Anda di halaman 1dari 18

UNIVERSITAS JEMBER KODE

FAKULTAS KEPERAWATAN DOKUMEN


PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN
KAMPUS KOTA PASURUAN FORM PP-05
LEMBAR KERJA MAHASISWA
Dosen Pengampu Mata kuliah : Tim Pengajar Metodologi Penelitian
Pokok Bahasan : Tahap penyusunan Tinjauan Pustaka
Model Pembelajaran : Metode kasus

IDENTITAS MAHASISWA
Nama/NIM/Kelas Alivia Nur Fauziyah/202303102062/3B
Nama Anggota -
kelompok
Pertemuan Ke 5-7
Hari/Tanggal Rabu, 21 September 2022

BAHAN MATERI
1. Simak setiap penyajian materi yang disampaiakan dosen
2. Ambillah kembali hasil penyusunan BAB I
3. Ikuti proses diskusi keterkaitan BAB I dalam penyusunan BAB II
4. Susunlah Tinjauan Pustaka
HASIL penyusunan Bab II
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pharyngitis

2.1.1. Pengertian

Pharyngitis adalah peradangan selaput lendir orofaring. Penyebabnya bisa


bermacam-macam, seperti: bakteri, virus, alergi, trauma, kanker, refluks, dan karena
racun tertentu (N. Ahmed, Sutcliffe, & Tipper, 2013).

Faringitis adalah inflamasi atau peradangan pada faring yakni, salah satu
organ di dalam tenggorokan yang menghubungkan rongga belakang hidung dengan
bagian belakang mulut. Dalam kondisi ini tenggorokan akan terasa gatal dan sulit
menelan (Medicinenet 2017).

2.1.2. Klasifikasi

Klasifikasi faringitis menurut Kemenkes RI (2013), yaitu :

1. Faringitis akut
a. Faringitis bakterial

Infeksi Streptococcus β-hemolyticus Group A merupakan penyebab faringitis


akut pada anak-anak sebanyak 20% - 30%.

2. Faringitis Kronik

a. Faringitis kronik atrofi

Faringitis kronik atrofi timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis
atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu dan kelembabannya sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring.

3. Faringitis Spesifik

a. Faringitis luetika

Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti


penyakit lues di organ lain. Gambaran klinis tergantung dari stadium
penyakitnya.

2.1.3. Etiologi

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus


(40−60%), bakteri (5−40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain baik (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun
bakteri.Virus yaitu Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenza, Coxsackievirus, Epstein
Barr virus, Herpes virus. - Bakteri yaitu, Streptococcus ß hemolyticus group A,
Chlamydia, Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae, Neisseria
gonorrhoeae. - Jamur yaitu Candida jarang terjadi kecuali pada penderita
imunokompromis yaitu mereka dengan HIV dan AIDS, Iritasi makanan yang
merangsang sering merupakan faktor pencetus atau yang memperberat.

Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya
daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang
kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok dan seseorang yang tinggal
di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau demam (Gore, 2013).

2.1.4. Patofisiologi

Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat at secara
langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal. Kumanan
menginfiltrasi lapisan epiteltel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan
sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan
kemudianan cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.
Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan
yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan
limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring
posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak.

Pathway

2.1.5. Manifestasi klinis

Terdapat beberapa tanda gejala faringitis menurut Udin, 2019 sebagai berikut :

1. Gejala yang ditimbulkan oleh streptococus :

a. Mendadak demam

b. Malaise

c. Sakit tenggorokan

d. Nyeri menelan

e. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher

f. Sakit perut dan muntah sering terjadi

2. Gejala yang ditimbulkan oleh virus:

a. Batuk

b. Rinorrhea

c. Suara serak

d. Iritasi konjungtiva

e. Diare

2.1.6. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Biopsi
Contoh jaringan untuk pemeriksaan dapat diperoleh dari saluran pernapasan
(sekitar faring) dengan menggunakan teknik endoskopi. Jaringan tersebut akan
diperiksa dengan mikroskop untuk mengetahui adanya peradangan akibat bakteri
atau virus.

2. Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum makroskopik, mikroskopik atau bakteriologik penting dalam


diagnosis etiologi penyakit.Warna bau dan adanya darah merupakan petunjuk
yang berharga.

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Sel darah putih (SDP)

Peningkatan komponen sel darah putih dapat menunjukkan adanya infeksi


atau inflamasi.

b. Analisa Gas Darah

c. Untuk menilai fungsi pernapasan secara adekuat, perlu juga mempelajari hal-
hal diluar paru seperti distribusi gas yang diangkut oleh sistem sirkulasi.

2.1.7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut, yaitu (Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia, 2013) :

1. Medis

a. Topikal

1) 25 Obat kumur antiseptic

2) Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000−400.000 2 kali/hari.

3) Faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik


faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin 25%.

b. Oral

1) Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi virus


dengan dosis 60−100 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali pemberian/hari
pada orang dewasa dan pada anak kurang dari lima tahun diberikan 50
mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali pemberian/hari.
2) Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya Streptococcus
group A diberikan antibiotik yaitu penicillin G benzatin 50.000
U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3
kali/hari selama sepuluh hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6−10
hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan
kortikosteroid karena steroid telah menunjukkan perbaikan klinis karena
dapat menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa
deksametason 3x0,5 mg pada dewasa selama tiga hari dan pada anak-anak
0,01 mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama tiga hari.

3) Faringitis gonorea, sefalosporin generasi ke-tiga, Ceftriakson 2 gr IV/IM


single dose. - Pada faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat
diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit hidung dan sinus
paranasal harus diobati.

4) Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi. – Untuk


kasus faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik sekali sehari selama
3−5 hari.

2. Keperawatan

a. Menjaga kebersihan mulut

b. Istirahat cukup

c. Minum air putih yang cukup

d. Berkumur dengan air yang hangat

e. Kompres hangat area nyeri

f. Konseling dan Edukasi :

1) Memberitahu keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh dengan


mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.

2) Memberitahu keluarga untuk berhenti merokok.

3) Memberitahu keluarga untuk menghindari makan-makanan yang dapat


mengiritasi tenggorok.

4) Memberitahu keluarga dan pasien untuk selalu menjaga kebersihan mulut.

5) Memberitahu keluarga untuk mencuci tangan secara teratur


2.1.8. Komplikasi

Komplikasi umum pada faringitis adalah sinusitis, otitis media, epiglottitis,


mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan oleh infeksi si Streptococcus
jika tidak segera diobati dapat menyebabkan peritonsillar abses, demam reumatik
akut, toxic shock syndrome, peritonsillar selutitis, abses retrofaringeal dan obstruksi
saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring. Demam reumatik akut
dilaporkan terjadi pada satu dari 400 infeksi GABHS yang tidak diobati dengan baik
(Udin, 2019).

2.2. Konsep Nyeri

2.2.1. Pengertian

Definisi nyeri sendiri banyak versi menurut berbagai sumber namun secara
umum sama saja pengertian dan makna yang disampaikan setiap sumber. Namun,
disini penulis memaparkan definisi menurut buku PPNI (Persatuan Perawat Nasional
Indonesia) dengan definisi dan indikator diagnostik yaitu (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2017).

Nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan


dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

Nyeri merupakan pengalaman yang sangat individual dan subjektif yang


dapat mempengaruhi semua orang di semua usia. Nyeri dapat terjadi pada anak-anak
dan orang dewasa. Penyebab nyeri yaitu proses penyakit, cedera, prosedur, dan
intervensi pembedahan (Kyle, 2015).

2.2.2. Klasifikasi

Banyak system berbeda dapat digunakan untuk mengklasifikasikan nyeri,


yang paling umum nyeri diklasifikasikan berdasarkan durasi, etiologi, atau sumber
atau lokasi (Kyle, 2015).

a. Berdasarkan Durasi

1) Nyeri Akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang berkaitan dengan awitan cepat
intensitas yang bervariasi. Biasanya mengindikasikan kerusakan jaringan dan
berubah dengan penyembuhan cedera. Contoh penyebab nyeri akut yaitu
trauma, prosedur invasif, dan penyakit akut.

