluks, biasanya muncul
secara tiba-tiba.
Sedangkan tanda dan gejala yang berat pada asma, antara lain:
f. Berkeringat
13
Beberapa tanda dan gejala lain yang mungkin menyertai asma, antara lain:
a. Pola pernapasan abnormal seperti perlu menarik dua tarikan napas untuk
menghirup napas dalam-dalam
5. Klasifikasi Asma
1. Intermiten
Intermitten ialah derajat asma yang paling ringan. Pada tingkatan
derajat asma ini, serangan asma biasanya berlangsung secara singkat.
Gejala ini bisa muncul di malam hari dengan intensitas sangat rendah yaitu
≤ 2x sebulan.
2. Persisten Ringan
Persisten ringan ialah derajat asma yang tergolong ringan. Pada
tingkatan derajat asma ini, gejala pada sehari-hari berlangsung lebih dari 1
kali seminggu, tetapi kurang dari atau sama dengan 1 kali sehari dan
serangannya biasanya dapat mengganggu aktifitas tidur di malam hari.
3. Persisten Sedang
Persisten sedang ialah derajat asma yang tergolong lumayan berat.
Pada tingkatan derajat asma ini, gejala yang muncul biasanya di atas 1x
dalam sepekan dan hampir setiap hari. Serangannya biasanya dapat
mengganggu aktifitas tidur di malam hari.
4. Persisten Berat
14
Persisten berat ialah derajat asma yang paling tinggi tingkat
keparahannya. Pada tingkatan derajat asma ini, gejala yang muncul
biasanya hampir setiap hari, terus menerus, dan sering kambuh.
Membutuhkan bronkodilator setiap hari dan serangannya biasanya dapat
mengganggu aktifitas tidur di malam hari.
6. Patofisiologi Asma
7. Pemeriksaan Asma
15
Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator
aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asma
Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV sebesar 20% atau
lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90% dari maksimum dianggap
bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 10% atau lebih
c. Pemeriksaan kulit
d. Pemeriksaan laboratorium
3. Sel eosinofil Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat
mencapai 1000-1500/mm3 baik asma ekstrinsik ataupun intrinsik, sedangkan
hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai
penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat
16
4. Pemeriksaan darah rutin dan kimia Jumlah sel leukosit yang lebih dari
15.000/mm3 terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat
disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea
e. Pemeriksaan Radiologi
8. Penatalaksanaan Asma
Pengobatan Nonfarmakologi
Pengobatan Farmakologi
1. Definisi
2. Farmakokinetik
19
Absorpsi merupakan proses penyerapan partikel-partikel obat dari
tempat pemberian ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif,
absorpsi aktif atau pinositosis. Absorpsi menyangkut kelengkapan dan
kecepatan proses penyerapan. Kelengkapan dinyatakan dalam persen
dari jumlah obat yang diberikan. Secara klinik, bioavailabilitas lebih
penting.
b. Distribusi
20
visera, kulit dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai
keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Jaringan yang mengalami
penurunan perfusi (misalnya : kontraksi) atau kerusakan perfusi
(misalnya: abses) akan mengalami hambatan dalam distribusi obat.
c. Biotransformasi/Metabolisme
d. Eksresi
21
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam
bentuk metabolit hasil biotransformai atau dalam bentuk asalnya. Obat
atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak,
kecuali pada ekskresi melalui paru. Obat bebas, yang mudah larut
dalam air difiltrasi di ginjal. Obat-obatan yang masih berikatan dengan
protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Setelah ikatan antara obat dan
protein lepas maka obat baru dapat diekskresikan melalui urine.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan
rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali, sehingga tidak
berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur juga dapat digunakan sebagai
pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut. Pun
dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada
kedokteran forensik.
22
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir, jumlah enzim-
enzim mikrosom hati yang diperlukan untukmemetabolisme obat relatif
Masih sedikit, sehingga sangat peka terhadap obat.
e. Pemghambatan Enzim Metabolisme
Pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu
senyawayang menghambat kerja enzim-enzim metabolism dapat
meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan
kemungkinan juga meningkatkanefek samping dan toksisitas.
f. Induksi Enzim Metabolisme
Peningkatan aktivitas enzim metabolism obat-obat tertentu atau
proses induksi enzim mempercepat proses metabolism dan menurunkan
kadar obat bebas dalam plasma, sehingga efek farmakologis obat
menurun dan masa kerjanya menjadi singkat.
g. Faktor lain-lain
diet makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan
hormone, kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi
obat dalam jaringan dan keadaan patologis hati.
