PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma adalah gangguan aliran udara intermitten dan reversibel yang hanya
mempengaruhi jalan nafas, tidak sampai pada alveoli. Gangguan aliran udara
terjadi dengan dua cara yaitu inflamasi (peradangan) dan hiperresponsif jalan
nafas. Inflamasi terjadi pada lumen (bagian dalam) jalan napas. Hiperresponsif
jalan napas terjadi karena konstriksi otot bronkial yang lembut sehingga
menyebabkan penyempitan jalan napas kearah luar. Asma ditandai dengan
peradangan saluran udara, obstruksi aliran udara, dan hiperresponsif bronkus
(Nanda & Wasan, 2020). Eksaserbasi bisa berakibat fatal dan lebih sering serta
lebih serius pada pasien berisiko tinggi atau pasien dengan asma yang tidak
terkontrol (GINA, 2018). Faktor-faktor seperti infeksi virus, alergen, asap
tembakau, latihan fisik, stres, obat-obatan tertentu (obat antiinflamasi nonsteroid
dan beta-blocker) dapat memicu atau memperburuk gejala asma (GINA 2018;
WHO 2018). Beberapa fenotipe sudah teridentifikasi, seperti asma alergi, asma
non-alergi, dan asma onset lambat (GINA ,2018).
1
Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, merupakan
penyebab utama kecacatan dan pemanfaatan sumber daya kesehatan bagi mereka
yang terkena dampak, yang mungkin memerlukan perawatan darurat (Nunes et al.,
2017). Walaupun tidak ada obat untuk asma yang diketahui, ada berbagai
intervensi farmakologis dan non-farmakologis yang dapat membantu orang
mengontrol gejala pada pasien asma (GINA 2018). Intervensi non-farmakologis
rupanya telah mendapat perhatian dalam pengobatan asma. Intervensi tersebut
termasuk latihan pernapasan, aktivitas fisik, dan strategi lain seperti berhenti
merokok, menghindari paparan pekerjaan dan alergen dalam ruangan, dan
penurunan berat badan, dan lain-lain (GINA, 2018). Hampir 6 - 30% pasien asma
dilaporkan menggunakan berbagai metode pernapasan untuk membantu
mengendalikan gejala mereka untuk meminimalkan ketergantungan mereka pada
obat-obatan (Hall et al., 2017). Penyakit asma perlu penanganan yang baik dari
tenaga kesehatan karena penyakit tersebut bisa dialami terus menerus oleh anak
bahkan sampai dewasa. Oleh karena itu perlu adanya terapi yang dapat diberikan,
baik terapi farmakologis maupun terapi non farmakologis. Terapi non
farmakologis yang bisa diberirikan pada anak adalah teknik pernapasan
(Harsismanto et al., 2021).
Penyakit asma mempengaruhi sekitar 300 juta orang di seluruh dunia dan
sekitar 7,5% orang dewasa di Amerika Serikat. Penyakit asma juga
mempengaruhi sekitar 1% sampai 18% dari populasi di seluruh dunia. Setiap
tahun, jumlah kematian akibat asma sekitar 180.000 dengan variasi yang luas
antara usia, kelompok ekonomi, benua dan wilayah (GINA 2018; WHO 2018).
Sedangkan, berdasarkan data dari WHO (2021) menunjukan bahwa asma
mempengaruhi sekitar 262 juta orang pada tahun 2019 dan menyebabkan 461.000
kematian. Di Indonesia prevalensi kejadian asma pada penduduk semua umur
sebesar 2,4% (Riskesdas, 2018). Sejalan dengan data dari Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukan bahwa pada
tahun 2019 secara nasional, terdapat 10 kabupaten/kota dengan prevalensi
penyakit asma tertinggi adalah Aceh Barat (13,5%), Buol (13,5%), Pohuwoto
2
(13,0%), Sumba Barat (11,5%), Boalemo (11,0%), Sorong Selatan (10,5%), Tana
Toraja (9,5%), Banjar (9,2%), dan Manggarai (9,2%). Sedangkan 10
kabupaten/kota dengan prevalensi penyakit asma terendah adalah Yahukimo
(0,2%), Langkat (0,5%), Lampung Tengah (0,5%).
