Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma merupakan suatu penyakit heterogen yang menyerang individu dari


segala usia (Ilmarinen et al., 2021). Menurut Global Initiative for Asthma GINA
(2021), menjelaskan bahwa asma adalah suatu penyakit heterogen, yang biasanya
ditandai dengan adanya peradangan pada saluran napas kronis. Hal ini ditentukan
oleh riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, dada sesak dan batuk
yang sangat lama dan dalam intensitas, bersama dengan kondisi keterbatasan
aliran udara ekspirasi yang bervariasi. Interaksi dari karakteristik asma tersebut
menentukan manifestasi klinis, tingkat keparahan dan respon terhadap
pengobatan. Episode perburukan obstruksi jalan nafas biasanya luas tetapi dapat
bersifat reversibel, dapat membaik sendiri atau perlu dibantu dengan pengobatan
(Initiatife, 2020; , Services, 2007).

Asma adalah gangguan aliran udara intermitten dan reversibel yang hanya
mempengaruhi jalan nafas, tidak sampai pada alveoli. Gangguan aliran udara
terjadi dengan dua cara yaitu inflamasi (peradangan) dan hiperresponsif jalan
nafas. Inflamasi terjadi pada lumen (bagian dalam) jalan napas. Hiperresponsif
jalan napas terjadi karena konstriksi otot bronkial yang lembut sehingga
menyebabkan penyempitan jalan napas kearah luar. Asma ditandai dengan
peradangan saluran udara, obstruksi aliran udara, dan hiperresponsif bronkus
(Nanda & Wasan, 2020). Eksaserbasi bisa berakibat fatal dan lebih sering serta
lebih serius pada pasien berisiko tinggi atau pasien dengan asma yang tidak
terkontrol (GINA, 2018). Faktor-faktor seperti infeksi virus, alergen, asap
tembakau, latihan fisik, stres, obat-obatan tertentu (obat antiinflamasi nonsteroid
dan beta-blocker) dapat memicu atau memperburuk gejala asma (GINA 2018;
WHO 2018). Beberapa fenotipe sudah teridentifikasi, seperti asma alergi, asma
non-alergi, dan asma onset lambat (GINA ,2018).

1
Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, merupakan
penyebab utama kecacatan dan pemanfaatan sumber daya kesehatan bagi mereka
yang terkena dampak, yang mungkin memerlukan perawatan darurat (Nunes et al.,
2017). Walaupun tidak ada obat untuk asma yang diketahui, ada berbagai
intervensi farmakologis dan non-farmakologis yang dapat membantu orang
mengontrol gejala pada pasien asma (GINA 2018). Intervensi non-farmakologis
rupanya telah mendapat perhatian dalam pengobatan asma. Intervensi tersebut
termasuk latihan pernapasan, aktivitas fisik, dan strategi lain seperti berhenti
merokok, menghindari paparan pekerjaan dan alergen dalam ruangan, dan
penurunan berat badan, dan lain-lain (GINA, 2018). Hampir 6 - 30% pasien asma
dilaporkan menggunakan berbagai metode pernapasan untuk membantu
mengendalikan gejala mereka untuk meminimalkan ketergantungan mereka pada
obat-obatan (Hall et al., 2017). Penyakit asma perlu penanganan yang baik dari
tenaga kesehatan karena penyakit tersebut bisa dialami terus menerus oleh anak
bahkan sampai dewasa. Oleh karena itu perlu adanya terapi yang dapat diberikan,
baik terapi farmakologis maupun terapi non farmakologis. Terapi non
farmakologis yang bisa diberirikan pada anak adalah teknik pernapasan
(Harsismanto et al., 2021).

Penyakit asma mempengaruhi sekitar 300 juta orang di seluruh dunia dan
sekitar 7,5% orang dewasa di Amerika Serikat. Penyakit asma juga
mempengaruhi sekitar 1% sampai 18% dari populasi di seluruh dunia. Setiap
tahun, jumlah kematian akibat asma sekitar 180.000 dengan variasi yang luas
antara usia, kelompok ekonomi, benua dan wilayah (GINA 2018; WHO 2018).
Sedangkan, berdasarkan data dari WHO (2021) menunjukan bahwa asma
mempengaruhi sekitar 262 juta orang pada tahun 2019 dan menyebabkan 461.000
kematian. Di Indonesia prevalensi kejadian asma pada penduduk semua umur
sebesar 2,4% (Riskesdas, 2018). Sejalan dengan data dari Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukan bahwa pada
tahun 2019 secara nasional, terdapat 10 kabupaten/kota dengan prevalensi
penyakit asma tertinggi adalah Aceh Barat (13,5%), Buol (13,5%), Pohuwoto

2
(13,0%), Sumba Barat (11,5%), Boalemo (11,0%), Sorong Selatan (10,5%), Tana
Toraja (9,5%), Banjar (9,2%), dan Manggarai (9,2%). Sedangkan 10
kabupaten/kota dengan prevalensi penyakit asma terendah adalah Yahukimo
(0,2%), Langkat (0,5%), Lampung Tengah (0,5%).

Data GINA 2020, prevalensi asma di dunia 1-18%, tren yang terus meningkat
setiap tahunnya (Initiative, 2020). Spektrum asma mengenai semua umur, gejala
dapat sangat ringan sampai berat dan dapat menyebabkan kematian. Hal ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup serta menjadi beban ekonomi sosial.

Berdasarkan buku saku Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dalam


perkembangan kasus PTM, penyakit Asma berada diurutan ke 4 pada tahun 2020
dengan prevalensi 2% atau 70.702 jiwa dan pada tahun 2021 triwulan 1
prevalensinya mencapai 2% atau 17.676 jiwa ( Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah, 2021).

