Anda di halaman 1dari 37

Inflamasi Sistem Pernafasan

“ FARINGITIS “

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah I

Dosen Pembimbing : Rita Dwi Hartanti, M. Kep., Ns., sp. Kep. M. B

Disusun Oleh :

Nama : Dewi Kurniati Soraya (17.1306.S)

Kiki Alfiatur Rohmaniah (17.1333.S)

Kelas : 2C

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

PEKAJANGAN-PEKALONGAN

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) mengakibatkan kematian pada


anak dalam jumlah kecil, tetapi menyebabkan kecacatan. Di Negara berkembang,
faringitis streptokokus dapat diikuti dengan demam rematik akut masih dapat di
cegah. Walaupun kelompok usia utama yang diperhatikan untuk deteksi dan
pengobatan faringitis karena streptokokus untuk mencegah rematik akut (dan penyakit
jantung rematik kronis) adalah 5-15 tahun, penanganan klinis yang sama juga sesuai
untuk anak yang lebih muda karena karena kasus demam rematik dapat juga
menyerang pada kelompok usia ini.
Faringitis adalah inflamasi pada faring yang menyebabkan sakit tenggorok
(Medical ensiklopedi). Faringitis akut merupakan salah satu penyakit tersering pada
anak-anak yang berkunjung ke dokter umum. Di Amerika, per tahun lebih dari 10 juta
pasien yang terdiagnosa sebagai faringitis akut. Faringitis lebih sering terjadi pada
anak-anak. Insidensi puncak faringitis adlah pada usia sekolah antara umur 4-7 tahun.
Faringitis, terutama infeksi Group A β-Hemolyticus Steptococcus (GABHS), jarang
pada anak kurang dari 3 tahun (Bailey, 2006)
Faringitis akut terjadi karena adanya inflamasi pada tenggorokan yang
menyebabkan nyeri pada tenggorokan. Faringitis akut merupakan penyakit tersering
yang diderita pada anak – anak. Di Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Surakarta, pada
tahun 2011 anak yang menderita faringitis akut sebanyak 190 orang. Sedangkan pada
tahun 2012 sampai bulan april di bangsal Mina Rumah Sakit Pku Muhammadiyah
Surakarta, diketahui anak yang menderita penyakit faringitis akut sebanyak 74 orang.
Dari data tersebut menunjukan banyaknya anak – anak yang menderita faringitis akut
di atas usia 3 tahun.
B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Penyusunan makalah ini untuk mendapatkan pengalaman dalam menerapkan
asuhan keperawatan gangguan sistem pernafasan : faringitis akut.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat menegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan kondisi pasien
faringitis akut.

b. Dapat menentukan intervensi keperawatan yang sesuai dengan diagnosa


pasien faringitis akut.

c. Dapat melakukan implementasi keperawatan secara langsung pada pasien


faringitis akut.
BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Pengertian

Faringitis akut adalah radang akut pada mukosa faring dan jaringan limfoid
pada dinding faring (Rospa, 2011). Menurut Vincent (2004) Faringitis akut adalah
infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh adanya
nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran limfonodi leher
dan malaise. Pendapat lain di kemukakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008).
Faringitis merupakan peradangan akut membrane mukosa faring dan struktur
lain di sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil,
jarang terjadi hanya infeksi local faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian
faringitis secara luas mencakup tonsillitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Faringitis akut
adalah suatu peradangan akut yang menyerang tenggorokan atau faring yang
disebabkan oleh virus atau bakteri tertentu yang di tandai dengan nyeri tenggorokan.

2. Etiologi

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) Virus merupakan etiologi


terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia < 3 tahun (prasekolah). Virus
penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus, dan virus parainfluenza
dapat menjadi penyebab faringitis. Virus Epstein Barr (Epstein Barr virus,EBV) dapat
menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksi mononikleosis seperti
splenomegali dan limfadenopati genelisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus
campak, virus Rubella, dan berbagai virus lainnya juga dapat menunjukan gejala
faringitis akut. Streptococcus ß hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab
terbanyak faringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15 – 30 % dari penyebab
faringitis akut pada anak.
3. Manifestasi Klinis

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) Faringitis streptokokus sangat


mungkin jika di jumpai tanda dan gejala berikut:

a. Awitan akut, disertai mual dan muntah

b. Faring hiperemis

c. Demam

d. Nyeri tenggorokan

e. Tonsil bengkak dengan eksudasi

f. Kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri

g. Uvula bengkak dan merah

h. Ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder

i. Ruam skarlantina

j. Petikie palatum mole

Menurut Wong (2010) manifestasi klinik dari faringitis akut :

a. Demam (mencapai 40°C)

b. Sakit kepala

c. Anorexia

d. Mual, muntah

e. Faring edema atau bengkak


4. Pathofisiologi

Menurut Arif Mansjoer (2007) pathofisiologi dari faringitis akut adalah penularan
terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel kemudian bila epitel terkikis
maka jaringan limfoid superficial bereaksi terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian oedem dan
sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan cenderung
menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah
dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih, atau abu –
abu terdapat folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel dan bercak – bercak
pada dinding faring posterior atau terletak lebih ke lateral menjadi meradang dan
membengkak sehingga timbul radang pada tenggorok atau faringitis.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) patogenesis dari faringitis akut
yaitu bakteri maupun virus dapat secara langsung menginfasi mukosa faring yang
kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi
mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan
nasofaring uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari
agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan local, sehingga menyebabkan
eritema faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptokokus ditandai dengan invasi local
serta penglepasan toksin ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus yang khusus dan
SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan secret hidung di bandingkan
dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72
jam.
5. Pathways

FARINGITIS

INFLAMASI

DEMAM EDEMA MUKOSA MUKOSA KEMERAHAN BATUK

PENGUAP NAFSU MAKAN TURUN KESULITAN MENELAN SPUTUM

RESTI DIVISIT
GANGGUAN NYERI BERSIHAN JALAN
VOLUME CAIRAN NUTRISI NAFAS TIDAK
EFEKTIF

DROPLET RESTI PENULARAN

KURANG
PENGETAHUAN

Sumber : Arif Mansjoer, 2007; Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008; Modifikasi
6. Komplikasi

Menurut Kazzi (2006) Biasanya faringitis dapat sembuh sendiri. Namun jika
faringitis ini berlangsung lebih dari 1 minggu, masih terdapat demam, pembesaran
nodus limfa, atau muncul bintik kemerahan. Hal tersebut berarti dapat terjadi
komplikasi dari faringitis, seperti demam reumatik. Beberapa komplikasi faringitis
akut yang lain adalah :
a. Demam scarlet, yang di tandai dengan demam dan bintik kemerahan.

b. Demam reumatik, yang dapat menyebabkan inflamasi sendi, atau kerusakan


pada katup jantung. Demam reumatik merupakan komplikasi yang paling
sering terjadi pada faringitis akut.

c. Glomerulonefritis, komplikasi berupa glomerulonefritis akut merupakan


respon inflamasi terhadap protein M spesifik. Komplek antigen- antibody yang
terbentuk berakumulasi pada glomerulus ginjal yang akhirnya menyebabkan
glomerulonefritis ini.

d. Abses peritonsilar biasanya disertai dengan nyeri faringeal, disfagia, demam


dan dehidrasi.

7. Penatalaksanaan

Menurut Wong (2009) penatalaksanaan terapeutik dari faringitis akut jika


terjadi infeksi tenggorokan akibat streptococcus, penisilin oral dapat diberikan dengan
dosis yang cukup untuk mengendalikan manifestasi local akut. Penisillin memang
tidak mencegah perkembangan glomerunefritis akut pada anak-anak yang rentan
namun dapat mencegah penyebab strein nefrogenik dari streptococcus hemolitik ß
grup A ke anggota keluarga lainnya. Antibiotic lain yang di gunakan untuk mengobati
streptococcus hemolitik ß grup A adalah eritromisin, azitromisin, klaritromisin,
sefalosporin seperti sefdinir (omnicef) dan amoksisilin.
Pendapat lain dikemukakan oleh Natalia (2003) jika diduga faringitis
streptokokus (biasanya pada anak usia 3 tahun atau lebih), berikan Benzatin penisilin
(suntikan tunggal) 600.000 unit untuk anak usia di bawah 5 tahun, 1.200.000 unit
untuk usia 5 tahun atau lebih. Ampisilin atau amoksisilin selama 10 hari atau penisilin
V (fenoksimetilpenisilin) 2-4 kali sehari selama 10 hari. Kortrimolsasol tidak
direkomendasikan untuk nyeri tenggorok yang disebabkan oleh streptokokus karena
tidak efektif, jika penisilin V digunakan berikan 125mg dua kali sehari selama 10
hari.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN “ FARINGITIS ”

