Disusun oleh :
Ismi Nurhayati
NIM. 2201277051
2. Etiologi
Proses terjadinya ISPA diawali dengan masuknya beberapa bakteri dari
genus streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, hemofillus, bordetella, dan
korinebakterium dan virus dari golongan mikrovirus (termasuk didalamnya
virus para influenza dan virus campak), adenoveirus, koronavirus,
pikornavirus, herpesvirus ke dalam tubuh manusia melalui partikel udara
(droplet infection). Kuman ini akan melekat pada sel epitel hidung dengan
mengikuti proses pernapasan maka kuman tersebut bisa masuk ke bronkus dan
masuk ke saluran pernapasan yang mengakibatkan demam, batuk, pilek, sakit
kepala dan sebagainya (RESTU AMALIA RAMADHANTI, 2021).
Selain bakteri dan virus ISPA juga dapat dipengaruhi oleh banyak
faktor, yaitu kondisi lingkungan (polutan udara seperti asap rokok dan asap
bahan bakar memasak, kepadatan anggota keluarga, kondisi ventilasi rumah
kelembaban, kebersihan, musim, suhu), ketersediaan dan efektifitas pelayanan
kesehatan serta langkah-langkah pencegahan infeksi untuk pencegahan
penyebaran (vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas
ruang isolasi), faktor penjamu (usia, kebiasaan merokok, kemampuan penjamu
menularkan infeksi, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang
disebabkan oleh pathogen lain, kondisi kesehatan umum) dan karakteristik
pathogen (cara penularan, daya tular, faktor virulensi misalnya gen, jumlah
atau dosis mikroba) (Risnawaty, 2016).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan darah di laboratorium.
b. Pengambilan sampel dahak untuk di periksa di laboratorium.
c. Pencitraan dengan x-ray atau CT scan untuk menilai kondisi paru paru
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat berupa
kompres hangat, perbanyak minum air putih, irigasi nasal, dan terapi
medikamentosa.
a. Terapi Non-farmakologis
Penyebab ISPA umumnya adalah virus, sehingga terapi biasanya hanya
bersifat suportif saja.
1) Perbanyak minum
Memperbanyak minum sebanyak 8 gelas atau lebih dapat
menurunkan sekresi mukosa dan menggantikan kehilangan
cairan. Selain itu, minum air putih serta jus dilaporkan dapat
meningkatkan sistem imun.
2) Kompres hangat
Lakukan kompres hangat pada daerah wajah untuk membuat
pernapasan lebih nyaman, mengurangi kongesti, dan membuat
drainase lebih baik pada rhinosinusitis. Gunakan lap hangat
atau botol berisi air hangat yang diletakkan di atas wajah dan
pipi selama 5-10 menit sebanyak 3-4 kali dalam sehari jika
diperlukan.
3) Irigasi nasal
Irigasi nasal dengan salin dapat meningkatkan kemampuan
mukosa nasal untuk melawan agen infeksius, dan berbagai
iritan. Irigasi nasal dapat meningkatkan fungsi mukosiliar
dengan meningkatkan frekuensi gerakan siliar. Irigasi nasal
dapat dilakukan dengan menggunakan larutan salin isotonik
(NaCl 0,9%) via spuit ataupun spray dengan frekuensi 2 kali
dalam sehari.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis umumnya bersifat suportif untuk
meringankan gejala. Antibiotik dan antiviral tidak selalu diperlukan
pada pasien ISPA.
1) Terapi Simptomatik
Dekongestan oral atau topikal dapat membantu mengurangi
keluhan pada pasien dengan rhinorrhea. Sebaiknya dekongestan
diberikan pada anak di atas 2 tahun karena efek sampingnya
seperti gelisah, palpitasi, dan takikardia. Dekongestan topikal
seperti fenilepinefrin atau oxymetazoline lebih banyak dipakai,
sebaiknya digunakan 3-4 hari saja untuk menghindari
efek rebound.
Antihistamin oral generasi satu dinilai memiliki efek
antikolinergik sehingga dapat digunakan untuk mengurangi
rhinorrhea dan bersin. Antihistamin yang biasanya digunakan
adalah chlorpheniramine maleate atau diphenhydramine.
