ASTHMA ATTACK
A. Pengertian
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang
menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala
episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam
dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma
bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas
tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian
(Ditjen PP&PL Depkes RI, 2014).
Asma adalah gangguan aliran udara intermiten dan reversibel yang hanya mempengaruhi
jalan napas, tidak sampai pada alveoli. Gangguan aliran udara terjadi dengan 2 cara yaitu inflamasi
(peradangan) dan hiperresponsif jalan napas. Inflamasi terjadi pada lumen (bagian dalam) jalan
napas. Hiperresponsif jalan napas terjadi karena konstriksi otot bronkial yang lembut yang
menyebabkan penyempitan jalan napas kearah luar. Inflamasi jalan napas dapat memicu
hiperresponsif bronkiola dan banyak orang dengan asma mempunyai masalah yang sama setiap
saat. Obstruksi jalan napas yang makin parah bisa berakibat fatal (Ignatavicius & Workman, 2010).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa asma adalah penyakit inflamasi
kronis pada saluran napas yang menyebabkan gangguan aliran udara intermiten dan reversibel
sehingga terjadi hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala
episodik berulang berupa wheezing (mengi), batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama
pada malam dan atau dini hari.
Selain faktor-faktor pemicu atau pencetus serangan asma diatas, ada juga beberapa faktor risiko
terjadinya serangan asma antara lain genetik, gender dan ras, faktor lingkungan, polusi udara dan
faktor lain. Genetik telah lama diterima secara umum bahwa ada kontribusi herediter pada
etiologi asma, pola herediter komplek dan asma tidak dapat diklasifikasikan secara sederhana
cara pewarisannya seperti autosomal dominat, resesif atau sex-linked. Namun dari studi genetik
telah menemukan multiple chromosomal region yang berisi gen-gen yang memberi kontribusi
asma. Asma pada anak lebih sering dijumpai pada anak laki-laki tetapi menjadi berlawanan pada
pubertas dan dewasa. Prevalensi secara keseluruhan wanita lebih banyak dari pria (Maranatha,
2010).
C. Patofisiologi
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari
fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk
membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada
asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi
fase sensitiasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan
berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos
bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus
yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen
dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi
seperti eosonofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci
dalam patogenesis asma (Rengganis,
2008).
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan reflex bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke
dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap dan kabut. Pada keadaan tersebut
reaksi asma terjadi melalui reflex saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepaskannya neuropeptida sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene
Related Peptide (CGRP). Neuro peptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi,
edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis,
2008).
D. Pathways Asma
E. Manifestasi Klinik
Karakteristik manifestasi klinis dari asma adalah wheezing (mengi), batuk, dyspnea,
dan dada sesak setelah terpapar oleh faktor-faktor presipitasi atau serangan tersebut. Mekanisme
yang terjadi adalah tahapan ekspirasi (mengeluarkan udara setelah bernafas) menjadi memanjang.
Secara normal rasio antara inspirasi dan ekspirasi adalah satu berbanding dua (1:2), pada saat
serangan asma bisa memanjang menjadi 1:3 atau 1:4. Normalnya bronkiola menyempit (kontriksi)
pada saat ekspirasi sehingga berakibat pada bronkospasme, edema dan adanya mukus pada
bronkiola, jalan nafas menjadi menyempit
dari keadaan normal (Lewis, et al. 2007).
Pasien dengan asma mengalami kesulitan memindahkan udara masuk dan keluar paru-paru,
yang menciptakan perasaan lemas. Walaupun demikian, selama serangan asma akut, pasien
dengan asma biasanya duduk tegak atau menggunakan otot-otot aksesori untuk bernapas dalam
upaya mendapatkan cukup udara. Semakin sulit bernapas maka perasaan pasien semakin cemas.
Pemeriksaan pada pasien selama serangan akut biasanya menunjukkan tanda hipoksemia yang
ditandai gelisah, meningkatnya kecemasan, perilaku yang tidak tepat, meningkatnya nadi dan
tekanan darah. Perkusi pada paru mengindikasikan hiperresonan dan auskultasi mengindikasikan
adanya wheezing pada saat
inspirasi dan ekspirasi (Lewis, et al. 2007).
Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk berbicara karena sesaknya
sangat hebat. Meskipun telah mengalami serangan yang berat, biasanya pasien akan sembuh
sempurna. Manifestasi lain dari asma adalah kebingungan, letargi (keadaan kesadaran yang
menurun, dimana penderita seperti tidur lelap, tetapi dapat dibangunkan sebentar kemudian segera
tertidur kembali) dan sianosis (kulit tampak kebiruan) merupakan pertanda bahwa persediaan
oksigen penderita sangat terbatas dan perlu segera dilakukan pengobatan. Kadang beberapa alveoli
(kontong udara di paru-paru) bisa pecah dan menyebabkan udara terkumpul di dalam rongga
pleura atau menyebabkan udara terkumpul di sekitar organ dada. Hal ini akan memperburuk sesak
yang dirasakan oleh pasien (Wijaya, 2010).