1. Pengkajian

a. Data Dasar

b. Riwayat Kesehatan

c. Pemeriksaan Fisik

2. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi ditandai dengan rubor, dolor, kalor, tumor,
fungsiolaesa pada mukosa
 Tujuan : Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan dan
kolaboratif untuk pemberian analgetik
 Intervensi Keperawatan:

a. Kaji lokasi,intensitas dan karakteristik nyeri


b. Identifikasi adanya tanda-tanda radang
c. Monitor aktivitas yang dapat meningkatkan nyeri
d. Kompres es di sekitar leher
e. Kolaborasi untuk pemberian analgetik
 Rasional
a. Untuk mengetahui letak, dan skala nyeri
b. Untuk mengetahui adanya radang
c. Untuk mengetahui aktivitas klien yang dapat menimbulkan nyeri
d. Agar nyeri klien berkurang
e. Agar nyeri klien berkurang

2. Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan intake yang kurang
sekunder dengan kesulitan menelan ditandai dengan penurunan berat badan,
pemasukan makanan berkurang, nafsu makan kurang, sulit untuk menelan, HB kurang
dari normal
 Tujuan: gangguan pemenuhan nutrisi teratasi setelah dilakukan asuhan
keperawatan yang efektif.
 Intervensi Keperawatan :

a. Monitor balance intake dengan output


b. Timbang berat badan tiap hari
c. Berikan makanan cair / lunak
d. Beri makan sedikit tapi sering
e. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian obat nafsu makan
 Rasional
a. Untuk mengetahui balance intake dengan output
b. Untuk mengetahui perkembangan berat badan klien
c. Agar nutrisi klien terpenuhi
d. Agar nutrisi klien terpenuhi
e. Agar nafsu makan klien meningkat

3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret yang kental ditandai
dengan kesulitan dalam bernafas, batuk terdapat kumpulan sputum, ditemukan suara
nafas tambahan
 Tujuan: bersihan jalan nafas efektif ditujukkan dengan tidak ada sekret yang
berlebihan
 Intervensi Keperawatan :

a. Identifikasi kualitas atau kedalaman nafas klien


b. Monitor suara nafas tambahan
c. Anjurkan untuk minum air hangat
d. Ajari pasien untuk batuk efektif
 Rasional
a. Untuk mengetahui frekuensi pernapasan klien
b. Untuk mengetahui apakah ada bunyi nafas tambahan
c. Untuk memudahkan sekret keluar
d. Untuk memudahkan pengeluaran sekret
4. Perubahan suhu tubuh berhubungan dengan dehidrasi, inflamasi ditandai dengan suhu
tubuh lebih dari normal, pasien gelisah, demam
 Tujuan: Suhu tubuh dalam batas normal, adanya kondisi dehidrasi, inflamasi
teratasi
 Intervensi keperawatan

a. Monitor temperatur tubuh secara teratur


b. Identifikasi adanya dehidrasi
c. Kompres es disekitar leher
 Rasional
a. Untuk mengetahui status perkembangan suhu tubuh klien
b. Untuk mengetahui apakah klien mengalami dehidrasi
c. Untuk menurunkan suhu tubuh
BAB IV

