Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

TONSILOFARINGITIS

Oleh :

Naufal Ryandi Hasibuan 201510330311180

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap tahunnya ±40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan
karena faringitis. Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat
disebabkan akibat infeksi (virus dan bakteri) maupun non infeksi (alergi, trauma,
toksin dan lain-lain)
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita
faringitis. Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya
tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.
Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi
inflamasi local. Infeksi bakteri grup A Streptokokus hemolitikus dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraselular
yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung,
glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya
kompleks antigen-antibodi. Bakteri ini banyak menyerang anak usia sekolah, orang
dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun. Penularan infeksi melalui
secret hidung dan ludah (droplet infection).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang
tonsiloffaringitis mengenai definisi, etiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan, dan prognosisnya.
1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan
pemahaman penulis maupun pembaca mengenai tonsiloffaringitis beserta
patofisiologi dan penangananannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada
faring, termasuk tonsilitis (tonsiloffaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari.
Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di
sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang
terjadi hanya infeksi lokal pada faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian
faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis. Infeksi
pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorok. Faringitis
Streptokokus Beta Hemolitikus grup A (SBHGA) adalah infeksi akut orofaring dan
atau nasofaring oleh SBHGA.
2.2 Epidemiologi
Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan
karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3−5 kali infeksi
virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013). Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi
anak-anak. Kira-kira 15−30% kasus faringitis 12 pada anak-anak usia sekolah dan
10% kasus faringitis pada orang dewasa. Biasanya terjadi pada musim dingin yaitu
akibat dari infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A. Faringitis jarang terjadi
pada anak-anak kurang dari tiga tahun.
2.3 Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis
sebagai manifestasi tunggal ataupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus
merupakan etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia < tahun
(prasekolah. Virus penyebab penyakit respiratroi seperti adenovirus, Rhinovirus, dan
virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis.Virus Epstein Barr (EBV dapat
menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksi mononukleosis seperti
splenomegali dan limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus
campak, cytomegalovirus (CMV, virus Rubella, dan berbagai virus lainnya juga
dapat menunjukkan gejala faringitis akut.
Streptokokus Beta Hemolitikus Grup A adalah bakteri penyebab terbanyak
faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% (di luar kejadian
epidemik) dari penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada dewasa hanya
sekitar 5-10% kasus. Streptokokus Grup A biasanya bukan merupakan penyebab
yang umum pada anak usia prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi outbreak di
tempat penitipan anak.
Transmisi Steptokokus melalui udara (droplet nuklei, debu) dan lingkungan
yang tercemar (baju, tempat tidur) merupakan beberapa cara penyebaran
Streptokokus. Kontak dibutuhkan untuk terjadinya transmisi Streptokokus faring baik
secara langsung melalui droplet atau transfer fisik dari sekret respirasi yang berisi
bakteri infeksi. Penyebaran dalam ruang sekolah atau ruang keluarga sering terjadi.
Pasien infeksi aktif maupun infeksi subklinis mungkin bisa menyebarkan infeksi.
Pada umumnya penyebaran kedua (oleh penderita karier) terjadi saat 2 minggu
pertama setelah bebas sakit, karena infeksi Streptokokus pada saluran napas sering
menimbulkan karier dan penularan antar organisme. Kontaminasi pada makanan
ataupun susu juga bisa menimbulkan infeksi Streptokokus pada tenggorok.
Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma dilaporkan dapat
menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi. Di negara Inggris dan
Skkandinavia pernah dilaporkan infeksi Aerobacterium haemolyticum. Beberapa
bakteri dapat melakukan proliferasi ketika sedang terjadi infeksi virus (copathogen
bacterial) dan dapat ditemukan pada kultur, tetapi biasanya bukan merupakan
penyebab dari faringitis/tonsilofaringitis aku. Beberapa bakteri tersebut adalah
Staphylococcus aureus, Haemophillus influenzea,Moraxella catarrhalis, Bacteroides
fragilis, Bacteroides oralis, Bacteroides melaninogenicus, spesies Fusobacterium, dan
spesies Peptostreptococcus.
2.4 Patofisiologi
Bakteri dan virus masuk masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian
atasakan menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar
melaluisistem limfa ke tonsil. Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil
menyebabkanterjadinya proses inflamasi dan infeksi sehingga tonsil membesar dan
dapatmenghambat keluar masuknya udara. Infeksi juga dapat mengakibatkan
kemerahandan edema pada faring serta ditemukannya eksudat berwarna putih
keabuan padatonsil sehingga menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan,
demam tinggi bau mulut serta otalgia

Invasi kuman patogen (bakteri / virus)