Data GINA 2020, prevalensi asma di dunia 1-18%, tren yang terus meningkat
setiap tahunnya (Initiative, 2020). Spektrum asma mengenai semua umur, gejala
dapat sangat ringan sampai berat dan dapat menyebabkan kematian. Hal ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup serta menjadi beban ekonomi sosial.
Terapi oral adalah cara pemberian obat melalui mulut dengan tujuan
mencegah, mengobati, mengurangi, rasa sakit sesuai dengan efek terapi dari jenis
obat, terapi ini sangat lazim diberikan kepada pasien. Obat-obatan oral tersedia
dalam berbagai jenis yaitu pil, tablet, bubuk, syrup dan kapsul. Selama pasien
3
mampu menelan dan mempertahankan obat dalam perut, pemberian obat peroral
menjadi pilihan. Kontra indikasi pemberian obat peroral adalah bila pasien
muntah, perlunya tindakan suction, kesadaran menurun atau kesulitan menelan.
Suatu obat yang diminum peroral akan melalui tiga fase, yaitu farmasetik,
farmakokinetik dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase
farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membran
biologi. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskuler atau intravena
maka tidak terjadi fase farmasetik. Fase kedua yaitu farmakokinetik yang meliputi
4 fase, yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi.
Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau
fisiologis. Sekitar 80% obat diberikan secara oral, oleh karena itu farmasetika
adalah fase pertama dari kerja obat.
4
Dose Inhaler (PMDI), Dry Powder Inhaler (DPI) dan nebulizer. Pemilihan
generator aerosol disesuaikan dengan penderita. Terapi inhalasi harus dapat
menyediakan dosis yang konsisten, yaitu dengan distribusi ukuran partkel
aerodinamik yang sesuai, untuk memastikan bahwa obat dapat secara efisien
mencapai ke sisi target pada paru-paru. Desain generator (device) yang baik juga
harus mempertimbangkan penggunaannya pada pasien, hal ini dapat meliputi
ketahanan, mudah untuk digunakan, portable, dan cocok untuk segala usia yang
ditujukan untuk mencapai kepatuhan yang baik dari pasien terhadap pengobatan
yang diberikan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
5
c. Diketahuinya penurunan sesak nafas dan irama nafas teratur setelah
pemberian terapi.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Peneliti
b. Bagi Institusi
2. Manfaat Praktis
b. Bagi Responden
6
E. Keaslian Penelitian
7
adalah mengalami
pengetahuan peningkatan
Efektivitas SpO2 sebesar 4,
Terapi setengah
Nebulizer responden yang
Dengan diberi terapi
Ipratropium Dan Feneterol yaitu
Fenoterol 4 responden
Terhadap (50%)
Saturasi mengalami
Oksigen peningkatan
SpO2 sebesar 5.
Hasil uji
Independent
Sample T Test
diperoleh
p-value 0,001
≤ 0,05
Nur Perbedaan Penelitian ini Variabel dalam Purposive Hasil Penelitian
Rochmah efektivitas merupakan penelitian ini Sampling Data perbedaan
Kurnianti , pemberian penelitian quasi adalah variable efektivitas
Riana Sari , nebulizer experimental bebas adalah pemberian
Endang dengan dengan Penggunaan nebulizer
Widhyastu menggunakan pendekatan time Video Animasi dengan
ti , 2015 mouthpiece series design sedangkan menggunakan
dibandingkan variable mouthpiece
dengan masker terikatnya adalah dibandingkan
pada penderita pengetahuan dengan masker
asma akut di tentang diuji dengan uji
balai besar Perbedaan T tidak
kesehatan paru efektivitas berpasangan,
8
masyarakat pemberian didapatkan p=
(bbkpm) nebulizer 0,007 (p<0,05)
Surakarta dengan yang artinya
menggunakan bermakna secara
mouthpiece statistik.
dibandingkan
dengan masker
T
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asma
1. Definisi Asma.
2. Etiologi
Merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh alergen (misalnya bulu
binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan). Alergen yang paling umum
adalah alergen yang perantaraan penyebarannya melalui udara (airborne) dan
alergen yang muncul secara musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik
biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat
pengobatan ekzema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi menjadi
pencetus serangan asma. Gejala asma umumnya dimulai saat anak-anak.
11
3. Faktor Resiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan :
1. Faktor genetik
a. Atopi/ alergi, hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penanggulangannya. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya
bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma jika terpajan
dengan faktor pencetus.
d. Usia, sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5
– 2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan
tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih
banyak.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing dan lain-lain).
c. Alergen makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,
coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna makanan).