PEMBAHASAN JURNAL

Sakit tenggorakan atau faingitis adalah penyakit yang biasa disebabkan oleh virus
dan bakteri. Biasanya penyakit ini di derita oleh semua kalangan umur mulai dari anak-
anak hingga orang dewasa, namun penyakit faringitis ini lebih sering mejangkit ke anak-
anak karena pola makan anak-anak yag masih sembarangan untuk memilih makanan dan
tidak memandang kebersihan makanan yang dikonsumsi sehingga bakteri dan virus
dengan mudahmenyerangnya.Adapun tanda dan gejala faringitis ini yaitu tenggorokan
terasa sakit, terdapat bercak merah pada tenggorokan dan biasanya anak mengeluhkan
sakit saat menelan. Menurut Sari dkk (2014). Faringitis akut adalah manifestasi klinis
terbanyak infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dimana istilah faringitis dipakai untuk
menunjukkan adanya peradangan pada mukosa dan submukosa faring dan struktur lain di
sekitarnya yaitu orofaring, nasofaring, hipofaring, tonsil dan adenoid.
Menurut, Negel dan Gurkov (2012) penyakit faringitis biasanya berhubungan
dengan infeksi virus di tenggorokan dan jarang terjadi super infeksi oleh bakteri
(terutama strepcoccus). Nagel dan Gurkov juga mengatakan gambaran klinis dari
faringitis yaitu pasien mengalami gatal ditenggorokan, gangguan menelan, danbatuk.
Selain itu deretan organ limfoepitelia lateral didinding faring posterior meradang, bias
anya pada infeksi bakteri menimbulkan demam dan rasa tidak nyamn secara umum. Pada
infeksi, mukosa tampak kemerahan dan membengkak. Bila jaringan limfoepitelial
terkena, organ lateral tersebut menebal dan memerah sehingga kelenjar getah bening
membengkak.
Bakteri dan virus merupakan penyebab dari faringitis dan virus merupaka menjadi
penyebab terbanyak, seperti : virus epstein barr, inveksi virus campak, cytomegalovirus
(CMV), virus Rubella dan virus penyebab penyakit repsiratoriseperti adenovirus,
rhinovirus, dan virus parainfluensa. Sedangkan bakteri yang menyebabkan faringitis
seperti : streptokokus group A, streptokokus group C dan G, Neisseria gonorehoeae,
Arcanobakterium dhipteria, Yersinia pestis dan Francisella tularensis(NIC - NOC, 2015).
Jika nyeri tenggorokan atau faringitis ini tidak segera diobati dapat menimbulkan
banyak komplikasi seperti peritonsil abses, ruang faringitis abses, limfadenitis, sinusitis,
dan otitis. Komplikasi-komplikasi tersebut dapat memperparah keadaan pasien dan
menyababkan gangguan rasa nyaman pada pasien semakin parah sehingga aktifitas
sehari-hari pun dapat tergangngu jika komplikasi tersebut tidak segeradi cegah. Abses
peritonsil memiliki angka kejadian yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan
komplikasi yang fatal, seperti dapat meluas daerah parafaring, daerah intrakranial dan
bila abses tersebut pecah spontan bisa terjadi perdarahan serta terjadinya mediastinitis
yang dapat menimbulkan kematian ( Agus & Eka,2013). Komplikasi yang biasa muncul
pada faringitis yaitu peritonsilitis abses, (quinsy), ruang faring abses, limfadenitis,
sinusitis, otitis media mastoiditis dan infeksi invasif misalnya, nekrotizing faskiitis dan
toxik shock syndrome dengan GAS. Pada orang dewasa yang lebih tua tanda-tanda dan
gejala dari ruang abses peritonsillar atau parapharingeal mungkin jarang terjadi, dan
penyakit tampaknya lebih umum pada mereka dengan kondisiimmunocompromising.
Demam akut rematik dan glomerulonefritis akut berpotensi untuk terjadi komplikasi non
supuratif faringitis yang disebabkan oleh penyakit GAS (Mustafa dkk, 2015).
Jika nyeri faringitis tidak segera ditangani maka akan menimbulkan gangguan
menelan, karena ketika menelan pasien merasakan nyeri. Gangguan menelan ini juga
sering disebut disfagia. Menurut Pandaleke dkk, 2014 disfagia berasal dari kata Yunani
yaitu dys yang berarti sulit dan phagein yang artinya memakan. Disfagia memiliki
beberapa difinisi tetapi yang sering digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan
makanan dari mulut kelambung Ketika hal ini dibiarkan terus-menerus akan
mengakibatkan makanan tidak bisa masuk kedalam sistem pencernaan dan nutrisi yang
dibutuhkan bagi tubuh tidak bisa tercukupi. Keadan ini sudah terjadi pada pasien yang
mengalami malas untuk makan dan berkurangnya porsi makannya. Biasanya pasien
menghabiskan porsi makannya namun ketika sakit pasien tidak menghabiskan porsi
makannya dan hanya makan 3 - 4 sendok. Pasien memiliki berat badan 24 kg namun
Dengan rumus IMT 2n+8 berat ideal pasien seharusnya (2x9) + 8 = 26kg. ketidak
idealnya berat badan pasien dikarenakan asupan makanan yang kurang.
Keluhan nyeri tenggorok dirasakan oleh 54 subyek (100%) sedangkan keluhan
demam atau riwayat demam terdapat pada 40 subyek (74,1%). Keluhan batuk ditemukan
sebanyak 13 subyek (24,1%) sedangkan yang tidak batuk 41 subyek (75,9%). Keluhan
sakit kepala pada subyek sebanyak 35 (64,8%). Tidak ditemukan gejala konjungtivitis
pada semua subyek (0%). Coryza dikeluhkan pada 7 subyek (13%). Keluhan malaise dan
mialgia ditemukan pada subyek sebanyak 13 (24,1%) dan 15 (27,8%) (Sari dkk, 2014).
Disini penulis ingin mengupayakan penanganan nyeri akut pada tenggorokan yang
dirasakan oleh pasien. Nyeria adalah gangguan rasa nyaman yang tidak menyenangkan
karena jaringan yang rusak yang disebabkan oleh gangguan fisik maupun gangguan
biologis pada tubuh. Menurut Federation of State Medical Boards of United States, nyeri
akut adalah respon fisiologis normal yang diramalkan terhadap rangsangan kimiawi,
panas, atau mekanik menusul suatu pembelahan, trauma dan penyakit akut. Ciri penyakit
akut adalah nyeri yang diakibatkan kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang
seirama dengan proses penyembuhan, terjadi dalam waktu singkat dari 1 detik sampai
kurang dari 6 bulan. Mekanisme nyeri dimulai dari rangsangan(mekanik, termal atau
Kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di hampir setiap jaringan tubuh,
Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk impuls yang di hantarkan ke pusat nyeri di
korteks otak. Setelah di proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer dalam
bentuk persepsi nyeri (zakiyah, 2015). Pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau
digambarkan dalam hal kerusakan demikian rupa (International Association for the Study
of Pain); awitan yang tiba-tiba lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir
yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung <6 bulan (Herdman, 2012).
Dalam pengajian nyeri ada beberapa hal yang harus dikaji secara teliti untuk
mengetahui seberapa parah intensitas yang di alami oleh paseien yaitu Provokes/palliates
(penyebab nyeri), Quality (kualitas/rasa nyeri: ditusuk, teriris, terbakar atau direma)
Region (area nyeri), Scale (sekala) dan Time (waktu). Pengkajian nyeri menurut Powel et
al (2010) dan Krohn (2002) terdiri dari precipitating (memperberat dan meringankan),
quality, region/radiasi (area nyeri), scale (skala) dan timing (waktu). Pengkajian skala
nyeri merupakan pengkajian untuk menentukan keparahan atau intensitas nyeri yang
dirasakan pasien. Saat melakukan pengkajian nyeri pada pasien didapatkan penyebab
nyeri adalah terdaat radang ditenggorokan, nyeri terasa perih, nyeri terjadi pada
tenggorokan, sekala 4 dan nyeri terjadi pada saat batuk dan menelan.
Penilaian sekala nyeri dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu penilaian dengan
menggunakan Visual Analogue Scale, Numeric Pain Rating Scale, Verbal Rating Scale
dan Faces Pain Rating Scale. Disini penulis menggukur skala nyeri dengan
menggunakan Numeric Pain Rating Scale atau penilaian menggunakan sekala nomor.
Untuk penilaian nomor 0 menandakan tidak nyeri, nomor 1-3 menandakan nyeri ringan,
nomor 4-6 menandakan nyeri sedang dan nomor 7-10 menandakan nyiri berat. Menurut
Evan (2010) Numeric Pain Rating Scale merupakan alat ukur skala nyeri unidimensional
yang berbentuk garis horizontal sepanjang 10 cm, 0 menunjukan tidak nyeri dan 10 nyeri
berat. Pengukuran nyeri dilakukan dengan menganjurkan pasien untuk memberikan
tanda pada angka yang ada pada garis lurus yang telah disediakan dan memberikan tanda
titik dimana skala nyeri pasien dirasakan. Selanjutnya untuk interprestasi dilihat
langsung dimana pasien memberikan tanda untuk skala nyeri yang dirasakannya. Dan
hasil yang didapatkan dari pengkajian pada pasien menunjukan skala 4 yang berarti
pasien menunjukan nyeri sedang.
Standar akreditasi rumah sakit yang dikeluarkan oleh JCI (Joint
CommisionInternational) tahun 2011 bahwa hak pasien untuk mendapatkan asesmen dan
pengelolaan nyeri. Pasien dibantu dalam pengelolaan rasa nyeri secara efektif, pasien
yang kesakitan mendapat asuhan sesuai pedoman pengelolaan nyeri (Kemenkes
RI,2011).
Kompres hangat mempunyai efek meredakan nyeri namun nyeri yang dapat
diredakan oleh kompres hangat adalah nyeri yang terjadi pada jaringan iskemi karena
jaringan kekurangan oksigen. Efek fisiologis kompres hangat adalah bersifat
vasodilatasi, meredakan nyeri dengan merelaksasi otot, meningkatkan aliran darah,
memiliki efek sedatif dan meredakan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk yang
menimbulkan nyeri. Panas akan merangsang serat saraf yang menutup gerbang sehingga
transmisi impuls nyeri ke medula spinalis dan ke otak dihambat (Felina, 2015).
Dalam melakukan implementasi kepada pasen penulis menggunakan teknin non
farmakologi yaitu kompres dinginkarena penulis mengharapkan setelah dilakukan
kompres dingin dapat mengurangi nyeri pada tenggokan. Karena kompres dingin dapat
membuat mati rasa pada ujung-ujung saraf penyebab nyeri. Menurut Felina (2015) Efek
fisiologis kompres dingin adalah bersifat vasokontriksi, membuat area menjadi mati rasa,
memperlambat kecepatan hantaran syaraf sehingga memperlambat aliran impuls nyeri,
meningkatkan ambang nyeri dan memiliki efek anastesi lokal. Mekanisme lain yang
mungkin bekerja adalah bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi
persepsi nyeri.
Komprees dingin juga dapat menutup implus nyeri menuju keotak yaitu pusat
korteks yang menerjemahkan nyeri sehingga ketika dilakukan kompres dingin pusat
kortek tidak bisa menerjemahkan nyeridan nyeri pun bisa berkurang bahkan
hilang.Kompres dingin bekerja dengan menstimulasi permukaan kulit untuk mengontrol
nyeri Terapi dingin yang diberikan akan mempengaruhi impuls yang dibawa oleh serabut
taktil A-Beta untuk lebih mendominasi sehingga “gerbang” akan menutup dan impuls
nyeri akan terhalangi. Nyeri yang dirasakan akan berkurang atau hilang untuk sementara
waktu (Prasetyo, 2010).
Kompres dingin dilakukan dengan menggunakan benda-benda dingin, bisa berupa
air es atau benda-benda dingin lainnya. Saat melakukan implementasi kompres dingin
pada pasen penulis menggunakan alat dan bahan yaitu baskom, waslap/kain, air dan es
batu. Kemudian air dan es batu dimasukan kedalam baskom, tunnggu selama 2 minit
sampai air terasa dingin, setelah air mulai dingin siapkan waslam untuk direndam diair
yang dingin kemudian diperas dan dikompreskan ke tenggorokan yang terasa nyeri.