2) Nyeri Kronis

Nyeri kronis merupakan nyeri yang terus berlangsung melebihi waktu


penyembuhan yang diharapkan untuk cedera jaringan. Nyeri ini dapat
mengganggu pola tidur dan penampilan aktifitas anak yang menyebabkan
penurunan nafsu makan dan depresi.

b. Berdasarkan etiologi

1) Nyeri Nosiseptif

Nyeri yang diakibatkan stimulant berbahaya yang merusak jaringan


normal jika nyeri bersifat lama. Rentang nyeri nosiseptif dari nyeri tajam
atau terbakar hingga tumpul, sakit, atau menimbulkan kram dan juga
sakit dalam atau nyeri tajam yang menusuk.

2) Nyeri Neuropati

Nyeri akibat multifungsi system saraf perifer dan system saraf pusat.
Nyeri ini berlangsung terus menerus atau intermenin dari biasanya
dijelaskan seperti nyeri terbakar, kesemutan, tertembak, menekan atau
spasme.

c. Berdasarkan Lokasi

1) Nyeri Somatik

Nyeri yang terjadi pada jaringan. Nyeri somatik dibagi menjadi dua
yaitu superfisial dan profunda. Superfisial melibatkan stimulasi
nosiseptor di kulit, jaringan subkutan atau membrane mukosa,
biasanya nyeri terokalisir dengan baik sebagai sensasi tajam, tertusuk
atai terbakar. Profunda melibatkan otot, tendon dan sendi, fasia, dan
tulang. Nyeri ini terlokalisir dan biasanya dijelaskan sebagai tumpul,
nyeri atau kram.

2) Nyeri Viseral
Nyeri yang terjadi dalam organ, seperti hati, paru, saluran
gastrointestinal, pankreas, hati, kandung empedu, ginjal dan kandung
kemih. Nyeri ini biasanya dihasilkan oleh penyakit dan terlokalisir
buruk serta dijelaskan nyeri dalam dengan sensasi tajam menusuk dan
menyebar.

2.2.3. Etiologi

Penyebab yang berasal dari nyeri ini bisa dikategorikan 3 (tiga) yaitu menurut
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017) yaitu:

a. Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma).

b. Agen pencemaran kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan).

c. Agen cedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat,
prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan).

Adapun beberapa faktor lainnya yaitu faktor fisiologis, faktor psikologis, dan
faktor sosial :

a. Faktor fisiologis meliputi :

1. Kelemahan (Fatigue) ( Potter & Perry, 2010).

2. Usia (Zakiyah, 2015).

3. Gen (Andarmoyo,2013).

b. Faktor psikologis menurut Khasanah meliputi :

1. Tingkat kecemasan

2. Respon emosional

3. Persepsi nyeri

c. Faktor Sosial

1. Keluarga dan dukungan sosial

2. Tingkat pengetahuan tentang nyeri

3. Tingkat spiritual

4. Mekanisme koping

2.2.4. Mekanisme nyeri


Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan dan

pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi, transmisi,


modulasi, dan persepsi.

Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan


stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif. Ada tiga tipe serabut
saraf yang terlibat dalamproses ini, yaitu serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut
yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan
sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C.
Silent nociceptor, juga terlibat dalamproses transduksi, merupakan serabut saraf
aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator
inflamasi.

Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu


dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron
aferen primer merupakan pengirimdan penerima aktif dari sinyal elektrik dan
kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya
berhubungan dengan banyak neuron spinal.

Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa,
dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur
desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak
tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil
dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan
(blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.

Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan


hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis, dan
karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi
untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri
adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara
anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak
bermiyelin dari syaraf aferen (Anas Tamsuri, 2006).