Penyebaran limfogen

Faring & tonsil

Proses inflamasi

Tonsilofaringitis akut Hipertermi

Edema faring & tonsil Tonsil & adenoid membesar

Nyeri telan Obstruksi pada tuba eustakii

Sulit makan & minum Kurangnya Infeksi sekunder


pendengaran

Resiko perubahanstatus Otitis media


nutrisi < dari kebutuhan
tubuh

Gangguan persepsi sensori :


pendengaran
2.5 Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme
yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala umum
seperti lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher. Gejala
khas berdasarkan jenisnya, yaitu:
a. Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan gejala
rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam
disertai rinorea dan mual.
b. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai
demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
c. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
d. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal
dan akhirnya batuk yang berdahak.
e. Faringitis atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut
berbau.
f. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon
dengan pengobatan bakterial non spesifik.
g. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan
riwayat hubungan seksual.
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. Sulit untuk membedakan antara faringitis Streptokokus
dan faringitis virus hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Baku emas
penegakan diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur
dari apusan tenggorok. Apusan tenggorok yang adekuat pada area tonsil diperlukan
untuk menegakkan adanya Streptococcus pyogenes. Untuk memaksimalkan akurasi,
maka diambil apusan dari dinding faring posterior dan regio tonsil, lalu
diinokulasikan pada media agar darah domba 5% dan piringan basitrasin
diaplikasikan, kemudian ditunggu selama 24 jam. Pada saat ini terdapat metode yang
cepat untuk mendeteksi antigen Streptokokus grup A (rapid antigen detection test).
Metode uji cepat ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi
(sekitar 90% dan 95%) dan hasilnya dapat diketahui dalam 10 menit, sehingga
metode ini setidaknya dapat digunakan sebagai pengganti pemeriksaan kultur. Secara
umum, bila uji tersebut negatif, maka apusan tenggorok seharusnya dikultur pada dua
cawan agar darah untuk mendapatkan hasl yang terbaik untuk S. Pyogenes.
Pemeriksaan kultur dapat membantu mengurangi pemberian antibiotik uang tidak
perlu pada pasien faringitis.
2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut, yaitu:
1. Istirahat cukup
2. Minum air putih yang cukup
3. Berkumur dengan air yang hangat
4. Pemberian farmakoterapi:
a. Topikal
- Obat kumur antiseptik
- Menjaga kebersihan mulut
- Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000−400.000 2 kali/hari.
- Faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik
faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin 25%.
b. Oral sistemik
- Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi virus
dengan dosis 60−100 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali pemberian/hari
pada orang dewasa dan pada anak kurang dari lima tahun diberikan 50
mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali pemberian/hari.
- Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
Streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu penicillin G benzatin
50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis
dibagi 3 kali/hari selama sepuluh hari dan pada dewasa 3x500 mg selama
6−10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan
kortikosteroid karena steroid telah menunjukkan perbaikan klinis karena
dapat menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa
deksametason 3x0,5 mg pada dewasa selama tiga hari dan pada anak-
anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama tiga hari.
- Faringitis gonorea, sefalosporin generasi ke-tiga, Ceftriakson 2 gr IV/IM
single dose.
- Pada faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat diberikan obat
batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit hidung dan sinus paranasal
harus diobati.
- Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.
- Untuk kasus faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik sekali
sehari selama 3−5 hari.
Kegagalan terapi adalah terdapatnya Streptokokus persisten setelah
terapi selesai. Hal ini terjadi pada 5-20% populasi, dan lebih banyak lagi
pada populasi dengan pengobatan penisilin oral dibanding dengan suntik.
Penyebabnya dapat karena komplians yang kurang, infeksi ulang, atau
adanya flora normal yang memproduksi β-laktamase. Kultur ulang apusan
tenggorok hanya dilakukan pada keadaan dengan risiko tinggi, misalnya
pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau infeksi Streptokokus
yang berulang.
Apabila hasil kultur kembali positif, beberapa kepustakaan
menyarankan terapi kedua, dengan pilihan obat oral klindamisin 20-30
mg/kgBB/hari selama 10 hari; amoksisilin-klavulanat 4 mg/kgBB/hari
terbagi menjadi 3 dosis selama 10 hari; atau injeksi Benzathine penicillin
G intramuskular, dosis tunggal 600.000 IU (BB30 kg). Akan tetapi, bila
setelah terapi kedua kultur tetap positif, kemungkinan pasien merupakan
pasien karier, yang memiliki risiko ringan terkena demam reumatik.
Golongan tersebut tidak memerlukan terapi tambahan.
TONSILEKTOMI
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk
mengurangi frekuensi tonsilitis rekuren. Dasar ilmiah tindakan ini belum jelas.
Pengobatan dengan adenoidektomi dan tonsilektomi telah menurun dalam 2 dekade
terakhir. Ukuran tonsil dan adenoid bukanlah indikator yang tepat. Tonsilektomi
biasanya dilakukan pada tonsilofaringitis berulang atau kronis.
Terdapat beberapa indikator klinnis yang digunakan, salah satunya adalah
kriteria yang digunakan Children’s Hospital od Pittsburg Study, yaitu:
- Tujuh atau lebih episode infeksi tenggorok yag diterapi dengan antibiotik tahun
sebelumnya
- Lima atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik setiap
tahun selaa dua tahun sebelumnya
- Tiga atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan atibiotik setiap
tahun selma 3 tahun sebelumnya
American Academy Otolaryngology and Head and Neck Surgery menetapkan
terdapatnya tiga atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dalam setahun
sebagai bukti yang cukup untuk melakukan pembedahan. Indikator klinis di atas tidak
dapat diterapkan di Indonesia dan memerlukan pemikiran lebih lanjut. Keputusan
untuk tonsilektomi hharus didasarkan pada gejla da tanda yang terkait secara
langsung terhadap hipertrofi, obstruksi, dan infeksi kronis pada tonsil dan struktur
terkait. Ukuran tonsil anak relatif lebih besar daripada dewasa. Infeksi tidak selalu
menyebabkan hipertrofi tonsil, dan tonsl yang terinfeksi kronis mungkin ukurannya
tidak membesar. Tonsilektomi sedapat mungkin dihindari pada anak berusia di bawah
3 tahun, bila ada infeksi aktif, tonsilektomi harus ditunda hingga 2-3 minggu.
Adenoidektomi sering direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada otitis
media kronis dan rekuren. Sebuah RCT menunjukkan bahwa adenoidektomi dan
miringotomi bilateral (tanpa timpanoplasti) memberikan keuntungan pada anak
berusia 4-8 tahun yang menderita otitis media kronis dengan efusi.
Konseling dan Edukasi :
1. Memberitahu keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi
makan bergizi dan olahraga teratur.
2. Memberitahu keluarga untuk berhenti merokok.
3. Memberitahu keluarga untuk menghindari makan-makanan yang dapat mengiritasi
tenggorok.
4. Memberitahu keluarga dan pasien untuk selalu menjaga kebersihan mulut.
5. Memberitahu keluarga untuk mencuci tangan secara teratur

