FARINGITIS AKUT
Disusun Oleh :
P1337420921185
2. ETIOLOGI
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008), Virus merupakan etiologi terbanyak
faringitis akut, terutama pada anak berusia < 3 tahun (prasekolah). Virus penyebab
penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus, dan virus parainfluenza dapat
menjadi penyebab faringitis. Virus Epstein Barr (Epstein Barr virus,EBV) dapat
menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksi mononikleosis seperti
splenomegali dan limfadenopati genelisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak,
virus Rubella, dan berbagai virus lainnya juga dapat menunjukan gejala faringitis akut.
Streptococcus ß hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak faringitis akut.
Bakteri tersebut mencakup 15 – 30 % dari penyebab faringitis akut pada anak. Pendapat
lain dikemukakan oleh Bibhat K Mandal (2006) etiologi dari faringitis akut adalah :
a. Streptococcus pygenes
b. Virus EPSTEIN-BARR (EBV)
c. Corynebacterium diphtheria.
3. PATOFISIOLOGI
Menurut Arif Mansjoer (2007) pathofisiologi dari faringitis akut adalah penularan
terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel kemudian bila epitel terkikis
maka jaringan limfoid superficial bereaksi terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian
oedem dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan
cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi,
pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning,
putih, atau abu – abu terdapat folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel dan
bercak – bercak pada dinding faring posterior atau terletak lebih ke lateral menjadi
meradang dan membengkak sehingga timbul radang pada tenggorok atau faringitis.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) patogenesis dari faringitis akut yaitu
bakteri maupun virus dapat secara langsung menginfasi mukosa faring yang kemudian
menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring
sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring uvula,
dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di
faring yang menyebabkan peradangan local, sehingga menyebabkan eritema faring,
tonsil, atau keduanya. Infeksi streptokokus ditandai dengan invasi local serta
penglepasan toksin ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus yang khusus dan
SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan secret hidung di bandingkan
dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24- 72
jam.
4. Pathway
BAKTERI MASUK
PROSES
MENGINFLASI FARINGITIS
INFLAMASI
LAPISAN EPITEL
SAKIT
LAPISAN EPITEL TENGGOROKAN
TERKIKIS
NYERI TELAN
JARINGAN
LIMFOID
SUPERFICIAL MK: NYERI AKUT
BEREAKSI
MK: RESTI NUTRISI
KURANG DARI
PEMBENDUNGAN
KEBUTUHAN
RADANG DENGAN
INFILTRASI LEUKOSIT
TERJADI DEMAM
MK: HIPERTERMI
5. Gejala Klinis
a. Nyeri atau sakit tenggorokan.
b. Gatal pada tenggorokan.
c. Sulit menelan.
d. Demam.
e. Sakit kepala.
f. Pegal linu.
g. Mual muntah.
h. Pembengkakan di leher depan.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah rutin tidak dapat membedakan etiologi viral atau bakteri pada
faringitis. Tetapi pemeriksaan ini dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding
lain, misalnya pada pasien yang dicurigai demam dengue.
b. Rapid Antigen Detection Test (RADT)
Rapid Antigen Detection Test (RADT) merupakan tes diagnostik untuk membantu
penegakan faringitis GAS. Pemeriksaan ini menilai ada tidaknya
karbohidrat Streptococcus group A pada swab tenggorok. Pemeriksaan hanya
membutuhkan waktu sebentar dengan nilai spesifisitas yang tingggi. Nilai spesifisitas
tes ini mencapai 98% dan sensitivitas 70%.
c. Apus Tenggorok
Apus tenggorok memiliki sensitivitas yang tinggi 90-99% untuk mendiagnosis
faringitis GAS. Pemeriksaan ini memerlukan 18-24 jam inkubasi pada suhu 37 C
sebelum hasil bisa didapatkan.
d. Rontgen Leher Lateral
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan gambaran anatomi jalan napas untuk menilai
gangguan jalan napas maupun epiglotitis.
e. CT Scan Jaringan Lunak Leher
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kasus abses atau infeksi leher dalam.
7. Penatalaksanaan Medis
a. Antibiotik
Pemberian antibiotik hanya diberikan pada kasus faringitis yang terbukti akibat
infeksi bakteri, misalnya pada infeksi Group A Streptococcus β-haemolyticus (GAS).