Kompres dingin adalah sebuah prosedur untuk meletakkan sebuah obyek dingin di
luar tubuh. Dampak fisikologis dari kompres dingin adalah vasokontriksi pada pembuluh
darah dan menghambat ujung-ujung saraf untuk menghantarkan implus nyeri ke otak
sehingga dapat mengurangi sensasi rasa nyeri.Dalam bidang keperawatan kompres
dingin banyak digunakan untuk mengurangi rasa nyeri. Pada aplikasi kompres dingin
memberikan efek fisiologis yakni menurunkan respon inflamasi, menurunkan aliran
darah dan mengurangi edema, mengurangi rasa nyeri local (Purwaningsih, 2015).
Setelah dilakukan kompres dingin pasein mengatakan merasa lebih nyaman dan
mengatakann nyeri sedikin berkurang, sekala nyeri yang sebelum dikompres dingin
adalah 4 yang menunjukan nyeri sedang setelah dikompres dingin menjadi 2 yang
menunjukan nyeri ringan dan hal tersebut membuktikan bahwa implementasi dengan
menggunakan kompres dingi dapat menurunkan sekala nyeri.
Selain dengan menggunakan kompes dingin implementasi yang penulis lakukan
adalah pemberian perasan jeruk nipis dicampur oleh madu, hal ini dilakukan untuk
mengurangi batuk yang dialami pasien sehingga ketika batuk berkurang nyeri pun juga
akan berkurang. Kandungan yang ada dalam perasan air jeruk nipis yaitu mnyak atsiri
dan didalam minya atsiri terdapat fenol yang mampu mematikan bakteri penyeban batuk.
Menurut Razak dkk(2013)Penelitian uji daya hambat air perasan buah jeruk nipis
terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus menunjukan bahwa air perasan
buah jeruk nipis dengan konsenrasi 25%, 50%, 75%, dan 100% dapat menghambat
pertumbuhan bakteri tersebut. Hal ini menunjukkan adanya senyawa aktif antibakteri
dalam air perasan buah jeruk nipis yang diduga diperoleh dari kandungan kimia yang
terdapat di dalamnya, seperti minyak atsiri, diantaranya fenol yang bersifat sebagai
bakterisidal, yang mungkin mampu menghambat pertumbuhan dari bakteri
Staphylococcus aureus.
Selain jeruk nipis, madu juga diyakini menjadisalah satu obat pembunuh bakteri dan
madu juga mengandung senyawa flafonoid yang menjadi antibodi agar tubuh menjadi fit
dan diharapkan batuk seger sembuh dan juga akan mengurangi dari gangguan rasa
nyaman nyeri yang diderita oleh pasien.Erywiyanto dkk (2012) mengatakanKandungan
Zat aktif sebagai anti bakteri yang terdapat dalam madu adalah flafonoid. Senyawa
flavonoid yang merupakan senyawa golongan fenol yang berinteraksi dengan sel bakteri
melalui proses absropsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk
kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian,
diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan kogulasi protein dan sel membran
sitoplasma mengalami rilis.
BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan
Penanganan kasus pada pasien faringitis dengan gangguan utama yaitu
gangguan nyeri akut akibat terjadinya kerusakan jaringan pada tenggorokan
memerlukan penanganan segera agar gangguan nyeri akut dapat berkurang ataupun
hilang agar aktivitas tidak terganggu oleh gangguan nyeri akut. Salah satu tindkan
yang dilakukan adalah melakukan kompres dingin, selain melakukan kompres dingin
juga diberikan edukasi tentang penyakit faringitis
2. Saran
Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui tentang faringitis dengan nyeri akut
akibat terjadinya kerusakan jaringan pada tenggorokan (radang tenggorokan).
DAFTAR PUSTAKA

Crain, William. 2007. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi Edisi Ketiga. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. Jakarta : EGC
Ikatan Dokter Indonesia. 2008. Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta : EGC
Mandal, B.K,dkk. 2006. Penyakit Infeksi Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga
Masjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Sabiston David. C, Jr. M.D, 1994, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Susi, Natalia. 2003. Penanganan ISPA pada anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang.
Jakarta : EGC
Lampiran..............

JURNAL

UPAYA PENANGANAN GANGGUAN NYERI AKUT PADA ANAK DENGAN


FARINGITIS

ABSTRAK

Latar Belakang : Diperkirakan sebanyak 15 juta kasus faringitis didiagnosis setiap


tahunnya di Amerika Serikat dengan 15-30% pada anak usia sekolah dan 10% diderita
oleh dewasa serta 20-30% kasus disebabkan oleh SBHGA. Faringitis tidak dipengaruhi
oleh jenis kelamin. Masa infeksi SBHGA terjadi di musim dingin dan awal musimsemi
di daerah beriklim sedang, di daerah beriklim tropis seperti Indonesia insiden tertinggi
terjadi pada musim hujan. Data kunjungan penderita di poliklinik THT-KL RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang pada tahun 2011 menunjukkan sebanyak 726 kunjungan
penderita faringitis akut dari total 7256 kunjungan (±10%). Tujuan : Untuk mengetahui
asuhan keperawatan pada pasien dengan Faringitis Akut meliputi pengkajian, intervensi,
implementasi dan evaluasi keperawatan.

Metode: karya tulis ilmiah di susun menggunakan metode deskriptif dengan


pendekatan studi kasus dengan cara mengumpulkan data, menganalisis dan menarik
kesimpulan data. Hasil : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
didapatkan hasil gangguan rasa nyaman ( nyeri akut) pasien berkurang dari skala nyeri 4
menjadi 2, bersihan jalan nafas kembali efektif, pengetahuan pasien dan keluarga
meningkat tentang penyakit faringitis.Kesimpulan : Kerjasama antar tim kesehatan
dengan pasien atau keluarga sangat diperlukan untuk keberhasilan asuhan keperawatan
pada An. C, komunikasi terapeutik dapat mendorong pasien lebih kooperatif.

Kata Kunci : Faringitis Akut, nyeri akut, jalan nafas, pengetahuan

ABSTRACT

Background: An estimated 15 million cases of pharyngitis diagnosed annually in


the United States by 15-30% in school-age children and 10% suffered by adults and 20-
30% of cases are caused by SBHGA. Pharyngitis is not influenced by gender. Period
SBHGA infections occur in the winter and the beginning of a spring in temperate
climates, in tropical areas such as Indonesia highest incidence occurs during the rainy
season. Data visits patients in the clinic ENT-KL Hospital Dr. Mohammad Hoesin
Palembang in 2011 showed as many as 726 people visit acute pharyngitis of total 7256
visits (± 10%). Objective: To investigate the nursing care of patients with acute
pharyngitis include assessment, intervention, implementation and evaluation of nursing.
Methods: scientific papers collated using descriptive method with case study approach
by collecting data, analyzing the data and draw conclusions. Results: After 3x24-hour
nursing care for disorders showed a sense of comfort (acute pain) patient pain scale was
reduced from 5 to 2, back effective airway clearance, increased knowledge of patients
and families about the disease faringitis.Kesimpulan: Cooperation among the health care
team with patient or family is indispensable for the success of nursing care in An. C,
therapeutic communication can encourage a more cooperative patient.

Keywords: Acute pharyngitis, acute pain, airway, knowledge

1. Pendahuluan

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain (Rusmarjono dkk, 2007 ).
Hasil penelitian dari Universitas Toronto, Kanada menunjukkan prevalensi faringitis
streptokokus sebesar 13,8% dengan angka tertinggi pada kelompok umur 3-14 tahun
(36,2%) dan 10,7% pada kelompok umur 15-44 tahun, serta hanya 1,3% pada kelompok
umur >45 tahun. Data kunjungan penderita di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada tahun 2011 menunjukkan sebanyak 726 kunjungan penderita
faringitis akut dari total 7256 kunjungan (±10%)(Sari dkk, 2014).
Faringitis akut dapat terjadi pada semua umur, sering terjadi pada anak usia 5-15
tahun dan jarang pada anak usia di bawah 3 tahun, insiden meningkat seiring
bertambahnya usia, mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun dan berlanjut sepanjang
akhir masa anak hingga dewasa. Diperkirakan sebanyak 15 juta kasus faringitis
didiagnosis setiap tahunnya di Amerika Serikat dengan 15-30% pada anak usia sekolah
dan 10% diderita oleh dewasa serta 20-30% kasus disebabkan oleh SBHGA
(Streptococcus Beta Hemolytic Group A). Faringitis tidak dipengaruhi oleh jenis
kelamin. Masa infeksi SBHGAterjadi di musim dingin dan awal musimsemi di daerah
beriklim sedang, di daerah beriklim tropis seperti Indonesia insiden tertinggi terjadi pada
musim hujan. Penyakit ini telah menjadi problem medis dan kesehatan masyarakat
karena mengenai anak-anak dan dewasa muda pada usia produktif (Sari dkk 2014).
Faringitis adalah salah satu penyakit yang termasuk dalam infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA). Diawali dengan demam, batuk, hidung tersumbat, dan sakit
tenggorokan adalah gejala-gejala yang dialami oleh penderita ISPA. Infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) tersebar di seluruh Provinsi Jawa Tengah dengan rentang
prevalensi yang sangat bervariasi (10,7% – 43,1%). Angka prevalensi ISPA dalam
sebulan terakhir di Provinsi Jawa Tengah adalah 29,1%. Prevalensi di atas angka
provinsi ditemukan di 16 Kabupaten/ Kota, dengan kasus terbanyak ditemukan di
Kabupaten Kudus. Secara umum, di Provinsi Jawa Tengah rasio prevalensi Pneumonia
sebulan terakhir adalah 2,1% (rentang 0,3 – 6,1%). Prevalensi Pneumonia yang relatif
tinggi dijumpai di Kabupaten Pemalang, Banyumas, Cilacap dan Perkotaan Tegal. Tidak
semua daerah dengan prevalensi ISPA tinggi juga mempunyai prevalensi Pneumonia
tinggi, seperti di Kabupaten Kudus, Demak, Kendal, dan Perkotaan Semarang
(Kemenkes RI, 2009).
Keluhan nyeri tenggorok dirasakan oleh 54 subyek (100%) sedangkan keluhan
demam atau riwayat demam terdapat pada 40 subyek (74,1%). Keluhan batuk ditemukan
sebanyak 13 subyek (24,1%) sedangkan yang tidak batuk 41 subyek (75,9%). Keluhan
sakit kepala pada subyek sebanyak 35 (64,8%). Tidak ditemukan gejala konjungtivitis
pada semua subyek (0%). Coryza dikeluhkan pada 7 subyek (13%). Keluhan malaise dan
mialgia ditemukan pada subyek sebanyak 13 (24,1%) dan 15 (27,8%) (Sari dkk 2014).
Nyeri adalah pengalaman sensori yang tidak menyenangkan, unsur utama yang
harus ada untuk disebut sebagai nyeri adalah rasa tidak menyenangkan, tanpa unsur itu
tidak bisa dikatagorikan sebagai nyeri, walaupun sebaliknya, semua yang tidak
menyenangkan tidak dapat disebut sebagai nyeri (Zakiyah, 2015). Nyeri tenggorakan
dapat memberikan tantangan diaknosa walaupun penyebabnya sudah jelas, nyeri
tenggorokandapat berasal dari proses patologis dilokasi manapunpada saluran
aerodigestif atas karena serabut sensorik yangmenginvasi saluran aerodigestif atas
berasal dari nevrus kranialis II (Peng dkk, 2007).
Tujuan umum dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui
adanyapenanganan gangguan rasa nyaman (nyeri akut) pada anak dengan faringitis
sesuai dengan prosedur perawatan.Tujuan khusus dari penulisan karya tulis ilmiah ini
adalah untuk melakukan pengkajian,analisa data, perencanaan keperawatan,
implementasi dan mengevaluasi gangguan rasa nyaman (nyeri akut) pada anak dengan
faringitis.
Berdasarkan fakta yang ada di lapangan tentang gangguan rasa nyaman (nyeri akut)
dengan faringitis, maka penulis sangat tertarik dengan mengangkat judul Karya Tulis
ilmiah “Upaya Penanganan Gangguan Nyeri Akut pada An. C dengan Faringitis”.