12
d. Alergen obat-obatan tertentu (penisilin, sefalosporin, golongan beta lactam
lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesic, antipiretik dan lainlain).
f. Ekspresi emosi berlebih atau stres seperti kecemasan dapat menjadi pencetus
serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang
sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati,
penderita asma yang mengalami kecemasan perlu diberikan konseling untuk
mengatasinya. Karena jika belum diatasi, maka gejala asmanya akan sulit
diobati.
j. Perubahan cuaca, cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan
dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk
sari beterbangan) (Priyatna, 2012).
13
4. Tanda dan Gejala Asma
b. Kulit diantara tulang rusuk tampak tertarik ke dalam saat bernapas (retraksi
interkostalis)
c. Sesak napas yang semakin memburuk bila disertai dengan latihan atau aktivitas
d. Wheezing (mengi) yang muncul secara episodik dalam periode tanpa gejala
lain, lebih buruk pada malam hari atau pagi hari, akan menghilang dengan
sendirinya, akan membaik bila minum obat yang membuka saluran pernapasan
(bronkodilator), semakin buruk saat menghirup udara dingin, semakin buruk
saat melakukan aktivitas fisik, semakin buruk bila disertai refluks, biasanya
muncul secara tiba-tiba.
Sedangkan tanda dan gejala yang berat pada asma, antara lain:
14
d. Denyut nadi meningkat
f. Berkeringat
Beberapa tanda dan gejala lain yang mungkin menyertai asma, antara lain:
a. Pola pernapasan abnormal seperti perlu menarik dua tarikan napas untuk
menghirup napas dalam-dalam
5. Klasifikasi Asma
1. Intermiten
Intermitten ialah derajat asma yang paling ringan. Pada tingkatan
derajat asma ini, serangan asma biasanya berlangsung secara singkat.
Gejala ini bisa muncul di malam hari dengan intensitas sangat rendah yaitu
≤ 2x sebulan.
2. Persisten Ringan
Persisten ringan ialah derajat asma yang tergolong ringan. Pada
tingkatan derajat asma ini, gejala pada sehari-hari berlangsung lebih dari 1
kali seminggu, tetapi kurang dari atau sama dengan 1 kali sehari dan
serangannya biasanya dapat mengganggu aktifitas tidur di malam hari.
15
3. Persisten Sedang
Persisten sedang ialah derajat asma yang tergolong lumayan berat.
Pada tingkatan derajat asma ini, gejala yang muncul biasanya di atas 1x
dalam sepekan dan hampir setiap hari. Serangannya biasanya dapat
mengganggu aktifitas tidur di malam hari.
4. Persisten Berat
Persisten berat ialah derajat asma yang paling tinggi tingkat
keparahannya. Pada tingkatan derajat asma ini, gejala yang muncul
biasanya hampir setiap hari, terus menerus, dan sering kambuh.
Membutuhkan bronkodilator setiap hari dan serangannya biasanya dapat
mengganggu aktifitas tidur di malam hari.
6. Patofisiologi Asma
16
7. Pemeriksaan Asma
Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV sebesar 20% atau
lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90% dari maksimum dianggap
bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 10% atau lebih
c. Pemeriksaan kulit
d. Pemeriksaan laboratorium
1. Analisa gas darah (AGD/Astrup) Hanya dilakukan pada serangan asma berat
karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik
2. Sputum Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang
berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi
dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari
perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, cara
tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa
antibiotik
3. Sel eosinofil Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat
mencapai 1000-1500/mm3 baik asma ekstrinsik ataupun intrinsik,
sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan
17
fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan
pengobatan telah tepat
4. Pemeriksaan darah rutin dan kimia Jumlah sel leukosit yang lebih dari
15.000/mm3 terjadi karena adanya infeksi yang disebabkan kerusakan hati
akibat hipoksia atau hiperkapnea.