Strategi penatalaksanaan upaya yang penting dalam menyembuhkan dengan


perawatan yang tepat merupakan tindakan utama dalam menghadapi klien
penderita asma, untuk mencegah komplikasi yang lebih fatal dan diharap klien
dapat segera sembuh. Penanganan utama pada penderita asma, lakukan tindakan
pemberian oksigen melalui masker maupun kanul nasal. Posisikan klien senyaman
mungkin atau dudukan klien semifowler, lakukan pemberian inhalasi nebulizer,
terapi pemberian obat, lakukan fisioterapi dada dan ajarkan klien berlatih
pernapasan agar klien dapat mengontrol pernapasannya, anjurkan pasien minum
minuman yang hangat. Kerja sama dengan tim medis serta melibatkan klien dan
keluarga sangat diperlukan agar perawatan dapat berjalan dengan lancar (Claudia,
2017). Pemberian terapi pada penderita asma di fasilitas pelayanan kesehatan
pada umumnya diberikan dengan cara terapi peroral dan terapi inhalasi.

Terapi oral adalah cara pemberian obat melalui mulut dengan tujuan
mencegah, mengobati, mengurangi, rasa sakit sesuai dengan efek terapi dari jenis
obat, terapi ini sangat lazim diberikan kepada pasien. Obat-obatan oral tersedia
dalam berbagai jenis yaitu pil, tablet, bubuk, syrup dan kapsul. Selama pasien

3
mampu menelan dan mempertahankan obat dalam perut, pemberian obat peroral
menjadi pilihan. Kontra indikasi pemberian obat peroral adalah bila pasien
muntah, perlunya tindakan suction, kesadaran menurun atau kesulitan menelan.
Suatu obat yang diminum peroral akan melalui tiga fase, yaitu farmasetik,
farmakokinetik dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase
farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membran
biologi. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskuler atau intravena
maka tidak terjadi fase farmasetik. Fase kedua yaitu farmakokinetik yang meliputi
4 fase, yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi.
Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau
fisiologis. Sekitar 80% obat diberikan secara oral, oleh karena itu farmasetika
adalah fase pertama dari kerja obat.

Terapi inhalasi merupakan suatu terapi melalui sistem pernafasan yang


ditujukan untuk membantu mengembalikan atau memperbaiki fungsi pernafasan
pada berbagai kondisi, penyakit, ataupun cidera. Terapi ini telah lama
dikembangkan dan kini sudah diterima secara luas sebagai salah satu terapi yang
berkaitan dengan penyakit-penyakit saluran nafas kronik seperti asma dan
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

Pada umumnya, terapi inhalasi dilakukan dengan menggunakan suatu alat


khusus yang dapat membentuk partikel-partikel aerosol yang selanjutnya dengan
teknik tertentu dialirkan menuju saluran nafas hingga mencapai reseptor kerja
obat. Aerosol adalah suspensi partikel-partikel zat padat atau cairan di dalam gas
yang dapat memasuki saluran nafas melalui proses inspirasi. Keuntungan utama
dari terapi inhalasi ini adalah obat yang diberikan akan secara langsung menuju
lumen internal dari saluran nafas dan kemudian menuju target kerja obat di dalam
paru-paru. Selain itu, onset kerja obat akan lebih cepat dan dosis yang diberikan
lebih kecil, sehingga dosis sistemik dari sebagian besar obat yang diberikan secara
inhalasi lebih rendah daripada obat oral maupun intravena dan efek samping
sistemiknya juga akan lebih rendah. Adapun beberapa tipe perangkat pembentuk
aerosol atau generator aerosol yang umm digunakan yaitu Pressurized Metered

4
Dose Inhaler (PMDI), Dry Powder Inhaler (DPI) dan nebulizer. Pemilihan
generator aerosol disesuaikan dengan penderita. Terapi inhalasi harus dapat
menyediakan dosis yang konsisten, yaitu dengan distribusi ukuran partkel
aerodinamik yang sesuai, untuk memastikan bahwa obat dapat secara efisien
mencapai ke sisi target pada paru-paru. Desain generator (device) yang baik juga
harus mempertimbangkan penggunaannya pada pasien, hal ini dapat meliputi
ketahanan, mudah untuk digunakan, portable, dan cocok untuk segala usia yang
ditujukan untuk mencapai kepatuhan yang baik dari pasien terhadap pengobatan
yang diberikan.

Untuk menunjang keberhasilan dalam penggunaan inhalasi diperlukan


pengetahuan tentang teknik inhalasi yang optimal, sehingga penggunaan terapi
inhalasi dapat lebih dipahami dan perlu berulang kali memantau apakah pasien
menggunakan inhaler dengan tepat (Rahajoe, 2018).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas,


maka peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu apakah ada perbedaan
terapi inhalasi dengan terapi oral terhadap serangan asma.

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Adapun tujuan umum adalah diketahuinya perbedaan terapi oral


dengan terapi inhalasi terhadap serangan asma.

2. Tujuan khusus

a. Menganalisa perbedaan efektifitas terapi oral dan inhalasi terhadap


respon sesak pasien asma.

b. Diketahuinya perbandingan lama reaksi terapi inhalasi dengan terapi


oral.

5
c. Diketahuinya penurunan sesak nafas dan irama nafas teratur setelah
pemberian terapi.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

a. Bagi Peneliti

1) Mengembangkan pengetahuan peneliti dalam mengaplikasikan


pengetahuan tentang metode penelitian berdasarkan kasus yang ada di
masyarakat.

2) Mengetahui perbedaan pemberian terapi inhalasi dengan terapi oral pada


pasien asma.

b. Bagi Institusi

Sebagai bahan tambahan untuk pengetahuan dan informasi agar dapat


mengembangkan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Tempat Penelitian

Dapat digunakan untuk referensi dalam meningkatkan program


pelayanan terhadap pasien dengan serangan asma.

b. Bagi Responden

Dapat meningkatkan pengetahuan tentang penanganan terhadap serangan


asma.

