Oleh:
2019
LAPORAN PENDAHULUAN ASMA BRONKHIAL
A sm a b r o n k ia l a d a la h pe n y ak i t
penyem p i ta n s a l u ra n n ap a s y a ng s if a t n y a
o b s tr u k s i s a l u ra n p e rn a p a s a n ak i b a t
re v e r s ib e l y a n g d ita n d ai o l e h ep i s o d e obstruksi
pernapasan di antara dua interval asimtomatik (Djojodibroto, 2016).
Jadi dapat disimpulkan bahwa asma bronkial adalah penyakit paru yang
menyerang pada saluran pernapasan dengan klinik penyempitan pada saluran
pernapasan yang disebabkan oleh stimulan yang ditandai dengan spasme otot
bronkiolus, yang di akibatkan oleh faktor biokimia, infeksi, otonomik dan
psikologi.
2. Klasifikasi
Menurut Soemantri (2009), berdasarkan penyebabnya asma bronkial dibagi menjadi 3
yaitu :
a. Asma alergik / ekstrinsik
Merupakan suatu bentuk asma dengan alergen seperti bulu binatang, debu,
ketombe, tepung sari, makanan, dan lain-lain. Alergen terbanyak adalah airbone dan
musiman. Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit
alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan eksim atau rhinitis alergik. Paparan
terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Bentuk asma ini biasanya
dimulai saat kanak-kanak.
b. Idiopatik atau non alergik asma / intrinsik
Merupakan suatu bentuk asma yang tidak berhubungan langsung dengan
alergen spesifik. Faktor-faktor seperti commond cold, infeksi saluran napas atas,
aktivitas, emosi / stress, dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan.
Serangan dari asma idiopatik atau non alergik menjadi lebih berat dan sering kali
dengan berjalannya waktu dapat berkembang menjadi bronkitis dan enfisema. Pada
beberapa tahun akan menyebabkan asma campuran. Bentuk asma ini biasanya
dimulai ketika dewasa (> 35 tahun).
c. Asma campuran
Merupakan bentuk asma yang paling sering. Dikarakteristikkan dengan
bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau nonalergi.
Menurut Musliha (2010), berdasarkan tingkat kegawatan Asma Bronkial dapat dibagi
menjadi 4 tingkat yaitu :
a. Intermitten
1) Gejala kurang dari 1 kali / minggu
2) Serangan singkat
3) Gejala noktural tidak lebih dari 2 kali / bulan
b. Persisten ringan
1) Gejala lebih dari 1 kali / minggu, tetapi kurang dari 1 kali/hari
2) Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
3) Gejala noktural > 2 kali / bulan
c. Persisten sedang
1) Gejala terjadi setiap hari
2) Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
3) Gejala noktural >1 kali dalam seminggu
d. Persisten berat
1) Gejala terjadi setiap hari
2) Serangan sering terjadi
3) Gejala noktural sering terjadi
Etiolog i
3. E tiologi Asma Bronkhial menurut Nurarif & Kusuma (2016) adalah sebagai
pemicu timbulnya serangan dapat berupa infeksi (infeksi virus, RSV), iklim
(perubahan mendadak suhu, tekanan udara), inhalan (debu, kapuk, sisa-sisa seranga
mati, bulu binatang, serbuk sari, bau asap, uap cat), makanan, obat (aspirin), kegiatan
fisik (olahraga berat, kecapaian, tertawa terbahak-bahak), dan emosi.
Etiologi Asma Bronkial menurut Muttaqin (2008) adalah sebagai berikut :
a. Alergen
Alergen adalah zat-zat yang bila dihisap atau dimakan dapat
menimbulkan serangan asma misalnya debu rumah, spora jamur, bulu kucing,
beberapa makanan laut, dan sebagainya.
b. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus
influenza merupakan salah satu aktor pencetus yang paling sering menimbulkan
asma bronkial. Diperkirakan dua pertiga penderita asma dewasa serangan
asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan.
c. Tekanan jiwa
Tekanan jiwa bukan penyebab asma tetapi pencetus asma, karena banyak
orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi penderita asma bronkial,
beberapa faktor ini mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak
labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak.
d. Olahraga / kegiatan jasmani yang berat
Sebagai penderita asma bronkial akan mendapatkan serangan asma yang
bila melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan
bersepeda adalah dua jenis kegiatan paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena kegiatan jasmani tejadi setelah olahraga atau aktivitas
fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah
olahraga.
e. Obat-obatan
Beberapa klien dengan asma bronkial sensitif terhadap obat tertentu
seperti penisilin, salsilat, beta bloker, kodein, dan sebagainya.
f. Polusi udara
Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik, kendaraan,
asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal,
serta bau yang tajam.
g. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor pencetus yang
menyumbang 2-5 % klien dengan asma bronkial.
