Anda di halaman 1dari 6

1

FORMAT LAPORAN INOVASI PENGELOLAAN ASKEP

Nama Mahasiswa : Monika Jayanti


NIM :P05120319031
Ruanga Praktik :Kemuning

A. LATAR BELAKANG
Fenomena masalah kesehatan pada masyarakat terutama penyakit TB
paru di era globalisasi tidak dapat dipandang remeh. TB paru ini merupakan
penyakit radang parenkim paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis (Darmanto, 2014). TB paru akan menimbulkan gangguan sistem
pernafasan. Pernafasan merupakan suatu keadaan dimana udara yang
mengandung O2 masuk kedalam tubuh dan membuang CO2 keluar dari tubuh
sebagai sisa dari oksidasi(Andarmoyo, 2012). Jika terjadi masalah pada sistem
pernafasan maka akan mengakibatkan disfungsi ventilasi atau gagalnya proses
pertukaran oksigen terhadap karbondioksida di dalam paru dan akan
menyebabkan sesak nafas (dyspnea). Gangguan pernafasan pada TB paru
disebabkan adanya reaksi inflamasi yang merusak membrane alveolarkapilar
yang menyebabkan terganggunya ekspansi paru akibat akumulasi cairan
sehingga akan menimbulkan ketidakefektifan pola nafas. Tanda dan gejala yang
dialami antara lain peningkatan Respiration Rate, penggunaan otot bantu nafas,
pernapasan cuping hidung, nyeri dada, sesak, dan badan terasa letih. Jika tidak
segera ditanggani dapat menyebabkan komplikasi yang berbahaya sampai
terjadi kematian (Kemenkes, 2015).
Menurut WHO penyakit tuberkulosis masih menjadi perhatian global
sampai saat ini. Setiap tahun diperkirakan ada 9 juta kasus baru TB di seluruh
dunia dan 2 juta diantaranya meninggal. Pada tahun 2017, kematian yang
disebabkan karena TB ada sekitar 1,3 juta kematian (WHO, 2018). Di tahun
2018 Indonesia menduduki urutan ketiga dengan kasus TB paru sebanyak
842.000. Sesuai Rencana Aksi Nasional Penanggulangan TB wilayah Indonesia
menetapkan target prevalensi TBC pada tahun 2019 menjadi 245 per 100.000
penduduk (Kemenkes RI, 2017). Penanganan yang tidak benar pada penderita
TB akan menimbulkan berbagai macam komplikasi, salah satunya adalah
sindrom gagal nafas dewasa (Adult Respiratory Distress Sindrome/ARDS).
ARDS dapat menyebabkan 70% angka kematian pada penderita TB. Pada
pasien yang dirawat dengan diagnosis tuberkulosis, 1% sampai 3% ditemukan
adanya pneumotoraks. Di Jawa Timur prevalensi TB paru sebesar 0,2%, yang
mengalami batuk lebih dari 2 minggu sebesar 5,0%, dan yang mengalami batuk
darah sebesar 2,4% (Riskesdas, 2013).
Penyakit ini mudah menyerang berbagai organ tubuh terutama pada
parenkim paru-paru. Penularan TB ini disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis melalui partikel percik renik atau droplet saat batuk, bersin,
berbicara, berteriak, atau bernyanyi dan kebiasaan pasien TB yang meludah
sembarangan (Kemenkes RI, 2012). Beberapa keadaan TB yang dapat
meningkatkan resiko penularan antara lain batuk produktif, Basil Tahan Asam
(BTA) positif, kavitas, tidak mendapat OAT, tidak menerapkan etika batuk
yang benar, tidak menutup mulut saat batuk dan bersin (Kemenkes RI, 2012).
Tanda dan gejala yang dialami batuk dengan jangka waktu lama, jika
batuh sudah parah akan menggeluarkan darah, mengalami sesak, dada terasa
2