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mengeradikasi bakteri untuk mencegah
komplikasi berupa demam reumatik maupun penyakit jantung rematik. Pilihan
antibiotik yang direkomendasikan:
Amoxicillin 50 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 2-3 dosis selama 10 hari
Penicillin V
Anak : 250 mg 2-3 kali sehari selama 10 hari
Remaja dan Dewasa : 250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali sehari selama 10
hari
Pada penderita dengan riwayat alergi penicillin, pilihan antibiotik meliputi:
Cephalexin 20 mg/kg/kali, 2 kali sehari dengan dosis maksimal 500 mg/kali
selama 10 hari
Cefadroxil 30 mg/kg per hari dengan dosis maksimal 1 gram selama 10 hari
Klindamisin 7 mg/kg/kali, 3 kali sehari dengan dosis maksimal 300 mg/kali
selama 10 hari
Klaritromisin 7,5 mg/kg/kali, 2 kali sehari dengan dosis maksimal 250 mg/kali
selama 10 hari
Azithromycin 12 mg/kg per hari dengan dosis maksimal 500 mg selama 5 hari.
b. Antipiretik dan Analgesik
Pemberian paracetamol atau nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAID) dapat
dipertimbangkan untuk penanganan demam pada kasus faringitis. Dosis dewasa 325-
650 mg setiap 4-6 jam, maksimal 4000 mg sehari. Dosis anak 10-15 mg/kg/kali
maksimal 4 kali pemberian dalam sehari.
4) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya tidak diperlukan pada kasus faringitis yang
dicurigai akibat infeksi virus. Tetapi jika dicurigai ada infeksi GAS atau jika pasien
tidak respon dengan pengobatan, maka pemeriksaan penunjang dapat dilakukan.
a) Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah rutin tidak dapat membedakan etiologi viral atau bakteri
pada faringitis. Tetapi pemeriksaan ini dapat membantu menyingkirkan
diagnosis banding lain, misalnya pada pasien yang dicurigai demam dengue.
b) Rapid Antigen Detection Test (RADT)
Rapid Antigen Detection Test (RADT) merupakan tes diagnostik untuk
membantu penegakan faringitis GAS. Pemeriksaan ini menilai ada tidaknya
karbohidrat Streptococcus group A pada swab tenggorok. Pemeriksaan hanya
membutuhkan waktu sebentar dengan nilai spesifisitas yang tingggi. Nilai
spesifisitas tes ini mencapai 98% dan sensitivitas 70%.
c) Apus Tenggorok
Apus tenggorok memiliki sensitivitas yang tinggi 90-99% untuk mendiagnosis
faringitis GAS. Pemeriksaan ini memerlukan 18-24 jam inkubasi pada suhu 37
C sebelum hasil bisa didapatkan.
d) Rontgen Leher Lateral
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan gambaran anatomi jalan napas untuk
menilai gangguan jalan napas maupun epiglotitis.
e) CT Scan Jaringan Lunak Leher
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kasus abses atau infeksi leher dalam.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Peningkatan suhu tubuh berhubungandengan adanya peradangan.
2) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada tenggorokan.
c. Perencanaan Keperawatan
1) Peningkatan Suhu Tubuh
Tujuan:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x4 jam maka Peningkatan suhu
tubuh dapat teratasi dengan kriteria hasil:
a) Saturasi oksigen meningkat
b) Keluhan lelah menurun
c) Perasaan lemah menurun
Intervensi
Observasi
- Identifkasi penyebab hipertermi (mis. dehidrasi terpapar lingkungan panas
penggunaan incubator)
- Monitor suhu tubuh
- Monitor kadar elektrolit
- Monitor haluaran urine
Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang dingin
- Longgarkan atau lepaskan pakaian
- Basahi dan kipasi permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis (keringat
berlebih)
- Lakukan pendinginan eksternal (mis. selimut hipotermia atau kompres dingin
pada dahi, leher, dada, abdomen,aksila)
- Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
Edukasi
- Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan.
2) Nyeri Akut
Tujuan:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x4 jam maka nyeri berkurang
dengan kriteria hasil:
a) Berat badan membaik
b) Indeks masa tubuh membaik
c) Frekuensi makan membaik
d) Nafsu makan membaik
e) Bising usus membaik
Intervensi:
Observasi
- lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik:
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
- Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Bulecheck, Gloria M, dkk (Ed). 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th
Edition. Missouri: Elsevier.
Burns, C. E. 2004. Pediatric Primary Care. USA : Elsevier Crain, William. 2007. Teori
Perkembangan Konsep dan Aplikasi Edisi Ketiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Herdman, T. Heather (Ed). 2012. NANDA International: Nursing Diagnosis 2012-2014.
Oxford: Wiley
Ikatan Dokter Indonesia. 2008. Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta : EGC
Mandal, B.K,dkk. 2006. Penyakit Infeksi Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga
Masjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Moorhead, Sue, dkk (Ed). 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th Edition.
Missouri: Elsevier.
Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Susi, Natalia. 2003. Penanganan ISPA pada anak di Rumah Sakit Kecil Negara
Berkembang. Jakarta : EGC
Wong, Donna L. 2008. Clinical Manual of Pediatric Nursing. USA : Elsevier
Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Edisi 6. Jakarta : EGC