2. Metode
Karya tulis ilmiah ini disusun dengan menggunakan metode deskriptif dengan
pendekatan studi kasus yaitu metode ilmiah dengan tahapanmengumpulkan data,
menganalisis data dan menarik kesimpulan dari data yang diperoleh dimulai dari
pengkajian, menegakan diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.
Pengambilan kasus dilakukan di desa Njeron dimulai pada tanggal 14 februari 2017.
Dengan pasien berumur 9 tahun, sumber data didapatkan dari wawancara pasien dan
keluarga pasien, data dari pelayanan kesehatan dan tim kesehatan lain.

3. Hasil dan Pembahasan


i. Hasil

Pengambilan kasus dilakukan pada An. C yang berusia 9 tahun, jenis kelamin
perempuan, alamat di desa Njeron. Pasien dibawa ke Puskesmas pada tanggal 13 februari
2017 pukul 10.30 WIB dengan keluhan utama tenggorokan terasa sakit. Riwayat
kesehatan sekarang, ibu pasien mengatakan hari senin malam tanggal 06 februari 2017
pasien mengalami batuk, pilek dan badan terasa panas. Keesokan harinnya pasien
diperiksakan kebidan desa namun tak kunjung sembuh, kemudian dibawa lagi kebidan
desa yang lain pada hari jumat 10 februari 2017, keadaan pasien juga tak kunjung
membaik. Dan akhirnya pada tanggal 13 februari 2017 pasien dibawa ke puskesmas
karena mengeluhkan tenggorokannya yang sakit, terasa perih saat batuk dan menelan,
sekala 4. Riwayat kesehatan terdahulu, keluarga pasien mengatakan pasien pernah
mengalami kejang saat usia tiga bulan ketika panas tinggi dan pernah menderita penyakit
tifus saat usia lima tahun. Riwayat kesehatan keluarga, keluarga mengatakan tidak ada
penyakit kronis dan penyakit keturunan yang dideriota oleh anggota keluarga seperti
hipertensi, diabetes militus,dan penyakit pernapasan.
Pada riwayat prenatal keluarga mengatakan usia kelahiran 36 minggu 2 hari, ibu
tidak mengonsumsi obat-obatan saat hamil, ibu mengonsumsi susu untuk ibu hamil, dan
ibu rutin memeriksakan kehamilan ke bidan desa, pada trimester pertama sebanyak dua
kali, pada trimester ketiga sebanyak tiga kali dan pada trimester ketiga sebanyak tiga
kali.Riwayat natal, ibu mengatakan bayi lahir secara sepontan, menangis dan membuka
mata secara sepontan, tempat melahirkan dibidan desa dan ditolong oleh bidan desa.
Riwayat post natal ibu mengatakan, bayi lahir dengan berat badan 2,8 kg dan panjang 47
cm, imunisasi lengkap dari mulai imunisasi BCG, DPT, polio, campak dan hepatitis.
Riwayat tumbuh kembang, ibu mengatakan pada usia tujuh setengah bulan anak sudah
bisa duduk, pada usia sebelas bulan anak sudah bisa merangkak dan pada usia empat
belas bulan anak sudah bisa berdiri dan berjalan.
Pola nutrisi sebelum sakit, pasien makan tiga kali sehari denganporsi sedang namun
jarang makan sayur dan lebih suka mengkonsumsi mie instan, minum enam sampai tujuh
gelas air putih dan sering mengkonsumsi es teh. Sedangkan saat sakit pasien makan tiga
kali sehari dengan porsi sedikit masih sering mengkonsumsi mie instan dan tidak mau
makan sayuran, minum lima sampai enam gelas air putih dan masih sering
mengkonsumsi es teh. Pola eliminasi sebelum sakit, pasien BAB satu kali dalam sehari
pada saat pagi hari dan tidak ada kesulitan dalam BAB,sedangkan saat sakit pasien BAB
satu kali dalam sehari namun mengeluhkan kesulitan/harus mengejan untuk
mengeluarkan feses. Pola aktifitas dan latihan, pasien beraktivitas sehari-hari secara
mandiri seperti makan, mandi dan bermain, sedangkan saat sakit pasien masih
beraktivitas sehari-hari secara mandiri seperti makan, mandi dan bermain namun sedikit
terlihat pucat dan lemas. Pola istirahat dan tidur, sebelum saikit pasien sering tidur siang
kurang lebih satu sampai dua jam dan tidur malam selama delapan jam, sedangkan saat
sakit pasein jarang tidur siang dan tidur malam selama 9 jam.
Keadaan fisik pasien terlihat lemas dan pucat. Kesadaran compos mentis E4 V5 M6.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan, tekanan darah 110/70 mmHg, suhu 37,1
C, nadi 75 kali/menit dan pernapasan 23 kali/menit. Berat badan 24 kg dan tinggi badan
130 cm. Pemeriksaan head to toe, kepala bentuk mesoshepal dan kulit kepala tidak ada
lesi, mata terlihat simetris dan konjungtiva tidak anemis, telinga masih dapat mendengar
dengan baik, hidung terdapat sekret, tenggorokan terdapat radang terlihat bintik-bintik
kemerahan.
Saat dilakukan pengkajian pada thorak dihasilkan data, saat diinspeksi terlihat
pengembangan dada kanan dan kiri terlihat simetris, palpasi tidak ada nyeri tekan perkusi
sonor dan auskultasi tidak terdengar suara tambahan, dan saat dilakukan pengkajian pada
abdomen, ketika diinspeksi terlihat tidak ada lesi dikulit, auskultasi terdengar bisang usus
15 kali/menit, perusi timpani dan palpasi turgor kulit kembali kurang dari dua detik,
ekstermitas atas tidak ada kelemahan otot dan masih berfungsi dengan baik, ekstermitas
bawah tidak ada kelemahan otot dan masih berfungsi dengan baik, genetelia bersih tidak
ada gangguan, anus tidak ada hemoroid.
Data penunjang pada tanggal 13 februari 2017 adalah hemoglobin 14.0 gr/dL,
hematokrid 40,9% trombosit 182.000 u/L, eritrosit 5.2 jt/mm3, leokosit 7.700/mm3.
Terapi obat yang diberikan adalah paracetamol diminum tiga kali dalam sehari,
amoxicillin diminum tiga kali dalam sehari. Diagnosa keperawatan yang ditegakkan
berdasarkan pengkajian yang penulis dapatkan adalah gangguan nyeri akut berhubungan
dengan agen injuri biologis, ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
adanya penumpukan sekret dan difisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
sumber informasi.Dari ketiga diaknosa yang muncul penulis memprioritaskan pada satu
diagnosa yaitu gangguan nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis. Data
subjektif yang mendukung berupa keluhan utama pasien sakit tenggorokan, teras perish
saat batuk dan menelan dengan sekala 4 dan data objektif yang mendukung ialah terlihat
bintik-bintik merah ditenggorokan.
Intervensi untuk diagnosa gangguan nyeri akut berhubungandengan agen injuri
biologis bertujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien
tidak mengalami gangguan nyeri akut dengan kriteria hasil mampu mengontrol gangguan
rasa nyeri akut, tahu penyebab dan menggunakan teknik non farmakologi untuk
mengurangi gangguan nyeri akut, melaporkan bahwa gangguan nyeri akut berkurang,
mampu mengenali gangguan nyeri akut yaitu sekala, intensitas, frekuensi dan tanda-
tandanya. Dan untuk rencana keperawatannya adalah melakukan pengkajian nyeri secara
komperhensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan factor
prespitasi, ajarkan tentang teknik non farmakalogi yaitu napas dalam dan kompres
dingin, tingkatkan istirahat, dan monitoring vital sign.
Implementasi dilakukan selama tiga hari yang dimulai pada hari selasa 14 Februari
2017. Penulis melakukan tindakan pengkajian nyeri pukul 10.50 dengan respon yaitu
pasien mengatakan sakit tenggorokan, saat batuk dan menelan terasa perih kadang timbul
dan kadang tidak sekala 4 dan Pasien terlihat pucat, batuk dan menahan rasa nyeri.
Selanjutnya penulis melakukan tindakan pendidikan kesehatan tentang faringitis dan
memberikan perasan jeruk nipis dan madu pukul 11.10 dengan respon Keluarga pasien
mengatakan sudah paham setelah mendengarkan penkes tentang faringitis dan keluarga
terlihat kooperatif saat dilakukan penkes dan bisa mengulangi penjelasan tentang materi
penkes dan pasien mau meminum jeruk nipis dan madu. Kemudian pada pukul 11.40
penulis melakukan tindakan mengobservasi nyeri dengan respon pasien mengatakan
sakit tenggorokan masih sama dengan sekala 4 dan Pasien masih terlihat pucat dan
terdapat bintik-bintik merah pada tenggorokan. Pada pengkajian hari kedua yang
dilakukan pada hari rabu 15 Februari 2017 pukul 12.45 penulis melakukan tindakan
mengobservasi tanda-tanda vital dengan respon pasien mengatakan tenggorokannya
masih sakit dan hasil pemeriksaanTanda-tanda vital TD: 110/80 mmHg, N : 70 x/menit,
S : 37 C dan RR : 20 x/menit. Selanjutnya pada pukul 13.00 penulis melakukan tindakan
mengajarkan teknik non farmakologi yaitu kompres dingin dengan respon pasien
mengatakan merasa tenggorokannya lebih nyaman dan Pasien terlihat rilrks setelah
dilakukan kompres dingin. Kemudian melakukan tindakan mengobservasi nyeri dengan
respon pasien mengatakan sakit ditenggorokan mulai berkurang sekala 2 dan pasien
sudah tidak terlihat pucat lagi. Dan pada implementasi hari ketiga yaitu hari kamis 16
Februari 2017 pukul 13.30 penulis melakukan tindakan mengoservasi tanda-tanda vital
dengan respon pasien mengatakan tenggorokan sudah tidak sakit lagi dan hasil observasi
tanda-tanda vital yaitu TD: 120/70 mmHg, N : 75 x/menit, S : 37 C dan RR : 20 x/menit.
Salanjutnya pada pukul 13.45 penulis melakukan tindakan mengobservasi nyeri dengan
respon pasein mengatakan tenggorokan sudah tidak saikit dengan skala 2 dan bitnik-
bintik kemerahan pada tenggorokan berkurang.