Dari penjabaran diatas dapat ditarik benang merah yaitu mekanisme


terjadinya nyeri terjadi melalui empat proses, yaitu proses transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi. Dimulai peranan nosiseptor sebagai penerima impuls nyeri,
yang dijalarkan dari perifer ke sistem saraf pusat (SSP). Sebagaimana kelanjutan dari
nyeri yang tidak tertangani dengan baik, akan menyebabkan perubhan fisiologis, dan
psikologis pasien, sehingga terjadi efek samping terhadap organ-organ penting tubuh

2.2.5. Manifestasi klinis

Tanda dan gejala dari nyeri ini menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
dibagi menjadi gejala dan tanda yaitu mayor dan minor. Dari masing masing gejala
dan tanda mayor dan minor memiliki sub bagian yaitu dibagi subjektif dan objektif,
diantaranya adalah :

a. Mayor
1) Subjektif :
a) Mengeluh nyeri
2) Objektif:
a) Tampak meringis
b) Bersikap protektif (mis: waspada, posisi menghindari nyeri)
c) Gelisah
d) Frekuensi nadi meningkat
e) Sulit tidur
b. Minor
1) Subjektif: (Tidak tersedia)
2) Objektif:
a) Tekanan darah meningkat
b) Pola nafas berubah
c) Nafsu makan berubah
d) Proses berpikir terganggu
e) Menarik diri
f) Berfokus pada diri sendiri
g) Diaforesis
Tanda dan gejala nyeri ada bermacam-macam perilaku yang tercermin dari
pasien. Secara umum orang yang mengalami nyeri akan didapatkan respon
psikologis berupa:

a. Suara : Menangis, merintih, manarik/menghembuskan nafas

b. Ekspresi wajah

c. Menggigit lidah, mengatupkan gigi, dahi berkerut, tertutup rapat/ membuka mata
atau mulut, menggigit bibir

d. Pergerakan tubuh : kegelisahan, mondar mandir, gerakan menggosok atau


berirama, bergerak melindungi bagian tubuh, immobilisasi, otot tegang.

e. Interaksi sosial : menghindari percakapan dan kontak sosial, berfokus aktivitas


untuk mengurangi nyeri, disorientasi waktu (Mohammad, 2012).

2.2.6. Manajemen Nyeri

A. Pendekatan Farmakologi

Analgesik merupakan metode penanganan nyeri yang paling umum dan


sangat efektif. Pemberian obat analgesic, yang dilakukan guna mengganggu atau
memblokir transmisi stimulus agar terjadi perubahan persepsi dengan cara
mengurangi kortikal terhadap nyeri. Jenis analgesiknya adalah narkotik dan
bukan narkotik (Hidayat, 2014).

Ada tiga tipe angkatan analgesic (Potter & Perry, 2010), yaitu:

1) Non-opoid (asetaminofen dan obat anti inflamasi)

2) Opoid (Narkoyik)

3) Koanalgesik (variasi dari pengobatan yang meningkatkan analgesik atau


memiliki kandungan analgesic yang semula tidak diketahui).

B. Pendekatan Non-Farmakologi

a) Distraksi

Distraksi merupakan teknik nonfarmakologis yang paling umum


digunakan untuk manajemen perilaku selama tindakan. Distraksi adalah
teknik mengalihkan perhatian pasien dari hal yang dianggap sebagai prosedur
yang tidak menyenangkan. Proses distraksi melibatkan persaingan untuk
mengalihkan perhatian antara sensasi yang sangat menonjol seperti nyeri
dengan fokus yang diarahkan secara sadar pada beberapa aktivitas
pemprosesan informasi lainnya. Pengembangkan teori yang menekankan
pada fakta bahwa kapasitas manusia untuk memperhatiakan terbatas, dalam
teori ditunjukkan bahwa seorang individu harus berkonsenstrasi pada
rangsangan menyakitkan untuk merasakan rasa sakit, oleh karena itu, persepsi
rasa sakit menurun ketika perhatian seseorang terdistraksi dari stimulus
(Panda,2017).

b) Masase dan Stimulasi Kutaneus

Stimulus kutaneus merupakan stimulasi pada kulit untuk mengurangi


nyeri. Stimulus kutaneus memberikan klien rasa kontrol terhadap gejala
nyeri. Penggunaan yang tepat dari stimulus kutaneus membantu mengurangi
ketegangan otot yang meningkatkan nyeri (Potter & Perry, 2010).

