Anda di halaman 1dari 13

FARMAKOTERAPI 3

Dosen Pengampu :
Annisa Aulia Savitri., M.Clin.Pharm.

Nama Anggota:
Risma Evi Damayanti 4313419001
Ardhia Pramesti Elyan 4313419002
Citra Pramesti 4313419003
Leyli Liju LAila 4313419004
Maisaroh 4313419005

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2021
ISPA & PNEUMONIA
A. ISPA
1. Definisi
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai
alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura) (Kemenkes,
2011). Penyakit pneumonia termasuk dalam ISPA karena merupakan salah satu
infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Patogen yang paling
sering menyebabkan ISPA adalah virus, atau infeksi gabungan dari virus dan
bakteri seperti rhinovirus, virus influenza, dan respiratory syncytial virus
sedangkan untuk bakteri, bakteri yang paling sering terlibat adalah
Streptococcus grup A, Pneumococcus-pneumococcus, H.influenza.

2. Gejala
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) melibatkan invasi langsung
mikroba ke dalam mukosa saluran pernapasan. Inokulasi virus dan bakteri dapat
ditularkan melalui udara, terutama jika seseorang yang terinfeksi batuk atau
bersin.
Setelah terjadi inokulasi, virus dan bakteri akan melewati beberapa
pertahanan saluran napas, seperti barrier fisik, mekanis, sistem imun humoral,
dan seluler. Barrier yang terdapat pada saluran napas atas adalah rambut-rambut
halus pada lubang hidung yang akan memfiltrasi patogen, lapisan mukosa,
struktur anatomis persimpangan hidung posterior ke laring, dan sel-sel silia.
Selain itu, terdapat pula tonsil dan adenoid yang mengandung sel-sel imun.
Patogen dapat masuk dan berhasil melewati beberapa sistem pertahanan
saluran napas melalui berbagai mekanisme, seperti produksi toksin, protease,
faktor penempelan bakteri, dan pembentukan kapsul untuk mencegah terjadinya
fagositosis. Hal ini menyebabkan virus maupun bakteri dapat menginvasi sel-sel
saluran napas dan mengakibatkan reaksi inflamasi. Beberapa respon yang dapat
terjadi adalah pembengkakan lokal, eritema, edema, sekresi mukosa berlebih,
dan demam sebagai respon sistemik.

3. Pengobatan
A. Antibiotik
Antibiotik memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan
kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil serta merupakan
zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri (Tjay dan Rahardja,
2007). Golongan antibiotik yang dapat digunakan dalam pengobatan ISPA
antara lain Penisilin, Cefalosporin, Makrolida, Tetrasiklin, Quinolon, dan
Sulfonamid (Depkes, 2006).
B. Terapi Penunjang
1) Analgesik-Antipirerik
Digunakan untuk mengurangi gejala demam terkait infeksi
pernafasan, letergi dan malaise (Depkes, 2006). Parasetamol
merupakan contoh analgetik yang paling banyak digunakan karena
efektif mengurangi demam yang mempunyai aksi langsung ke pusat
pangatur panas di hipotalamus yang berdampak vasodilatasi serta
pengeluaran keringat. Dosis anak 1-5 tahun 120-250 mg, 6-12 tahun
yaitu dosisnya 250-500 mg setiap 4-6 jam. Dosis maksimal 1-4 g/hari
(IONI, 2008).

2) Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan menghambat pelepasan mediator
inflamasi seperti histamin serta memblok migrasi sel (Depkes, 2006).
Menurut Tjay dan Raharja (2007), Histamin memegang peran utama
pada proses peradangan dan pada sistem daya tangkis. Ada 2
kelompok antihistamin yaitu generasi pertama terdiri dari
diphenhidramin, chlorpeniramin dan hidroksizin, sedangkan generasi
kedua terdiri dari citirizine, akrivastin, astemizol, loratadin dan
terfenadin. Antihistamin generasi pertama dapat mengontrol kantuk
karena terjadi blokade neuron histaminergik sentral selain itu juga
memiliki efek sedasi yang dipengaruhi dosis (Depkes, 2006).
3) Kortikosteroid
Kortikosteroid bekerja mengatur mekanisme humoral maupun
seluler dari respon inflamasi dengan cara menghambat aktivasi dan
infiltrasi eosinofil, basofil dan mast cell ke tempat inflamasi serta
mengurangi produksi dan pelepasan faktor-faktor inflamasi.
Dexametason merupakan kortikosteroid yang sering digunakan dengan
dosis dewasa 0,75-9 mg/kg/hari dan 0,08-0,3 mg/kg/hari untuk anak
terbagi dalam 2-4 dosis (Depkes, 2006).
4) Dekongestan
Dekongestan nasal digunakan sebagai terapi simptomatik yang
dapat diberikan secara oral dan topikal. Dekongestan topikal dapat
menyebabkan vasokontriksi sehingga mengurangi oedema pada
mukosa hidung karena bekerja pada reseptor α permukaan otot polos
pembuluh darah, contoh oxymetazolin dan fenilefrin, sedangkan
dekongestan oral bekerja dengan meningkatkan pelepasan 12
noradrenalin dari ujung neuron seperti pseudoefedrin dan
fenilpropanilamin (Depkes, 2006).
5) Bronkodilator
Bronkodilator biasanya digunakan pada ISPA bawah pada
kasus bronkhitis kronik dengan obstruksi pernafasan. Brokodilator
terdiri dari 2 agen yaitu β-adrenoceptor agonist yang biasa diberikan
secara inhalasi baik dalam bentuk uap maupun serbuk kering.
Metilxantin seperti aminofilin adalah derivat dari teofilin yang sering
digunakan karena merupakan bronkodilator yang baik, namun
memiliki beberapa kekurangan yaitu tidak dapat diberikan secara
inhalasi (Depkes, 2006).
6) Mukolitik
Mukolitik biasanya digunakan sebagai terapi tambahan untuk
bronkhitis dan pneumonia. Mukolitik bekerja dengan mengencerkan
mukus sehingga mudah dieskpektorasi. Asetilsistein bekerja dengan
cara membuka ikatan gugus sulfidril pada mucoprotein sehingga
menurunkan viskositas mukus, obat ini lebih sering digunakan, serta
dapat diberikan secara nebulisasi maupun oral (Depkes, 2006). Semua
obat-obat mukolitik harus dihentikan jika tidak ada manfaat setelah 4
minggu pemberian terapi (IONI, 2008).

B. PNEUMONIA
1. Definisi
Pneumonia di definisikan sebagai suatu peradangan parenkim paru distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas di
daerah setempat. Pneumonia dibedakan menjadi 2 yaitu pneumonia komunitas
dan pneumonia nosokomial.
a. Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar
rumah sakit.
b. Pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam
atau lebih setelah dirawat di rumah sakit.
Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling
sering ialah menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya
pneumonia (pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi
pneumonia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan area paru yang terinfeksi
(lobar pneumonia, multilobar pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial
pneumonia) atau agen kausatif. Pneumonia juga sering diklasifikasikan
berdasarkan kondisi yang mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens
(pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik),
pneumonia aspirasi (alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun
(pneumonia pada pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS.

2. Patofisiologi
Mikroorganisme penyebab pneumonia terhisap ke paru bagian perifer melalui
saluran respiratori. Pertama terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian
paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan ditemukan kuman alveoli. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin
dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini
disebut stadium hepatisasi kelabu, selanjutnya jumlah makrofag meningkat di
alveoli, dan sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman, dan debris
menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan
paru yang tidak terkena akan tetap normal yang