2.8 Prognosis
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Beberapa kasus
dapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri dan virus
dapat ditemukan ulkus kronik yang cukup luas. Komplikasi faringitis bakteri terjadi
akibat perluasan langsung atau secara hematogen. Akibat perluasan langsung,
faringitis dapat berlanjut menjadi rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis
servikal, abses retrofaringeal atau parafaringeal, atau pneumonia. Penyebaran
heatogen Streptokokus β hemolitikus grup A dapat megakibatkan meningitis,
osteomielitis, atau artritis septik, sedangkan komplikasi nonsupuratif berupa demam
reumatik dan glomerulonefritis.
BAB III
KESIMPULAN
Faringitis adalah keadaan inflamasi pada struktur mukosa, submukosa
tenggorokan. Jaringan yang mungkin terlibat antara lain orofaring, nasofaring,
hipofaring, tonsil dan adenoid. Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari
orang yang menderita faringitis. Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang
dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi
alkohol yang berlebihan.
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme
yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala-gejala
seperti lemas, anorexia, suhu tubuh naik, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher,
faring yang hiperemis, tonsil membesar, pinggir palatum molle yang hiperemis,
kelenjar limfe pada rahang bawah teraba dan nyeri bila ditekan dan bila dilakukan
pemeriksaan darah mungkin dijumpai peningkatan laju endap darah dan leukosit.
Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat dimulai dari anamnesa yang cermat dan
dilakukan pemeriksaan temperature tubuh dan evaluasi tenggorokan, sinus, telinga,
hidung dan leher. Pada faringitis dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat,
tonsil yang membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di leher.
Terapi faringitis tergantung pada penyebabnya. Bila penyebabnya adalah
bakteri maka diberikan antibiotik dan bila penyebabnya adalah virus maka cukup
diberikan analgetik dan pasien cukup dianjurkan beristirahat dan mengurangi
aktivitasnya. Dengan pengobatan yang adekuat umumnya prognosis pasien dengan
faringitis adalah baik dan umumnya pasien biasanya sembuh dalam waktu 1-2
minggu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dwi IA, Yulisna, Sulistyo G. 2017. Nekrosis Epidermal Toksik pada Pasien
Geriatri. J AgromedUnila Vol. 4 No. 1. Lampung: Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
2. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
3. Asnel MS, Putri RF. 2015. Nekrosis Epidermal Toksik. Padang: Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas
4. Cohen V.Toxic Epidermal Necrolysis.Medscape reference.2011.WebMD.

Anda mungkin juga menyukai