nyeri, demam disertai tubuh menggigil lebih dari 3 minggu, nafsu makan
menurun, dan berat badan turun drastis. Kebanyakan infeksi terjadi melalui
udara (air bone), yaitu melalui inhalasi dopplet yang sudah tercemar dengan
kuman-kuman basil tuberkel yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai
alveoli dan diinhalasi yang biasanya terdiri dari satu sampai tiga gumpalan.
Basil yang besar akan bertahan, kemudian akan terjadi reaksi infeksi atau
inflamasi dan merusak parenkim paru. Dari proses tersebut akan terjadi
kerusakan membrane alveolar-kapiler yang merusak pleura, perubahan cairan
pada intrapleura yang mengakibatkan sesak, sianosis, dan penggunaan otot
bantu nafas sehingga muncul gangguan ketidakefektifan pola nafas (Muttaqin,
2012).
Ketidakefektifan pola nafas merupakan suatu kondisi saat inspiasi atau
ekspirasi yang tidak mendapatkan ventilasi adekuat (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2016). Perubahan pola nafas ini merupakan salah satu gangguan fungsi
pernafasan yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan dalam
pemenuhan kebutuhan oksigen untuk tubuhnya, contohnya ada sumbatan yang
menghalangi saluran pernafasan, kelelahan otot-otot respirasi, penurunan
energi, kelelahan, nyeri, dan disfungsi neuromuskular. Biasanya pasien dengan
kondisi seperti ini mengalami perubahan frekuensi pernapasan, perubahan nadi
(frekuensi, irama, dan kualitas), dan dada terasa sesak. Pola nafas biasanya
mengacu pada irama, frekuensi, volume, dan usaha pernafasan. Pada pola nafas
yang tidak efektif akan ditandai dengan peningkatan pada irama, frekuensi,
volume, dan adanya usaha pernafasan. Adapun perubahan pada pola pernapasan
yang umum terjadi seperti takipnea, bradipnea, hiperventilasi, hipoventilasi,
dispnea, dan ortthopnea. Peran perawat dalam mengatasi masalah keperawatan
ketidakefektifan pola nafas adalah memberikan asuhan keperawatan pada
pasien penderita TB paru secara komprehensif. Asuhan keperawatan yang
diberikan kepada pasien diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup
pasien menurut Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2018) yaitu status pernafasan, jalan
nafas yang paten, dan status tanda-tanda vital dengan kriteria hasil
menunjukkan pola nafas yang efektif, frekuensi, irama, dan kedalaman
pernafasan normal, dispnea menurun, penggunaan otot bantu nafas menurun,
tekanan ekspansi dan inspirasi membaik, mampu bernapas dengan mudah, dan
tanda-tanda vital dalam rentang normal.
Sedangkan intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah
keperawatan ketidakefektifan pola nafas yaitu dengan memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien secara komprehensif menurut menurut Tim Pokja
SIKI DPP PPNI (2018), salah satunya adalah managemen jalan nafas, dalam 5
penerapan managemen jalan nafas terdapat berbagai macam intervensi
diantaranya monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha napas), monitor
bunyi nafas tambahan (misal : gurgling, mengi, weezing, ronchi kering),
monitor sputum, dan mempertahankan kepatenan jalan napas. Adapaun
tindakan mandiri yang dapat dilakukan yaitu terapi kipas atau hand held fan
untuk mengurangi sesak.

B. IDENTIFIKASI MASALAH / DIAGNOSA KEPERAWATAN


Pola Nafas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Depresi Pusat Pernafasan
DS :Pasien mengeluh sesak dan lemas
DO : - tampak adanya otot bantu pernafasan
3

- Pasien tampak lemas


- Pasien menggunakan nasal kanul 3 liter
- Frekuensi nafas 24x/menit

C. PENJELASAN ARTIKEL JURNAL PILIHAN (JURNAL ASLI DILAMPIRKAN)


1. Judul
Terapi Kipas Untuk Meredakan Sesak Napas

2. Penulis
Rica Fitria, Riri Maria, Agung Waluyo, Dasna, Eliana Sinaga

3. Tempat Publikasi
Journal of Telenursing (JOTING)

4. Abstrak
a. latar Belakang
Dispnea atau sering disebut sebagai sesak napas adalah sensasi
subjektif dari pernapasan yang tidak normal seperti sensasi bernapas
dengan intensitas yang berbedabeda. Gejala umum dipsnea
mempengaruhi manifestasi penyakit pernapasan, jantung,
neuromuskular, psikogenik, sistemik, atau kombinasi dari semuanya.
Dispnea dapat berupa akut atau kronis, akut terjadi selama berjam-jam
sampai berhari-hari sedangkan kronis terjadi selama lebih dari 4 sampai
8 minggu. Kondisi dipsnea juga sering dialami oleh pasien yang
membutuhkan perawatan paliatif antara lain pada kanker stadium lanjut,
gagal jantung dan penyakit paru-paru kronis Lebih dari 50% kematian
di Amerika Serikat disebabkan oleh ketiga kategori penyakit ini (World
Health Organization, 2020).
Prevalensi dispnea pada penderita kanker adalah 50% sampai
70%, namun pada pasien yang mengalami kanker paru prevalensinya
mencapai hingga 90%. Selain itu, pasien dengan penyakit paru-paru
kronis mencapai 90% dan 50% pasien gagal jantung mengalami dispnea
yang signifikan. Gejala dipsnea memiliki efek negatif terhadap
kesehatan fisik, emosional dan psikologis pasien. Selain itu, dapat
menyebabkan rasa kecemasan pada kerabat dan caregivers, sehingga
diperlukan pengelolaan yang tepat (Mendoza et al., 2020).
Penatalaksanaan dispnea dilakukan secara efektif dengan
mengatasi penyebab dasar dispnea menggunakan berbagai kombinasi
terapi farmakologis dan pendekatan nonfarmakologi. Perawat berperan
penting dalam pengelolaan dispnea dengan pendekatan
nonfarmakologis. Pendekatan nonfarmakologis dalam meredakan
dispnea adalah menggunakan terapi kipas untuk meniupkan udara di
seluruh area yang dipersarafi oleh cabang saraf trigeminal kedua atau
ketiga (Kako et al., 2018).
Penerapan terapi kipas dalam meredakan dispnea telah
direkomendasikan oleh Oncology Nursing Society. Wong et al., (2017)
juga melaporkan tentang keefektifan terapi kipas terhadap perubahan
rata-rata pada skor dispnea (verbal NRS). Selain itu, penelitian RCT
yang dilakukan oleh Kako et al., (2018) menemukan bahwa terapi kipas
4