3. Epidemiologi
Pneumonia adalah penyakit yang sering terjadi di masyarakat. Jumlah
serangan rata-rata 12 kasus dari 1000 orang per tahun. Pada orang dewasa, rata-rata
yang membutuhkan perawatan di rumah sakit usianya berkisar 17-55 tahun,
kebanyakan menyerang usia lanjut. Pneumonia menempati urutan ke 6 sebagai
penyebab kematian di Amerika Serikat. Dalam penelitian di Seattle, peneliti
menemukan jumlah penderita CAP berusia 65-69 tahun sebanyak 18,2 kasus per
1000 orang per tahun dibandingkan 52,3 kasus per 1000 orang per tahun yang
mengenai usia ≥ 85 tahun. Hasil dari survey rumah sakit nasional di Amerika
Serikat mengindikasikan bahwa dari tahun 1990 hingga 2002 ada 21,4 juta kasus
pasien rumah sakit usianya diatas 65 tahun.
Epidemiologi pneumonia berubah tiap tahunnya. Hal ini berkaitan dengan
perubahan jumlah populasi dan penyebaran bakteri-bakteri baru yang
menyebabkan pneumonia dan perubahan antibiotik guna memberantas bakteri-
bakteri lama, seperti S. pneumonia, H. influenzae, dan Staphylococcus Aureus.
Pneumonia pada penelitian yang telah ada sebelumnya disebutkan sebagai
penyebab utama kematian pada anak dibawah 5 tahun dan bertanggung jawab atas
18% kematian balita dan anak pada tahun 2010 di seluruh dunia (Liu et al., 2012).
Sebanyak 81% anak yang meninggal karena penyakit ini merupakan balita usia
dibawah 2 tahun (Walker et al., 2013). Pada negara di Asia dan Afrika lebih dari
setengah jumlah total episode pneumonia terjadi pada anak kurang dari 5 tahun
(Rudan et al., 2004). Pada negara di Eropa sekitar 14,4 per 10.000 anak-anak
berusia diatas 5 tahun dan 33,8 per 10.000 dengan usia dibawah 5 tahun
didiagnosis Community Acquired Pneumonia (CAP) setiap tahunnya di rumah
sakit yang berada di Eropa (Haq I.J et al., 2017). Persentase angka mortalitas
pneumonia di negara berkembang termasuk Indonesia merupakan penyusun
terbesar mortalitas pada balita dan anak yang diperkirakan sebesar 21% (Unicef,
2006)

4. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri,
virus, jamur, dan protozoa. Menurut Padila (2013), etiologi pneumonia adalah
sebagai berikut :
a. Bakteri
Pneumonia bakteri didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram positif seperti
: Streeptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, dan streptococcus
pyrogenesis. Bakteri gram negatif seperti Hemophilus influenza, Klebsiella
pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa.
b. Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet. Penyebab
utama pneumonia virus ini yaitu Cytomegalovirus.
c. Jamur
Disebabkan oleh jamur hitoplasma yang menyebar melalui udara yang
mengandung spora dan ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos.
d. Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya
pada pasien yang mengalami immunosupresi (Reeves, 2013). Penyebaran
infeksi melalui droplet dan disebabkan oleh Streeptococcus pneumonia,
melalui selang infus yaitu Staphylococcus aureus dan pemakaia ventilator oleh
Pseudomonas aeruginosa dan enterobacter. Dan bisa terjadi karena kekebalan
tubuh dan juga mempunyai riwayat penyakit kronis.
5. Sasaran terapi
Penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan antibiotik tertentu
terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian antibitotik bertujuan untuk
memberikan terapi kausal terhadap kuman penyebab infeksi, akan tetapi sebelum
antibiotika definitif diberikan antibiotik empiris dan terapi suportif perlu diberikan
untuk menjaga kondisi pasien. Rekomendasi antibiotika empiris pada CAP.
Terapi pasien rawat jalan
1) Sebelumnya sehat dan tidak menggunakan antibiotik dalam 3 bulan
sebelumnya
a. Makrolid
b. Doxicilin
2) Ada komorbid (penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, keganasan, asplenia,
obat immunospresi, antibiotik 3 bulan sebelumnya)
a. Fluoroquinolon respirasi (moxifloxacin, gemifloxacin/ levofloxacin 750
mg)
b. β lactam + makrolid
3) Pada daerah dengan angka infeksi tinggi dan dengan resisitensi tinggi
makrolid terhadap S.pneumoniae , dipertimbangkan antibiotik sesuai poin 2.
4) Rawat inap tidak di ICU Fluoroquinolon respirasi atau β lactam + makrolid
5) Rawat inap di ICU β lactam (cefotaxim, ceftriaxon, atau ampicilin sulbaktam)
+ azitromisin atau floroquinolon respirasi
6) Bila diperkirakan pseudomonas :
a. β lactam antipseudomonas (piperasilin-tazobactam, cefepime, imipenem
atau merpenem) + ciprofloxasin atau levofloxacin (750 mg) atau
b. β lactam antipseudomonas + aminoglikosid dan azitromisin atau
c. β lactam antipseudomonas + aminoglikosid dan floroquinolon
antipneumococal (untuk pasien alergi penisilin ganti β lactam dengan
asteronam.
7) Bila dipertimbangkan CA-MRSA yaitu tambahkan vancomysin/linezolid

