1. CERIA M
2. FERI MAULANA
3. ILHAM
4. MEI PERAWATI
5. NURRODES WIDOWATI
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam
menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). Brunner dan Sudarth (2002) mengatakan
bahwa asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermitten, reversibel dimana
trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. World
Health Organization (WHO) mendefinisikan asma sebagai penyakit kronis bronkial,
yaitu saluran udara yang menuju ke paru-paru (WHO, 2011). Istilah asma ini diambil
dari kata yunani yang artinya terengah-engah dan berarti serangan pendek. (Price dan
Wilson, 2006).
Penyakit asma menjadi masalah yang sangat dekat dengan masyarakat karena
jumlah populasi yang menderita asma semakin bertambah. Hal tersebut dinyatakan
dalam survey The Global Initiative for Asthma (GINA), ditemukan bahwa kasus asma
diseluruh dunia mencapai 300 juta jiwa dan diprediksi pada tahun 2025 pasien asma
bertambah menjadi 400 juta jiwa (GINA, 2005). WHO pun mendukung pernyataan
tersebut dengan hasil penelitiannya yang memperkirakan bahwa 235 juta 2 orang saat
ini menderita asma. Sebagian besar asma terkait kematian, hal ini terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah-kebawah (WHO, 2011). Di Indonesia penyakit
asma menduduki urutan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian (Depkes RI,
2009).
Hal ini sesuai dengan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. SKRT tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5
dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkhitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkhitis kronik dan emfisema sebagai penyebab
kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di
seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkhitis kronik 11/1000 dan
obstruksi paru 2/1000 (PDPI, 2006). Selain itu, penelitian yang dilakukan di 37
puskesmas di Jawa Timur terhadap 6.662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6
tahun) menunjukkan prevalensi asma sebesar 7,7% dengan rincian laki-laki 9,2% dan
perempuan 6,6% (PDPI, 2006). Asma dapat menyebabkan terganggunya pemenuhan
kebutuhan dan menurunkan produktivitas penderitanya (PDPI, 2006). Asma terbukti
menurunkan kualitas hidup penderitanya. Dalam sebuah studi ditemukan bahwa dari
3.207 kasus yang diteliti, pasien yang mengaku mengalami keterbatasan dalam
berekreasi atau olahraga sebanyak 52,7%, 44-51% mengalami batuk malam dalam
sebulan terakhir, keterbatasan dalam aktivitas fisik sebanyak 44,1%, keterbatasan
dalam aktivitas sosial sebanyak 38%, keterbatasan dalam memilih karier sebanyak
37,9%, dan keterbatasan dalam cara hidup sebanyak 37,1%. Bahkan, pasien yang
mengaku mengalami keterbatasan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga
sebanyak 32,6%, 28,3% mengaku terganggu tidurnya minimal sekali dalam
seminggu, dan 26,5% 3 orang dewasa juga absen dari pekerjaan. Selain itu, total biaya
pengobatan untuk asma sangat tinggi dengan pengeluaran terbesar untuk ruang
emergensi dan perawatan di rumah sakit (United States Environmental Protection
Agency, 2004).
Biaya pengobatan untuk asma diperkirakan mencapai 850 poundsterling tiap
tahunnya (Thomas, 2004). Pengontrolan terhadap gejala asma dapat dilakukan dengan
cara menghindari alergen pencetus asma, konsultasi asma dengan tim medis secara
teratur, hidup sehat dengan asupan nutrisi yang memadai, dan menghindari stres
(Wong, 2003). Semua penatalaksanaan ini bertujuan untuk mengurangi gejala asma
dengan meningkatkan sistem imunitas (The Asthma Foundation of Victoria, 2002).
Akhir-akhir ini, para pasien asma mulai memanfaatkan terapi komplementer
(nonfarmakologis) untuk mengendalikan asma yang dideritanya. Jumlah pasien asma
yang sudah memanfaatkan terapi komplementer ini diperkirakan cukup tinggi yaitu
sekitar 42% dari populasi pasien asma yang ada di New Zealand (McHugh et al.,
2003). Pengontrolan asma dengan terapi komplementer dapat dilakukan dengan
teknik pernapasan, teknik relaksasi, akupunktur, chiropractic, homoeopati, naturopati
dan hipnosis. Teknik-teknik seperti ini merupakan teknik yang banyak dikembangkan
oleh para ahli. Salah satu teknik yang banyak digunakan dan mulai populer adalah
teknik pernapasan. Dalam teknik ini diajarkan teknik mengatur napas bila pasien
sedang mengalami asma atau bisa juga bersifat latihan saja (The Asthma Foundation
of Victoria, 2002). Teknik ini juga bertujuan mengurangi gejala asma dan
memperbaiki kualitas hidup ( McHugh et al., 2003).