Masase yaitu pijatan sangat efektif dalam memberikan relaksasi fisik


dan mental, mengurangi nyeri, dan meningkatkan keefektifan pengobatan
nyeri. Masase pada punggung, bahu, dan kaki selama 3 sampai 5 menit dapat
merelaksasikan otot dan memberikan istirahat yang tenang dan nyaman
(Potter & Perry, 2010).

c) Terapi music

Musik mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri dan membangun


respon relaksasi. Klien dapat melakukan (memainkan alat musik atau
bernyanyi) atau mendengarkan musik. Musik menghasilkan suatu keadaan
dimana klien sadar penuh melalui suara, henik,jarak, dan waktu. Klien
setidaknya perlu mendengarkan selama 15 menit agar mendapatkan efek
teraupiotik. Pengguna earphone membantu klien untuk lebih berkonsentrasi
terhadap suara musik agar tidak terganggu, dengan meningkatkan volume,
suara, sementara itu juga menghindar dari klien atau staf perawat yang lain
dirasa mengganggu (Potter & Perry, 2010).

d) GIM (Guided Imaagery Music)

Relaksasi guided imagery merupakan salah satu metode penatalaksaan


nyeri non farmakologis yang dapat digunakan oleh perawat. Hal ini bekerja
dengan mengubah persepsi kognitif dan motivasi afektif (Potter & Perry,
2010). Adanya perubahan motivasi afektif akan meningkatkan mekanisme
koping klien terhadap nyeri. Individu yang memiliki lokus kendali internal
mempersiapkan diri mereka sebagai individual yang dapat mengendalikan
lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Potter &
Perry, 2010).

e) Kompres Hangat

Kompres hangat dapat menurunkan nyeri dengan memberikan energy


panas melalui proses konduksi, dimana panas yang dihasilkan akan
menyebabkan vasodilitasi yang berhubungan pelebaran pembuluh darah
lokal. Kompres hangat dapat memberi rasa hangat untuk mengurangi nyeri
dengan adanya pelebaran pada darah yang mampu meningkatkan aliran darah
lokal dan memberikan rasa nyaman (Price, 2005). Terapi dingin
menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantara saraf
sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit (Indriyani, Hayati,
2013).

2.3. Konsep Madu

2.3.1. Pengertian

Madu sendiri yaitu substansi alam yang diproduksi oleh lebah pengumpul
nektar dari tumbuhan atau sekresi dari aphids (serangga yang mengisap tanaman)
yang dipekatkan melalui proses dehidrasi di sarang lebah. Madu memiliki komposisi
kimia yang kompleks dimana kandungannya bisa bervariasi tergantung pada sumber
tanaman yang diambilnya, wilayah geografis, musim serta pemrosesan yang
dilakukan setelah panen. Ada sekitar 320 jenis madu yang berasal dari berbagai
macam tanaman. Ada yang berwarna coklat muda hingga coklat tua. Rasa, warna dan
harum dari madu bergantung juga pada sumbernya dimana madu yang dihasilkan
lebah tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sekitar tanaman yang diambilnya seperti
suhu, musim dan perubahan iklim (Meo, Al-Asiri, Mahesar, & Ansari, 2017).

2.3.2. Jenis Madu

Madu berdasarkan sumber bunga (nektar) dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Madu monofloral

Madu monofloral berasal dari satu jenis nektar atau didominasi oleh satu
nektar, misal madu randu dan madu kelengkeng.
2) Madu multifloral

Madu multifloral adalah madu yang berasal dari berbagai jenis tanaman
sebagai contoh madu hutan dari lebah yang mendapatkan nektar dari berbagi
jenis tanaman.