C. Terapi Inhalasi
23
Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat dalam bentuk partikel aerosol
atau serbuk yang dihirup dan masuk kedalam saluran pernafasan. Prinsip pada
terapi inhalasi yaitu agar obat dapat masuk kedalam paru-paru dengan adanya
partikel aerosol atau serbuk yang terdisposisi kedalam paru-paru, dapat bekerja
cepat dan meminimalkan adanya efek samping secara sistemik karena konsentrasi
obat di dalam darah rendah dan efek terapi dapat tercapai. Partikel uap air atau
obat-obatan dibentuk oleh suatu alat yang disebut nebulizer atau aerosol
generator. Aerosol yang terbentuk akan dihirup pasien melalui mouth piece atau
sungkup dan masuk ke paru-paru untuk mengencerkan. (Meriyani et al., 2016).
1. Tujuan
Menurut (Aryani et al., 2009) terapi inhalasi ini memiliki tujuan sebagai
berikut :
a. Melebarkan saluran pernapasan (karena efek obat bronkodilator)
b. Menekan proses peradangan
c. Mengencerkan dan memudahkan pengeluaran sekret (karena efek obat
mukolitik dan ekspektoran).
2. Indikasi
Indikasi penggunaan terapi inhalasi menurut (Aryani et al., 2009) efektif
dilakukan pada klien dengan :
a. Bronchospasme akut
b. Produksi sekret yang berlebih
c. Batuk dan sesak napas
d. Radang pada epiglottis
3. Kontra Indikasi
Kontraindikasi pada terapi inhalasi (Aryani et al., 2009) adalah :
24
a. Pasien yang tidak sadar atau confusion umumnya tidak kooperatif
dengan prosedur ini, sehingga membutuhkan pemakaian mask/sungkup,
tetapi efektifitasnya akan berkurang secara signifikan
b. Pada klien dimana suara napas tidak ada atau berkurang maka
pemberian medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang
menggunakan tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas
juga tidak dapat menggerakan/memasukan medikasi secara adekuat ke
dalam saluran napas.
d. Efek samping sistemik lebih jarang dan lebih ringan dibandingkan obat
yang diberikan secara sistemik.
a. Beberapa variabel (pola nafas yang benar, tatacara penggunaan alat atau
generator aerosol) dapat mempengaruhi deposisi paru dan reproduktifitas
dosis.
25
b. Dosis yang tepat sering tidak tercapai sehingga dapat terjadi kekurangan
atau sebaliknya.
26
D. Kerangka Teori
Penyebab Asma:
1. Genetik
2. Alergen Klasifikasi asma:
Jenis Asma:
3. Perubahan Cuaca 1. Intermiten
4. Lingkungan kerja 1. Asma Instrinsik 2. Peristen Ringan
5. Olahraga 2. Asma Ekstrinsik 3. Peristen Sedang
6. Stress 3. Asma Campuran 4. Peristen Berat
Manifestasi Klinis:
1. hipoventilasi,
2. dyspnea
3. wheezing (mengi),
4. pusing Asma
5. perasaan yang Non farmakologi:
merangsang
6. sakit kepala 1. Penyuluhan
7. Nausea 2. Hindari
8. peningkatan napas pencetus
Penatalaksanaan Asma:
pendek 3. Fisioterapi
9. kecemasan 1. Non Farmakologi
10. diaforesis 2. Farmakologi
11. kelelahan
Farmakologi
1. Terapi oral
2. Terapi Inhalasi
27
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Keterangan :
: Diteliti
: Mempengaruhi
E. Kerangka Konsep
1. Faktor Genetik
2. Faktor Kondisi
Medis
3. Faktor Usia Kekambuhan Asma
4. Faktor Lingkungan
5. Olahraga Berlebihan
6. Stress
Terpai Oral Terapi Inhalasi
Keterangan :
: Diteliti
: Alur
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
adalah sebuah sintesa dari literatur tentang topik penelitian (Pan, 2008).
Metode ini dibuat dengan bersumber pada buku, jurnal serta publikasi lainnya
29
terkait dengan topik yang diteliti dan digunakan untuk menjustifikasi
identifikasi teori, metodelogi dan instrument yang tepat. Adapun tujuan dari
mengembangkan rumusan masalah dan hipotesis, orientasi apa yang sudah dan
berbagai teori, hukum, dalil prinsip, atau gagasan yang dmigunakan untuk
30
C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah segala yang berbentuk atribut, sifat, objek atau
nilai dari suatu hal yang mempunyai variasi tertentu yang kemudian
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari guna diperolehnya informasi dan
dapat ditariknya suatu kesimpulan (Sugiyono, 2013).
a. Variabel Bebas (independent variable) Variabel bebas (variable
independent) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel terikat (variable dependen) (Sugiyono,
2014). Variabel bebas pada penelitian ini yaitu Terapi oral dan Terapi inhalasi
b. Variabel Terikat (dependent variable) Variabel terikat (variable dependent)
adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya
variabel bebas (variable independent). (Sugiyono, 2014). Variabel terikat
pada penelitian ini yaitu Kekambuhan Asma.
