Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Menurut The American Thoraric Society, (1962) Asma adalah suatu

penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkhus terhadap

berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas

yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai

hasil pengobatan (Muttaqin, 2008). Jalan napas memiliki otot polos hipertrofi

yang berkontraksi selama serangan, menyebabkan bronkokonsrtiksi. Di

samping itu, terdapat hipertrofi kelenjar mukosa, edema dinding bronkial, dan

infiltrasi ekstensif oleh eosinofil dan limfosit. Mukus bertambah jumlahnya

dan abnormal menjadi kental, kenyal, dan bergerak lambat. Pada kasus yang

berat, banyak jalan napas yang tersumbat oleh sumbatan mukus, mungkin

sebagian dibatukan dalam sputum. Sputum tersebut khasnya sedikit dan putih

(West, 2010).

WHO memperkirakan bahwa 235 juta orang saat ini menderita asma.

(WHO, 2012). Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya

melakukan penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan

menggunakan kuesioner modifikasi ATS. Seluruhnya 6662 responden usia

13-70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalens asma sebesar 7,7%,

dengan rincian laki-kali 9,2% dan perempuan 6,6%. Di Bandung, studi pada

381 mahasiswa kedokteran, Soemantri dan Dahlan (1989) mendapatkan

prevalens asma 6,6%. Sedangkan Datau dkk. melakukan penelitian pada 153

mahasiswa di Manado dan mendapatkan prevalens asma sebesar 6.5% (Jurnal


2

Respirologi Indonesia, 2011). Untuk wilayah kabupaten Nganjuk sendiri

tahun 2009 terjadi sebanyak 169 kasus, tahun 2010 terjadi 213 kasus, tahun

2011 terjadi 199 kasus, dan 2012 terjadi 59 kasus (RSUD Nganjuk, 2013).

Dan di Ruang Puspa Indah RSUD Nganjuk selama tiga bulan terakhir pada

bulan April terjadi 6 kasus, Mei terjadi 7 kasus, Juni terjadi 0 kasus (Ruang

Puspa Indah RSUD Nganjuk, 2013)

Antibodi yang dihasilkan (IgE) menyerang sel-sel mast dalam paru.

Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan

antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator)

seperti histamin, bradikinin, dan prostatglandin serta anafilaksis dari substansi

yang bereaksi lambat. Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru

mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan

bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mukus

yang sangat banyak (Smeltzer dan Bare, 2002). Mukosa dan dinding

bronkhus pada klien dengan asma akan terjadi edema. Terjadinya infiltrasi

pada sel radang terutama eosinofil dan terlepasnya sel silia menyebabkan

adanya getaran silia dan mukus di atasnya. Hal ini membuat salah satu daya

pertahanan saluran pernapasan menjadi tidak berfungsi lagi. Pada klien

dengan asma bronkhial juga ditemukan adanya penyumbatan saluran

pernapasan oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus (Muttaqin,

2008)
3

1.2 Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mampu memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan asma

bronkhial di Puskesmas Lubuk Jambi .

2. Tujuan Khusus

a. Mampu melakukan pengkajian pada pada pasien dengan asma

bronkhial di Puskesmas Lubuk Jambi.

b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pada pasien dengan

asma bronkhial di Puskesmas Lubuk Jambi.

c. Mampu menyusun rencana keperawatan pada pada pasien dengan

asma bronkhial di Puskesmas Lubuk Jambi.

d. Mampu melakukan tindakan keperawatan pada pada pasien dengan

asma bronkhial di Puskesmas Lubuk Jambi.

e. Mampu melaksanakan evaluasi tindakan keperawatan pada pada

pasien dengan asma bronkhial di Puskesmas Lubuk Jambi.


4

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Dasar Penyakit

1. Pengertian Asma

 Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran

napas yang mengalami radang kronik bersifat hiperresponsif

sehingga apabila terangsang oleh factor risiko tertentu, jalan napas

menjadi tersumbat dan aliran udara terhambat karena konstriksi

bronkus, sumbatan mukus, dan meningkatnya proses radang

(Almazini, 2012)

 Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami

penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu,

yang menyebabkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara.