Madu berdasarkan asal nektarnya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:

1) Madu Flora

Adalah madu yang dihasilkan dari nektar bunga. Yang berasal dari satu jenis
bunga disebut madu monoflora, yang berasal dari aneka ragam bunga disebut
madu polyfloral. Madu polyfloral dihasilkan dari beberapa jenis tanaman dari
nektar bunga.

2) Madu Ekstraflora

Madu Ekstraflora adalah madu yang dihasilkan dari nektar di luar bunga
seperti daun, cabang atau batang tanaman.

3) Madu Embun

Madu Embun adalah madu yang dihasilkan dai cairan hasil suksesi serangga
yang meletakkan gulanya pada tanaman, kemudian dikumpulkan oleh lebah
madu dan disimpan dalam sarang madu (Wulansari, 2018).

2.3.3. Kandungan

kandungan madu sangat bermacam-macam, madu akan terasa manis karena


madu mengandung kandungan gula yang sangat mendominasi. Monosakarida dalam
madu cukup besar. Seperti fruktosa terkandung sebanyak 38% dan glukosa 31%.
Sedangkan kandungan Disakarida dan trisakarida seperti sukrosa, maltose,
maltotriosa dan melezitosa sekitar 10%-15% (S. Ahmed et al., 2018).

Selain glukosa madu juga mengandung protein sebanyak 0,5%. Protein di


dalamnya ada yang terbentuk dalam bentuk enzim seperti amilase, α-glucosidase,
CAT dan glucose oxidase. Ada pula yang masih dalam bentuk asam amino. Ada 26
macam asam amino yang terkandung di dalam madu, diantaranya, ada proline yang
berperan besar karena merupakan 50%-85% dari total asam amino (S. Ahmed et al.,
2018).

Asam organik yang terkandung dalam madu sebesar 0,57%. Asam organik
tersebut yaitu glukonat, aspartik, butirat, sitrat, asetat, formik, fumarat, galakturonat,
glukonat, glutamat, glutarik, glioksiklik, 2-hydroxybutyric, α-hydroxyglutaric,
isocitric, α-ketoglutaric, 2-oksopentanoic, laktat, malat, malonat, metilmalonik,
propionik, piruvat, quinic, shikimic, levulinic, suksinat, tartarat, oksalat, dan asam
format. Diantara banyaknya asam organik tersebut, glukonat memiliki jumlah paling
banyak (Miguel, Antunes, & Faleiro, 2017).

Adapun juga madu mengandung vitamin dalam jumlah kecil seperti; tiamin
(B1), riboflavin (B2), asam nikotinat (B3), asam pantotenat (B5), piridoksin (B6),
biotin (B8 atau H), asam folat (B9), dan vitamin C. Kandungan mineral pada madu
sekitar 0,04%-0.2%. Diantaranya terdapat kalium (K),magnesium (Mg),
kalsium(Ca), zat besi (Fe), fosfor (P), natrium (Na), seng (Zn), dan tembaga (Cu).
Kandungan mineral yang paling banyak di madu adalah kalium. Madu juga
mengandung senyawa yang meliputi berbagai kelompok kimia, seperti monoterpen,
C13-norisoprenoid, sesquiterpenes, turunan benzene, ester, asam lemak, keton, dan
aldehida (Miguel et al., 2017).

Menurut Wikipedia, 2021 nuterisi madu murni per 100 g yaitu :