M e d i a t o r i n fl a m a s i u ta m a p a d a r e a k s i
sel dar ah p u t i h . E o s i no f i l te rk o n s e n t ra s i d i s
s m a t ik a d a l a h e o si n o f il , s l a h sa t u je n i s
at u a re a d a n m e l ep a s k a n za t k i m i a y a ng
menstimulasi degranulasi sel mast. Eosinofil juga menarik jenis sel darah putih
lainnya, termasuk basofil dan neutrofil , menstimulasi produksi mukus, dan
meningkatkan pembengkakan serta edema jaringan. Respon inflamasi diawali oleh
stimulus, tetapi mungkin memerlukan waktu paling lama 12 jam untuk
memperlihatkan gejala (Corwin, 2009).
Asma yang lebih akut adalah efek dari histamin kimiawi pada otot polos
bronkus. Histamin dilepaskan bersamaan dengan IgE yang memediasi degranulasi
sel-mast dan dengan cepat menyebabkan konstriksi dan spasme otot polos
bronkiolus. Histamin juga menstimulasi produksi mukus dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, selanjutnya menyebabkan kongesti dan pembengkakan ruang
intertisial paru (Corwin, 2009).
Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran
napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan
volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada
volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini
bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu nafas. Penyempitan
saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun
kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas yang besar,
sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi. (Sudoyo, 2010).
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui
daerah tersebut mengalami hipoksia. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh
Pathways
Faktor pencetus :
allergen, cuaca, stress
Permeabilitas kapiler
meningkat
Penyempitan /
obstruksi proksimal Gangguan Suplai darah dan
pertukaran gas O2 ke jantung
Mucus berlebih,
batuk, wheezing, Peningkatan kerja Penurunan
sesak napas otot pernapasan,
penggunaan otot Cardiak Output
bantu pernapasan
Bersihan jalan Tekanan darah
napas tidak turun
efektif
Kelemahan dan
Sumber : Corwin (2009) keletihan
Sudoyo (2010)
Pola napas tidak Intoleransi
DPP PPNI (2016)
efektif aktivitas
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Sudoyo (2010) :
a. Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma
adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup
(inhaler dan nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP 1 sebanyak
≥ 12 % atau (≥ 200 ml) menunjukkan diagnosis asma. Tetapi respons yang
kurang dari ≥ 12 % atau (≥ 200 ml) tidak berarti bukan asma. Pemeriksaan
spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga penting untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Banyak pasien asma tanpa
keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini
mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma dan bahkan bila
berlangsung lama atau kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruktif
kronik.
b. Uji provokasi bronkus
Uji provokasi dilakukan beberapa cara seperti uji provokasi dengan
histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan
bahkan dengan aqua destilata. VEP 1 sebesar 20 % atau lebih dianggap bermakna.
Dianggap bermakna bila APE paling sedikit 10 %. Akan halnya uji provokasi
pada pasien alergi terhadap alergen yang di uji.
c. Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil
sangat dominan pada bronkitis kronik.
d. Pemeriksaan eosinofil total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan
hal ini dapat membantu dalam membedakan antar asma dan bronchitis kronik.
Pemeriksaan ini dapat juga dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup
tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma.
e. Uji kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk membedakan adanya antibodi IgE spesifik
dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis karena uji alergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.
f. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
g. Foto dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran nafas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologi di paru atau
komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumodiastinum, atelektasis, dan lain-
lain.
h. Analisa gas darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2, 35 mmHg) kemudian pada
stasium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia.
Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnia (PaCO2 > 45
mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
7. Diagnosa Banding
Menurut Sudoyo (2010) diagnosa banding untuk kasus asma bronkial adalah :
a. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum
3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti
tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala utama
batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35
tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk di pagi hari, lama
kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani. Pada
stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonal.
b. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi
jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus, berbeda dengan asma pada emfisema
tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada
pemeriksaan fisis ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor,
pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto dada
menunjukkan hiperinflasi.
c. Gagal jantung kiri akut
Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan asma kardial, dan bila timbul
pada malam hari disebut paroxymal nocturnal dyspnoe. Pasien tiba-tiba terbangun
p m al a m h a r i k a r en a s e sa k , t e ta p i s es a k
Pada an a m n e s i s d i ju m p a i h a l - h a l y a n g m
m en g h il a n g a t a u b er k ur a n g b i la d u d u k .
em p e rb e r a t a t a u m e m p e r in g a n g e j al a
gagal jantung. Di samping otropnea, pada pemeriksaan fisis ditemukan
kardiomegali dan edema paru.
d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi,
gagal jantung dan tromboflebitis. Di samping gejala sesak napas, pasien batuk-
batuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsan.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya ortopnea, takikardia, gagal jantung
kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan hipertensi. Pemeriksaaan
elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara lain aksis jantung ke kanan.
8. Terapi
Pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan menurut Nurarif & Kusuma
(2016) :
1) Serangan ringan
Pengobatan : Inhalasi agonis beta-2, kombinasi oral agonis beta-2 dan teofilin.
2) Serangan sedang
Pengobatan : nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam, agonis beta-2 subkutan,
aminofilin IV, adrenalin 1/1000 0,3 ml SK, oksigen bila mungkin,
kortikosteroid sistemik.
3) Serangan berat
Pengobatan : nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam, aminofilin bolus dilanjutkan
drip, oksigen, kortikosteroid.
4) Mengancam jiwa
Pengobatan : pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik.
Menurut Djojodibroto (2016) terapi pada asma bronkial adalah sebagai berikut :
a. Agonis β-2
Agonis β-2 yang menyebabkan relaksasi otot polos saluran pernapasan dan
menghambat kerja mediator yang dilepaskan sel mast. Pemberian agonis β-2
dilakukan secara inhalasi karena pemberian secara parenteral tidak terlalu
memberikan hasil berbeda. Pemberian secara parenteral baru dilakukan jika
pemberian secara inhalasi tidak memberikan hasil yang diharapkan. Pemberian
agonis β-2 memberikan efek samping, seperti takikardia, hipokalemia, aritmia,
tremor, iskemia miokardial, dan asidosis asam laktat. Itu sebabnya pemberian
inhalasi menjadi pilihan utama dibandingkan dengan pemberian secara
parenteral. Pemberian agonis β-2 dapat berupa adrenalin atau sabutamol.
b. Antikolinergik
Antikolinergik bukan pengobatan pertama, tetapi dapat digunakan untuk
menolong serangan asma ringan maupun sedang. Pada serangan asma berat,
pengobatan pertama sebaiknya disertai dengan pemberian obat antikolinergik.
Antikolinergik yang diberikan secara inhalasi adalah ipratropium bromida
dengan MDI atau wet nebulizer (WN). Jika diberikan secara parenteral,
antikolinergik yang digunakan adalah atropin sulfat.
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid sangat bermanfaat dalam pengobatan asma bronkial, tetapi
efeknya lambat, baru tampak setelah beberapa jam. Oleh sebab itu,
kortikosteroid sebaiknya diberikan pada saat mulai tampak adanya serangan
asma. Kortikosteroid yang diberikan berupa metilprednisolon. Pada saat
serangan asma, pemberian kortikosteroid melalui inhalasi tidak banyak
d. memberikan
Aminofilin manfaat.
Aminofilin digunakan sebagai pengobatan kedua asma bronkial.
Aminofilin mempunyai sifat bronkodilator meski lemah, tetapi aminofilin dapat
menambah kontraktilitas diafragma, diuresis, dan sebagai anti inflamasi.
Biasanya jika pengobatan pertama tidak memberikan hasil yang diharapkan,
aminofilin dapat ditambahkan pada pengobatan ini.
9. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada asma menurut Sudoyo (2010) antara lain :
a. Pneumotoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Ateletaksis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
g. Fraktur iga
1. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:
Aktivitas
a. Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
b. Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
c. Tidur dalam posisi duduk tinggi.
