Anda di halaman 1dari 23

TUGAS KEPERAWATAN KOMPLEMENTER

TEKNIK PERNAFASAN BUTEYKO

UNTUK MENURUNKAN GEJALA ASMA

Disusun untuk memenuhi Tugas Matakuliah Komplementer

Dosen pengampu : Ns. Ibnu Abas, M.Kep., Sp.Kep. Kom.

DISUSUN OLEH KELOMPOK III:

1. CERIA M
2. FERI MAULANA
3. ILHAM
4. MEI PERAWATI
5. NURRODES WIDOWATI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFIYAH

TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam
menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). Brunner dan Sudarth (2002) mengatakan
bahwa asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermitten, reversibel dimana
trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. World
Health Organization (WHO) mendefinisikan asma sebagai penyakit kronis bronkial,
yaitu saluran udara yang menuju ke paru-paru (WHO, 2011). Istilah asma ini diambil
dari kata yunani yang artinya terengah-engah dan berarti serangan pendek. (Price dan
Wilson, 2006).
Penyakit asma menjadi masalah yang sangat dekat dengan masyarakat karena
jumlah populasi yang menderita asma semakin bertambah. Hal tersebut dinyatakan
dalam survey The Global Initiative for Asthma (GINA), ditemukan bahwa kasus asma
diseluruh dunia mencapai 300 juta jiwa dan diprediksi pada tahun 2025 pasien asma
bertambah menjadi 400 juta jiwa (GINA, 2005). WHO pun mendukung pernyataan
tersebut dengan hasil penelitiannya yang memperkirakan bahwa 235 juta 2 orang saat
ini menderita asma. Sebagian besar asma terkait kematian, hal ini terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah-kebawah (WHO, 2011). Di Indonesia penyakit
asma menduduki urutan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian (Depkes RI,
2009).
Hal ini sesuai dengan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. SKRT tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5
dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkhitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkhitis kronik dan emfisema sebagai penyebab
kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di
seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkhitis kronik 11/1000 dan
obstruksi paru 2/1000 (PDPI, 2006). Selain itu, penelitian yang dilakukan di 37
puskesmas di Jawa Timur terhadap 6.662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6
tahun) menunjukkan prevalensi asma sebesar 7,7% dengan rincian laki-laki 9,2% dan
perempuan 6,6% (PDPI, 2006). Asma dapat menyebabkan terganggunya pemenuhan
kebutuhan dan menurunkan produktivitas penderitanya (PDPI, 2006). Asma terbukti
menurunkan kualitas hidup penderitanya. Dalam sebuah studi ditemukan bahwa dari
3.207 kasus yang diteliti, pasien yang mengaku mengalami keterbatasan dalam
berekreasi atau olahraga sebanyak 52,7%, 44-51% mengalami batuk malam dalam
sebulan terakhir, keterbatasan dalam aktivitas fisik sebanyak 44,1%, keterbatasan
dalam aktivitas sosial sebanyak 38%, keterbatasan dalam memilih karier sebanyak
37,9%, dan keterbatasan dalam cara hidup sebanyak 37,1%. Bahkan, pasien yang
mengaku mengalami keterbatasan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga
sebanyak 32,6%, 28,3% mengaku terganggu tidurnya minimal sekali dalam
seminggu, dan 26,5% 3 orang dewasa juga absen dari pekerjaan. Selain itu, total biaya
pengobatan untuk asma sangat tinggi dengan pengeluaran terbesar untuk ruang
emergensi dan perawatan di rumah sakit (United States Environmental Protection
Agency, 2004).
Biaya pengobatan untuk asma diperkirakan mencapai 850 poundsterling tiap
tahunnya (Thomas, 2004). Pengontrolan terhadap gejala asma dapat dilakukan dengan
cara menghindari alergen pencetus asma, konsultasi asma dengan tim medis secara
teratur, hidup sehat dengan asupan nutrisi yang memadai, dan menghindari stres
(Wong, 2003). Semua penatalaksanaan ini bertujuan untuk mengurangi gejala asma
dengan meningkatkan sistem imunitas (The Asthma Foundation of Victoria, 2002).
Akhir-akhir ini, para pasien asma mulai memanfaatkan terapi komplementer
(nonfarmakologis) untuk mengendalikan asma yang dideritanya. Jumlah pasien asma
yang sudah memanfaatkan terapi komplementer ini diperkirakan cukup tinggi yaitu
sekitar 42% dari populasi pasien asma yang ada di New Zealand (McHugh et al.,
2003). Pengontrolan asma dengan terapi komplementer dapat dilakukan dengan
teknik pernapasan, teknik relaksasi, akupunktur, chiropractic, homoeopati, naturopati
dan hipnosis. Teknik-teknik seperti ini merupakan teknik yang banyak dikembangkan
oleh para ahli. Salah satu teknik yang banyak digunakan dan mulai populer adalah
teknik pernapasan. Dalam teknik ini diajarkan teknik mengatur napas bila pasien
sedang mengalami asma atau bisa juga bersifat latihan saja (The Asthma Foundation
of Victoria, 2002). Teknik ini juga bertujuan mengurangi gejala asma dan
memperbaiki kualitas hidup ( McHugh et al., 2003).
Salah satu metode yang dikembangkan untuk memperbaiki cara bernapas pada
pasien asma adalah teknik olah napas. Teknik olah napas ini dapat berupa olahraga
aerobik, senam, dan teknik pernapasan seperti Thai chi, Waitankung, Yoga, Mahatma,
Buteyko dan Pranayama (Fadhil, 2009). Olahraga pernapasan sebagai salah satu
bentuk olah napas efektif terhadap menurunkan gejala asma mingguan dan gejala
asma bulanan pada pasien asma (Mardhiah, 2008). Beberapa teknik olah napas ini