2.3.4. Perbedaan Madu murni dan Madu campuran

Berdasarkan asal pembuatan, madu terbagi atas madu alami dan madu
kemasan. Secara fisik madu kemasan memiliki kemiripan dengan madu alami tetapi
terdapat perbedaan pada kandungan nutrisi. Madu alami memiliki kandungan gula
yang tinggi berupa fruktosa 38,19%, glukosa 31%, dan sukrosa 1,31%. Kandungan
gula yang terdapat pada madu alami mengakibatkan viskositas madu alami menjadi
kental dibandingkan madu kemasan, hal ini disebabkan oleh pada proses pembuatan
madu kemasan terdapat tahap pemberian air dan campuran lainnya agar volume dari
madu kemasan menjadi lebih banyak. Selain itu, madu kemasan tidak mengandung
enzim, vitamin dan mineral seperti yang terdapat pada madu alami. Berdasarkan data
dari Asosiasi Perlebahan Indonesia (API) tahun 2005, angka konsumsi madu pada
masyarakat Indonesia antara 7.000-15.000 ton pertahun. Keadaan ini tidak diimbangi
oleh produksi madu di Indonesia yaitu sekitar 4.000-5.000 ton pertahun, sehingga
madu kemasan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap madu.
Hal ini mengakibatkan madu alami yang beredar di pasaran lebih sedikit
dibandingkan madu kemasan yaitu sekitar 10% (Wineri et al., 2014)

2.3.5. Manfaat

Dibidang kedokteran, madu mendapatkan perhatian untuk digunakan sebagai


agen antibakteri dalam perawatan ulserasi, luka, dan infeksi lain akibat luka bakar
maupun luka lainnya. Efektivitas dalam mengatasi infeksi dan mempercepat proses
penyembuhan disebabkan oleh adanya aktivitas antibakteri yang terdapat pada madu.
Aktivitas antibakteri madu terjadi karena adanya hidrogen peroksida, flavonoid, dan
konsentrasi gula hipertonik. Hidrogen peroksida dibentuk di dalam madu oleh
aktivitas enzim glucose oxide yang memperoduksi asam glukonat dan hidrogen
peroksida dari glukosa. Enzim ini akan aktif apabila madu diencerkan. Hidrogen
peroksida yang terbentuk akan terakumulasi dalam medium biakan yang akan
menginhibisi pertumbuhan bakteri (Polijog, 2020).

2.3.6. Penggunaan madu sebagai terapi komplementer

Salah satu manfaat madu adalah sebagai anti bakteri. Madu memiliki
osmolaritas tinggi, pH rendah and mengandung hydrogen peroxida (H2O2) dan
komponen non-peroxida. (Mandal & Mandal, 2011) Agen yang paling utama dalam
manfaat madu sebagai anti bakteri adalah hydrogen peroxida, yang konsentrasinya
ditentukan oleh kadar relatif glukosa oksidase, disintesis oleh lebah dan katalase
yang berasal dari serbuk sari bunga. Kebanyakan tipe madu menghasilkan H2O2
ketika diencerkan, karena aktivasi dari enzim glucose oxidase yang mengoksidasi
glukosa menjadi asam glukonat dan H2O2 , yang dengan demikian menghubungkan
aktivitas anti bakteri. (Mandal & Mandal, 2011)

Dalam sebuah penelitian, madu yang merupakan cairan manis dapat


mengobati batuk dan memiliki banyak efek yang diamati. Hipotesis menunjukkan
zat-zat manis secara alami menyebabkan air liur refleks dan produksi lendir saluran
napas yang mengarah ke efek demulen pada faring dan laring, sehingga dapat
mengurangi batuk (N. Ahmed et al., 2013).

Selain H2O2, dimana diproduksi di dalam kebanyakan madu oleh enzim


glukosa oksidase, beberapa faktor non-peroksida dapat memengaruhi aktifitas anti
bakteri dalam madu. Madu dapat mempertahankan aktivitas anti bakteri bahkan
tanpa adanaya katalase (tidak adanya enzim glukosa oksidase), dimana madu ini
dianggap sebagai "madu non-peroksida". Beberapa komponen berkontribusi dalam
aktivitas non-peroksida seperti adanya methyl syringate and methylglyoxal (Mandal
& Mandal, 2011).