Evaluasi

Tanggal, jam Evaluasi


14 Februari 2017 S :Pasien mengatakan sakit tenggorokan masih sama
P: Faringitis
Q: Terasperih (tertusuk)
R: Di tenggorokan (faring)
S: skala 4
T: Setiap batuk dan menelan
12.35 O:Pasien masih terlihat pucat dan terdapat bintik-bintik
kemerahan pada tenggorokan
A:Masalah Gangguan nyeri akut belum teratasi
P :Intervensi dilanjutkan
Monitor tanda-tanda vital, ajarkan teknik non
farmakologi : kompre dingin, observasi gangguan nyeri
akut

15 Februari 2017 S :Pasien mengatakan sakit tenggorokannya sudah


berkurang
P: Faringitis
Q: terasaperih (tertusuk)
R: Di tenggorokan (faring)
S: skala 2
T: Saat batuk dan menelan
14.00 O :Pasien terlihat rileks dan tidak pucat lagi, Tanda-
tanda vital
TD: 110/80 mmHg
N : 70 x/menit
S : 37 C
RR : 20 x/menit
A :Masalah Gangguan nyeriakut sebagian
teratasi
P :Intervensi dilanjutkan
Monitor tanda-tanda vital, observasi nyeri akut

16 Februari 2017 S :Pasien mengatakan tenggorokan sudah tidak sakit


P: Faringitis
Q: Tidakterasa perih
R: Di tenggorokan (faring)
S: skala 0
T: Setiap saat
14.00 O :Bintik-bintik kemerahan sudah berkurang,
Tanda-Tanda vital
TD: 120/70 mmHg
N : 70 x/menit
S : 37 C
RR : 20 x/menit
A :Masalah Gangguan nyeri akut sudah teratasi
P :Intervensi dipertahankan

ii. Pembahasan

Sakit tenggorakan atau faingitis adalah penyaki yang biasa disebabkan oleh virus
dan bakteri. Biasanya penyakit ini di derita oleh semua kalangan umur mulai dari anak-
anak hingga orang dewasa, namun penyakit faringitis ini lebih sering mejangkit ke anak-
anak karena pola makan anak-anak yag masih sembarangan untuk memilih makanan dan
tidak memandang kebersihan makanan yang dikonsumsi sehingga bakteri dan virus
dengan mudahmenyerangnya.Adapun tanda dan gejala faringitis ini yaitu tenggorokan
terasa sakit, terdapat bercak merah pada tenggorokan dan biasanya anak mengeluhkan
sakit saat menelan. Menurut Sari dkk (2014). Faringitis akut adalah manifestasi klinis
terbanyak infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dimana istilah faringitis dipakai untuk
menunjukkan adanya peradangan pada mukosa dan submukosa faring dan struktur lain di
sekitarnya yaitu orofaring, nasofaring, hipofaring, tonsil dan adenoid.
Menurut, Negel dan Gurkov (2012) penyakit faringitis biasanya berhubungan
dengan infeksi virus di tenggorokan dan jarang terjadi super infeksi oleh bakteri
(terutama strepcoccus). Nagel dan Gurkov juga mengatakan gambaran klinis dari
faringitis yaitu pasien mengalami gatal ditenggorokan, gangguan menelan, danbatuk.
Selain itu deretan organ limfoepitelia lateral didinding faring posterior meradang, bias
anya pada infeksi bakteri menimbulkan demam dan rasa tidak nyamn secara umum. Pada
infeksi, mukosa tampak kemerahan dan membengkak. Bila jaringan limfoepitelial
terkena, organ lateral tersebut menebal dan memerah sehingga kelenjar getah bening
membengkak.