Guaifenesin adalah mukolitik yang berfungsi untuk mengurangi
sekresi nasofaring. Guaifenesin dinilai dapat menurunkan
sekresi dan meningkatkan drainase pada pasien nasofaringitis
atau rinosinusitis, namun bukti klinisnya masih terbatas. Selain
itu, codeine merupakan obat yang sering digunakan pada pasien
dengan keluhan batuk. Codoine berperan sebagai antitusif yang
bekerja secara sentral. Untuk batuk berdahak pada dewasa, ada
beberapa opsi terapi yang dapat dipilih.
2) Antiviral
Pada pasien ISPA, antiviral biasanya tidak diperlukan. Antiviral
bisa dipakai pada pasien influenza yang terkonfirmasi atau jika
terjadi outbreak influenzae dimana manfaat lebih banyak
dibandingkan risiko. Antiviral diberikan pada pasien yang
berisiko tinggi mengalami perburukan gejala. Misalnya pada
pasien yang sedang hamil, bayi usia < 6 bulan, pasien usia > 65
tahun, pasien immunocompromised, dan pasien dengan morbid
obesitas. Regimen yang bisa digunakan adalah oseltamivir 2 x
75 mg hingga maksimal 10 hari.
3) Terapi Antibiotik
Kebanyakan kasus ISPA disebabkan oleh virus, sehingga
penggunaan antibiotik tidak efektif dan hanya boleh digunakan
jika terdapat kecurigaan atau konfirmasi adanya infeksi bakteri
(Muharni et al., 2014).
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat ISPA, antara lain gagal napas
karena paru-paru berhenti berfungsi, dan gagal jantung kongestif. Hal yang
perlu digarisbawahi, komplikasi ISPA yang serius bisa mengakibatkan
kerusakan permanen bahkan kematian.
Komplikasi infeksi saluran pernapasan dapat meliputi:
a. Empiema
Kondisi ini adalah kumpulan nanah di samping paru-paru, yang
disebabkan oleh infeksi bakteri. Kondisi ini dapat menyebabkan
masalah yang mengancam jiwa, seperti sepsis (bakteri dalam darah)
dan syok. Gejalanya meliputi demam, batuk, sesak napas, dan nyeri
dada.
b. Abses Paru Paru
Abses paru-paru adalah rongga berisi nanah di paru-paru yang
dikelilingi oleh jaringan yang meradang. Biasanya disebabkan oleh
infeksi berat seperti pneumonia atau TBC atau dari menghirup zat
tertentu ke dalam paru-paru dari mulut.
c. Tumor Bengkak Potts
Ini adalah komplikasi sinusitis yang jarang terjadi (sejenis infeksi
saluran pernapasan atas menyebabkan radang rongga sinus di
tengkorak). Abses terjadi di daerah dahi dengan pembengkakan frontal.
Tumor bengkak potts biasanya terlihat pada akhir masa kanak-kanak
atau remaja. Gejalanya meliputi merah, pembengkakan lembut di
tengah dahi, sakit kepala dan demam.
d. Selulitis Orbita
Selulitis orbita adalah kemungkinan komplikasi sinusitis lainnya. Ini
adalah infeksi jaringan di dalam rongga mata dan di sekitar mata.
Gejalanya meliputi nyeri, bengkak, mata merah, demam, mata
menonjol, gangguan penglihatan, dan gangguan gerakan mata (Padila
et al., 2019).
8. Pathway
Inveksi kuman
Obstruksi Ketidakefektifan
jalan nafas bersihan jalan nafas
9. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian menurut (Mathar, 2018)
1) Identitas Pasien
2) Usia
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai
anak usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda
akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih
lanjut.
3) Jenis Kelamin
Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2
tahun, dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih
tinggi daripada laki-laki di negara Denmark.
4) Alamat
Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota
keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk
ISPA. Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit
gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara
didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik
maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna
dan asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara
Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA anak.
b. Perumusan Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons pasien terhadap suatu masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang didalamnya baik berlangsung aktual maupun potensial
yang bertujuan untuk mengidentifikasi respon pasien baik individu,
keluarga ataupun komunitas, terhadap situasi yang berkaitan mengenai
kesehatan. Diagnosa yang biasanya muncul pada pasien ISPA menurut
SDKI adalah sebagai berikut :
1) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan.
2) Hipertermia b.d proses penyakit (infeksi bakteri stertococcus).
3) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
4) Ansietas b.d kurang terpaparnya informasi
c. Rencana Keperawatan dan Rasionalisasi