Madu memiliki efek penghambatan terhadap sekitar 60 spesies bakteri. Salah


satunya bakteri penyebab Pharyngitis yaitu Streptococcus. (Eteraf-Oskouei & Najafi,
2013) Ada beberapa faktor yang memengaruhi aktivitas anti bakteri dalam madu
yaitu: kondisi geografi, cuaca dan iklim dimana sumber tumbuhan berada, proses
pemanenan dan kondisi penyimpanan. Dengan demikian, telah ditunjukkan bahwa
aktivitas anti bakteri dari madu dapat berkisar dari konsentrasi 3% hingga 50% dan
lebih tinggi. Efek bakterisida dari madu dilaporkan tergantung pada konsentrasi
madu yang digunakan dan sifat bakteri tersebut. Konsentrasi madu berdampak pada
aktivitas antibakteri; semakin tinggi konsentrasi madu, semakin besar manfaatnya
sebagai agen anti bakteri (Mandal & Mandal, 2011).

Yang berperan dalam madu sebagai agen anti bakteri adalah H2O2 , senyawa
fenolik, pH luka, pH madu, dan tekanan osmotik yang diberikan oleh madu.
Hidrogen peroksida adalah penyumbang utama aktivitas anti bakteri dari madu, dan
konsentrasi yang berbeda dari senyawa ini dalam madu yang berbeda menghasilkan
efek anti bakteri yang berbeda-beda.PH madu berkisar 3.2 dan 4.5 dimana pH
tersebut cukup rendah untuk mencegah beberapa bakteri patogen. Sifat antibakteri
madu juga berasal dari efek osmotik dari kadar gula yang tinggi dan kadar air yang
rendah, bersama dengan sifat asam asam glukonat dan sifat antiseptik H2O2 (Mandal
& Mandal, 2011).

Mekanisme dari aktivitas anti bakteri madu berbeda dengan antibiotik,


dimana antibiotic merusak dinding sel bakteri atau menghambat metabolik
intraseluler. Aktivitas anti bakteri madu bergantung pada empat faktor. Pertama,
madu mengeluarkan uap air dari lingkungan sehingga mengeringkan bakteri.
Komponen gula dalam madu juga cukup tinggi untuk menghambat pertumbuhan
bakteri. Kedua, pH madu berkisar 3,2 dan 4,5, dimana pH cukup rendah untuk
menghambat pertumbuhan kebanyakan mikroorganisme. Ketiga, Hydrogen peroxide
yang dihasilkan dari glukosa oksidase, dan hal ini adalah yang terpenting. Dan yang
terakhir, beberapa faktor fitokimia untuk aktivitas antibakteri telah diidentifikasi
dalam madu (Eteraf-Oskouei & Najafi, 2013).

Selain sebagai anti-bacterial, madu memiliki manfaat lain sebagai anti-


inflammatory. Telah diteliti bahwa madu memilikipemulihan yang lebih cepat dari
penimbunan di orofaring. Madu mengurangi prostaglandin E2 dan alpha 2 di darah
yang menghilangkan rasa sakit. Madu juga mengurangi aktivitas dari
cyclooxygenase-1 dan cyclooxygenase-2 dimana aktifitas tersebut menunjukkan efek
peradangan (Nanda et al., 2017).

Luka yang diberikan madu juga menunjukkan pengurangan dari bengkak dan
nekrosis, infiltrasi dari granular dan mononuclear cells yang lebih sedikit, kontraksi
luka yang lebih baik, peningkatan pembuatan epitel dan konsentrasi
glycosaminoglycan dan proteoglycan yang rendah. Bahkan, madu mengurangi
peradangan dan eksudasi, memberikan kesembuhan, mengurangi ukuran luka dan
menstimulasi regenerasi jaringan. Obat-obatan yang mengobati peradangan memiliki
batasan yang serius; kortikosteroid menekan pertumbuhan jaringan dan menekan
respons imun, dan obat antiinflamasi non-steroid berbahaya bagi sel, terutama perut
(Eteraf-Oskouei & Najafi, 2013).

Tetapi madu memiliki efek anti-inflammaory yang bebas dari efek samping.
Sehingga madu banyak dikonsumsi masyarakat terutama anak-anak untuk
mengurangi berbagai macam penyakit, termasuk nyeri pada batuk dan radang
tenggorokan.

Anda mungkin juga menyukai