6. Terapi Farmakologi
Gambar 1. Penilaian derajat beratnya CAP dapat mempergunakan beberapa skor yaitu
CURB-65 (confusion, uremia, respiratory rate, low blood pressure, age 65 years or
greater).
Menurut Misnadiarly (2008), terapi farmakologi pada pneumonia antara lain :
a. Antibiotik terutama untuk pneumonia bakterialis. kepada penderita dengan
penyakit yang tidak terlalu berat, dapat diberikan antibiotik per oral dan tetap
tinggal di rumah. contohnya adalah penisilin dan cephalosporin. kepada
penderita yang lebih tua dan penderita dengan sesak napas atau dengan
penyakit jantung atau paru-paru lainnya, harus dirawat dan antibiotik harus
diberikan melalui infus
b. analgesik bisa diberikan untuk meredakan nyeri dada pleuritik
c. antipiretik pada pasien dengan demam
d. mukolitik membantu mengencerkan sekresi sehingga sekresi dapat keluar pada
saat batuk
e. kortikosteroid berguna pada keterlibatan luar dengan hipoksemia dan bisa
reaksi inflamasi.

7. Terapi Non Farmakologi


Terapi non farmakologi pada penyakit pneumonia yang dapat diberikan yaitu
istirahat, pemberian O2, asupan cairan yang cukup, hidrasi untuk mengencerkan
sekresi, teknik napas dalam untuk meningkatkan ventilasi alveolus dan mengurang
resiko atelektasis dan perbaikan nutrisi. Perbaikan nutrisi bertujuan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh dan memperbaiki fungsi sistem imun agar tubuh
mampu mengeradikasi infektor penyebab patologi tersebut (Depkes, 2005).

8. Sebab-sebab Kegagalan Terapi


Kepekaan kuman terhadap antibiotika tertentu tidak dapat menjamin efektivitas
klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan terapi:
a. Dosis kurang Dosis suatu antibiotika seringkali bergantung dari tempat
infeksi, walaupun kuman penyebabnya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G
yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh Pneumococcus jauh lebih
tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi saluran napas
bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama.
b. Masa terapi yang kurang Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk setiap
jenis infeksi perlu diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu
kini telah ditinggalkan.Pada umumnya para ahli cenderung melakukan
individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respon klinik yang
memuaskan.Namun untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis paru tetap
dipertahankan masa terapi yang cukup walaupun perbaikan klinis cepat
terlihat.
c. Kesalahan dalam menetapkan etiologi Demam tidak selalu disebabkan oleh
kuman, virus, jamur, parasit, reaksi obat, dan lain-lain dapat meningkatkan
suhu badan.Pemberian antibiotika yang lazim diberikan dalam keadaan ini
tidak bermanfaat.
d. Pilihan antibotika yang kurang tepat Suatu daftar antibiotika yang dinyatakan
efektif dalam uji sensitivitas tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa
setiap antibiotika akan memberikan aktivitas klinik yang sama. Disini dokter
harus dapat mengenali dan memilih antibiotika yang secara klinis merupakan
obat terpilih untuk suatu kuman tertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk
infeksi S. faecalis adalah ampisilin, walaupun secara in vitro kuman tersebut
juga dinyatakan sensitif terhadap sefamandol atau gentamisin.
e. Faktor pasien Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme
pertahanan tubuh (selular dan humoral) merupakan faktor penting yang
menyebabkan gagalnya terapi antibotika. Sebagai contoh obat imunosupresan,
AIDS (Setiabudy, 2007).