tidak hanya khusus dirancang untuk pasien asma, karena sebagian dari teknik
pernapasan ini dapat bermanfaat untuk berbagai penyakit lainnya. Namun demikian,
ada juga beberapa teknik pernapasan yang memang khusus untuk pasien asma yaitu
teknik pernapasan Buteyko dan Pranayama (Thomas, 2004; Fadhil, 2009). Menurut
Douglas Dupler (2005) teknik pernapasan Buteyko merupakan sebuah metode untuk
mengatur asma. Teknik ini didasari oleh latihan pernapasan yang bertujuan untuk
mengurangi kontriksi jalan nafas.
Buteyko merupakan sebuah terapi yang mempelajari teknik pernapasan yang
dirancang untuk memperlambat dan mengurangi masuknya udara ke paru-paru, jika
teknik ini dipraktikan sering, maka dapat mengurangi gejala dan tingkat keparahan
masalah pernapasan (Longe, 2005). Courtney dan Cohen (2008) menyatakan bahwa
teknik pernapasan Buteyko dapat memengaruhi perubahan pada gejala dispnea
didasari pada efisiensi biomekanik pernapasan. Metode pernafasan Butekyo juga
memberikan pengaruh terhadap pasien asma yang sedang mengalami terapi
kortikosteroid inhalasi yaitu mengurangi penggunaan terapi pengobatan tersebut
(Cowie, et.al. 2007) Pemberian latihan teknik pernapasan Buteyko secara teratur akan
memperbaiki buruknya sistem pernapasan pada pasien asma sehingga akan
menurunkan gejala asma (Kolb, 2009).
Prinsip latihan teknik pernapasan Buteyko ini adalah latihan teknik bernapas
dangkal (GINA, 2005) dan teknik pernapasan Buteyko ini efektif terhadap
peningkatan derajat kontrol asma (Prasetya, 2011).
B. RUMUSAN MASALAH
Teknik pernapasan Buteyko banyak dilaporkan sebagai salah satu teknik
pernapasan yang dapat mengontrol asma. Maka penulis akan membahas bagaimana
pengaruh teknik pernapasan Buteyko terhadap penurunan gejala pasien asma.
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum:
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh teknik pernapasan
Buteyko terhadap penurunan gejala asma.
2. Tujuan Khusus:
a. Mengidentifikasi gejala asma sebelum melakukan teknik pernapasan
Buteyko.
b. Mengidentifikasi gejala asma sesudah melakukan teknik pernapasan
Buteyko.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. KONSEP ASMA
A. DEFINISI ASMA
Asma adalah satu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan
bronkus yang berulang namun reversibel, dan di antara episode penyempitan bronkus
tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal. (Price dan Wilson, 2006).
Brunner dan Suddarth (2002) mendefinisikan asma adalah penyakit jalan nafas
obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronki berespons dalam secara
hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma didefinisikan juga sebaagai gangguan
inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi
kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi
jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan (PDPI, 2006).
B. JENIS – JENIS ASMA
Asma terbagi menjadi tiga jenis, yaitu alergik, idiopatik dan gabungan
(Brunner dan Suddarth, 2002). Asma alergik disebabkan oleh alergen misalnya debu,
bulu binatang, ketome, serbuk sari dan lainnya. Alergen yang umumnya
menyebabkan asma ini adalah alergen yang penyebarannya melalui udara dan alergen
yang secara musiman. Pasien asma alergik biasanya memiliki riwayat penyakit alergi
pada keluarga dan riwayat pengobatan ekzema atau rhinitis alergik. Paparan alergik
inilah yang mencetuskan terjadinya serangan asma (Brunner dan Suddarth, 2002).
Asma idiopatik atau non alergi, merupakan jenis asma yang tidak berhubungan secara
langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran
napas atas, aktivitas, emosi, dan polusi lingkungan dapat menimbulkan serangan
asma. Beberapa agen farmakologi, antagonis betaadrenergik, dan agen sulfite
(penyedap makanan) juga dapat berperan sebagai faktor pencetus. Serangan asma
idiopatik atau nonalergik dapat menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya
waktu dapat berkembang menjadi bronkhitis dan emfisema. Pada beberapa pasien,
asma jenis ini dapat berkembang menjadi asma gabungan (Brunner dan Suddarth,
2002). Asma gabungan, merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan.
Dikarakteristikan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau nonalergi
(Brunner dan Suddarth, 2002).
C. ETIOLOGI
Etiologi Pasien asma meskipun prevalensinya pada populasi Indonesia tidak
kecil yaitu 13/1000 (PDPI, 2006), namun etiologi pada asma menurut beberapa
referensi belum ditetapkan dengan pasti (Djojodibroto, 2009). Walaupun belum
ditetapkan dengan pasti, pada pasien asma terjadi fenomena hiperaktivitas bronkhus.
Bronkus pasien asma sangat peka terhadap rangsang imunologi maupun non
imunologi. Karena sifat tersebut, maka serangan asma mudah terjadi akibat berbagai
rangsang baik fisik, metabolisme, kimia, alergen, dan infeksi.
Faktor penyebab yang sering menimbulkan asma perlu diketahui dan sedapat
mungkin dihindarkan. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Alergen utama seperti debu rumah, spora jamur, dan tepung sari rerumputan
b. Iritan seperti asap, bau-bauan, dan polutan
c. Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus
d. Perubahan cuaca yang ekstrem
e. Aktivitas fisik yang berlebihan
f. Lingkungan kerja
g. Obat-obatan
h. Emosi
i. Lain-lain seperti refluks gastro esofagus (Somantri, 2007).