Asma dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul disegala usia,

tetapi umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di

bawah 5 tahun dan orang dewasa pada usia sekitar 30 tahunan

(Saheb, 2011)

 Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang

melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik

menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas yang

menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,

dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan atau dini hari.

Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang


5

luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa

pengobatan (Boushey, 2005; Bousquet, 2008)

2. Klasifikasi

1) Berdasarkan kegawatan asma, maka asma dapat dibagi menjadi :

a. Asma bronkhiale

Asthma Bronkiale merupakan suatu penyakit yang ditandai

dengan adanya respon yang berlebihan dari trakea dan bronkus

terhadap bebagai macam rangsangan, yang mengakibatkan

penyempitan saluran nafas yang tersebar luas diseluruh paru dan

derajatnya dapat berubah secara sepontan atau setelah mendapat

pengobatan

b. Status asmatikus

Yakni suatu asma yang refraktor terhadap obat-obatan yang

konvensional (Smeltzer, 2001). status asmatikus merupakan

keadaan emergensi dan tidak langsung memberikan respon

terhadap dosis umum bronkodilator (Depkes RI, 2007).

Status Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa

pernapasan wheezing, ronchi ketika bernapas (adanya suara

bising ketika bernapas), kemudian bisa berlanjut menjadi

pernapasan labored (perpanjangan ekshalasi), pembesaran vena

leher, hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea

dan kemudian berakhir dengan tachypnea. Namun makin

besarnya obstruksi di bronkus maka suara wheezing dapat


6

hilang dan biasanya menjadi pertanda bahaya gagal pernapasan

(Brunner & Suddarth, 2001).

c. Asthmatic Emergency

Yakni asma yang dapat menyebabkan kematian

2) Klasifikasi asma yaitu (Hartantyo, 1997, cit Purnomo 2008)

a. Asma ekstrinsik

Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang

disebabkan karena reaksi alergi penderita terhadap allergen dan

tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap orang yang sehat.

b. Asma intrinsik

Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap

pemicu yang berasal dari allergen. Asma ini disebabkan oleh

stres, infeksi dan kodisi lingkungan yang buruk seperti

klembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang

berlebihan.

3. Etiologi

Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui.

Suatu hal yang yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena

hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap

rangsangan imunologi maupun non imunologi.


7

1) Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan

Asma adalah: (Smeltzer & Bare, 2002).

a. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh

alergen atau alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk,

bulu-bulu binatang.

b. Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan

alergen, seperti common cold, infeksi traktus respiratorius,

latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat mencetuskan

serangan.

c. Asma gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai

karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik     

2) Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang

menjadi pencetus asma :

a. Pemicu Asma (Trigger) 

Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya

saluran pernapasan (bronkokonstriksi). Pemicu tidak

menyebabkan peradangan. Trigger dianggap menyebabkan

gangguan pernapasan akut, yang belum berarti asma, tetapi bisa

menjurus menjadi asma jenis intrinsik.

Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh

pemicu cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu

pendek dan relatif mudah diatasi dalam waktu singkat. Namun,

saluran pernapasan akan bereaksi lebih cepat terhadap pemicu,


8

apabila sudah ada, atau sudah terjadi peradangan. Umumnya

pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi adalah perubahan

cuaca, suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran

pernapasan, gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.

b. Penyebab Asma (Inducer)

Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan

sekaligus hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari

saluran pernapasan. Inducer dianggap sebagai penyebab asma

yang sesungguhnya atau asma jenis ekstrinsik. Penyebab asma

dapat menimbulkan gejala-gejala yang umumnya berlangsung

lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab

asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan

(alergen yang masuk  ke tubuh melalui mulut), inhalan (alergen

yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut), dan

alergen yang didapat melalui kontak dengan kulit ( VitaHealth,

2006).