Pernapasan
a. Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
b. Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
c. Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan
hidung.
d. Adanya bunyi napas mengi.
e. Adanya batuk berulang.
Sirkulasi
a. Adanya peningkatan tekanan darah.
b. Adanya peningkatan frekuensi jantung.
c. Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
d. Kemerahan atau berkeringat.
Integritas
ego a.
Ansietas
b. Ketakutan
c. Peka rangsangan
d. Gelisah
Asupan nutrisi
a. Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
b. Penurunan berat badan karena anoreksia.
Hubungan social
a. Keterbatasan mobilitas fisik.
b. Susah bicara atau bicara terbata-bata.
c. Adanya ketergantungan pada orang lain
Seksualitas
a. Penurunan libido
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon individu terhadap rangsangan yang timbul dari
diri sendiri maupun luar (lingkungan). Sifat diagnosis keperawatan adalah berorientasi
pada kebutuhan dasar manusia, menggambarkan respon individu terhadap proses,
kondisi, dan situasi sakit, dan berubah bila respon individu juga berubah. Unsur dalam
diagnosis keperawatan meliputi problem, etiologi, dan sign / symptom (Nursalam,
2016).
Diagnosa keperawatan pada penyakit asma bronkial menurut DPP PPNI (2016)
adalah :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
dibuktikan dengan batuk tidak efektif, sputum berlebih, wheezing, dispneu,
gelisah, frekuensi napas berubah (D.0001).
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas dibuktikan
dengan penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, kussmaul,
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah suatu perencanaan dengan tujuan mengubah
atau manipulasi stimulus fokal, konstektual, dan residual. Pelaksanaannya juga
ditunjukkan kepada kemampuan klien dalam menggunakan koping secara luas,
supaya stimulus secara keseluruhan dapat terjadi pada klien (Nursalam, 2016).
Intervensi keperawatan yang tepat bagi penderita asma bronkial menurut Kidd, Sturt
dan Fultz (2010) dan Nurarif & Kusuma (2016) adalah :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
dibuktikan dengan batuk tidak efektif, sputum berlebih, wheezing, dispneu,
gelisah, frekuensi nafas berubah (D.0001).
Tujuan :
Bersihan jalan napas kembali efektif.
Kriteria hasil :
Dapat mendemonstrasikan batuk efektif, dapat menyatakan strategi untuk
menurunkan sekret, tidak ada suara napas tambahan, pernapasan normal
(bernapas 16-22 x/menit).
Rencana tindakan keperawatan :
1) Kaji status pernapasan dan perubahan tanda-tanda vital
Rasional : Menilai status pernapasan dan perubahan tanda-tanda vital
2) Atur posisi semi fowler
Rasional : Meningkatkan ekspansi dada
3) Auskultasi suara napas
Rasional : Auskultasi suara nafas tambahan menunjukkan kelainan
pernapasan
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas dibuktikan
dengan penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, kussmaul,
pernapasan cuping hidung, kapasitas vital menurun, dan ekskursi dada berubah
(D.0005).
Tujuan :
Pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil :
Pasien tidak mengalami sesak napas, menunjukkan jalan napas yang paten, tanda-
tanda vital dalam rentang normal.
4. Implementasi
Pelaksanaan asuhan keperawatan ini merupakan realisasi dari rencana
tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien. Pelaksanaan adalah inisiatif dari
rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik, tahap pelaksanaan dimulai
setelah rencana tindakan disusun dan diharapkan untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping (Nursalam, 2016).
Pasien membutuhkan tindakan yang cepat. Keluhan utama adalah
berdasarkan pada ancaman serius terhadap nyawa, tubuh, atau organ. Respon pasien
harus diperhatikan dan perlu dilakukan observasi secara terus-menerus (Kartikawati,
2014).
5. Evaluasi
Penilaian terakhir proses keperawatan didasarkan pada tujuan keperawatan
yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan pada
perubahan perilaku dari kriteria hasil yang telah ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi
pada individu (Nursalam, 2016).
Evaluasi tergantung pada kriteria hasil tiap kategori kegawatan, dan dilakukan
paling sedikit satu jam, kecuali pada pasien dengan kondisi emergency atau urgent
setiap 15 menit (Musliha, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Almazini, P. 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma Berat. Jakrta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Carpenito, L.J. 2009. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6 . Jakarta:
EGC