efektif dalam menurunkan perubahan intesitas dispnea (Numerical


Rating Scale) pada pasien kanker terminal. Sejalan dengan temuan
tersebut, Ting et al., (2019) juga melakukan penelitian RCT dengan
crossover design pada pasien kanker terminal dan menemukan bahwa
terapi kipas dapat memberikan perubahan rata-rata pada skor dispnea
(Modified Borg Scale). Penelitian ini merupakan kajian literature review
yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi berbasis bukti tentang
keefektifan terapi kipas yang berfokus pada pasien kanker terminal
dalam meredakan dispnea. Pengumpulan informasi ini penting untuk
dilakukan karena dapat digunakan sebagai referensi dalam membuat
keputusan klinik untuk intervensi keperawatan dalam mendukung
asuhan keperawatan.
b. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh keefektifan terapi kipas untuk meredakan
sesak

c. Metode
Studi literatur dan studi kasus

d. Hasil
Dua dari delapan penelitian yang dikaji pada literature rieview
ini menggunakan uji klinis a parallel-arm design yang menunjukkan
adanya perubahan rata-rata skor dispnea. Penelitian yang melaporkan
efektivitas terapi kipas pada 10 pasien penyakit paru obstruktif kronik
mengkonfirmasi kemanjuran terapi kipas dalam mengurangi dispnea.
Terapi kipas yang diarahkan ke wajah selama latihan menghasilkan
durasi latihan yang jauh lebih lama dibandingkan dengan terapi kipas ke
kaki (Marchetti et al., 2015) juga menemukan bahwa terapi kipas
memiliki dampak klinis subjektif sedang pada pasien dengan dispnea
saat istirahat. Salah satu penelitian RCT menunjukkan adanya
pengurangan dispnea yang signifikan dengan penggunaan terapi kipas
dan hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa terapi kipas efektif
dalam meredakan dispnea dan tidak adanya efek samping dalam
pemberian terapi kipas.

e. Kesimpulan
Pemberian terapi kipas pada pasien kanker terminal dapat
meredakan dyspnea, sehingga terapi kipas direkomendasikan untuk
diterapkan dalam pratiksi dalam mendukung asuhan keperawatan pada
ketidaknyamanan pernapasan. Intervensi terapi kipas tidak memberikan
efek samping yang membahayakan kesehatan pada partisipan, murah,
mudah dan bisa dilakukan kapan saja. Adanya manfaat dan mudahnya
proses intervensi terapi kipas disarankan untuk diberikan dalam praktisi.
Manfaat ini juga dapat dikembangkan dan apabila memungkinkan dapat
disosialisasikan secara luas tidak hanya pada pasien terminal. Hal ini juga
dapat menjadi dasar oleh peneliti selanjutnya untuk mengatasi dispnea
dalam berbagai penyakit.

D. RENCANA PELAKSANAAN INOVASI


1. Subjek
Tn. N
5

2. Waktu & Tempat


Ruang kemuning, Kamar 07

3. Prosedur Inovasi
a. Fase orientasi
1. Mencuci tangan kontak dengan lingkungan pasien
2. Mengucapkan salam
3. Perkenalkan diri
4. Kontrak waktu dan tempat dengan pasien
5. Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang prosedur dan
tujuan tindakan yang akan dilaksanakan
6. Siapkan pasien sesuai prosedur

b. Fase Interaksi (Kerja)


1. Memposisikan klien dengan posisi ternyaman
2. Menginstruksikan klien untuk menyalakan genggam kipas
terdahulu
3. Menginstruksikan klien untuk memejamkan mata
4. Menginstruksikan klien untuk mengarahkan aliran udara dari
kipas ke seluruh wajah dan dihirup udara sebanyak-banyaknya
5. Lakukan tindakan tersebut hingga 5 menit
6. Ulangi terapi tersebut saat klien merasa sesak napas itu kembali

c. Fase Terminasi
1. Catat dilembar observasi
2. Catat respon pasien
3. Mengucapkan salam
4. Cuci tangan setelah kontak dengan lingkungan pasien

E. HASIL PELAKSANAAN INOVASI


(FASE KERJA)
Fase Interaksi (Kerja)
Selama melakukan intervensi pasien mampu mengikuti instruksi yang
diminta dan kooperatif selama tindakan dilakukan
DOKUMENTASI
6

Fase Terminasi
Setelah dilakukan intervensi pasien merasa sedikit lega dengan hasil
frekuensi nafas ssetelah dilakukan intervensi yaitu 22x/menit dan spo2 98%
F. RENCANA TINDAK LANJUT
Ajarkan kepada keluarga cara menggunakan terapi kipas sebagai alternatif penanganan
dispneu yang mungkin terjadi lagi serta rutin memantau gejala sesak yang mungkin terjadi berulang

Anda mungkin juga menyukai