Jenis kelamin dan obesitas merupakan faktor resiko asma. Pada jenis kelamin, pria
merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma
pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause
perempuan lebih banyak. Sedangkan pada obesitas atau peningkatan indeks massa
tubuh (IMT) menjadi faktor resiko asma dikarenakan mediator tertentu seperti leptin
dapat memengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya
asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan pasien obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan
(Rengganis, 2008).

D. TANDA DAN GEJALA ASMA


Tanda dan Gejala Asma Gejala asma sering timbul pada waktu malam dan
pagi hari. Gejala yang di timbulkan berupa batuk-batuk pagi hari, siang, dan malam
hari, sesak napas, bunyi saat bernapas (wheezing atau “ngik..ngik..), rasa tertekan di
dada, dan gangguan tidur karena batuk atau sesak napas. Gejala ini terjadi secara
reversibel dan episodeik berulang (Yayasan Asma Indonesia, 2008; Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2006; Lewis et al, 2011). Umumnya terdapat tiga gejala asma,
yaitu batuk, dispnea dan mengi. Pada beberapa keadaan, batuk mungkin merupakan
satu-satunya gejala.
Serangan asma sering kali terjadi pada malam hari. Penyebabnya tidak
dimengerti dengan jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan variasi sirkadian, yang
memengaruhi ambang reseptor jalan napas. Serangan asma biasanya bermula
mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan
lambat, mengi, laborius. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi,
sehingga mendorong pasien asma untuk duduk tegak dan menggunakan otot-otot
aksesori pernapasan. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Batuk pada
awalnya susah dan kering tetapi segera menjadi lebih kuat. Sputum yang terdiri atas
sedikit mukus mengadung masa gelatinosa bulat, kecil yang dibatukkan dengan susah
payah. Tanda selanjutnya termasuk sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat, dan
gejala-gejala retensi karbon dioksida, termasuk berkeringat, takikardia, dan pelebaran
tekanan nadi (Brunner dan Suddarth, 2002).
E. KLASIFIKASI ASMA
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (PDPI, 2006) Durasi asma berhubungan
dengan menurunnya fungsi paru dan banyaknya gejala asma (Zeiger, dkk., 1999).
Umumnya pasien yang sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat.
Dipahami bahwa pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal
paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada pasien dalam pengobatan juga harus
mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Pada tabel berikut, menunjukan
bagaimana melakukan penilaian berat asma pada pasien yang sudah dalam
pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis
yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat. Contoh seorang pasien dalam
pengobatan asma persisten sedang dan gambaran klinis sesuai asma persisten sedang,
maka sebenarnya berat asma pasien tersebut adalah asma persisten berat. Demikian
pula dengan asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma persisten berat
dan asma intermiten. Pasien yang gambaran klinis menunjukan persisten berat maka
jenis pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat
asma, dengan kata lain pasien tersebut tetap asma persisten berat. Demikian pula
pasien dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat pengobatan sesuai
dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten (PDPI, 2006).
F. Pengobatan Asma
Pada dasarnya pengobatan asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega (PDPI, 2006).
a. Pengontrol (Controllers) Pengontrol merupakan pengobatan asma jangka panjang
untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering
disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
1) Kortikosteroid inhalasi
2) Kortikosteroid sistemik
3) Sodium kromoglikat
4) Nedokromil sodium
5) Metilsantin
6) Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
7) Agonis beta-2 kerja lama, oral
8) Leukotrien modifiers
9) Antihistamin generasi kedua (antagonis -H1) (PDPI, 2006).
b. Pelega (Reliever) Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
1) Agonis beta2 kerja singkat
2) Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
3) Antikolinergik
4) Aminofillin
5) Adrenalin (PDPI, 2006).
c. Metode alternatif pengobatan asma
Selain pemberian obat pelega dan obat pengontrol asma, beberapa cara dipakai
orang untuk mengobati asma. Cara tersebut antara lain homeopati, pengobatan
dengan herbal, ayuverdic medicine, ionizer, osteopati dan manipulasi chiropractic,
spleoterapi, buteyko, akupuntur, hypnosis dan lainlain (PDPI, 2006).
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pengukuran Fungsi Paru
Umumnya pasien asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan
mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk
menyamakan persepsi dokter dan pasien, dan parameter objektif menilai berat
asma (PDPI, 2006). Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
1) Obstruksi jalan napas
2) Reversibiliti kelainan faal paru
3) Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas

Metode penilaian faal paru yang diterima secara luas adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE) (PDPI, 2006).