6
E. Keaslian Penelitian

Peneliti Metode Varriabel Instrumen Hasil


Judul Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian
Hermanto, Gambaran Penelitian ini Variabel dalam One Group Hasil
2016 pretest and
pemberian terapi menggunakan penelitian ini pemberian
post test
inhalasi dan metode adalah Design terapi inhalasi
oksigenasi pada deskriptif variable bebas nebulizer
pasien asma adalah didapatkan
bronkial di IGD Penggunaan hasil kategori
RSU Video Animasi baik sebanyak
Muhammadiya sedangkan 57,7%,
h bantul variable kategori
terikatnya cukup
adalah sebanyak
pengetahuan 42,8%. Pada
pemberian pemberian
terapi inhalasi terapi oksigen
dan oksigenasi dikategorikan
pada pasien baik yaitu
asma 100%

Valentina Efektivitas Sampel diambil Variabel dalam checklist Hasil penelitian


B.M Terapi dengan teknik penelitian ini observasi. menunjukkan
Lumbanto Nebulizer consecutive adalah variable bahwa setengah
bing, 2017, Dengan sampling bebas adalah responden yang
Vol.5 No.1 Ipratropium Dan Penggunaan diberi terapi
Fenoterol Video Animasi Ipratropium
Terhadap yaitu 4
sedangkan
Saturasi responden
variable
Oksigen (50%)
terikatnya

7
adalah mengalami
pengetahuan peningkatan
Efektivitas SpO2 sebesar 4,
Terapi setengah
Nebulizer responden yang
Dengan diberi terapi
Ipratropium Dan Feneterol yaitu
Fenoterol 4 responden
Terhadap (50%)
Saturasi mengalami
Oksigen peningkatan
SpO2 sebesar 5.
Hasil uji
Independent
Sample T Test
diperoleh
p-value 0,001
≤ 0,05
Nur Perbedaan Penelitian ini Variabel dalam Purposive Hasil Penelitian
Rochmah efektivitas merupakan penelitian ini Sampling Data perbedaan
Kurnianti , pemberian penelitian quasi adalah variable efektivitas
Riana Sari , nebulizer experimental bebas adalah pemberian
Endang dengan dengan Penggunaan nebulizer
Widhyastu menggunakan pendekatan time Video Animasi dengan
ti , 2015 mouthpiece series design sedangkan menggunakan
dibandingkan variable mouthpiece
dengan masker terikatnya adalah dibandingkan
pada penderita pengetahuan dengan masker
asma akut di tentang diuji dengan uji
balai besar Perbedaan T tidak
kesehatan paru efektivitas berpasangan,

8
masyarakat pemberian didapatkan p=
(bbkpm) nebulizer 0,007 (p<0,05)
Surakarta dengan yang artinya
menggunakan bermakna secara
mouthpiece statistik.
dibandingkan
dengan masker
T

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asma

1. Definisi Asma.

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemennya, dimana banyak sel yang berperan terutama sel mast,
eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Inflamasi kronik
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang, seperti mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk
terutama pada malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel
dengan atau tanpa pengobatan (PDPI, 2003 ; Yudhawati & Krisdanti, 2019).

Penyakit asma merupakan penyakit tidak menular yang ditandai dengan


sesak napas. Penyempitan saluran napas akibat proses peradangan (inflamasi)
inilah yang menjadi penyebabnya. Pada asma, terjadinya kontraksi otot polos di
saluran pernapasan dan pengeluaran lendir yang meningkat dari biasanya akibat
adanya pencetus, yaitu alergen atau iritan. Saat terjadi serangan asma, saluran
napas meradang, bengkak, dan terisi lendir. Lendir ini sangat kental sehingga
mempersempit atau bahkan menyumbat saluran napas. Akibatnya, saat terjadi
serangan asma, mengeluarkan napas menjadi lebih sulit dibanding saat menarik
napas (Prihaningtyas, 2014).

2. Etiologi

Secara umum, penderita asma mengalami penyempitan bronkus yang


disebabkan oleh hiperaktivitas bronkus. Oleh karena itu, serangan asma mudah
terjadi akibat berbagai rangsangan baik alergen, infeksi saluran pernapasan dan
psikologis. Menurut penyebabnya asma terbagi menjadi tiga, antara lain sebagai
berikut :
10
1. Asma ekstrinsik (alergik)

Merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh alergen (misalnya bulu
binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan). Alergen yang paling umum
adalah alergen yang perantaraan penyebarannya melalui udara (airborne) dan
alergen yang muncul secara musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik
biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat
pengobatan ekzema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi menjadi
pencetus serangan asma. Gejala asma umumnya dimulai saat anak-anak.

2. Asma intrinsik (non alergik)

Merupakan jenis asma yang tidak berhubungan secara langsung dengan


alergen spesifik. Faktor-faktor seperti udara dingin, infeksi saluran napas atas,
aktivitas fisik, ekspresi emosi yang berlebihan, dan polusi lingkungan dapat
menimbulkan serangan asma. Beberapa agen farmakologi, antagonis beta-
adrenergik, dan agen sulfite (penyedap makanan) juga dapat berperan sebagai
faktor pencetus. Serangan asma dapat menjadi lebih berat dan sering kali dengan
berjalannya waktu dapat berkembang menjadi bronkhitis dan emfisema. Pada
beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang,menjadi asma campuran.
Bentuk asma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (>35 tahun).

3. Asma campuran (mixed asthma)

Merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan. Dikarakteristikkan


dengan bentuk kedua jenis asma ekstrinsik (alergik) dan asma intrinsik (non
alergik) (Muttaqin, 2012; Utama, 2018).

11
3. Faktor Resiko Asma

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan :

1. Faktor genetik

a. Atopi/ alergi, hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penanggulangannya. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya
bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma jika terpajan
dengan faktor pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus, saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan


alergen maupun iritan.

c. Jenis kelamin, pria merupakan risiko untuk asma pada anak.

d. Usia, sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5
– 2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan
tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih
banyak.

2. Faktor lingkungan

a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing dan lain-lain).

b. Alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur).

c. Alergen makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,
coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna makanan).

12
d. Alergen obat-obatan tertentu (penisilin, sefalosporin, golongan beta lactam
lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesic, antipiretik dan lainlain).

e. Bahan yang mengiritasi (parfum, household spray dan lain-lain).

f. Ekspresi emosi berlebih atau stres seperti kecemasan dapat menjadi pencetus
serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang
sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati,
penderita asma yang mengalami kecemasan perlu diberikan konseling untuk
mengatasinya. Karena jika belum diatasi, maka gejala asmanya akan sulit
diobati.

g. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif, berhubungan dengan


penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran
berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti
meningkatkanrisiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.

h. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan.

i. Exercise-induced asthma, pada penderita yang kambuh asmanya ketika


melakukan aktivitas/ olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan
mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang
berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.

j. Perubahan cuaca, cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan
dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk
sari beterbangan) (Priyatna, 2012).

13
4. Tanda dan Gejala Asma

Tanda dan gejala yang muncul yaitu hipoventilasi, dispnea, wheezing


(mengi), pusing, perasaan yang merangsang, sakit kepala, nausea, peningkatan
napas pendek, kecemasan, diaforesis dan kelelahan. Hiperventilasi merupakan
salah satu gejala awal dari asma. Kemudian sesak napas parah dengan ekspirasi
memanjang disertai wheezing (pada apeks dan hilus). Gejala utama yang sering
muncul adalah dispnea, batuk dan mengi. Mengi sering dianggap salah satu gejala
yang ditandai selalu ada apabila serangan asma muncul (Utama, 2018).

Tanda dan gejala umum asma meliputi, antara lain :

a. Batuk dengan ataupun tanpa produksi sputum (dahak)

b. Kulit diantara tulang rusuk tampak tertarik ke dalam saat bernapas (retraksi
interkostalis)

c. Sesak napas yang semakin memburuk bila disertai dengan latihan atau aktivitas

d. Wheezing (mengi) yang muncul secara episodik dalam periode tanpa gejala
lain, lebih buruk pada malam hari atau pagi hari, akan menghilang dengan
sendirinya, akan membaik bila minum obat yang membuka saluran pernapasan
(bronkodilator), semakin buruk saat menghirup udara dingin, semakin buruk
saat melakukan aktivitas fisik, semakin buruk bila disertai refluks, biasanya
muncul secara tiba-tiba.

Sedangkan tanda dan gejala yang berat pada asma, antara lain:

a. Bibir dan wajah tampak kebiruan

b. Penurunan tingkat kewaspadaan seperti mengantuk berat atau kebingungan

c. Kesulitan bernapas yang ekstrem

14
d. Denyut nadi meningkat

e. Timbul kecemasan berat karena sulit bernapas

f. Berkeringat

Beberapa tanda dan gejala lain yang mungkin menyertai asma, antara lain:

a. Pola pernapasan abnormal seperti perlu menarik dua tarikan napas untuk
menghirup napas dalam-dalam

b. Kadang-kadang terjadi henti napas

c. Nyeri dada dan rasa sesak di dada (Priyatna, 2012)

5. Klasifikasi Asma

Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahan penyakit (derajat asma)


yaitu:

1. Intermiten
Intermitten ialah derajat asma yang paling ringan. Pada tingkatan
derajat asma ini, serangan asma biasanya berlangsung secara singkat.
Gejala ini bisa muncul di malam hari dengan intensitas sangat rendah yaitu
≤ 2x sebulan.

2. Persisten Ringan
Persisten ringan ialah derajat asma yang tergolong ringan. Pada
tingkatan derajat asma ini, gejala pada sehari-hari berlangsung lebih dari 1
kali seminggu, tetapi kurang dari atau sama dengan 1 kali sehari dan
serangannya biasanya dapat mengganggu aktifitas tidur di malam hari.

15
3. Persisten Sedang
Persisten sedang ialah derajat asma yang tergolong lumayan berat.
Pada tingkatan derajat asma ini, gejala yang muncul biasanya di atas 1x
dalam sepekan dan hampir setiap hari. Serangannya biasanya dapat
mengganggu aktifitas tidur di malam hari.

4. Persisten Berat
Persisten berat ialah derajat asma yang paling tinggi tingkat
keparahannya. Pada tingkatan derajat asma ini, gejala yang muncul
biasanya hampir setiap hari, terus menerus, dan sering kambuh.
Membutuhkan bronkodilator setiap hari dan serangannya biasanya dapat
mengganggu aktifitas tidur di malam hari.

6. Patofisiologi Asma

Alergen masuk ke dalam tubuh dapat melalui saluran pernapasan yang


akan ditangkap oleh Antigen Presenting Cells (APC). Setelah alergen diproses
dalam APC (sel dendritik), kemudian dipresentasikan menjadi sel T helper 2
(Th2) yang akan melepaskan interleukin 4 (IL-4), interleukin 5 (IL-5), dan
interleukin 13 (IL-13). IL-4 menyebabkan proliferasi sel B menjadi sel plasma
untuk memproduksi IgE antibodi. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh sel
mastosit. Ikatan tersebut menimbulkan degranulasi sel mastosit, dan merangsang
keluarnya mediator dalam granul-granul sitoplasma, yaitu histamin, leukotriene,
Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECFA), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF),
triptase, dan kinin yang memunculkan gejala asma seperti sesak, mengi, dan
bronkokonstriksi. Sel Th 2 mengeluarkan Growth Factors (GF) yang
menyebabkan terjadinya remodelling jalan napas melibatkan pengaktifan banyak
struktur sel yang meningkatkan penyumbatan aliran udara dan hiperresponsif
saluran napas (Saputro & Fazrin, 2017).

16
7. Pemeriksaan Asma

a. Pengukuran fungsi paru (spirometri)

Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator


aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asma

b. Tes provokasi bronkhus

Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV sebesar 20% atau
lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90% dari maksimum dianggap
bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 10% atau lebih

c. Pemeriksaan kulit

Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik di dalam


tubuh

d. Pemeriksaan laboratorium

1. Analisa gas darah (AGD/Astrup) Hanya dilakukan pada serangan asma berat
karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik

2. Sputum Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang
berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi
dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari
perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, cara
tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa
antibiotik

3. Sel eosinofil Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat
mencapai 1000-1500/mm3 baik asma ekstrinsik ataupun intrinsik,
sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan
17
fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan
pengobatan telah tepat

4. Pemeriksaan darah rutin dan kimia Jumlah sel leukosit yang lebih dari
15.000/mm3 terjadi karena adanya infeksi yang disebabkan kerusakan hati
akibat hipoksia atau hiperkapnea.

e. Pemeriksaan Radiologi

Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma bronkhial biasanya


normal, tetapi prosedur ini harus tetap dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti
pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain (Muttaqin,
2012).