4. Patofisologi

Tiga unsur yang ikut serta pada obstruksi jalan udara penderita

asma adalah spasme otot polos, edema dan inflamasi membran mukosa

jalan udara, dan eksudasi mucus intraliminal, sel-sel radang dan debris

selular. Obstruksi menyebabkan pertambahan resistensi jalan udara yang

merendahkan volume ekspresi paksa dan kecepatan aliran, penutupan

prematur jalan udara, hiperinflasi paru, bertambahnya kerja pernafasan,

perubahan sifat elastik dan frekuensi pernafasan. Walaupun jalan udara


9

bersifat difus, obstruksi menyebabkan perbedaaan satu bagian dengan

bagian lain, ini berakibat perfusi bagian paru tidak cukup mendapat

ventilasi dan menyebabkan kelainan gas-gas darah terutama penurunan

pCO2  akibat hiperventilasi.

Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan

alergen menyebabkan degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut,

histamin dilepaskan. Histamin menyebabkan konstriksi otot polos

bronkiolus. Apabila respon histamin berlebihan, maka dapat timbul

spasme asmatik. Karena histamin juga merangsang pembentukan mukkus

dan meningkatkan permiabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti

dan pembengkakan ruang iterstisium paru.

Individu yang mengalami asma mungkin memiliki respon IgE yang

sensitif berlebihan terhadap sesuatu alergen atau sel-sel mast-nya terlalu

mudah mengalami degranulasi. Di manapun letak hipersensitivitas

respon peradangan tersebut, hasil akhirnya adalah bronkospasme,

pembentukan mukus, edema dan obstruksi aliran udara.


10

      

5. Manifestasi Klinis

Gambaran klasik penderita asma berupa sesak nafas, batuk-batuk

dan mengi (whezzing) telah dikenal oleh umum dan tidak sulit untuk

diketahui. Batuk-batuk kronis dapat merupakan satu-satunya gejala asma

dan demikian pula rasa sesak dan berat didada.

Tetapi untuk melihat tanda dan gejala asma sendiri dapat

digolongkan menjadi :

1) Asma tingkat I

Yaitu penderita asma yang secara klinis normal  tanpa tanda dan

gejala asma  atau keluhan khusus baik dalam pemeriksaan fisik

maupun fungsi paru. Asma akan muncul bila penderita terpapar

faktor pencetus atau saat dilakukan tes provokasi bronchial di

laboratorium.

2) Asma tingkat II

Yaitu penderita asma yang secara klinis maupun pemeriksaan fisik

tidak ada kelainan, tetapi dengan tes fungsi paru nampak adanya

obstruksi saluran pernafasan. Biasanya terjadi setelah sembuh dari

serangan asma.

3) Asma tingkat III

Yaitu penderita asma yang tidak memiliki keluhan tetapi pada

pemeriksaan fisik dan tes fungsi paru memiliki tanda-tanda

obstruksi. Biasanya penderita merasa tidak sakit tetapi bila

pengobatan dihentikan asma akan kambuh.


11

4) Asma tingkat IV

Yaitu penderita asma yang sering kita jumpai di klinik atau rumah

sakit yaitu dengan keluhan sesak nafas, batuk atau nafas berbunyi.

Pada serangan asma ini dapat dilihat yang berat dengan

gejala-gejala yang makin banyak antara lain :

a. Kontraksi otot-otot bantu pernafasan, terutama sternokliedo

mastoideus

b. Sianosis

c. Silent Chest

d. Gangguan kesadaran

e. Tampak lelah

f. Hiperinflasi thoraks dan takhikardi

5) Asma tingkat V

Yaitu status asmatikus yang merupakan suatu keadaan darurat medis

beberapa serangan asma yang  berat bersifat refrakter sementara

terhadap pengobatan yang lazim dipakai. Karena pada dasarnya

asma bersifat reversible maka dalam kondisi apapun diusahakan

untuk mengembalikan nafas ke kondisi normal

6. Komplikasi

1) Mengancam pada gangguan keseimbangan asam basa  dan gagal

nafas

2) Chronic persisten bronhitis

3) Bronchitis
12

4) Pneumonia

5) Emphysema

6) Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadireaksi

kontinu yang lebih berat, yang disebut “status asmatikus”, kondisi ini

mengancam hidup (Smeltzer & Bare, 2002).

7. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan sputum

Pada pemeriksaan sputum ditemukan :

 Kristal –kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari

kristal eosinofil.

 Terdapatnya Spiral Curschman, yakni spiral yang merupakan

silinder sel-sel cabang-cabang bronkus

 Terdapatnya Creole yang merupakan fragmen dari epitel

bronkus

 Terdapatnya neutrofil eosinofil

2) Pemeriksaan darah

Pada pemeriksaan darah yang rutin diharapkan eosinofil meninggi,

sedangkan leukosit dapat meninggi atau normal, walaupun terdapat

komplikasi asma

 Gas analisa darah

Terdapat hasil aliran darah yang variabel, akan tetapi bila

terdapat peninggian PaCO2 maupun penurunan pH

menunjukkan prognosis yang buruk


13

 Kadang –kadang pada darah terdapat SGOT dan LDH yang

meninggi

 Hiponatremi 15.000/mm3 menandakan terdapat infeksi

 Pada pemeriksaan faktor alergi terdapat IgE yang meninggi pada

waktu seranggan, dan menurun pada waktu penderita bebas dari

serangan.

 Pemeriksaan tes kulit untuk mencari faktor alergi dengan

berbagai alergennya dapat menimbulkan reaksi yang positif

pada tipe asma atopik.

3) Foto rontgen

Pada umumnya, pemeriksaan foto rontgen pada asma normal. Pada 

serangan asma, gambaran ini menunjukkan hiperinflasi paru berupa

radiolusen yang bertambah, dan pelebaran rongga interkostal serta

diagfragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi,

kelainan yang terjadi adalah:

 Bila disertai dengan bronkhitis, bercakan hilus akan bertambah

 Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD) menimbulkan

gambaran yang bertambah.

 Bila terdapat komplikasi pneumonia maka terdapat gambaran

infiltrat pada paru.

4) Pemeriksaan faal paru

 Bila FEV1 lebih kecil dari 40%, 2/3 penderita menujukkan

penurunan tekanan sistolenya dan bila lebih rendah dari 20%,

seluruh pasien menunjukkan penurunan tekanan sistolik.


14

 Terjadi penambahan volume paru yang meliputi RV hampi terjadi

pada seluruh asma, FRC selalu menurun, sedangan penurunan

TRC sering terjadi pada asma yang berat.

5) Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi selama terjadi serangan asma dapat

dibagi atas tiga bagian dan disesuaikan dengan gambaran emfisema

paru, yakni :

 Perubahan aksis jantung pada umumnya terjadi deviasi aksis ke

kanan dan rotasi searah jarum jam

 Terdapatnya tanda-tanda hipertrofi jantung, yakni tedapat RBBB

 Tanda-tanda hipoksemia yakni terdapat sinus takikardi, SVES,

dan VES atau terjadinya relatif ST depresi.

8. Penatalaksanaan

Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non

farmakologik dan pengobatan farmakologik.

1) Pengobatan non farmakologik

a. Penyuluhan

Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien

tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar

menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat

secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.

b. Menghindari faktor pencetus

Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma

yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari


15

dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan

yang cukup bagi klien.

c. Fisioterapi

Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran

mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi

dan fibrasi dada.

2) Pengobatan farmakologik

1. Agonis beta

Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot

dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit.

Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent,

metrapel ).

2. Metil Xantin

Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini

diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil

yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg

empatkali sehari.

3. Kortikosteroid

Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang

baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk

aerosol ( beclometason dipropinate ) dengan disis 800  empat

kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama

mempunyai efek samping maka yang mendapat steroid jangka

lama harus diawasi dengan ketat.


16

4. Kromolin

Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-

anak . Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.

5. Ketotifen

Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg

perhari. Keuntunganya dapat diberikan secara oral.

6. Iprutropioum bromide (Atroven)

Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol

dan bersifat bronkodilator.

2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a) Riwayat kesehatan yang lalu

è Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru

sebelumnya.

è Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/faktor

lingkungan.