Salah satu metode yang dikembangkan untuk memperbaiki cara bernapas pada
pasien asma adalah teknik olah napas. Teknik olah napas ini dapat berupa olahraga
aerobik, senam, dan teknik pernapasan seperti Thai chi, Waitankung, Yoga, Mahatma,
Buteyko dan Pranayama (Fadhil, 2009). Olahraga pernapasan sebagai salah satu
bentuk olah napas efektif terhadap menurunkan gejala asma mingguan dan gejala
asma bulanan pada pasien asma (Mardhiah, 2008). Beberapa teknik olah napas ini
tidak hanya khusus dirancang untuk pasien asma, karena sebagian dari teknik
pernapasan ini dapat bermanfaat untuk berbagai penyakit lainnya. Namun demikian,
ada juga beberapa teknik pernapasan yang memang khusus untuk pasien asma yaitu
teknik pernapasan Buteyko dan Pranayama (Thomas, 2004; Fadhil, 2009). Menurut
Douglas Dupler (2005) teknik pernapasan Buteyko merupakan sebuah metode untuk
mengatur asma. Teknik ini didasari oleh latihan pernapasan yang bertujuan untuk
mengurangi kontriksi jalan nafas.
Buteyko merupakan sebuah terapi yang mempelajari teknik pernapasan yang
dirancang untuk memperlambat dan mengurangi masuknya udara ke paru-paru, jika
teknik ini dipraktikan sering, maka dapat mengurangi gejala dan tingkat keparahan
masalah pernapasan (Longe, 2005). Courtney dan Cohen (2008) menyatakan bahwa
teknik pernapasan Buteyko dapat memengaruhi perubahan pada gejala dispnea
didasari pada efisiensi biomekanik pernapasan. Metode pernafasan Butekyo juga
memberikan pengaruh terhadap pasien asma yang sedang mengalami terapi
kortikosteroid inhalasi yaitu mengurangi penggunaan terapi pengobatan tersebut
(Cowie, et.al. 2007) Pemberian latihan teknik pernapasan Buteyko secara teratur akan
memperbaiki buruknya sistem pernapasan pada pasien asma sehingga akan
menurunkan gejala asma (Kolb, 2009).
Prinsip latihan teknik pernapasan Buteyko ini adalah latihan teknik bernapas
dangkal (GINA, 2005) dan teknik pernapasan Buteyko ini efektif terhadap
peningkatan derajat kontrol asma (Prasetya, 2011).
B. RUMUSAN MASALAH
Teknik pernapasan Buteyko banyak dilaporkan sebagai salah satu teknik
pernapasan yang dapat mengontrol asma. Maka penulis akan membahas bagaimana
pengaruh teknik pernapasan Buteyko terhadap penurunan gejala pasien asma.
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum:
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh teknik pernapasan
Buteyko terhadap penurunan gejala asma.
2. Tujuan Khusus:
a. Mengidentifikasi gejala asma sebelum melakukan teknik pernapasan
Buteyko.
b. Mengidentifikasi gejala asma sesudah melakukan teknik pernapasan
Buteyko.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. KONSEP ASMA
A. DEFINISI ASMA
Asma adalah satu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan
bronkus yang berulang namun reversibel, dan di antara episode penyempitan bronkus
tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal. (Price dan Wilson, 2006).
Brunner dan Suddarth (2002) mendefinisikan asma adalah penyakit jalan nafas
obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronki berespons dalam secara
hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma didefinisikan juga sebaagai gangguan
inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi
kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi
jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan (PDPI, 2006).
B. JENIS – JENIS ASMA
Asma terbagi menjadi tiga jenis, yaitu alergik, idiopatik dan gabungan
(Brunner dan Suddarth, 2002). Asma alergik disebabkan oleh alergen misalnya debu,
bulu binatang, ketome, serbuk sari dan lainnya. Alergen yang umumnya
menyebabkan asma ini adalah alergen yang penyebarannya melalui udara dan alergen
yang secara musiman. Pasien asma alergik biasanya memiliki riwayat penyakit alergi
pada keluarga dan riwayat pengobatan ekzema atau rhinitis alergik. Paparan alergik
inilah yang mencetuskan terjadinya serangan asma (Brunner dan Suddarth, 2002).