Bakteri dan virus merupakan penyebab dari faringitis dan virus merupaka menjadi
penyebab terbanyak, seperti : virus epstein barr, inveksi virus campak, cytomegalovirus
(CMV), virus Rubella dan virus penyebab penyakit repsiratoriseperti adenovirus,
rhinovirus, dan virus parainfluensa. Sedangkan bakteri yang menyebabkan faringitis
seperti : streptokokus group A, streptokokus group C dan G, Neisseria gonorehoeae,
Arcanobakterium dhipteria, Yersinia pestis dan Francisella tularensis(NIC - NOC, 2015).
Jika nyeri tenggorokan atau faringitis ini tidak segera diobati dapat menimbulkan
banyak komplikasi seperti peritonsil abses, ruang faringitis abses, limfadenitis, sinusitis,
dan otitis. Komplikasi-komplikasi tersebut dapat memperparah keadaan pasien dan
menyababkan gangguan rasa nyaman pada pasien semakin parah sehingga aktifitas
sehari-hari pun dapat tergangngu jika komplikasi tersebut tidak segeradi cegah. Abses
peritonsil memiliki angka kejadian yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan
komplikasi yang fatal, seperti dapat meluas daerah parafaring, daerah intrakranial dan
bila abses tersebut pecah spontan bisa terjadi perdarahan serta terjadinya mediastinitis
yang dapat menimbulkan kematian ( Agus & Eka,2013). Komplikasi yang biasa muncul
pada faringitis yaitu peritonsilitis abses, (quinsy), ruang faring abses, limfadenitis,
sinusitis, otitis media mastoiditis dan infeksi invasif misalnya, nekrotizing faskiitis dan
toxik shock syndrome dengan GAS. Pada orang dewasa yang lebih tua tanda-tanda dan
gejala dari ruang abses peritonsillar atau parapharingeal mungkin jarang terjadi, dan
penyakit tampaknya lebih umum pada mereka dengan kondisiimmunocompromising.
Demam akut rematik dan glomerulonefritis akut berpotensi untuk terjadi komplikasi non
supuratif faringitis yang disebabkan oleh penyakit GAS (Mustafa dkk, 2015).
Jika nyeri faringitis tidak segera ditangani maka akan menimbulkan gangguan
menelan, karena ketika menelan pasien merasakan nyeri. Gangguan menelan ini juga
sering disebut disfagia. Menurut Pandaleke dkk, 2014 disfagia berasal dari kata Yunani
yaitu dys yang berarti sulit dan phagein yang artinya memakan. Disfagia memiliki
beberapa difinisi tetapi yang sering digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan
makanan dari mulut kelambung Ketika hal ini dibiarkan terus-menerus akan
mengakibatkan makanan tidak bisa masuk kedalam sistem pencernaan dan nutrisi yang
dibutuhkan bagi tubuh tidak bisa tercukupi. Keadan ini sudah terjadi pada pasien yang
mengalami malas untuk makan dan berkurangnya porsi makannya. Biasanya pasien
menghabiskan porsi makannya namun ketika sakit pasien tidak menghabiskan porsi
makannya dan hanya makan 3 - 4 sendok. Pasien memiliki berat badan 24 kg namun
Dengan rumus IMT 2n+8 berat ideal pasien seharusnya (2x9) + 8 = 26kg. ketidak
idealnya berat badan pasien dikarenakan asupan makanan yang kurang.

Keluhan nyeri tenggorok dirasakan oleh 54 subyek (100%) sedangkan keluhan demam
atau riwayat demam terdapat pada 40 subyek (74,1%). Keluhan batuk ditemukan sebanyak
13 subyek (24,1%) sedangkan yang tidak batuk 41 subyek (75,9%). Keluhan sakit kepala
pada subyek sebanyak 35 (64,8%). Tidak ditemukan gejala konjungtivitis pada semua
subyek (0%). Coryza dikeluhkan pada 7 subyek (13%). Keluhan malaise dan mialgia
ditemukan pada subyek sebanyak 13 (24,1%) dan 15 (27,8%) (Sari dkk, 2014).
Disini penulis ingin mengupayakan penanganan nyeri akut pada tenggorokan yang
dirasakan oleh pasien. Nyeria adalah gangguan rasa nyaman yang tidak menyenangkan
karena jaringan yang rusak yang disebabkan oleh gangguan fisik maupun gangguan biologis
pada tubuh. Menurut Federation of State Medical Boards of United States, nyeri akut adalah
respon fisiologis normal yang diramalkan terhadap rangsangan kimiawi, panas, atau mekanik
menusul suatu pembelahan, trauma dan penyakit akut. Ciri penyakit akut adalah nyeri yang
diakibatkan kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seirama dengan proses
penyembuhan, terjadi dalam waktu singkat dari 1 detik sampai kurang dari 6 bulan.
Mekanisme nyeri dimulai dari rangsangan(mekanik, termal atau Kimia) diterima oleh
reseptor nyeri yang ada di hampir setiap jaringan tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam
bentuk impuls yang di hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di proses dipusat
nyeri, impuls di kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri (zakiyah, 2015).
Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan demikian rupa
(International Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba lambat dari intensitas
ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung <6
bulan (Herdman, 2012).
Dalam pengajian nyeri ada beberapa hal yang harus dikaji secara teliti untuk mengetahui
seberapa parah intensitas yang di alami oleh paseien yaitu Provokes/palliates (penyebab
nyeri), Quality (kualitas/rasa nyeri: ditusuk, teriris, terbakar atau direma) Region (area nyeri),
Scale (sekala) dan Time (waktu). Pengkajian nyeri menurut Powel et al (2010) dan Krohn
(2002) terdiri dari precipitating (memperberat dan meringankan), quality, region/radiasi (area
nyeri), scale (skala) dan timing (waktu). Pengkajian skala nyeri merupakan pengkajian untuk
menentukan keparahan atau intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Saat melakukan
pengkajian nyeri pada pasien didapatkan penyebab nyeri adalah terdaat radang
ditenggorokan, nyeri terasa perih, nyeri terjadi pada tenggorokan, sekala 4 dan nyeri terjadi
pada saat batuk dan menelan.
Penilaian sekala nyeri dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu penilaian dengan
menggunakan Visual Analogue Scale, Numeric Pain Rating Scale, Verbal Rating Scale dan
Faces Pain Rating Scale. Disini penulis menggukur skala nyeri dengan menggunakan
Numeric Pain Rating Scale atau penilaian menggunakan sekala nomor. Untuk penilaian
nomor 0 menandakan tidak nyeri, nomor 1-3 menandakan nyeri ringan, nomor 4-6
menandakan nyeri sedang dan nomor 7-10 menandakan nyiri berat. Menurut Evan (2010)
Numeric Pain Rating Scale merupakan alat ukur skala nyeri unidimensional yang berbentuk
garis horizontal sepanjang 10 cm, 0 menunjukan tidak nyeri dan 10 nyeri berat. Pengukuran
nyeri dilakukan dengan menganjurkan pasien untuk memberikan tanda pada angka yang ada
pada garis lurus yang telah disediakan dan memberikan tanda titik dimana skala nyeri pasien
dirasakan. Selanjutnya untuk interprestasi dilihat langsung dimana pasien memberikan tanda
untuk skala nyeri yang dirasakannya. Dan hasil yang didapatkan dari pengkajian pada pasien
menunjukan skala 4 yang berarti pasien menunjukan nyeri sedang.
Standar akreditasi rumah sakit yang dikeluarkan oleh JCI (Joint
CommisionInternational) tahun 2011 bahwa hak pasien untuk mendapatkan asesmen dan
pengelolaan nyeri. Pasien dibantu dalam pengelolaan rasa nyeri secara efektif, pasien yang
kesakitan mendapat asuhan sesuai pedoman pengelolaan nyeri (Kemenkes RI,2011).
Kompres hangat mempunyai efek meredakan nyeri namun nyeri yang dapat diredakan
oleh kompres hangat adalah nyeri yang terjadi pada jaringan iskemi karena jaringan
kekurangan oksigen. Efek fisiologis kompres hangat adalah bersifat vasodilatasi, meredakan
nyeri dengan merelaksasi otot, meningkatkan aliran darah, memiliki efek sedatif dan
meredakan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk yang menimbulkan nyeri. Panas
akan merangsang serat saraf yang menutup gerbang sehingga transmisi impuls nyeri ke
medula spinalis dan ke otak dihambat (Felina, 2015).
Dalam melakukan implementasi kepada pasen penulis menggunakan teknin non
farmakologi yaitu kompres dinginkarena penulis mengharapkan setelah dilakukan kompres
dingin dapat mengurangi nyeri pada tenggokan. Karena kompres dingin dapat membuat mati
rasa pada ujung-ujung saraf penyebab nyeri. Menurut Felina (2015) Efek fisiologis kompres
dingin adalah bersifat vasokontriksi, membuat area menjadi mati rasa, memperlambat
kecepatan hantaran syaraf sehingga memperlambat aliran impuls nyeri, meningkatkan
ambang nyeri dan memiliki efek anastesi lokal. Mekanisme lain yang mungkin bekerja
adalah bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.
Komprees dingin juga dapat menutup implus nyeri menuju keotak yaitu pusat korteks
yang menerjemahkan nyeri sehingga ketika dilakukan kompres dingin pusat kortek tidak bisa
menerjemahkan nyeridan nyeri pun bisa berkurang bahkan hilang.Kompres dingin bekerja
dengan menstimulasi permukaan kulit untuk mengontrol nyeri Terapi dingin yang diberikan
akan mempengaruhi impuls yang dibawa oleh serabut taktil A-Beta untuk lebih
mendominasi sehingga “gerbang” akan menutup dan impuls nyeri akan terhalangi. Nyeri
yang dirasakan akan berkurang atau hilang untuk sementara waktu (Prasetyo, 2010).
Kompres dingin dilakukan dengan menggunakan benda-benda dingin, bisa berupa air es
atau benda-benda dingin lainnya. Saat melakukan implementasi kompres dingin pada pasen
penulis menggunakan alat dan bahan yaitu baskom, waslap/kain, air dan es batu. Kemudian
air dan es batu dimasukan kedalam baskom, tunnggu selama 2 minit sampai air terasa dingin,
setelah air mulai dingin siapkan waslam untuk direndam diair yang dingin kemudian diperas
dan dikompreskan ke tenggorokan yang terasa nyeri.
Kompres dingin adalah sebuah prosedur untuk meletakkan sebuah obyek dingin di luar
tubuh. Dampak fisikologis dari kompres dingin adalah vasokontriksi pada pembuluh darah
dan menghambat ujung-ujung saraf untuk menghantarkan implus nyeri ke otak sehingga
dapat mengurangi sensai rasa nyeri.
Dalam bidang keperawatan kompres dingin banyak digunakan untuk mengurangi rasa
nyeri. Pada aplikasi kompres dingin memberikan efek fisiologis yakni menurunkan respon
inflamasi, menurunkan aliran darah dan mengurangi edema, mengurangi rasa nyeri local
(Purwaningsih, 2015).
Setelah dilakukan kompres dingin pasein mengatakan merasa lebih nyaman dan
mengatakann nyeri sedikin berkurang, sekala nyeri yang sebelum dikompres dingin adalah 4
yang menunjukan nyeri sedang setelah dikompres dingin menjadi 2 yang menunjukan nyeri
ringan dan hal tersebut membuktikan bahwa implementasi dengan menggunakan kompres
dingi dapat menurunkan sekala nyeri.
Selain dengan menggunakan kompes dingin implementasi yang penulis lakukan adalah
pemberian perasan jeruk nipis dicampur oleh madu, hal ini dilakukan untuk mengurangi
batuk yang dialami pasien sehingga ketika batuk berkurang nyeri pun juga akan berkurang.
Kandungan yang ada dalam perasan air jeruk nipis yaitu mnyak atsiri dan didalam minya
atsiri terdapat fenol yang mampu mematikan bakteri penyeban batuk. Menurut Razak
dkk(2013)Penelitian uji daya hambat air perasan buah jeruk nipis terhadap pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus menunjukan bahwa air perasan buah jeruk nipis dengan
konsenrasi 25%, 50%, 75%, dan 100% dapat menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Hal
ini menunjukkan adanya senyawa aktif antibakteri dalam air perasan buah jeruk nipis yang
diduga diperoleh dari kandungan kimia yang terdapat di dalamnya, seperti minyak atsiri,
diantaranya fenol yang bersifat sebagai bakterisidal, yang mungkin mampu menghambat
pertumbuhan dari bakteri Staphylococcus aureus.
Selain jeruk nipis, madu juga diyakini menjadisalah satu obat pembunuh bakteri dan
madu juga mengandung senyawa flafonoid yang menjadi antibodi agar tubuh menjadi fit dan
diharapkan batuk seger sembuh dan juga akan mengurangi dari gangguan rasa nyaman nyeri
yang diderita oleh pasien.Erywiyanto dkk (2012) mengatakanKandungan Zat aktif sebagai
anti bakteri yang terdapat dalam madu adalah flafonoid. Senyawa flavonoid yang merupakan
senyawa golongan fenol yang berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses absropsi yang
melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan
ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan
menyebabkan kogulasi protein dan sel membran sitoplasma mengalami rilis.