è Kaji riwayat pekerjaan pasien.

b) Aktivitas

è Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.

è Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan

melakukan aktivitas sehari-hari.

è Tidur dalam posisi duduk tinggi.


17

c) Pernapasan

è Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau

latihan.

è Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.

è Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan

bahu, melebarkan hidung.

è Adanya bunyi napas mengi.

è Adanya batuk berulang.

d) Sirkulasi

è Adanya peningkatan tekanan darah.

è Adanya peningkatan frekuensi jantung.

è Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.

è Kemerahan atau berkeringat.

e) Integritas ego

è Ansietas

è Ketakutan

è Peka rangsangan

è Gelisah

f) Asupan nutrisi

è Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.

è Penurunan berat badan karena anoreksia.

g) Hubungan sosial

è Keterbatasan mobilitas fisik.


18

è Susah bicara atau bicara terbata-bata.

è Adanya ketergantungan pada orang lain.

h) Seksualitas

Penurunan libido

2. Diagnosa Keperawatan

1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan tachipnea,

peningkatan produksi mukus, kekentalan sekresi dan

bronchospasme.

2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran

kapiler – alveolar

3) Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan penyempitan bronkus..

4) Nyeri akut; ulu hati berhubungan dengan proses penyakit.

5) Cemas berhubungan dengan kesulitan bernafas dan rasa takut

sufokasi.

6) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan faktor psikologis dan biologis yang mengurangi

pemasukan makanan

7) Kurang pengetahuan berhubungan dengan faktor-faktor pencetus

asma.

8) Intoleransi  aktivitas berhubungan dengan batuk persisten dan

ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh

9) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.

10) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif .


19

3. Rencana Asuhan Keperawatan

DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN DAN KRITERIA HASIL  (NOC) INTERVENSI  (NIC)


Bersihan jalan nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 NIC

berhubungan dengan tachipnea, jam, pasien mampu : Airway Management

peningkatan produksi mukus,  Respiratory status : Ventilation 1) Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw

kekentalan sekresi dan  Respiratory status : Airway patency thrust bila perlu

bronchospasme.  Aspiration Control, 2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

Dengan kriteria hasil : 3) Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas

 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas buatan

yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu 4) Pasang mayo bila perlu

(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas 5) Lakukan fisioterapi dada jika perlu

dengan mudah, tidak ada pursed lips) 6) Keluarkan sekret dengan batuk atau suction

 Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak 7) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan

merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan 8) Lakukan suction pada mayo

dalam rentang normal, tidak ada suara nafas 9) Berikan bronkodilator bila perlu

abnormal) 10) Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab

 Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor 11) Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
20

yang dapat menghambat jalan nafas 12) Monitor respirasi dan status O2

Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 NIC :

berhubungan dengan perubahan jam, pasien mampu : Airway Management

membran kapiler – alveolar  Respiratory Status : Gas exchange 1) Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw

 Respiratory Status : ventilation thrust bila perlu

 Vital Sign Status 2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

Dengan kriteria hasil : 3) Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan

 Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan nafas buatan

oksigenasi yang adekuat 4) Pasang mayo bila perlu

 Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari 5) Lakukan fisioterapi dada jika perlu

tanda tanda distress pernafasan 6) Keluarkan sekret dengan batuk atau suction

 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas 7) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan

yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu 8) Lakukan suction pada mayo

mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan 9) Berikan bronkodilator bial perlu

mudah, tidak ada pursed lips) 10) Barikan pelembab udara

 Tanda tanda vital dalam rentang normal 11) Atur intake untuk cairan mengoptimalkan

keseimbangan.
21

12) Monitor respirasi dan status O2

Respiratory Monitoring

1) Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha

respirasi

2) Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan

otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan

intercostal

3) Monitor suara nafas, seperti dengkur

4) Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,

hiperventilasi, cheyne stokes, biot

5) Catat lokasi trakea

6) Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan

paradoksis)

7) Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak

adanya ventilasi dan suara tambahan

8) Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi


22

crakles dan ronkhi pada jalan napas utama

9) Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk

mengetahui hasilnya

Pola Nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 NIC :

berhubungan dengan penyempitan jam, pasien mampu : Airway Management

bronkus  Respiratory status : Ventilation 1) Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw

 Respiratory status : Airway patency thrust bila perlu

 Vital sign Status 2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

Dengan Kriteria Hasil : 3) Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas

 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas buatan

yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu 4) Pasang mayo bila perlu

(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas 5) Lakukan fisioterapi dada jika perlu

dengan mudah, tidak ada pursed lips) 6) Keluarkan sekret dengan batuk atau suction

 Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak 7) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan

merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan 8) Lakukan suction pada mayo

dalam rentang normal, tidak ada suara nafas 9) Berikan bronkodilator bila perlu

abnormal) 10) Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab


23

 Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan 11) Atur intake untuk cairan mengoptimalkan

darah, nadi, pernafasan) keseimbangan.

12) Monitor respirasi dan status O2

Terapi Oksigen

1) Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea

2) Pertahankan jalan nafas yang paten

3) Atur peralatan oksigenasi

4) Monitor aliran oksigen

5) Pertahankan posisi pasien

6) Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi

7) Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi

Vital sign Monitoring

1) Monitor TD, nadi, suhu, dan RR

2) Catat adanya fluktuasi tekanan darah


24

3) Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri

4) Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan

5) Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah

aktivitas

6) Monitor kualitas dari nadi

7) Monitor frekuensi dan irama pernapasan

8) Monitor suara paru

9) Monitor pola pernapasan abnormal

10) Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit

11) Monitor sianosis perifer

12) Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang

melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)

13) Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

Nyeri akut; ulu hati berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 NIC :

dengan proses penyakit. jam, pasien mampu : Pain Management

 Pain Level, 1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif

 Pain control, termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas


25

 Comfort level dan faktor presipitasi

Dengan Kriteria Hasil : 2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, 3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk

mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi mengetahui pengalaman nyeri pasien

untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 4) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan 5) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau

menggunakan manajemen nyeri 6) Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang

 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau

frekuensi dan tanda nyeri) 7) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan

 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang menemukan dukungan

 Tanda vital dalam rentang normal 8) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri

seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

9) Kurangi faktor presipitasi nyeri

10) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non

farmakologi dan inter personal)

11) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

12) Ajarkan tentang teknik non farmakologi


26

13) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

14) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

15) Tingkatkan istirahat

16) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan

tindakan nyeri tidak berhasil

17) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

Analgesic Administration

1) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri

sebelum pemberian obat

2) Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan

frekuensi

3) Cek riwayat alergi

4) Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari

analgesik ketika pemberian lebih dari satu

5) Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya

nyeri

6) Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis


27

optimal

7) Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan

nyeri secara teratur

8) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian

analgesik pertama kali

9) Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat

10) Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek

samping)
28

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

PPOK ( Penyakit Paru Obstruksi Kronis) adalah klasifikasi luas dari

gangguan, yang mencangkup bronkitis kronis, bronkiestasis, emfisema, dan

asma. PPOK merupakan kondisi ireversibel  yang berkaitan dengan dispnea

saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.

(Brunner&Suddarth,2001)

 Penyakit paru obstruktif kronis merupakan sejumlah gangguan yang

mempengaruhi pergerakan udara dari dan ke luar paru. (Arif Muttaqin,2008).


29

DAFTAR PUSTAKA

Almazini, P. 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma


Berat. Jakrta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi
6. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

GINA (Global Initiative for Asthma) 2006.; Pocket Guide for Asthma
Management and Prevension In Children. www. Dimuat dalam
www.Ginaasthma.org

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Linda Jual Carpenito, 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta:
EGC

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:


Media Aesculapius

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC)


Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Purnomo. 2008. Faktor Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian


Asma Bronkial Pada Anak. Semarang: Universitas Diponegoro

Ruhyanudin, F. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan


Sistem Kardio Vaskuler. Malang : Hak Terbit UMM Press

Saheb, A. 2011. Penyakit Asma. Bandung: CV medika

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.


Jakarta: Prima Medika

Anda mungkin juga menyukai