Asma idiopatik atau non alergi, merupakan jenis asma yang tidak berhubungan secara
langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran
napas atas, aktivitas, emosi, dan polusi lingkungan dapat menimbulkan serangan
asma. Beberapa agen farmakologi, antagonis betaadrenergik, dan agen sulfite
(penyedap makanan) juga dapat berperan sebagai faktor pencetus. Serangan asma
idiopatik atau nonalergik dapat menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya
waktu dapat berkembang menjadi bronkhitis dan emfisema. Pada beberapa pasien,
asma jenis ini dapat berkembang menjadi asma gabungan (Brunner dan Suddarth,
2002). Asma gabungan, merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan.
Dikarakteristikan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau nonalergi
(Brunner dan Suddarth, 2002).
C. ETIOLOGI
Etiologi Pasien asma meskipun prevalensinya pada populasi Indonesia tidak
kecil yaitu 13/1000 (PDPI, 2006), namun etiologi pada asma menurut beberapa
referensi belum ditetapkan dengan pasti (Djojodibroto, 2009). Walaupun belum
ditetapkan dengan pasti, pada pasien asma terjadi fenomena hiperaktivitas bronkhus.
Bronkus pasien asma sangat peka terhadap rangsang imunologi maupun non
imunologi. Karena sifat tersebut, maka serangan asma mudah terjadi akibat berbagai
rangsang baik fisik, metabolisme, kimia, alergen, dan infeksi.
Faktor penyebab yang sering menimbulkan asma perlu diketahui dan sedapat
mungkin dihindarkan. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Alergen utama seperti debu rumah, spora jamur, dan tepung sari rerumputan
b. Iritan seperti asap, bau-bauan, dan polutan
c. Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus
d. Perubahan cuaca yang ekstrem
e. Aktivitas fisik yang berlebihan
f. Lingkungan kerja
g. Obat-obatan
h. Emosi
i. Lain-lain seperti refluks gastro esofagus (Somantri, 2007).
Jenis kelamin dan obesitas merupakan faktor resiko asma. Pada jenis kelamin, pria
merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma
pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause
perempuan lebih banyak. Sedangkan pada obesitas atau peningkatan indeks massa
tubuh (IMT) menjadi faktor resiko asma dikarenakan mediator tertentu seperti leptin
dapat memengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya
asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan pasien obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan
(Rengganis, 2008).
Metode penilaian faal paru yang diterima secara luas adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE) (PDPI, 2006).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan keletihan otot pernapasan dan
deformitas dinding dada.
Tehnik buteyko :
Tipping-6 kali
a. Ambil napas dan keluarkan napas secara perlahan kemudian tahan hidung.
b. Rebahkan kepala ke belakang tiga sampai enam kali ketika menahan napas.
Waktunya lebih cepat dari sebelumnya.
c. Lepaskan tangan dari hidung dan ambil napas secara perlahan.
a. Ambil napas dan keluarkan napas secara normal dan lembut kemudian tahan
hidung.
b. Tingkatkan tekanan pada belakang hidung dan coba tiup secara lembut.
Jangan sampai pipi tergelembung tetapi hanya sampai telinga merasa ada
letupan.
c. Jaga tekanan tersebut dan hitung sampai lima kemudian ambil napas melalui
hidung. Jaga mulut tetap tertutup.
2) Relaxed Breathing
a. Duduk secara nyaman dengan punggung lurus, kaki tidak menyilang serta
lutut-bahu direnggangkan. Pandangan agak ke atas atau tutup mata.
b. Letakkan tangan pada bagian atas dan bawah dada serta tenangkan diri dengan
cara bernapas dengan tenang dan perlahan melalui hidung.
c. Lalu, fokus pada area dimana merasakan gerakan napas. Konsentrasi pada
bagian sekitar bawah dada. Coba lepaskan pada area ini sebanyak mungkin
dan kurangi gerakan pada tangan bagian atas.
d. Setelah beberapa menit biarkan tangan istirahat di pangkuan. Sekarang,
relaksasikan serta istirahatkan otot-otot seperti pada muka, dagu, leher dan
pundak, bagian perut bawah, paha dan kaki. Pada saat ini mungkin dirasakan
sedikit kekurangan udara. Hal ini menunjukkan latihan berjalan dengan baik.
e. Lanjutkan dengan perlahan teknik ini sekitar tiga menit kemudian kembali
bernapas normal. Jaga pernapasan melalui hidung dan sesekali perhatikan
pernapasan.