D. Definisi Operasional
Variabel penelitian adalah segala yang berbentuk atribut, sifat, objek atau
nilai dari suatu hal yang mempunyai variasi tertentu yang kemudian
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari guna diperolehnya informasi dan
dapat ditariknya suatu kesimpulan (Sugiyono, 2013). a. Variabel bebas
(independent variable) Variabel bebas (variable independent) adalah variabel
yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya
variabel terikat (variable dependen) (Sugiyono, 2014). Variabel bebas pada
penelitian ini yaitu Status Kontrol Asma. b. Variabel terikat (dependent
variable) Variabel terikat (variable dependent) adalah variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (variable
independent). (Sugiyono, 2014). Variabel terikat pada penelitian ini yaitu
Kualitas Hidup.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan
data (Setiadi, 2007). Penelitian ini menggunakan instrument yaitu lembar
wawancara dan lembar kuisioner ACT (Asthma Control Test). Wawancara
adalah metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dimana peneliti
31
mendapat keterangan atau pendirian secara lisan dengan penggalian secara
mendalam dan menggunakan pertanyaan terbuka (Sibagariang dkk, 2010).
Pertanyaan pada lembar pedoman wawancara mengandung unsur penyakit
asma yang sudah diderita. Pedoman wawancara dibuat 6 pertanyaan terbuka
sehingga subyek penelitian bebas memberikan jawaban. Pedoman yang
digunakan untuk mengetahui perbedaan terapi oral dengan terapi inhalasi
yang telah digunakan oleh pasien. Selain itu peneliti menggunakan alat ukur
Asthma Control Test (ACT) yang merupakan kuesioner berisi lima
pertanyaan yang dapat mendeteksi adanya perburukan penyakit berdasarkan
gejala harian, gejala malam, hambatan aktifitas, penggunaan obat pelega serta
penilaian sendiri pasien terhadap penyakitnya. Lembar kuisioner ini untuk
mengetahui apakah ada perbedaan dari 2 jenis penggunaan terapi yang
berbeda terutama dalam kecepatan reaksi terapi.
32
33
F. Metode Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini diurutkan melalui tahap-
tahap yaitu:
1. Prosedur administrasi.
a. Peneliti mengajukan permohonan studi pendahuluan ke Poltekkes
Kemenkes Semarang Prodi DIV Keperawatan Semarang.
b. Surat rekomendasi ke Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan.
c. Peneliti diberikan surat rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Pekalongan yang ditujukan kepada Direktur RSUD Kraton
Kab.Pekalongan.
2. Tahap pelaksanaan.
a. Peneliti mendata pasien asma di Puskesmas RSUD Kraton
Kab.Pekalongan..
b. Peneliti memberikan penjelasan kepada pasien tentang gambaran
umum, tujuan, manfaat, dan kerugian yang dapat ditimbulkan.
c. Peneliti menjelaskan SOP dalam pemberian terapi inhalasi dan terapi
oral
d. Setelah menjelaskan, peneliti meminta persetujuan kepada subyek
penelitian secara tertulis dengan memberikan lembar informed consent.
e. Kegiatan pengambilan data dilakukan 8 kali selama 2 minggu dan
dilakukan dalam waktu 10 menit pada saat tidak terjadi serangan.
f. Peneliti melakukan intervensi latihan nafas dalam sesuai dengan SOP.
g. Subyek penelitian mengisi kuisioner asthma control test (ACT) setelah
dilakukan terapi.
G. Analisis Data
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh
data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan
menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang
diperlukan (Setiadi, 2007). Pengolahan data yang dilakukan pada studi kasus
ini menggunakan teknik analisis kualitatif. Analisa kualitatif dilakukan
dengan cara induktif, yaitu pengambilan kesimpulan umum berdasarkan hasil
34
wawancara. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis kemudian
disajikan dalam bentuk tekstular yaitu penyajian data hasil penelitian dalam
bentuk uraian kalimat. Data yang terkumpul dari hasil wawancara dan lembar
kuisioner Asthma Control Test (ACT) untuk selanjutnya disimpulkan.
Kesimpulan ini dilihat apakah ada perubahan penyakit asma yang dialami
oleh subyek penelitian setelah dilakukan latihan nafas dalam. Setelah data
terkumpul, dilakukan pengecekan ulang terhadap kelengkapan data umum
dan pengecekan apakah data wawancara dari jawaban subyektif penelitian
sesuai dengan pernyataan yang telah dibuat.
H. Etik Penelitian
dibedakan menjadi tiga bagian sebagai berikut (Nursalam, 2008): 3.7.1 Prinsip
akan berakibat kepada subyek pada setiap tindakan. 3.7.2 Prinsip menghargai
hak asasi manusia (respect human dignity) 1. Hak untuk ikut/tidak menjadi
menjadi subyek atau tidak, tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat
35
jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subyek. 3. Informed Consent 39
secara adil baik sebelum, selama, dan sesudah keikutsertaanya dalam penelitian
Subyek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus
dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan rahasia
(confidentiali
36
37