F. Klasifikasi Asma
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa.
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermitten Bulanan APE ≥ 80%
- Gejala <1x/minggu <2x/bulan - VEP1≥80% nilai
- Tanpa gejala diluar prediksi APE
serangan ≥80% nilai
- Serangan singkat terbaik
- Vriabiliti APE
<20%
Persisten ringan Mingguan APE ≥80%
- Gejala > tetapi >2x/bulan - VEP1≥80% nilai
<1x/hari prediksi APE
- Serangan dapat ≥80% nilai
mengganggu aktivitas terbaik
-
dan tidur Variabiliti APE
20-30%
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari 2x/bulan - VEP1 60-80%
- Serangan nilai prediksi
mengganggu APE 60-80%
aktivitas dan tidur - Variabiliti APE
- Membutuhkan >30%
bronkodilator setiap
hari
Persisten berat Kontinyu APE ≤60%
- Gejala terus menerus Sering - VEP1 ≤60% nilai
- Sering kambuh prediksi APE
- Aktivitas terbatas ≤60% nilai
terbaik
-
Variabiliti
APE>30%
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman dan Penatalaksanaan,
2014.
G. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
Menurut Lewist, et.al (2007) pengobatan Asma diarahkan terhadap gejala gejala yang timbul
saat serangan, mengendalikan penyebab spesifik dan perawatan pemeliharaan keehatan
optimal yang umum. Tujuan utama dari berbagai macam pengobatan adalah
pasien segera mengalami relaksasi bronkus. Terapi awal, yaitu:
a. Memberikan oksigen pernasal
b. Antagonis beta 2 adrenergik (salbutamol mg atau fenetoral 2,5 mg atau terbutalin 10 mg).
Inhalasi nebulisasi dan pemberian yang dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam.
Pemberian antagonis beta 2 adrenergik dapat secara subcutan atau
intravena dengan dosis salbutamol 0,25 mg dalam larutan dekstrose 5%
c. Aminophilin intravena 5-6 mg per kg, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12
dengan baik
b. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
c. Berikan posisi tidur yang nyaman (semi fowler)
d. Anjurkan untuk minum air hangat 1500-2000 ml per hari
e. Usaha agar pasien mandi air hangat setiap hari
f. Hindarkan pasien dari faktor pencetus
H. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi menurut Lewis et.all, 2007 yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai
bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang
lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai emfisema
mediastinum adalah suatu kondisi dimana 26 udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan
pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain
yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran
udara atau usus ke dalam rongga dada .
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh
adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada
berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk
menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru- paru tidak
dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida
dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari saluran
pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga
terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-
ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena
sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya
lendir.
7. Fraktur iga
I. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sundaru (2007), pemeriksaan penunjang pada asma meliputi:
1. Pemeriksaan Spirometri
Bertujuan untuk menunjukkan adanya penyempitan saluran napas, menilai beratnya
penyempitan saluran napas dan menilai hasil pengobatan.
2. Pemeriksaan rontgen
Untuk melihat adanya penyakit paru atau pecahnya alveoli (pneumothoraks).
3. Pemeriksaan tes kulit
Untuk menentukan alergen sebagai pencetus serangan asma.
4. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah yang penting adalah pada waktu serangan asma berat, yaitu analisa gas darah
(AGD) yang dapat menunjukkan berat ringannya suatu serangan asma.
5. Uji sputum
6. Uji hiperaktivitas bronkus (HRB)
Hiperresponsif bronkus hampir selalu ditemukan pada asma dan derajat berkolerasi dengan
keparahan asma.
J. Manajemen Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Asma
1. Pengkajian
a. Pengkajian primer, meliputi:
1) Airway
a) Kaji dan pertahankan jalan napas
b) Lakukan head tilt, chin lift jika perlu
c) Gunakan bantuan untuk memperbaiki jalan napas jika perlu
d) Pertimbangkan untuk di rujuk ke anesthetist untuk dilakukan intubasi jika tidak
mampu untuk menjaga jalan napas atau pasien dalam kondisi terancam
kehidupannya atau pada asthma akut berat
1. Cyanosis
2. Deviasi trachea
3. Kesimetrisan pergerakan dada
4. Retraksi dinding dada
5. Dengarkan adanya:
a. Wheezing
b. pengurangan aliran udara masuk
c. silent chest
i. Berikan nebuliser bronchodilator melalui oksigen – salbutamol 5 mg dan
ipratropium 500mcg
ii. Berikan prednisolon 40 mg per oral atau hydrocortisone 100 mg IV setiap
6 jam
iii. Lakukan thorak photo untuk mengetahui adanya pneumothorak
3) Circulation/Sirkulasi
4) Disability
Pada saat pasien stabil dapat di tanyakan riwayat dan pemeriksaan lainnya.