1) Spirometri Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan


kapasisti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa
melalui prosedur yang terstandar. Untuk mendapatkan nilai yang akurat,
diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP ,75% atau VEP1 ,
80% nilai prediksi (PDPI, 2006).
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma: obstruksi jalan napas
diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan , atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma.
Menilai deraajat berat asma (PDPI, 2006).
2) Arus Puncak Ekspirasi (APE) Pemeriksaan arus puncak ekspirasi adalah
pengukuran jumlah udara maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa
dalam waktu tertentu yang dilakukan dengan menggunakan peak flow meter
atau spirometer. Tujuan dari pengukuran ini adalah mengukur secara objektif
arus udara pada saluran napas besar (Rasmin, dkk., 2001). Pada pemeriksaan
arus puncak ekspirasi (APE) yang diambil adalah nilai rata-rata arus puncak
ekspirasi tersebut. Yaitu suatu nilai rata-rata aliran udara yang secara
maksimum diekspiraksikan dengan paksa. Nilai tersebut dapat membantu
dalam memonitor bronkokontriksi pada asma, dengan nilai rata-rata sampai
dengan 600 L/min (Lewis, et.al., 2011).
Manfaat APE dalam diagnosis asma: Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE
≥ 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator
oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/oral, 2 minggu ).
Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit (PDPI, 2006).
b. Tes provokasi bronkhus
Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV sebesar 20% atau lebih
setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90% dari maksimum dianggap
bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 10% atau lebih (Muttaqien, 2011).
Pada pasien dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti
yang tinggi tetapi spesifitasinya rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa pasien
tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergi,
berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasi,
dan fibrosis kistik (PDPI, 2006).
c. Pemeriksaan kulit
Pemeriksaan kulit menggunakan uji Prick yaitu uji dengan memasukan alergen
melalui tusukan jarum di kulit pada sisi volar lengan bawah. Fungsinya untuk
mengetahui ada tidaknya sensitisasi terhadap alergen Rasmin, dkk., 2001) Tes
kulit positif dan teridentifikasi alergen spesifik adalah yang menyebabkan reaksi
lepuh dan hebat (Brunner dan Suddarth, 2002).
d. Pemeriksaan Laboratorium
1) Gas Darah Arteri.
Gas darah arteri menunjukkan hipoksik selama serangan akut. Awalnya
terdapat hipokapnea (Penurunan tekanan karbon dioksida dalam darah arterial)
dan respirasi alkalosis dan tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) yang
rendah. Dengan memburuknya kondisi dan pasien menjadi lebih letih, PCO2
dapat meningkat. PCO2 yang normal dapat menunjukkan gagal napas yang
mengancam. Karena PCO2 20 kali lebih dapat berdifusi dibanding dengan
oksigen, adalah sangat jarang bagi PCO2 untuk normal atau meningkat pada
individu yang bernapas dengan sangat cepat (Brunner dan Suddarth, 2002).
Gas darah arteri (GDA) menggambarkan pertukaran gas antara paruparu dan
darah. GDA pada eksaserbasi asma ringan akan menunjukan alkalosis
respiratori (Gershwin dan Albertson, 2001).
Alkalosis respiratorik adalah kondisi klinis di mana pH arterial lebih
tinggi dari 7,45 dan PaCO2 kurang dari 38 mm Hg. Alkalosis respiratorik
selalu dikarenakan oleh hiperventilasi, yang menyebabkan kelebihan “blowing
off‟ karbon dioksida dan, selanjutnya penurunan dalam kondisi asam karbonik
plasma (Brunner dan Suddarth, 2002). Sedangkan pada eksaserbasi asma berat
tampilannya akan normal atau menunjukan asidosis respiratori (Gershwin dan
Albertson, 2001). Asidosis respiratorik adalah gangguan klinis di mana pH
kurang dari 7,35 dan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) lebih
besar dari 42 mmHg. Asidosis respiratorik selalu akibat tidak adekuatnya
ekskresi karbon dioksida dengan tidak adekuatnya ventilasi, sehingga
mengakibatkan kenaikan kadar karbon dioksida plasma (Brunner dan
Suddarth, 2002). GDA yang menunjukan normal atau asidosis respiratori pada
kekambuhan yang berat merupakan tanda buruk dan membutuhkan bantuan
ventilasi, pemantauan dan terapi secara intensif (Gershwin dan Albertson,
2001).
2) Sputum
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang berat,
karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema
mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya.
Pewarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, cara tersebut kemudian
diikuti kultur dan uji resistensi terhadap antibiotik (Muttaqien, 2011).
3) Sel eosinofil Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai
1000-1500/mm3 baik asma intrinsik ataupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel
eosinofil
normal antara 100-200/mm3 . Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung
jenis sel eosinofil menunjukan pengobatan telah tepat (Muttaqien, 2011).
4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia Jumlah sel leukosit yang lebih dari
15.000/mm3 terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat
disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea (Muttaqien,
2011).
e. Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma bronkhial biasanya normal,
tetapi prosedur ini harus tetap dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti pneumothoraks,