3) Control pause Control pause memiliki dua fungsi, pertama adalah sebagai
pengukur peningkatan latihan dan kedua sebagai cara cepat untuk memproduksi
rasa kebutuhan udara derajat ringan ketika memulai siklus latihan Buteyko.
Langkah control pause adalah sebagai berikut:
a. Ambil napas secara normal dan keluarkan melalui hidung. Pegang/tahan
hidung secara lembut dan mulai hitung menggunakan stopwatch.
b. Tahan napas sampai merasa tahap awal mulai kekurangan udara.
c. Pada poin ini bebaskan hidung, ambil napas dengan lembut melalui hidung
dan hentikan stopwatch.
4) Extended pause
a. Ambil napas secara normal, keluarkan dan pegang hidung
b. Tahan napas di tambah 5-10 detik melampaui control pause sambil
menggunakan teknik distraksi seperti pindah dari kursi atau berjalan.
c. Lepaskan hidung, pastikan bernapas melalui hidung senyaman mungkin.
d. Segera mulai dengan reduced breathing dan relaksasi sampai merasakan
membutuhkan udara.
5) Reduced breathing Latihan reduced breathing memerlukan agak sedikit udara
sementara itu tetap jaga tubuh agar relaksasi khususnya otot-otot pernapasan.
a. pastikan duduk secara nyaman dan bernapas melalui hidung.
b. Mulai dengan control pause dan beralih ke dalam reduced breathing
c. perhatikan jeda alami yang dirasakan antara bernapas dan istirahat yaitu tidak
bernapas untuk satu detik diantara pernapasan. Relaksasi sampai merasakan
sedikit kekurangan udara. Fokuskan pada otot-otot sekitar dada bagian bawah
dan perut.
d. Perhatikan ukuran dan kecepatan pernapasan. Letakkan jari tepat dibawah
hidung dan akan ditemukan perlambatan aliran udara yang masuk dan keluar
dari lubang hidung. Biarkan sampai merasakan kebutuhan udara tetapi jangan
sampai berlebihan. Kadang-kadang gerakan menggeliat dan perenggangan
otot-otot dapat membantu membebaskan beberapa ketegangan otot yang
muncul sebagai hasil dari kurangnya udara.
e. Jaga terus pola reduced breathing dan kembali bernapas normal tanpa
melakukan sedikitpun pernapasan dalam (Buteyko reathing Association, 2010)
DAFTAR PUSTAKA
Bartley, Jim. Physiology, Pseudoscience, and Buteyko.
http://www.nzma.org.nz/journal/117-1201/1062 diakses pada tanggal 12 November
2012. 2004. Bass, P. What Is Asthma? Definition, Statistics, Types & Causes of
Asthma.
http://asthma.about.com/od/asthmabasics/a/Asthma_whatis.htm diakses pada tanggal
20 Nopember 2012 About.com: The New York Times Company. 2010. Behman,
Kliegman dan Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol 1. E/15. Jakarta: EGC. 2000.
Brunner dan Suddarth. Buku Ajar Medikal-Bedah Vol.1 Ed.8. Jakarta: EGC. 2002.
Burgess, John., et. all. Systematic Review of the Effectiveness of Breathing
Retraining in Astha Management.
http://erairways.org/ERAirways/Asthma_COPD_files. diakses pada tanggal 22 Maret
2012. 2011.
Burhan E, Yunus F. Perubahan Faal Paru pada Orang Tua. J. Respir Indonesia. 2001.
Brindley, JL. Buteyko Practice Diary and Quick Reference Guide.
http://www.buteykobreathing.org diakses pada tanggal 23 April 2012. 2010.
Courtney, Rosalba dan Marc Cohen. Investigating the Claims of Konstantin Buteyko,
M.D., Ph.D.: The Relationship of Breath Holding Time to End Tidal CO2 and Other
Proposed Measuresof Dysfunctional Breathing.
http://www.liebertonline.com/doi/abs/10.1089/acm.2007.7204, diakses pada tanggal
02 November 2011. 2008. Cowie, Robert L., et.al. A Randomised Controlled Trial Of
The Buteyko Technique As An Adjunct To Conventional Management Of Asthma.
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0954611107005112, diakses pada
tanggal 02 November 2011. 2008. Depkes RI. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma,
http://www.depkes.go.id, diakses pada tanggal 01 November 2011. 2009.
Djojodibroto, Darmanto. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC. 2009.