8. Penatalaksanaan Asma

a. Pengobatan Nonfarmakologi

1) Penyuluhan, penyuluhan ini ditujukan untuk peningkatan pengetahuan klien


tentang penyakit asma sehingga klien secara sadar menghindari faktor-faktor
pencetus, menggunakan obat secara benar dan berkonsultasi pada tim
kesehatan.

2) Menghindari faktor pencetus, klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus


serangan asma yang ada pada lingkungannya, diajarkan cara menghindari dan
mengurangi faktor pencetus, termasuk intake cairan yang cukup bagi klien.

3) Fisioterapi, dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini


dapat dilakukan dengan postural drainase, perkusi, dan fibrasi dada.

18
b. Pengobatan Farmakologi

1) Agonis beta: metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol, bekerja


sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4 kali semprot, dan jarak antara semprotan
pertama dan kedua adalah 10 menit 20

2) Metilxantin, dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4 kali sehari. Golongan


metilxantin adalah aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila golongan
beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan

3) Kortikosteroid, jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan respon yang
baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol dengan
dosis 4 kali semprot tiap hari. Pemberian steroid dalam jangka yang lama
mempunyai efek samping, maka klien yang mendapat steroid jangka lama
harus diawasi dengan ketat

4) Kromolin dan Iprutropioum bromide (atroven), kromolin merupakan obat


pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis Iprutropioum bromide
diberikan 1-2 kapsul 4 kali sehari (Muttaqin, 2012).

c. Pencegahan Kambuhnya Asma :

1) Perhatikan waktu atau kegiatan sebelum mendapat serangan, misalnya udara,

rokok, makanan/minuman, debu, kegiatan fisik, obat-obatan, infeksi dan lain

sebagainya. Buat catatan, sehingga di dapat gambaran jelas tentang

penyebabnya dan dapat dihindari

2) Cuci sarung bantal, sprei, horden lebih sering

3) Potong rumput di halaman lebih sering

4) Pilih tanaman yang tidak berbunga

5) Jauhi asap rokok

19
6) Hindari makanan laut

7) Jangan memelihara binatang berbulu dirumah (anjing, kucing, burung)

8) Gunakan pakaian hangat jika cuaca dingin

9) Hindari aktifitas yang dapat membuat tubuh kelelahan

10) Selalu sediakan obat asma di rumah dan/atau di tas kala bepergian

11) Jika menggunakan obat steroid hirup, setelah menghirup obat ini dianjurkan

berkumur dengan air hangat untuk menghindari efek sampingnya berupa jamur

pada kerongkongan dan pita suara

12) Jika asma terlanjur kambuh, hentikan aktifitas dan segera beristirahat

13) Obati serangan secara dini, jangan menunggu sampai sesak nafas

14) Jika setelah minum obat tidak terjadi perbaikan, harus segera berobat ke UGD

rumah sakit terdekat

B. Terapi Oral

1. Definisi

Terapi pemberian obat yang cara penggunaannya masuk melalui mulut.


Obat oral biasanya diberikan secara oral dalam bentuk tablet, cairan (sirup,
emulsi), kapsul, atau tablet kunyah. Rute ini paling sering digunakan karena
paling nyaman dan biasanya yang paling aman dan tidak mahal. Namun, rute ini
memiliki keterbatasan karena jalannya obat biasanya bergerak melalui saluran
pencernaan. Untuk obat diberikan secara oral, penyerapan (absorpsi) bisa terjadi
mulai di mulut dan lambung. Namun, sebagian besar obat biasanya diserap di usus
kecil. Obat melewati dinding usus dan perjalanan ke hati sebelum diangkut
melalui aliran darah ke situs target. Dinding usus dan hati secara kimiawi
mengubah (memetabolisme) banyak obat, mengurangi jumlah obat yang mencapai
aliran darah. Akibatnya, ketika obat yang sama diberikan secara suntikan

20
(intravena), biasanya diberikan dalam dosis yang lebih kecil untuk menghasilkan
efek yang sama.

Pemberian obat melalui oral atau mulut memang merupakan cara


termudah dan paling sederhana. Cara tersebut meminimalkan ketidaknyamanan
pada klien dan dengan efek samping yang paling kecil, serta paling murah
dibandingkan dengan cara pemberan yang lain. Keuntungan pemberian obat
melalui oral diantaranya realtif aman, praktis, ekonomis, sedangkan kerugiannya
timbul efek lambat, tidak bermanfaat untuk pasien yang sering muntah, diare,
tidak sadar atau tidak kooperatif.

2. Farmakokinetik

a. Absorpsi dan Bioavailabilitas

Absorpsi merupakan proses penyerapan partikel-partikel obat dari tempat


pemberian ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif atau
pinositosis. Absorpsi menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses penyerapan.
Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Secara
klinik, bioavailabilitas lebih penting.

Bioavailabilitas dinyatakan sebagai jumlah obat dalam persen terhadap


dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena
untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan
mencapai sirkulasi sistemik. Setelah diabsorpsi, partikrl obat melewati lumen usus
masuk ke dalam hati melalui vena porta.. di dalam hati, kebanyakan obat
dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif untuk diekskresikan sehingga
mengurangi jumlah zat aktif

b. Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat akan diditribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi


darah. Factor-faktor yang mempengaruhi distribusi adalah aliran darah (fungsi

21
kardiovaskuler), afinitas terhadap jaringan, ikatan obat dengan protein plasma,
sifat fisikokimia, dan adanya hambatan fisiologi tertentu, seperti abses atau
kanker. Sedangkan kecepatan distribusi dipengaruhi oleh permeabilitas membrane
kapiler terhadap molekul obat. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan
penyebarannya di dlam tubuh.

Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ


yang perfusinya sangat baik (suplai darah lebih banyak atau cepat) misalnya
jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih luas
yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas, misalnya
otot, visera, kulit dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan
setelah waktu yang lebih lama. Jaringan yang mengalami penurunan perfusi
(misalnya : kontraksi) atau kerusakan perfusi (misalnya: abses) akan mengalami
hambatan dalam distribusi obat.

c. Biotransformasi/Metabolisme

Bitransformasi atau Metabolisme obat ialah proses perubahan struktur


kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini
molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan
kurang larut dalam lemak, sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal.
Sebagian besar biotransformasi berlangsung di bawah pengaruh enzim yang
mendetoksifikasi, mengurai (memecah), dan melepas zat kimia aktif secara
biologis. Enzim yang berperan dalam biotranformasi obat dapat dibedakan
berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam
reticulum endoplasma halus (pda isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzi
non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel
hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain, misalnya ginjal, paru, epitel, saluran
cerna dan plasma.

Hati sangat penting karena strukturnya yang khusus mengoksidasi dan


mengubah banyak zat toksik hati mengurai banyak zat kimia berbahaya sebelum

22
didistribusi ke jaringan. Penurunan fungsi hati yang terjadi seiring penuaan atau
disertai penyakit hati memengaruhi kecepatan eliminasi obat dari tubuh.
Perlambatan metabolisme yang dihasilkan membuat obat terakumulasi di dalam
tubuh, akibat klien lebih berisiko mengalami toksisitas obat.

d. Eksresi

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformai atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit
polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi
melalui paru. Obat bebas, yang mudah larut dalam air difiltrasi di ginjal. Obat-
obatan yang masih berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal.
Setelah ikatan antara obat dan protein lepas maka obat baru dapat diekskresikan
melalui urine. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu,
dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali, sehingga tidak berarti
dalam pengakhiran efek obat. Liur juga dapat digunakan sebagai pengganti darah
untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambutpun dapat digunakan untuk
menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat


a. Faktor Genetik dan Keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang
terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau
keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.

b. Perbedaan Spesies dan Galur


Pada proses metabolism obat, perubahab kimia yang terjadi pada spesies
dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada
perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh
perbedaan dilakukan terhadaptipe reaksi metabolic atau perbedaan kualitatif dan
pada kecepatan metabolism atau perbedaan kuantitatif.

23
c. Perbedaan Jenis Kelamin
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolism obat.
d. Perbedaan Umur
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir, jumlah enzim-enzim
mikrosom hati yang diperlukan untukmemetabolisme obat relative masih sedikit,
sehingga sangat peka terhadap obat.
e. Pemghambatan Enzim Metabolisme
Pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawayang
menghambat kerja enzim-enzim metabolism dapat meningkatkan intensitas efek
obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkanefek
samping dan toksisitas.
f. Induksi Enzim Metabolisme
Peningkatan aktivitas enzim metabolism obat-obat tertentu atau proses
induksi enzim mempercepat proses metabolism dan menurunkan kadar obat bebas
dalam plasma, sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya
menjadi singkat.
g. Faktor lain-lain
Diet makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan
hormone, kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam
jaringan dan keadaan patologis hati.

24
C. Terapi Inhalasi
1. Definisi

Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat dalam bentuk partikel aerosol
atau serbuk yang dihirup dan masuk kedalam saluran pernafasan. Prinsip pada
terapi inhalasi yaitu agar obat dapat masuk kedalam paru-paru dengan adanya
partikel aerosol atau serbuk yang terdisposisi kedalam paru-paru, dapat bekerja
cepat dan meminimalkan adanya efek samping secara sistemik karena konsentrasi
obat di dalam darah rendah dan efek terapi dapat tercapai. Partikel uap air atau
obat-obatan dibentuk oleh suatu alat yang disebut nebulizer atau aerosol
generator. Aerosol yang terbentuk akan dihirup pasien melalui mouth piece atau
sungkup dan masuk ke paru-paru untuk mengencerkan. (Meriyani et al., 2016).

Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang dilakukan secara inhalasi


(hirupan) ke dalam saluran respiratorikatau saluran pernapasan Nanda Yudip
(2016).

2. Tujuan
Menurut (Aryani et al., 2009) terapi inhalasi ini memiliki tujuan sebagai
berikut :
a. Melebarkan saluran pernapasan (karena efek obat bronkodilator)
b. Menekan proses peradangan
c. Mengencerkan dan memudahkan pengeluaran sekret (karena efek obat
mukolitik dan ekspektoran).

3. Indikasi
Indikasi penggunaan terapi inhalasi menurut (Aryani et al., 2009) efektif
dilakukan pada klien dengan :
a. Bronchospasme akut
b. Produksi sekret yang berlebih
c. Batuk dan sesak napas
d. Radang pada epiglottis

25
4. Kontra Indikasi
Kontraindikasi pada terapi inhalasi (Aryani et al., 2009) adalah :

a. Pasien yang tidak sadar atau confusion umumnya tidak kooperatif dengan
prosedur ini, sehingga membutuhkan pemakaian mask/sungkup, tetapi
efektifitasnya akan berkurang secara signifikan

b. Pada klien dimana suara napas tidak ada atau berkurang maka pemberian
medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang menggunakan
tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas juga tidak dapat
menggerakan/memasukan medikasi secara adekuat ke dalam saluran napas.

c. Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac iritability harus dengan


perhatian. Ketika diinhalasi, katekolamin dapat meningkat cardiac rate dan
dapat menimbulkan disritmia.

5. Keuntungan terapi inhalasi

a. Onset kerja lebih cepat dibandingkan obat oral

b. Dosis yang diberikan kecil

c. Obat langsung menuju paru-paru, sehingga paparan sistemik minimal.

d. Efek samping sistemik lebih jarang dan lebih ringan dibandingkan obat yang
diberikan secara sistemik.

e. Terapi dengan obat inhalasi cenderung tidak menimbulkan nyeri, dibandingan


obat yang diberikan melalui injeksi, dan lebih nyaman.