pneumomediastinum, atelektasiss, dan lain-lain (Muttaqien, 2011).
II. KONSEP KEBUTUHAN DASAR MENURUT MASLOW DAN TEORI SELF CARE
OREM
Konsep Kebutuhan Dasar menurut Maslow dan Teori Self Care Orem Hirarki
kebutuhan dasar manusia menurut Maslow adalah sebuah teori yang dapat digunakan
perawat untuk memahami hubungan antara kebutuhan dasar manusia pada saat
memberikan perawatan. Menurut konsep ini, beberapa kebutuhan manusia tertentu lebih
besar daripada kebutuhan lainnya, oleh karena itu kebutuhan dasar harus dipenuhi
sebelum kebutuhan lainnya. Kebutuhan dasar manusia adalah hal-hal seperti oksigen,
cairan, nutrisi, temperatur, eliminasi, tempat tinggal, istirahat dan seks yang merupakan
hal penting untuk bertahan hidup dan kesehatan. Oksigen merupakan kebutuhan fisiologis
yang paling penting. Tubuh tergantung pada oksigen dari waktu ke waktu untuk bertahan
hidup. Untuk memenuhi oksigen dalam tubuh, manusia harus dapat bernapas secara
normal (Potter dan Perry,2005) Dorothea Orem (1971) mengembangkan konsep tentang
self care yang didefinisikan sebagai keperawatan yang menekankan pada kebutuhan klien
tentang perawatan diri sendiri (Potter dan Perry, 2005).
Teori self care Orem merupakan teori keperawatan yang secara umum dibentuk
berdasarkan tiga hal berikut:
a. Teori self care menggambarkan kenapa dan bagaimana seseorang merawat dirinya
sendiri (Tomey dan Alligood, 2006).
b. Teori self care menggambarkan dan menjelaskan kenapa seseorang dapat dibantu
melalui keperawatan (Tomey dan Alligood, 2006).
c. Teori self care merupakan teori sistem keperawatan yang menggambarkan dan
menjelaskan hubungan yang harus dibawa dan dipelihara untuk keperawatan yang
akan menghasilkan sesuatu (Tomey dan Alligood, 2006).
Teori self care yang dikembangkan oleh Dorothea E. Orem memiliki sebuah
teori sistem yang dinamakan sistem dukungan edukatif. Hal ini berkaitan peran
seorang perawat sebagai edukator yang bertindak mengatur pelatihan dan
pengembangan self-care klien, pada akhirnya klien dapat menyempurnakan selfcare-
nya tersebut (Tomey dan Alligood, 2006). Dari delapan self care yang dibutuhkan
oleh orang dewasa maupun anak-anak salahsatunya yaitu perawatan intake udara yang
cukup (Tomey dan Alligood, 2006). Pemenuhan kebutuhan oksigen pada manusia
sangat penting hal ini dikarenakan udara/oksigen merupakan salah satu kebutuhan
dasar manusia (Potter dan Perry, 46 2005) maka teori pemenuhan kebutuhan yang
dilakukan oleh keperawatan yang dilakukan untuk mengajarkan pasien harus
dilakukan.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN ASMA
A. PENGKAJIAN
1. BIODATA
Asma baru dapat terjadi meyerang segala usia tetapi lebih sering dijumpai pada
usia dini. Separuh kasus timbul sebelum 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya
terjadi sebelum usia 40 tahun. Predisposisi lakilaki dan perempuan diusia sebesar
2 : 1 yang kemudian sama pada usia 30 tahun.
2. Riwayat Kesehatan :
a. Keluhan utama : Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma baru
adalah dispnea (sesak napas) sampai bisa berhari-hari atau berbulan-bulan,
batuk, dan mengi (pada beberapa kasus lebih banyak paroksimal).
b. Riwayat kesehatan dahulu Terdapat data yang menyatakan adanya factor
predisposisi timbulnya penyakit ini, di antaranya adalah riwayat alergi dan
riwayat penyakit saluran nafas bagian bawah (rhinitis, urtikaria, dan eskrim).
c. Riwayat kesehatan keluarga Klien dengan asma bronkial sering kali
didapatkan adanya riwayat penyakit keturunan, tetapi pada beberapa klien
lainnyatidak ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota
keluarganya.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi :
1) Pemeriksaan dada dimulai dari torak posterior, klien pada posisi duduk.
2) Dada diobservasi dengan membandikan satu sisi dengan yang lainnya.
3) Tindakan dilakukan dari atas (apeks) sampai kebawah.
4) Ispeksi torak posterior, meliputi warna kulit dan kondisinya, skar, lesi,
massa, dan gangguan tulang belakang, sperti kifosis, skoliosis, dan
lordosis.
5) Catat jumlah,irama, kedalaman pernapasan, dan kemestrian pergerakakan
dada.
6) Observasi tipe pernapsan, seperti pernapasan hidung pernapasan
diafragma, dan penggunaan otot bantupernapasan.
7) Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I) dan fase
eksifirasi (E) Rasio pada fase ini normalnya 1 : 2. Fase ekspirasi yang
memanjang menunjukan adanya obstruksi pada jalan napas dan sering
ditemukan pada klien Chronic Airflow Limitation (CAL) / Chornic
obstructive Pulmonary Diseases (COPD)
8) Kelainan pada bentuk dada.
9) Observasi kesemetrian pergerakan dada. Gangguan pergerakan atau tidak
adekuatnya ekspansi dadamengindikasikan penyakit pada paru atau pleura.
10) Observasi trakea obnormal ruang interkostal selama inspirasi, yang dapat
mengindikasikan obstruksi jalan nafas.
b. Palpasi:
1) Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan
mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasikan keaadaan kulit, dan
mengetahui vocal/tactile premitus (vibrasi).
2) Palpasi toraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat inspeksi
seperti : mata, lesi, bengkak.
3) Vocal premitus, yaitu gerakan dinding dada yang dihasilkan ketika
berbicara
c. Perkusi Suara perkusi normal.:
1) Resonan (Sonor) : bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada jaringan paru
normal.
2) Dullness : bunyi yang pendek serta lemah, ditemukan diatas bagian
jantung, mamae, dan hati
3) Timpani : musical, bernada tinggi dihasilkan di atas perut yang berisi
udara.

