IDENTITAS MAHASISWA
Nama/NIM/Kelas Alivia Nur Fauziyah/202303102062/3B
Nama Anggota -
kelompok
Pertemuan Ke 5-7
Hari/Tanggal Rabu, 21 September 2022
BAHAN MATERI
1. Simak setiap penyajian materi yang disampaiakan dosen
2. Ambillah kembali hasil penyusunan BAB I
3. Ikuti proses diskusi keterkaitan BAB I dalam penyusunan BAB II
4. Susunlah Tinjauan Pustaka
HASIL penyusunan Bab II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Pengertian
Faringitis adalah inflamasi atau peradangan pada faring yakni, salah satu
organ di dalam tenggorokan yang menghubungkan rongga belakang hidung dengan
bagian belakang mulut. Dalam kondisi ini tenggorokan akan terasa gatal dan sulit
menelan (Medicinenet 2017).
2.1.2. Klasifikasi
1. Faringitis akut
a. Faringitis bakterial
2. Faringitis Kronik
Faringitis kronik atrofi timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis
atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu dan kelembabannya sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring.
3. Faringitis Spesifik
a. Faringitis luetika
2.1.3. Etiologi
Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya
daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang
kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok dan seseorang yang tinggal
di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau demam (Gore, 2013).
2.1.4. Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat at secara
langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal. Kumanan
menginfiltrasi lapisan epiteltel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan
sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan
kemudianan cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.
Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan
yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan
limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring
posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak.
Pathway
Terdapat beberapa tanda gejala faringitis menurut Udin, 2019 sebagai berikut :
a. Mendadak demam
b. Malaise
c. Sakit tenggorokan
d. Nyeri menelan
a. Batuk
b. Rinorrhea
c. Suara serak
d. Iritasi konjungtiva
e. Diare
1. Pemeriksaan Biopsi
Contoh jaringan untuk pemeriksaan dapat diperoleh dari saluran pernapasan
(sekitar faring) dengan menggunakan teknik endoskopi. Jaringan tersebut akan
diperiksa dengan mikroskop untuk mengetahui adanya peradangan akibat bakteri
atau virus.
2. Pemeriksaan Sputum
3. Pemeriksaan Laboratorium
c. Untuk menilai fungsi pernapasan secara adekuat, perlu juga mempelajari hal-
hal diluar paru seperti distribusi gas yang diangkut oleh sistem sirkulasi.
2.1.7. Penatalaksanaan
1. Medis
a. Topikal
b. Oral
2. Keperawatan
b. Istirahat cukup
2.2.1. Pengertian
Definisi nyeri sendiri banyak versi menurut berbagai sumber namun secara
umum sama saja pengertian dan makna yang disampaikan setiap sumber. Namun,
disini penulis memaparkan definisi menurut buku PPNI (Persatuan Perawat Nasional
Indonesia) dengan definisi dan indikator diagnostik yaitu (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2017).
2.2.2. Klasifikasi
a. Berdasarkan Durasi
1) Nyeri Akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang berkaitan dengan awitan cepat
intensitas yang bervariasi. Biasanya mengindikasikan kerusakan jaringan dan
berubah dengan penyembuhan cedera. Contoh penyebab nyeri akut yaitu
trauma, prosedur invasif, dan penyakit akut.
2) Nyeri Kronis
b. Berdasarkan etiologi
1) Nyeri Nosiseptif
2) Nyeri Neuropati
Nyeri akibat multifungsi system saraf perifer dan system saraf pusat.
Nyeri ini berlangsung terus menerus atau intermenin dari biasanya
dijelaskan seperti nyeri terbakar, kesemutan, tertembak, menekan atau
spasme.
c. Berdasarkan Lokasi
1) Nyeri Somatik
Nyeri yang terjadi pada jaringan. Nyeri somatik dibagi menjadi dua
yaitu superfisial dan profunda. Superfisial melibatkan stimulasi
nosiseptor di kulit, jaringan subkutan atau membrane mukosa,
biasanya nyeri terokalisir dengan baik sebagai sensasi tajam, tertusuk
atai terbakar. Profunda melibatkan otot, tendon dan sendi, fasia, dan
tulang. Nyeri ini terlokalisir dan biasanya dijelaskan sebagai tumpul,
nyeri atau kram.
2) Nyeri Viseral
Nyeri yang terjadi dalam organ, seperti hati, paru, saluran
gastrointestinal, pankreas, hati, kandung empedu, ginjal dan kandung
kemih. Nyeri ini biasanya dihasilkan oleh penyakit dan terlokalisir
buruk serta dijelaskan nyeri dalam dengan sensasi tajam menusuk dan
menyebar.
2.2.3. Etiologi
Penyebab yang berasal dari nyeri ini bisa dikategorikan 3 (tiga) yaitu menurut
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017) yaitu:
c. Agen cedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat,
prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan).