9. Monitoring
a. Pemantauan respirasi yaitu monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
napas, monitor pola napas, monitor kemampuan batuk efektif, auskultasi bunyi
napas, atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien.
b. monitoring terapi obat dilakukan dengan cara menentukan kadar obat dalam
darah yang akan menentukan keberhasilan terapi. dengan pemantauan kadar
obat dalam darah akan diketahui apakah dosis yang diberikan mencapai kadar
optimum yang diperlukan untuk berinteraksi pada site of action, sebab kadar
obat dalam darah adalah ekuivalen dengan kadar obat dalam site of action,
sehingga dihasilkan respon teraupetik yang optimal dengan efek merugikan
yang minimal
c. terapi obat pada psien CAP dapat dihentikan apabila telah memenuhi kriteria
berikut : pasien setidaknya mendapatkan terapi selama minimal 5 hari , bebas
demam selama 48-72 jam, dan tidak ditemukan lebih dari 1 tanda yang
menunjukkan ketidakstabilan klinik akibat CAP
d. Perubahan terapi antibiotik dari intravena ke oral dapat dilakukan apabila
pasien telah stabil secara hemodinamik, adanya perbaikan klinis, mampu
mengkonsumsi obat secara oral dan traktus gastrointestinalnya telah berfungsi
normal. Beberapa studi menunjukkan bahwa perubahan ke terapi oral yang
dilakukan lebih awal dapat memperpendek masa perawatan, dan bahkan
menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan yang diberikan terapi
intravena dalam jangka waktu lama. Apabila secara klinis pasien telah stabil,
tidak ada masalah medis lainnya dan lingkungan yang mendukung untuk
melanjutkan perawatan maka pasien dapat dipulangkan.
C. Kasus
Tn. K seorang laki-laki berusia 66 tahun, masuk rumah sakit karena mengalami
dyspnea dengan kesulitan bernafas, batuk dengan produksi sputum dan seperti orang
kebingungan. Hasil pemeriksaan fisik adalah: TD 150/90 mmHg, HR 106 x/menit,
RR 32x/menit dan T 38,5oC. Hasil pemeriksaan dada adalah menunjukkan
abnormalitas. Hasil tes laboratorium adalah sebagai berikut: Leukosit 18.100 sel/mm3
(normal 5.000 – 10.000) dengan hitung jenisnya PMNs 86 %, bands 15%, limfosit 3
% dan Hb 17.5 dan Hct sebesar 55 %. Gas darah tepi pH 7.37, PO2 55, PCO2 49.
Sinar Rotgen dada menunjukkan tanda-tanda pneumonia, sedangkan hasil pengecatan
Gram pada sputum menunjukkan adanya gram positif.

Tugas:
1. Lakukan asesmen drug-related problems pada pasien tersebut!
2. Bagaimana tatalaksana terapi kasus tersebut meliputi terapi antibakteri, terapi
suportifsimptomatik dan terapi komplikasi ?
3. Rencanakan materi KIE yang akan disampaikan kepada pasien tersebut!
4. Buat rencana monitoring dan evaluasi efektivitas terapi dan ESO untuk pasien
tersebut!
5. Ketika presentasi di lab: Lakukan simulasi komunikasi rekomendasi
penyelesaian DRP kepada dokter!

Anda mungkin juga menyukai