Suara perkusi abnormal :

1) Hiperrsonan (hipersonor) : berngaung lebih rendah dibandingkan dengan


resonan dan timbul pada bagian paru yang berisi darah.
2) Flatness : sangat dullness. Oleh karena itu, nadanya lebih tinggi.Dapat
didengar pada perkusi daerah hati, di mana areanya seluruhnya berisi
jaringan.
d. Auskultasi :
1) Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup mendengarkan
bunyi nafas normal, bunyi nafas tambahan (abnormal), dan suara.
2) Suara nafas abnormal dihasilkan dari getaran udara ketika melalui jalan
nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih.
3) Suara nafas normal meliputi bronkial, bronkovesikular dan vesikular.
4) Suara nafas tambahan meliputi wheezing, pleural friction rub, dan
crackles.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan keletihan otot pernapasan dan
deformitas dinding dada.

C. TERAPI KOMPLEMENTER ASMA BUTEYKO


1. DEFINISI BUTEYKO
Teknik pernapasan Buteyko adalah sebuah teknik pernapasan yang dikembangkan
oleh profesor Konstantin Buteyko dari Rusia. Ia meyakini bahwa penyebab utama
penyakit asma menjadi kronis karena masalah hiperventilasi yang tersembunyi,
dengan program dasar memperlambat frekuensi pernafasan agar menjadi normal.
Program tersebut termasuk sebuah panduan untuk memperbaiki pernapasan
diafragma (dada) dan belajar bernafas melalui hidung (Lingard, 2008). Motin
mengatakan bahwa teknik pernapasan Buteyko ini dikembang sejak tahun 1940-an
sebagai strategi untuk menurunkan gejala asma dengan prinsip „breathe less‟
(bernapas lebih sedikit) (Thomas, 2004).
2. MANFAAT BUTEYKO
Teknik pernapasan ini terutama digunakan sebagai teknik alami untuk menurunkan
gejala asma dan keparahan asma. Selain itu, teknik pernapasan Buteyko digunakan
oleh para pasien asma untuk menurunkan ketergantungannya terhadap obat. Metode
ini juga bisa digunakan untuk penyakit saluran pernapasan lain termasuk empisema
dan bronkitis (Longe, 2005). McKeown (2004) menyatakan bahwa teknik pernapasan
Buteyko berguna untuk mengurangi ketergantungan pasien asma terhadap obat atau
medikasi asma. Selain itu, teknik pernapasan ini juga dapat meningkatkan fungsi
paru dalam memperoleh oksigen dan mengurangi hiperventilasi paru.
3. TEORI DASAR TEHNIK BUTEYKO
Teori Dasar Teknik Pernapasan Buteyko Metode Buteyko merupakan konsep
baru tentang manajemen asma. Konsep Buteyko memahami secara fisiologis bahwa
ketika pasien mengalami serangan asma, hal ini disebabkan oleh bronkonspasme pada
paru-paru sehingga menyebabkan berkurangnya kadar karbon dioksida (CO2 dalam
alveoli. Hal tersebut mengakibatkan terjadi peningkatan tekanan pada otot polos
dalam bronkus sehingga menimbulkan konstriksi pada bronkus dan susah bernapas.
Sehingga konsep metode Buteyko tersebut berusaha mengatasi masalah penurunan
kadar CO2 agar kembali pada kadar normal. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan
relaksasi otot polos pada dinding bronkus dengan demikian menghindari
bronkospasme dan membuka jalan napas serta mencegah terjadinya serangan asma
(Novozhilov, 2004).
Selama serangan asma, pasien asma bernapas dua kali lebih cepat
dibandingkan orang normal, yang kemudian kondisi ini dikenal dengan istilah
hiperventilasi (Rakhimov, 2011). Teori Buteyko menyatakan bahwa dasar penyebab
dari penyakit asma adalah kebiasaan bernapas secara berlebihan (overbreathing) yang
tidah disadari (VitaHealth, 2006). Teori yang mendasari Buteyko dalam
mengembangkan teknik pernapasan ini adalah: Bila pasien asma melakukan
pernapasan dalam, maka jumlah CO2 yang dikeluarkan akan semakin meningkat. Hal
ini dapat menyebabkan jumlah CO2 di paru-paru, darah dan jaringan akan berkurang
(Rakhimov, 2011). Terjadinya defesisensi CO2 disebabkan oleh cara bernapas dalam
yang dapat menyebabkan pH darah menjadi alkalis. Perubahan pH dapat
menggganggu keseimbangan protein, vitamin dan proses metabolisme. Bila pH
mencapai nilai 8, maka hal ini dapat menyebabkan gangguan metabolik yang fatal
(Rakhimov, 2011).
Terjadinya defesiensi CO2 menyebabkan spasme pada otot polos bronkus,
kejang pada otak, pembuluh darah, spastik usus, saluran empedu dan organ lainnya.
Bila pasien asma bernapas dalam, maka semakin sedikit jumlah oksigen yang
mencapai otak, jantung, ginjal dan organ lainnya yang mengakibatkan hipoksia
disertai hipertensi arteri (Rakhimov, 2011). Kekurangan CO2 dalam pada organ-organ
vital (termasuk otak) dan sel-sel saraf meningkatkan stimulasi terhadap pusat
pengendalian pernapasan di otak yang menimbulkan rangsangan untuk bernapas, dan
lebih lanjut meningkatkan pernapasan sehingga proses pernapasan lebih intensif yang
kemudian dikenal dengan hiperventilasi atau over-breathing (Rakhimov, 2011). Over-
breathing dapat menyebabkan ketidakseimbangan kadar CO2 di dalam tubuh
(terutama paru-paru dan sirkulasi) sehingga hal ini akan mengubah kadar O2 darah
dan menurunkan jumlah O2 seluler. Keseimbangan asam-basa tubuh juga dipengaruhi
oleh pola napas dan konsentrasi O2 dan CO2. Pada waktu serangan, over-breathing
dapat menyebabkan stres pada tubuh (Rakhimov, 2011). Jika terjadi defisiensi CO2
pada udara di alveoli jalan satu-satunya untuk mencegah terjadinya tekanan yang
berlebihan pada otot polos tersebut yaitu dengan pengobatan. Bagaimanapun menurut
pemahaman matode Buteyko, obat tersebut hanya menangani gejala saja, sehingga
jika pengobatan dihentikan maka akan muncul kembali. Konsep metode Buteyko
inilah yang mengatasi secara alami terhadap defisiensi kadar CO2 dalam alveoli
(Novozhilov, 2004).

D. TUJUAN METODE BUTEYKO


Tujuan Pada metode teknik pernapasan Buteyko, ada beberapa hal yang menjadi
tujuan dari teknik tersebut yaitu:
1) Memperbaiki pola pernapasan, sehingga mempertahankan keseimbangan kadar
CO2 dan oksigenasi seluler (Longe, 2005).
2) Berusaha menghilangkan kebiasaan buruk bernapas yang berlebihan untuk
menggantikannya dengan kebiasaan yang baru melalui pola napas yang lambat
dan dangkal, yang disebut “reduced breathing” (Longe, 2005).
3) Faktor alergen yang terhirup menjadi berkurang, serta keringnya dan iritasi pada
saluran napas pun berkurang (Longe, 2005).
4) Produksi mukus dan histamin menurun, infalamasi pun menurun serta pernapasan
menjadi lebih mudah (Longe, 2005).
E. CARA MELAKUKAN TEHNIK PERNAFASAN BUTEYKO
Cara Melakukan Teknik Pernapasan Buteyko Teknik pernapasan Buteyko dilakukan
secara terus menerus selama 2 minggu, dilakukan tiga kali sehari. Idealnya, teknik
pernapasan Buteyko ini dilakukan sebelum sarapan, sebelum makan siang/malam dan
sebelum tidur (Brindley, 2010). Sebelum melakukan teknik pernapasan Buteyko, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan antaralain;
1) Pemilihan tempat yang benar, karena latihan Buteyko memerlukan konsentrasi
yang baik, dimana ideal tempatnya harus tenang, tidak ada gangguan seperti
televisi, musik, suara telepon atau lainnya;
2) Dilakukan secara rutin;
3) menentukan tujuan yang ingin dicapai (Brindley, 2010). Teknik pernapasan
Buteyko yang dilakukan selama 2 minggu ini, memiliki setting latihan yang
berbeda pada tiap minggunya (Brindley, 2010).

Tehnik buteyko :

1) Nose Clearing Exercise Latihan ini dilakukan sebelum memulai teknik


pernapasan Buteyko dan melakukan pernapasan hanya melalui hidung. Langkah
latihan ini adalah sebagai berikut: Nodding- 10 kali
a. Anggukan kepala ke depan dan ke belakang secara perlahan. Hitung secara
perlahan sampai tiga ketika kepala ke belakang dan ke depan.
b. Hal ini dilakukan bersamaan dengan pernapasan. Yaitu ambil napas ketika
kepala ke belakang dan keluarkan napas ketika kepala ke depan.

Tipping-6 kali

a. Ambil napas dan keluarkan napas secara perlahan kemudian tahan hidung.
b. Rebahkan kepala ke belakang tiga sampai enam kali ketika menahan napas.
Waktunya lebih cepat dari sebelumnya.
c. Lepaskan tangan dari hidung dan ambil napas secara perlahan.