Adapun beberapa faktor lainnya yaitu faktor fisiologis, faktor psikologis, dan
faktor sosial :
3. Gen (Andarmoyo,2013).
1. Tingkat kecemasan
2. Respon emosional
3. Persepsi nyeri
c. Faktor Sosial
3. Tingkat spiritual
4. Mekanisme koping
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa,
dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur
desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak
tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil
dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan
(blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.
Tanda dan gejala dari nyeri ini menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
dibagi menjadi gejala dan tanda yaitu mayor dan minor. Dari masing masing gejala
dan tanda mayor dan minor memiliki sub bagian yaitu dibagi subjektif dan objektif,
diantaranya adalah :
a. Mayor
1) Subjektif :
a) Mengeluh nyeri
2) Objektif:
a) Tampak meringis
b) Bersikap protektif (mis: waspada, posisi menghindari nyeri)
c) Gelisah
d) Frekuensi nadi meningkat
e) Sulit tidur
b. Minor
1) Subjektif: (Tidak tersedia)
2) Objektif:
a) Tekanan darah meningkat
b) Pola nafas berubah
c) Nafsu makan berubah
d) Proses berpikir terganggu
e) Menarik diri
f) Berfokus pada diri sendiri
g) Diaforesis
Tanda dan gejala nyeri ada bermacam-macam perilaku yang tercermin dari
pasien. Secara umum orang yang mengalami nyeri akan didapatkan respon
psikologis berupa:
b. Ekspresi wajah
c. Menggigit lidah, mengatupkan gigi, dahi berkerut, tertutup rapat/ membuka mata
atau mulut, menggigit bibir
A. Pendekatan Farmakologi
Ada tiga tipe angkatan analgesic (Potter & Perry, 2010), yaitu:
2) Opoid (Narkoyik)
B. Pendekatan Non-Farmakologi
a) Distraksi
c) Terapi music
e) Kompres Hangat
2.3.1. Pengertian
Madu sendiri yaitu substansi alam yang diproduksi oleh lebah pengumpul
nektar dari tumbuhan atau sekresi dari aphids (serangga yang mengisap tanaman)
yang dipekatkan melalui proses dehidrasi di sarang lebah. Madu memiliki komposisi
kimia yang kompleks dimana kandungannya bisa bervariasi tergantung pada sumber
tanaman yang diambilnya, wilayah geografis, musim serta pemrosesan yang
dilakukan setelah panen. Ada sekitar 320 jenis madu yang berasal dari berbagai
macam tanaman. Ada yang berwarna coklat muda hingga coklat tua. Rasa, warna dan
harum dari madu bergantung juga pada sumbernya dimana madu yang dihasilkan
lebah tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sekitar tanaman yang diambilnya seperti
suhu, musim dan perubahan iklim (Meo, Al-Asiri, Mahesar, & Ansari, 2017).
1) Madu monofloral
Madu monofloral berasal dari satu jenis nektar atau didominasi oleh satu
nektar, misal madu randu dan madu kelengkeng.
2) Madu multifloral
Madu multifloral adalah madu yang berasal dari berbagai jenis tanaman
sebagai contoh madu hutan dari lebah yang mendapatkan nektar dari berbagi
jenis tanaman.
1) Madu Flora
Adalah madu yang dihasilkan dari nektar bunga. Yang berasal dari satu jenis
bunga disebut madu monoflora, yang berasal dari aneka ragam bunga disebut
madu polyfloral. Madu polyfloral dihasilkan dari beberapa jenis tanaman dari
nektar bunga.
2) Madu Ekstraflora
Madu Ekstraflora adalah madu yang dihasilkan dari nektar di luar bunga
seperti daun, cabang atau batang tanaman.
3) Madu Embun
Madu Embun adalah madu yang dihasilkan dai cairan hasil suksesi serangga
yang meletakkan gulanya pada tanaman, kemudian dikumpulkan oleh lebah
madu dan disimpan dalam sarang madu (Wulansari, 2018).
2.3.3. Kandungan
Asam organik yang terkandung dalam madu sebesar 0,57%. Asam organik
tersebut yaitu glukonat, aspartik, butirat, sitrat, asetat, formik, fumarat, galakturonat,
glukonat, glutamat, glutarik, glioksiklik, 2-hydroxybutyric, α-hydroxyglutaric,
isocitric, α-ketoglutaric, 2-oksopentanoic, laktat, malat, malonat, metilmalonik,
propionik, piruvat, quinic, shikimic, levulinic, suksinat, tartarat, oksalat, dan asam
format. Diantara banyaknya asam organik tersebut, glukonat memiliki jumlah paling
banyak (Miguel, Antunes, & Faleiro, 2017).