e. Pemeriksaan Radiologi
8. Penatalaksanaan Asma
a. Pengobatan Nonfarmakologi
18
b. Pengobatan Farmakologi
3) Kortikosteroid, jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan respon yang
baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol dengan
dosis 4 kali semprot tiap hari. Pemberian steroid dalam jangka yang lama
mempunyai efek samping, maka klien yang mendapat steroid jangka lama
harus diawasi dengan ketat
19
6) Hindari makanan laut
10) Selalu sediakan obat asma di rumah dan/atau di tas kala bepergian
11) Jika menggunakan obat steroid hirup, setelah menghirup obat ini dianjurkan
berkumur dengan air hangat untuk menghindari efek sampingnya berupa jamur
12) Jika asma terlanjur kambuh, hentikan aktifitas dan segera beristirahat
13) Obati serangan secara dini, jangan menunggu sampai sesak nafas
14) Jika setelah minum obat tidak terjadi perbaikan, harus segera berobat ke UGD
B. Terapi Oral
1. Definisi
20
(intravena), biasanya diberikan dalam dosis yang lebih kecil untuk menghasilkan
efek yang sama.
2. Farmakokinetik
b. Distribusi
21
kardiovaskuler), afinitas terhadap jaringan, ikatan obat dengan protein plasma,
sifat fisikokimia, dan adanya hambatan fisiologi tertentu, seperti abses atau
kanker. Sedangkan kecepatan distribusi dipengaruhi oleh permeabilitas membrane
kapiler terhadap molekul obat. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan
penyebarannya di dlam tubuh.
c. Biotransformasi/Metabolisme
22
didistribusi ke jaringan. Penurunan fungsi hati yang terjadi seiring penuaan atau
disertai penyakit hati memengaruhi kecepatan eliminasi obat dari tubuh.
Perlambatan metabolisme yang dihasilkan membuat obat terakumulasi di dalam
tubuh, akibat klien lebih berisiko mengalami toksisitas obat.
d. Eksresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformai atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit
polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi
melalui paru. Obat bebas, yang mudah larut dalam air difiltrasi di ginjal. Obat-
obatan yang masih berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal.
Setelah ikatan antara obat dan protein lepas maka obat baru dapat diekskresikan
melalui urine. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu,
dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali, sehingga tidak berarti
dalam pengakhiran efek obat. Liur juga dapat digunakan sebagai pengganti darah
untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambutpun dapat digunakan untuk
menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.
23
c. Perbedaan Jenis Kelamin
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolism obat.
d. Perbedaan Umur
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir, jumlah enzim-enzim
mikrosom hati yang diperlukan untukmemetabolisme obat relative masih sedikit,
sehingga sangat peka terhadap obat.
e. Pemghambatan Enzim Metabolisme
Pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawayang
menghambat kerja enzim-enzim metabolism dapat meningkatkan intensitas efek
obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkanefek
samping dan toksisitas.
f. Induksi Enzim Metabolisme
Peningkatan aktivitas enzim metabolism obat-obat tertentu atau proses
induksi enzim mempercepat proses metabolism dan menurunkan kadar obat bebas
dalam plasma, sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya
menjadi singkat.
g. Faktor lain-lain
Diet makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan
hormone, kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam
jaringan dan keadaan patologis hati.
24
C. Terapi Inhalasi
1. Definisi
Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat dalam bentuk partikel aerosol
atau serbuk yang dihirup dan masuk kedalam saluran pernafasan. Prinsip pada
terapi inhalasi yaitu agar obat dapat masuk kedalam paru-paru dengan adanya
partikel aerosol atau serbuk yang terdisposisi kedalam paru-paru, dapat bekerja
cepat dan meminimalkan adanya efek samping secara sistemik karena konsentrasi
obat di dalam darah rendah dan efek terapi dapat tercapai. Partikel uap air atau
obat-obatan dibentuk oleh suatu alat yang disebut nebulizer atau aerosol
generator. Aerosol yang terbentuk akan dihirup pasien melalui mouth piece atau
sungkup dan masuk ke paru-paru untuk mengencerkan. (Meriyani et al., 2016).
2. Tujuan
Menurut (Aryani et al., 2009) terapi inhalasi ini memiliki tujuan sebagai
berikut :
a. Melebarkan saluran pernapasan (karena efek obat bronkodilator)
b. Menekan proses peradangan
c. Mengencerkan dan memudahkan pengeluaran sekret (karena efek obat
mukolitik dan ekspektoran).