b. Pengkajian sekunder
1) Riwayat kesehatan, meliputi: riwayat kesehatan sekarang, dahulu, keluarga. Pasien
dengan asma biasanya mempunyai episode dispnea (bernafas pendek), rasa berat di
dada, batuk bersin, peningkatan produksi mukus. Hal yang perlu ditanyakan adalah
kapan biasanya gejala terjadi apakah menetap atau terjadi pada musim tertentu,
disebabkan aktifitas khusus atau pemaparan tertentu dan apakah gejala seringkali
pada malam hari. Pasien dengan asma alergi juga mempunyai gejala alergi seperti
rhinitis, kemerahan pada kulit (skin rash) atau pruritus. Hal yang perlu ditanyakan
apakah ada anggota lain yang mengalami asma atau masalah pernapasan dan apakah
ada kebiasaan merokok. Jika pasien perokok gunakan kesempatan untuk memberikan
pendidikan kesehatan agar berhenti merokok. Wheezing pada pasien yang tidak
merokok merupakan
gejala yang penting untuk diagnosis asma.
2) Pemeriksaan fisik head to toe
Selama episode akut, umumnya manifestasi seperti bersin dan peningkatan jumlah
pernapasan. Bila inflamasi terjadi pada asma, batuk makin meningkat. Pasien
menggunakan otot-otot pernapasan untuk membantu bernapas selama serangan.
Observasi retraksi otot pada sternum dan suprasternal serta antara tulang iga. Pada pasien
yang berdiri lama, keparahan asma ditunjukkan dengan ‘barrel chest’ (bentuk dada
seperti dada burung) disebabkan oleh udara yang terperangkap. Diameter anteroposterior
(AP)/diameter antara depan dan belakang dada) meningkat karena udara terperangkap
sehingga dada berbentuk
oval. Udara yang terperangkap tadi juga dapat meningkatkan ruang diantara tulang
iga. Selama terdengar wheezing, siklus pernapasan memanjang dan memerlukan usaha
lebih untuk bernapas. Pasien tidak dapat berbicara lebih dari 5 kata diantara waktu
bernapas. Periksa mukosa mulut dan kuku jika ada sianosis. Pulse oximetry
menunjukkan hipoksemia (tingkat oksigen yang rendah) berhubungan dengan tingkat
dispnea. Indikator lain dari hipoksemia mencakup perubahan kognitif (pengetahuan) dan
kesadaran serta takikardi.
2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
b. Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
c. Perubahan perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen
3. Intervensi Keperawatan
a. Diagnosa 1 :
Kriteria hasil: napas tidak sesak (<22x/m), sputum dapat keluar
1) Amankan pasien ke tempat yang aman
R/ lokasi yang luas memungkinkan sirkulasi udara yang lebih banyak untuk
pasien
2) Kaji tingkat kesadaran pasien
R/ dengan melihat, mendengar, dan merasakan dapat dilakukan untuk
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. (2008). Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia-Tahun 2007. ISBN : 978-979- 8270-72-7.
Katalog : Q 179.9. No. Publikasi BPPK.J 196/Lap.26. Jakarta : CV Kiat Nusa.
Bradshaw, L.(2010) Disease Focus : Occupational Asthma : How To Help The Wheezy Workers. The
British Journal of Primary Care Nursing.
Ignatavicius,D.D. & Workman, M.L. (2010). Medical Surgical Nursing : Critical Thinking For
Coolaborative Care. Sixth Edition. Volume 1. USA:Saunders Elsevier.
Lewis,S.L., Heitkemper,M.M., Dirksen, S.R., O’brien, P.G. & Bucher,L. (2007). Medical Surgical
Nursing : Assesment and Management of Clinical Problems. Sevent Edition. Volume 2. Mosby
Elsevier.
Maranatha, D.(2010). Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. (2011).
Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair – RSUD Dr Soetomo.
Rengganis, I. (2008). Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia, 58
(11), 444-453.Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSCM.
Sundaru, H. (2007). Asma : Apa dan Bagaimana Pengobatannya, Edisi V. Jakarta : Gaya Baru.
Wijaya, I., (2010). Buku Pintar Atasi Asma. Yogyakarta : Pinang Merah.