Adapun juga madu mengandung vitamin dalam jumlah kecil seperti; tiamin
(B1), riboflavin (B2), asam nikotinat (B3), asam pantotenat (B5), piridoksin (B6),
biotin (B8 atau H), asam folat (B9), dan vitamin C. Kandungan mineral pada madu
sekitar 0,04%-0.2%. Diantaranya terdapat kalium (K),magnesium (Mg),
kalsium(Ca), zat besi (Fe), fosfor (P), natrium (Na), seng (Zn), dan tembaga (Cu).
Kandungan mineral yang paling banyak di madu adalah kalium. Madu juga
mengandung senyawa yang meliputi berbagai kelompok kimia, seperti monoterpen,
C13-norisoprenoid, sesquiterpenes, turunan benzene, ester, asam lemak, keton, dan
aldehida (Miguel et al., 2017).
Berdasarkan asal pembuatan, madu terbagi atas madu alami dan madu
kemasan. Secara fisik madu kemasan memiliki kemiripan dengan madu alami tetapi
terdapat perbedaan pada kandungan nutrisi. Madu alami memiliki kandungan gula
yang tinggi berupa fruktosa 38,19%, glukosa 31%, dan sukrosa 1,31%. Kandungan
gula yang terdapat pada madu alami mengakibatkan viskositas madu alami menjadi
kental dibandingkan madu kemasan, hal ini disebabkan oleh pada proses pembuatan
madu kemasan terdapat tahap pemberian air dan campuran lainnya agar volume dari
madu kemasan menjadi lebih banyak. Selain itu, madu kemasan tidak mengandung
enzim, vitamin dan mineral seperti yang terdapat pada madu alami. Berdasarkan data
dari Asosiasi Perlebahan Indonesia (API) tahun 2005, angka konsumsi madu pada
masyarakat Indonesia antara 7.000-15.000 ton pertahun. Keadaan ini tidak diimbangi
oleh produksi madu di Indonesia yaitu sekitar 4.000-5.000 ton pertahun, sehingga
madu kemasan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap madu.
Hal ini mengakibatkan madu alami yang beredar di pasaran lebih sedikit
dibandingkan madu kemasan yaitu sekitar 10% (Wineri et al., 2014)
2.3.5. Manfaat
Salah satu manfaat madu adalah sebagai anti bakteri. Madu memiliki
osmolaritas tinggi, pH rendah and mengandung hydrogen peroxida (H2O2) dan
komponen non-peroxida. (Mandal & Mandal, 2011) Agen yang paling utama dalam
manfaat madu sebagai anti bakteri adalah hydrogen peroxida, yang konsentrasinya
ditentukan oleh kadar relatif glukosa oksidase, disintesis oleh lebah dan katalase
yang berasal dari serbuk sari bunga. Kebanyakan tipe madu menghasilkan H2O2
ketika diencerkan, karena aktivasi dari enzim glucose oxidase yang mengoksidasi
glukosa menjadi asam glukonat dan H2O2 , yang dengan demikian menghubungkan
aktivitas anti bakteri. (Mandal & Mandal, 2011)
Yang berperan dalam madu sebagai agen anti bakteri adalah H2O2 , senyawa
fenolik, pH luka, pH madu, dan tekanan osmotik yang diberikan oleh madu.
Hidrogen peroksida adalah penyumbang utama aktivitas anti bakteri dari madu, dan
konsentrasi yang berbeda dari senyawa ini dalam madu yang berbeda menghasilkan
efek anti bakteri yang berbeda-beda.PH madu berkisar 3.2 dan 4.5 dimana pH
tersebut cukup rendah untuk mencegah beberapa bakteri patogen. Sifat antibakteri
madu juga berasal dari efek osmotik dari kadar gula yang tinggi dan kadar air yang
rendah, bersama dengan sifat asam asam glukonat dan sifat antiseptik H2O2 (Mandal
& Mandal, 2011).
Luka yang diberikan madu juga menunjukkan pengurangan dari bengkak dan
nekrosis, infiltrasi dari granular dan mononuclear cells yang lebih sedikit, kontraksi
luka yang lebih baik, peningkatan pembuatan epitel dan konsentrasi
glycosaminoglycan dan proteoglycan yang rendah. Bahkan, madu mengurangi
peradangan dan eksudasi, memberikan kesembuhan, mengurangi ukuran luka dan
menstimulasi regenerasi jaringan. Obat-obatan yang mengobati peradangan memiliki
batasan yang serius; kortikosteroid menekan pertumbuhan jaringan dan menekan
respons imun, dan obat antiinflamasi non-steroid berbahaya bagi sel, terutama perut
(Eteraf-Oskouei & Najafi, 2013).
Tetapi madu memiliki efek anti-inflammaory yang bebas dari efek samping.
Sehingga madu banyak dikonsumsi masyarakat terutama anak-anak untuk
mengurangi berbagai macam penyakit, termasuk nyeri pada batuk dan radang
tenggorokan.