3. Indikasi
Indikasi penggunaan terapi inhalasi menurut (Aryani et al., 2009) efektif
dilakukan pada klien dengan :
a. Bronchospasme akut
b. Produksi sekret yang berlebih
c. Batuk dan sesak napas
d. Radang pada epiglottis
25
4. Kontra Indikasi
Kontraindikasi pada terapi inhalasi (Aryani et al., 2009) adalah :
a. Pasien yang tidak sadar atau confusion umumnya tidak kooperatif dengan
prosedur ini, sehingga membutuhkan pemakaian mask/sungkup, tetapi
efektifitasnya akan berkurang secara signifikan
b. Pada klien dimana suara napas tidak ada atau berkurang maka pemberian
medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang menggunakan
tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas juga tidak dapat
menggerakan/memasukan medikasi secara adekuat ke dalam saluran napas.
d. Efek samping sistemik lebih jarang dan lebih ringan dibandingkan obat yang
diberikan secara sistemik.
26
6. Kelemahan terapi inhalasi
a. Beberapa variabel (pola nafas yang benar, tatacara penggunaan alat atau
generator aerosol) dapat mempengaruhi deposisi paru dan reproduktifitas dosis.
b. Dosis yang tepat sering tidak tercapai sehingga dapat terjadi kekurangan atau
sebaliknya.
f. Kesulitan koordinasi antara gerakan tangan dan inhalasi dengan pMDI yang
dapat menurunkan keefektifan.
27
D. Kerangka Teori
Penyebab Asma:
1. Genetik
Klasifikasi asma:
2. Alergen
3. Perubahan Cuaca Jenis Asma: 1. Intermiten
4. Lingkungan kerja 2. Peristen
1. Asma Instrinsik
5. Olahraga Ringan
2. Asma Ekstrinsik
6. Stress 3. Peristen
3. Asma Campuran
Sedang
4. Peristen Berat
Manifestasi Klinis:
1. hipoventilasi,
2. dyspnea
3. wheezing (mengi),
4. pusing Asma
5. perasaan yang Non farmakologi:
merangsang
1. Penyuluhan
6. sakit kepala
7. Nausea 2. Hindari
8. peningkatan napas Penatalaksanaan Asma: pencetus
pendek 3. Fisioterapi
9. kecemasan 1. Non Farmakologi
10. diaforesis 2. Farmakologi
11. kelelahan
Farmakologi
1. Terapi oral
2. Terapi Inhalasi
Keterangan :
: Diteliti
: Mempengaruhi
28
E. Kerangka Konsep
Inhalasi
Oral
Keterangan :
: Diteliti
: Alur
F. Hipotesis
H1 : Pemberian obat salbutamol 2mg secara oral, lebih lambat dalam penanganan
serangan sesak
29
BAB III
METODE PENELITIAN
adalah sebuah sintesa dari literatur tentang topik penelitian (Pan, 2008).
Metode ini dibuat dengan bersumber pada buku, jurnal serta publikasi lainnya
identifikasi teori, metodelogi dan instrument yang tepat. Adapun tujuan dari
mengembangkan rumusan masalah dan hipotesis, orientasi apa yang sudah dan
30
inkonsistensi dalam a body of knowledge (Swarjana, 2012). Metode studi
berbagai teori, hukum, dalil prinsip, atau gagasan yang dmigunakan untuk
31
perubahan atau timbulnya variabel terikat (variable dependen) (Sugiyono,
2014). Variabel bebas pada penelitian ini yaitu Terapi oral dan Terapi inhalasi
b. Variabel Terikat (dependent variable) Variabel terikat (variable dependent)
adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya
variabel bebas (variable independent). (Sugiyono, 2014). Variabel terikat
pada penelitian ini yaitu Kekambuhan Asma.
18) Definisi Operasional
Variabel penelitian adalah segala yang berbentuk atribut, sifat, objek atau
nilai dari suatu hal yang mempunyai variasi tertentu yang kemudian
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari guna diperolehnya informasi dan
dapat ditariknya suatu kesimpulan (Sugiyono, 2013). a. Variabel bebas
(independent variable) Variabel bebas (variable independent) adalah variabel
yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya
variabel terikat (variable dependen) (Sugiyono, 2014). Variabel bebas pada
penelitian ini yaitu Status Kontrol Asma. b. Variabel terikat (dependent
variable) Variabel terikat (variable dependent) adalah variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (variable
independent). (Sugiyono, 2014). Variabel terikat pada penelitian ini yaitu
Kualitas Hidup.
19) Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan
data (Setiadi, 2007). Penelitian ini menggunakan instrument yaitu lembar
wawancara dan lembar kuisioner ACT (Asthma Control Test). Wawancara
adalah metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dimana peneliti
mendapat keterangan atau pendirian secara lisan dengan penggalian secara
mendalam dan menggunakan pertanyaan terbuka (Sibagariang dkk, 2010).
Pertanyaan pada lembar pedoman wawancara mengandung unsur penyakit
asma yang sudah diderita. Pedoman wawancara dibuat 6 pertanyaan terbuka
sehingga subyek penelitian bebas memberikan jawaban. Pedoman yang
digunakan untuk mengetahui perbedaan terapi oral dengan terapi inhalasi
yang telah digunakan oleh pasien. Selain itu peneliti menggunakan alat ukur
32
Asthma Control Test (ACT) yang merupakan kuesioner berisi lima
pertanyaan yang dapat mendeteksi adanya perburukan penyakit berdasarkan
gejala harian, gejala malam, hambatan aktifitas, penggunaan obat pelega serta
penilaian sendiri pasien terhadap penyakitnya. Lembar kuisioner ini untuk
mengetahui apakah ada perbedaan dari 2 jenis penggunaan terapi yang
berbeda terutama dalam kecepatan reaksi terapi.
33
34
20) Metode Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini diurutkan melalui tahap-
tahap yaitu:
1. Prosedur administrasi.
a. Peneliti mengajukan permohonan studi pendahuluan ke Poltekkes
Kemenkes Semarang Prodi DIV Keperawatan Semarang.
b. Surat rekomendasi ke Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan.
c. Peneliti diberikan surat rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Pekalongan yang ditujukan kepada Direktur RSUD Kraton
Kab.Pekalongan.
2. Tahap pelaksanaan.
a. Peneliti mendata pasien asma di Puskesmas RSUD Kraton
Kab.Pekalongan..
b. Peneliti memberikan penjelasan kepada pasien tentang gambaran
umum, tujuan, manfaat, dan kerugian yang dapat ditimbulkan.
c. Peneliti menjelaskan SOP dalam pemberian terapi inhalasi dan terapi
oral
d. Setelah menjelaskan, peneliti meminta persetujuan kepada subyek
penelitian secara tertulis dengan memberikan lembar informed consent.
e. Kegiatan pengambilan data dilakukan 8 kali selama 2 minggu dan
dilakukan dalam waktu 10 menit pada saat tidak terjadi serangan.
f. Peneliti melakukan intervensi latihan nafas dalam sesuai dengan SOP.
g. Subyek penelitian mengisi kuisioner asthma control test (ACT) setelah
dilakukan terapi.
21) Analisis Data
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh
data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan
menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang
diperlukan (Setiadi, 2007). Pengolahan data yang dilakukan pada studi kasus
ini menggunakan teknik analisis kualitatif. Analisa kualitatif dilakukan
dengan cara induktif, yaitu pengambilan kesimpulan umum berdasarkan hasil
35
wawancara. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis kemudian
disajikan dalam bentuk tekstular yaitu penyajian data hasil penelitian dalam
bentuk uraian kalimat. Data yang terkumpul dari hasil wawancara dan lembar
kuisioner Asthma Control Test (ACT) untuk selanjutnya disimpulkan.
Kesimpulan ini dilihat apakah ada perubahan penyakit asma yang dialami
oleh subyek penelitian setelah dilakukan latihan nafas dalam. Setelah data
terkumpul, dilakukan pengecekan ulang terhadap kelengkapan data umum
dan pengecekan apakah data wawancara dari jawaban subyektif penelitian
sesuai dengan pernyataan yang telah dibuat.
dibedakan menjadi tiga bagian sebagai berikut (Nursalam, 2008): 3.7.1 Prinsip
akan berakibat kepada subyek pada setiap tindakan. 3.7.2 Prinsip menghargai
hak asasi manusia (respect human dignity) 1. Hak untuk ikut/tidak menjadi
menjadi subyek atau tidak, tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat
36
jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subyek. 3. Informed Consent 39
secara adil baik sebelum, selama, dan sesudah keikutsertaanya dalam penelitian
Subyek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus
dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan rahasia
(confidentiali
37
38