5. PENUTUP

a. Kesimpulan
Penanganan kasus pada pasien faringitis dengan gangguan utama yaitu gangguan nyeri
akut akibat terjadinya kerusakan jaringan pada tenggorokan memerlukan penanganan segera
agar gangguan nyeri akut dapat berkurang ataupun hilang agar aktivitas tidak terganggu oleh
gangguan nyeri akut. Salah satu tindkan yang dilakukan adalah melakukan kompres dingin,
selain melakukan kompres dingin juga diberikan edukasi tentang penyakit faringitis dan
pemberian perasan air jeruk dan madu agar keluarga paham dan dapat menerapkan secara
mandiri.

b. Saran
Diharapkan agar puskesmas memberikan fasilitas pendidikan kesehatan tentang
kompres air dingin dan pemberia perasan air jeruk nipis dicampur madu kepada keluarga
pasien dengan gagguan nyeri akut akibat terjadinya kerusakan jaringan pada tenggorokan
(radang tenggorokan) sehingga keluarga mengerti dan mampu melakukan secara mandiri.
PERSANTUNAN
Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan nikmat kesehatan kepada kita semua sertakemudahandan kelancaran dalam
membuat tugas akhir ini sehingga dapat selesai dengan tepat waktu tanpa ada halangan suatu
apapun beserta kita haturkan shalawat serta salam kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad
SAW sebagai suri taudalan untuk penulis. Sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa bahagia
penulis dalam terselesainya tugas akhir ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada:
1). Kedua orangtua, buat bapak dan ibu terimakasih banyak atas doa, dukungan, dan usaha
yang kalian selalu berikan kepada saya sehingga bisa menyelesaikan studi ini.
2). Dr. Sofyan Anif, M.Si selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta.
3). Dr. Suwadji, M, Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
4). Okti Sri P, S.Kep., Ns., Sp. Kep.M.B selaku Kaprodi Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
5).ArinaMaliyani, A.kep.MSi.Med selaku Sekprodi Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
6). Irdawati S.kep., Ns., Msi., Med selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah yang telah
membimbing dan membantu dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
7).Siti Arifah, SKp.M.Kesselaku penguji dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah.
8). Kepala instalasi beserta jajaran Puskesmas Nguter Kabupaten Sukoharjo
9). Segenap Dosen Keperawatan DIII Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Almamaterku tercinta DIII Keperawatan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
10). Sahabat-sahabatku yang berjuang bersama-sama dalam membuat Karya Tulis Ilmiah
yang saling menyemangati satu sama lain.
11). Serta berbagai pihak yang sudah mendukung dan membantu dalam menyusun Karya
Tulis Ilmiah ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Daftar Pustaka

Agus Fandi W & Eka Dewa Artha P. 2013. ABSES PERITONSIL. SMF Ilmu
Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.Volume
44, Nomor 3
Bambang. 2014. PENGKAJIAN SKALA NYERI DI RUANG PERAWATAN
INTENSIVE LITERATUR REVIEW. Volume 1, Nomor 1
Erywiyanto Leanhida, djoko, Krihariyani Dwi. 2012. Pengaruh Madu Terhadap
Pertumbuhan BakteriSterptococcus Pyogenes. Analisa kesehatan Sains
Vol 01,No 01
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. TELINGA HIDUNG
TENGGOROKAN KEPALA DAN LEHER. Jakarta: Gaya Baru
Frank E. Lucante, Gady Her-El. 2011. ILMU THT ESENSIAL, Ed. 5. Jakarta:
EGC
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan :difinisi dan klasifikasi 2012-
2014. Jakarta : EGC
Mustafa Murtaza dkk. 2015. Pharyngitis, Diagnosis and Empiric antibiotic
treatment Considerations. IOSR Jurnal of Dental and Medical Sciences.
Volume 14 Issue 5 Ver. VII
Nagel Patrick, Gurkov Robert. 2012. DASAR-DASAR ILMU THT, Ed.2.
Jakarta: EGC
Pandaleke Janny J. C, Sengkey Lidwina S, Angliadi Engeline. 2014.
REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA DISFAGIA. Jurnal
Biomedika (JBM) Volume 6, Nomor 3, hlm. 157-164
Purnamasari Elia, Ismonah, Supriyadi. 2014. EFEKTIFITAS KOMPRES
DINGIN TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA
PASIEN FRAKTUR DI RSUD UNGARAN. Vol 01, No 01
Purwaningsih A A et al. 2015. Effectivess of warm compress and cold compres to
reduce laceration perenium pain on primiparous at Candimulyo Magelang.
International Journal of Research inmedical Sciences Vol 3 Supplement
Issue 1
Razak Abdul, Djamal Aziz, Revilla Gusti. 2013. Uji Daya Hambat Air Perasan
Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia s.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus Aureus Secara In Vitro. Jurnal Kesehatan Andalas.
Volume 2, Nomor 1
Sari Dian, Effendi Sofjan, Theodorus.2014. Uji Diaknostik Skoring Centor
Modifikasi pada Penderita Faringitis Akut Streptokokus Beta Hemolitikus
Group A. MKS, Th. 46, No. 1, Januari
Zakiyah Ana. 2015. Nyeri : Konsep dan Penatalaksanaan dalam Praktek
Keperawatan Berbasis Bukti. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai