Anda di halaman 1dari 14

HUBUNGAN HUBUNGAN SELF-EFFICACY DENGAN

KONTROL ASMA BRONKIAL DI RUMAH SAKIT


SARI ASIH KARAWACI TANGERANG
TAHUN 2023

Proposal Skripsi

Oleh
ELPASA SILMI
NIM : 3090230072

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SULTAN AGUNG SEMARANG
2023
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas ditandai
denganmengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan
saluran napas terutama pada malam hari atau pagi hari. Asma
mempunyai ingkat fatalitas yang rendah, namun kasus nya cukup banyak
ditemukan pada masyarakat. WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk
dunia menderita asma, dan diperkirakan jumlahnya akan terus bertambah
sebanyak 180.000 orang setiap tahunnya. Menurut laporan Global
Initiative for Asthma (GINA), pada tahun 2012 pasien asma sudah
mencapai 300 juta orang. Asma tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikontrol dengan pemberian obat-obatan yang tepat, sehingga kualitas
hidup dapat tetap optimal. Sedangkan menurut (Mumpuni, 2013)
pengobatan hanya dapat memperingan atau mengendalikan frekuensi
terjadinya serangan asma yang berlangsung dan disebut asma
terkontrol. Artinya penyakit asma dapat dikontrol ataupun
dikendalikan agar serangan asma tidak terjadi sewaktu-waktu.

Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2017, kematian


akibat asma di Indonesia mencapai 14.624 jiwa. Angka ini berarti asma
menyebabkan kurang lebih 1% keseluruhan kematian di Indonesia. Kira-
kira 1.1% komunitas Indonesia menderita asma. Data WHO,
prevalensi asma bronchiale di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada
orang dewasa dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%. Setiap
tahun mortalitas asma bronchiale meningkat di seluruh dunia dari 0,8%
per 100.000 pada tahun 2016, menjadi 1,2% per 100.000 pada tahun
2017 dan meningkat lagi menjadi 2,1% per 100.000 pada tahun 2018.
Selain itu WHO juga memperkirakan 100-150 juta penduduk di dunia
saat ini terkena penyakit asma dan diperkirakan akan terus bertambah
180.000 setiap tahun (WHO, 2017).

WHO (2021) menunjukan bahwa penyakitasma mempengaruhi sekitar 262


juta orang dan menyebabkan 461.000 kematian.Kemenkes RI (2017) di
Indonesia mengatakan penyakit asma masuk dalam sepuluh besar
penyebab kesakitan dan kematian. Angka kejadian asma 80% terjadi di
negara berkembang akibat kemiskinan, kurangnya tingkat pendidikan,
pengetahuan dan fasilitas pengobatan. Di Indonesia berdasarkan hasil
survey, prevalensi penderita asma di Indonesia tahun 2018 berjumlah
1.017.290 orang, dimana asma menempati sepuluh besar penyebab
kesakitan dan kematian di Indonesia. Secara nasional yang tergambar
dari data survei kesehatan rumah tangga (SKRT) diberbagai provinsi
di Indonesia. Sebanyak 9 provinsi yang mempunyai prevalensi
penyakit asma tertinggi antara lain, Jawa Barat di urutan pertama di
ikuti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta,
Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur (Riskesdas,
2018). Sementara itu, prevalensi terendah terdapat di Provinsi Lampung
(1,6%), kemudian diikuti Riau, dan Bengkulu (2%), sementara untuk
Provinsi Jawa Tengah (4,3%) (Profil Kesehatan Indonesia, 2018).

Dampak penyakit asma sendiri bermacam–macam tergantung dari faktor


penyebab asma itu sendiri ada yang bisa menyebabkan sesak nafas,
batuk kronis, mudah lelah, hingga kematian (Ratih, 2020). Penyakit
asma merupakan penyakit kronis, karena itu pasien harus mengenal
penyakit dengan baik. Dengan demikian, pasien dapat mencegah
serangan asma dan bila terjadi serangan asma pasien tidak
mengalami kepanikan serta dapat mengambil langkah yang tepat.
Bila penderita salah dalam menilai beratnya serangan asma
dapat menjadi berbahaya. Selain itu pasien juga dapat menghindari faktor
penyebab terjadinya frekuensi asma seperti (debu, serbuk, infeksi saluran
napas, stress emosi, olahraga berlebihan). Menghindari faktor-faktor
tersebut frekuensi asma dapat dihindarkan (Nursalam, dkk, 2017).

Penyakit asma ini juga kerap kali menggangu individu penderita asma,
hal yang terganggu berupa gangguan yang terjadi pada fisik hingga terjadi
pada psikologis para penderitanya. Individu yang penderita penyakit asma
juga terganggu psikisnya, terkadang individu merasa tidak bebas
bahkan merasa tertekan karena individu tersebut harus mengkonsumsi
obat-obatan secara rutin (Utami, 2018). Keadaan ini menyebabkan
tidak sedikit penderita asma yang merasa stres dengan penyakitnya
tersebut.

Dwitantyanov dalam (Utami, 2018) mengungkapkan hal yang sama


bahwa gangguan psikis tersebut dapat memicu timbulnya stres
dalam kehidupan individu yang menderita asma, sehingga penyakit yang
tengah dialamioleh individu tersebut menjadi bertambah parah dan
prognosis menjadi semakin buruk. Keinginan individu penderita asma
untuk dapat mencegah asma nya dapat dicapai oleh keyakinan
individu untuk dapat melakukan perilaku yang dapat mengatasi asma
tersebut. Keyakinan seseorang akan kemampuan atau kompetensinya,
dalam mencapai tujuan atau mengatasi sebuah hambatan disebut
self-efficacy (Baron& Bryne, 2015). Dalam konsep self-efficacy ini, individu
yang memiliki sesuatu suatu penyakit dan memiliki keyakinan akan
kemampuannya dalam mencapai tujuan untuk sehat maka ia akan mencari
informasi mengenai penyakitnya (Lee, et.al,2018).

Efikasi diri yang tinggi dapat menyebabkan strategi koping aktif,


seperti mengambil kendali obat asma sesuai resep atau obat pereda
bila diperlukan serta berkonsultasi dengan dokter jikatimbul gejala
secara persisten. Self-efficacy asma telah dikaitkan dengan kepatuhan
terhadap pemeliharaan asma, serta peningkatan kualitas hidup asma.
Penelitian cohort telah menunjukkan bahwa efikasi diri asma adalah
prediktor independen kualitas hidup asma, dan itu meningkat
dalam self-efficacy (melalui program manajemen asma) telah dikaitkan
dengan peningkatan manajemen diri perilaku asma, peningkatan kualitas
hidup terkait aktivitas, dan menurun pada lama hari peningkatan terjadinya
gejala gejala asma (Ejebe, I et al. (2015).

Menurut hasil penelitian Scherer (2001) dan Talreja et al, (2012)


menyatakan Efikasi diri asma yang rendah telah dikaitkan dengan
peningkatan rawat inap asma dan kunjungan ke instalasi gawat darurat
(IGD). Penelitian yang ada menunjukkan bahwa self-efficacy asma adalah
faktor penentu penting dari manajemen perilaku diri dan prediksi hasil
kesehatan.Jadi dengan adanya self-efficacy yang tinggi dalam diri
individu penderita asma, ia mampu mencegah dan memperkecil jumlah
serangan asma yang muncul, sehingga individu dapat melakukan
kegiatan sehari-hari dengan lancar. Kontrol asma dapat dilihat dari frekuensi
serangan asma adalah jumlah kondisi memburuknya gejala asma secara
tiba-tiba yang disebabkan oleh pengetatan otot-otot di sekitar saluran udara
(bronkospasme).

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dan GINA menetapkan bahwa


tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup penderita, agar asma dapat terkontrol dan
penderitaasma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Apabila penderita asma mengetahui cara mengontrol
serangan asma, maka diharapkan frekuensi serangan asma dapat
menurun, sehingga kualitas hidup penderita asma menjadi meningkat
(GINA, (2012).

Berdasarkan data di Provinsi Banten tahun 2020 penderita asma bronkial 788
orang. Data di RS Sari Asih Karawaci Tangerang pada tahun 2020
berjumlah …, tahun 2021 meningkat menjadi … dan tahun 2022 berjumlah
….penderita. Sedangkan data penderita asma dari bulan Januari - Oktober
2023 meningkat menjadi … orang penderita asma pada kelompok umur
20-59 tahun. Hasil survey awal yang dilakukan peneliti terhadap 10 pasien
sebanyak 6 pasien mengatakan tidak percaya diri dengan kemampuannya
serta belum mampu melaksanakan tugas diberbagai aktifitas dan situasi.
Bagi para penderita asma tidak terkontrol merupakan tugas yang tidak ringan.
Penderita asma pada awalnya memiliki semangat, motivasi dan minat
yang tinggi terhadap kesembuhan pengobatan, perawatan dan pencegahan
asma keadaan itu menurun seiring dengan kesulitan-kesulitan yang
dialami. Pasien merasa putus asa dan tidak dapat menjalani
pengobatan, perawatan dan pencegahan asma secara teratur.

Berdasarkan fenomena diatas maka dilakukan penelitian ini untuk


mengangkat kasus dengan judul “hubungan self-efficacy dengan kontrol
asma bronkial di RS Sari Asih Karawaci Tangerang”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan data dan rekam medis yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit
Sari Asih Tangerang terjadi peningkatan jumlah pasien asma dari tahun
ketahun. Selanjutnya survey awal terhadap 10 pasien menunjukkan 6 pasien
mengatakan tidak percaya diri dengan kemampuannya serta belum mampu
melaksanakan tugas diberbagai aktifitas dan situasi.

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas permasalahan yang


akan dibahas yaitu apakah terdapat hubungan antara self efficacy dengan
kontrol asma bronkial di RS Sari Asih Karawaci Tangerang.
C. Tujuan Penelitian
1) Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dengan dengan kontrol
asma bronkial di RS Sari Asih Karawaci Tangerang.
2) Tujuan Khusus
a) Untuk mengidentifikasi gambaran karakteristik (usia, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan) pada pasien yang asma bronchial di RS Sari Asih
Karawaci?
b) Untuk mengidentifikasi gambaran self efficacy pada pasien yang asma
bronchial di RS Sari Asih Karawaci?
c) Untuk mengidentifikasi gambaran persepsi control asma pasien di RS
Sari Asih Karawaci?
d) Untuk mengidentifikasi hubungan self efficacy dengan dengan kontrol
asma bronkial di RS Sari Asih Karawaci Tangerang.?

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi RS Sari Asih Karawaci
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan kepada pihak manajemen
Rumah Sakit Sari Asih Karawaci untuk membuat SOP untuk peningkatan self
efficacy dalam rangka penanganan asma brochial yang disosialisikan oleh
tenaga kesehatan kepada pasien yang memiliki penyakit asma bronchial.
2. Bagi Universitas Sultan Agung Semarang
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam ilmu keperawatan
khususnya kegiatan belajar mengajar tentang self eficacy dengan kontrol asma
brochial.
3. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman kepada pasien tentang
self efficacy sehingga pasien dapat melakukan mengontrol
4. Bagi Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan pelayanan keperawatan sebagai
pedoman dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang hubungan self
efficacy dengan control asma pada pasien yang dilakukan tindakan ESWL
batu saluran kemih, sehingga informasi ini dapat digunakan untuk
menggunakan langkah langkah atau tindakan strategis yang harus dilakukan
untuk meningkatkan self eficacy.
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah bahan informasi dan
wacana untuk pengembangan penelitian lebih lanjut tentang hubungan self
efficacy dengan kontrol asma bronchial
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN
MEKANISME KOPING PADA PASIEN GAGAL JANTUNG
KONGESTIF DIRUANGAN DI RUANG ICU RUMAH SAKIT
SARI ASIH KARAWACI TANGERANG
TAHUN 2023

Proposal Skripsi

Oleh
ELPASA SILMI
NIM : 3090230072

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SULTAN AGUNG SEMARANG
2023
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal jantung merupakan ketidakmampuan jantung memompakan darah
untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi kejaringan tubuh (SKA
merupakan salah satu masalah kardiovaskular yang utama, sekitar lebih dari
17,3 juta kematian per tahun di seluruh dunia ((Alexandri et al., 2017).
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2021 terdapat 41
juta kematian di seluruh dunia yang disebabkan oleh PTM dan penyakit
jantung berkontribusi dalam 43,6% diantaranya (17,9 juta kematian). Data dari
American Heart Association (AHA) (2023) menyebutkan lebih dari 6 juta
orang Amerika hidup dengan gagal jantung, dan lebih dari 1.000.000 kasus
baru didiagnosis pada orang dewasa berusia 55 tahun ke atas setiap tahun.
Selanjutnya data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME)
menyatakan bahwa kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung iskemik
bertanggung jawab terhadap 28,3% total kematian di Indonesia tahun 2019
dan diperkirakan bahwa lebih dari 23 juta kematian akan terjadi karena
penyakit arteri koroner pada tahun 2030 , dengan 80% kematian ini akan
terjadi di negara-negara berkembang (Tumade et al, dikutip dari (Muhibbah et
al., 2019).

Indonesia menempati posisi ketiga di ASEAN setelah Laos dan Filipina,


penyakit kardiovaskuler telah menyebabkan 36,33% dari total mortalitas pada
tahun 2018 di Indonesia (Kemenkes RI, 2018). Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 dan 2018 menunjukan tren peningkatan penyakit jantung
yakni 0,5% pada 2013 menjadi 1,5% pada 2018 adapun jumlah kasus
prevalensi jantung koroner menurut gejala di Provinsi Banten sebanyak 40.370
(0,5%) (Kemenkes RI, 2018).
Pasien gagal jantung mengalami peredaran darah sistemik dan sirkulasi yang
berjalan lambat. Pemindahan O2 dan CO2 dalam paru-paru berlangsung
sukar, seluruh organ dan jaringan tubuh tidak dapat di penuhi kebutuhannya
akan oksigen dan zat-zat makanan. Terjadi awitan kesulitan nafas mendadak
dan perasaan tercekik (Rilantono, 2014). Kecemasan yang terjadi pada
kebanyakan pasien gagal jantung dikarenakan mereka mengalami kesulitan
mempertahankan oksigenasi yang adekuat sehingga mereka cenderung sesak
nafas dan gelisah (Smeltzer& Bare, 2001 dalam Muhibbah, 2019).
Kecemasan yang dialami ketika terjadi serangan adalah kecemasan berat
sehingga memerlukan bantuan untuk oksigenasi dan konseling yang tepat.
(Idhaniyati, 2020) Penelitian yang dilalukan Majid , A menunjukan bahwa
responden yang mengalami tingkat kecemasan berat sebanyak 45,37% (Majid
A, 2020).

Kecemasan merupakan reaksi terhadap penyakit karena dirasakan sebagai


suatu ancaman ,ketidaknyaman akibat nyeri dan keletihan, berkurangnya
kepuasan seksual, timbulnya krisis finansial, frustasi dalam mencapai tujuan
kebingungan dan ketidakpastian masa kini dan masa depan. Seseorang dapat
mengatasi stress dan kecemasan dengan menggerakan sumber koping
dilingkungan yang berupa modal ekonomi, kemampuan penyelesaian
masalah ,dukungan social dan keyakinan budaya (Stuart 2017). Mekanisme
koping adalah salah satu cara yang dilakukan untuk beradaptasi terhadap
stress (Saam & Wahyuni 2012) Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya
oleh (Idhaniyati, 2020) sampel berjumlah 30 responden, memperoleh hasil 5
(16,7%) responden mengalami kecemasan ringan, 20 (66,7%) responden
mengalami kecemasan sedang dan 5 (16,7%) responden mengalami
kecemasan berat. Dari 25 pasien yang mengalami kecemasan ringan dan
sedang, mereka dapat melakukan mekanisme koping adaptif dan tidak ada
yang melakukan mekanisme koping maladaptif .hal ini dikarenakan mereka
dapat mengendalikan perasaan cemas yang muncul sehingga mampu
mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif. 5 responden yang
mengalami kecemasan berat, semua melakukan mekanisme koping yang
maladaptif.

Berdasarkan data awal melalui observasi data kunjungan pasien di ruang ICU
RS Sari Asih Karawaci Tangerang, angka penderita gagal jantung tiga bulan
terakhir agustus - oktober 2023 sekitar kurang lebih …. pasien. Fenomena
yang terjadi saat ini pasien gagal jantung kongestif terus meningkat. Survey
awal terhadap 10 pasien menunjukkan sebanyak 70% pasien gagal jantung
mengalami kesulitan mempertahakan oksigenasi sehingga cenderung sesak
nafas kecemasan yang terjadi adalah kecemasan berat. Untuk mengatasi
kecemasan dengan menggerakan sumber koping di lingkungan yang berupa
modal ekonomi, kemampuan penyelesaian masalah , dukungan sosial dan
keyakinan budaya. Hal ini sangat menarik perhatian bagi penulis untuk
melakukan peneliti tentang hubungan tingkat kecemasan dengan mekanisme
koping pada pasien gagal jantung kongestif di Ruang ICU RS Sari Asih
Karawaci Tangerang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan data dan rekam medis yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit
Sari Asih Tangerang terjadi peningkatan jumlah pasien gagal jantung tiga
bulan terakhir agustus - oktober 2023 sekitar kurang lebih …. pasien. Survey
awal terhadap 10 pasien menunjukkan sebanyak 70% pasien gagal jantung
mengalami kesulitan mempertahakan oksigenasi sehingga cenderung sesak
nafas kecemasan yang terjadi adalah kecemasan berat

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas permasalahan yang


akan dibahas yaitu apakah terdapat hubungan antara tingkat kecemasan
dengan mekanisme koping pada pasien gagal jantung kongestif di ruang ICU
Rumah Sakit Sari Asih Karawaci Tangerang.
C. Tujuan Penelitian
1) Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan mekanisme
koping pada pasien gagal jantung kongestif di ruang ICU Rumah Sakit
Sari Asih Karawaci Tangerang.
2) Tujuan Khusus
a) Untuk mengidentifikasi gambaran tingkat kecemasan pada pasien
pasien gagal jantung kongestif di ruang ICU Rumah Sakit Sari Asih
Karawaci Tangerang?
b) Untuk mengidentifikasi gambaran mekanisme koping pada pasien
pasien gagal jantung kongestif di ruang ICU Rumah Sakit Sari Asih
Karawaci Tangerang?
c) Untuk mengidentifikasi hubungan tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping pada pasien gagal jantung kongestif di ruang ICU
Rumah Sakit Sari Asih Karawaci Tangerang

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi RS Sari Asih Karawaci
Sebagai bahan masukan tentang tingkat kecemasan pasien dan mekanisme
koping yang digunakan pasien sehingga dalam memberikan asuhan
keperawatan dapat lebih memfokuskan untuk memberikan konseling yang
tepat sehingga pasien mampu untuk mengelola kecemasan dan menggunakan
mekanisme koping yang efektif..
2. Bagi Universitas Sultan Agung Semarang
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam ilmu keperawatan
khususnya kegiatan belajar mengajar tentang kecemasan dan mekanisme
koping.
3. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman kepada pasien tentang
kecemasan sehingga pasien dapat melakukan mekanisme koping dengan
lebih efektif
4. Bagi Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan pelayanan keperawatan sebagai
pedoman dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang hubungan
tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pada pasien gagal jantung
kongestif, sehingga informasi ini dapat digunakan untuk menggunakan
langka-langkah atau tindakan strategis yang harus dilakukan untuk
meningkatkan mekanisme koping yang baik
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah bahan informasi dan
wacana untuk pengembangan penelitian lebih lanjut tentang hubungan
tingkat kecemasan dengan mekanisme koping.

Anda mungkin juga menyukai