26
6. Kelemahan terapi inhalasi

a. Beberapa variabel (pola nafas yang benar, tatacara penggunaan alat atau
generator aerosol) dapat mempengaruhi deposisi paru dan reproduktifitas dosis.

b. Dosis yang tepat sering tidak tercapai sehingga dapat terjadi kekurangan atau
sebaliknya.

c. Deposisi orofaringeal dapat menyebabkan absorbsi sistemik

d. Iritasi orofaringeal menyebabkan penyumbatan, nausea, vomitus, dan aerofagi.

e. Membutuhkan peralatan khusus dan mahal.

f. Kesulitan koordinasi antara gerakan tangan dan inhalasi dengan pMDI yang
dapat menurunkan keefektifan.

g. Ketersediaan berbagai macam jenis alat akan membingungkan pasien dan


klinisi.

h. Keterbatasan informasi tentang standarisasi teknik inhalasi kepada klinisi akan


mengurangi keefektifan.

i. Pemberian secara inhalasi lebih kompleks dibandingkan oral

27
D. Kerangka Teori

Penyebab Asma:

1. Genetik
Klasifikasi asma:
2. Alergen
3. Perubahan Cuaca Jenis Asma: 1. Intermiten
4. Lingkungan kerja 2. Peristen
1. Asma Instrinsik
5. Olahraga Ringan
2. Asma Ekstrinsik
6. Stress 3. Peristen
3. Asma Campuran
Sedang
4. Peristen Berat

Manifestasi Klinis:
1. hipoventilasi,
2. dyspnea
3. wheezing (mengi),
4. pusing Asma
5. perasaan yang Non farmakologi:
merangsang
1. Penyuluhan
6. sakit kepala
7. Nausea 2. Hindari
8. peningkatan napas Penatalaksanaan Asma: pencetus
pendek 3. Fisioterapi
9. kecemasan 1. Non Farmakologi
10. diaforesis 2. Farmakologi
11. kelelahan
Farmakologi

1. Terapi oral
2. Terapi Inhalasi

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Keterangan :

: Diteliti

: Mempengaruhi

28
E. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Inhalasi

1. Obat Ventolin Nebules


2,5mg Serangan Sesak
2. Obat Salbutamol Oral 2mg

Oral

Gambar 2.2 Keramgka Konsep

Keterangan :

: Diteliti

: Alur

F. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah.


Karena sifatnya masih sementara, maka perlu dibuktikan kebenarannya melalui
data empirik yang terkumpul (Sugiyono, 2017).

H0 : Pemberian obat ventolin 2,5mg dengan metode inhalasi akan mempercepat


penanganan pada serangan sesak

H1 : Pemberian obat salbutamol 2mg secara oral, lebih lambat dalam penanganan
serangan sesak

29
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data


yang valid dengan tujuan dapat ditemukan,dikembangkan,dan dibuktikan,
suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk
memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam bidang
pendidikan (Sugiyono, 2018).
Pada bab ini akan menguraikan tentang : 1) Desai Penelitian, 2) Populasi dan
Sampel, 3) Variabel Penelitian, 4) Definisi Penelitian, 5) Instrumen
Penelitian, 6) Metode Pengumpulan Data, 7) Analisis Data, 8) Etik Penelitian.

15) Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa

sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian

(Setiadi, 2013). Penelitian dengan menggunakan data sekunder dari telaah

jurnal penelitian merupakan penelitian bersifat kuantitatif dengan desain

deskriptif menggunakan pendekatan Literature Review. Literature Review

adalah sebuah sintesa dari literatur tentang topik penelitian (Pan, 2008).

Metode ini dibuat dengan bersumber pada buku, jurnal serta publikasi lainnya

terkait dengan topik yang diteliti dan digunakan untuk menjustifikasi

pentingnya studi dilakukan, tempat penelitian, refine research question,

identifikasi teori, metodelogi dan instrument yang tepat. Adapun tujuan dari

Literature Review adalah mengidentifikasi masalah penelitian dan

mengembangkan rumusan masalah dan hipotesis, orientasi apa yang sudah dan

belum diketahui tentang area penelitian serta mendeterminasi gap atau

30
inkonsistensi dalam a body of knowledge (Swarjana, 2012). Metode studi

literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode

pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelolah bahan

penulisan (Nursalam, 2016). Fokus penelitian kepustakaan adalah menemukan

berbagai teori, hukum, dalil prinsip, atau gagasan yang dmigunakan untuk

menganalisis dan memecahkan pertanyaan penelitian yangdirumuskan.

16) Populasi dan Sampel


Populasi target dari penelitian ini merupakan semua pasien asma rawat jalan
di rumah sakit RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Populasi terjangkau dari
penelitian ini adalah pasien asma rawat jalan di RSUD Kraton Kabupaten
Pekalongan, yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling, yaitu
setiap pasien asma rawat jalan di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan yang
telah memenuhi kriteria inklusi akan diikutsertakan dalam penelitian hingga
jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi. Kriteria inklusi yang telah ditetapkan
adalah sebagai berikut : 1. Pasien Asma yang menggunakan terapi oral dalam
waktu minimal 3 bulan. 2. Pasien asma yang menggunakan inhaler dalam
waktu minimal 3 bulan. 3. Pasien asma dengan usia ≥ 18 tahun. Kriteria
eksklusi yang telah ditetapkan adalah pasien asma yang disertai penyakit
pernapasan yang lain meliputi (PPOK, kanker paru, bronkitis kronis, sistik
fibrosis, bronkiektasis).