Jaga mulut tetap tertutup Hold and Blow-6 kali

a. Ambil napas dan keluarkan napas secara normal dan lembut kemudian tahan
hidung.
b. Tingkatkan tekanan pada belakang hidung dan coba tiup secara lembut.
Jangan sampai pipi tergelembung tetapi hanya sampai telinga merasa ada
letupan.
c. Jaga tekanan tersebut dan hitung sampai lima kemudian ambil napas melalui
hidung. Jaga mulut tetap tertutup.
2) Relaxed Breathing
a. Duduk secara nyaman dengan punggung lurus, kaki tidak menyilang serta
lutut-bahu direnggangkan. Pandangan agak ke atas atau tutup mata.
b. Letakkan tangan pada bagian atas dan bawah dada serta tenangkan diri dengan
cara bernapas dengan tenang dan perlahan melalui hidung.
c. Lalu, fokus pada area dimana merasakan gerakan napas. Konsentrasi pada
bagian sekitar bawah dada. Coba lepaskan pada area ini sebanyak mungkin
dan kurangi gerakan pada tangan bagian atas.
d. Setelah beberapa menit biarkan tangan istirahat di pangkuan. Sekarang,
relaksasikan serta istirahatkan otot-otot seperti pada muka, dagu, leher dan
pundak, bagian perut bawah, paha dan kaki. Pada saat ini mungkin dirasakan
sedikit kekurangan udara. Hal ini menunjukkan latihan berjalan dengan baik.
e. Lanjutkan dengan perlahan teknik ini sekitar tiga menit kemudian kembali
bernapas normal. Jaga pernapasan melalui hidung dan sesekali perhatikan
pernapasan.
3) Control pause Control pause memiliki dua fungsi, pertama adalah sebagai
pengukur peningkatan latihan dan kedua sebagai cara cepat untuk memproduksi
rasa kebutuhan udara derajat ringan ketika memulai siklus latihan Buteyko.
Langkah control pause adalah sebagai berikut:
a. Ambil napas secara normal dan keluarkan melalui hidung. Pegang/tahan
hidung secara lembut dan mulai hitung menggunakan stopwatch.
b. Tahan napas sampai merasa tahap awal mulai kekurangan udara.
c. Pada poin ini bebaskan hidung, ambil napas dengan lembut melalui hidung
dan hentikan stopwatch.
4) Extended pause
a. Ambil napas secara normal, keluarkan dan pegang hidung
b. Tahan napas di tambah 5-10 detik melampaui control pause sambil
menggunakan teknik distraksi seperti pindah dari kursi atau berjalan.
c. Lepaskan hidung, pastikan bernapas melalui hidung senyaman mungkin.
d. Segera mulai dengan reduced breathing dan relaksasi sampai merasakan
membutuhkan udara.
5) Reduced breathing Latihan reduced breathing memerlukan agak sedikit udara
sementara itu tetap jaga tubuh agar relaksasi khususnya otot-otot pernapasan.
a. pastikan duduk secara nyaman dan bernapas melalui hidung.
b. Mulai dengan control pause dan beralih ke dalam reduced breathing
c. perhatikan jeda alami yang dirasakan antara bernapas dan istirahat yaitu tidak
bernapas untuk satu detik diantara pernapasan. Relaksasi sampai merasakan
sedikit kekurangan udara. Fokuskan pada otot-otot sekitar dada bagian bawah
dan perut.
d. Perhatikan ukuran dan kecepatan pernapasan. Letakkan jari tepat dibawah
hidung dan akan ditemukan perlambatan aliran udara yang masuk dan keluar
dari lubang hidung. Biarkan sampai merasakan kebutuhan udara tetapi jangan
sampai berlebihan. Kadang-kadang gerakan menggeliat dan perenggangan
otot-otot dapat membantu membebaskan beberapa ketegangan otot yang
muncul sebagai hasil dari kurangnya udara.
e. Jaga terus pola reduced breathing dan kembali bernapas normal tanpa
melakukan sedikitpun pernapasan dalam (Buteyko reathing Association, 2010)

DAFTAR PUSTAKA
Bartley, Jim. Physiology, Pseudoscience, and Buteyko.
http://www.nzma.org.nz/journal/117-1201/1062 diakses pada tanggal 12 November
2012. 2004. Bass, P. What Is Asthma? Definition, Statistics, Types & Causes of
Asthma.
http://asthma.about.com/od/asthmabasics/a/Asthma_whatis.htm diakses pada tanggal
20 Nopember 2012 About.com: The New York Times Company. 2010. Behman,
Kliegman dan Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol 1. E/15. Jakarta: EGC. 2000.
Brunner dan Suddarth. Buku Ajar Medikal-Bedah Vol.1 Ed.8. Jakarta: EGC. 2002.
Burgess, John., et. all. Systematic Review of the Effectiveness of Breathing
Retraining in Astha Management.
http://erairways.org/ERAirways/Asthma_COPD_files. diakses pada tanggal 22 Maret
2012. 2011.
Burhan E, Yunus F. Perubahan Faal Paru pada Orang Tua. J. Respir Indonesia. 2001.
Brindley, JL. Buteyko Practice Diary and Quick Reference Guide.
http://www.buteykobreathing.org diakses pada tanggal 23 April 2012. 2010.
Courtney, Rosalba dan Marc Cohen. Investigating the Claims of Konstantin Buteyko,
M.D., Ph.D.: The Relationship of Breath Holding Time to End Tidal CO2 and Other
Proposed Measuresof Dysfunctional Breathing.
http://www.liebertonline.com/doi/abs/10.1089/acm.2007.7204, diakses pada tanggal
02 November 2011. 2008. Cowie, Robert L., et.al. A Randomised Controlled Trial Of
The Buteyko Technique As An Adjunct To Conventional Management Of Asthma.
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0954611107005112, diakses pada
tanggal 02 November 2011. 2008. Depkes RI. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma,
http://www.depkes.go.id, diakses pada tanggal 01 November 2011. 2009.
Djojodibroto, Darmanto. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC. 2009.

Anda mungkin juga menyukai