17) Variabel Penelitian


Variabel penelitian adalah segala yang berbentuk atribut, sifat, objek atau
nilai dari suatu hal yang mempunyai variasi tertentu yang kemudian
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari guna diperolehnya informasi dan
dapat ditariknya suatu kesimpulan (Sugiyono, 2013).
a. Variabel Bebas (independent variable) Variabel bebas (variable
independent) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab

31
perubahan atau timbulnya variabel terikat (variable dependen) (Sugiyono,
2014). Variabel bebas pada penelitian ini yaitu Terapi oral dan Terapi inhalasi
b. Variabel Terikat (dependent variable) Variabel terikat (variable dependent)
adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya
variabel bebas (variable independent). (Sugiyono, 2014). Variabel terikat
pada penelitian ini yaitu Kekambuhan Asma.
18) Definisi Operasional
Variabel penelitian adalah segala yang berbentuk atribut, sifat, objek atau
nilai dari suatu hal yang mempunyai variasi tertentu yang kemudian
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari guna diperolehnya informasi dan
dapat ditariknya suatu kesimpulan (Sugiyono, 2013). a. Variabel bebas
(independent variable) Variabel bebas (variable independent) adalah variabel
yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya
variabel terikat (variable dependen) (Sugiyono, 2014). Variabel bebas pada
penelitian ini yaitu Status Kontrol Asma. b. Variabel terikat (dependent
variable) Variabel terikat (variable dependent) adalah variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (variable
independent). (Sugiyono, 2014). Variabel terikat pada penelitian ini yaitu
Kualitas Hidup.
19) Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan
data (Setiadi, 2007). Penelitian ini menggunakan instrument yaitu lembar
wawancara dan lembar kuisioner ACT (Asthma Control Test). Wawancara
adalah metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dimana peneliti
mendapat keterangan atau pendirian secara lisan dengan penggalian secara
mendalam dan menggunakan pertanyaan terbuka (Sibagariang dkk, 2010).
Pertanyaan pada lembar pedoman wawancara mengandung unsur penyakit
asma yang sudah diderita. Pedoman wawancara dibuat 6 pertanyaan terbuka
sehingga subyek penelitian bebas memberikan jawaban. Pedoman yang
digunakan untuk mengetahui perbedaan terapi oral dengan terapi inhalasi
yang telah digunakan oleh pasien. Selain itu peneliti menggunakan alat ukur

32
Asthma Control Test (ACT) yang merupakan kuesioner berisi lima
pertanyaan yang dapat mendeteksi adanya perburukan penyakit berdasarkan
gejala harian, gejala malam, hambatan aktifitas, penggunaan obat pelega serta
penilaian sendiri pasien terhadap penyakitnya. Lembar kuisioner ini untuk
mengetahui apakah ada perbedaan dari 2 jenis penggunaan terapi yang
berbeda terutama dalam kecepatan reaksi terapi.

33
34
20) Metode Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini diurutkan melalui tahap-
tahap yaitu:
1. Prosedur administrasi.
a. Peneliti mengajukan permohonan studi pendahuluan ke Poltekkes
Kemenkes Semarang Prodi DIV Keperawatan Semarang.
b. Surat rekomendasi ke Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan.
c. Peneliti diberikan surat rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Pekalongan yang ditujukan kepada Direktur RSUD Kraton
Kab.Pekalongan.
2. Tahap pelaksanaan.
a. Peneliti mendata pasien asma di Puskesmas RSUD Kraton
Kab.Pekalongan..
b. Peneliti memberikan penjelasan kepada pasien tentang gambaran
umum, tujuan, manfaat, dan kerugian yang dapat ditimbulkan.
c. Peneliti menjelaskan SOP dalam pemberian terapi inhalasi dan terapi
oral
d. Setelah menjelaskan, peneliti meminta persetujuan kepada subyek
penelitian secara tertulis dengan memberikan lembar informed consent.
e. Kegiatan pengambilan data dilakukan 8 kali selama 2 minggu dan
dilakukan dalam waktu 10 menit pada saat tidak terjadi serangan.
f. Peneliti melakukan intervensi latihan nafas dalam sesuai dengan SOP.
g. Subyek penelitian mengisi kuisioner asthma control test (ACT) setelah
dilakukan terapi.
21) Analisis Data
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh
data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan
menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang
diperlukan (Setiadi, 2007). Pengolahan data yang dilakukan pada studi kasus
ini menggunakan teknik analisis kualitatif. Analisa kualitatif dilakukan
dengan cara induktif, yaitu pengambilan kesimpulan umum berdasarkan hasil

35
wawancara. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis kemudian
disajikan dalam bentuk tekstular yaitu penyajian data hasil penelitian dalam
bentuk uraian kalimat. Data yang terkumpul dari hasil wawancara dan lembar
kuisioner Asthma Control Test (ACT) untuk selanjutnya disimpulkan.
Kesimpulan ini dilihat apakah ada perubahan penyakit asma yang dialami
oleh subyek penelitian setelah dilakukan latihan nafas dalam. Setelah data
terkumpul, dilakukan pengecekan ulang terhadap kelengkapan data umum
dan pengecekan apakah data wawancara dari jawaban subyektif penelitian
sesuai dengan pernyataan yang telah dibuat.

22) Etik Penelitian

Secara umum prinsip etika dalam penelitian/pengumpulan data dapat

dibedakan menjadi tiga bagian sebagai berikut (Nursalam, 2008): 3.7.1 Prinsip

Manfaat 1. Bebas dari penderitaan Penelitian dilaksanakan tanpa

mengakibatkan penderitaan kepada subyek penelitian, khususnya jika

menggunakan tindakan khusus. 2. Bebas dari eksploitasi Partisipasi subyek

dalam penelitian harus dihindarkan dari keadaan yang tidak menguntungkan. 3.

Resiko Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan yang

akan berakibat kepada subyek pada setiap tindakan. 3.7.2 Prinsip menghargai

hak asasi manusia (respect human dignity) 1. Hak untuk ikut/tidak menjadi

responden (right to self determination). Subyek harus diperlakukan secara

manusiawi. Subyek mempunyai hak memutuskan apakah mereka bersedia

menjadi subyek atau tidak, tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat

terhadap kesembuhannya, jika mereka seorang klien. 2. Hak untuk

mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full disclosure).

Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta bertanggung

36
jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subyek. 3. Informed Consent 39

Subyek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian

yang telah dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau

menolak menjadi subyek penelitian. Pada informed consent juga perlu

dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya dipergunakan untuk

pengembangan ilmu. 3.7.3 Prinsip Keadilan 1. Hak untuk mendapatkan

pengobatan yang adil (right in fair treatment). Subyek harus diperlakukan

secara adil baik sebelum, selama, dan sesudah keikutsertaanya dalam penelitian

tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata mereka tidak bersedia atau

dikeluarkan dari penelitian. 2. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy).

Subyek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus

dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan rahasia

(confidentiali

37
38

Anda mungkin juga menyukai